Bab 1 – Rahasia Bukit Angker
Udara sore itu terasa lebih dingin dari biasanya. Langit mulai meredup, sementara kabut tipis perlahan turun menyelimuti jalan setapak menuju Bukit Angker 9. Di antara suara dedaunan yang bergesekan diterpa angin, terdengar suara langkah kaki yang beriringan, menyusuri jalur setapak yang mulai ditinggalkan orang sejak bertahun-tahun lalu.
Raka melangkah paling depan, dengan ransel besar tergantung di punggungnya. Ia menoleh ke belakang, memastikan teman-temannya masih mengikutinya. Di belakangnya ada Ayu, Bagas, Dimas, Sinta, dan Andi, masing-masing membawa perlengkapan untuk berkemah. Raka bukan hanya seorang pendaki biasa, tapi juga seorang jurnalis muda yang tertarik dengan cerita-cerita urban legend. Bukit Angker 9, tempat yang mereka tuju, sudah lama terkenal sebagai tempat yang penuh misteri.
“Aku masih nggak percaya kita benar-benar pergi ke sini,” ujar Sinta dengan nada ragu. Ia menggenggam tali ranselnya erat, matanya memandang ke sekitar, seolah mencari tanda-tanda bahaya.
“Bukankah itu justru serunya?” sahut Dimas dengan senyum lebar. “Siapa tahu kita bisa membuktikan kalau cerita-cerita seram itu cuma karangan orang.”
“Atau malah sebaliknya,” timpal Bagas, mencoba membuat suasana semakin menegangkan.
Mereka melanjutkan perjalanan dengan langkah mantap. Jalan setapak mulai menanjak, dikelilingi oleh pohon-pohon tinggi yang seakan menghalangi sinar matahari. Hutan di sekitar bukit ini memang terkenal lebat dan sulit ditembus cahaya. Semakin masuk ke dalam, suasana semakin sunyi. Bahkan suara burung pun tak terdengar.
Setelah satu jam berjalan, mereka tiba di sebuah area lapang di tengah hutan. Di sana terdapat sebuah gubuk tua yang tampak sudah lama ditinggalkan. Dinding kayunya lapuk, atapnya sebagian roboh, dan pintunya sedikit terbuka, berderit saat angin menerpanya.
“Ini pasti gubuk yang diceritakan orang-orang desa tadi siang,” ujar Ayu dengan nada bergetar.
Sebelum mendaki, mereka sempat singgah di sebuah warung di desa terdekat. Pemilik warung, seorang wanita tua bernama Bu Sarmi, sudah memperingatkan mereka agar tidak bermalam di bukit ini. Ia menyebutkan tentang gubuk tua yang konon menjadi tempat tinggal seorang pertapa yang hilang secara misterius bertahun-tahun lalu.
“Nggak ada salahnya kita lihat ke dalam,” kata Raka, melangkah mendekati gubuk. Namun, sebelum ia bisa menyentuh pintunya, suara langkah kaki terdengar dari arah semak-semak di sebelah kanan.
Mereka semua terdiam. Mata mereka menatap ke arah semak yang bergoyang pelan.
“Siapa di sana?” tanya Andi, suaranya terdengar lebih berani daripada yang sebenarnya ia rasakan.
Dari dalam semak, muncul seorang pria tua dengan tongkat di tangannya. Wajahnya dipenuhi kerutan, matanya tajam menatap mereka satu per satu. Pakaiannya sederhana, tapi terlihat sangat lusuh.
“Kalian tidak seharusnya ada di sini,” kata pria itu dengan suara serak. “Ini bukan tempat untuk bersenang-senang.”
“Kami hanya ingin berkemah, Pak. Kami nggak berniat mengganggu,” ujar Raka sopan.
Pria itu menghela napas berat. “Sudah banyak orang seperti kalian yang datang ke sini, tapi tidak semuanya bisa kembali.” Matanya menatap mereka penuh arti. “Apakah kalian tahu cerita tentang Bukit Angker 9?”
Mereka saling berpandangan. Legenda tentang bukit ini memang terkenal, tapi mendengarnya langsung dari seorang yang tampaknya tahu lebih banyak membuat bulu kuduk mereka meremang.
“Dulu, bertahun-tahun lalu, ada sebuah pemukiman di sekitar bukit ini,” lanjut pria tua itu. “Penduduk desa sering datang untuk berladang. Tapi, suatu malam, semuanya berubah.” Ia terdiam sejenak, seolah memastikan mereka benar-benar memperhatikan.
“Seseorang melakukan ritual terlarang. Tidak ada yang tahu pasti siapa pelakunya, tapi setelah itu… satu per satu penduduk desa mulai menghilang. Beberapa ditemukan tewas dengan wajah ketakutan. Sisanya… lenyap tanpa jejak.”
Ayu menelan ludah. “Lalu… apa hubungannya dengan gubuk ini?”
“Gubuk ini adalah tempat terakhir di mana mereka yang hilang terlihat,” jawab pria itu. “Dan setiap tahun, pada malam tertentu, terdengar suara-suara dari dalamnya… seperti orang yang meminta tolong.”
Angin berembus lebih kencang, membuat pintu gubuk berderit pelan. Mereka semua merasakan hawa dingin yang tidak biasa.
“Aku sudah memperingatkan kalian,” pria itu menghela napas. “Kalau kalian tetap memilih bermalam di sini, jangan pernah keluar tenda setelah tengah malam. Jangan pernah menjawab suara yang memanggil nama kalian. Dan yang terpenting… jangan menoleh ke belakang jika merasa ada yang mengawasi.”
Tanpa berkata apa-apa lagi, pria tua itu berbalik dan perlahan menghilang di antara pepohonan, meninggalkan mereka dengan ketegangan yang masih menggantung di udara.
Mereka semua saling berpandangan, tak ada yang berani berbicara selama beberapa saat.
“Jadi… kita tetap bermalam di sini?” tanya Bagas, mencoba mencairkan suasana.
Raka menarik napas panjang. Ia datang ke sini untuk mencari cerita, dan sekarang ia mendapatkannya. Tapi, di sisi lain, perasaan tidak nyaman mulai merayapi hatinya.
Mereka sudah berada di Bukit Angker 9.
