• Latest
  • Trending
  • All
  • Movie Review
  • Box Office
  • Trailer
  • Action
  • Romantic
  • Comedy
  • Horror
  • Serial Movie
  • Genre
MALAM TANPA KEDAMAIAN

MALAM TANPA KEDAMAIAN

May 8, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025
JEJAK DI PINTU TERLARANG

JEJAK DI PINTU TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

May 17, 2025
TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

May 17, 2025
PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

May 12, 2025
HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

May 12, 2025
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

May 10, 2025
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

LUKISAN YANG MENANGIS

May 10, 2025
  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
No Result
View All Result
Novel Story
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah
Novel Story
MALAM TANPA KEDAMAIAN

MALAM TANPA KEDAMAIAN

by SAME KADE
May 8, 2025
in Action
Reading Time: 27 mins read

Bab 1: Kota yang Terbangun oleh Ledakan

Suara dentuman keras membelah keheningan malam seperti tombak yang menembus dada langit. Kota yang biasanya tenang saat menjelang tengah malam kini terguncang oleh ledakan yang mengguncang fondasi gedung-gedung tua dan membangunkan mimpi warga yang terlelap.

Raka, yang sedang duduk termenung di lantai dua sebuah kedai kopi yang sudah tutup, segera berdiri. Matanya refleks menatap ke arah barat—tempat suara ledakan berasal. Asap pekat menjulang tinggi dari arah distrik pemerintahan. Warna jingga api memantul di kaca-kaca jendela, menciptakan ilusi neraka yang bangkit di tengah kota.

Ia mengerjapkan mata beberapa kali, memastikan ini bukan sekadar ilusi dari pikirannya yang penat. Namun jeritan di kejauhan dan sirene yang mulai meraung membuyarkan keraguan. Ini nyata. Kota sedang diserang.

Langkah-langkah kecil panik terdengar dari lantai bawah. Seorang anak laki-laki keluar dari gang sempit di seberang jalan, menangis sambil memeluk boneka usang. Tak lama kemudian, suara tembakan meledak—tidak jauh dari sana. Raka tahu, ini bukan sekadar kecelakaan. Ini direncanakan.

Ia segera mengambil ransel yang selalu dibawanya, berisi perlengkapan dasar dan pistol yang sudah lama tak ia sentuh sejak keluar dari dinas. Nalurinya sebagai mantan anggota pasukan khusus kembali menyala. Ia tahu, dalam kekacauan seperti ini, satu detik bisa berarti hidup atau mati.

Telepon genggamnya mati. Jaringan seluler tak bisa diakses. Kota ini terputus dari dunia luar.

Dari kejauhan, deru kendaraan berat mulai terdengar. Bukan kendaraan polisi. Bukan ambulans. Suara itu terlalu berat, terlalu teratur. Kendaraan militer.

“Ini bukan sekadar serangan. Ini perebutan kekuasaan,” gumam Raka dengan suara lirih, lebih kepada dirinya sendiri.

Ia berbalik menuju pintu belakang kedai, mengambil napas panjang, dan melangkah ke dalam malam yang sudah kehilangan kedamaiannya. Apa pun yang akan terjadi malam ini, ia tahu satu hal—dirinya tak bisa lagi hanya menjadi penonton.

Malam telah berubah. Dan malam ini, tidak ada lagi kedamaian.

Bab 2: Siaga dalam Bayangan

Bayangan malam semakin pekat, menyelimuti kota yang kini berubah menjadi labirin ketakutan. Asap masih membumbung dari reruntuhan bangunan di distrik barat, dan langit malam tampak memantulkan cahaya merah dari kobaran api yang tak kunjung padam.

Raka menyelinap melewati deretan gang sempit yang basah dan gelap. Setiap langkahnya ia perhitungkan dengan cermat. Bunyi sepatu yang menginjak genangan air pun terasa seperti dentuman bom di telinganya sendiri. Ia tahu—musuh bisa bersembunyi di mana saja.

Ia menghentikan langkah saat mendengar derit pelan dari pintu besi tua yang terbuka tak jauh di depan. Tangan kirinya terangkat, mengarah ke gagang pistol di pinggang. Ia mendekat perlahan, napasnya ditahan, matanya tajam mengamati sekeliling.

Dari balik pintu, terdengar suara napas cepat, seperti seseorang yang tengah menahan tangis. Raka segera masuk, dan yang dilihatnya membuatnya terdiam sejenak. Seorang perempuan muda, bersimbah debu, bersembunyi di balik meja tua. Tangannya memeluk lutut, tubuhnya gemetar, dan matanya memandang ke arah pintu seakan menunggu ajal.

“Aku bukan musuh,” ujar Raka pelan tapi tegas.

Perempuan itu terkejut, tubuhnya menegang, tapi tak bersuara.

“Namamu siapa?” tanya Raka, tetap menjaga jarak.

“A—Alya,” jawabnya dengan suara serak. “Mereka… membunuh semua orang di kantor. Aku… satu-satunya yang berhasil lari.”

Raka langsung memahami situasinya. Alya bukan sekadar korban. Jika ia diburu hingga sejauh ini, maka ia tahu sesuatu. Sesuatu yang penting. Terlalu penting untuk dibiarkan hidup oleh para pemberontak.

“Kalau kau tetap di sini, kau akan mati,” ucap Raka.

Alya menatapnya, ragu-ragu. Tapi dalam sorot matanya, ada tekad yang perlahan muncul di balik ketakutan. Ia mengangguk.

Tanpa banyak bicara, Raka menariknya keluar dari ruangan. Mereka kembali masuk ke lorong-lorong gelap kota yang kini terasa seperti kuburan berjalan. Setiap bayangan bisa saja menyimpan peluru. Setiap suara bisa menjadi sinyal kematian.

Di kejauhan, lampu sorot mulai menyisir jalan-jalan. Kendaraan lapis baja melintas pelan, disertai suara langkah sepatu bot yang menghantam aspal basah. Raka menarik Alya masuk ke balik reruntuhan. Jantung mereka berdetak serempak, seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja.

“Kita tidak bisa terus lari,” bisik Alya. “Aku tahu ke mana mereka akan bergerak selanjutnya.”

Raka menatapnya tajam. “Kalau kau benar, maka malam ini bukan soal bertahan hidup. Tapi soal memulai perlawanan.”

Dan di balik bayangan kota yang nyaris mati, dua orang kini menyiapkan langkah awal untuk menyulut api perubahan.

Bab 3: Sinyal yang Hilang

Langit belum sepenuhnya gelap saat antena terakhir di puncak gedung tua runtuh disapu ledakan. Suaranya menggema ke seluruh penjuru kota, seolah menandai dimulainya isolasi total. Tidak ada lagi berita, tidak ada lagi peringatan, dan yang paling penting—tidak ada lagi harapan dari luar.

Raka berdiri mematung di atap bangunan lima lantai, memandangi kerlip samar dari nyala api di kejauhan. Tangannya memegang radio genggam lama yang ia simpan sejak masa dinas aktif, tapi tak ada satu pun sinyal yang tertangkap. Hening. Sehening kematian.

“Tidak ada jaringan seluler, tidak ada sambungan internet, dan sekarang… radio pun mati,” katanya lirih sambil meletakkan radio ke pinggang. “Mereka benar-benar memutus kota ini dari dunia luar.”

Alya duduk di dekat tangga darurat, memeluk lututnya dengan wajah cemas. “Bagaimana kita bisa meminta bantuan? Semua akses keluar kota sudah dijaga.”

Raka tidak langsung menjawab. Ia tahu jawaban sebenarnya terlalu pahit untuk diucapkan. Mereka tidak bisa mengandalkan siapa pun. Mereka harus bertahan, bergerak, dan mencari informasi langsung dari sumbernya—meskipun itu berarti masuk lebih dalam ke wilayah musuh.

“Kita butuh seseorang,” ucap Raka akhirnya. “Seseorang yang masih punya jalur komunikasi alternatif. Seseorang yang tahu bagaimana sistem ini bekerja.”

Alya mengangkat wajahnya, ragu sejenak. “Ada satu orang… tapi aku tidak yakin dia masih hidup.”

“Siapa?”

“Namanya Dr. Gibran. Dia teknisi komunikasi di bawah Departemen Pertahanan. Dulu dia mengembangkan jaringan relay bawah tanah yang katanya bisa tetap aktif meskipun seluruh kota lumpuh. Tapi terakhir aku dengar, dia sudah menghilang sejak kudeta dimulai.”

Raka menyipitkan mata. Nama itu terdengar asing, tapi fungsinya sangat penting. Jika benar jaringan alternatif itu masih ada, maka mereka punya satu-satunya kunci untuk membuka blokade informasi.

