Bab 1 – Bara di Balik Langkah
Suara logam bergesekan terdengar dari balik bengkel tua di pinggir kota. Di antara bau pelumas dan debu yang menempel di dinding, seorang pria dengan tatapan kosong memutar mur pada mesin tua. Namanya Raka—pria yang seharusnya sudah mati sepuluh tahun lalu.
Raka bukan mekanik biasa. Gerakannya terlalu terlatih, terlalu halus untuk seseorang yang hanya hidup dari membetulkan mesin. Tangannya penuh bekas luka, sebagian tampak seperti bekas terbakar. Tapi tak seorang pun di kota kecil ini peduli. Bagi mereka, Raka adalah pria pendiam yang memperbaiki sepeda motor dengan cepat dan tak banyak tanya.
Namun hari itu berbeda.
Pukul 10 pagi, langit mendung, dan hujan gerimis menyentuh tanah. Raka baru saja menyelesaikan pekerjaan ketika Anton, sahabat sekaligus pemilik kedai kopi di sebelah bengkel, datang menghampiri.
“Raka, ada paket buatmu. Nggak ada nama pengirim. Cuma… ini,” katanya sambil mengulurkan kotak kecil berwarna hitam.
Raka menatap kotak itu lama. Tangannya tak langsung mengambil. Ia tahu, benda kecil bisa membawa kehancuran besar.
“Taruh di meja dalam,” ucapnya pelan.
Anton mengangguk, lalu kembali ke kedainya. Raka menutup pintu bengkel, mengunci, lalu membawa kotak itu ke meja kerjanya. Dengan hati-hati, ia membukanya.
Di dalamnya ada dua benda: sebuah kepingan logam hitam berbentuk segitiga dan foto lama—foto dirinya saat masih berseragam, bersama tiga pria lain. Mereka semua tersenyum. Tapi dari empat orang di foto itu, hanya Raka yang masih hidup.
Seketika napasnya berat. Kepingan logam itu adalah simbol operasi rahasia bernama “Operasi Araksa”—misi kelam yang ia jalani bertahun-tahun lalu. Misi yang tak pernah tercatat dalam sejarah militer resmi. Hanya yang terlibat langsung yang tahu betapa kotornya operasi itu.
Sebelum sempat berpikir lebih jauh, dentuman keras memecah keheningan.
BOOM!
Bengkel berguncang. Getaran kuat mengirimkan gelas dan kunci berhamburan. Raka segera berlari keluar.
Asap hitam mengepul dari arah kedai kopi Anton. Api menjilat atap, membakar dengan buas. Tubuh orang-orang berserakan. Teriakan menggema. Dan di antara kobaran api itu, Raka melihat Anton—terbaring, tak bergerak, separuh tubuhnya tertutup puing-puing.
Raka menerjang ke dalam kobaran, tak peduli panas atau luka. Ia menarik tubuh Anton, menyeretnya keluar, tapi tatapan mata sahabatnya sudah kosong.
Raka menggertakkan gigi. Di dada Anton, ada ukiran aneh di kulitnya—tergores menggunakan benda tajam. Simbol yang sama dengan kepingan logam yang baru saja ia terima.
Ini bukan kebetulan. Ini pesan.
Seseorang tahu siapa Raka sebenarnya. Dan mereka ingin dia kembali masuk ke dalam permainan.
Malam itu, hujan turun deras. Raka duduk di depan foto-foto lama, menyusun kembali potongan-potongan masa lalu. Ia tahu siapa yang bisa melakukan ini. Hanya satu nama yang muncul di pikirannya: Reza Dirgantara—mantan komandannya, pria yang menghilang setelah misi terakhir, dan kini mungkin menjadi otak dari kehancuran baru.
Raka membuka brankas kecil di bawah lantai bengkel. Di dalamnya, senjata yang ia kubur bersama identitas lamanya: sepucuk pistol, pisau tempur, dan lencana operasi. Semua masih utuh. Semua masih mengingatkannya bahwa ia dulu adalah senjata hidup.
Ia mengambil pistol itu, beratnya masih sama. Tapi kali ini, bukan karena perintah negara. Bukan karena ideologi. Ini soal nyawa. Soal dendam. Dan soal menebus langkah-langkah berdarah yang dulu pernah ia ambil.
“Kalau mereka ingin aku kembali…” gumamnya lirih, “maka aku akan menari di atas bara lagi.”
Namun kali ini, bara itu tak hanya membakar tanah—tapi juga hati yang belum pernah benar-benar sembuh.
Bab 2 – Api yang Tak Padam
Hujan telah reda, menyisakan genangan air di jalanan rusak dan aspal menghitam. Sisa ledakan di kedai kopi Anton masih dikelilingi garis polisi. Warga berbisik-bisik, beberapa masih trauma, sebagian memilih diam, takut terlibat. Kota kecil itu mendadak tak lagi terasa aman. Tapi bagi Raka, bahaya seperti ini bukan hal baru. Ia justru merasa terlalu akrab dengan kehancuran.
Malam itu, Raka tidak tidur. Ia duduk di ruang belakang bengkelnya, di mana beberapa peta dan foto masa lalu kini kembali terbentang di meja. Ia memandangi foto hitam-putih dengan tatapan tajam—foto tim lamanya: dirinya, Anton, Dimas, dan Reza.
Anton sudah mati. Dimas mati bertahun lalu, saat Operasi Araksa berakhir dalam kekacauan. Hanya Raka dan Reza yang tersisa. Dan jika simbol itu benar, maka Reza telah kembali dari bayangan, membakar segala yang tersisa untuk mengundangnya kembali ke dalam permainan.
Raka menyalakan sebatang rokok. Ia tak lagi merokok sejak keluar dari operasi militer, tapi malam ini, dadanya terlalu sesak.
Ponselnya berdering. Nomor tidak dikenal. Ia angkat, namun tidak berkata apa-apa.
Seseorang di ujung telepon hanya berkata satu kalimat, dengan suara berat yang telah lama ia kenal:
“Kau memang susah dimatikan, Ka.”
Klik.
Tak perlu waktu lama bagi Raka untuk mengenali suara itu. Reza. Hidup. Berkeliaran. Dan sekarang bermain-main di atas mayat sahabatnya.
