Bab 1: Warisan yang Terlupakan
Suasana mendung menggantung di langit saat Raka pertama kali menginjakkan kaki di halaman rumah peninggalan kakeknya. Daun-daun kering berserakan, tertiup angin pelan yang membawa aroma tanah basah dan sesuatu yang asing—seperti kayu lapuk dan bunga melati yang sudah lama mati. Rumah tua itu berdiri angkuh di ujung desa, sedikit menjauh dari rumah-rumah warga, seolah disengaja.
Raka memandangi bangunan itu dari gerbang, matanya menyapu jendela-jendela tinggi yang tertutup tirai kusam. Sudah lebih dari dua puluh tahun sejak terakhir kali ia datang ke sini, waktu kecil, saat ibunya masih hidup. Sejak itu, rumah ini seperti menghilang dari hidupnya—dan dari ingatannya.
Kakeknya, Wiratma, baru saja meninggal dua minggu lalu. Karena tak ada ahli waris lain, rumah tua ini otomatis menjadi miliknya. Pengacara keluarga mengirimkan surat resmi: “Silakan tinjau properti dan urus dokumen warisan. Kunci tersedia di kantor desa.”
Sekarang, di sinilah ia. Berdiri di depan masa lalu yang tak sepenuhnya ia ingat, namun entah mengapa membuat bulu kuduknya berdiri.
“Berantakan,” gumam Raka sambil mendorong pintu depan. Engselnya berderit panjang, seperti mengeluh karena dibuka kembali setelah bertahun-tahun. Bau apak langsung menyambutnya. Rak-rak buku penuh debu, perabot kayu ditutupi kain putih yang sudah menguning, dan lantai papan yang mengeluarkan bunyi di setiap langkah.
Ia menyalakan senter dari ponselnya dan mulai berkeliling. Di ruang tamu, ia menemukan kursi goyang tua yang perlahan bergoyang sendiri seolah baru saja ditinggalkan. Di atas meja kecil, terdapat bingkai foto hitam putih—potret kakeknya dengan tatapan tajam dan senyum tipis yang tidak hangat.
Raka memalingkan muka dan naik ke lantai dua. Ia memilih kamar yang menghadap ke kebun belakang. Setelah membersihkan tempat tidur seadanya dan menyalakan lilin yang ditemukan di laci, ia rebah. Lelah. Tapi bukan hanya oleh perjalanan.
Malam pertama.
Pukul satu dini hari, Raka terbangun karena bunyi ketukan pelan. Tok… tok… tok…
Ia membuka mata, mendengar dengan cermat. Tidak ada lagi suara. Tapi detik berikutnya, terdengar derak kayu dari lantai bawah. Suara langkah kaki. Perlahan. Tidak terburu-buru. Seperti seseorang berjalan bolak-balik.
Raka bangkit, mengambil senter ponsel. Ia membuka pintu kamar dan melongok ke bawah dari tangga. Gelap. Sepi.
Mungkin tikus, pikirnya. Rumah tua seperti ini pasti jadi sarang hewan kecil. Tapi langkahnya terlalu berat untuk seekor tikus, dan terlalu teratur untuk suara biasa. Ia menelan ludah dan kembali ke kamar. Tapi malam itu, ia tidur dengan lampu menyala.
Pagi harinya, Raka memutuskan menyusuri ruang bawah tanah. Ia ingat pernah bermain di sana waktu kecil. Sebuah gudang kecil dengan banyak barang antik. Tangga ke bawah terasa sempit dan lembap. Saat menyalakan senter, cahaya langsung memantul ke benda-benda tua—peti, lukisan, bahkan boneka porselen yang kehilangan satu mata.
Namun yang menarik perhatiannya adalah lemari besar di pojok ruangan, hampir tersembunyi di balik tumpukan karung goni. Pintu lemari itu terkunci. Tapi saat Raka menyentuhnya, engselnya bergoyang seolah baru saja dipakai.
Aneh. Lemari tua tidak seharusnya terasa hangat.
Ia mendekatkan telinga. Diam. Lalu—ketukan pelan dari dalam. Satu. Dua. Tiga.
Raka mundur beberapa langkah, napasnya tercekat. Lalu ia tertawa gugup, memaksakan logika untuk meredam rasa takut. “Pasti tikus. Atau suara kayu mengembang karena lembap,” katanya sendiri.
Namun sebelum ia keluar dari ruang bawah tanah, ia menoleh sekali lagi ke lemari itu.
Lemarinya sedikit terbuka. Padahal ia yakin tadi tertutup rapat.
Hari-hari berikutnya dipenuhi dengan kejadian kecil tapi membuat gelisah. Suara langkah yang tak jelas asalnya. Bayangan melintas di cermin. Lentera tua di lorong ruang belakang yang tiba-tiba menyala sendiri saat malam.
Raka mulai merasa seperti diawasi. Rumah ini seolah punya mata sendiri. Kenangan masa kecil mulai kembali. Tentang suara tangisan dari balik lantai. Tentang peringatan ibunya yang selalu berkata, “Jangan pernah buka pintu kecil itu. Yang tersembunyi bukan berarti sudah hilang.”
Namun kini ia sendirian. Dan pintu kecil yang pernah dilarang untuk dibuka… entah kenapa seolah memanggilnya kembali.
Bab 2: Lorong yang Tersembunyi
Hujan turun sejak sore, merintik pelan di atas genteng tua yang seperti sudah bosan menahan waktu. Raka duduk di ruang makan yang gelap, hanya ditemani cahaya dari senter kecil dan secangkir kopi instan yang sudah dingin. Di luar, malam merayap perlahan, membawa hawa dingin dan bisikan sunyi yang entah datang dari mana.
Sejak kejadian di ruang bawah tanah, pikirannya tidak tenang. Ia mencoba menyibukkan diri dengan membersihkan rumah, mengisi waktu dengan merekam bagian-bagian bangunan yang bisa direnovasi. Tapi malam tetap datang dengan keganjilan yang sama: lentera tua yang menyala sendiri, suara-suara samar, dan perasaan seperti tidak sendirian.
Malam ini, ia memutuskan untuk kembali ke ruang bawah tanah. Bukan karena berani. Justru karena rasa penasaran yang kian menggigit. Ia harus tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ia harus melihat sendiri—bukan menebak-nebak dari ketakutan.
Lampu senter menyorot tangga sempit yang basah. Bau jamur dan debu langsung menyambutnya saat kaki Raka menjejak lantai bawah. Lemari tua yang kemarin diketuk sesuatu kini tampak sama seperti sebelumnya—tertutup, diam.
Raka menatapnya sebentar, lalu memutar badannya. Ia memperhatikan sekeliling. Di balik tumpukan barang, ia melihat dinding kayu yang tampak berbeda. Warnanya sedikit lebih gelap, seperti baru dipasang, tidak serupa dengan kayu dinding lain yang kusam dan pecah-pecah.
Dengan penasaran, ia menggeser peti tua dan menemukan celah di dinding. Semacam panel rahasia.
“Terlalu klise,” gumamnya, mencoba bercanda untuk meredakan degup jantungnya yang mulai tak teratur.
