Prolog: Langit yang Tak Pernah Sama
Langit selalu berubah. Kadang biru cerah, kadang abu-abu suram, atau bahkan berhiaskan semburat jingga yang menggetarkan hati. Tidak ada yang benar-benar tahu bagaimana langit akan terlihat esok hari, dan mungkin itulah alasan mengapa ia selalu menarik untuk dipandang. Begitu pula dengan cinta.
Awan selalu menganggap langit hanyalah sekadar hamparan kosong di atas kepala. Bagi dirinya, langit tidak lebih dari fenomena alam yang bisa dijelaskan dengan logika—awan terbentuk dari kondensasi, hujan turun karena perubahan tekanan udara, dan matahari terbenam hanyalah rotasi bumi. Tidak ada keindahan, tidak ada keajaiban, hanya proses ilmiah yang monoton. Begitulah Awan memandang hidup, termasuk cinta.
Di sisi lain, Langit memandang dunia dengan cara yang berbeda. Baginya, langit adalah kanvas yang tak terbatas, tempat Tuhan melukis harapan dan cerita. Ia percaya bahwa warna-warna langit, dari birunya siang hingga gelapnya malam, adalah cara semesta berbicara pada manusia. Ia percaya bahwa cinta, seperti langit, tidak pernah sama setiap harinya—selalu berubah, namun tetap indah.
Mereka pertama kali bertemu pada suatu sore di taman kota, ketika hujan turun rintik-rintik. Langit sedang melukis pemandangan di bawah naungan payung kecilnya. Sementara itu, Awan, yang hanya singgah untuk berteduh, memandang heran ke arahnya.
“Melukis di bawah hujan? Tidak takut lukisannya rusak?” tanya Awan dengan nada sinis.
Langit menoleh, tersenyum tipis, dan menjawab, “Hujan tidak akan merusak lukisan ini, justru akan membuatnya hidup. Setiap tetes air membawa cerita.”
Awan hanya mengernyit, merasa gadis itu terlalu aneh untuk dimengerti. Tapi, entah kenapa, ada sesuatu yang membuatnya tetap berdiri di sana, memperhatikan.
Hari itu, di bawah langit kelabu, mereka memulai sebuah kisah yang tidak pernah mereka duga. Sebuah kisah tentang perbedaan, tentang luka, dan tentang keberanian untuk mencintai, meski langit tak pernah sama.*
Bab 1: Pertemuan di Bawah Langit Kelabu
Langit sore itu abu-abu, gelap, dan penuh ancaman hujan. Angin lembut menerpa dedaunan pohon di taman kota, membawa aroma tanah basah yang khas. Suasana yang biasanya membuat orang enggan berlama-lama di luar rumah. Tapi tidak bagi Langit. Ia duduk di bangku kayu di bawah pohon besar, memandangi hamparan taman dengan tenang, kanvas putih terbuka di atas pangkuannya. Tangan kirinya memegang palet warna, sementara tangan kanannya menggenggam kuas.
Meskipun tetesan hujan mulai turun, Langit tidak tampak terganggu. Ia hanya membuka payung kecil berwarna pastel dan menyeimbangkannya di atas kanvas, menciptakan perlindungan sederhana bagi karya yang sedang ia ciptakan. Kuasnya bergerak pelan, menyapukan warna-warna lembut yang terinspirasi dari bayangan senja yang tertutup mendung.
Awan, di sisi lain, datang ke taman tanpa rencana. Ia hanya sedang berjalan pulang dari perpustakaan ketika langit mendadak gelap. Tidak membawa payung, ia terpaksa berhenti untuk berteduh di bawah sebuah gazebo kecil di dekat Langit. Dari tempatnya berdiri, ia melihat sosok gadis itu duduk sendirian di bangku taman, melukis dengan santai seolah hujan bukan masalah besar.
Ia mengernyit heran. “Apa dia tidak sadar hujan semakin deras?” gumam Awan pelan. Penasaran, ia melangkah mendekat.
Langit menyadari keberadaannya, tetapi tidak menoleh. Fokusnya tetap pada lukisan di hadapannya. Tetesan hujan yang mengguyur tanah menciptakan irama menenangkan, melengkapi suasana yang ia abadikan di kanvas. Namun, saat Awan berdiri di dekatnya, ia akhirnya melirik dari balik bahunya.
“Kenapa berdiri di situ?” tanya Langit santai.
Awan, yang awalnya berniat diam-diam mengamati, langsung merasa canggung. “Aku cuma heran. Kamu nggak takut lukisanmu rusak kena hujan?”
Langit tersenyum tipis, senyum yang bagi Awan terasa seperti jawaban tanpa kata. “Lukisan ini tidak akan rusak,” katanya sambil melanjutkan pekerjaannya. “Hujan bukan musuh. Justru, ia adalah bagian dari cerita yang ingin aku tuangkan.”
Awan mendengus kecil. Baginya, jawaban itu terdengar absurd. “Bagian dari cerita? Bukannya lebih baik kalau kamu melukis di tempat yang kering dan nyaman? Kalau aku jadi kamu, aku pasti cari studio atau setidaknya ruangan tertutup. Melukis di bawah hujan seperti ini… ya, maaf, tapi rasanya nggak masuk akal.”
Langit berhenti sejenak, menatap Awan dengan senyum yang lebih lebar, tapi tidak sepenuhnya ramah. “Mungkin bagi sebagian orang, langit seperti ini membosankan. Tapi bagiku, justru di sinilah keindahannya. Setiap tetes air punya ceritanya sendiri. Kalau aku menunggu hari cerah, aku akan kehilangan kesempatan menangkap suasana seperti ini. Lagi pula, siapa yang bilang hidup selalu masuk akal?”
Jawaban itu membuat Awan terdiam. Ia tidak punya balasan yang cukup untuk menandingi logika aneh gadis itu. Akhirnya, ia hanya duduk di bangku yang sama, menjaga jarak beberapa langkah. Dari tempatnya duduk, ia memperhatikan setiap gerakan Langit, bagaimana kuas itu menari di atas kanvas, menciptakan gradasi warna abu-abu dan biru yang lembut.
“Namamu siapa?” tanya Langit tiba-tiba, memecah keheningan.
Awan ragu sejenak sebelum menjawab, “Awan. Kamu?”
“Langit,” jawabnya singkat, tanpa menoleh.
Awan tertawa kecil, merasa ada yang lucu dari kebetulan itu. “Awan dan Langit. Sepertinya Tuhan sedang bercanda.”
Langit tersenyum. “Mungkin Tuhan hanya ingin kamu berhenti melihat dunia dari bawah, dan mulai melihat ke atas.”
Perkataan itu membuat Awan tertegun. Ia tidak tahu apakah Langit sedang bercanda atau sengaja mengirimkan pesan terselubung. Tapi sebelum ia sempat menjawab, Langit berdiri, melipat payungnya, dan mulai mengemas perlengkapannya.
“Kamu mau pergi?” tanya Awan, setengah tidak sadar bahwa ia merasa ingin gadis itu tetap di sana.
“Hujan sudah berhenti. Aku sudah selesai melukis,” jawab Langit sambil menutup kanvasnya. “Tapi aku akan sering datang ke sini. Kalau kamu penasaran, kamu tahu di mana mencariku.”
Awan hanya bisa memandangi punggung Langit yang perlahan menjauh, meninggalkan taman yang masih basah oleh sisa hujan. Sesuatu tentang gadis itu mengusik pikirannya. Bukan hanya caranya berbicara, tapi juga caranya memandang dunia, seolah ada keajaiban yang tersembunyi di balik setiap hal sederhana.
Hari itu, di bawah langit kelabu yang tak lagi basah, Awan merasa bahwa ia baru saja bertemu seseorang yang bisa mengubah cara pandangnya tentang langit, tentang hidup, dan mungkin, tentang cinta.
Namun, ia tidak tahu bahwa pertemuan itu adalah awal dari perjalanan yang akan mengguncang hidupnya—seperti badai di langit yang tak pernah sama.*
Bab 2: Langit yang Tak Pernah Sama
Awan tidak pernah benar-benar memikirkan hal-hal kecil dalam hidup. Baginya, dunia berjalan sesuai aturan yang sudah ditentukan. Langit biru, awan menggantung, dan hujan turun—semua hanya siklus biasa yang berulang tanpa makna spesial. Tapi pertemuannya dengan Langit di taman beberapa hari lalu mulai mengusik pikirannya.
Ia sering memikirkan gadis itu tanpa sadar. Tatapan matanya yang penuh rasa ingin tahu, senyumnya yang seolah mengerti lebih banyak daripada yang terlihat, bahkan cara dia berbicara yang sering kali sulit dipahami logikanya. Awan bertanya-tanya, apa sebenarnya yang mendorong seseorang untuk begitu yakin bahwa dunia ini dipenuhi keindahan, bahkan di tengah hujan?