Dan malam baru saja dimulai.*
Bab 2 – Larangan yang Dilanggar
Malam semakin larut di Bukit Angker 9. Angin berembus perlahan, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang membusuk. Kabut semakin tebal, membuat sekeliling perkemahan terasa lebih mencekam. Api unggun yang sebelumnya terang mulai meredup, menyisakan bara merah yang berkelip-kelip samar di tengah kegelapan.
Raka duduk bersila di dekat api unggun, menyesap kopi yang sudah mulai dingin. Pandangannya menerawang ke dalam hutan yang gelap dan sunyi. Ia masih teringat jelas peringatan pria tua yang mereka temui sore tadi. **Jangan keluar tenda setelah tengah malam. Jangan menjawab suara yang memanggil nama kalian. Jangan menoleh ke belakang jika merasa diawasi.**
Namun, larangan itu seolah hanya dianggap angin lalu oleh Dimas. “Kita sudah sejauh ini datang, masa iya cuma tidur di dalam tenda?” katanya dengan nada menantang. “Bukankah kita ke sini untuk mencari bukti? Kalau kita diam saja, kita nggak akan menemukan apa-apa.”
Andi menghela napas panjang. “Aku juga penasaran, tapi kalau melihat ekspresi pria tua tadi, aku rasa dia benar-benar serius.”
“Percaya sama takhayul seperti itu cuma buat pengecut,” balas Dimas seraya berdiri. “Aku ingin melihat gubuk tua itu lebih dekat. Siapa tahu ada sesuatu yang bisa kita temukan.”
Ayu menatapnya dengan cemas. “Dimas, ini bukan ide bagus. Seharusnya kita tetap di sini saja.”
Namun, Dimas tidak menggubrisnya. Dengan senter di tangan, ia mulai berjalan menuju gubuk tua yang berjarak sekitar lima puluh meter dari perkemahan. Raka, yang sejak tadi merasa ada sesuatu yang janggal, akhirnya memutuskan untuk mengikutinya. Ayu, Sinta, dan Andi pun tidak punya pilihan selain ikut serta, meski rasa takut mulai menyelinap di benak mereka.
Saat mereka semakin dekat, gubuk tua itu tampak lebih menyeramkan daripada sebelumnya. Dindingnya penuh dengan lumut, atapnya berlubang, dan pintunya terbuka sedikit, berayun pelan seiring hembusan angin malam. Raka bisa merasakan bulu kuduknya meremang. Ada sesuatu yang salah dengan tempat ini.
Dimas menyorotkan senter ke dalam gubuk. “Nggak ada apa-apa,” katanya dengan nada mengejek. “Mungkin pria tua tadi cuma ingin menakut-nakuti kita.”
Tiba-tiba, terdengar suara seperti langkah kaki dari dalam gubuk. Suara itu begitu lirih, hampir seperti desiran angin, namun jelas bukan suara alam biasa.
Ayu menahan napas. “Kalian dengar itu?”
Dimas menelan ludahnya, tapi ia tetap berpura-pura tenang. “Mungkin tikus atau sesuatu—”
BRAK!
Sebuah suara keras menggema dari dalam gubuk, seperti sesuatu yang jatuh atau dipukul dengan keras. Semua orang terkejut, bahkan Dimas yang awalnya berani kini terlihat ragu.
“Kita harus pergi,” bisik Raka.
Namun, sebelum mereka sempat berbalik, sebuah suara terdengar dari dalam gubuk.
**”Tolong… keluarkan aku…”**
Suara itu terdengar serak, seperti seseorang yang sudah lama tidak berbicara. Mereka semua saling berpandangan, ketakutan mulai menyelimuti hati masing-masing.
“Itu… itu suara siapa?” Sinta berbisik dengan wajah pucat.
“Mungkin ada orang yang terjebak di dalam,” kata Andi, berusaha berpikir logis.
Namun Raka menggeleng, mengingat peringatan pria tua tadi. **Jangan menjawab suara yang memanggil nama kalian.**
“Kita harus pergi sekarang,” kata Raka tegas.
Namun, Dimas yang keras kepala malah mendekati pintu gubuk dan mendorongnya dengan perlahan. Pintu itu berderit, membuka sedikit lebih lebar. Dari dalam, hanya kegelapan pekat yang menyambut mereka.
“Hallo?” panggil Dimas.
Dan saat itulah segalanya berubah.
Angin bertiup lebih kencang, hampir seperti badai kecil. Kabut semakin menebal, menyelimuti sekeliling mereka. Dari dalam gubuk, terdengar suara berbisik, semakin lama semakin jelas.
**”Kalian… tidak seharusnya… ada di sini…”**
Tanpa pikir panjang, Raka menarik tangan Dimas dan berlari kembali ke perkemahan. Yang lain mengikuti, nafas mereka terengah-engah oleh ketakutan. Sesampainya di perkemahan, mereka langsung masuk ke dalam tenda masing-masing, berusaha menenangkan diri.
Namun, malam itu belum berakhir.
Sekitar pukul tiga dini hari, Raka terbangun. Ia mendengar sesuatu di luar tendanya. Langkah kaki. Lirih, perlahan, mengelilingi perkemahan mereka.
Ia menahan napas, mengingat peringatan pria tua itu lagi. **Jangan keluar tenda setelah tengah malam.**
Tapi kemudian, ia mendengar sesuatu yang membuatnya semakin ketakutan.
**”Raka… tolong…”**
Itu suara Bagas.
Atau setidaknya, sesuatu yang terdengar seperti Bagas.
Dan saat ia melirik ke celah tenda, ia melihat bayangan tinggi berdiri diam di kejauhan, menatap ke arah mereka.
Malam itu, mereka menyadari satu hal.
Mereka telah melanggar larangan yang seharusnya tidak mereka abaikan.
Bab 3 – Malam Pertama dan Mimpi Buruk
Malam semakin larut di Bukit Angker 9. Kabut tipis melayang rendah di antara pepohonan, menciptakan bayangan-bayangan aneh yang seolah bergerak sendiri. Suasana semakin sunyi, hanya sesekali terdengar suara burung hantu dan gemerisik dedaunan yang diterpa angin. Api unggun yang tadi menerangi perkemahan kini tinggal bara, menyisakan cahaya kemerahan yang berpendar redup.