Dengan dorongan perlahan, panel itu terbuka—mengarah ke ruang sempit yang sangat gelap. Di dalamnya, terdapat tangga batu yang menurun lebih dalam ke bawah tanah.
Lorong.
Lorong yang tidak pernah disebut dalam denah rumah. Lorong yang tampak seperti… disembunyikan dengan sengaja.
Langkah Raka bergema lirih saat menuruni tangga. Suhu di bawah semakin dingin, menusuk tulang. Udara terasa berat, seolah enggan dilalui. Dinding lorong terbuat dari batu bata tua yang berlumut. Aneh, lorong ini terlihat seperti lorong bawah tanah dari abad lain—bukan sesuatu yang biasa dimiliki rumah biasa.
Ia terus berjalan, dan di ujung lorong yang remang itu, ia melihatnya.
Lentera.
Sebuah lentera kuno tergantung di dinding batu. Nyala apinya kecil, tetapi stabil—berkedip pelan seolah bernapas.
Raka mematung. Tidak mungkin ada orang lain di sini. Ia belum pernah menyalakan lentera itu. Tidak ada minyak, tidak ada api.
Tapi nyalanya nyata. Hangat. Hidup.
Dengan ragu, ia mendekat. Setiap langkah membuatnya merasa semakin jauh dari dunia di atas sana. Cahaya lentera menerangi sedikit bagian lorong—cukup untuk melihat bahwa dinding di sekitarnya dipenuhi coretan simbol kuno. Seperti mantra, atau tulisan dari bahasa yang tidak ia kenali. Di bawah lentera, ada sebuah pintu kayu kecil, terkunci dengan palang besi dan rantai.
Dan di balik pintu itu…
Suara napas.
Perlahan. Berat. Seperti sesuatu yang tertidur, atau sedang menunggu.
Jantung Raka berdebar kencang. Ia hampir menjatuhkan senter dari tangannya. Perlahan, ia menyentuh rantai di pintu. Dingin. Berkarat. Tapi tampak kuat, seperti belum pernah dibuka selama puluhan tahun.
Tiba-tiba, lentera berkedip sekali. Nyala apinya menurun drastis, lalu kembali menyala terang—dan pada saat yang sama, terdengar suara kecil. Seperti anak kecil tertawa… atau menangis.
Raka mundur beberapa langkah. Suaranya datang dari dalam lorong, tapi tidak jelas dari mana. Lalu, sesuatu menarik perhatiannya di lantai—setitik darah, segar, menetes dari atas pintu kayu.
Ia menoleh ke belakang. Lorong gelap dan panjang, tidak ada siapa pun. Tapi dia tahu. Ia tidak sendiri.
“Siapa di sana?” suaranya serak.
Tidak ada jawaban. Hanya bunyi tetes air dari dinding dan api lentera yang terus bergoyang, seolah menari dalam kegilaan yang hening.
Raka memutar badan, berlari kembali menyusuri lorong. Langkahnya tergesa, suara napasnya tercampur dengan gema kakinya sendiri. Saat ia akhirnya tiba kembali di ruang bawah tanah dan menutup panel dinding, ia hampir tak bisa bernapas.
Tangannya gemetar. Tapi di antara rasa takut itu, ada sesuatu yang lain. Bukan hanya ketakutan, tapi rasa tertarik yang tak bisa dijelaskan.
Ia harus kembali. Harus tahu siapa—atau apa—yang berada di balik pintu itu. Apa maksud dari lentera yang menyala sendiri. Dan mengapa kakeknya tidak pernah menceritakan lorong itu.
Namun malam itu, sebelum tidur, Raka mendengar suara dari bawah lantai. Kali ini bukan langkah kaki.
Melainkan bisikan.
“Jangan padamkan cahayanya…”
Bab 3: Bayangan yang Tak Pergi
Pagi datang tanpa suara. Cahaya matahari menerobos melalui celah tirai kamar, namun tak membawa kehangatan. Rumah itu tetap dingin, diam, dan muram.
Raka duduk di ujung ranjang, memegangi kepalanya. Matanya sembab karena tidak tidur semalaman. Bisikan itu masih terdengar, bahkan setelah dia menutup telinga dengan bantal. Suara pelan, serak, dan kadang terdengar seperti dua suara yang saling bersahut-sahutan di dalam kepalanya sendiri.
“Jangan padamkan cahayanya…”
“Dia akan marah…”
“Dia tahu kamu di sini…”
Awalnya Raka berpikir itu mimpi. Tapi kini ia tidak yakin mana yang nyata dan mana yang tidak.
Ia beranjak dari tempat tidur dan berjalan ke depan cermin tua di kamar. Wajahnya pucat, ada lingkaran hitam di bawah matanya. Tapi bukan itu yang membuatnya tercekat.
Ada bekas tangan—kecil, seperti tangan anak-anak—di kaca. Seolah ada yang berdiri di sana dan menyentuh permukaannya dari sisi yang lain. Bekas itu membentuk pola yang aneh, seperti mencoba menulis sesuatu.
Ia mengelap kaca. Tapi bekas itu tidak hilang. Hanya menipis, lalu kembali muncul perlahan.
Hari itu Raka mencoba untuk tidak terlalu memikirkan lorong dan lentera. Ia membersihkan halaman, menyapu dedaunan yang menumpuk di teras, bahkan menyalakan musik dari ponselnya untuk mengusir keheningan. Tapi pikirannya tetap kembali ke pintu kayu dan suara napas berat dari baliknya.
Rasa penasaran dan ketakutan bertarung dalam dirinya. Ia mencoba mencari alasan logis: mungkin suara itu berasal dari pipa tua, atau mungkin ada hewan yang terjebak di lorong bawah tanah.
Namun menjelang sore, hal-hal aneh mulai terjadi lagi.
Pintu kamar tertutup sendiri, padahal tidak ada angin. TV menyala tanpa disentuh, menampilkan gambar statis dengan suara desis yang menyakitkan telinga. Dan di tengah lantai ruang tamu—entah dari mana datangnya—terdapat boneka kecil dari jerami, diikat dengan benang merah, dan memiliki mata dari paku berkarat.
Raka memungutnya dengan kain dan melempar ke luar jendela. Tapi saat ia kembali ke ruang tamu beberapa menit kemudian, boneka itu sudah ada di meja.
Ia tidak sendiri. Dan ia tahu itu sekarang.
Malam datang lebih cepat dari biasanya. Langit gelap pekat tanpa bintang. Hujan turun gerimis, tapi tiada suara petir, hanya sunyi yang menusuk.
Raka duduk di dekat tangga. Ia menatap lantai kayu yang memisahkan dirinya dari lorong di bawah. Ia berpikir untuk turun lagi, menyalakan lentera, mencari tahu lebih jauh. Tapi ada rasa takut yang menahan kakinya. Bukan takut pada kegelapan… tapi pada sesuatu yang mungkin menunggunya di balik terang.
Dan saat itu terjadi—saat pikirannya sibuk dengan rasa takutnya—bayangan itu datang.
Pertama hanya kilasan di sudut matanya. Lalu muncul di cermin ruang tamu. Seorang anak kecil. Rambut panjang menutupi wajah, tubuh kurus mengenakan gaun putih lusuh. Berdiri diam, menunduk, seolah menunggu sesuatu.
