• Latest
  • Trending
  • All
  • Movie Review
  • Box Office
  • Trailer
  • Action
  • Romantic
  • Comedy
  • Horror
  • Serial Movie
  • Genre
KUTUKAN DEWA MALAM

KUTUKAN DEWA MALAM

January 27, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025
JEJAK DI PINTU TERLARANG

JEJAK DI PINTU TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

May 17, 2025
TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

May 17, 2025
PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

May 12, 2025
HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

May 12, 2025
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

May 10, 2025
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

LUKISAN YANG MENANGIS

May 10, 2025
  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
No Result
View All Result
Novel Story
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah
Novel Story
KUTUKAN DEWA MALAM

Oplus_131072

KUTUKAN DEWA MALAM

Kutukan Dahsyat Dang Dewa Malam

by FASA KEDJA
January 27, 2025
in Fantasi
Reading Time: 30 mins read

 

Bab 1: Lahirnya Kutukan

Pada awalnya, dunia ini berada dalam keseimbangan yang sempurna, di mana siang dan malam saling bergantian tanpa pernah mengganggu satu sama lain. Namun, segala sesuatu yang seimbang pasti memiliki sisi gelapnya, dan dunia pun tak terhindar dari takdir yang tak terelakkan. Pada suatu malam yang penuh dengan gemerlap bintang, langit yang gelap dipenuhi dengan suara-suara aneh yang tak bisa dijelaskan. Seperti ada sesuatu yang besar sedang bergerak di luar jangkauan pemahaman manusia.

Di sebuah desa kecil yang terletak di bawah bayang-bayang gunung-gunung raksasa, hidup seorang pemuda bernama Arka. Ia adalah anak dari seorang penjaga desa yang dihormati oleh banyak orang. Ayahnya, Arya, dikenal sebagai seorang lelaki bijak yang memimpin desa dengan adil, sementara ibunya, Rara, seorang wanita yang penuh kasih dan peduli terhadap semua orang. Keluarga Arka hidup dalam kedamaian, jauh dari segala permasalahan besar yang terjadi di luar desa mereka.

Namun, pada suatu malam yang kelam, segalanya berubah. Ketika bulan purnama muncul di langit dan memancarkan cahaya yang berkilau, Arya, ayah Arka, sedang berada di luar desa, melakukan perjalanan untuk mencari bahan-bahan langka yang hanya dapat ditemukan di hutan terlarang. Dalam pencariannya, Arya tidak sengaja menemukan sebuah batu hitam yang menyala, terkubur di dalam tanah. Tanpa mengetahui bahaya yang terkandung di dalamnya, ia membawa batu tersebut pulang ke desa, berharap bisa memanfaatkannya untuk sesuatu yang baik. Batu hitam itu ternyata adalah artefak kuno yang merupakan bagian dari kutukan Dewa Malam, sebuah entitas kuat yang telah lama terlupakan.

Ketika Arya membawa batu itu pulang, malam itu juga sebuah kejadian aneh terjadi. Desa yang biasanya damai tiba-tiba diselimuti oleh kabut tebal yang sangat gelap, menghilangkan semua cahaya dari bulan dan bintang. Angin menderu dengan keras, membawa bisikan-bisikan yang terdengar seperti suara dari dunia lain. Semua orang merasa ada sesuatu yang sangat salah.

Saat Arya menaruh batu hitam itu di dalam rumahnya, tiba-tiba seluruh tubuhnya terasa panas, dan ia mulai merasakan kekuatan jahat mengalir ke dalam dirinya. Ia terjatuh dan merintih kesakitan. Dalam sekejap mata, tubuhnya berubah menjadi hitam legam, seolah-olah ia telah diselimuti oleh bayangan yang tak bisa dihilangkan. Mata Arya berubah menjadi merah menyala, dan tubuhnya dipenuhi dengan aura kegelapan yang mengerikan. Sebuah suara, suara yang datang dari kedalaman bumi, bergema di seluruh desa.

“Dia yang membangkitkan kutukan, takkan pernah bisa terlepas dari kegelapan. Takdirnya sudah ditentukan.”

Desa itu terkejut dan ketakutan, termasuk Arka yang saat itu berusia enam belas tahun. Ia berlari menuju rumah ayahnya, berharap bisa menolong. Ketika Arka masuk, ia menemukan ayahnya terbaring di lantai dengan mata yang terbelalak dan tubuh yang terbungkus bayangan gelap. Arya menatapnya dengan tatapan kosong, seolah tidak lagi mengenali anaknya.