Raka duduk bersandar di dalam tendanya. Meski matanya berat, pikirannya masih dipenuhi kejadian di gubuk tua tadi. Perasaan tak nyaman masih menyelimuti hatinya, seakan ada sesuatu yang terus mengawasi dari balik kegelapan.
Di tenda sebelah, Dimas masih terjaga. Sesekali ia menoleh ke luar, memastikan bahwa semuanya masih dalam keadaan normal. Namun, tak lama setelah itu, matanya pun tertutup, dan ia terlelap dalam tidur yang gelisah.
Ketika malam semakin larut, sesuatu yang aneh mulai terjadi.
Raka bermimpi.
Dalam mimpinya, ia berdiri di tengah hutan yang gelap. Pepohonan menjulang tinggi, menciptakan bayangan panjang yang mengerikan. Udara terasa dingin, lebih dingin dari sebelumnya. Tiba-tiba, ia mendengar langkah kaki di belakangnya.
“Raka…”
Sebuah suara berbisik, lirih namun jelas. Jantungnya berdegup kencang. Ia menoleh perlahan, namun yang ia lihat hanyalah kegelapan yang semakin pekat.
“Raka… tolong aku…”
Suara itu semakin dekat, membuat bulu kuduknya berdiri. Ia mencoba berlari, tetapi kakinya terasa berat, seperti tertanam ke dalam tanah. Napasnya memburu saat sosok samar muncul dari kegelapan. Itu adalah seorang pria, wajahnya pucat, matanya kosong, dan bibirnya bergerak-gerak tanpa suara.
Tiba-tiba, tangan dingin mencengkeram bahunya.
Raka tersentak dan terbangun dengan napas tersengal-sengal. Dadanya naik turun, keringat dingin membasahi dahinya. Ia mengusap wajahnya, mencoba menenangkan diri. Namun, di luar tenda, ia mendengar sesuatu.
Langkah kaki.
Pelan, tetapi jelas terdengar di atas tanah berdaun kering.
Ia menajamkan pendengarannya. Langkah itu berputar-putar di sekitar perkemahan, seakan ada seseorang—atau sesuatu—yang sedang mengamati mereka.
“Ayu? Andi?” bisiknya, berharap salah satu dari mereka juga terjaga.
Tidak ada jawaban.
Dengan tangan gemetar, ia mengintip dari celah tenda. Di balik redupnya cahaya api unggun, ia melihat sebuah bayangan berdiri di pinggir hutan. Bayangan itu tinggi dan kurus, tanpa wajah yang jelas. Ia hanya berdiri diam, tidak bergerak, seolah menunggu sesuatu.
Jantung Raka hampir berhenti. Ia buru-buru menarik kembali kepalanya ke dalam tenda dan merapatkan mulutnya agar tidak mengeluarkan suara. Ia mengingat peringatan pria tua tadi siang. **Jangan menoleh ke belakang jika merasa diawasi.**
Tapi ini lebih buruk. Ia benar-benar melihat sesuatu.
Tiba-tiba, suara tenda di sebelahnya terbuka.
“Siapa di luar?” suara Dimas terdengar samar.
Sebelum Raka sempat memperingatkan, Dimas sudah keluar dari tendanya, membawa senter di tangan. Cahaya kuning dari senter menyapu sekitar, tetapi tidak ada siapa-siapa.
“Mungkin cuma perasaan gue,” gumamnya, sebelum kembali masuk ke dalam tenda.
Namun, tepat saat ia hendak menutupnya, suara lain terdengar.
**”Dimas…”**
Suara itu terdengar serak, hampir seperti bisikan, namun berasal dari dalam hutan. Raka membeku. Dimas juga berhenti, matanya melebar.
**Jangan menjawab jika ada suara yang memanggil nama kalian.**
Dimas menelan ludahnya, lalu mengarahkan senternya ke arah datangnya suara.
Namun, yang ia lihat hanyalah pepohonan yang diam membisu.
“Hah… Mungkin cuma angin,” katanya, berusaha menenangkan diri. Ia pun menutup tendanya kembali.
Malam kembali sunyi. Hanya suara dedaunan yang bergesekan tertiup angin.
Namun, Raka tahu satu hal.
Mereka tidak sendirian malam ini.*
Bab 4 – Hilangnya Bagas
Pagi itu, suasana di perkemahan terasa ganjil. Udara masih dingin meskipun matahari mulai menampakkan diri di balik pepohonan. Biasanya, Bagas adalah orang pertama yang bangun untuk menyiapkan kopi, tetapi kali ini, tenda Bagas tampak kosong.
“Bagas?” panggil Raka sambil menggoyangkan tenda temannya.
Tidak ada jawaban.
Satu per satu, teman-temannya bangun, mengusap wajah mereka yang masih mengantuk. Ketika mereka menyadari bahwa Bagas tidak ada di dalam tenda, mereka mulai panik.
“Mungkin dia pergi ke sungai buat cuci muka,” ujar Andi mencoba berpikir positif.
Namun, saat mereka berjalan ke sungai, tak ada tanda-tanda keberadaan Bagas. Tidak ada jejak kaki yang mengarah ke sana, tidak ada sisa barang yang tertinggal.
“Dia nggak mungkin pergi sendirian tanpa bilang siapa pun,” kata Ayu dengan suara cemas.
Mereka mulai menyebar, mencari Bagas di sekitar perkemahan. Raka dan Sinta berjalan ke arah hutan, sementara Dimas dan Andi memeriksa daerah dekat gubuk tua. Ayu tetap di perkemahan, berharap Bagas akan kembali.
Setelah beberapa menit berjalan ke dalam hutan, Raka menemukan sesuatu yang membuat darahnya membeku.
Jejak kaki.
Namun, yang aneh, jejak itu berhenti di satu titik seolah Bagas menghilang begitu saja.
“Ini nggak masuk akal,” gumam Raka.
Sinta menelan ludahnya. “Bagas nggak mungkin tiba-tiba menghilang begitu saja, kan? Mungkin jejaknya tertutup daun atau—”
Tiba-tiba, terdengar suara lirih.
“Raka… tolong…”
Suaranya pelan, hampir seperti bisikan yang tertiup angin. Raka dan Sinta saling berpandangan, wajah mereka memucat.
“Itu suara Bagas!” seru Sinta, ingin segera berlari ke arah suara itu.