“Di mana dia biasanya berada?”

“Laboratorium pribadinya. Di zona industri tua… tempat yang sekarang dikenal sebagai ‘Wilayah Mati’. Tidak ada yang berani masuk ke sana setelah pembantaian minggu lalu.”

Raka menarik napas dalam. Wilayah Mati adalah titik hitam di peta kota—teritori tanpa hukum yang kini dikuasai kelompok bersenjata bayaran.

“Kalau dia masih hidup, kita harus temukan dia. Sebelum orang-orang Bagas menemukannya lebih dulu.”

Alya menatap Raka, kali ini dengan sorot mata yang lebih tajam dari sebelumnya. “Kalau begitu, kita tidak punya pilihan selain berjalan ke neraka.”

Raka tersenyum tipis. “Kita sudah ada di sana. Sekarang saatnya menyusuri inti apinya.”

Di balik gelapnya malam dan senyapnya udara, mereka melangkah menuju Wilayah Mati. Sinyal hilang. Tapi harapan belum sepenuhnya padam.

Bab 4: Musuh yang Dikenal

Langkah Raka terhenti di depan sebuah pintu baja berkarat dengan simbol merah yang disemprotkan asal-asalan: tanda peringatan untuk siapa pun yang cukup nekat memasuki wilayah ini. Bau besi tua, oli terbakar, dan darah kering bercampur di udara. Ini benar-benar Wilayah Mati—tempat hukum mati dan manusia dijadikan alat atau bangkai.

Alya menggenggam lengannya erat. “Kau yakin dia ada di sini?”

“Tidak,” jawab Raka singkat, matanya tak lepas dari pintu di hadapan mereka. “Tapi seseorang yang mengenalnya ada di sini. Dan dia pasti tahu lebih dari yang kita pikirkan.”

Mereka menyusup masuk ke dalam koridor gelap yang hanya diterangi cahaya redup dari lampu neon kedip-kedip. Langkah kaki mereka menggema, bersaing dengan suara tetesan air dari pipa pecah di atas. Saat mereka mencapai sebuah aula besar yang dipenuhi meja logam dan peralatan laboratorium tua, suara itu muncul—suara yang sangat dikenalnya.

“Satu langkah lagi dan aku tembak lututmu, Rak.”

Raka langsung berhenti. Suara itu dingin, tapi tidak asing. Bahkan terlalu akrab.

“Aku tidak menyangka kau masih hidup, Tama,” jawab Raka tenang.

Dari balik bayangan, muncullah sosok bertubuh tegap dengan bekas luka memanjang di pelipis kanan. Tangannya memegang senapan laras pendek yang diarahkan tepat ke dada Raka. Di balik tatapan tajamnya, ada sejarah panjang yang tidak selesai.

“Seharusnya kau sudah mati malam itu, waktu kau menolak perintah dan membiarkan kami diseret dalam kekacauan,” ujar Tama. “Tapi ternyata kau justru muncul lagi di kota ini… di saat semua sedang dalam genggaman kami.”

Alya terkejut. “Kau kenal dia?”

Raka menoleh padanya, lalu kembali memandang Tama. “Kami dulu di regu yang sama. Sampai dia memilih untuk menjual informasi ke orang-orang yang kini menyerang kota.”

Tama tersenyum miring. “Kau tahu apa yang menyakitkan dari pengkhianatan, Rak? Itu bukan soal ditikam dari belakang. Tapi tentang siapa yang memegang pisaunya.”

Raka tak menjawab. Ia tahu Tama bukan sekadar musuh—ia adalah pengingat dari masa lalu yang pernah ia percayai. Dan kini, orang itu berdiri sebagai benteng pertama dalam misi mereka.

“Kami mencari Gibran,” ujar Raka. “Kau tahu di mana dia.”

Tama mengangkat senjatanya lebih tinggi. “Semua orang mencarinya sekarang. Tapi apa kau pikir aku akan membiarkanmu menyentuhnya lebih dulu? Tidak semudah itu.”

Sebelum pelatuk ditarik, Raka bergerak cepat. Sebuah peluru meledak ke udara, tapi meleset. Pertarungan jarak dekat pun meledak di tengah ruangan—pukulan keras, gesekan logam, dan suara meja ambruk memenuhi udara.

Alya berlari mencari perlindungan, sementara Raka dan Tama bertukar hantaman dalam duel yang lebih dari sekadar fisik—ini adalah pertarungan harga diri dan luka lama.

Akhirnya, Raka berhasil membalikkan keadaan. Ia menekan Tama ke lantai, tangan kiri mengunci pergelangan tangan lawan yang memegang senjata.

“Aku tidak datang untuk membunuhmu,” ujar Raka dengan napas terengah. “Tapi aku tidak akan ragu jika kau menghalangi.”

Tama terdiam, lalu tertawa kecil. “Kau belum berubah. Selalu ingin menjadi pahlawan.”

“Aku hanya ingin malam ini berakhir. Dan orang seperti Gibran bisa membantu.”

Setelah beberapa detik, Tama akhirnya mengangguk. “Dia masih hidup. Tapi dia dijaga. Tak akan mudah.”

Raka melepaskan cengkeramannya. “Tak ada yang mudah malam ini.”

Dan saat mereka bersiap meninggalkan ruangan, Raka tahu satu hal dengan pasti—musuh yang paling berbahaya bukanlah yang tidak dikenal, tapi yang pernah berjalan bersamamu dalam satu barisan.

Bab 5: Langkah dalam Gelap

Malam menjelma menjadi lorong tak berujung yang penuh jebakan. Cahaya bulan nyaris tak mampu menembus tebalnya kabut dan debu di udara, membuat setiap langkah terasa seperti menyusuri jurang gelap yang tak diketahui dasarnya. Di tengah kesunyian mencekam itu, Raka, Alya, dan Tama menyusup perlahan ke arah zona terdalam Wilayah Mati—tempat di mana Dr. Gibran dikabarkan terakhir kali terlihat.

Langkah mereka terhenti di depan bangunan pabrik tua yang tampak seperti tengkorak raksasa. Dinding-dindingnya retak, pintu-pintunya menganga seperti mulut yang siap menelan siapa pun yang masuk. Aroma besi berkarat dan sesuatu yang lebih busuk menyelimuti udara.

“Kita masuk lewat sini,” bisik Tama sambil menunjuk celah di belakang gudang kontainer. “Tapi hati-hati. Tempat ini bukan cuma gelap… tapi juga penuh mata.”

Raka mengangguk. Mereka masuk bergantian, menyelinap melewati tumpukan puing dan peralatan rusak. Di dalam, suara langkah sendiri pun terasa asing—terlalu keras, terlalu berbahaya. Setiap bayangan seperti mengintai, dan setiap detik seolah menunggu dentuman peluru yang bisa datang dari arah mana saja.

“Kenapa kau bantu kami sekarang?” tanya Raka pelan sambil memeriksa sudut ruangan dengan pistol terangkat.

Tama menjawab tanpa menoleh. “Karena aku sadar, tempat ini sudah berubah terlalu jauh dari tujuan awal. Orang-orang yang dulu kusebut kawan, kini lebih mirip binatang liar yang haus kekuasaan.”

Alya menyahut pelan, “Dan Gibran satu-satunya harapan untuk membuka kembali komunikasi?”

“Bukan hanya itu,” gumam Tama. “Dia tahu sesuatu. Sesuatu tentang rencana besar Bagas. Bukan hanya soal kota ini… tapi seluruh negeri.”

Perkataan itu membuat Raka menegang. Bukan lagi sekadar penyanderaan kota—ini tentang sistem yang hendak diruntuhkan dari dalam.

Langkah mereka berlanjut ke lorong bawah tanah, di mana penerangan hampir tak ada. Mereka hanya mengandalkan cahaya redup dari senter kecil di tangan Alya. Dinding lorong dipenuhi coretan-coretan peringatan dan simbol kelompok pemberontak.

Tiba-tiba, suara logam jatuh menggema dari arah kiri.

Mereka berhenti serentak.

Raka mengangkat tangannya, memberi isyarat untuk diam.

Dari kegelapan, terdengar langkah pelan—berat, namun tertata. Bukan langkah orang sembarangan.

Raka menunduk, menyelinap cepat ke balik pilar beton besar. Alya dan Tama mengikuti. Dalam hitungan detik, sekelompok pria bersenjata lengkap lewat di depan mereka. Mata mereka liar, tubuh mereka dipenuhi tanda dan lambang baru yang bahkan Raka belum kenali. Para pemburu.