Keesokan paginya, Raka menuju Jakarta. Ia naik bus antarkota dengan hoodie hitam dan tas ransel kecil berisi pistol, pisau, dan selembar surat tua yang terselip dalam saku dalam jaket—surat yang dulu ia tulis untuk keluarganya tapi tak pernah dikirim. Ia tahu, hidupnya saat ini tak boleh berjejak. Semua harus dibakar. Semua harus dilupakan, kecuali satu: tujuan.
Ia tiba di sebuah gedung tua tak jauh dari pelabuhan. Tempat itu dulunya markas operasi rahasia mereka—sekarang kosong dan sepi. Tapi Raka tahu tempat seperti ini tak pernah benar-benar mati. Ia menyusup ke dalam melalui lorong bawah tanah, menyalakan senter kecil di pergelangan tangan.
Di dinding ruang bawah tanah itu, ia menemukan sesuatu yang membuat jantungnya berhenti sejenak: lukisan dinding baru—gambar dirinya, dengan mata dicoret merah. Di bawahnya tertulis: “Satu mati, tiga tinggal. Dua akan menyusul. Yang terakhir harus dibakar.”
Itu pesan jelas. Mereka tidak hanya mengincar Raka. Tapi juga jejak masa lalu.
Tiba-tiba suara langkah terdengar dari balik lorong. Raka menoleh cepat, menyelinap ke balik dinding.
Tiga pria muncul—bersenjata. Wajah mereka ditutupi topeng. Gerakan mereka disiplin, jelas bukan penjahat kelas jalanan.
Tanpa suara, Raka bergerak. Pisau di tangannya melesat, menancap di leher salah satu pria. Dua lainnya kaget, tapi hanya sesaat. Mereka menyerang bersamaan.
Pertarungan jarak dekat pun pecah. Tinju, tendangan, dan gerakan membunuh tanpa suara saling bertukar. Raka menerima satu hantaman keras di bahu, tapi ia membalas dengan sabetan pisau ke perut lawan. Hanya butuh dua menit untuk membuat lorong itu kembali sunyi—tapi basah oleh darah.
Salah satu dari mereka masih hidup. Raka menahan napas, mencengkeram kerahnya. “Siapa yang mengirimmu?”
Lelaki itu tertawa pelan meski tubuhnya sudah nyaris mati. “Kau pikir ini tentangmu saja? Reza ingin menutup semua buku lama. Kau bab terakhirnya.”
Lalu darah memenuhi mulut pria itu. Mati.
Raka berdiri, napasnya memburu. Dia tahu Reza tidak akan berhenti. Ini bukan tentang balas dendam. Ini tentang penghapusan. Tentang menghapus jejak-jejak masa lalu agar rencana baru bisa lahir di atas puing-puing lama.
Raka meninggalkan lorong itu dengan satu tujuan: mencari Sinta.
Dia satu-satunya yang tahu keberadaan server data lama yang menyimpan rekaman operasi Araksa. Jika Reza ingin membakar semuanya, maka server itu pasti target berikutnya.
Matahari mulai tenggelam saat Raka menaiki sepeda motor ke arah selatan kota. Jalanan berkelok, dan angin membawa aroma bensin dan hujan. Di kepalanya, pertanyaan demi pertanyaan berputar: kenapa sekarang? Apa yang sedang disiapkan Reza? Dan… kenapa membunuh Anton?
Tapi satu hal pasti—api di dadanya telah menyala kembali. Api yang dulu ia padamkan dengan susah payah kini membakar lebih besar.
Ini bukan hanya perang masa lalu. Ini adalah pertarungan terakhir. Dan Raka tak akan lari kali ini.
Ia menatap jalan yang terbentang di depannya, gelap dan panjang seperti bara yang belum padam.
Bab 3 – Langkah Tanpa Bayangan
Langit Jakarta muram sore itu. Awan menggantung rendah seperti menyimpan rahasia gelap yang tak sempat terucap. Di antara padatnya lalu lintas dan suara klakson yang bertalu-talu, Raka menyelinap dalam bayang-bayang gang sempit, menyusuri jalan belakang gedung tua yang pernah menjadi markas intelijen bayangan. Di balik jaket lusuhnya, tubuhnya bergerak ringan—seperti bayangan yang tak menjejak tanah.
Tujuan Raka satu: mencari Sinta, wanita yang dulu pernah mengisi hidupnya, sekaligus satu-satunya orang di luar militer yang memiliki salinan data Operasi Araksa. Setelah kematian Anton, satu-satunya jalan untuk melawan Reza adalah membuka kembali semua kebenaran—dari awal.
Ia tahu, jika Sinta masih hidup, dia tak akan tinggal diam. Wanita itu cerdas, berani, dan tak pernah gentar menghadapi bahaya. Tapi justru karena itulah, Sinta jadi target berikutnya.
Raka berhenti di depan sebuah gedung tua di kawasan Blok M. Dulu, gedung itu digunakan sebagai tempat latihan jurnalis bawah tanah. Kini terlihat seperti bangunan terlantar. Namun bagi Raka, yang terbiasa membaca tanda-tanda kecil, segala sesuatu di sana terlalu rapi untuk disebut kosong.
Ia masuk melalui pintu belakang, pelan-pelan. Langkahnya nyaris tanpa suara. Di dalam, aroma kertas tua dan debu menyergap. Lorong panjang dengan lampu berkedip menemani tiap detaknya. Di ujung lorong itu, terdengar suara.
Perempuan.
“…aku tahu kalian dengar ini. Tapi aku tidak akan diam. Apa yang terjadi sepuluh tahun lalu harus diungkap. Raka tidak bersalah. Kalian yang punya darah di tangan.”
Raka menghentikan langkah. Itu suara Sinta. Ia masih hidup. Dan sedang mengirimkan pesan ke dunia luar.
Tiba-tiba, suara kaca pecah. Teriakan. Denting logam. Raka berlari.
Di ruangan siaran darurat, dua pria bertopeng menyeret Sinta. Salah satunya menodongkan pistol ke arah kepalanya. Sinta berusaha melawan, tapi kalah tenaga.
Raka bergerak.
Dengan kecepatan dan presisi yang hanya dimiliki tentara bayangan, ia menendang pintu hingga terlempar. Pistol di tangannya menyalak dua kali.
DOR! DOR!