Namun, Raka meraih tangannya, mengingat peringatan pria tua kemarin.
**Jangan pernah menjawab suara yang memanggil nama kalian.**
“Tunggu,” bisik Raka. “Kita harus kembali ke perkemahan. Kita nggak boleh terpisah lebih jauh.”
Mereka berdua kembali dengan langkah tergesa-gesa. Saat tiba di perkemahan, wajah Dimas dan Andi juga tampak pucat pasi.
“Kami menemukan sesuatu,” kata Dimas. Ia menunjukkan sebuah kain robek yang berlumuran tanah dan sedikit noda merah. Itu adalah bagian dari jaket yang dikenakan Bagas semalam.
“Ini… darah?” bisik Ayu dengan suara bergetar.
Seketika, suasana berubah semakin menegangkan. Tidak ada yang berani mengucapkan apa pun. Satu-satunya fakta yang jelas adalah: **Bagas menghilang, dan sesuatu yang tak terlihat ada di sekitar mereka.**
Raka mencoba berpikir jernih. “Kita harus mencari dia, tapi kita nggak boleh berpencar lagi. Kita tetap bersama.”
Dengan hati-hati, mereka kembali ke titik terakhir di mana jejak Bagas berhenti. Kali ini, mereka membawa senter dan pisau kecil untuk berjaga-jaga.
Saat menyusuri hutan lebih dalam, angin berembus semakin kencang, seakan memperingatkan mereka untuk berhenti.
Kemudian, mereka melihatnya.
Di salah satu pohon tua, terdapat coretan aneh yang tampak baru dibuat. Simbol-simbol yang tidak mereka mengerti terukir dalam-dalam di batang kayu. Dan di bawah pohon itu, terdapat sebuah lubang tanah yang sepertinya baru saja digali.
Jantung mereka berdegup kencang.
“Jangan bilang… Bagas ada di sana,” bisik Ayu, hampir menangis.
Andi maju lebih dulu, mengambil ranting dan menggali sedikit tanah di sekitar lubang itu. Ketika ranting itu menyentuh sesuatu yang keras, mereka semua menahan napas.
Raka memberanikan diri menggali lebih dalam dengan tangannya. Dan saat ia menarik sesuatu dari dalam lubang itu, sebuah benda jatuh ke tanah.
Sebuah kamera.
Itu adalah kamera milik Bagas.
Dengan tangan gemetar, Raka menekan tombol ‘play’ untuk melihat rekaman terakhir yang tersimpan.
Di layar kecil itu, mereka melihat Bagas berlari dengan napas tersengal-sengal, wajahnya penuh ketakutan. Kamera terombang-ambing seolah ia dikejar sesuatu.
Kemudian, tiba-tiba Bagas menoleh ke belakang.
Sosok hitam dengan mata merah menyala berdiri di belakangnya.
Layar menjadi hitam.
Mereka semua terdiam, merasakan hawa dingin menjalar ke seluruh tubuh.
Bagas benar-benar hilang.
Dan sesuatu yang mengerikan ada di bukit ini.*
Bab 5 – Rahasia di Gubuk Tua
Mereka masih berdiri mematung, mencoba mencerna rekaman terakhir Bagas yang baru saja mereka tonton. Napas mereka tertahan, seolah udara di sekitar menjadi semakin berat. Sosok hitam bermata merah dalam rekaman itu masih terbayang jelas di benak mereka.
“Jadi… Bagas memang dikejar sesuatu?” Ayu berbisik, suaranya nyaris tak terdengar.
Dimas menggenggam tangannya kuat-kuat. “Aku nggak mau menunggu lebih lama. Kita harus ke gubuk itu sekarang. Bagas pasti ada di sana!”
“Dimas, tunggu dulu,” cegah Raka. “Kita nggak bisa gegabah.”
Namun, Dimas sudah lebih dulu melangkah menuju gubuk tua yang mereka datangi semalam. Dengan terpaksa, yang lain mengikutinya. Angin malam kembali bertiup, membuat dedaunan bergemerisik seakan membisikkan sesuatu. Rasa takut mulai menguasai hati mereka, tetapi mereka tahu tidak ada jalan lain.
Ketika sampai di depan gubuk, perasaan aneh menyelimuti mereka. Bangunan reyot itu tampak lebih menyeramkan dibanding sebelumnya. Pintu kayunya sedikit terbuka, berderit pelan tertiup angin. Aroma tanah basah dan kayu lapuk menguar dari dalam.
“Masuk atau nggak?” tanya Andi, suaranya bergetar.
Raka menarik napas dalam. “Kita harus tahu apa yang terjadi.”
Dengan langkah hati-hati, mereka melangkah masuk. Lantainya berdebu dan dipenuhi dedaunan kering yang terbawa angin. Hanya ada satu meja kayu tua di tengah ruangan dan rak buku berdebu di pojokan. Cahaya dari senter mereka menyorot dinding-dinding kayu yang penuh coretan aneh, mirip dengan simbol yang mereka temukan di pohon tadi.
Ayu menyentuh salah satu coretan itu. “Ini bukan coretan biasa… sepertinya semacam mantra.”
Dimas mengabaikannya dan berjalan ke meja. Ia membuka salah satu laci, menemukan sesuatu yang tertutup kain lusuh. Dengan hati-hati, ia mengangkat kain itu, memperlihatkan sebuah buku tua dengan sampul kulit yang sudah mengelupas.
“Apa ini?” tanya Sinta, menelan ludah.
Raka membuka buku itu perlahan. Halamannya penuh tulisan tangan yang sulit dibaca. Namun, di salah satu halaman, mereka menemukan sesuatu yang membuat darah mereka membeku.
Sebuah sketsa kasar menggambarkan sosok tinggi bermata merah, sama seperti yang mereka lihat di rekaman Bagas. Di bawahnya, tertulis sebuah kalimat dalam bahasa yang nyaris tak mereka mengerti, tetapi satu kata terlihat jelas: **Pengorbanan.**
“Apa maksudnya?” tanya Andi dengan suara serak.
Sebelum ada yang sempat menjawab, tiba-tiba terdengar suara keras dari luar.
BRAK!
Semua menoleh ke arah jendela. Dari celah kaca yang berdebu, mereka melihat sesuatu bergerak di luar.
“Ada yang di luar!” bisik Ayu panik.