Setelah mereka berlalu, Raka berbisik, “Mereka bukan pasukan Bagas biasa. Ini unit rahasia.”

Tama membalas lirih, “Itu yang kutakutkan. Bagas mulai membentuk pasukan bayangan. Mereka tak terikat aturan… dan tak mengenal belas kasihan.”

Ketika keadaan dirasa aman, mereka kembali bergerak. Lorong membawa mereka ke sebuah ruangan sempit dengan pintu baja besar di ujungnya. Di dinding, tertempel logo tua dengan lambang komunikasi dan kode yang samar: G-07.

“Ini dia,” ujar Alya.

Raka menyentuh pintu. Dingin. Terkunci dari dalam. Tapi ia tahu, di balik pintu ini, ada jawaban dari kekacauan yang menyelimuti malam. Dan mungkin… juga awal dari sesuatu yang jauh lebih besar.

Ia menoleh ke Alya dan Tama. “Apa pun yang kita temukan di balik pintu ini, kita tak bisa lagi mundur.”

Tama menarik napas dalam. “Langkah kita sudah masuk terlalu dalam ke dalam gelap. Satu-satunya jalan adalah terus maju.”

Dan di tengah sunyi yang mencekam, Raka mengetuk pintu baja tiga kali—tanda lama yang hanya dimengerti oleh orang-orang tertentu. Tak lama, terdengar bunyi gesekan dari balik logam… dan pintu perlahan terbuka.

Apa yang menunggu mereka di dalam akan mengubah segalanya.

Bab 6: Perang dalam Lorong Kota

Lorong bawah tanah itu tak lagi sekadar jalur tersembunyi—ia kini menjelma menjadi medan perang yang sempit, pengap, dan penuh kematian. Dinding-dinding beton yang dulunya hanya menjadi saksi bisu aliran listrik dan kabel komunikasi, kini dihiasi jejak peluru dan darah yang menghitam.

Raka berlari membungkuk, menghindari tembakan yang memantul dari pipa logam di atas kepalanya. Di belakangnya, Alya menghela napas berat, menggenggam senjata dengan tangan gemetar. Ini bukan lagi penyusupan diam-diam. Mereka sudah ditemukan.

“Terjebak,” desis Tama sambil menempelkan tubuhnya ke dinding, menarik napas cepat. “Mereka memblokir dua jalur keluar. Tinggal satu… tapi itu jalur air limbah.”

Raka menoleh cepat. “Kalau kita ke sana, kita kehilangan akses ke ruang pusat komunikasi.”

Tama mengangkat bahu, peluh menetes di pelipisnya. “Kalau tetap di sini, kita mati. Pilihannya jelas.”

Ledakan kecil mengguncang lorong. Sebuah granat asap dilempar dari arah musuh, menebarkan kabut putih yang mengaburkan pandangan. Dalam hitungan detik, lorong berubah menjadi neraka sunyi—di mana suara langkah kaki, derak senjata, dan napas tercekat menjadi penentu hidup atau mati.

Raka merangkak cepat ke sebuah celah sempit di samping dinding, lalu memberi isyarat pada Alya. “Lewat sini! Ayo!”

Mereka menyusuri lorong tambahan yang lebih gelap, lebih sempit, dan lebih licin oleh air yang merembes dari dinding tua. Di sana, suara tembakan terdengar lebih jauh, tapi gema ledakan masih terasa menghantam dada.

“Bagaimana mereka bisa tahu kita ada di sini?” tanya Alya terengah.

Raka menjawab sambil terus berjalan, “Seseorang memberi tahu mereka. Entah dari dalam… atau Gibran memang tak sebersih yang kita kira.”

Tama, yang berada di belakang mereka, mendesis marah. “Kalau Gibran menjebak kita, aku sendiri yang akan menarik pelatuk di kepalanya.”

Setelah beberapa menit menyusuri lorong sempit itu, mereka menemukan sebuah ruang bekas pos kendali bawah tanah—dindingnya dipenuhi peta lama kota dan monitor retak. Raka segera menutup pintu baja dan menguncinya. Untuk sesaat, hanya suara napas yang terdengar.

Alya duduk bersandar, wajahnya pucat. “Ini bukan sekadar penyergapan biasa. Mereka menargetkan kita.”

Raka mengangguk. “Bagas tahu keberadaan kita mengancam sesuatu. Entah itu jaringan rahasia, atau rencana yang lebih besar. Tapi satu hal pasti… kita semakin dekat dengan pusatnya.”

Tama berdiri di depan salah satu monitor, menyentuh kabel yang terjuntai. “Kalau Gibran tidak di sini, berarti kita harus ke titik koneksi utama—Terminal Bawah Kota.”

Raka terdiam sejenak. Terminal itu adalah pusat dari semua jalur komunikasi dan logistik kota lama. Tapi sejak kudeta, tempat itu telah berubah menjadi benteng milisi bersenjata.

“Kalau kita ke sana,” kata Raka perlahan, “maka ini bukan lagi penyelidikan. Ini akan jadi perang terbuka.”

Tama menoleh dan menatapnya tajam. “Perang sudah dimulai sejak malam kota ini meledak. Kita hanya belum ikut sepenuhnya.”

Raka menarik napas panjang. Ia tahu, tak ada jalan kembali. Mereka bukan lagi penyintas biasa. Mereka kini adalah sumbu dari perlawanan yang tak bisa diredam hanya dengan peluru.

Dan malam ini, di lorong-lorong gelap kota, perang itu akan pecah sepenuhnya.

Bab 7: Jejak yang Tertinggal

Hening menyelimuti kawasan reruntuhan bekas pusat pengawasan kota lama. Dinding-dindingnya hitam terbakar, kaca-kaca pecah berserakan, dan kabel-kabel menjuntai layu seperti akar-akar mati. Di sinilah dulunya informasi dari seluruh penjuru kota dikendalikan. Kini, yang tersisa hanyalah puing dan bayang-bayang masa lalu.

Raka melangkah pelan, menyingkap debu dengan ujung sepatunya. Setiap detik terasa berat, seolah tempat itu masih menyimpan suara-suara dari kejadian yang belum lama berlalu. Ia menunduk, mengangkat sebuah chip data hangus separuh.

“Masih bisa dibaca?” tanya Alya dari belakang.

Raka menggeleng. “Rusak. Tapi… lihat ini,” ujarnya sambil menunjuk simbol kecil di ujung chip—sebuah logo organisasi intelijen yang secara resmi sudah dibubarkan tiga tahun lalu.

Tama menyipitkan mata. “Itu lambang Divisi Bayangan. Organisasi yang pernah menangani operasi-operasi kotor pemerintahan sebelum mereka dijatuhi pembubaran paksa.”

Raka mengangguk, napasnya tertahan. “Jika chip ini ada di sini, berarti tempat ini pernah dijadikan pusat operasi rahasia. Dan bukan sembarang operasi.”

Alya mendekat, membuka catatan kecil dari saku jaketnya. Ia membandingkan simbol itu dengan daftar dokumen yang ia salin dari sistem lama kota. “Kode ini… cocok dengan salah satu proyek yang disebut Specter. Tapi tidak ada data isinya, hanya lokasi: Zona 3, sektor pengungsian bawah tanah.”

Tama bersiul pelan. “Zona 3? Tempat itu sudah ditutup sejak wabah meledak tiga tahun lalu. Tak ada yang berani masuk ke sana.”

“Justru itu,” balas Raka. “Kalau mereka menyimpan jejak operasi di tempat yang paling tak tersentuh, berarti yang disembunyikan bukan sekadar data… mungkin bukti. Atau saksi.”

Tiba-tiba, terdengar bunyi ketukan logam dari lantai dua bangunan itu. Mereka serempak mengangkat senjata.

Raka memberi isyarat diam. Langkah mereka pelan, menyusuri tangga yang retak dan berderak tiap diinjak. Di lantai atas, mereka menemukan seorang pria tua tergeletak, tangannya memegang kabel terbakar.

Ia mengangkat kepala perlahan, matanya berkabut namun tajam. “Kalian… bukan mereka,” gumamnya lemah.

Raka berlutut. “Siapa Anda? Apa Anda tahu apa yang terjadi di sini?”

Pria itu terbatuk keras. Suaranya parau. “Saya… teknisi terakhir yang bertugas di sini. Nama saya Seno. Saya menyimpan… cadangan data… di ruang bawah. Mereka mencarinya. Mereka pikir saya sudah mati.”

“Mereka siapa?” desak Alya.