Hari itu, Awan sedang berada di perpustakaan umum, tempat ia sering menghabiskan waktu membaca buku-buku filsafat. Ia senang menganalisis teori tentang realitas, keberadaan manusia, dan pemikiran rasional. Namun, di sela-sela pembacaannya, pikirannya justru melayang kembali ke percakapan singkatnya dengan Langit.
Tanpa diduga, gadis itu muncul lagi. Kali ini, ia memasuki perpustakaan dengan langkah ringan, membawa buku sketsa di pelukannya. Ia mengenakan pakaian kasual yang sederhana, tetapi aura antusiasmenya tetap sama seperti saat di taman. Langit berjalan menuju rak buku di bagian sastra, menarik sebuah buku puisi, lalu duduk di dekat jendela besar yang menghadap ke taman.
Awan memperhatikannya dari kejauhan. Rasa ingin tahu mendorongnya untuk mendekat, meskipun ia sendiri tidak yakin apa yang ingin ia katakan. Akhirnya, ia berjalan ke arah meja tempat Langit duduk dan dengan sedikit ragu, membuka percakapan.
“Kita bertemu lagi,” katanya, mencoba terdengar santai.
Langit mendongak dari bukunya, menatap Awan dengan senyuman kecil. “Oh, Awan. Apa kamu sering ke sini?”
“Cukup sering. Kamu?”
“Ini pertama kalinya,” jawab Langit. “Aku suka suasananya. Tenang, tapi penuh cerita. Setiap orang di sini pasti punya tujuan berbeda, kan?”
Awan mengerutkan kening, merasa bingung dengan komentar itu. “Tujuan? Maksudmu apa?”
Langit meletakkan bukunya dan menatap Awan. “Ya, lihat saja. Ada yang datang untuk mencari inspirasi, ada yang mencari jawaban atas pertanyaan mereka, ada juga yang hanya ingin melarikan diri dari dunia luar. Aku penasaran, tujuanmu apa datang ke perpustakaan ini?”
Awan terdiam sejenak, tidak menyangka pertanyaan itu akan muncul. “Aku suka membaca. Filsafat, terutama. Mencari pemahaman tentang dunia dan realitas.”
Langit tersenyum, seperti mendengar jawaban yang menarik. “Jadi, kamu mencari kepastian, ya? Tapi anehnya, kamu berteman dengan hal yang selalu berubah.”
“Apa maksudmu?”
“Namamu, Awan,” jawab Langit sambil terkekeh. “Awan selalu berubah bentuk, bergerak mengikuti angin, dan tidak pernah sama. Tapi kamu malah tertarik pada sesuatu yang pasti, seperti filsafat. Bukankah itu sedikit bertolak belakang?”
Awan tidak tahu harus merasa terhibur atau jengkel dengan logika Langit yang tidak biasa. “Itu hanya nama,” jawabnya, berusaha mempertahankan argumen. “Nama tidak ada hubungannya dengan kepribadian seseorang.”
“Nama adalah doa,” balas Langit cepat. “Orang tua kita memberikannya dengan harapan tertentu. Tapi tidak apa-apa kalau kamu tidak percaya. Aku hanya merasa menarik saja.”
Percakapan mereka berlanjut dengan ritme yang ringan tapi dalam. Awan, yang biasanya menghindari obrolan tidak penting, justru mendapati dirinya nyaman berbicara dengan Langit. Gadis itu punya cara unik memandang dunia, yang bagi Awan terasa seperti menantang semua prinsip yang selama ini ia yakini.
Setelah beberapa waktu, Langit menutup buku puisinya dan menatap Awan dengan pandangan serius. “Aku mau tanya sesuatu.”
“Tanya saja.”
“Menurutmu, apa arti cinta?”
Pertanyaan itu membuat Awan tertegun. Ia tidak menyangka topik percakapan akan bergeser sejauh itu. “Cinta?” gumamnya, mencoba waktu untuk berpikir. “Cinta adalah… emosi. Reaksi biologis yang dirancang untuk memastikan manusia berkembang biak dan bertahan hidup.”
Langit tertawa kecil, bukan mengejek, tapi lebih karena jawaban itu terdengar terlalu teknis. “Jadi, menurutmu cinta hanya soal biologi? Tidak ada keajaiban di dalamnya?”
“Keajaiban itu ilusi,” balas Awan, yakin dengan pendapatnya. “Orang menyebutnya keajaiban karena mereka tidak memahami prosesnya.”
Langit terdiam sejenak, lalu menggeleng pelan. “Aku tidak setuju. Menurutku, cinta itu seperti langit. Selalu berubah, tidak pernah sama, dan setiap orang punya cara berbeda untuk memahaminya. Kadang terang, kadang mendung, kadang gelap. Tapi apa pun warnanya, langit selalu ada, kan?”
Awan memandangi Langit, mencoba mencerna perkataan gadis itu. Ada sesuatu dalam cara Langit bicara yang sulit untuk diabaikan. Bukan hanya kata-katanya, tetapi keyakinannya yang begitu kuat, seolah ia benar-benar percaya pada apa yang ia ucapkan.
Hari itu, di bawah sinar matahari yang mengintip dari balik jendela perpustakaan, Awan merasa bahwa ia baru saja bertemu seseorang yang tidak hanya berbeda dari dirinya, tetapi juga memiliki kekuatan untuk mengubah cara ia memandang dunia. Dan meskipun ia tidak sepenuhnya setuju dengan pandangan Langit, ia tidak bisa menyangkal bahwa gadis itu membuatnya penasaran.
Sebuah langit yang tak pernah sama. Mungkin itulah yang kini ia lihat di mata Langit.*
Bab 3: Jejak di Balik Hujan
Hujan selalu punya cerita, begitu yang sering Langit yakini. Setiap tetesnya meninggalkan jejak di bumi, membasahi dedaunan, menghidupkan aroma tanah, dan sesekali membawa kenangan yang tak terduga. Namun, bagi Awan, hujan hanya fenomena cuaca biasa yang sering kali mengganggu rencana.
Beberapa hari setelah pertemuan mereka di perpustakaan, Awan mendapati dirinya berjalan di taman kota lagi. Ia tidak tahu apa yang membawanya ke sana—mungkin rasa penasaran, atau mungkin ia hanya ingin merasakan kembali suasana tempat ia pertama kali bertemu Langit. Langit tidak ada di sana, tetapi hujan turun perlahan, seperti mengingatkan Awan pada percakapan mereka waktu itu.
Awan menatap langit yang kelabu, mencoba memahami apa yang Langit lihat di sana. “Jejak cerita, ya?” gumamnya sambil mengingat bagaimana gadis itu berbicara tentang hujan dengan penuh keyakinan. Baginya, semua itu masih terasa absurd, tetapi entah kenapa, ia mulai merasa ada sesuatu yang ia lewatkan.
Saat ia berjalan di sepanjang jalan setapak yang basah, ia melihat sesuatu yang membuatnya berhenti. Sebuah payung pastel tergeletak di bawah bangku kayu yang sedikit lembap. Itu bukan sembarang payung; Awan mengenalinya sebagai milik Langit. Tanpa sadar, ia memungut payung itu, merasa yakin bahwa pemiliknya tidak akan jauh.
Benar saja, tidak jauh dari sana, Langit berdiri di bawah pohon besar. Gadis itu tampak asyik memotret tetesan hujan yang menggantung di ujung daun. Ia tidak menyadari keberadaan Awan sampai suara langkah kaki mendekat membuatnya menoleh.
“Aku menemukannya,” kata Awan sambil mengangkat payung pastel itu. “Kamu meninggalkan jejak, seperti biasa.”
Langit tertawa kecil, wajahnya memerah sedikit. “Terima kasih. Aku lupa mengambilnya karena terlalu sibuk memperhatikan hujan.”
“Kamu benar-benar suka hujan, ya?” tanya Awan, masih merasa sulit memahami kegemaran gadis itu.
Langit mengangguk. “Aku tidak hanya suka. Aku merasa hujan selalu membawa sesuatu—perasaan, ingatan, atau bahkan kesempatan untuk memulai sesuatu yang baru. Seperti pertemuan kita di taman waktu itu. Kalau bukan karena hujan, mungkin kita tidak akan berbicara.”
Awan mendengar penjelasan itu dengan seksama. Baginya, hujan tidak pernah terasa istimewa. Tapi Langit, dengan cara pandangnya yang unik, membuatnya berpikir ulang. “Kamu bilang setiap hujan membawa cerita. Apa cerita yang kamu dapatkan dari hujan hari ini?” tanyanya sambil melipat payung dan menyerahkannya kembali.