Dimas dengan cepat menutup buku itu dan menyelipkannya di dalam jaketnya. “Kita harus pergi sekarang!”
Mereka bergegas menuju pintu, namun tiba-tiba angin kencang bertiup, membanting pintu gubuk hingga tertutup rapat. Cahaya senter mereka bergetar saat mereka mencoba membukanya.
“Ini nggak bisa dibuka!” seru Sinta, menarik pegangan pintu sekuat tenaga.
Lalu, terdengar suara dari sudut ruangan.
**“Kalian… tidak seharusnya di sini…”**
Jantung mereka serasa berhenti. Suara itu terdengar seperti bisikan yang datang dari segala arah.
Lalu, dari bayangan di sudut gubuk, sesuatu bergerak.
Sosok itu tinggi, kurus, dengan mata merah menyala menatap mereka tanpa ekspresi. Napasnya berat, seperti angin yang tersendat-sendat. Raka merasa kakinya seakan membeku, tidak bisa bergerak.
Ayu menutup mulutnya, menahan teriakan. Dimas meraih sebilah kayu yang tergeletak di lantai, bersiap untuk menyerang jika perlu.
Namun, sebelum mereka bisa bereaksi lebih jauh, sosok itu mengangkat tangannya.
Lampu senter mereka mati seketika.
Ruangan menjadi gelap gulita.
Dan satu-satunya hal yang terdengar adalah suara napas mereka yang ketakutan.*
Bab 6 – Kejaran di Tengah Hutan
Kegelapan yang tiba-tiba menyelimuti gubuk tua itu membuat kepanikan semakin menjadi-jadi. Napas mereka terengah-engah, dan mereka tidak bisa melihat apa pun. Dimas meraba-raba saku jaketnya, mencoba menyalakan kembali senter, tetapi tidak ada cahaya yang muncul.
“Raka? Ayu? Sinta?” suara Andi terdengar gemetar dalam kegelapan.
“Aku di sini!” bisik Raka. Ia bisa merasakan kehadiran teman-temannya di dekatnya, tetapi tidak bisa memastikan posisi mereka.
Kemudian, terdengar langkah berat di dalam gubuk, diikuti suara napas kasar. Mata merah yang tadi mereka lihat perlahan muncul dari kegelapan, bersinar tajam, menusuk langsung ke dalam ketakutan mereka.
Sesuatu ada di dalam gubuk bersama mereka.
“Aku nggak mau mati di sini!” bisik Sinta, suaranya hampir pecah karena ketakutan.
“LARI!” teriak Raka.
Mereka semua berebut keluar, mendorong pintu kayu itu dengan paksa. Setelah beberapa dorongan keras, pintu akhirnya terbuka dan mereka berhamburan keluar ke dalam hutan yang diselimuti kabut.
Angin malam berembus kencang, ranting-ranting pohon berderak seperti bisikan yang mengikuti langkah mereka. Tanpa pikir panjang, mereka berlari secepat mungkin, tidak peduli ke arah mana. Mereka hanya ingin menjauh dari gubuk terkutuk itu.
Di belakang mereka, suara langkah berat masih terdengar, semakin mendekat.
Sinta menoleh ke belakang, dan saat itulah ia melihat sosok tinggi itu bergerak dengan cepat, seperti melayang di antara pepohonan. Matanya yang merah semakin membara dalam gelap.
“Dia mengejar kita!” Sinta menjerit.
“Aku nggak mau tahu! Terus lari!” sahut Dimas.
Kaki mereka menerjang semak-semak, cabang-cabang pohon mencambuk wajah dan tangan mereka, tetapi mereka tidak peduli. Rasa takut mengalahkan segala rasa sakit. Napas mereka memburu, paru-paru mereka terasa terbakar, tetapi sosok itu tidak menunjukkan tanda-tanda melambat.
Kemudian, Raka melihat sesuatu di depan mereka—sebuah sungai kecil dengan arus deras. Tidak ada jembatan, tidak ada jalan memutar. Satu-satunya pilihan adalah melompat.
“Kita harus lompat!” seru Raka.
“Kau gila?” Ayu menatapnya dengan panik.
“Kalau tetap di sini, kita pasti tertangkap!”
Tanpa menunggu persetujuan yang lain, Raka melompat lebih dulu. Tubuhnya menghantam air dingin yang langsung menusuk kulitnya. Dengan cepat ia berenang ke tepi seberang.
Satu per satu, yang lain mengikuti. Andi melompat, diikuti Sinta dan Ayu. Dimas ragu sejenak, tetapi ketika mendengar suara geraman di belakangnya, ia akhirnya melompat juga.
Mereka semua berenang dengan sisa tenaga, terbatuk-batuk saat menelan air sungai. Begitu mencapai tepi, mereka segera bangkit dan kembali berlari, tubuh mereka basah kuyup dan menggigil.
Namun, sesuatu aneh terjadi.
Tidak ada suara langkah di belakang mereka lagi.
Mereka berhenti sejenak, saling memandang dengan napas terengah-engah.
“Apa dia… berhenti mengejar?” tanya Andi.
Raka menggeleng, masih waspada. “Aku nggak tahu… tapi kita nggak bisa diam di sini.”
Mereka kembali melangkah, kali ini lebih hati-hati. Rasa takut masih menyelimuti, tetapi kelelahan mulai menguasai tubuh mereka. Mereka berjalan lebih dalam ke dalam hutan, berharap bisa menemukan jalan kembali ke perkemahan.
Namun, saat mereka akhirnya berhenti untuk mengatur napas, Dimas melihat sesuatu yang membuat tubuhnya gemetar.
Jejak kaki.
Jejak kaki besar dan aneh… berakhir tepat di depan mereka.
Dan saat mereka mendongak, sosok bermata merah itu sudah berdiri di sana, menunggu mereka.
Malam itu, kejaran belum berakhir.*
Bab 7: Perjuangan Bertahan Hidup
Kegelapan malam semakin dalam, menggantungkan ketegangan di setiap sudut Bukit Angker. Meskipun suara-suara alam malam terdengar biasa saja, ada getaran aneh yang mengguncang hati. Seperti ada sesuatu yang mengintai, menunggu di balik bayang-bayang pohon besar dan bebatuan raksasa. Untuk sebagian orang, mungkin itu hanya perasaan takut yang tidak bisa dijelaskan, namun bagi Fajar dan teman-temannya, ketakutan itu nyata.