Seno menatap mereka penuh peringatan. “Orang-orang Bagas… bukan hanya tentara. Mereka dibantu sisa Divisi Bayangan. Mereka ingin menghapus semua yang bisa membuka aib proyek lama.”

Raka menegang. Seno menyerahkan sebuah kunci logam kecil yang tergantung di lehernya. “Gunakan ini. Buka ruang penyimpanan di sektor G. Tapi hati-hati… mereka tidak akan membiarkan siapa pun yang membawa kebenaran keluar hidup-hidup.”

Tak lama kemudian, napas Seno terhenti. Diam dan sunyi mengunci ruangan itu sejenak.

Alya menunduk, menutup mata pria itu dengan pelan. “Dia satu dari sedikit yang tersisa… yang berani menyimpan kebenaran.”

Raka memandangi kunci di tangannya, lalu berkata lirih, “Jejak ini… bukan hanya bukti. Ini pemicu perang berikutnya.”

Mereka bertiga pun keluar dari reruntuhan, membawa satu hal yang lebih berbahaya dari senjata apa pun: kebenaran yang tertinggal dan tak ingin ditemukan.

Bab 8: Pengkhianatan dalam Radio Tua

Suara statis memenuhi ruangan sempit itu. Di sudut dinding, sebuah radio tua berdebu menyala samar, memancarkan sinyal lemah yang terdengar seperti bisikan dari masa lalu. Antena bengkoknya bergetar pelan, seolah sedang menyampaikan rahasia yang ingin dikubur dalam diam.

Raka berdiri terpaku di depan radio itu. Tangannya perlahan memutar kenop frekuensi, mencari titik yang tepat di antara ratusan gelombang mati. Di sela derak suara, terdengar potongan rekaman:

“…Operasi Specter dimulai pukul 02.00. Target: eliminasi saksi dan penghancuran data cadangan…”

Raka menoleh cepat ke arah Tama dan Alya. Wajah mereka sama tegangnya.

“Suara itu…” bisik Alya, suaranya nyaris tak terdengar. “Itu suara Gibran.”

Tama melangkah maju, menatap radio seolah itu adalah hantu. “Tidak mungkin. Gibran yang menyusun rencana penyelamatan. Dia yang memberi kita akses… Dia yang mengirim koordinat!”

“Dan dia juga yang menyuruh kita ke Zona 3,” potong Raka tajam. “Tempat di mana semua bukti bisa dihancurkan sekaligus.”

Radio kembali berbunyi. Kali ini suaranya lebih jelas.

“…Jika tim penyusup berhasil masuk ke fasilitas lama, aktifkan protokol penjebakan. Jangan beri ruang kabur. Mereka tidak boleh keluar hidup-hidup.”

Alya memalingkan wajahnya. Rahangnya mengeras. “Kita dijebak.”

Keheningan menggantung berat di antara mereka.

Tama menggeleng tak percaya. “Gibran bukan tentara biasa. Dia veteran. Kami pernah bertugas di medan yang sama. Dia bukan pengecut…”

Raka menatap Tama dengan dingin. “Mungkin dia bukan pengecut. Tapi dia punya kepentingan. Dan kepentingan itu lebih besar dari persahabatan.”

Seketika, radio berbunyi lagi, kali ini seperti transmisi langsung. Suara yang keluar membuat bulu kuduk mereka berdiri:

“…Untuk kalian yang mendengar ini, kalian terlalu dalam masuk ke dalam lubang yang tidak kalian pahami. Keluarlah… jika masih bisa. Tapi jangan kira aku tidak akan tahu.”

Alya menatap radio dengan tatapan tajam. “Itu… pesan langsung. Dia tahu kita di sini.”

Raka mematikan radio dengan satu hentakan keras. “Sudah cukup. Kita tahu sekarang siapa lawan sebenarnya.”

Tama menunduk, menggenggam senjata erat-erat. “Kalau begitu… kita hadapi dia. Tidak sebagai bawahan. Tapi sebagai mereka yang pernah percaya dan dikhianati.”

Raka menatap keduanya. Tatapannya penuh keputusan. “Kita tidak lagi mencari jawaban. Kita sedang menulis ulang akhir dari cerita busuk ini. Dan Gibran… akan menjadi halaman pertama yang dibakar.”

Malam itu, di tengah reruntuhan dan suara radio tua yang kembali hening, tiga orang yang dulunya hanya ingin kebenaran, kini membawa dendam, kepercayaan yang retak, dan tekad untuk menumbangkan pengkhianatan yang selama ini tersembunyi di balik suara ramah dan janji kosong.

Bab 9: Di Balik Wajah Teman

Hujan turun perlahan, membasahi atap-atap seng dan jalanan sempit di Distrik Kuno. Kilatan petir sesekali menerangi lorong-lorong gelap yang seolah menyimpan bisikan masa lalu. Di sinilah, di sebuah rumah tua dengan jendela tertutup rapat, Raka, Alya, dan Tama menanti seseorang yang tak pernah mereka duga akan menjadi lawan.

Pintu berderit terbuka.

Gibran berdiri di ambang pintu dengan mantel gelap, tubuhnya basah kuyup, tapi wajahnya tenang. Tatapan matanya tajam, dan senyumnya tak berubah. Senyum yang dulu memberi rasa aman, kini terasa seperti kedok.

“Raka,” sapa Gibran ringan, “lama tak bertemu. Masih suka terburu-buru menilai, ya?”

Raka menahan diri agar tidak langsung menarik pelatuk. Ia hanya menatap Gibran tajam, penuh luka dan kekecewaan. “Kami mempercayaimu. Tapi kau malah menuntun kami ke jebakan.”

Gibran meletakkan sarung tangan di meja, duduk tanpa diundang. “Percaya? Percaya pada siapa? Pada negara yang membuang kita seperti sampah setelah misi selesai? Atau pada sistem yang menyuruh kita membunuh tanpa bertanya mengapa?”

Alya menyela, suaranya dingin. “Dan karena itu kau balas dengan mengkhianati semua orang yang dulu berdiri bersamamu?”

Gibran menatap Alya. “Aku tidak mengkhianati kalian. Aku menyelamatkan kalian dari ilusi.”

Tama berdiri. Matanya berkaca. “Kau menyelamatkan? Kau membiarkan Seno mati. Kau hampir membakar seluruh sektor pengungsian. Itu bukan penyelamatan. Itu pembantaian terencana!”

Gibran menarik napas panjang. “Aku menjalankan perintah yang lebih tinggi dari pangkat atau negara. Aku mengikuti satu-satunya hukum yang tersisa: bertahan hidup. Kalian masih berpegang pada idealisme… padahal dunia kita sudah lama hancur.”

“Kalau begitu, katakan saja, siapa dalang dari semua ini?” tantang Raka.

Gibran tersenyum kecil. “Kalian sudah tahu jawabannya. Tapi kalian belum siap menerimanya. Aku hanya pion dari dewan lama, orang-orang yang kalian kira sudah mati bersama proyek Specter. Mereka hidup. Dan mereka tidak ingin rahasia lama bangkit.”

Alya melangkah maju. “Kami akan buka semua. Kami punya kunci penyimpanan. Kami punya bukti.”

Gibran berdiri. Wajahnya berubah dingin. “Kalau kalian pergi lebih jauh, tak ada jalan kembali. Dunia ini tidak akan memberi ruang bagi yang menyuarakan kebenaran. Kalian akan diburu, dihancurkan, dihapus.”

Raka maju selangkah. “Maka biar kami musnah sambil melawan, daripada hidup dalam kebohongan.”

Gibran menatap mereka satu per satu. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi, ia berjalan ke arah pintu. Tapi sebelum keluar, ia berbalik dan berkata lirih, “Ingat, Raka. Dalam peperangan ini, tidak semua wajah teman tetap menjadi kawan sampai akhir.”

Pintu tertutup. Suara hujan kembali mendominasi.

Tama menatap lantai kosong. “Dia bukan lagi orang yang dulu.”

Raka menggenggam kunci logam pemberian Seno. Tatapannya mengeras. “Tapi dia baru saja memberi kita petunjuk terakhir.”

Malam itu, tiga orang yang tersisa dalam kebenaran yang terbuang bersumpah: mereka akan membawa cahaya ke lorong tergelap sekalipun, meski harus kehilangan segalanya.

Bab 10: Rencana dalam Bayang-bayang

Kota itu, yang dulunya adalah pusat kehidupan, kini hanya menyisakan bayang-bayang masa lalu. Gedung-gedung yang hancur, jalanan yang kosong, dan langit yang selalu mendung seakan mencerminkan jiwa mereka yang terperangkap dalam bayang-bayang ketidakpastian.