Raka membalikkan badan, cermin itu kosong. Tapi saat ia menoleh ke jendela, bayangan itu kembali—kali ini di luar, memandangnya dari balik kaca.
Ia terlonjak mundur, hampir terjatuh.
“Siapa kamu?!”
Tak ada jawaban. Tapi jendela mengembun pelan… dan sebuah kata tertulis di sana dengan jari tak terlihat:
“TOLONG.”
Malam itu Raka tidak bisa tidur. Ia menyalakan semua lampu di rumah. Bahkan lilin-lilin yang ia temukan di dapur juga ia nyalakan. Tapi rasa takut tidak menghilang. Ia merasa ditatap… diawasi. Di setiap sudut rumah, di balik tirai, di bawah tempat tidur—seperti ada mata yang mengintip.
Sekitar pukul tiga dini hari, ia mendengar suara dari bawah.
Bukan suara langkah kaki.
Bukan pula bisikan.
Melainkan suara tangis.
Tangisan anak kecil.
Pelan, penuh rasa sakit, dan sangat manusiawi. Tangisan yang menusuk hati, bukan hanya membuat takut.
Raka menuruni tangga. Kakinya bergerak seolah tanpa kehendak. Saat sampai di ruang bawah tanah, suara itu makin jelas.
Ia membuka panel rahasia. Lentera di ujung lorong menyala. Tapi kali ini, cahayanya tidak hangat.
Merah.
Nyala apinya berubah menjadi merah tua, seperti bara. Dinding lorong berdenyut, seolah bernapas. Dan di bawah lentera, di depan pintu, ada sesuatu berdiri.
Sosok kecil. Tubuh anak. Tapi matanya… kosong. Hitam legam. Dan saat Raka berdiri terpaku di ujung lorong, sosok itu menoleh perlahan ke arahnya.
“Kenapa kamu padamkan lentera malam itu?”
Suara itu bukan suara anak kecil. Bukan pula suara manusia.
Dan untuk pertama kalinya, Raka merasa jiwanya digenggam oleh sesuatu yang tidak seharusnya ada di dunia ini.
Bab 4: Surat dari Masa Lalu
Raka menghabiskan sisa malam dengan duduk bersandar di sudut ruang bawah tanah, tubuhnya gemetar, keringat dingin membasahi leher dan punggungnya. Setelah melihat sosok itu—bayangan anak kecil yang memandangnya dengan mata hitam kelam—ia tidak sanggup kembali ke kamarnya. Bahkan setelah lentera padam dan lorong kembali gelap, suara-suara tidak berhenti. Tangisan. Bisikan. Ketukan.
Pagi baru menyingsing ketika ia memaksa dirinya bangkit. Sinar matahari tidak membuat rumah itu terasa lebih hidup. Justru sebaliknya—ada sesuatu yang terasa lebih suram dari biasanya. Raka memutuskan, sudah waktunya mencari tahu. Ia yakin, semua ini bukan kebetulan. Kakeknya pasti menyimpan rahasia. Dan mungkin, semuanya bermula dari masa lalu yang tak pernah ia kenal.
Ia mulai dengan menjelajahi ruang kerja kakeknya—sebuah ruangan kecil di lantai dua yang terkunci selama bertahun-tahun. Kuncinya ia temukan tergantung di dalam lemari pakaian tua, diselipkan di balik jas hitam peninggalan almarhum.
Dengan tangan gemetar, Raka membuka pintu ruang kerja. Bau kayu tua dan kertas usang menyeruak. Di dalamnya, rak buku penuh catatan, jurnal, dan map-map lusuh berjajar rapi. Meja kerja tua di tengah ruangan ditutupi kain putih yang penuh debu.
Ia menarik kain itu, memperlihatkan permukaan kayu yang tergores waktu. Di atas meja, terletak satu kotak kayu kecil dengan ukiran simbol aneh di tutupnya. Tidak terkunci.
Raka membukanya.
Isinya: tumpukan surat dan sebuah buku harian. Surat-surat itu ditulis dengan tangan, tinta sudah memudar, namun masih terbaca. Ia mengambil satu surat yang paling atas, memperhatikan nama pengirimnya.
“Saraswati.”
Ibunya.
Tangannya gemetar saat membaca:
30 Oktober 1995
Ayah,
Saya tidak tahu harus percaya pada apa lagi. Anak itu terus menangis malam-malam. Tapi bukan tangisan biasa. Seperti… suara yang bukan milik manusia. Kadang saya lihat bayangan berdiri di ujung ranjang Raka. Kadang pintu terbuka sendiri dan lentera itu menyala tanpa sebab. Saya tahu ayah menyimpan sesuatu di balik lorong itu. Saya tahu ayah berbohong.
Saya akan membawa Raka pergi. Tempat ini tidak aman. Saya tidak peduli kalau warisan keluarga harus berakhir di sini. Saya lebih peduli pada anak saya. Dan satu hal yang pasti: JANGAN pernah padamkan lentera itu.
– Saraswati
Raka berhenti membaca. Tenggorokannya tercekat. Surat itu membenarkan semuanya. Ibunya tahu. Ia mengalami hal yang sama. Dan ia berusaha melindungi Raka sejak kecil, jauh sebelum ingatannya terbentuk.
Dengan cepat, ia membaca surat-surat lainnya. Semuanya berisi peringatan, curhatan takut, dan kemarahan terhadap sang ayah—kakek Wiratma. Ada yang menyebut tentang ritual. Tentang “penjaga lorong”. Tentang “anak yang dikorbankan”. Beberapa surat bahkan menyebut nama: “Sinta.”
Siapa Sinta?
Raka mencari di dalam buku harian. Di halaman-halaman belakang, ia menemukan catatan yang ditulis dengan tangan kakeknya sendiri. Bahasa formal, dingin, seperti laporan. Tapi yang dibaca Raka membuat bulu kuduknya berdiri.
Catatan, 1981
Anak perempuan hasil perjanjian pertama, “Sinta”, berhasil dikurung. Namun jiwanya tidak tenang. Lentera ditanam sebagai pengikat. Harus dijaga tetap menyala agar pintu tidak terbuka. Tidak boleh padam.
Saraswati tidak boleh tahu isi lorong. Tapi dia mendengar sesuatu. Anak laki-lakinya (Raka) terlalu sering dekat pintu. Tidak aman. Lentera mulai melemah. Jika padam… Sinta akan bebas.
Raka terduduk. Kepalanya berdenyut hebat. Jadi… bayangan itu, sosok kecil dengan mata hitam, adalah Sinta? Anak yang dikurung. Korban dari perjanjian keluarga? Ia merasa ingin muntah. Bagaimana mungkin keluarganya, kakeknya sendiri, melakukan hal semacam itu?
Dan lebih mengerikan lagi… kenapa sekarang lentera itu padam?
Ia menatap jendela. Awan mulai menghitam. Hujan tampaknya akan turun lagi. Dan angin mulai meniup dari arah ruang bawah tanah.
Pelan. Lembut. Seolah memanggil.
Malamnya, saat ia mencoba tidur, Raka mendengar suara tangisan lagi. Kali ini lebih dekat. Di dalam kamarnya sendiri. Ia membuka mata—dan di pojok ruangan, di antara tirai yang berkibar perlahan, terlihat sosok kecil berdiri memunggunginya.