Setelah bertahan hidup selama hampir dua hari tanpa makanan dan persediaan yang cukup, perut mereka sudah terasa kosong, lemah, dan seakan-akan menggerogoti semangat mereka sedikit demi sedikit. Fajar duduk bersandar pada batang pohon, menatap sekeliling dengan penuh kewaspadaan. Tak ada jejak manusia, hanya hembusan angin malam yang menambah kesan sunyi dan mencekam.
Di depannya, Yuni dan Dika sedang berusaha mencari sesuatu yang bisa dimakan. Mereka telah mencoba mencari buah liar di sekitar hutan, namun banyak dari tanaman yang mereka temui tampak beracun. Meski begitu, rasa lapar semakin mendesak. Keputusan untuk tetap bertahan hidup tak bisa ditunda lagi. Mereka harus mencari cara untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka.
“Dika, ada apa?” tanya Yuni dengan nada cemas. Dika tampak seperti melihat sesuatu di antara semak-semak.
“Ada jejak kaki,” jawab Dika, menunjuk ke tanah yang lembab. “Kelihatannya, ini jejak manusia. Kita tidak sendirian.”
Fajar merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. Apakah ini artinya mereka bisa menemukan pertolongan? Atau justru sebaliknya, mereka harus menghadapi ancaman lain yang lebih berbahaya?
Mereka memutuskan untuk mengikuti jejak tersebut, meskipun ketakutan menggerogoti pikiran mereka. Dalam kondisi yang penuh ketidakpastian seperti ini, setiap langkah bisa menjadi taruhan hidup dan mati. Mereka berusaha tetap tenang, tidak saling bicara terlalu banyak, menjaga agar suara mereka tidak menarik perhatian apapun yang bisa berbahaya.
Jejak itu membawa mereka ke sebuah gua kecil, tersembunyi di balik tumpukan batu besar. Udara di dalam gua terasa lebih dingin, dan saat mereka melangkah masuk, cahaya bulan yang remang-remang memperlihatkan sebuah pemandangan yang mengejutkan. Di dalamnya, ada sebuah api kecil yang menyala. Di sekelilingnya, beberapa orang yang tampaknya juga terjebak di bukit angker itu sedang beristirahat. Wajah mereka tampak kelelahan, tetapi ada sedikit harapan yang terpantul di mata mereka.
“Ssst… jangan bicara keras-keras,” bisik seorang pria yang duduk di dekat api. “Kita tidak tahu siapa yang mengawasi di luar.”
Fajar dan teman-temannya hanya mengangguk, mengerti bahwa mereka harus berhati-hati. Ada banyak hal yang belum mereka pahami tentang tempat ini. Bukit Angker memang terkenal dengan kisah-kisah seram yang diturunkan dari generasi ke generasi, tetapi tak ada yang benar-benar tahu apa yang terjadi di dalamnya. Kini, mereka tidak hanya berjuang melawan alam dan kelelahan, tetapi juga berhadapan dengan rasa takut yang semakin menggerogoti jiwa.
Selama beberapa hari ke depan, mereka mencoba bertahan hidup dengan cara berburu dan mengumpulkan buah-buahan yang masih aman dimakan. Mereka bergabung dengan kelompok orang yang mereka temui di gua itu, namun perlahan, mereka mulai menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Para anggota kelompok itu tampaknya sudah tidak lagi peduli dengan keselamatan satu sama lain. Salah seorang dari mereka bahkan pernah mengusulkan untuk meninggalkan yang lemah demi menghemat persediaan makanan.
Fajar merasa hatinya semakin berat. Dia tahu, dalam situasi seperti ini, bertahan hidup bisa membuat seseorang menjadi sangat egois. Tetapi, di sisi lain, rasa kemanusiaan mereka tetap ada, tak ingin melihat siapa pun terjatuh begitu saja. Ketika seorang wanita dari kelompok itu terjatuh karena lelah dan cedera, Fajar memutuskan untuk membantu, meski dia tahu itu bisa berbahaya bagi mereka semua.
Pada malam kelima, badai besar melanda. Hujan turun deras, dan angin bertiup kencang. Di tengah keganasan alam, mereka terpaksa berlindung di dalam gua, sementara api yang mereka nyalakan hampir padam. Kegelapan semakin pekat, dan rasa takut kembali menguasai mereka. Fajar memeluk tubuhnya sendiri untuk mencari kehangatan, berusaha menenangkan diri. Saat itulah, dia menyadari sesuatu yang sangat penting.
Perjuangan bertahan hidup bukan hanya tentang memenuhi kebutuhan fisik, tetapi juga tentang mempertahankan tekad dan semangat. Mereka harus tetap berpikir jernih dan tetap berusaha, meskipun seolah-olah segala harapan sudah hilang. Inilah ujian sejati dari setiap orang yang terjebak di tempat seperti ini: tidak hanya melawan alam, tetapi juga melawan diri sendiri.
Dengan tekad yang semakin bulat, Fajar tahu mereka harus tetap bertahan. Mereka harus menemukan jalan keluar dari Bukit Angker, meskipun dengan segala keterbatasan yang ada. Bersama Yuni, Dika, dan orang-orang lainnya, mereka berjanji untuk terus berjuang. Kebenaran satu hal yang mereka tahu: hanya mereka yang tidak menyerah yang akan mampu keluar hidup-hidup dari tempat ini.*
Bab 8: Kutukan yang Harus Dihentikan
Hari-hari yang terus bergulir tanpa henti membuat semangat Fajar dan teman-temannya semakin teruji. Seiring berjalannya waktu, mereka semakin menyadari bahwa Bukit Angker bukan sekadar tempat yang keras dan penuh dengan rintangan alam, namun ada sesuatu yang jauh lebih dalam dan lebih berbahaya. Ada kekuatan gelap yang menguasai bukit ini, dan mereka hanya bisa merasakannya tanpa benar-benar mengerti apa yang terjadi. Sesuatu yang telah menghantui tempat ini selama berabad-abad.