Raka, Alya, dan Tama berkumpul di ruang bawah tanah yang tersembunyi. Lampu kuning yang redup hanya cukup menerangi meja besar di tengah ruangan. Di atas meja itu, tersebar peta kota, grafik data, dan sejumlah perangkat komunikasi yang mereka ambil dari fasilitas lama. Mereka sedang merancang rencana yang mungkin menjadi satu-satunya harapan mereka untuk mengungkap kebenaran dan menghentikan pergerakan gelap yang semakin kuat.

Raka memandangi peta dengan penuh konsentrasi. Jarinya menyentuh titik-titik yang telah mereka tandai. “Ini titik terakhir kita,” ujarnya pelan. “Sektor G, tempat mereka menyembunyikan segalanya—bukti, data, dan mungkin juga… kunci utama dari seluruh operasi ini.”

Alya menyandarkan punggungnya ke dinding, matanya memeriksa peta dengan waspada. “Masalahnya, kita tak bisa hanya mengandalkan data. Gibran sudah jelas mengatakan bahwa orang-orang di balik Divisi Bayangan tak akan membiarkan kita keluar hidup-hidup. Kita harus bersiap menghadapi lebih dari sekadar jebakan.”

Tama, yang sejak tadi hanya diam, akhirnya mengangkat wajahnya. “Gibran… dia bukan hanya pemimpin operasi. Dia juga tahu apa yang kita cari. Kalau kita bergerak tanpa perhitungan, kita bisa terjebak dalam permainan yang lebih besar.”

Raka mengangguk. “Itulah mengapa kita harus berencana lebih matang. Kami tidak hanya mengejar kebenaran, tapi juga bertaruh nyawa. Gibran bukan hanya berkhianat pada kita, tapi juga pada sistem yang dia ciptakan sendiri.”

Alya berdiri dan mendekat, tangannya menggenggam sebuah tas kecil. “Sebelum kita melakukan ini, ada satu hal yang harus kita pastikan: siapa lagi yang bisa kita percayai. Karena, kalau kita salah langkah, bukan hanya kita yang terjebak. Tapi seluruh kota ini akan hancur.”

Tama mengeluarkan sebuah perangkat komunikasi yang telah diprogram ulang. “Ini adalah saluran terenkripsi. Hanya ada satu orang yang bisa menghubungi kita melalui frekuensi ini—Seno. Dia meninggalkan petunjuk tentang keberadaan protokol terakhir. Kita harus segera menemukannya, sebelum orang-orang Gibran lebih dulu mendahului kita.”

Raka menatap layar perangkat itu, seolah memikirkan konsekuensinya. “Kita tahu ini akan sulit. Tapi kita tidak punya pilihan. Kita harus mengungkapkan semuanya, dan tidak akan berhenti sampai kebenaran itu keluar.”

“Apa pun yang terjadi, kita harus melangkah ke depan,” tambah Alya dengan tekad yang baru. “Tidak ada ruang untuk mundur.”

Di luar jendela, angin kencang menerpa bangunan tua yang telah berfungsi sebagai markas mereka. Mereka tahu waktu semakin sempit. Setiap keputusan yang mereka buat adalah sebuah taruhan. Satu langkah keliru, dan semuanya berakhir.

Raka menarik napas dalam-dalam, menatap Alya dan Tama dengan serius. “Kita akan masuk ke Sektor G malam ini. Kita akan menembus lapisan pertahanan terakhir mereka, membuka ruang penyimpanan yang terlindung rapat, dan menemukan data yang kita butuhkan. Tapi kita harus bergerak cepat dan senyap.”

Tama mengangguk, wajahnya tegas. “Jangan khawatir. Kami siap menghadapi apa pun.”

Alya menatap Raka, matanya penuh kebulatan tekad. “Dan kali ini, kita tidak akan terjebak dalam permainan mereka.”

Rencana sudah dibuat. Waktu sudah tiba. Mereka tahu, jalan yang mereka pilih ini adalah jalan terakhir yang bisa mengungkap kebenaran. Di balik bayang-bayang yang menghantui setiap langkah mereka, ada satu hal yang pasti: malam ini, mereka akan menghadapi musuh terbesar mereka—sebuah sistem yang lebih kuat, lebih licik, dan lebih gelap dari yang pernah mereka bayangkan.

Dan mereka akan berjuang, apa pun harganya.

Bab 11: Jebakan di Menara Tua

Malam itu, menara tua yang menjulang di ujung kota terlihat lebih menyeramkan dari sebelumnya. Dengan struktur yang rapuh dan tembok yang telah lapuk dimakan waktu, menara itu berdiri seperti penanda kehancuran, sebuah saksi bisu dari sejarah kelam yang ingin dilupakan. Namun, di balik reruntuhannya, tersembunyi rahasia yang bisa menghancurkan seluruh tatanan yang ada.

Raka, Alya, dan Tama berdiri di bawah bayang-bayang menara itu. Mereka memandangnya dengan hati yang waspada, tahu bahwa mereka berada di ambang sesuatu yang jauh lebih besar dari yang mereka bayangkan.

“Ini tempatnya,” kata Raka, suara rendah penuh ketegangan. “Gibran pasti tahu kita akan datang. Mereka sudah menyiapkan semuanya di sini.”

Alya memeriksa peralatan di tasnya, memeriksa ulang senjata dan perangkat komunikasi. “Kita tidak punya banyak waktu. Jika kita masuk dan salah langkah, semuanya akan berakhir.”

Tama mengangkat tangannya, memberi isyarat untuk berhenti. “Ada sesuatu yang tidak beres. Seperti ada yang mengawasi kita.”

Mereka berdiri diam sejenak, merasakan ketegangan yang menyelimuti udara di sekitar mereka. Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari arah belakang. Semua mata terfokus pada pintu gerbang menara yang perlahan terbuka, menciptakan suara yang menghantui.

Tiga sosok muncul dari balik bayangan, mengenakan pelindung gelap yang hampir menyatu dengan malam. Mereka bergerak cepat, hampir tak terlihat, menyusuri jalan sempit menuju pintu masuk menara. Tentu saja, itu bukan kebetulan.

“Anak buah Gibran,” gumam Raka, matanya tak lepas dari gerakan mereka. “Mereka sudah menunggu.”

Alya menggigit bibirnya, cemas. “Kita sudah dalam jebakan.”

Namun, Raka tetap tenang. “Jebakan mereka mungkin besar, tapi kita punya keuntungan satu hal—kita tahu mereka akan bergerak sesuai rencana mereka. Kita harus lebih cepat.”

Mereka bergerak, menyelinap ke dalam bayang-bayang gelap menara, melewati lorong-lorong sempit yang dipenuhi dengan debu dan asap sisa kebakaran. Setiap langkah terasa lebih berat, seolah-olah dinding di sekitar mereka semakin dekat, semakin menekan.

Menara itu lebih dari sekadar struktur fisik. Ia menyimpan arsitektur yang rumit dan perangkap tersembunyi. Raka dan timnya berjalan dengan hati-hati, menandai setiap langkah dengan teliti. Mereka tahu, di dalam sana, waktu mereka sudah habis.

Mereka mencapai ruang utama menara, sebuah ruang besar dengan langit-langit tinggi dan dinding yang tertutup oleh pelat baja. Di tengahnya, sebuah meja panjang dikelilingi oleh layar-layar monitor yang menampilkan berbagai data yang mereka butuhkan.

Namun, sebelum mereka bisa mendekat, sebuah suara menggema di ruangan itu.

“Selamat datang, Raka. Kami sudah menunggu kalian.”

Gibran muncul dari bayang-bayang, mengenakan pelindung taktis yang sudah familiar. Wajahnya terlihat lebih tenang dari sebelumnya, meski matanya menyimpan api yang tajam.

“Gibran…,” desis Raka, bibirnya mengerucut. “Jadi ini semua memang sudah direncanakan?”

Gibran tersenyum tipis. “Aku sudah memperingatkan kalian, kan? Tidak ada ruang untuk keluar dari permainan ini. Kalian terlalu jauh melangkah, dan sekarang, tidak ada yang bisa menyelamatkan kalian.”

Sebelum mereka sempat bergerak, alarm menjerit keras, mengubah suasana di ruang itu menjadi kacau. Pintu-pintu logam di sepanjang dinding menutup dengan cepat, membatasi setiap jalan keluar. Ketika semuanya serba gelap, tiba-tiba suara dentingan peluru terdengar, menembus dinding beton, menambah rasa terancam yang semakin menguat.

Alya menarik napas dalam-dalam. “Kita… terjebak.”