Rambut panjang. Gaun putih.
Tubuh itu perlahan berbalik. Dan di wajahnya yang pucat, Sinta tersenyum.
Namun bukan senyum manusia.
“Aku hanya ingin pulang,” bisiknya.
Lalu, semua lilin padam.
Bab 5: Jejak Darah di Dinding
Pagi datang seperti biasanya. Tapi rumah itu tidak lagi sama. Tidak setelah semalam Raka melihat Sinta—bukan hanya bayangannya, bukan hanya suara atau ilusi cahaya—melainkan dirinya. Wujudnya. Nyata. Menatap langsung ke matanya sambil berkata ingin pulang.
Dan kini, dinding kamar Raka penuh coretan.
Bukan coretan kapur atau pensil. Tapi coretan merah. Darah. Mengalir dari ujung jari yang menuliskannya—entah jari siapa. Tulisan itu tersebar di setiap sisi kamar. Huruf-huruf besar, tidak rapi, seperti ditulis dengan tergesa dan penuh amarah.
“LENTERA TELAH PADAM.”
“KAMU TELAH MEMBUKA PINTU.”
“KEMBALIKAN AKU.”
Raka mundur perlahan. Dadanya sesak. Bau besi darah terasa menyengat di hidung. Ia mencoba menghapus salah satu tulisan dengan lap basah, namun tidak bisa. Tulisan itu seperti menyerap ke dalam dinding, menyatu dengan kayu.
Ia keluar dari kamar. Tapi lorong di depan kamarnya tampak lebih gelap dari biasanya. Seolah cahaya dari jendela tidak bisa menembus area itu. Raka berlari menuruni tangga, ingin keluar rumah, mencari udara, mencari waras.
Tapi begitu ia membuka pintu depan… dunia luar tidak ada.
Tidak ada jalan. Tidak ada langit. Tidak ada pohon. Hanya kabut kelabu yang padat, berputar seperti pusaran air, membungkus rumah dalam kehampaan. Ia mencoba menerobos kabut, berlari lurus beberapa langkah, tapi tiba-tiba saja ia kembali ke depan pintu.
Lingkaran. Penjara.
Raka terperangkap.
Hari itu, ia tidak bisa makan. Tidak bisa tidur. Hanya duduk di meja makan, mendengarkan detak jam yang terdengar terlalu keras, seolah menghitung waktu menuju sesuatu yang mengerikan.
Sore menjelang, dan kabut tetap belum pergi. Telepon genggamnya tak mendapat sinyal. Tak ada listrik. Tak ada internet. Tak ada suara selain bunyi rumah yang sesekali mengerang seperti makhluk hidup.
Dan kemudian, ia mendengar suara langkah kaki. Dari atas. Dari dalam kamarnya sendiri.
Perlahan.
Satu langkah…
Dua langkah…
Lalu berhenti.
Raka menahan napas. Ia berdiri, mengambil senter dan naik kembali ke atas. Setiap anak tangga berderit seperti memprotes kehadirannya.
Kamar itu gelap. Tapi saat ia membuka pintu, sesuatu membuat darahnya berhenti mengalir sejenak.
Di lantai… ada jejak.
Jejak kaki. Kecil, basah, meneteskan darah. Jejak itu membentuk pola melingkar, lalu berujung ke dinding di samping ranjang.
Dan di dinding itu—sama seperti di kamar tadi pagi—ada tulisan baru.
“AKU MASIH DI SINI.”
Raka mulai kehilangan arah. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Tapi ada satu hal yang masih menggantung dalam pikirannya: buku harian kakeknya. Ia belum membaca semua isinya. Mungkin ada jawaban. Mungkin ada jalan keluar.
Ia kembali ke ruang kerja dan membuka halaman-halaman terakhir buku harian itu. Dan di sanalah ia menemukannya:
Catatan, 1982
Sinta mulai menunjukkan perlawanan. Ia menolak tidur. Menangis setiap malam. Tapi ritual telah dilakukan, dan ikatan telah dibuat. Dia tidak bisa kembali. Jiwa harus ditahan di tempat yang disegel. Lentera menjadi pengikat. Tidak boleh padam. Jika padam, batas akan runtuh.
Saraswati mulai mencurigai. Tapi tidak mengerti. Dia tidak tahu harga dari keabadian.
Catatan, 1985
Sinta muncul di mimpi. Tidak seperti dulu. Wajahnya berubah. Mata menghitam. Tangannya meneteskan darah. Dia berkata ingin pulang. Tapi pintu tidak bisa dibuka—selama lentera tetap menyala.
Catatan-catatan itu makin sulit dibaca, tulisannya kacau, bergeser dari baris, dan kadang seperti digores dengan kuku, bukan pena. Terakhir, ada satu kalimat yang ditulis besar-besar di halaman paling belakang:
“JANGAN MATIKAN CAHAYA, ATAU DIA AKAN MENGHUNI DINDING!”
Malam kembali datang. Dan lentera di ujung lorong tetap padam. Raka tidak berani mendekat lagi. Tapi rumah mulai memberi tanda bahwa waktu mereka hampir habis.
Dinding dapur terbelah pelan, seperti ada yang mendorong dari dalam. Paku-paku bergetar. Cermin-cermin memantulkan bayangan yang tidak ada di ruangan. Dan suara tangisan Sinta terdengar makin jelas, tidak hanya dari bawah—tapi dari semua arah. Dari dinding, dari lantai, dari langit-langit.
Dan ketika Raka membuka lemari di bawah tangga, ia menemukan sesuatu yang menghentikan langkahnya.
Jejak darah.
Bukan hanya jejak kaki… tapi juga bekas tangan kecil yang menyeret tubuh. Seperti seseorang—atau sesuatu—didorong masuk paksa ke dalam dinding. Di bagian belakang lemari, kayu retak membentuk siluet tubuh mungil.
Dan di atasnya, terukir kata dengan kuku:
“AKU SUDAH BANGUN.”
Raka mundur dengan tubuh gemetar. Ia tahu satu hal sekarang: Sinta tidak hanya ingin pulang.
Dia ingin balas dendam.
Bab 6: Siapa Gadis Itu?
Suara detak jam terus berdentang di dinding ruang tengah. Aneh, karena jam itu sudah bertahun-tahun rusak. Tapi sekarang jarumnya bergerak. Berputar cepat. Menandai waktu yang tak wajar.
Raka duduk di lantai, bersandar pada dinding. Matanya merah, kantung matanya menghitam. Ia nyaris tidak tidur selama dua hari terakhir. Jejak darah masih membekas di dinding. Tangisan dari lorong bawah tanah tak lagi datang hanya malam hari—tapi sepanjang waktu, bergaung seperti gema dari dunia lain.
Namun yang paling membuatnya tak bisa tenang adalah satu pertanyaan yang terus menghantui sejak ia membaca buku harian kakeknya:
Siapa sebenarnya Sinta?