Satu pria roboh, pelipisnya pecah. Yang satunya menarik Sinta sebagai tameng.
“Langkah lagi, gue tembak dia!” ancamnya.
Raka tak berbicara. Ia justru menatap mata pria itu, lalu menurunkan pistol.
“Ambil aku, lepas dia.”
Pria itu tertawa sinis. Tapi saat ia sedikit melonggarkan genggaman karena mengira menang, Sinta menyikut keras ke rusuknya. Dalam sekejap, Raka menembak tepat di bahunya.
Tubuh pria itu terlempar ke belakang. Sinta jatuh ke lantai, terengah, tapi hidup.
“Masih sama cerobohnya seperti dulu,” ujar Sinta, setengah tertawa.
Raka menatapnya, mata mereka bertemu. Ada banyak hal yang tak terucap dalam pertemuan itu—rasa bersalah, kehilangan, dan kerinduan yang dibungkam oleh waktu.
“Aku perlu bantuannya,” kata Raka. “Reza kembali. Dan dia tidak datang sendiri.”
Sinta mengangguk. Ia tahu ini bukan lagi tentang dendam pribadi. Ini tentang sejarah kelam yang akan kembali memakan korban jika mereka diam.
Malam itu, mereka bersembunyi di sebuah tempat aman di bawah tanah, bekas bunker yang dulu digunakan untuk pengarsipan media alternatif. Sinta membuka sebuah laptop tua, lalu mengetikkan sandi panjang.
“Data ini kuduplikat sebelum pusat intel itu dibakar. Tapi untuk membukanya… butuh dua kode verifikasi.”
Raka tahu siapa yang menyimpan kode kedua. Kapten Bram, satu-satunya petinggi militer yang dulu menentang Operasi Araksa—dan sekarang hilang entah ke mana.
“Kalau begitu, kita harus menemukannya,” ucap Raka.
Sinta menatapnya. “Kalau kita gagal, kita bukan cuma mati, Ka. Kita akan mengubur semua bukti selamanya.”
Raka menatap layar, di mana file bernama “Araksa-Final” masih terkunci.
“Kita tidak akan gagal,” ujarnya. “Aku tidak akan gagal lagi.”
Sementara itu, di tempat lain, Reza duduk di dalam ruangan gelap, mengawasi rekaman pergerakan Raka dan Sinta dari kamera tersembunyi.
“Langkahmu cepat, Ka,” bisiknya, suara datar. “Tapi aku sudah tak bermain bayangan lagi. Sekarang aku main di tengah terang, dan semua mata… milikku.”
Ia menekan tombol.
Layar lain menyala, memperlihatkan foto Kapten Bram, disilangkan merah dengan kata “TARGET BERIKUTNYA.”
Bab 4 – Luka yang Terlupakan
Langit pagi di pinggiran kota Cisarua terlihat tenang, seolah tak tahu bahwa ada perang senyap yang sedang mendekat. Burung-burung berkicau di antara pepohonan pinus, dan kabut menyelimuti lereng perbukitan yang dulu menjadi tempat latihan para pasukan elit. Tapi hari itu, bukan latihan yang akan terjadi—melainkan pencarian kebenaran yang terkubur.
Raka dan Sinta berdiri di depan sebuah rumah tua, berdinding kayu dan beratap seng. Rumah itu nyaris tak tersentuh teknologi; hanya sebuah antena TV karatan menempel di sisi dinding. Di dalamnya, tinggal seorang pria yang dulu dikenal sebagai Kapten Bram, instruktur mereka saat menjalani pelatihan ekstrem sebelum bergabung dengan Operasi Araksa.
Kapten Bram adalah legenda. Tegas, disiplin, dan satu-satunya orang yang pernah membela Raka saat namanya dijatuhkan. Tapi sejak insiden sepuluh tahun lalu, dia menghilang tanpa jejak. Banyak yang mengira ia mati. Namun Raka tahu: orang seperti Bram tidak mati, dia hanya menunggu waktu yang tepat untuk muncul kembali.
Raka mengetuk pintu tiga kali. Tak ada jawaban. Ia menunggu, lalu mengetuk sekali lagi—dengan pola tertentu, seperti kode.
Krekk.
Pintu terbuka perlahan. Muncul sosok tinggi besar, berambut putih, berjanggut, dengan mata tajam yang masih menyimpan bara. Kapten Bram berdiri di sana, tubuhnya renta tapi sorot matanya tak berubah.
“Sudah kuduga kau akan datang,” katanya.
Mereka duduk di ruang tamu sempit, ditemani secangkir kopi hitam yang pahit. Sinta menjelaskan keadaan—tentang Anton, Reza, dan file Araksa yang masih terkunci. Bram mendengarkan tanpa menyela, hanya sesekali mengangguk pelan.
“Aku tahu ini akan terjadi. Reza… bukan orang yang berhenti di tengah jalan,” ujar Bram. “Dia sakit sejak misi terakhir itu. Saat Dimas mati, aku tahu dia berubah. Tapi kita semua terlalu terlambat melihatnya.”
Raka menunduk. Luka lama itu kembali menganga.
“Dimas mati karena kesalahan kita,” katanya pelan.
Bram menatapnya. “Dimas mati karena dia percaya pada prinsip. Kau juga. Tapi Reza… dia ingin kekuasaan.”
Lalu Bram berdiri, berjalan ke sudut ruangan dan menarik papan lantai yang longgar. Dari sana ia mengeluarkan kotak besi kecil dengan sidik jarinya. Di dalamnya, selembar chip verifikasi kedua.
“Ini yang kalian cari,” katanya, menyerahkan chip itu pada Sinta. “Tapi hati-hati. Setelah ini terbuka, tak akan ada jalan kembali. Reza pasti memantau semua jalur komunikasi.”
Sinta menyelipkan chip itu ke dalam saku dalam jaketnya.
Tiba-tiba, jendela pecah.
DOR DOR DOR!
Peluru menembus kayu, menghantam lemari dan tembok. Raka segera menjatuhkan Sinta ke lantai. Bram berguling ke balik sofa, mengangkat senapan tua yang entah dari mana ia keluarkan.
“Tiga orang!” teriak Bram. “Bersenjata otomatis!”
Serangan itu bukan peringatan. Ini eksekusi.