Langit merenung sejenak, lalu tersenyum. “Hari ini, aku merasa hujan ingin memberitahuku bahwa pertemuan bukanlah kebetulan. Kadang, orang dipertemukan untuk sebuah alasan, meskipun kita tidak langsung tahu apa alasannya.”
Awan terdiam, tidak tahu harus merespons bagaimana. Ia tidak percaya pada takdir atau hal-hal semacam itu, tetapi di sisi lain, kata-kata Langit terasa sulit untuk diabaikan.
“Aku punya ide,” kata Langit tiba-tiba, memecah keheningan. “Bagaimana kalau kita mencoba mengikuti jejak hujan ini? Aku ingin melihat ke mana langkah-langkah kecil ini membawa kita.”
“Maksudmu… jalan tanpa tujuan?” Awan mengernyit.
“Bukan tanpa tujuan. Tujuannya adalah menikmati perjalanan,” jawab Langit sambil tersenyum. “Kamu pernah mencoba melangkah tanpa rencana?”
Awan ingin menolak, tapi entah kenapa, ia merasa sulit mengatakan tidak pada gadis itu. Mungkin karena caranya berbicara selalu penuh antusiasme, atau mungkin karena ia sendiri penasaran. Akhirnya, ia hanya mengangguk pelan. “Baiklah. Tapi jangan salahkan aku kalau kita nyasar.”
Mereka mulai berjalan tanpa arah pasti, mengikuti jalan setapak yang mengelilingi taman. Langit sesekali berhenti untuk memotret sesuatu—genangan air yang memantulkan langit, atau bunga kecil yang tertunduk di bawah beban tetesan hujan. Awan, yang biasanya lebih suka berjalan cepat, kini melambatkan langkahnya, mengikuti ritme Langit.
Selama perjalanan itu, mereka berbicara tentang banyak hal. Tentang buku-buku yang mereka baca, tentang mimpi masa kecil yang perlahan terlupakan, dan tentang bagaimana mereka melihat dunia dengan cara yang berbeda. Langit berbicara dengan semangat yang tulus, sementara Awan, meskipun lebih banyak mendengar, mulai merasa bahwa percakapan ini adalah sesuatu yang jarang ia temui—jujur, tanpa kepura-puraan.
Di tengah perjalanan, Langit berhenti di sebuah jembatan kecil yang melintasi sungai. Hujan mulai reda, tetapi tetesan air masih menetes dari dahan pohon di sekitar mereka. Langit bersandar di pagar kayu jembatan, menatap aliran air di bawahnya.
“Awan,” panggil Langit pelan.
“Ya?”
“Kamu pernah merasa seperti sungai ini?”
Awan mengerutkan kening. “Maksudmu?”
“Sungai ini terus mengalir, meskipun ia tidak tahu pasti ke mana. Kadang jalannya lurus, kadang berliku. Tapi yang pasti, ia tidak pernah berhenti, kan?” Langit menoleh ke arah Awan. “Aku merasa hidup juga seperti itu. Kadang kita tidak tahu ke mana kita pergi, tapi selama kita terus berjalan, kita akan sampai di tempat yang seharusnya.”
Awan terdiam, merenungkan kata-kata itu. Dalam diamnya, ia merasa bahwa Langit adalah orang yang berbeda dari siapa pun yang pernah ia temui. Gadis itu tidak hanya memandang dunia dengan cara yang unik, tetapi juga membuatnya melihat sisi lain dari dirinya sendiri yang selama ini ia abaikan.
Hari itu, jejak di balik hujan membawa mereka pada percakapan yang mungkin tidak akan pernah mereka lupakan. Dan meskipun Awan belum sepenuhnya memahami apa yang Langit coba tunjukkan, ia tahu satu hal—perjalanan ini baru saja dimulai.*
Bab 4: Warna yang Hilang
Langit yang biasanya cerah dan penuh semangat tiba-tiba berubah. Awan menyadarinya ketika mereka bertemu kembali di taman yang sama, tempat pertemuan mereka yang pertama. Langit duduk di bangku kayu dengan kepala tertunduk, tatapannya kosong, seolah ada sesuatu yang berat menggantung di pikirannya. Payung pastel kesayangannya tergeletak begitu saja di sampingnya, tak lagi menjadi pelindung dari sinar matahari yang hangat.
Awan mendekat perlahan. Ia tidak terbiasa menghadapi situasi seperti ini, tetapi sesuatu dalam dirinya mendorongnya untuk berbicara. “Langit, kamu kenapa?” tanyanya, suaranya lebih lembut daripada biasanya.
Langit menoleh dengan senyum yang tampak dipaksakan. “Oh, Awan. Aku tidak menyangka kamu di sini.”
“Aku sering ke sini, kan? Tapi kamu kelihatan… berbeda,” kata Awan sambil duduk di sebelahnya. “Biasanya kamu selalu ceria. Apa yang terjadi?”
Langit terdiam, matanya menatap jauh ke depan. Sejenak ia seperti ragu untuk bercerita, tetapi akhirnya ia menarik napas panjang dan berkata, “Pernahkah kamu merasa kehilangan sesuatu yang sangat berarti, Awan? Sesuatu yang menjadi bagian dari hidupmu, tapi tiba-tiba menghilang begitu saja?”
Pertanyaan itu membuat Awan tertegun. Ia tidak tahu harus menjawab apa, tetapi ia memilih untuk jujur. “Aku tidak yakin. Mungkin, tapi aku tidak pernah terlalu memikirkannya. Kamu kehilangan apa?”
Langit mengangkat bahunya, mencoba terlihat santai, meskipun matanya berkaca-kaca. “Aku kehilangan warnaku.”
Awan mengerutkan kening. “Warna?”
Langit tersenyum kecil, kali ini ada kepedihan dalam senyumnya. “Iya. Warna dalam hidupku. Aku merasa seperti dunia ini mendadak abu-abu. Apa yang biasanya membuatku bahagia, sekarang terasa kosong. Aku suka hujan, tapi hari ini bahkan hujan pun tidak bisa menghiburku.”
Awan menatap Langit, mencoba memahami apa yang sedang ia rasakan. Ia tidak terbiasa berurusan dengan emosi orang lain, tetapi ia tahu bahwa Langit sedang membutuhkan seseorang untuk mendengarkan. “Kenapa kamu merasa begitu?”
Langit menundukkan kepala. “Mungkin karena aku terlalu berharap. Terlalu percaya bahwa dunia ini akan selalu indah, bahwa selalu ada warna dalam setiap hal kecil. Tapi sekarang, aku sadar bahwa warna-warna itu bisa hilang kapan saja. Dan aku tidak tahu bagaimana cara mendapatkannya kembali.”
Awan terdiam. Kata-kata Langit terasa asing baginya. Ia adalah orang yang logis, yang memandang dunia dengan cara yang rasional. Tapi mendengar penjelasan Langit, ia mulai menyadari bahwa ada hal-hal yang tidak bisa dijelaskan dengan logika.
“Langit,” kata Awan pelan. “Mungkin aku tidak sepenuhnya mengerti apa yang kamu rasakan. Tapi aku yakin, kalau kamu merasa warnamu hilang, itu bukan berarti warnanya tidak ada lagi. Mungkin warnanya hanya tersembunyi untuk sementara waktu. Dan mungkin, kamu butuh waktu untuk menemukannya lagi.”
Langit menatap Awan dengan mata yang mulai berlinang air mata. “Tapi bagaimana kalau warnanya tidak kembali? Bagaimana kalau aku terus merasa kosong seperti ini?”
Awan menghela napas. Ia tidak tahu harus berkata apa, tetapi ia ingin membantu. “Kalau begitu, biarkan aku menemanimu mencari warna-warna itu. Aku tidak tahu bagaimana caranya, tapi aku akan berusaha. Mungkin kita bisa mulai dari hal-hal kecil.”
Langit tersenyum tipis, kali ini sedikit lebih tulus. “Kamu yakin mau melakukannya? Aku mungkin akan menyulitkanmu.”
“Aku yakin,” jawab Awan tanpa ragu. “Lagipula, bukankah kamu yang bilang bahwa perjalanan itu lebih penting daripada tujuannya? Mungkin perjalanan kita kali ini adalah untuk mencari warna-warna yang hilang.”
Hari itu, Awan dan Langit mulai menjelajahi kembali taman yang biasa mereka kunjungi. Mereka berjalan tanpa tujuan, seperti yang sering dilakukan Langit, tetapi kali ini dengan misi yang berbeda. Langit mencoba melihat hal-hal kecil yang dulu membuatnya bahagia—daun hijau yang bergerak mengikuti angin, bunga liar yang tumbuh di tepi jalan setapak, bahkan bayangan awan di genangan air.