Selama ini ia hanya mengenalnya sebagai “anak perempuan yang dikorbankan”. Sosok hantu dengan mata hitam dan gaun putih yang terus menampakkan diri, membawa aroma tanah basah dan suara tangis lirih. Tapi ia merasa, itu bukan seluruh cerita. Sinta bukan sekadar roh gentayangan. Ada hubungan yang lebih dalam.
Dan ia harus tahu apa itu.
Raka mulai menggeledah rumah untuk kedua kalinya, kali ini dengan lebih cermat. Ia menyisir kembali ruang kerja, membuka laci-laci tersembunyi, membongkar album foto keluarga yang sudah menguning. Banyak gambar lama yang usang, sebagian robek atau terbakar di bagian tepinya.
Tapi akhirnya ia menemukan sesuatu.
Sebuah foto kecil, hitam-putih, terselip di balik sampul buku tua tentang sejarah keluarga. Foto itu menampilkan seorang anak perempuan berdiri di halaman belakang rumah ini. Rambutnya panjang, mengenakan gaun putih sederhana. Wajahnya tidak asing. Terlalu familiar.
Di bagian belakang foto tertulis:
“Sinta – 1979”
Dan di bawahnya, dengan tinta berbeda, tercoret sebuah kalimat:
“Anak dari darah yang dilarang.”
Raka menatap tulisan itu lama. Jantungnya berdetak lebih cepat. Ia mulai mengerti… tapi tak ingin percaya.
Ia berlari ke kamar dan mengambil surat-surat lama yang ditulis oleh ibunya. Salah satunya ia baca ulang—surat yang ditulis dengan tinta gemetar:
Desember 1995
Ayah,
Saya tahu siapa dia. Saya tahu kebenarannya sekarang. Sinta bukan hanya korban. Dia bagian dari keluarga kita. Tapi saya tak tahu dari siapa. Ibu tak pernah bicara soal itu. Hanya berkata bahwa “dosa terdalam datang dari rahim sendiri.”
Saya takut, Ayah. Saya takut dia akan kembali. Saya takut pada darah yang mengalir di nadi Raka. Saya takut kalau semua ini… akan terulang.
– Saraswati
Raka menutup surat itu perlahan. Ia merasa seperti dunia runtuh di atas pundaknya.
Sinta adalah keluarga.
Bukan sekadar korban. Bukan anak asing yang dikorbankan demi ritual. Tapi seseorang yang dilahirkan oleh keluarga mereka. Dan jika ia membaca isyarat surat ibunya dengan benar…
Sinta adalah kakaknya.
Atau… saudari tirinya? Anak dari kakeknya sendiri?
Kemungkinan itu menghantam keras di pikirannya.
Malam tiba tanpa angin. Tak ada suara jangkrik. Tak ada gerimis. Tapi lorong di bawah kembali memanggil. Lentera masih padam, namun kali ini, ada sinar redup lain yang muncul dari celah-celah papan.
Raka turun perlahan. Ia membawa senter dan sebilah pisau dapur—bukan untuk bertarung, tapi lebih untuk merasa tidak sepenuhnya tak berdaya. Ia tahu betul, benda itu tak akan berguna melawan roh seperti Sinta.
Lorong itu kini lebih panjang dari biasanya. Seolah berubah bentuk. Di ujungnya, pintu kayu yang dulu tertutup kini sedikit terbuka. Dan di depan pintu, sosok Sinta berdiri. Tidak seperti penampakan sebelumnya, kali ini ia tidak tampak marah. Tidak menakutkan.
Ia hanya berdiri. Diam. Menatap Raka dengan mata gelap yang kosong.
“Kenapa kamu padamkan lentera itu?” tanya Sinta pelan.
Raka tidak menjawab.
Sinta melangkah maju satu langkah. Lantai kayu berderit lembut di bawah kakinya.
“Aku dulu seperti kamu,” katanya lagi. “Tapi mereka bilang aku kotor. Anak yang tak seharusnya lahir.”
Suara Sinta bergetar. Entah karena marah, sedih, atau rindu.
“Mereka mengurungku di balik pintu itu. Bukan karena aku jahat… tapi karena aku anak dari ibu yang salah.”
Raka menelan ludah, suaranya nyaris tak keluar saat bertanya, “Kamu… saudara kandungku?”
Sinta tersenyum. Tapi senyumnya tidak menenangkan—ada luka yang dalam tersembunyi di baliknya.
“Kita punya darah yang sama, Raka. Tapi kamu diberi hidup… aku diberi kegelapan.”
Dan saat itu, semua dinding di lorong bergemuruh.
Bayangan-bayangan muncul dari celah lantai. Tangan-tangan kecil merangkak keluar dari sela batu. Suara-suara yang bukan dari dunia ini mulai mengalun—tangisan, jeritan, dan tawa anak-anak yang tidak memiliki wajah.
Sinta menatap Raka dalam-dalam.
“Aku tidak butuh dendam. Aku butuh dikenang.”
Kemudian ia menghilang, meninggalkan pintu tua yang kini terbuka sepenuhnya. Dan dari balik pintu itu, terdengar suara yang membuat tulang belakang Raka membeku:
“Satu nama telah dibuka. Kini waktunya yang lain.”
Bab 7: Pengorbanan Terakhir
Rumah itu bukan lagi rumah.
Setiap sudutnya kini berubah menjadi labirin bayangan, bisikan, dan kenangan yang menyiksa. Dindingnya basah seolah bernapas. Lantainya retak, mengeluarkan uap hitam dari celah-celah kayu. Dan waktu… tak lagi terasa linear. Jam berdetak mundur. Malam tak berakhir. Matahari tak muncul.
Raka duduk di ruang tamu, memeluk lututnya. Di hadapannya, lentera tua yang sudah lama padam kini tergeletak di lantai, kaca kacanya retak, sumbu gosong.
Di dalam dirinya, dua suara bertarung.
Satu memerintahnya melarikan diri, lari sejauh mungkin dari rumah, dari lorong, dari masa lalu.
Satu lagi—suara yang lebih dalam, lebih kelam—memintanya menyelesaikan apa yang telah dimulai sejak generasi sebelumnya.
Kutukan ini tidak akan berakhir sampai satu pengorbanan terakhir dilakukan.
Hari itu, Raka membuka kembali kotak kayu tempat ia menemukan buku harian kakeknya. Tapi kali ini, ia memperhatikan bagian bawah kotak, mengetuk-ngetuknya… dan mendapati ada bagian tersembunyi.
Ia membongkarnya perlahan dan menemukan benda kecil berbentuk bundar—seperti segel besi tua dengan ukiran berbentuk lingkaran yang melilit simbol mata tertutup. Di sampingnya, sebuah catatan kecil:
“Jika lentera padam, darah keluarga harus ditukar untuk menutup pintu.”
– Wiratma.
Raka menelan ludah.
Darah keluarga?
Apakah itu berarti… pengorbanan nyawa?
Ia kembali ke surat-surat ibunya. Di salah satu catatan tangan yang terlipat rapi, ia menemukan kalimat pendek yang mencabik perasaannya:
“Satu anak disembunyikan, satu harus dibuka. Jika tidak, semua anak akan hilang.”
Raka mulai mengerti. Perjanjian kuno yang dilakukan kakeknya melibatkan pengorbanan untuk “menutup” sesuatu. Sinta adalah anak yang dikorbankan… tapi mungkin bukan satu-satunya.