Raka membalas tembakan sambil berlindung di balik meja kayu. Satu peluru nyaris mengenai lehernya. Sinta menarik pistol dari tas, matanya fokus. Dalam situasi seperti ini, dia bukan lagi jurnalis, melainkan rekan tempur.
Satu penyerang menerobos lewat pintu. Bram menembaknya tepat di dada. Tubuhnya terlempar ke belakang seperti karung pasir.
Tapi dua lainnya terus menembak dari luar.
“Keluar lewat belakang!” teriak Bram. “Ada lorong ke bukit!”
Mereka berlari ke dapur, membuka pintu kayu yang mengarah ke kebun belakang. Di sana, lorong tanah sempit membelah semak belukar, menanjak ke atas perbukitan. Mereka menyusup masuk, tertutup kabut pagi yang mulai menghilang.
Raka berhenti sejenak, menoleh ke belakang. Bram masih di dalam rumah, menembaki para penyerang. Tapi dari jarak itu, Raka tahu… Bram tak akan bertahan.
“Kapten!” teriak Raka.
Namun Bram hanya mengangkat tangan—memberi hormat.
Lalu ledakan mengguncang rumah. Api menyambar atap. Suara kayu patah dan peluru terakhir mengakhiri segalanya.
Kapten Bram… telah memilih untuk mati berdiri, bukan bersembunyi.
Di puncak bukit, Sinta menahan air matanya. Chip masih utuh di sakunya, tapi nyawa lain telah terenggut karena mereka.
“Dia menyelamatkan kita,” bisiknya.
Raka memandang ke kejauhan, melihat asap mengepul dari rumah yang kini tinggal abu. Dalam hatinya, luka lama kembali berdarah. Tapi tidak ada waktu untuk menangis. Tidak saat musuh masih berjalan bebas.
“Kapten Bram memilih jalan ini. Kita harus teruskan,” ucapnya tegas.
Di balik luka yang belum sembuh, mereka melangkah lagi. Tanpa bayangan. Tanpa pelindung. Tapi dengan tujuan yang lebih kuat dari dendam—kebenaran.
Bab 5 – Musuh Tanpa Wajah
Udara dingin menyelimuti lorong bawah tanah stasiun tua yang sudah lama tak digunakan. Gemuruh dari kereta yang melintas di kejauhan hanya menjadi gema samar di tempat itu. Raka menyalakan lampu senter kecil yang menggantung di rompinya. Cahaya menyusuri dinding-dinding batu berlumut, menciptakan bayangan yang menari seperti hantu masa lalu.
Sinta berjalan di belakangnya, sesekali menoleh ke belakang. Bukan karena takut, tapi karena naluri. Setelah kematian Kapten Bram, mereka tahu: setiap langkah kini diawasi. Dan musuh yang mereka hadapi bukan hanya bayangan masa lalu, tapi juga wajah-wajah yang tidak mereka kenal. Atau lebih tepatnya, tidak memiliki wajah sama sekali.
“Seberapa dalam lorong ini?” tanya Sinta setengah berbisik.
“Cukup dalam untuk menyembunyikan data selama revolusi digital. Tempat ini dulu dipakai menyelundupkan file, rekaman, bahkan orang,” jawab Raka. “Dan sekarang, satu-satunya jalan aman untuk mencapai bunker akses.”
Di ujung lorong, mereka menemukan pintu besi tua berkarat dengan sandi biometrik. Raka menempelkan jari telunjuknya, lalu retina.
Bip.
Pintu terbuka, memperlihatkan ruang server tersembunyi. Cahaya biru dari monitor memenuhi ruangan itu. Di tengahnya, sebuah konsol utama menyala, siap menerima dua chip kunci enkripsi.
Sinta mengeluarkan chip Bram. Raka mengeluarkan chip miliknya. Mereka memasukkan keduanya bersamaan.
Klik.
Layar berkedip, menampilkan logo “Operasi Araksa”. File demi file terbuka: rekaman, pesan suara, peta, nama-nama, dan sebuah rekaman video.
Raka memutar video itu.
Di layar, tampak seorang pria—muda, dengan seragam hitam dan baret merah. Reza. Tapi wajahnya terlihat berbeda. Matanya menyala dengan ambisi yang belum berubah, tapi senyumnya… dingin. Menakutkan.
“Aku tidak menyesal. Semua pengkhianat itu pantas mati. Termasuk yang kini kau lindungi. Araksa adalah awal dari sesuatu yang lebih besar. Dan aku akan menyelesaikannya.”
Sinta menelan ludah. “Dia sudah gila sejak dulu…”
Raka mematikan video. Tapi sebelum mereka sempat memindahkan data, seluruh sistem gelap.
Brak!
Suara dari atas. Pintu lorong tertutup otomatis. Lampu darurat menyala merah.
Seseorang sudah masuk.
Muncul suara dari pengeras suara tersembunyi. Datar. Penuh ironi.
“Hebat sekali. Kau memang tetap brilian, Raka. Tapi sayangnya, langkahmu masih bisa kubaca.”
Suara Reza.
“Selamat datang di permainan yang sebenarnya.”
Lalu dari balik bayangan, muncul sosok-sosok berseragam hitam, bertopeng, tanpa lencana, tanpa identitas. Pasukan tanpa nama. Tanpa wajah. Gerakan mereka senyap. Mereka bukan preman. Mereka bukan tentara. Mereka… bayangan.
Raka menarik Sinta ke belakang konsol. “Ambil flash drive. Semua data harus kita bawa.”
Peluru mulai berdesing. Satu menghantam server, membuat percikan api. Raka berguling, menembak dua bayangan. Salah satunya roboh tanpa suara.
Sinta berhasil mencabut flash drive, tapi salah satu bayangan menariknya dari belakang. Raka berlari, menendang keras ke arah penyerang itu hingga terdorong ke dinding. Sinta menarik napas kasar, darah menetes dari pelipisnya.
“Kita harus keluar sekarang!”
Raka menyalakan alat pemutus sirkuit darurat. Pintu besi terbuka kembali dengan suara berderit berat. Mereka berlari menyusuri lorong, dikejar peluru dan napas kematian.
Di ujung lorong, mereka naik ke ruang kereta tua yang sudah dipensiunkan. Raka menendang tuas pengungkit darurat. Gerbong tua itu mulai bergerak, terguncang hebat di atas rel.