Awan, meskipun tidak sepenuhnya mengerti apa yang Langit cari, mencoba mendukungnya. Ia menunjukkan hal-hal kecil yang biasanya ia abaikan—seekor kupu-kupu yang hinggap di rerumputan, cahaya matahari yang menembus sela-sela dedaunan, dan pelangi kecil yang muncul saat air hujan terpantul oleh cahaya.
Perlahan, Awan mulai menyadari bahwa mencari warna bukan hanya tentang Langit. Ia sendiri mulai melihat dunia dengan cara yang berbeda. Apa yang sebelumnya tampak biasa saja kini terasa lebih bermakna. Ia menyadari bahwa Langit tidak hanya kehilangan warnanya, tetapi juga sedang membantu Awan menemukan sesuatu yang selama ini tidak pernah ia sadari.
Langit, di sisi lain, mulai merasa sedikit lebih baik. Kehadiran Awan memberinya rasa tenang, meskipun ia tahu bahwa proses ini tidak akan mudah. Tapi ia percaya bahwa dengan Awan di sisinya, ia akan menemukan kembali warna-warna yang hilang.
Saat matahari mulai terbenam, mereka duduk di bangku taman yang menghadap ke langit senja. Langit yang memerah dan jingga tampak begitu indah, seolah-olah alam sedang mencoba memberikan sedikit warna untuk menghibur mereka.
“Lihat,” kata Langit sambil tersenyum tipis. “Aku rasa aku menemukan sedikit warna hari ini.”
Awan menatapnya, merasa ada kehangatan dalam senyum Langit yang sederhana itu. “Dan aku rasa aku juga menemukannya.”
Senja itu, di bawah langit yang mulai gelap, Awan dan Langit menyadari bahwa perjalanan mereka baru saja dimulai. Dan meskipun warna-warna yang mereka cari belum sepenuhnya kembali, mereka tahu bahwa langkah pertama sudah mereka ambil—bersama.*
Bab 5: Bayang-Bayang Masa Lalu
Hari itu, langit cerah. Tidak ada tanda-tanda hujan, tetapi suasana hati Langit tampak mendung. Awan memperhatikan raut wajah gadis itu yang sedikit berbeda dari biasanya. Mereka sedang duduk di salah satu kafe kecil di dekat taman kota, tempat yang baru saja mereka temukan beberapa hari lalu. Awan memesan kopi hitam seperti biasa, sementara Langit memilih teh melati.
Namun, teh yang biasanya Langit nikmati perlahan kini hanya diaduk-aduk tanpa diminum. Pikirannya tampak melayang jauh, matanya menatap kosong ke luar jendela. Awan, yang duduk di seberangnya, mulai merasa ada sesuatu yang tidak biasa.
“Ada apa?” tanya Awan, membuka pembicaraan.
Langit mendongak, seolah baru tersadar dari lamunannya. “Apa?”
“Kamu kelihatan… tidak seperti biasanya,” ujar Awan, mencoba memilih kata-kata dengan hati-hati. “Sejak kita tiba di sini, kamu tidak banyak bicara. Ada yang mengganggumu?”
Langit menghela napas, pandangannya kembali tertuju ke luar jendela. “Awan, pernahkah kamu merasa ada sesuatu dari masa lalu yang terus menghantui? Sesuatu yang, meskipun kamu ingin melupakan, selalu kembali dalam ingatan?”
Awan terdiam sejenak. Ia tidak menyangka pertanyaan seperti itu akan muncul dari Langit, yang selama ini tampak optimis dan penuh semangat. Ia akhirnya menjawab, “Mungkin. Tapi aku biasanya tidak terlalu memikirkannya. Kenapa? Kamu sedang mengingat sesuatu?”
Langit tersenyum kecil, tapi senyumnya penuh kepedihan. “Iya. Ada sesuatu yang belakangan ini terus muncul di pikiranku. Sesuatu yang pernah aku coba lupakan, tapi rasanya semakin sulit diabaikan.”
Awan tidak menyela. Ia tahu Langit butuh waktu untuk mengungkapkan apa yang sedang ia rasakan. Akhirnya, setelah beberapa saat, Langit mulai bercerita.
“Dulu, sebelum aku pindah ke kota ini, aku tinggal di sebuah kota kecil yang tenang. Di sana, aku punya seseorang yang sangat berarti bagiku. Namanya Arga,” kata Langit pelan, suaranya hampir berbisik.
“Arga?” tanya Awan, mencoba memahami.
Langit mengangguk. “Dia adalah teman terbaikku. Kami tumbuh bersama, berbagi banyak mimpi dan cerita. Dia adalah orang pertama yang mengajarkanku untuk melihat dunia dengan cara yang berbeda. Dia yang membuatku jatuh cinta pada hujan dan langit.”
Awan menatap Langit dengan serius. Ia bisa melihat betapa pentingnya sosok Arga bagi gadis itu. Tapi ia juga bisa merasakan ada sesuatu yang menyakitkan di balik cerita itu.
“Lalu apa yang terjadi?” tanya Awan hati-hati.
Langit menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. “Kami begitu dekat. Aku pikir kami akan selalu bersama, apa pun yang terjadi. Tapi ternyata, hidup tidak seindah yang aku bayangkan. Arga pergi. Dia meninggalkan kota tanpa memberi tahu siapa pun, termasuk aku. Saat itu, aku merasa seperti kehilangan separuh diriku.”
Awan mengernyit. “Dia pergi begitu saja? Tanpa alasan?”
Langit menggeleng. “Aku tidak tahu alasannya. Yang aku tahu, tiba-tiba dia menghilang. Aku mencoba mencarinya, bertanya pada teman-teman kami, tapi tidak ada yang tahu di mana dia. Aku bahkan tidak tahu apakah dia baik-baik saja atau tidak. Yang tersisa hanyalah kenangan tentang dia.”
Suara Langit mulai bergetar, dan Awan bisa melihat matanya yang mulai berkaca-kaca. Namun, Langit berusaha menahan air matanya.
“Sejak saat itu, aku merasa ada sesuatu yang hilang dalam hidupku,” lanjutnya. “Setiap kali aku melihat langit atau mendengar suara hujan, aku selalu teringat padanya. Aku mencoba melanjutkan hidup, mencoba menemukan kebahagiaan lagi, tapi bayangan Arga selalu ada di sana, seperti bayang-bayang yang tidak pernah benar-benar pergi.”
Awan terdiam. Ia tidak tahu harus berkata apa. Ini adalah sisi Langit yang belum pernah ia lihat sebelumnya—sisi yang rapuh, penuh luka yang tersimpan rapi di balik senyumnya yang cerah.
“Langit,” kata Awan akhirnya, suaranya lembut. “Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan Arga, dan aku tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang begitu penting. Tapi aku percaya, kamu punya kekuatan untuk menghadapi ini. Kamu sudah melaluinya sejauh ini, dan aku yakin kamu bisa terus melangkah.”
Langit menatap Awan, dan untuk pertama kalinya hari itu, ia tersenyum. Senyum yang tulus, meskipun masih ada sedikit kesedihan di baliknya. “Terima kasih, Awan. Kadang, aku hanya butuh seseorang untuk mendengarkan. Aku rasa, kamu benar. Aku harus terus melangkah, meskipun sulit.”
Awan mengangguk. “Aku akan ada di sini, kalau kamu butuh seseorang untuk mendengarkan. Kamu tidak sendiri.”
Percakapan itu membuat mereka berdua semakin dekat. Awan mulai memahami sisi lain dari Langit—sisi yang penuh dengan luka dan perjuangan. Sementara Langit, meskipun masih merasa terbebani oleh bayang-bayang masa lalu, merasa sedikit lebih ringan karena ada seseorang yang mau mendengarkan dan mendukungnya.
Hari itu, di bawah langit yang cerah, Langit dan Awan mulai menyadari bahwa perjalanan mereka tidak hanya tentang mencari warna-warna yang hilang, tetapi juga tentang menyembuhkan luka-luka yang tersembunyi di balik bayang-bayang masa lalu.*
Bab 6: Langit Merah Senja
Langit senja selalu memancarkan keindahan yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Warna jingga yang berbaur dengan merah, kuning, dan sedikit ungu menciptakan perpaduan sempurna. Namun, bagi Langit, pemandangan senja kali ini terasa berbeda. Ia memandang cakrawala di ujung bukit kecil tempat ia dan Awan duduk berdua.
Bukit ini adalah tempat yang baru mereka temukan. Dari sini, mereka bisa melihat kota dari kejauhan, dengan lampu-lampu mulai menyala perlahan, seolah mengimbangi matahari yang perlahan tenggelam. Langit membawa kamera kecilnya, sesuatu yang selalu ia bawa kemanapun pergi, tetapi kali ini kamera itu tergeletak di pangkuannya, tak tergerak.