Fajar mengingat kembali cerita-cerita yang pernah dia dengar saat kecil. Tentang penduduk desa yang hilang, tentang suara-suara aneh yang terdengar saat malam menjelang, dan tentang kutukan yang tidak pernah bisa diputuskan oleh siapapun. Bukit Angker dikenal sebagai tempat terlarang, tempat yang hanya berani dimasuki oleh mereka yang tak punya pilihan lain. Dan kini, dia dan teman-temannya adalah bagian dari mereka yang terjebak, harus bertahan hidup meskipun segala yang mereka temui semakin menunjukkan tanda-tanda bahwa kutukan itu nyata.
Pada suatu malam yang gelap, ketika hujan baru saja reda, mereka berkumpul di sekitar api unggun yang mulai padam. Suasana terasa mencekam, seakan alam sekitar juga ikut menunggu sesuatu yang besar terjadi. Fajar duduk dengan wajah murung, memikirkan segala yang telah mereka lewati. Di sekelilingnya, Yuni, Dika, dan beberapa anggota kelompok lainnya tampak kelelahan, namun ada sesuatu yang berbeda pada mereka. Sebuah perubahan yang halus namun jelas terlihat: mata mereka kosong, seperti sedang berada dalam trance.
“Ada yang tidak beres,” kata Fajar, dengan suara yang penuh keraguan. “Kita tidak hanya berhadapan dengan alam. Ini… ada yang lain.”
Yuni menatapnya dengan tatapan kosong. “Apa maksudmu, Fajar?”
“Sejak kita datang ke bukit ini, perasaan aneh terus menghantui kita. Kita mulai melihat hal-hal yang tidak bisa dijelaskan, mendengar suara-suara yang tidak ada asalnya. Aku rasa kutukan itu…kutukan yang selama ini mereka bicarakan, sudah mulai bekerja.”
Dika yang berada di dekat mereka mengangguk pelan. “Aku mulai merasakannya juga. Aku tak bisa tidur dengan nyenyak. Seperti ada yang memanggil kita. Menarik kita ke dalam kegelapan.”
Pada saat itu, suasana di sekitar mereka menjadi semakin tegang. Angin mulai berhembus kencang, dan suara-suara di luar gua terdengar semakin keras. Mereka merasa ada sesuatu yang mengintai mereka, sesuatu yang ingin menguasai mereka. Seperti ada kekuatan yang sudah lama menunggu untuk bangkit.
Tiba-tiba, mereka mendengar suara langkah kaki yang berat, dan bayangan gelap muncul dari balik pepohonan. Sosok itu mendekat, semakin mendekat, hingga akhirnya ia muncul di depan api unggun. Seorang pria tua, dengan tubuh kurus kering, berdiri di sana, menatap mereka dengan tatapan penuh kebijaksanaan dan kesedihan.
“Siapa… siapa kamu?” tanya Fajar dengan suara gemetar.
Pria tua itu tidak menjawab langsung. Ia hanya mengamati mereka sejenak, seolah mengukur sejauh mana mereka bisa bertahan. Kemudian, dengan suara parau, ia berkata, “Kalian datang terlalu jauh. Bukit ini bukan tempat untuk manusia seperti kalian. Kutukan yang ada di sini… tak bisa kalian hentikan. Sudah terlalu lama ia menguasai tempat ini.”
Fajar merasa tubuhnya membeku. “Kutukan? Apa yang kau maksud?”
Pria tua itu menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. “Bukit Angker dulunya adalah tempat yang subur, penuh dengan kehidupan. Namun suatu hari, orang-orang yang serakah datang ke sini, menjarah alam dan menyalahgunakan kekuatan yang ada. Mereka mengganggu keseimbangan alam, dan kutukan itu muncul sebagai balasan. Mereka yang datang ke sini akan terjebak dalam lingkaran tak berujung. Makin lama, makin banyak jiwa yang terperangkap, dan kutukan itu semakin kuat.”
Fajar menatap pria tua itu dengan penuh kebingungan. “Jadi, kita tidak bisa keluar? Selama ini kita hanya berjuang melawan kutukan ini?”
Pria itu mengangguk pelan. “Ya, selama kalian tidak menghentikan apa yang telah dimulai, kalian akan terus terperangkap. Namun ada cara untuk menghentikan kutukan ini. Satu-satunya jalan adalah dengan mengembalikan apa yang telah hilang. Ada benda yang harus dikembalikan ke tempat asalnya. Hanya dengan cara itu kalian bisa bebas.”
Yuni, yang mendengarkan dengan penuh perhatian, bertanya, “Benda apa yang harus kami cari? Dimana itu berada?”
Pria tua itu tersenyum penuh misteri. “Benda itu tersembunyi di dalam gua yang paling dalam, tempat yang sudah lama dilupakan oleh waktu. Kalian harus menemukannya dan mengembalikannya sebelum terlambat.”
Tiba-tiba, pria tua itu menghilang begitu saja, meninggalkan mereka dengan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Suasana kembali menjadi sangat sunyi, namun rasa takut yang lebih besar kini mengisi hati Fajar dan teman-temannya.
Malam itu, mereka berbaring dalam keheningan, berusaha mencerna apa yang baru saja mereka dengar. Kutukan yang selama ini mereka anggap sebagai cerita kosong, ternyata memang nyata. Dan kini, mereka memiliki misi: menemukan benda yang hilang, dan mengakhiri kutukan yang telah menghantui Bukit Angker selama berabad-abad.
Namun, jalan mereka tidak akan mudah. Banyak bahaya yang mengintai, dan mereka harus siap untuk menghadapi segala sesuatu yang belum pernah mereka bayangkan. Satu hal yang pasti: jika mereka tidak bertindak, mereka akan terjebak di sini selamanya, menjadi bagian dari kutukan yang tak pernah berakhir.*
Bab 9: Kebenaran yang Tidak Boleh Terbuka
Fajar terbangun dengan perasaan cemas yang lebih dalam daripada sebelumnya. Hujan yang turun semalam telah reda, tetapi perasaan mencekam di dalam hatinya tidak kunjung surut. Mereka kini berada dalam posisi yang lebih sulit, terjebak antara dua pilihan: melanjutkan pencarian mereka untuk mengakhiri kutukan atau membiarkan kegelapan yang mengelilingi mereka menelan seluruh harapan yang ada.