Dan kini, pintu itu telah terbuka kembali. Dan “semua anak” akan menjadi korban, jika tak ada satu pengorbanan akhir.
Malam tiba dengan suara lonceng. Tidak ada gereja dekat rumah. Tapi lonceng berdentang tiga kali, keras, berat, bergema di seluruh penjuru rumah.
Raka kembali ke lorong bawah tanah, membawa lentera yang ia perbaiki seadanya. Ia telah mengoleskan minyak baru, mencoba menyalakan sumbunya. Dan ketika api menyala perlahan, lorong itu bersinar jingga untuk pertama kalinya sejak malam itu.
Di ujung lorong, pintu tua yang sebelumnya terbuka kini bergoyang perlahan, seperti memanggil.
Dan di hadapan pintu itu, berdiri Sinta.
Matanya tidak sehitam sebelumnya. Tapi masih kelam. Ia tidak tersenyum, tidak marah. Hanya menatap, tenang, seolah menunggu.
“Aku tidak ingin mengambil apa pun darimu,” katanya lembut.
Raka menelan ludah. “Tapi kau akan… jika pintu ini tetap terbuka.”
Sinta menunduk.
“Aku tak bisa menutupnya. Hanya darah keluarga yang bisa. Dan aku bukan bagian dari dunia ini lagi.”
Raka mendekat, memegang lentera dengan satu tangan, dan segel besi di tangan lainnya. “Kalau aku… memberikan darahku—apakah kutukan ini berhenti?”
Sinta tidak menjawab. Tapi dari balik pintu, angin panas menyembur keluar. Suara-suara mulai kembali—jeritan, tawa anak-anak, suara tangisan. Mereka yang dulu mungkin dikorbankan seperti Sinta. Atau yang tertarik ke dalam kegelapan karena pintu dibuka terlalu lama.
Tiba-tiba, tangan-tangan hitam muncul dari balik pintu. Meraih udara. Mencakar lantai. Salah satunya hampir mencengkeram kaki Raka, tapi Sinta berdiri menghalanginya.
“Pilihannya bukan hanya mati atau hidup.”
“Pilihannya adalah: siapa yang kau pilih untuk hidup.”
Raka terpaku. Nafasnya tersendat. Matanya terbelalak saat ia sadar—maksud dari semua surat itu bukan hanya soal mengorbankan dirinya.
Itu soal pilihan. Ia bisa menutup pintu dan menyegel kutukan dengan satu jiwa keluarga.
Dan ia masih punya satu kerabat yang belum disebutkan… yang belum diketahui siapa—tapi pasti ada. Mungkin sepupu. Mungkin saudara. Mungkin anak yang belum ia ketahui.
Atau… mungkin dirinya sendiri.
Tiba-tiba, lentera padam.
Lorong menjadi gelap gulita. Sosok Sinta menghilang, dan bayangan mulai merayap dari dinding. Jeritan kembali menggema, kali ini lebih keras, lebih banyak, seperti ratusan roh yang mulai menyusup ke dunia nyata.
Di tengah kekacauan, Raka menjerit.
“Aku… AKU YANG AKAN MENGAKHIRI INI!”
Ia merobek lengannya dengan pecahan kaca dari lentera. Darah mengalir deras. Ia menekankan tangannya ke segel besi dan melemparkannya ke arah pintu.
Cahaya menyilaukan meledak seketika.
Tangan-tangan hitam melolong dan terbakar. Suara-suara berhenti. Udara menjadi dingin dalam sekejap. Dan pintu itu… tertutup perlahan, sendirinya.
Sinta berdiri terakhir di depan pintu, tersenyum samar pada Raka yang nyaris pingsan.
“Terima kasih… karena mengakuiku.”
Kemudian ia lenyap bersama pintu.
Keesokan harinya, rumah itu kembali normal. Matahari menyinari atapnya. Kabut menghilang. Lentera yang rusak menyala sendiri dengan cahaya tenang.
Raka duduk di tangga depan, tubuhnya lemah, tapi napasnya tenang.
Kutukan itu telah selesai.
Tapi warisan ingatan… akan selalu tinggal bersama.
Dan jauh di dasar lorong, segel itu tetap dingin. Menunggu.
Kalau suatu hari… darah keluarga kembali melupakan.
Bab 8: Lentera yang Padam
Beberapa minggu telah berlalu sejak malam itu.
Rumah tua di perbukitan kembali senyap, tapi bukan karena damai—melainkan karena terlalu hening. Terlalu kosong. Raka masih tinggal di sana, sendiri. Luka di lengannya mulai mengering, tapi rasa dingin yang melekat di kulitnya sejak pengorbanan itu tak pernah benar-benar hilang.
Setiap malam, ia masih bermimpi tentang lorong. Tentang tangan-tangan hitam. Tentang wajah Sinta yang memudar di balik pintu terakhir. Tapi yang paling membekas… adalah suara-suara bisu yang belum sempat bicara. Seolah masih ada sesuatu yang belum selesai.
Lentera yang sebelumnya menyala—meski rusak—kini benar-benar padam. Tak bisa dinyalakan lagi. Bahkan dengan minyak, sumbu baru, atau api. Seolah telah kehilangan nyawanya.
Dan ketika Raka mencoba membawa lentera itu keluar dari rumah, kaca lentera pecah sendiri. Meledak seperti melindungi sesuatu yang tak boleh dibawa pergi.
Itulah saat Raka sadar:
Kutukan mungkin telah ditutup. Tapi tidak dimusnahkan.
Suatu sore, Raka menerima paket tak bernama di depan pintu. Tidak ada cap pos. Tidak ada pengantar. Hanya sebuah kotak kayu kecil, lebih baru dari semua benda tua di rumah itu.
Di dalamnya, hanya ada satu benda: lentera yang sama, utuh kembali, dan selembar surat lusuh bertuliskan tangan:
“Jika lentera padam, jangan nyalakan lagi. Tapi dengarkan apa yang masih tersisa di dalamnya.”
– S.
Raka menggenggam lentera itu erat. Jantungnya berdegup lebih kencang. Ia tahu surat itu dari Sinta. Tapi bagaimana mungkin? Bukankah dia sudah pergi?
Ia mendekatkan lentera itu ke telinganya.
Tak ada suara. Hanya hening. Tapi ketika malam datang dan Raka kembali ke ruang bawah, lentera itu mulai bergetar ringan. Tidak menyala—tapi hidup. Mengisyaratkan sesuatu.
Ia pun menyalakan perekam suaranya dan meninggalkan lentera di ujung lorong. Lalu duduk di tangga, menunggu.
Beberapa jam berlalu.
Dan tepat tengah malam, suara terdengar dari alat rekam itu.
Suara anak kecil.
Tapi bukan Sinta. Suaranya berbeda. Lebih muda. Lebih lugu. Lelah. Dan kesepian.
“Namaku Nala…”
“Aku… aku anak yang tidak disebut. Aku tidak dikorbankan. Tapi juga tidak pernah dilahirkan. Aku disembunyikan di antara doa-doa dan bisikan agar tidak pernah ada.”
“Tapi sekarang pintu itu padam. Aku… masih di sini.”