“Kenapa kamu tidak memotret senja hari ini?” tanya Awan sambil menyesap minuman dari termos kecil yang ia bawa.
Langit menoleh dan tersenyum tipis. “Entah kenapa, aku hanya ingin menikmati pemandangannya kali ini. Terkadang, menyimpannya di ingatan terasa lebih istimewa daripada mengabadikannya dalam foto.”
Awan mengangguk, mencoba memahami. “Aku bisa mengerti. Tapi bukankah kamu selalu bilang bahwa setiap momen itu berharga untuk diabadikan?”
Langit tertawa kecil, ada kegetiran dalam suara tawanya. “Iya, aku memang sering bilang begitu. Tapi akhir-akhir ini aku merasa, beberapa momen lebih baik dibiarkan hidup dalam ingatan, daripada diabadikan dalam foto yang bisa pudar atau hilang.”
Awan mengerutkan dahi, menyadari ada sesuatu yang lebih dalam di balik jawaban Langit. “Kamu masih memikirkan masa lalu, ya?”
Langit terdiam sejenak. Angin sore berembus, membawa aroma rumput dan bunga liar di sekitar mereka. Ia menatap jauh ke arah matahari yang mulai tenggelam sebelum akhirnya menjawab. “Mungkin. Aku tahu aku harus berhenti terjebak di masa lalu, tapi sulit, Awan. Terutama ketika ada banyak kenangan yang tiba-tiba muncul begitu saja, tanpa diundang.”
Awan menatapnya dengan lembut. “Apa kenangan itu masih tentang Arga?”
Langit menoleh, tampak sedikit terkejut. Ia tidak menyangka Awan akan langsung menyebut nama itu. Namun, ia mengangguk pelan. “Iya. Senja seperti ini selalu mengingatkanku padanya. Arga adalah orang yang memperkenalkan aku pada keindahan langit senja. Kami sering duduk bersama seperti ini, berbicara tentang mimpi-mimpi kami sambil menunggu matahari terbenam.”
Awan tidak berkata apa-apa. Ia membiarkan Langit melanjutkan.
“Dia selalu bilang, senja itu seperti pengingat bahwa apa pun yang indah akan berakhir, tapi itu bukan sesuatu yang harus ditakuti. Karena setiap akhir adalah awal dari sesuatu yang baru. Tapi ironisnya, ketika dia pergi, aku merasa seperti semua senja kehilangan artinya. Seolah-olah dia mengambil sebagian dari keindahan itu bersamanya.”
Suara Langit mulai bergetar, dan Awan bisa melihat matanya yang mulai memerah. Tapi sebelum Langit benar-benar menangis, ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya.
“Awan,” lanjutnya pelan, “kadang aku berpikir, mungkin aku terlalu lemah. Aku tidak bisa melepas masa lalu seperti orang lain. Bahkan setelah bertahun-tahun, bayangan Arga masih ada di sini.” Ia menunjuk dadanya, tempat hatinya berada.
Awan menatapnya dengan tatapan penuh empati. Ia ingin membantu, tetapi ia tahu bahwa kata-kata tidak selalu cukup untuk menyembuhkan luka seperti ini. Akhirnya, ia berkata, “Langit, kamu tidak lemah. Setiap orang punya caranya sendiri untuk menghadapi masa lalu. Dan mungkin, ini adalah cara kamu. Tidak apa-apa untuk merasa seperti itu. Tapi ingat, masa lalu itu seperti senja—ia indah, tetapi tidak untuk selamanya. Setelahnya, akan ada malam yang tenang, dan esok pagi, matahari akan terbit lagi.”
Langit terdiam, merenungkan kata-kata Awan. Setelah beberapa saat, ia tersenyum kecil. “Kamu tahu, Awan? Kamu selalu punya cara untuk membuat semuanya terdengar lebih mudah.”
Awan tertawa pelan. “Aku tidak bermaksud membuatnya terdengar mudah. Aku hanya mencoba melihat semuanya dari sudut pandang lain. Lagipula, kamu selalu mengajarkanku untuk melihat hal-hal kecil yang indah di sekitar kita, kan?”
Langit tersenyum lebih lebar kali ini. “Iya, aku memang sering bilang begitu. Tapi terkadang, aku lupa mengikuti saranku sendiri.”
Senja mulai berubah menjadi malam. Warna jingga dan merah di langit memudar, digantikan oleh gelap yang dihiasi bintang-bintang. Langit menatap ke atas, mengagumi keindahan bintang yang mulai bermunculan satu per satu.
“Awan,” kata Langit pelan, “terima kasih.”
“Untuk apa?” tanya Awan sambil menoleh padanya.
“Untuk selalu ada di sini. Untuk tidak memaksaku melupakan masa lalu, tapi juga mengajarkanku bahwa masa lalu tidak harus selalu membayangi masa depan,” jawab Langit dengan tulus.
Awan tersenyum. “Aku hanya melakukan apa yang menurutku benar. Lagipula, aku juga belajar banyak dari kamu, Langit.”
Malam itu, mereka duduk lebih lama dari biasanya. Langit, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, merasa bahwa ia bisa sedikit lebih ringan. Meski bayang-bayang masa lalu masih ada, ia mulai melihat secercah harapan di depan.
Di sisi lain, Awan menyadari bahwa ia mulai melihat Langit bukan hanya sebagai teman perjalanan, tetapi seseorang yang perlahan menjadi bagian penting dalam hidupnya.
Senja itu, meski berakhir dengan gelap, menyisakan cahaya kecil di hati mereka berdua. Dan di bawah langit malam yang tenang, Awan dan Langit menyadari bahwa perjalanan mereka masih panjang—penuh misteri, penuh warna, dan penuh kemungkinan.*
Bab 7: Keputusan di Bawah Bintang
Malam itu berbeda. Angin malam berhembus pelan, membawa kesejukan yang menyelimuti langit gelap di atas mereka. Langit dan Awan duduk di bangku kayu yang terletak di sebuah taman kecil, di tepi kota, tempat mereka sering menghabiskan waktu bersama. Namun, malam ini, suasananya terasa lebih berat. Ada sesuatu yang menggelayuti pikiran Langit, sebuah keputusan yang telah ia pendam dalam-dalam, dan malam ini, ia merasa waktunya sudah tiba untuk mengungkapkannya.
Awan yang duduk di sampingnya memperhatikan, melihat bagaimana Langit menatap langit malam yang dipenuhi bintang. Seperti ada sesuatu yang terpendam dalam diri Langit, sesuatu yang ia rasa sudah saatnya dibicarakan.
“Kamu kelihatan gelisah, Langit,” kata Awan, suaranya lembut, mencoba mengangkat beban yang terasa berat di udara.
Langit menoleh, menatap Awan dengan tatapan yang penuh makna, tetapi juga ragu. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya berbicara, “Awan, aku harus membuat sebuah keputusan besar, dan aku tidak tahu bagaimana cara melakukannya.”
Awan mendengarkan dengan seksama, memberi ruang bagi Langit untuk mengungkapkan apa yang selama ini mengganggu pikirannya. “Apa itu?” tanya Awan, matanya penuh perhatian.
Langit menghela napas lagi, kali ini lebih panjang, sebelum menjawab, “Aku harus memutuskan apakah aku akan terus tinggal di kota ini atau kembali ke tempat asalku. Aku merasa ada banyak hal yang belum selesai, banyak kenangan yang belum kutinggalkan, dan aku merasa seperti terjebak antara dua dunia yang sangat berbeda.”
Awan terdiam. Ia bisa merasakan betapa beratnya keputusan yang harus diambil Langit. Tidak ada yang mudah dalam situasi seperti ini, terutama jika keputusan itu menyangkut masa depan dan perasaan yang sudah begitu dalam terikat.
“Kenapa kamu merasa terjebak?” tanya Awan, mencoba menggali lebih dalam.
Langit menatap bintang-bintang di langit. “Karena aku merasa seolah-olah aku harus memilih antara mengikuti kata hatiku atau mengikuti kewajibanku. Di satu sisi, aku ingin melanjutkan hidupku di sini, bersama kamu, bersama semua yang baru aku temui. Tapi di sisi lain, ada bagian dari diriku yang merasa jika aku kembali ke kota asal, aku bisa menyelesaikan apa yang tertinggal—termasuk hubungan dengan keluargaku dan mencoba mencari tahu tentang Arga, tentang apa yang terjadi padanya.”
Awan mendengarkan dengan cermat, merasakan betapa beratnya pilihan yang ada di depan Langit. Ia tahu bahwa bagi Langit, kedua pilihan itu sama-sama sulit. Namun, ada sesuatu dalam diri Awan yang tidak bisa ia sembunyikan—ia tidak ingin kehilangan Langit.