Namun, ada sesuatu yang lebih besar yang kini mengancam mereka—kebenaran yang selama ini tersembunyi, sebuah rahasia yang tidak boleh terbuka. Sesuatu yang bahkan lebih berbahaya daripada kutukan itu sendiri.
Setelah percakapan dengan pria tua yang muncul entah dari mana, Fajar tahu bahwa mereka harus melangkah ke gua terdalam untuk mencari benda yang hilang dan mengembalikannya. Namun, saat mereka melangkah lebih jauh, semakin banyak pertanyaan yang muncul. Mengapa pria tua itu begitu yakin mereka bisa menemukan benda itu? Apa yang membuatnya begitu yakin bahwa mereka bisa menyelesaikan kutukan yang sudah berlangsung berabad-abad?
Saat mereka bergerak lebih dalam ke wilayah Bukit Angker, suasana semakin mencekam. Mereka melewati hutan yang lebih gelap, dengan pohon-pohon besar yang tampaknya menutupi setiap cahaya yang mencoba menembus. Setiap langkah mereka terdengar menggema, dan Fajar bisa merasakan mata-mata yang mengawasi mereka dari setiap sudut. Seolah-olah mereka sedang berada di bawah pengawasan kekuatan yang lebih besar dari yang bisa mereka bayangkan.
Tiba-tiba, Dika yang berjalan di depan mereka berhenti. “Ada yang aneh di sini,” katanya dengan suara serak, pandangannya tertuju ke sebuah batu besar di samping mereka. Batu itu tampak biasa, namun ada sesuatu yang membuatnya merasa janggal—sebuah goresan halus yang membentuk simbol yang tidak dikenalnya. Fajar mendekat, mencoba melihat dengan lebih jelas.
“Itu simbol yang sama,” kata Fajar, dengan nada yang gugup. “Simbol itu… aku pernah melihatnya di desa dulu. Mereka bilang itu adalah tanda dari para penjaga kutukan.”
Yuni menatapnya, wajahnya tampak bingung. “Apa maksudmu? Penjaga kutukan?”
Fajar menghela napas dalam-dalam. “Dulu, aku pernah mendengar cerita dari nenekku tentang para penjaga yang menjaga agar kutukan itu tetap hidup. Mereka tidak pernah terlihat, namun mereka ada di setiap tempat di Bukit Angker, menjaga agar kebenaran tidak terbongkar.”
Tiba-tiba, sebuah suara keras terdengar di tengah hutan, memecah keheningan. Mereka semua terlonjak kaget. Fajar segera mengangkat tangan, memberi isyarat agar mereka berhenti. Di kejauhan, sebuah bayangan bergerak cepat, hampir seperti angin yang datang dan pergi tanpa meninggalkan jejak.
“Siapa itu?” tanya Yuni, suaranya bergetar.
Fajar menelan ludah. “Tidak ada waktu untuk bertanya. Kita harus pergi sekarang.”
Mereka melanjutkan perjalanan, namun semakin jauh mereka masuk ke dalam hutan, semakin jelas bahwa mereka tidak hanya berhadapan dengan kutukan yang mengintai, tetapi juga dengan sesuatu yang jauh lebih mengerikan—sebuah kebenaran yang tidak boleh terbuka. Dalam hati Fajar, ada rasa takut yang mulai tumbuh. Rasa takut bahwa mereka tidak akan pernah bisa keluar dari tempat ini hidup-hidup.
Akhirnya, mereka tiba di sebuah gua besar yang tampaknya tidak pernah dijamah oleh manusia. Di depan gua itu, mereka menemukan lebih banyak simbol yang terukir pada batu-batu besar, dan di tengah gua, ada sebuah altar batu yang tampak sangat kuno. Di atas altar itu, terbaring sebuah benda yang bersinar samar—sebuah artefak yang mungkin menjadi kunci untuk menghentikan kutukan.
Namun, saat Fajar melangkah lebih dekat, sebuah suara yang dalam dan menggelegar terdengar, membuat seluruh tubuhnya tergetar. “Jangan sentuh itu,” suara itu mengancam. “Kalian tidak tahu apa yang akan kalian lepaskan.”
Mereka semua terdiam. Dari balik kegelapan gua, sosok yang tak terlihat muncul perlahan. Sebuah suara yang sangat familiar—suara pria tua yang mereka temui beberapa hari yang lalu.
“Tidak ada yang boleh tahu apa yang tersembunyi di sini,” lanjut suara itu. “Kebenaran ini terlalu besar untuk diketahui. Kalian tidak tahu apa yang akan terjadi jika kalian mencoba mengungkapnya. Kalian hanya akan memperburuk semuanya.”
Fajar merasa jantungnya berdegup lebih cepat. “Apa maksudmu? Kami hanya ingin mengakhiri kutukan ini.”
Suara itu tertawa pelan, namun tawa itu sangat menyeramkan. “Kutukan ini bukan hanya kutukan biasa. Ini adalah kutukan yang terkait dengan sejarah yang lebih gelap dari yang kalian bayangkan. Ada rahasia yang tak boleh terbuka, kebenaran yang akan menghancurkan dunia jika kalian mengungkapnya.”
Tiba-tiba, bayangan sosok pria tua itu muncul di hadapan mereka, lebih nyata dari sebelumnya. “Aku adalah penjaga terakhir, satu-satunya yang tersisa. Selama ini, aku menjaga agar kebenaran ini tetap terkubur dalam-dalam. Kalian tidak tahu, anak-anak muda, bahwa kalian telah berada di ambang kehancuran.”
Fajar merasa tubuhnya terhuyung. “Apa yang kau sembunyikan? Apa yang kami harus ketahui?”
Pria tua itu mendekat, tatapannya penuh dengan kesedihan dan peringatan. “Kalian tidak bisa menghentikan kutukan ini. Karena kutukan ini bukan tentang kejahatan atau keburukan. Ini adalah bagian dari takdir dunia. Jika kalian menghapusnya, kalian juga akan menghancurkan keseimbangan yang ada.”
Mereka semua terdiam, mencerna kata-kata pria tua itu. Kutukan ini lebih besar dari yang mereka bayangkan. Ada kebenaran yang tersembunyi di dalamnya—sebuah kebenaran yang bisa mengguncang dunia jika terbuka. Fajar sadar bahwa mungkin, lebih baik jika kebenaran itu tetap terkubur, terhapus dari ingatan.
——THE END——-