“Sinta bukan yang terakhir. Aku… yang tertinggal.”
Raka membeku.
Siapa Nala?
Ia tak pernah mendengar nama itu dalam seluruh buku harian, surat, atau cerita keluarga. Tapi ada sesuatu dalam suaranya yang menyentuh jauh ke dalam batinnya.
Apakah mungkin… ada jiwa lain yang disembunyikan?
Bukan dikorbankan, bukan dikutuk, tapi benar-benar dihapuskan?
Ia kembali menyisir catatan lama kakeknya. Dan dalam salah satu halaman yang nyaris terhapus tinta hitam, ia menemukan kalimat setengah terbaca:
“Jika dua dikorbankan, pintu akan tertutup. Jika satu disembunyikan, pintu hanya tertidur.”
Pintu tidak ditutup malam itu.
Pintu hanya tertidur.
Dan Nala—si anak yang disembunyikan—masih terjebak di antara dunia.
Malam itu, Raka membuat keputusan.
Ia kembali ke lorong. Membawa lentera dan rekaman suara Nala. Tapi kali ini ia tidak membawa darah. Tidak membawa segel. Ia membawa ingatan.
Ia berdiri di depan tempat pintu dulu ada—sekarang hanya dinding batu yang tertutup sepenuhnya. Tapi lentera di tangannya mulai bergetar lagi.
Raka berbicara dengan pelan:
“Aku tidak tahu siapa kamu, Nala. Tapi jika kamu adalah bagian dari keluarga ini, jika kamu terlupakan, atau sengaja disembunyikan… aku minta maaf.”
“Kalau aku bisa membuka jalan untukmu keluar… aku akan lakukan.”
Tiba-tiba, lentera menyala.
Nyala yang pelan. Kuning. Hangat.
Dan dari lantai lorong, muncul cahaya melingkar, seperti matahari kecil. Di tengah cahaya itu, perlahan muncul sosok seorang anak perempuan. Bukan menyeramkan. Tidak kelam. Tapi samar—seperti siluet mimpi.
Wajahnya tidak jelas, tapi dia tersenyum.
“Terima kasih…” suara itu berbisik lembut, nyaris seperti angin.
Cahaya menghilang. Lentera kembali padam.
Tapi kali ini, tidak menakutkan. Tidak hampa. Seperti… istirahat.
Sejak malam itu, rumah benar-benar tenang. Tak ada bayangan. Tak ada suara. Lentera tua tetap mati, tapi tak retak, tak rusak. Seolah ia sudah menyelesaikan tugasnya.
Raka mulai berbenah. Ia menulis semua kisah itu dalam buku harian baru. Bukan untuk dirinya, tapi untuk siapa pun yang mungkin kelak tinggal di rumah itu. Agar tak ada lagi rahasia yang disembunyikan.
Dan di bagian sampul belakang buku itu, ia menulis dengan tinta merah:
“Jangan padamkan lentera…
Tapi jika ia padam, jangan takut.
Kadang, dalam gelap…
ada mereka yang hanya ingin dikenang.”
Bab 9: Penjaga Lorong
Rumah itu kini sunyi.
Tidak ada lagi jeritan malam, tidak ada lagi bayangan merayap di dinding. Namun, bagi Raka, ketenangan ini bukan akhir, melainkan awal dari pemahaman yang lebih dalam—tentang darah, tentang warisan, dan tentang peran yang tak bisa ia tolak: Penjaga Lorong.
Ia pikir segalanya telah selesai setelah Nala diselamatkan. Namun, malam demi malam, mimpi-mimpi baru mulai datang. Kali ini bukan bayangan. Tapi potongan sejarah. Fragmen wajah-wajah asing. Nama-nama yang tak pernah disebutkan, meski mereka semua bagian dari darah yang sama.
Sampai suatu malam, Raka bermimpi dirinya berdiri di ujung lorong, seperti biasa. Tapi lorong itu bukan lagi gelap. Cahaya lembut menghiasi dindingnya. Dan di ujungnya—bukan pintu, tapi cermin besar.
Dari balik cermin itu, ia melihat seseorang menatapnya: seorang pria tua dengan mata dalam dan senyum tenang.
Kakeknya, Wiratma.
“Kau telah menutup pintu itu. Tapi lorong ini tetap harus dijaga,” suara itu bergema lembut.
“Karena lorong ini bukan hanya penjara. Ia juga jalur kembali. Untuk jiwa-jiwa yang tersesat. Untuk nama-nama yang dilupakan.”
“Lentera itu… bukan senjata. Tapi kunci. Dan kau, Raka… kau kini penjaganya.”
Raka terbangun dengan peluh dingin membasahi tubuhnya. Di samping tempat tidur, lentera tua berdiri. Masih padam. Tapi kali ini, tak berdebu. Bersih. Seperti baru dibersihkan tangan yang tak terlihat.
Dan di meja kecil dekatnya, tergelatak sebuah buku yang belum pernah ia lihat sebelumnya. “Catatan Penjaga Lorong.”
Beberapa hari kemudian, Raka mulai menelusuri ruang bawah rumah. Ia menggali lebih dalam—secara harfiah. Menggunakan alat seadanya, ia membongkar bagian lantai lorong yang selama ini tampak padat. Dan saat ia berhasil menyingkirkan lapisan batu terakhir… sebuah ruang kecil terbuka.
Di dalamnya, lemari kayu tua dengan banyak laci. Setiap laci penuh dengan gulungan kertas dan foto-foto kuno. Di salah satu foto, ia melihat seorang gadis kecil dengan lentera di tangannya—Sinta. Di foto lain, seorang bayi dengan inisial N.A.L.A tertulis di belakang. Dan yang membuatnya tercekat… satu foto dengan nama Raka—tapi anak itu masih bayi, dan di belakang fotonya tertulis:
“Yang Terakhir. Yang Menjaga.”
Raka menyadari sesuatu yang tak pernah dia bayangkan. Seluruh hidupnya telah diarahkan untuk satu tujuan: menjadi penjaga terakhir dari lorong—pintu antara dunia nyata dan dunia jiwa-jiwa yang belum kembali.
Bukan karena ia dipilih.
Tapi karena ia dilahirkan untuk itu.
Raka mulai mengisi buku barunya. Ia menulis ulang seluruh sejarah keluarga: tentang kakeknya yang membuka pintu demi kekuatan; tentang ibunya yang mencoba menutupnya dengan cinta; tentang Sinta, yang dikorbankan namun tetap setia; tentang Nala, anak yang disembunyikan namun tetap bertahan; dan tentang dirinya—yang memilih bertahan, bukan karena tidak takut, tapi karena tidak ingin orang lain menjalani nasib yang sama.
Malam demi malam, ia mulai menjaga lorong.
Lentera kini tak menyala dengan api, tapi dengan cahaya lembut saat jiwa-jiwa mendekat. Raka akan duduk di ujung lorong, mendengarkan mereka yang datang, terkadang menulis nama-nama mereka, terkadang hanya duduk dan mendengar isak tangis dari mereka yang terlupa dalam sejarah.
Ia tidak mengusir mereka. Ia tidak menakut-nakuti mereka. Ia mendengarkan.