“Aku mengerti perasaanmu, Langit,” kata Awan dengan lembut. “Terkadang kita harus membuat keputusan sulit, dan mungkin itu berarti kita harus melepaskan sesuatu yang kita cintai. Tetapi aku ingin kamu tahu, tidak ada keputusan yang salah jika itu membuatmu merasa lebih baik, jika itu adalah langkah yang bisa membuatmu bahagia.”
Langit menundukkan kepala, memikirkan kata-kata Awan. Ia tahu Awan berbicara dengan tulus, bahwa ia ingin melihat Langit bahagia. Namun, semakin ia berpikir, semakin ia merasa bingung.
“Awan, aku tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Aku takut jika aku memilih untuk tinggal, aku akan menyesal tidak kembali dan menyelesaikan semuanya di sana. Tapi jika aku kembali, aku takut aku akan kehilangan semuanya di sini—semua kenangan, semua hubungan yang telah aku bangun.”
Awan merasakan ada keheningan yang panjang di antara mereka. Ia ingin memberi Langit jawaban yang bisa membuatnya merasa tenang, tetapi ia tahu bahwa tidak ada jawaban yang sederhana untuk dilema seperti ini.
“Langit,” kata Awan dengan suara yang penuh keyakinan. “Apa pun keputusan yang kamu buat, aku akan mendukungmu. Kamu tidak perlu merasa terbebani oleh apa yang mungkin terjadi. Kadang, kita harus memilih jalan yang kita rasa paling tepat, dan itu tidak selalu berarti kita tahu apa yang akan terjadi setelahnya. Tetapi aku percaya, kamu akan menemukan kedamaian, apapun pilihanmu.”
Langit menatap Awan, matanya mulai berbinar. Ada kehangatan yang mulai mengalir dalam dirinya. Ia merasa diberkati karena memiliki seseorang yang begitu peduli padanya, seseorang yang siap mendukung apa pun yang ia pilih.
“Aku tidak tahu bagaimana bisa mengucapkan terima kasih, Awan,” kata Langit, suaranya hampir berbisik. “Tapi aku ingin kamu tahu, kamu sudah banyak membantu aku untuk melihat banyak hal dengan cara yang berbeda. Dan apapun yang aku pilih nanti, itu tidak akan mengubah kenyataan bahwa aku sangat menghargai pertemuan kita.”
Awan tersenyum, tetapi senyuman itu penuh dengan pengertian. “Aku juga merasa sama, Langit. Apa pun yang terjadi, aku akan selalu ada untuk kamu. Bahkan jika jalan kita akhirnya berpisah, aku akan tetap mendukungmu.”
Langit tersenyum tipis, ada rasa lega yang perlahan mengalir di dalam hatinya. Ia tahu bahwa keputusan yang akan diambilnya tetap sulit, tetapi sedikit demi sedikit, ia merasa bahwa ia bisa memilih dengan lebih jelas.
Langit menoleh ke arah Awan, matanya berbinar dengan sebuah keputusan yang mulai terbentuk. “Aku akan tetap tinggal di sini, Awan,” ujarnya dengan suara yang mantap. “Aku merasa ada banyak hal yang belum selesai di sini, dan aku ingin mencoba untuk menghadapinya. Aku ingin melanjutkan hidupku di kota ini. Mungkin aku akan kembali ke tempat asal suatu saat nanti, tetapi untuk sekarang, aku ingin tetap di sini, di tengah semua yang baru aku temui.”
Awan menatapnya dengan rasa lega yang mendalam. “Aku senang mendengarnya, Langit.”
Malam itu, mereka duduk lebih lama lagi, menikmati kesunyian yang nyaman di bawah bintang-bintang. Langit merasa seolah sebuah beban telah terangkat dari pundaknya. Keputusan itu mungkin belum sempurna, tetapi ia tahu bahwa ia telah memilih jalannya, dan ia tidak perlu lagi takut menghadapi apa yang ada di depan.
Di bawah langit yang dihiasi bintang-bintang, Langit dan Awan merasa seolah-olah dunia mereka telah sedikit lebih terang. Keputusan Langit untuk tetap tinggal di kota ini bukanlah akhir dari perjalanan mereka, melainkan awal dari babak baru. Mereka tahu bahwa perjalanan ini, apapun yang akan datang, akan dijalani bersama—dengan harapan, dengan keberanian, dan dengan cinta yang tumbuh perlahan di antara mereka.*
Bab 8: Langit yang Baru
Hari-hari berlalu begitu cepat, dan Langit mulai merasa ada perubahan besar dalam hidupnya. Keputusan untuk tetap tinggal di kota ini, meskipun sulit, mulai memberi dampak yang positif. Ia merasa lebih ringan, lebih hidup, dan lebih siap menghadapi masa depan. Meskipun bayang-bayang masa lalu masih ada, ia mulai belajar untuk menerima kenyataan dan membiarkan langkah-langkah baru membimbingnya menuju arah yang lebih cerah.
Pagi itu, Langit bangun lebih awal dari biasanya. Cahaya matahari yang lembut menembus celah jendela kamar, menyinari ruangan dengan warna keemasan. Langit merenggangkan tubuhnya, lalu berjalan ke jendela, menatap ke luar. Udara pagi yang segar membawa ketenangan di hatinya. Ia menarik napas dalam-dalam, merasakan kehangatan sinar matahari yang menyentuh kulitnya.
“Ini awal yang baru,” bisiknya pada dirinya sendiri.
Hari itu, Langit memutuskan untuk memulai rutinitas baru. Setelah memutuskan untuk tetap tinggal, ia merasa perlu lebih fokus pada dirinya sendiri. Menghadapi masa depan tanpa terlalu bergantung pada kenangan lama. Langit mulai mendaftar untuk beberapa kelas seni yang selama ini ia impikan, seperti menggambar dan fotografi. Ia ingin melatih kembali sisi kreatifnya yang pernah tertidur dalam kesibukan hidup yang penuh dengan luka.
Awan, yang semakin sering menghabiskan waktu bersama Langit, terlihat senang melihat semangat Langit yang kembali membara. Mereka sering bertemu di kafe kecil yang menjadi tempat favorit mereka, tempat di mana mereka bisa berbicara tentang banyak hal, dari hal sepele hingga perasaan yang lebih dalam. Setiap pertemuan dengan Awan semakin membuka mata Langit tentang banyak kemungkinan baru yang ada di depannya.
Suatu hari, setelah selesai mengikuti kelas seni pertamanya, Langit duduk di taman kota, menikmati secangkir teh melati. Ia merenung sejenak, menatap anak-anak yang bermain di sekitar. Senyum di wajah mereka mengingatkan Langit pada kebahagiaan yang sederhana, yang sering kali terlupakan dalam kebisingan kehidupan.
“Awan benar,” gumam Langit. “Aku tidak perlu terus-menerus terjebak dalam kenangan. Hidup ini menawarkan begitu banyak hal baru yang menunggu untuk ditemukan.”
Pada saat itu, Awan tiba-tiba muncul dari balik pohon besar di dekat taman, membawa dua cangkir kopi. Ia tersenyum, menaruh salah satu cangkir di depan Langit. “Kamu lagi berpikir berat, ya?” tanyanya, duduk di sebelah Langit.
Langit tersenyum. “Iya, sedikit. Tapi aku merasa semakin banyak yang bisa kujelajahi sekarang. Aku baru sadar, ada begitu banyak hal di dunia ini yang belum aku lihat.”
Awan menatapnya dengan penuh perhatian. “Itulah yang membuat hidup menarik, kan? Tak ada habisnya untuk dijelajahi. Dan kamu sudah memilih jalanmu sendiri sekarang.”
Langit menatap Awan, ada rasa terima kasih yang mendalam di dalam hatinya. Ia menyadari, meskipun hidupnya penuh dengan kesulitan dan kenangan pahit, ia tidak sendiri. Awan selalu ada, memberikan dukungan tanpa syarat.
“Aku merasa seolah-olah aku baru saja mulai hidup lagi, Awan,” ujar Langit, dengan suara penuh keyakinan. “Aku dulu terlalu fokus pada apa yang hilang. Sekarang, aku ingin lebih menghargai apa yang ada di depan mata.”
Awan tersenyum lebar, menyesap kopinya. “Itu yang aku suka dari kamu, Langit. Kamu tidak menyerah pada masa lalu, tapi juga tidak membiarkannya mengendalikan hidupmu. Kamu mengubahnya menjadi kekuatan untuk terus maju.”
Langit memandang langit biru yang luas, merasakan kedamaian yang baru. “Aku rasa, inilah langit yang baru untukku,” katanya dengan suara lembut. “Langit yang tak lagi dipenuhi awan gelap, tapi dipenuhi dengan harapan baru, dengan segala kemungkinan yang belum terungkap.”