Sinta duduk terengah, memegang flash drive dengan kedua tangan.
“Kita tidak bisa terus begini, Ka,” ucapnya pelan. “Setiap langkah selalu… dikejar.”
Raka menatap ke luar jendela kecil, melihat bayangannya sendiri. “Itu karena musuh kita tidak ingin dikenali. Dia tidak memakai wajah. Tidak memakai nama. Tapi dia tahu semua tentang kita.”
“Bagaimana bisa kita melawan sesuatu yang tidak bisa dilacak?”
Raka diam sejenak. Lalu berkata, “Dengan menjadi sesuatu yang juga tak bisa ditebak.”
Sinta menatapnya. “Kau akan kembali jadi… bayangan?”
“Bukan untuk balas dendam. Tapi untuk menghancurkan sistem yang memberi mereka kekuatan.”
Gerbong terus melaju, membawa mereka menuju tempat baru. Tapi Raka tahu, selama Reza bersembunyi di balik institusi yang membiarkannya berkuasa, maka perang ini belum selesai. Dan yang paling berbahaya dari musuh seperti itu adalah: kau tak tahu kapan dia berdiri tepat di belakangmu.
Bab 6 – Bara di Telapak Tangan
Gerbong tua yang ditumpangi Raka dan Sinta akhirnya berhenti di sebuah stasiun terbengkalai di luar kota. Malam telah turun, dan udara dipenuhi kelembapan. Kabut perlahan-lahan turun dari perbukitan, menutupi rel yang berkarat dan membuat setiap suara terdengar lebih menyeramkan dari seharusnya.
Mereka turun dengan cepat. Raka menggenggam erat koper logam yang berisi flash drive berisi data Operasi Araksa. Meski tangan kanannya bergetar karena luka bekas tembakan, ia tidak mengendurkan pegangan. Di koper itu, terkandung kunci menuju kehancuran sistem yang telah melindungi Reza selama bertahun-tahun.
Sinta mengikutinya dari belakang, napasnya pendek, tapi matanya tetap tajam. Meski bukan petarung seperti Raka, ia kini telah berubah. Bukan lagi hanya jurnalis idealis. Tapi seorang saksi mata yang sudah mencicipi api dari pertempuran yang sesungguhnya.
“Sekarang kita ke mana?” tanya Sinta.
Raka menoleh ke arah bukit yang menjulang tak jauh dari sana. Di atasnya, berdiri satu-satunya rumah yang masih menyala: rumah Pak Harun — mantan teknisi intelijen yang dulu dikenal sebagai si “Tangan Besi”. Jika ada satu orang lagi yang bisa mereka percaya, itu dia.
Pak Harun membuka pintu dengan tangan kirinya. Tangan kanannya adalah prostetik logam hasil dari luka masa lalu — luka yang didapat saat mencoba menghentikan misi hitam Araksa pertama kali.
“Wajahmu masih penuh masalah, Rak,” katanya, setengah bercanda.
“Dan masalahnya makin besar, Pak.”
Mereka masuk. Rumah itu sederhana tapi penuh dengan kabel, monitor, dan tumpukan dokumen. Harun tinggal sendirian, ditemani sistem keamanan dan satu burung nuri yang cerewet.
Raka menyerahkan koper pada Harun. “Kita butuh bantuanmu membongkar isi ini. Tapi dengan protokol isolasi. Mereka bisa melacak sinyal kapan saja.”
Harun membuka koper dan menatap flash drive seperti menatap sebongkah bom aktif.
“Kalau benar isinya seperti yang kalian bilang, kita bukan cuma mengguncang sistem. Kita bisa membakar semuanya.”
Sinta berdiri di belakang, wajahnya serius. “Mungkin memang harus terbakar dulu, sebelum bisa dibangun ulang.”
Di ruang kerja bawah tanah Harun, data dari flash drive diproses. Monitor menampilkan nama-nama operasi rahasia, transaksi dana, dan keterlibatan sejumlah pejabat militer dan sipil dalam pembentukan Divisi 77 — unit bayangan yang kini menjadi alat utama Reza.
Salah satu data paling mencolok: Proyek Cermin, sebuah program pengawasan yang menggunakan algoritma AI untuk memanipulasi bukti dan menyabotase sistem hukum. Semua itu dikendalikan dari satu pusat, tersembunyi di balik korporasi keamanan bernama SirisTech.
Raka mengepalkan tangan. “Jadi semua ini bukan cuma tentang balas dendam Reza… Ini soal kekuasaan absolut.”
Harun mengangguk. “Dia sudah bukan Reza yang kalian kenal. Dia sudah jadi arsitek kekacauan.”
Tiba-tiba, alarm di sistem berbunyi.
“Gerakan mendekat,” kata Harun. “Empat orang. Suara sepatu berat. Mereka bukan polisi.”
Sinta menoleh pada Raka. “Bagaimana mereka bisa tahu?”
Raka meraih senjatanya. “Mungkin… bukan mereka yang mencium jejak kita. Tapi seseorang dari dalam yang memberi umpan.”
Pertempuran pecah cepat. Raka dan Harun menghadapi empat agen bersenjata lengkap. Tapi Harun masih lincah. Meski dengan tangan logam, ia menjatuhkan satu penyerang dengan teknik sapuan cepat, lalu menggunakan pelindung dada sebagai tameng.
Sementara itu, Sinta melindungi drive. Ia menembak ke arah konsol, mengaktifkan mode pemindahan otomatis ke hard drive cadangan yang tertanam di lantai. Ia tahu: jika mereka kalah, data tetap harus selamat.
Salah satu agen menghampiri Raka, melayangkan pukulan keras. Raka menangkis, lalu menekuk lengan lawan hingga terdengar bunyi patah. Tapi lawan itu tidak mengeluarkan suara — wajahnya tertutup helm hitam tanpa simbol, tanpa ekspresi. Seperti… boneka tanpa jiwa.
“Siapa kalian sebenarnya?” seru Raka.
Tapi tak ada jawaban.
Setelah pertarungan sengit, mereka berhasil melumpuhkan tiga dari empat penyerang. Yang terakhir melarikan diri ke hutan. Harun mencoba melacaknya, tapi sinyalnya hilang begitu cepat.