“Ayah?” Arka memanggil, namun tidak ada jawaban. Arya perlahan bangkit, tubuhnya bergerak seperti sebuah bayangan yang terputus-putus, dan suara yang menyeramkan keluar dari mulutnya.

“Jangan coba melawan takdir, Arka. Ayahmu sudah menjadi bagian dari kutukan Dewa Malam. Dan kamu… kamu juga akan menjadi bagian dari takdir ini,” suara itu bergema, seperti bisikan dari dunia lain.

Arka merasa tubuhnya gemetar. Ia tidak tahu apa yang terjadi pada ayahnya, tapi yang pasti, ia tahu bahwa ini bukanlah ayah yang ia kenal. Ini adalah sesuatu yang lebih gelap, lebih menakutkan. Dalam kepanikan, Arka mencoba menarik ayahnya dari kekuatan kegelapan, tetapi itu sia-sia. Arya yang kini dikuasai oleh kutukan, menyerang anaknya, hampir menghabisinya dalam satu serangan. Beruntung, Arka berhasil melarikan diri.

Sejak malam itu, desa Arka terperangkap dalam bayangan yang tak bisa dijelaskan. Kabut hitam terus meluas, dan setiap orang yang berhubungan dengan Arya berubah menjadi sosok yang diliputi kegelapan. Tak ada yang bisa melawan kekuatan yang kini menguasai dunia mereka.

Arka yang selamat dari serangan ayahnya, terbangun di luar desa yang kini tenggelam dalam kegelapan abadi. Hatinya penuh dengan kebingungan dan amarah. Mengapa ayahnya bisa terkutuk? Apa yang dimaksud dengan “takdir” yang disebutkan oleh suara itu? Dan mengapa dunia mereka bisa menjadi seburuk ini?

Pada saat itu, Arka memutuskan untuk mencari jawaban. Ia tahu bahwa ia tidak bisa melawan kutukan ini tanpa memahami asal-usulnya. Dengan tekad yang bulat, Arka meninggalkan desa yang kini diliputi oleh kabut hitam, bertekad untuk menemukan cara untuk menyelamatkan ayahnya dan membebaskan dunia dari cengkeraman kegelapan yang mengancam.

Namun, ia tidak tahu bahwa perjalanan ini akan membawanya lebih jauh dari yang ia bayangkan, ke dalam dunia yang dipenuhi dengan misteri, kekuatan yang terlarang, dan ancaman yang lebih besar dari kutukan Dewa Malam itu sendiri.*

Bab 2: Awal Perjalanan

Arka melangkah keluar dari desa yang kini terperangkap dalam bayangan gelap. Desa yang dulunya damai dan penuh kehidupan, kini hanya tinggal kenangan. Tak ada lagi suara tawa anak-anak bermain, tak ada lagi bau masakan yang menggoda dari rumah-rumah yang dulu sibuk dengan aktivitas warga. Hanya ada sunyi yang mencekam, dihiasi oleh kabut hitam yang tebal dan menggantung rendah, seolah menutupi segala yang ada di bawahnya. Semua itu karena kutukan yang dibawa pulang oleh ayahnya, Arya. Arka tahu, dirinya tidak bisa berdiam diri. Ia harus menemukan cara untuk membebaskan ayahnya, sekaligus dunia yang kini mulai terjebak dalam kekuatan gelap yang tidak dapat dijelaskan.

Ia berjalan dengan langkah mantap, meninggalkan jejak di tanah yang lembab, mencari petunjuk, jawaban, atau bahkan orang yang bisa membantunya mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Arka tahu bahwa ia tidak dapat melawan kutukan ini dengan kekuatannya yang terbatas. Ada kekuatan yang lebih besar dari dirinya yang harus ia hadapi, dan hanya dengan pengetahuan serta keberanianlah ia bisa menemukan cara untuk menghadapinya.

Perjalanan ini bukan hanya tentang mencari jawaban, tetapi juga tentang menghadapi kenyataan pahit bahwa dunia yang ia kenal kini telah berubah. Kepergian dari desa itu adalah awal dari pencarian yang tak akan mudah. Arka tak tahu berapa lama perjalanan ini akan berlangsung, atau apa yang akan ia temui di sepanjang jalan. Namun satu hal yang pasti, ia harus melangkah maju, karena dunia yang gelap ini tidak akan berubah dengan sendirinya.