Hari demi hari, Langit semakin berkembang. Ia mulai berani mengikuti kursus fotografi yang selama ini hanya menjadi impian dalam benaknya. Kamera yang dulu sering ia simpan di rak, kini selalu ia bawa ke mana pun pergi. Ia mulai menangkap keindahan dunia dengan cara yang berbeda, melihat detil-detil kecil yang sebelumnya tidak pernah ia sadari.
Awan yang selalu menemani Langit dalam perjalanan barunya, tak hanya sebagai teman, tapi juga sebagai seseorang yang memberi semangat tanpa pernah meminta apapun. Setiap langkah Langit semakin yakin bahwa keputusan untuk tetap tinggal di kota ini adalah keputusan yang benar.
Suatu sore, setelah mengikuti kelas seni, Langit duduk di bangku taman, memandang foto-foto yang baru saja ia ambil. Awan duduk di sampingnya, ikut melihat foto-foto itu. Setiap gambar menampilkan keindahan yang berbeda—sebuah daun yang jatuh, sebuah senyuman anak kecil, langit senja yang memerah. Semua itu mengingatkan Langit pada kekuatan kebahagiaan yang ditemukan dalam hal-hal sederhana.
“Foto-foto ini luar biasa, Langit,” puji Awan. “Kamu benar-benar melihat dunia dengan cara yang berbeda sekarang.”
Langit tersenyum bangga, meskipun hatinya masih dipenuhi dengan banyak pertanyaan tentang masa depan. “Aku hanya ingin menangkap apa yang terasa benar. Apa yang indah, apa yang berarti.”
Awan menatap Langit dengan tulus. “Kamu sudah menemukan dirimu, Langit. Dan itu lebih indah daripada segala foto.”
Langit merasa tersentuh oleh kata-kata Awan. Meskipun perjalanan hidupnya penuh dengan rintangan, ia merasa lebih kuat sekarang. Ia tidak lagi merasa terjebak dalam masa lalu, tetapi lebih memilih untuk berjalan menuju masa depan dengan kepala tegak, dengan segala impian dan tujuan yang baru.
Saat malam tiba, Langit berdiri di balkon apartemennya, menatap langit malam yang dipenuhi bintang. Setiap bintang seakan menjadi simbol perjalanan hidupnya—sebuah cahaya yang tak pernah padam, meskipun kadang tersembunyi di balik awan.
“Awan benar,” pikir Langit. “Hidup ini memang penuh dengan hal-hal tak terduga. Tapi aku siap menghadapinya.”
Dengan langkah yang lebih mantap dan hati yang lebih ringan, Langit memandang ke depan. Ia tahu bahwa langit yang baru ini penuh dengan kemungkinan yang belum terungkap, dan ia siap untuk menulis cerita baru dalam hidupnya. Langit yang baru, penuh harapan dan kebahagiaan yang tak terbatas.*
Bab 9: Di Bawah Langit yang Tak Pernah Sama
Waktu terus bergerak, membawa Langit dan Awan semakin dekat dengan kenyataan yang harus mereka hadapi. Perjalanan mereka kini telah menuntun mereka pada titik yang penuh makna—bukan hanya soal cinta yang tumbuh antara mereka, tetapi juga tentang perubahan besar yang terjadi dalam diri masing-masing. Mereka telah menempuh banyak hal bersama, melewati tawa dan air mata, tetapi malam itu, ada sesuatu yang berbeda. Langit merasa bahwa ia berada di titik balik, di bawah langit yang tak pernah sama.
Setelah beberapa minggu berlalu, Langit merasa hidupnya semakin menemukan bentuk yang baru. Setiap hari, ia bangun dengan semangat yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Ia mulai menemukan kedamaian dalam hal-hal yang dulu membuatnya ragu. Kamera yang selalu menemaninya, kini menjadi bagian dari identitasnya—sebuah cara untuk merekam dunia, untuk merekam momen-momen yang mengubahnya. Awan yang selalu ada di sisinya kini menjadi bagian dari hidupnya yang tak bisa dipisahkan, bukan hanya sebagai sahabat, tetapi sebagai seseorang yang membuatnya merasa utuh.
Namun, malam itu, ada ketegangan yang menyelimuti Langit. Suasana di kafe tempat mereka sering bertemu terasa lebih sunyi dari biasanya. Ia dan Awan duduk berhadapan, hanya ada suara musik lembut yang mengalun di latar belakang dan percakapan yang terhenti di tengah. Langit menatap cangkir kopinya, jarinya menggenggam erat cangkir itu, merasa seolah-olah ada sesuatu yang harus dibicarakan.
Awan menatap Langit dengan penuh perhatian. “Ada yang ingin kamu bicarakan?” tanyanya lembut, merasakan ada sesuatu yang tidak biasa dalam sikap Langit.
Langit menghela napas, menurunkan cangkirnya, dan memandang Awan dengan mata yang penuh keraguan. “Awan… aku merasa seperti hidupku mulai berubah. Semua yang terjadi begitu cepat, dan aku merasa takut. Takut kehilangan arah.”
Awan terdiam sejenak, mencoba memahami kata-kata Langit. “Kamu takut kehilangan arah? Tapi kamu sudah menemukan banyak hal yang kamu cintai, kan?” katanya, mencoba meyakinkan Langit bahwa ia telah berada di jalur yang benar.
Langit mengangguk pelan. “Iya, tapi ada bagian dari diriku yang merasa tidak lengkap. Aku tahu ini mungkin terdengar aneh, tapi ada bagian dari diriku yang merasa bahwa aku belum sepenuhnya menemukan siapa aku sebenarnya. Aku tak tahu apakah semuanya ini hanya sebuah pelarian dari masa lalu atau apakah ini adalah jalan yang memang benar-benar aku pilih.”
Awan diam, memikirkan apa yang baru saja diungkapkan Langit. “Langit, kamu sudah melangkah sejauh ini. Kamu sudah memutuskan untuk tinggal, untuk mengejar impianmu, dan untuk mencintai dirimu sendiri. Itu adalah langkah yang besar. Kadang, kita tidak selalu tahu tujuan akhir kita, tapi yang penting adalah kita terus berjalan dan menemukan diri kita dalam perjalanan itu.”
Langit menatap Awan, mencoba mencerna kata-kata itu. Ia tahu Awan benar. Selama ini, Awan selalu ada untuk mengingatkannya tentang kekuatan dalam dirinya, tentang keyakinan untuk terus maju meski ragu. Namun, perasaan itu masih mengganggunya. Ia merasa seperti ada bagian dari dirinya yang belum sepenuhnya pulih.
“Awan, aku harus jujur padamu,” kata Langit, suaranya lebih tenang tapi penuh keteguhan. “Aku merasa seperti aku belum selesai dengan semuanya. Aku tahu aku sudah memilih untuk tetap tinggal di sini, tetapi aku merasa aku perlu menghadapi sesuatu yang belum aku hadapi. Aku merasa ada luka yang belum sembuh, dan aku takut itu akan menghalangiku untuk melangkah lebih jauh.”
Awan mendengarkan dengan seksama. Ia bisa merasakan betapa beratnya perasaan Langit. Ada keraguan yang terpendam, yang tak bisa diungkapkan begitu saja. “Apa yang sebenarnya kamu takuti, Langit?”
Langit memejamkan matanya sejenak, mencoba mengumpulkan kata-kata. “Aku takut kembali ke tempat asal, ke tempat yang meninggalkan begitu banyak kenangan buruk. Aku takut kembali ke masa lalu yang penuh dengan perasaan yang belum terselesaikan. Aku takut jika aku kembali, aku akan kembali terjebak dalam bayang-bayangnya.”
Awan menatap Langit, mencoba memahami ketakutan yang ia rasakan. “Masa lalu memang bisa sangat mengikat kita, Langit. Tapi kamu harus ingat, kamu bukan orang yang sama lagi. Kamu telah tumbuh, dan kamu bisa menghadapi apapun yang datang dari masa lalu dengan kepala tegak.”
Langit menundukkan kepala, merasakan beratnya kenyataan yang harus dihadapi. Ia tahu bahwa Awan benar, tapi ada rasa takut yang begitu mendalam di dalam hatinya. Ia merasa seperti ada bagian dari dirinya yang masih belum selesai dengan cerita lama.
“Apakah aku harus kembali, Awan?” Langit akhirnya bertanya, suaranya terdengar bimbang.
Awan menghela napas, tidak langsung menjawab. Ia tahu ini adalah pertanyaan besar bagi Langit. “Hanya kamu yang bisa menjawab itu, Langit. Apa yang kamu butuhkan untuk merasa utuh lagi? Apakah kamu merasa perlu kembali untuk menyelesaikan sesuatu, atau apakah kamu lebih baik melanjutkan hidupmu di sini?”