“Dia bukan manusia biasa,” gumam Harun. “Atau… bukan sepenuhnya manusia.”
Raka berdiri, napasnya berat. Ia membuka sarung tangan dan menatap telapak tangannya yang berdarah dan memar. Luka-luka itu… seperti bara yang menyala terus. Tapi ia sadar: di sanalah kekuatannya.
Bara itu bukan kehancuran. Itu adalah pengingat: bahwa selama ia masih bisa merasakan sakit, berarti ia belum kalah.
Sinta berdiri di sampingnya. “Data sudah diamankan. Tapi… ke mana kita bawa ini sekarang?”
Raka menatap ke luar jendela. Langit mulai terang sedikit. Cahaya fajar mengintip malu-malu dari balik awan.
“Kita akan ke pusat. Langsung ke jantungnya. Saatnya bukan hanya membocorkan data. Tapi menggulingkan wajah-wajah palsu yang bersembunyi di balik demokrasi.”
Sinta mengangguk. Tak ada jalan kembali.
Dan di telapak tangan mereka, bara itu tetap menyala. Bukan untuk membakar dunia—tapi untuk menerangi jalan yang telah lama dibungkam.
Bab 7 – Langit Merah di Tengah Kota
Pagi belum sempurna ketika mereka sampai di kota pusat: Akaraya, ibu kota negara yang menjulang dengan gedung-gedung kaca dan beton, jalanan padat, serta hiruk-pikuk kehidupan yang terus berjalan seakan tak ada apa-apa yang salah.
Tapi di mata Raka, kota itu tampak lain. Seperti seekor naga raksasa yang sedang tidur, tenang di luar tapi menyimpan bara api di dalam dadanya. Bara yang sebentar lagi akan meledak.
“Reza ada di sini,” gumamnya, berdiri di atap sebuah gedung tua, mengenakan hoodie kelabu dan topeng wajah setengah. “Dan dia tahu kita juga.”
Sinta duduk di sampingnya, memeriksa hard drive yang kini telah mereka lindungi dengan tiga lapis enkripsi tambahan. Di dalamnya, semua data dari Operasi Araksa, Divisi 77, Proyek Cermin, dan bukti keterlibatan sejumlah elit.
“Kita butuh panggung besar untuk ini,” kata Sinta. “Sesuatu yang tak bisa mereka tutup-tutupi atau hilangkan begitu saja.”
Raka mengangguk. “TV nasional, siaran langsung. Kita masuk dari dalam. Dan untuk itu, kita butuh satu orang lagi.”
Gilang Raharja, mantan presenter televisi yang dipecat karena terlalu vokal terhadap militer dan sistem pengawasan negara. Kini, ia menjalankan saluran berita bawah tanah di jaringan gelap. Raka dan Sinta menemukannya di sebuah bar lounge tersembunyi di distrik bawah kota, menyamar sebagai bartender.
“Kau gila,” kata Gilang setelah mereka selesai menjelaskan rencana mereka.
“Tidak,” jawab Raka. “Kita hanya tidak punya waktu lagi.”
Gilang menatap layar laptop mereka, melihat data yang mengungkap wajah-wajah lama yang pernah ia curigai. Wajah menteri, jenderal, hingga nama-nama korporasi besar yang selama ini mendanai sistem.
“Aku bisa siarkan ini ke seluruh jaringan. Tapi kalian harus masuk ke menara pemancar langsung. Server utama mereka sekarang punya filter otomatis. Kau tahu itu berarti perang terbuka, kan?”
Raka hanya tersenyum. “Perang sudah lama dimulai. Kita hanya terlambat ikut bertarung.”
Menjelang senja, mereka bergerak. Kota terlihat seperti biasa—ramai, terburu-buru, tak peduli—tapi di balik jendela dan layar, kamera-kamera tersembunyi memindai setiap wajah, setiap langkah. Raka dan Sinta menyusup ke dalam kerumunan, mengenakan identitas palsu yang dipinjam dari Harun. Sementara itu, Gilang sudah berada di ruang bawah tanah gedung penyiaran nasional.
Menara penyiaran utama berada di jantung kota, berdiri megah seperti tombak menusuk langit. Dan hari itu, langit Akaraya terlihat merah, bukan karena senja, tapi karena asap.
Beberapa kilometer dari pusat kota, ledakan misterius terjadi di gudang logistik militer. Polisi menyebutnya “kecelakaan kecil”, tapi Raka tahu itu adalah pengalih perhatian. Reza mencoba mengalihkan mata publik, sementara ia mencari mereka.
Di lobi gedung pemancar, penjagaan diperketat. Raka dan Sinta menyelinap lewat jalur layanan yang dulu digunakan kru teknis. Dengan bantuan Gilang dari dalam, pintu demi pintu terbuka.
Tapi di lantai 20, mereka disergap.
Dua pria berpakaian sipil menarik Sinta ke dinding, sementara satu lagi mencoba merampas hard drive dari tas Raka.
Raka bereaksi cepat. Menendang lutut salah satu penyerang, lalu menghantam leher pria lain dengan siku. Sinta menggigit tangan penyerangnya dan menendang ke arah selangkangan.
Begitu lolos, mereka lari ke tangga darurat. Nafas mereka memburu. Alarm mulai berbunyi.
Di lantai 24, Gilang sudah menunggu dengan akses ke ruang penyiaran. Di sana, ia menyambungkan hard drive ke sistem utama.
“Siaran akan mulai dalam 30 detik,” katanya.
Tapi di saat yang sama, Reza muncul di layar monitor. Siaran internal.
“Lama tidak bertemu, Raka,” katanya dengan suara tenang, nyaris bersahabat. “Aku kira kau lebih cerdas dari ini. Kau pikir kebenaran bisa menang hanya karena disiarkan?”
Raka menatap layar dengan mata dingin. “Kau benar. Kebenaran tidak menang hanya karena disiarkan. Tapi kali ini, semua orang akan menontonnya.”
Siaran dimulai.
Video ditampilkan: rekaman pembantaian misi Araksa, wajah-wajah para korban, data perintah langsung dari Reza, dokumen Proyek Cermin, rekaman suara pejabat tinggi yang mengakui keterlibatan mereka.
Kota Akaraya berhenti sejenak.