Dan perlahan, lorong itu berubah. Bukan lagi lorong kematian, tapi lorong pengakuan.
Lorong di mana jiwa-jiwa bisa datang untuk dikenang. Untuk didengarkan. Untuk diterima.
Satu malam, lentera menyala sangat terang.
Raka tahu—ada satu jiwa terakhir yang ingin masuk.
Ia duduk seperti biasa, membuka buku penjaga, dan menyiapkan pena. Dari kegelapan lorong, suara lembut memanggil.
“Raka…”
Ia mengenali suara itu.
Ibunya.
Raka tersenyum, meski matanya berkaca-kaca. “Kau datang akhirnya.”
Sosok ibunya muncul, samar. Tak menyeramkan. Wajahnya tenang. Ia menatap putranya dengan mata penuh kebanggaan.
“Terima kasih… karena tidak melupakan kami.”
“Kini kau tak hanya penjaga lorong. Kau penjaga nama-nama kami.”
Raka berdiri, mendekat, tapi tak bisa menyentuhnya.
Ibunya menatap lentera. “Saat lentera itu padam untuk terakhir kalinya, itu bukan akhir. Itu tanda bahwa semua yang perlu dikenang… telah dikenang.”
Dan perlahan, cahaya lentera meredup. Padam sepenuhnya.
Tapi kali ini, tak ada rasa takut. Tak ada hawa dingin. Tak ada jeritan.
Hanya diam yang penuh damai.
Raka menutup buku catatan penjaga lorong. Ia menyimpannya di rak kayu yang ia buat sendiri. Rumah itu kini menjadi tempat ziarah sunyi. Bukan untuk kutukan, tapi untuk kenangan.
Dan di pintu depan, sebuah tulisan kecil dipasang:
“Lorong ini tak akan dibuka lagi. Tapi jika kau tersesat dalam kenangan, carilah lentera—dan dengarkan.”
Tamat: Rumah yang Menunggu
Tahun demi tahun berlalu.
Nama Raka perlahan memudar dari buku penduduk desa. Ia tak pernah menikah. Tak pernah benar-benar pergi dari rumah tua itu. Tak pernah meninggalkannya lebih dari beberapa hari. Ia adalah penjaga yang tak meminta gelar, dan rumah itu adalah tempat ia lahir, hidup… dan suatu hari, akan beristirahat.
Desa di bawah perbukitan mulai berubah. Gedung beton menggantikan ladang. Jalan-jalan beraspal membelah tanah yang dulunya hanya dilalui kaki. Tapi rumah tua itu—di puncak bukit—tetap sama. Dibiarkan berdiri, sedikit miring, penuh lumut, tapi tak pernah benar-benar hancur.
Sebagian orang mengatakan rumah itu berhantu. Sebagian lagi mengatakan rumah itu suci. Anak-anak yang bermain di dekat pagar sering berkata mereka mendengar nyanyian atau suara tawa dari dalam, meski tak ada siapa pun di sana. Kadang, cahaya redup terlihat dari jendela atas, seperti lentera yang menyala sendiri.
Tak ada yang berani masuk. Tapi tak ada yang berani merobohkannya juga.
Karena konon, rumah itu sedang menunggu.
Di musim gugur terakhirnya, Raka menulis surat. Bukan surat biasa—melainkan warisan, bukan harta, tapi cerita. Ia menyimpan surat itu di dalam rak kecil di bawah lantai lorong, tempat yang hanya akan ditemukan oleh mereka yang benar-benar mencari, bukan hanya karena penasaran, tapi karena mendengar panggilan.
Dalam surat itu, ia menulis:
“Jika kau membaca ini, berarti rumah ini telah memilihmu. Jangan takut. Jangan lawan. Dengarkan.”
“Lorong sudah tertutup. Jiwa-jiwa telah berpulang. Tapi rumah ini akan selalu menunggu. Bukan untuk dikorbankan. Tapi untuk dikenang.”
“Kau tak harus menjadi penjaga. Tapi jangan jadi pelupa.”
“Tinggallah, jika kau ingin tahu siapa dirimu. Tapi keluarlah, jika hatimu tidak kuat menatap masa lalu.”
—Raka, Penjaga yang Terakhir
Raka meninggal di kursinya. Di ruang depan rumah. Dengan lentera tua di pangkuannya. Tidak menyala. Tidak mati. Hanya… diam. Seperti ia sendiri. Tenang. Selesai.
Warga desa menemukannya setelah beberapa minggu. Mereka tidak berani menyentuh tubuhnya terlalu cepat. Tapi mereka menguburkannya dengan penuh hormat. Tanpa upacara megah. Hanya doa yang pelan dan bisikan bahwa “penunggu terakhir telah pergi.”
Rumah itu kembali kosong.
Namun, tak ada suara. Tak ada bayangan. Tak ada kutukan. Hanya keheningan… dan penantian.
Beberapa tahun kemudian, seorang pemuda bernama Galang datang dari kota. Ia mendengar cerita tentang rumah tua dari neneknya—perempuan yang pernah tinggal di desa itu sebelum pindah. Katanya, ia punya hubungan darah jauh dengan seseorang bernama Wiratma. Dan ketika mendengar rumah itu tak berpenghuni, ia merasa terpanggil untuk melihatnya.
Ketika Galang sampai, rumah itu tampak tua, hampir runtuh. Tapi ia merasa seperti sedang pulang, padahal belum pernah ke sana sebelumnya.
Ia masuk dengan pelan. Udara di dalamnya tidak dingin, tidak lembab. Justru… hangat. Seperti memeluknya.
Di sudut ruangan, ia menemukan rak kecil, dan saat ia menekan papan lantainya, sedikit terdorong, terbuka jalan kecil ke bawah. Ia menyalakan senter, menuruni lorong tua yang terasa akrab di jantungnya.
Dan di ujung lorong itu, ia menemukan surat.
Ia membaca kata demi kata dengan perasaan bergetar. Ada yang mengalir dari dalam dirinya. Sebuah rasa kehilangan yang tak pernah ia mengerti, dan kini mulai menemukan bentuk.
Dan tepat saat air matanya jatuh ke lantai batu lorong itu… lentera tua di dinding menyala. Sendiri.
Pelan. Lembut.
Seolah berkata:
“Kau datang.”
Malam pertama Galang di rumah itu tidak dihantui mimpi buruk.
Sebaliknya, ia bermimpi berada di sebuah ruangan hangat. Dikelilingi wajah-wajah samar yang tersenyum. Mereka tidak berbicara. Hanya duduk, melihatnya, dan mengangguk perlahan. Di tengah mereka, duduk seorang pria berambut kelabu dengan mata tenang.
“Jaga rumah ini, jika kau mau,” kata pria itu.
Galang bertanya, “Siapa kau?”
Pria itu tersenyum. “Aku dulu juga bertanya hal yang sama. Tapi percayalah… jawabannya akan datang saat kau berhenti bertanya dan mulai mendengarkan.”
Galang bangun keesokan harinya. Lentera di ruang tamu masih menyala.
Dan sejak hari itu… rumah itu tidak menunggu lagi.
Karena penunggu baru telah datang.
Dan kisah pun dimulai kembali.***
————-THE END—————–