Langit terdiam, matanya menatap keluar jendela, ke arah langit yang perlahan berubah menjadi kelabu. Ia merasa ada kedamaian yang datang dengan keberanian untuk membuat keputusan, tetapi ada juga ketakutan akan konsekuensi yang mungkin terjadi.
“Aku rasa aku perlu kembali,” kata Langit, akhirnya membuat keputusan. “Aku harus kembali ke sana, untuk menyelesaikan apa yang belum tuntas dalam diriku. Mungkin aku akan menemukan kedamaian di sana, atau mungkin aku akan menemukan hal-hal yang perlu aku tinggalkan untuk selamanya.”
Awan menatapnya dengan pandangan yang penuh pengertian. “Apapun keputusanmu, aku akan mendukungmu. Kamu tidak sendirian dalam perjalanan ini, Langit.”
Langit merasakan ketenangan yang datang dengan keputusan itu. Mungkin langit yang ia lihat saat ini tidak sama dengan yang dulu, tetapi itu adalah langit yang kini memberi ruang untuk perubahan. Setiap langkah yang diambilnya, meskipun penuh dengan ketakutan dan keraguan, adalah bagian dari proses menemukan dirinya. Langit yang baru bukanlah seseorang yang melarikan diri dari masa lalu, melainkan seseorang yang berani menghadapi dan menghadapinya dengan keberanian.
Di bawah langit yang tak pernah sama, Langit tahu bahwa ia tidak bisa lari dari takdirnya, namun ia bisa memilih cara untuk menghadapinya. Dan kali ini, ia siap untuk melangkah ke depan, dengan segala ketakutan dan harapan yang menyertainya.*
Epilog: Langit yang Tak Pernah Sama
Beberapa bulan telah berlalu sejak Langit membuat keputusan besar itu—kembali ke tempat yang pernah ia tinggalkan. Langit kini berdiri di sebuah jembatan yang menghubungkan dua bagian kota kecil tempat ia dilahirkan. Jembatan itu terlihat tak berubah, namun Langit tahu, dirinya lah yang telah berubah. Begitu banyak kenangan yang membalut jembatan ini—kenangan tentang keluarga, masa kecil, dan mimpi-mimpi yang pernah ia tinggalkan. Kini, setelah bertahun-tahun, ia kembali dengan hati yang lebih lapang, meskipun penuh dengan keraguan.
Angin sore mengusir panas yang menyelubungi kota. Langit memandang ke arah horizon, di mana matahari perlahan tenggelam, meninggalkan jejak warna oranye yang indah di langit. Ada keheningan yang menyelimuti dirinya. Keheningan yang datang setelah perjalanan panjang, setelah menghadapi keputusan yang tidak mudah. Tapi sekarang, di bawah langit yang tak pernah sama ini, Langit merasa damai. Ia merasa seperti kembali ke rumah, meskipun perasaan itu tidak sepenuhnya utuh.
Awan, yang selama ini menjadi teman sejati dalam perjalanannya, tidak bisa ikut bersamanya kali ini. Awan memilih untuk tetap tinggal di kota yang telah menjadi rumah bagi mereka berdua selama ini. Meskipun hati Langit terasa berat meninggalkan Awan, ia tahu bahwa perjalanan ini adalah miliknya sendiri—sebuah perjalanan untuk menyembuhkan luka dan menemukan bagian dirinya yang hilang.
Kembali ke rumah lama, tempat segala kenangan bermula, tidak mudah. Langit merasakan beban yang berat setiap kali memasuki ruang-ruang yang dulu begitu familiar. Setiap sudut rumah, setiap ruang yang hening, seakan membawa suara-suara masa lalu yang belum sepenuhnya terselesaikan. Namun, kali ini, Langit memilih untuk menghadapinya. Ia memutuskan untuk berbicara dengan orang-orang yang dulu pernah menjadi bagian dari hidupnya—keluarganya, teman-temannya, dan mereka yang ia tinggalkan. Mungkin dengan begitu, ia bisa benar-benar melepaskan dan menemukan kedamaian yang selama ini ia cari.
Hari pertama Langit kembali, ia mengunjungi rumah orang tuanya. Rumah yang sudah lama tak ia pijak, rumah yang dulu menjadi saksi bisu perpisahannya dengan masa kecilnya. Ia berdiri di depan pintu rumah itu untuk beberapa detik, sebelum akhirnya mengetuk pintu dengan perlahan. Suara pintu yang terbuka mengingatkannya pada banyak hal—tentang kasih sayang yang pernah ada, tentang canda tawa yang kini menjadi kenangan. Ibunya muncul dari balik pintu dengan mata yang terkejut, namun segera diikuti dengan senyuman yang hangat. Seperti tidak ada waktu yang terlewatkan antara mereka, meskipun bertahun-tahun telah berlalu.
“Langit,” suara ibunya serak. “Kamu kembali.”
Langit hanya tersenyum, meskipun hatinya terasa berat. “Iya, Bu. Aku kembali.”
Mereka berbicara panjang lebar, mengungkapkan segala hal yang terpendam selama bertahun-tahun. Ibu Langit menceritakan betapa rindu dan khawatirnya ia terhadap anaknya, dan Langit akhirnya bisa membuka dirinya tentang betapa besar perasaan takut dan kebingungannya saat itu. Perasaan itu masih ada, tetapi kini Langit merasakan kedamaian yang mulai mengalir dalam dirinya. Ia tahu bahwa kembali ke sini, menghadapi masa lalunya, adalah langkah pertama menuju penyembuhan.
Selama beberapa minggu setelah itu, Langit mengunjungi beberapa tempat yang dulu sangat berarti baginya—sekolah lama, tempat ia tumbuh bersama teman-temannya, dan tempat-tempat yang menyimpan banyak kenangan indah dan pahit. Namun, yang paling penting adalah bagaimana Langit mulai berbicara dengan orang-orang yang pernah ia tinggalkan, termasuk teman-temannya yang dulu sangat dekat dengannya. Mereka berbicara, mengungkapkan semua yang belum sempat dikatakan, saling memaafkan, dan berusaha untuk melepaskan beban masa lalu.
Bukan berarti semuanya menjadi mudah. Langit masih merasakan kesedihan dan penyesalan atas beberapa hal yang tidak bisa ia ubah. Namun, ia mulai belajar untuk menerima kenyataan bahwa setiap perjalanan hidup memiliki lekukan-lekukan yang tidak dapat dihindari. Bahkan jika suatu hari nanti ia harus meninggalkan tempat ini lagi, ia tahu bahwa ia akan kembali dengan hati yang lebih kuat, lebih lapang, dan lebih siap menghadapi apapun yang akan datang.
Suatu malam, setelah beberapa minggu menghabiskan waktu di kota ini, Langit duduk di balkon rumah orang tuanya, menatap langit malam yang begitu indah. Bintang-bintang tersebar di langit, membentuk pola-pola yang tak pernah ia mengerti, namun tetap mempesona. Awan, yang telah mengirimkan pesan kepadanya beberapa hari lalu, memberitahunya bahwa dia merindukan Langit. Ia tahu, meskipun terpisah oleh jarak, mereka akan selalu terhubung oleh kenangan dan hati yang saling memahami.
Langit tersenyum, menatap bintang-bintang itu. Ia tahu, di bawah langit yang tak pernah sama, banyak hal yang berubah, tetapi ada juga hal-hal yang tetap—terutama tentang diri kita sendiri. Kita mungkin melewati rintangan dan kebingungan, tetapi pada akhirnya, kita selalu menemukan cara untuk bangkit dan melanjutkan perjalanan. Langit yang dulu penuh dengan awan gelap kini mulai dipenuhi dengan cahaya yang lebih terang.
Langit menutup matanya sejenak, merasakan ketenangan yang datang setelah pertempuran panjang dalam dirinya. Ia tahu bahwa perjalanannya belum selesai. Mungkin akan ada lebih banyak tantangan, lebih banyak pilihan yang harus ia buat, namun untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Langit merasa siap untuk menghadapi apapun yang akan datang. Ia tak lagi terikat pada masa lalu yang telah ia tinggalkan, tetapi ia membawa pelajaran berharga yang membentuk dirinya menjadi lebih kuat dan lebih bijaksana.
“Awan, aku baik-baik saja,” bisik Langit dalam hati. “Aku sudah menemukan jalan untuk diriku sendiri.”
Dan di bawah langit malam yang tak pernah sama, Langit merasakan kedamaian yang sejati. Ia tahu, apa pun yang terjadi, ia akan selalu mampu menemukan langit yang baru—di dalam dirinya, dan di dunia yang penuh dengan kemungkinan ini.***
——–THE END—–