Tama segera bersiap. “Kita harus bergerak cepat. Ini bukan hanya soal bertahan hidup. Ini tentang menghentikan mereka sebelum semuanya terlambat.”

Gibran berdiri tak jauh dari mereka, tangan terlipat di dada. “Kalian tahu apa yang harus kalian lakukan, kan? Tapi jangan harap kalian bisa keluar dari sini hidup-hidup. Menara ini adalah kuburan terakhir bagi kalian.”

Raka menatap tajam Gibran. “Tidak, Gibran. Kali ini, kami yang akan menulis akhir cerita ini.”

Dengan satu pergerakan cepat, Raka memberikan isyarat kepada Alya dan Tama. Mereka tahu apa yang harus dilakukan. Meskipun jebakan semakin rapat, mereka tidak akan menyerah. Mereka akan menemukan cara untuk keluar dan mengungkap semua kebohongan yang sudah terlalu lama tertutupi.

Dan saat itulah, mereka mengetahui satu hal yang paling penting—perang ini baru dimulai.

Bab 12: Malam yang Lebih Gelap

Malam semakin larut, namun ketegangan di dalam menara tua itu justru semakin memuncak. Dinding beton yang dingin, lantai yang berderit setiap kali mereka bergerak, seakan mengingatkan mereka bahwa waktu mereka semakin habis. Setiap detik yang berlalu semakin menggerus harapan untuk keluar dari tempat itu hidup-hidup.

Raka berdiri di tengah ruangan, matanya tajam mengamati setiap sudut. Meski di luar, langit gelap tanpa bintang, ia merasa bahwa kegelapan malam ini jauh lebih dalam. Setiap pergerakan yang mereka lakukan terasa semakin terjepit, seolah-olah mereka semakin berada dalam pelukan maut yang tak terelakkan.

Alya berjalan cepat mendekati meja, matanya meneliti layar-layar monitor yang memancarkan cahaya redup. “Gibran… dia pasti sudah mempersiapkan semuanya,” gumamnya, seolah berbicara pada dirinya sendiri.

“Ini bukan hanya soal rencana. Ini soal pengkhianatan yang lebih besar,” jawab Raka, suaranya penuh ketegasan. “Kami hanya sekedar pion dalam permainan ini, tapi kita harus mencari celah untuk menghentikan semuanya.”

Tama, yang sejak tadi diam, akhirnya bersuara. “Aku bisa merasakannya. Mereka sudah mengatur langkah kita, dan kita sudah terjebak dalam permainan mereka. Tapi masih ada satu hal yang tidak mereka pertimbangkan.”

Raka menatapnya tajam. “Apa itu?”

Tama mengangkat senjata di tangannya dan tersenyum tipis. “Kita tidak takut mati. Itu yang membedakan kita dari mereka.”

Alya menarik napas dalam-dalam, menatap layar yang menunjukkan jalur komunikasi terenkripsi. “Ini dia. Data yang kita cari. Jika kita bisa mengakses ini, kita bisa mengungkap semuanya—operasi yang mereka jalankan, pengkhianatan yang terjadi, dan siapa yang benar-benar mengendalikan semuanya.”

Namun, sebelum mereka bisa melangkah lebih jauh, pintu ruang utama menutup dengan suara keras. Gibran muncul dari balik bayang-bayang, matanya penuh dengan rasa percaya diri yang menyakitkan. “Kalian benar-benar berpikir bisa menghentikan saya?” ujarnya, suaranya penuh tantangan. “Semua yang kalian coba cari sudah ada di tangan saya. Kalian tidak akan pernah bisa keluar dari sini.”

Raka menggeram. “Gibran, ini bukan hanya tentang kalian. Ini lebih besar dari yang kalian bayangkan. Kami akan membuka semua yang tersembunyi, meskipun harus mengorbankan segalanya.”

Alya melangkah maju, tak gentar meskipun ancaman Gibran semakin nyata. “Kalian mungkin punya kekuatan, tapi kalian tidak tahu siapa yang kalian hadapi. Ini bukan hanya perang fisik, ini perang ideologi. Kami melawan kalian untuk masa depan yang lebih baik.”

Gibran tersenyum dingin. “Ideologi? Jangan mengada-ada. Ini bukan tentang itu. Ini tentang siapa yang mengendalikan kekuasaan, siapa yang memiliki kendali. Dan kalian… kalian hanya sekelompok orang yang terlalu percaya diri.”

Tama mengangkat senjata, bersiap menghadapi ancaman yang semakin dekat. “Kami tidak peduli apa yang kalian kendalikan. Yang kami pedulikan sekarang adalah mengungkap semua kebohongan ini, bahkan jika itu berarti kami harus melawan kalian sampai akhir.”

Dalam sekejap, suara ledakan terdengar dari luar, menggetarkan seluruh menara. Raka menoleh cepat, menyadari bahwa mereka tidak lagi memiliki banyak waktu. “Kita harus segera bergerak. Jika kita tidak bertindak sekarang, kita akan kehilangan segalanya.”

Namun, Gibran hanya berdiri tenang, seolah tak terpengaruh dengan situasi yang semakin genting. “Kalian pikir ini akan berakhir seperti itu? Tidak ada tempat untuk lari, tidak ada tempat untuk bersembunyi. Kalian sudah terjebak dalam labirin yang saya buat. Tidak ada jalan keluar.”

Raka, Alya, dan Tama saling bertukar pandang. Mereka tahu, kali ini adalah ujian terbesar dalam hidup mereka. Mereka tidak hanya melawan Gibran, tetapi juga melawan sistem yang telah terbangun dengan sangat rapat. Sebuah sistem yang tidak akan membiarkan siapa pun lolos begitu saja.

“Jika malam ini adalah malam terakhir kami, maka biarkan itu menjadi malam yang menunjukkan siapa yang benar-benar mengendalikan takdir,” ujar Raka dengan suara penuh tekad.

Mereka bergerak, berlari menuju pintu darurat yang tersembunyi di sudut ruangan. Ledakan-ledakan yang semakin dekat hanya menambah kegelisahan mereka. Suara tembakan yang terdengar dari luar semakin memanaskan suasana.

Namun, saat mereka mencapai pintu keluar, sebuah suara keras menggetarkan seluruh menara.

“Jangan coba melarikan diri!” teriak Gibran, suaranya penuh amarah. “Ini belum selesai!”

Tapi mereka tidak berhenti. Tidak ada waktu lagi. Mereka berlari melewati lorong-lorong yang gelap, bergerak cepat dengan harapan bahwa mereka masih punya kesempatan untuk menggagalkan rencana Gibran.

Malam itu, gelap semakin pekat, dan langkah mereka semakin dekat dengan titik tanpa kembali. Namun, ada satu hal yang pasti—mereka tidak akan menyerah begitu saja. Mereka akan berjuang sampai akhir.

Bab 13: Pertarungan Tanpa Ampun

Menara tua itu kini bergetar hebat, seakan seluruh dunia terbalik, tercabik-cabik oleh ledakan yang menggema di luar. Langkah-langkah kaki mereka yang terburu-buru di lorong sempit semakin cepat, darah mereka berdegup keras, seiring dengan detakan jam yang hampir habis. Waktu telah menjadi musuh yang tak bisa ditawar lagi.

Raka menatap ke depan, matanya penuh tekad. Tidak ada ruang untuk mundur. Mereka sudah terlalu jauh untuk berhenti sekarang. “Kita harus menyelesaikannya malam ini,” kata Raka, suara seraknya bergema di ruang kosong menara.

Alya berjalan di sampingnya, wajahnya keras, penuh keberanian meski rasa cemas masih menggelayuti hati. “Gibran sudah mengatur semuanya dengan cermat. Tapi aku yakin, kita bisa menggagalkan rencananya, asalkan kita tetap satu langkah di depan mereka.”

Tama yang sejak tadi diam, tiba-tiba berlari mendahului mereka. “Tidak ada jalan lain. Jika kita tidak berani menghadapi mereka sekarang, maka semuanya akan berakhir. Kita harus siap untuk bertarung—tanpa ampun.”

Suasana semakin mencekam. Suara tembakan dari luar semakin sering terdengar, menandakan bahwa pasukan Gibran sudah bergerak lebih agresif. Mereka tahu bahwa tak ada waktu lagi untuk ragu. Musuh sudah begitu dekat. Jika mereka tidak segera bertindak, mereka akan terperangkap dalam pertempuran yang tak terhindarkan.

Mereka tiba di sebuah ruang besar, sebuah ruang terbuka yang dihiasi dengan lampu temaram, menciptakan bayangan panjang di setiap sudutnya. Di tengah ruangan, Gibran berdiri dengan tenang, dikelilingi oleh para pengikutnya yang siap bertindak. Wajahnya tersenyum sinis, seolah merasa unggul.