Lalu mulai bergetar.
Di luar gedung, warga mulai berkumpul, menyaksikan layar besar di alun-alun kota. Di kantor berita, telepon berdering tanpa henti. Di markas militer, sirene berbunyi.
Langit menjadi merah—karena emosi. Karena kebenaran yang selama ini disembunyikan akhirnya membakar udara.
Sinta berdiri di samping Raka, menggenggam tangannya. “Apa kita sudah menang?”
Raka menggeleng. “Belum. Tapi untuk pertama kalinya… musuh kita keluar dari bayang-bayang.”
Dan di langit merah Akaraya, satu hal menjadi pasti: kebohongan sudah tak bisa kembali menjadi rahasia.
Bab 8 – Kebenaran yang Berdarah
Siaran itu meledak seperti granat di tengah kerumunan. Dalam hitungan menit, nama-nama besar yang sebelumnya tak tersentuh mulai muncul di media sosial, disandingkan dengan bukti-bukti tak terbantahkan dari data Raka dan Sinta. Para jurnalis independen menyebarkan potongan-potongan video; aktivis turun ke jalan membawa poster bertuliskan “Kami Melihat!” dan “Keadilan Tak Lagi Buta.”
Namun, seperti bara yang dibangkitkan, kebenaran juga membakar, dan api itu menjalar tak terkendali.
Pagi setelah siaran, kota Akaraya mendidih. Demonstrasi pecah di berbagai titik, sebagian damai, sebagian kacau. Di depan gedung kementerian pertahanan, ratusan orang memblokir jalan sambil meneriakkan nama-nama korban Operasi Araksa.
Tapi pemerintah bertindak cepat—terlalu cepat. Pasukan tak dikenal, berpakaian hitam tanpa lambang, mulai menyusup ke kerumunan. Bukan untuk mengamankan, tapi untuk membungkam. Mereka memukul mundur demonstran, membakar tenda aktivis, dan menangkap jurnalis yang merekam.
“Reza masih pegang kendali,” kata Sinta dari dalam persembunyian mereka—sebuah ruangan bawah tanah sempit di gedung sekolah tua. “Meskipun topengnya telah jatuh, dia masih punya gigi yang tajam.”
Raka berdiri, wajahnya penuh amarah. “Kita harus cabut gigi itu sekarang, sebelum semakin banyak yang berdarah.”
Di tangan kirinya, ia menggenggam foto usang—foto keluarganya, yang menjadi korban dalam misi Araksa lima tahun lalu. Saat itu, ia hanyalah seorang agen lapangan, dikirim tanpa tahu bahwa keluarganya sendiri dijadikan umpan untuk menutupi operasi gagal. Ia diselamatkan, tapi istri dan anaknya… tidak.
Sejak itu, dendamnya tak pernah padam. Tapi kini, dendam itu punya bentuk, punya arah.
Gilang, dari jaringan bawah tanahnya, mengirim kabar:
“Mereka mengalihkan semua akses internet. Tapi aku berhasil sadap satu sinyal. Reza akan pidato malam ini di Gedung Serbaguna Negara. Disiarkan ke seluruh negeri.”
“Dia akan cuci tangan,” ujar Sinta. “Akan bilang bahwa semua itu ulah oknum. Mungkin bahkan menyalahkan kita sepenuhnya.”
“Biar dia bicara,” jawab Raka. “Kita akan bicara lebih dulu.”
Malam itu, udara kota dingin dan penuh tekanan. Sekitar gedung serbaguna, pagar kawat berduri dipasang. Pasukan elite menjaga perimeter. Tapi satu hal yang tak dijaga cukup rapat: sistem komunikasi internal.
Dengan bantuan Gilang, Raka dan Sinta menyusup ke salah satu menara sinyal kecil yang terhubung langsung ke sistem siaran. Gilang menyuntikkan ulang video lanjutan—bagian dari data yang lebih mengerikan.
Saat Reza naik ke panggung, layar raksasa tiba-tiba menampilkan rekaman perintah langsungnya untuk mengebom desa di Timur, menggunakan suara yang tak bisa dibantah sebagai miliknya.
Sorakan berubah jadi teriakan.
Tapi yang terjadi kemudian jauh dari yang mereka prediksi.
Satu peluru melesat.
Raka terhuyung. Dadanya berdarah.
Sinta berteriak dan menunduk. Ternyata tembakan datang dari salah satu agen Reza yang sudah menyusup. Tapi sebelum si penembak bisa mengulangi tembakannya, massa menyerbu panggung. Kekacauan meledak.
Raka tergeletak di lantai menara. Nafasnya berat. Sinta menekan lukanya sambil berteriak minta tolong.
“Tahan, Rak! Kau harus tahan!”
Raka tersenyum samar, darah membasahi bibirnya.
“Aku… tak bisa mati… sebelum dia jatuh.”
Sementara itu, di luar, bentrokan pecah. Rakyat melawan pasukan. Gas air mata dilemparkan. Suara tembakan menggema. Tapi layar tak mati. Rekaman terus diputar, dan wajah Reza yang mulai panik tertangkap kamera dari berbagai sudut.
Beberapa jam setelahnya, Reza menghilang. Tak ditemukan di ruang kontrol, tak ada rekam jejak keberangkatan. Ia seperti ditelan malam.
Raka dilarikan ke rumah sakit bawah tanah milik aktivis medis. Lukanya parah, tapi ia bertahan. Di sisinya, Sinta duduk, memegang tangannya tanpa berkata apa-apa.
Gilang mengirim pesan:
“Kau hidup, Rak. Dan negara ini bangun. Tapi kebenaran… selalu dibayar mahal.”
Di luar, siaran terus berulang. Warga mulai turun tangan. Polisi pecah antara loyalis dan pembela kebenaran. Sejumlah jenderal ditangkap, sebagian melarikan diri. Gedung-gedung pemerintah dipenuhi grafiti: “Kami Tidak Diam Lagi.”
Raka memandangi langit dari ranjangnya.
Bukan lagi merah seperti kemarin.
Tapi kelabu—dan basah.
Hujan turun. Mendinginkan tanah yang baru saja terbakar.
Namun, darah masih ada di aspal. Karena di balik semua kejujuran yang akhirnya terungkap, kebenaran itu datang dengan harga yang sangat mahal.