Hanya satu arah yang bisa ia tuju: ke tempat yang jauh dari pengaruh kutukan, tempat yang konon kabarnya menyimpan rahasia tentang kekuatan gelap ini. Itu adalah sebuah tempat yang dipenuhi dengan legenda dan mitos, sebuah tempat yang bahkan banyak orang takut untuk mendekat. Tempat yang dikenal dengan nama “Bumi Terlarang”, sebuah wilayah yang terletak di ujung dunia, di mana Dewa Malam pertama kali dikatakan menyebarkan kutukannya. Di situlah segala jawaban yang Arka cari mungkin tersimpan. Tapi untuk mencapainya, ia harus melewati banyak rintangan dan menghadapinya dengan tekad yang lebih besar.

Perjalanan menuju Bumi Terlarang tidak mudah. Arka harus melewati hutan-hutan lebat yang penuh dengan makhluk-makhluk misterius dan berbahaya. Sejak meninggalkan desa, kabut gelap itu terus mengikuti setiap langkahnya, seolah menjadi bayangan yang tak bisa dihindari. Setiap kali ia melangkah lebih jauh, ia merasa ada yang mengintai dari kejauhan. Seperti ada mata yang mengawasi gerak-geriknya.

Pada malam ketiga perjalanan, Arka tiba di sebuah lembah yang luas. Di kejauhan, ia bisa melihat cahaya samar yang muncul dari balik pepohonan. Rasa penasaran mendorongnya untuk mendekati cahaya itu. Ketika ia sampai di dekat sumber cahaya tersebut, ia melihat sebuah api unggun besar, dan di sekitarnya duduk beberapa sosok yang tampaknya sedang beristirahat. Sosok-sosok itu tampak seperti para pelancong atau petualang yang berkelana, namun ada yang berbeda dari mereka.

Seorang pria dengan jubah hitam, yang wajahnya tersembunyi di balik tudung, memandang Arka dengan tatapan tajam. Matanya yang bersinar merah memberikan kesan bahwa ia bukanlah manusia biasa. Di sampingnya, seorang wanita dengan rambut panjang dan berkilau perak, mengenakan pakaian bertuliskan simbol-simbol kuno, duduk diam dengan ekspresi yang penuh makna. Di sekitar mereka ada berbagai macam peralatan dan benda-benda misterius yang Arka tidak bisa kenali.

“Apa yang kau cari, anak muda?” suara pria itu terdengar dalam, penuh misteri, seperti sebuah bisikan yang datang dari dunia lain.

Arka menatap mereka dengan hati-hati, menyadari bahwa mereka pasti mengetahui lebih banyak tentang perjalanan yang sedang ia tempuh. Dengan suara yang sedikit gemetar, namun penuh keyakinan, Arka menjawab, “Saya mencari jawaban tentang kutukan yang menimpa desa saya. Saya harus menemukan cara untuk menyelamatkan ayah saya dan dunia ini.”

Wanita dengan rambut perak itu perlahan menatap Arka. “Kutukan Dewa Malam… Kami telah mendengar tentangnya. Itu bukan hal yang mudah untuk dibasmi. Namun, ada jalan menuju pengetahuan yang lebih dalam tentang kekuatan itu,” katanya dengan suara yang tenang, namun dalam.

Pria berjubah hitam itu berdiri dan mengangkat tangannya ke langit. “Kami adalah mereka yang telah mengabdikan hidup untuk mempelajari hal-hal yang terkubur dalam kegelapan. Kamu ingin tahu lebih banyak? Kami bisa membantu, tetapi kamu harus siap menghadapi kenyataan yang jauh lebih besar dari yang kau bayangkan.”

Arka tidak ragu. “Saya siap. Apa pun yang harus saya hadapi, saya akan melakukannya.”

Di sinilah awal dari perjalanan yang lebih jauh dimulai. Ternyata, Arka bukan satu-satunya yang mengetahui kutukan ini. Ada kelompok yang telah menghabiskan bertahun-tahun untuk mencari cara melawan kekuatan Dewa Malam, yang dikenal dengan nama Order of the Moonlight. Mereka adalah penjaga pengetahuan kuno, orang-orang yang terhubung dengan kekuatan yang lebih besar dari yang bisa dipahami oleh kebanyakan orang.