“Kalian pikir kalian bisa menghentikan saya?” suara Gibran menggema, penuh rasa kemenangan. “Kalian sudah terlambat. Semua ini sudah dipersiapkan dengan sangat sempurna.”

Raka, Alya, dan Tama tidak menunjukkan rasa takut. Mereka sudah siap untuk menghadapi segala kemungkinan. “Kami tidak pernah takut pada orang seperti kamu, Gibran,” kata Raka dengan penuh keberanian. “Kali ini, kami yang akan mengakhiri permainan ini.”

Gibran tertawa pelan, seolah tidak peduli. “Kalian tidak tahu siapa yang sedang kalian hadapi. Ini bukan hanya tentang kekuatan fisik, ini tentang siapa yang bisa bertahan lebih lama. Dan kalian… kalian sudah kehabisan waktu.”

Tiba-tiba, suara keras terdengar. Pintu besar di belakang mereka terbuka lebar, dan pasukan Gibran masuk dengan cepat, menyerbu ke arah mereka. Sebuah pertempuran yang sudah dipastikan akan terjadi, dan mereka tidak bisa mundur lagi.

Raka mengangkat senjatanya dengan tegas. “Alya! Tama! Jangan biarkan mereka mendekat!” serunya.

Tanpa menunggu perintah lebih lanjut, Alya segera melompat ke depan, melepaskan tembakan dengan presisi tinggi, menumbangkan dua orang pengawal Gibran yang terlalu dekat. Tama dengan sigap bergerak cepat, menyerang dari sisi kiri, memukul jatuh seorang prajurit yang mencoba menyerangnya. Sementara itu, Raka bergerak ke tengah, menghadapi Gibran secara langsung.

Gibran tersenyum puas, melangkah maju dengan langkah tenang, meski tangan kirinya memegang pistol yang siap digunakan. “Kalian berani sekali, tapi kalian sudah terlambat. Aku tidak akan berhenti sampai semuanya selesai.”

Raka menatap tajam Gibran, kemudian melompat ke depan dengan kecepatan yang mengejutkan, menghindari tembakan yang dilepaskan Gibran, dan dalam sekejap meninju wajah Gibran dengan keras. Gibran terhuyung mundur, namun tidak jatuh. Wajahnya yang keras membentuk ekspresi marah yang mencekam.

“Kamu pikir bisa mengalahkanku begitu saja?” teriak Gibran, matanya berkilat penuh amarah.

Raka tidak menjawab, hanya menyeringai. “Ini adalah akhir dari perjalananmu, Gibran.”

Pertarungan semakin sengit. Di satu sisi, Alya dan Tama bertarung dengan para pengawal yang semakin banyak, namun mereka tetap bergerak dengan cekatan, saling mendukung satu sama lain, tidak memberi ruang untuk musuh mereka. Raka dan Gibran saling bertukar pukulan dan tembakan, seolah-olah tidak ada akhir bagi pertempuran ini. Keduanya tahu, hanya satu yang bisa keluar dari menara itu hidup-hidup.

Saat Raka berhasil melontarkan pukulan terakhir yang memaksa Gibran terhuyung mundur, Alya dan Tama berhasil mengalahkan sisa pasukan yang ada. Namun, Raka tahu, meskipun mereka memenangkan pertempuran ini, Gibran masih menjadi ancaman yang harus diselesaikan.

Gibran berdiri tegak, meski darah mengalir dari hidungnya. “Kalian tidak akan pernah bisa menghentikan semua ini. Kekuasaan sudah ada di tangan yang tepat.”

Raka mendekat dengan langkah tenang, mata penuh tekad. “Kekuasaan yang kamu cari itu, Gibran, akan runtuh. Ini bukan hanya soal kita. Ini soal masa depan. Dan malam ini, kita akan membuktikan bahwa keadilan akan menang.”

Dengan satu langkah cepat, Raka menyerang lagi, kali ini lebih pasti, dengan gerakan yang lebih terukur. Gibran berusaha menghindar, tetapi sudah terlambat. Pukulan terakhir yang dilancarkan Raka mendarat tepat di dada Gibran, mematikan langkahnya.

Gibran jatuh ke lantai, wajahnya penuh kekalahan. “Kalian… menang…” bisiknya, sebelum matanya terpejam untuk selamanya.

Raka, Alya, dan Tama berdiri di tengah medan pertempuran yang telah berhenti. Suara napas mereka yang terengah-engah dan dentingan senjata yang jatuh ke lantai menjadi satu-satunya suara yang terdengar.

Mereka tahu, ini belum berakhir. Pertarungan mereka belum selesai. Namun, malam ini, mereka berhasil menghentikan satu musuh besar.

Namun, dalam hati mereka, ada satu pertanyaan yang masih menggantung. Siapa yang akan datang setelah ini? Siapa yang akan mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh Gibran?

Bab 14: Api yang Tak Pernah Padam

Malam itu, meskipun Gibran telah jatuh, ada sesuatu yang tak dapat dipadamkan begitu saja—api yang membara dalam hati mereka, api yang tak pernah padam. Mereka telah melewati pertempuran hebat, mengalahkan musuh yang mengancam hidup mereka, namun kemenangan itu terasa kosong. Seperti sebuah badai yang datang begitu cepat, menyapu semuanya, namun meninggalkan puing-puing yang sulit untuk diperbaiki.

Raka berdiri di tepi jendela, menatap ke luar. Langit malam gelap tanpa bintang, hanya sesekali kilatan cahaya dari api yang membakar gedung-gedung yang telah hancur. Kota itu, yang sempat menjadi saksi pertempuran sengit, kini terdiam. Namun di dalam dirinya, hati Raka tidak bisa tenang. Ada sesuatu yang mengganjal, sebuah perasaan bahwa perang ini masih jauh dari selesai.

“Alya, Tama,” panggilnya, suaranya tenang namun penuh beban. “Kita menang, tapi apa kita benar-benar bebas?”

Alya duduk di meja, wajahnya terlihat lelah, namun tatapannya tetap tajam. “Kemenangan itu hanyalah langkah awal. Musuh yang kita hadapi bukan hanya Gibran. Mereka yang ada di baliknya masih bersembunyi, dan mereka tidak akan berhenti begitu saja.”

Tama, yang sejak tadi diam, akhirnya berbicara. “Apa yang kita hadapi ini lebih besar dari sekadar organisasi. Ini tentang sistem yang sudah mengakar begitu dalam, yang sudah mencengkeram kota ini dengan cara yang tak terlihat. Gibran hanyalah salah satu bagian dari rencana yang lebih besar.”

Raka menghela napas panjang. “Dan kita hanya baru menggaruk permukaannya.”

Di luar, ledakan kembali terdengar. Kali ini, suara itu lebih dekat, dan seakan memecah kesunyian malam yang sempat tercipta. Api berkobar di horizon, memberikan bayangan mengerikan di atas puing-puing kota yang hancur. Seolah-olah kota ini sendiri tak pernah benar-benar mati, melainkan hanya tidur sebentar sebelum kembali bangkit.

Alya berdiri dan menghadap Raka. “Kita harus berhenti berpikir bahwa kita bisa mengakhiri semuanya malam ini. Perang ini belum selesai, Raka. Mungkin kita telah menghentikan Gibran, tapi api ini—” dia menunjuk ke arah api yang terus berkobar di kejauhan, “—tak akan pernah padam sampai kita menghancurkan seluruh sistem yang ada.”

Raka memejamkan mata sejenak, merasakan betapa beratnya beban yang mereka bawa. Mereka sudah begitu jauh. Mereka sudah membunuh, menyakiti, dan kehilangan banyak hal. Tapi mereka juga tahu, jika mereka berhenti sekarang, semua pengorbanan itu akan sia-sia. “Kita harus mencari siapa yang berada di balik semua ini,” katanya, matanya kini penuh tekad. “Kita akan menemukan mereka, dan kali ini, kita akan menuntaskan semuanya.”

Tama mengangguk setuju. “Satu-satunya cara untuk memadamkan api ini adalah dengan menghancurkan sumbernya. Kita sudah mengetahui sebagian dari rencananya, tapi masih ada banyak bagian yang tertutup rapat. Waktu kita semakin sedikit.”

Raka menatap ke luar jendela, melihat kota yang hancur namun tak kalah indahnya. “Kota ini tak akan pernah sama lagi. Kita juga tak akan pernah sama lagi.”