Dan mereka belum benar-benar menang.
Belum… sampai Reza ditemukan.
Bab 9 – Langkah Terakhir di Atas Bara
Angin dini hari di kota Akaraya menggesek kaca jendela ruang bawah tanah tempat Raka dirawat. Hujan semalam telah mereda, menyisakan aroma tanah basah dan suara dunia yang kembali bernapas—pelan, namun berat. Di dalam ruangan sempit itu, cahaya kuning pucat dari lampu gantung berayun perlahan, menyoroti wajah Raka yang pucat tapi masih menyala dengan semangat yang belum padam.
Luka tembak di dadanya belum sembuh sepenuhnya. Tapi waktu untuk beristirahat sudah habis.
“Dia belum ditemukan,” gumam Gilang dari pojok ruangan sambil membaca laporan dari jaringan bawah tanahnya. “Reza menghilang dari radar. Ada kemungkinan dia keluar negeri menggunakan identitas palsu, tapi kami punya satu titik yang mencurigakan—sebuah vila tua di perbukitan Larindra. Tempat itu tak terjamah sinyal sejak dua hari lalu.”
Sinta melirik ke arah Raka, lalu berkata lirih, “Kita tahu itu dia. Tak ada tempat lain yang cukup aman untuk dia bersembunyi. Itu benteng terakhirnya.”
Raka mengangguk pelan. Tangannya gemetar ketika mencoba bangkit, namun ia menahan rasa sakitnya. “Kalau kita tak mengakhirinya… semua yang kita lakukan akan jadi sia-sia. Kebenaran sudah keluar, tapi selama dia hidup, sistem bisa dibangun kembali.”
Perjalanan ke Larindra bukan perkara mudah. Jalan menuju perbukitan itu dijaga pasukan pribadi Reza—mantan agen khusus yang kini lebih mirip tentara bayaran. Tapi Raka punya keuntungan: dia tahu bagaimana mereka berpikir.
Malam itu, dalam diam dan kabut tipis, Raka, Sinta, dan Gilang menyusup ke hutan Larindra. Sinar bulan menembus sela pohon pinus, menerangi jalan setapak curam yang pernah menjadi jalur pelarian rahasia di masa konflik dulu.
“Tempat ini pernah jadi markas pelatihan Divisi 77,” bisik Raka. “Aku dulu berlatih menembak dan menghilang di sini. Sekarang… aku kembali untuk membakar semuanya.”
Mereka tiba di tepi vila sekitar pukul tiga pagi. Bangunan itu besar, sunyi, dengan pagar listrik dan kamera pengawas yang bergerak perlahan. Tapi Gilang sudah meng-hack sistemnya dari jarak jauh.
“Lima penjaga di luar, dua di balkon, dan kemungkinan empat di dalam,” lapor Gilang. “Reza ada di ruang paling atas, berdasarkan deteksi suhu tubuh dan pola gerakan.”
Raka menggenggam belatinya. “Kita masuk senyap.”
Dan mereka pun bergerak.
Satu per satu penjaga dilumpuhkan dalam senyap, tanpa suara, tanpa jejak. Sinta mengambil pistol dari salah satu musuh, berjaga di belakang Raka. Mereka menyelinap ke dalam vila lewat celah ventilasi dapur, bergerak cepat menaiki tangga menuju lantai atas.
Di lorong terakhir, pintu kayu besar berdiri kokoh. Di baliknya, Reza sedang menunggu.
Pintu terbuka dengan pelan.
Ruangan itu luas dan gelap, hanya diterangi lampu meja. Reza duduk di kursi rotan, mengenakan kemeja putih dan sarung tangan hitam. Di depannya, secangkir teh masih mengepul. Ia seolah tahu mereka akan datang.
“Kau datang juga,” katanya tenang, menatap Raka dengan senyum kecil. “Langkah terakhirmu… akan jadi sia-sia, Nak.”
Raka tak menjawab. Ia melangkah masuk, mata tak berkedip, pistol teracung.
“Tahu apa yang menyedihkan?” lanjut Reza. “Semua orang berpikir ketika kebenaran terbongkar, mereka akan hidup damai. Tapi dunia ini… dibangun bukan dari keadilan, Raka. Tapi dari ketakutan. Dan selama orang masih takut, akan selalu ada orang sepertiku.”
Sinta angkat bicara, tajam, “Tapi kau bukan tak tergantikan.”
Reza berdiri perlahan. “Benar. Tapi aku lebih sulit dibunuh dari yang kau kira.”
Dengan kecepatan mengejutkan, Reza menarik senjata dari balik kursinya dan melepaskan tembakan. Raka terlempar ke samping, peluru nyaris mengenai bahunya. Sinta berteriak dan membalas tembakan. Peluru menghujani dinding kayu. Raka menggertakkan gigi, melompat ke arah Reza, keduanya bergumul dalam benturan keras.
Satu… dua pukulan.
Darah memercik. Pistol Reza terlempar ke lantai.
Raka mengunci tubuh pria itu, dan dengan satu dorongan keras, membantingnya ke meja kaca. Napas Reza tersengal. Di matanya, ketakutan akhirnya muncul.
“Ini untuk mereka yang kau hancurkan,” bisik Raka.
Satu peluru—dingin, cepat, dan final.
Beberapa jam setelah itu, kabar kematian Reza tersebar. Tubuhnya ditinggalkan di tangga depan vila dengan secarik kertas: “Kejujuran lebih kuat dari kekuasaan.”
Raka dan Sinta tak tinggal untuk melihat reaksi. Mereka pergi, menghilang kembali ke bayangan, meninggalkan api yang sudah cukup membakar jantung sistem.
Tiga bulan kemudian.
Sistem pemerintahan berubah. Sidang rakyat terbuka diadakan. Militer dibersihkan. Rakyat mulai menyusun ulang fondasi negara yang sebelumnya dibangun dari ketakutan menjadi sesuatu yang lebih… manusiawi.
Dan Raka?
Ia tak terlihat lagi.
Tapi di setiap mural dinding kota, wajah samar pria bertopeng setengah dengan bara di belakangnya selalu muncul. Sebagai pengingat.
Bahwa di atas bara pengkhianatan dan luka, pernah ada langkah terakhir yang mengubah segalanya.***