Alya mendekat, menepuk bahunya. “Kita tidak bisa kembali, Raka. Semua ini sudah menjadi bagian dari kita. Api ini, meskipun tak bisa kita padamkan, adalah sesuatu yang harus kita hadapi. Selama kita masih hidup, kita akan terus berjuang.”

Tama menambahkan, “Kita sudah membayar harga yang sangat mahal. Tapi jika kita menyerah, semua yang kita lakukan akan sia-sia.”

Raka mengangguk. “Kita sudah berjalan sejauh ini, tidak ada jalan pulang lagi. Api ini akan terus membara, tapi kita yang akan mengendalikannya.”

Keteguhan hati mereka semakin jelas. Perjuangan ini, meskipun penuh penderitaan, tidak akan mereka tinggalkan. Meskipun mereka tidak tahu berapa banyak lagi yang harus mereka korbankan, mereka tahu satu hal pasti—mereka tidak akan mundur.

Di luar, api yang menyala-nyala itu terus memancar ke langit yang semakin gelap. Sebuah simbol dari pertempuran yang tak pernah selesai. Api itu akan terus membakar, mungkin sampai dunia ini runtuh. Namun, di dalam hati mereka, api itu bukan hanya sebuah ancaman—melainkan sebuah janji.

Mereka akan terus berjuang. Dan untuk itu, mereka harus siap menghadapi segala sesuatu yang akan datang, apapun harganya.

Bab 15: Kedamaian yang Harus Diperjuangkan

Malam itu, Raka berdiri di pinggir reruntuhan kota yang hancur. Di belakangnya, Alya dan Tama juga mengamati pemandangan yang sama. Hujan gerimis mulai turun, membasahi wajah mereka yang penuh kelelahan, namun juga tekad yang tak tergoyahkan. Kota ini, yang telah lama dilanda perang dan kekacauan, akhirnya terlihat sepi. Api yang dulu berkobar kini telah padam, meninggalkan jejak-jejak hitam di langit malam.

Kedamaian yang selama ini mereka perjuangkan kini berada di ujung mata. Namun, rasa lega itu tidak langsung datang. Raka tahu, seperti halnya api yang tak pernah benar-benar padam, kedamaian ini pun harus diperjuangkan dengan cara yang lebih sulit—bukan hanya dengan kekuatan, tetapi juga dengan pengorbanan yang lebih besar.

“Apa yang sekarang kita lakukan, Raka?” tanya Alya, suara lembutnya terselip rasa cemas. “Apa yang kita harapkan setelah semuanya berakhir? Apakah kita benar-benar bisa menemukan kedamaian di antara puing-puing ini?”

Raka menatap langit yang kelam, menatap kota yang dulunya penuh kehidupan namun kini sepi dan hancur. Hujan kecil ini seolah menjadi lambang bahwa segala sesuatu yang telah berlalu tak akan pernah bisa kembali seperti semula. “Alya, kedamaian itu bukan sesuatu yang datang begitu saja. Kita harus berjuang untuk mendapatkannya—setiap langkah, setiap keputusan, setiap pengorbanan yang kita buat. Kita harus membangun kembali apa yang sudah dihancurkan.”

Tama yang berada di samping mereka mengangguk pelan, menatap ke arah pusat kota yang terbakar. “Semua ini belum berakhir, Raka. Musuh besar kita memang sudah jatuh, tapi ada banyak orang yang masih terperangkap dalam sistem yang telah lama menguasai kota ini. Perjuangan kita belum selesai.”

Raka menoleh dan melihat wajah mereka. “Kalian benar. Tapi kita sudah mengalahkan musuh terbesar. Itu memberi kita kesempatan untuk memperbaiki segalanya, untuk memberi orang-orang di kota ini harapan baru. Kita harus mencari cara untuk membuat mereka percaya bahwa kedamaian ini bisa terjadi.”

Di kejauhan, terdengar suara-suara kendaraan yang mendekat, dan dari balik kabut, pasukan keamanan yang tersisa mulai bergerak. Mereka bukan hanya datang untuk membersihkan sisa-sisa pertempuran, tetapi juga untuk mengatur kembali kehidupan yang hampir pupus. Namun, tidak ada yang bisa kembali seperti sebelumnya. Kota ini akan membutuhkan lebih dari sekadar pasukan untuk bisa sembuh.

Raka berjalan pelan menuju kendaraan yang datang, diikuti oleh Alya dan Tama. Mereka tahu, tugas mereka belum selesai. Pasukan yang datang hanyalah langkah pertama dalam proses panjang pemulihan. Mereka tidak hanya harus menumpas kelompok-kelompok sisa yang bersembunyi, tetapi juga membangun kembali kepercayaan antara penduduk dan aparat keamanan. Kota yang rusak ini membutuhkan lebih dari sekedar kekuatan untuk menyatukannya kembali—ia membutuhkan keberanian dan komitmen untuk menciptakan masa depan yang lebih baik.

Di jalan utama yang hancur, mereka bertemu dengan pemimpin pasukan yang baru saja tiba, Mayor Angga. Wajahnya keras, namun penuh keletihan. “Kami datang terlambat,” katanya, suara berat. “Tapi kami akan memastikan tidak ada lagi yang terlewatkan.”

Raka mengangguk. “Kedamaian ini bukan hanya tentang mengalahkan musuh. Ini tentang memberi kesempatan kepada semua orang untuk memulai kembali. Kita harus bekerja sama, tidak ada lagi perpecahan.”

Alya menyambung, “Kita tidak bisa hanya bergantung pada kekuatan senjata. Kota ini membutuhkan lebih dari itu—harapan, kepercayaan, dan kesempatan untuk hidup dengan damai.”

Mayor Angga terdiam sejenak, menatap mereka, lalu perlahan mengangguk. “Kami siap. Tapi ini bukan tugas yang mudah. Kita akan membutuhkan semua orang untuk memperbaikinya, bahkan mereka yang dulu pernah salah jalan. Tidak ada yang bisa kita abaikan lagi.”

Raka menatap mata Mayor Angga, lalu beralih ke Alya dan Tama. Mereka tahu, ini adalah langkah pertama yang sangat berat. Tapi mereka juga tahu, ini adalah pilihan yang tidak bisa dihindari. “Mari kita mulai,” kata Raka dengan suara yang tegas. “Malam ini kita akan membangun kedamaian yang baru. Dan kita akan menjaga api ini tetap hidup, karena kedamaian ini harus diperjuangkan setiap hari.”

Mereka melangkah bersama, dengan tekad yang sama. Tidak ada lagi pertarungan fisik yang harus mereka hadapi, tetapi perjuangan mereka sekarang adalah melawan kebencian, ketakutan, dan kerusakan yang ada dalam jiwa orang-orang. Mereka harus menunjukkan bahwa kedamaian bukan hanya tentang tidak adanya perang, tetapi tentang hidup bersama, dengan saling menghargai dan memberi kesempatan kedua.

Malam semakin larut, namun jalan panjang mereka baru dimulai. Api yang tak pernah padam itu, kini bukan lagi api kehancuran, tetapi api yang menyala sebagai simbol keberanian dan harapan. Mereka tahu, kedamaian yang mereka cari tidak akan mudah diraih. Namun, selama mereka tetap berdiri bersama, mereka akan terus berjuang untuk itu.

Karena kedamaian, pada akhirnya, adalah sesuatu yang harus diperjuangkan—bukan hanya dengan kekuatan, tetapi dengan hati yang tulus dan tekad yang tidak pernah pudar.***

——————————THE END—————————

Source: Shifa Yuhananda
Tags: ApiYangTakPernahPadamHarapanYangKembaliKeberanianDalamKehancuranKedamaianYangDiperjuangkanKotaYangHancurPengorbananUntukMasaDepanPerjuanganKedamaianPertempuranTanpaAkhir
Previous Post

DI BALIK SENYUMAN YANG TERSEMBUNYI

Next Post

MENCARI ARTI DI SETIAP JEDA

Next Post
MENCARI ARTI DI SETIAP JEDA

MENCARI ARTI DI SETIAP JEDA

SATU LANGKAH DARI KEMATIAN

SATU LANGKAH DARI KEMATIAN

RINDU YANG TERSISA

RINDU YANG TERSISA

MOVIE REVIEW

No Content Available

RECENT MOVIE

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025

Tentang Kami

NovelStory.id adalah platform media online yang menghadirkan beragam cerita menarik seperti dalam novel dan drama, dirancang untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan yang berkualitas dan penuh imajinasi. Kami percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh hati, menginspirasi, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh keajaiban.

Recent News

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025

Follow Us

  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 https://novelstory.id

No Result
View All Result
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah

© 2025 https://novelstory.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In