Mereka mengajak Arka untuk bergabung dalam pencarian ini. Mereka menjelaskan bahwa hanya dengan memecahkan teka-teki dan mengikuti petunjuk yang tersebar di berbagai tempat, mereka dapat menemukan sumber kekuatan yang dapat menghentikan kutukan Dewa Malam.

Namun, perjalanan ini tidak hanya akan menguji fisik Arka, tetapi juga keyakinannya. Arka harus belajar untuk mempercayai orang-orang yang tidak ia kenal, menghadapi banyak ujian yang tidak terduga, dan menghadapi kenyataan bahwa dunia yang ia kenal sebelumnya tidaklah sebagaimana yang ia kira.

Pencarian Arka untuk menemukan jawaban tentang kutukan ayahnya dan dunia yang terperangkap dalam kegelapan baru saja dimulai. Namun, ia telah memasuki jalan yang penuh dengan misteri, kejahatan, dan ancaman yang bahkan lebih besar dari yang ia bayangkan. Namun dengan tekad yang kuat, ia akan terus maju, karena ia tahu bahwa satu-satunya cara untuk mengakhiri kutukan ini adalah dengan menemukan kebenaran yang tersembunyi dalam kegelapan yang menyelubungi dunia mereka.*

Bab 3: Penemuan Kekuatan Terlarang

Arka berjalan menyusuri lembah yang gelap, dibimbing oleh cahaya redup dari api unggun yang mulai menyusut. Bersama dua anggota Order of the Moonlight, pria berjubah hitam dan wanita dengan rambut perak, ia melanjutkan perjalanan menuju kedalaman hutan yang kabarnya menyimpan rahasia mengenai kutukan Dewa Malam. Suara bisikan angin dan gemerisik daun yang bergoyang menyelimuti suasana, mengingatkan Arka bahwa mereka sedang berada jauh di luar jalur yang aman.

Setelah berjalan beberapa jam, mereka tiba di sebuah gua besar yang tersembunyi di balik semak belukar lebat. Pintu gua itu terlihat biasa saja, namun Arka merasakan sesuatu yang aneh dari dalam sana—sebuah kekuatan yang menantang dan penuh ancaman. Wanita dengan rambut perak itu, yang diperkenalkan sebagai Elara, melangkah lebih dulu dengan tenang, diikuti Arka dan pria berjubah hitam yang hanya dikenal dengan nama Kael.

“Tempat ini dulunya merupakan pusat kekuatan kuno,” kata Elara dengan suara serak, matanya berbinar seakan mengingat sebuah masa lalu yang penuh rahasia. “Namun kini, hanya sedikit yang berani memasuki tempat ini. Keberadaan kekuatan terlarang yang disimpan di sini bisa mengubah segalanya.”

Kael menyentuh pintu gua dengan telapak tangannya, dan seketika itu juga pintu gua mulai terbuka dengan sendirinya, seperti dipandu oleh sebuah kekuatan tak tampak. Mereka melangkah ke dalam dengan hati-hati, setiap langkah mereka membawa mereka lebih dalam ke dalam gua yang semakin gelap. Gua ini sangat berbeda dari gua-gua lainnya yang pernah Arka lihat—di dalamnya terasa ada energi yang kuat dan menakutkan, seolah-olah ada sesuatu yang hidup di dalamnya.

Di dalam gua tersebut, dindingnya dihiasi dengan lukisan-lukisan kuno yang menggambarkan pertempuran besar antara makhluk manusia dan entitas yang jauh lebih kuat. Lukisan-lukisan itu menggambarkan kekuatan yang tak terbayangkan, kekuatan yang bisa membangkitkan ketakutan atau membawa kehancuran besar. Arka bisa merasakan udara di sekitar mereka berubah, semakin tegang, semakin berat.

“Kekuatan ini sudah terpendam ribuan tahun,” bisik Kael. “Tapi aku takut kita akan membuka sesuatu yang seharusnya tetap terkubur.”

Elara mengangguk perlahan, wajahnya menunjukkan keseriusan. “Apa yang kita cari di sini bukan sekadar pengetahuan. Ini adalah kunci untuk mengalahkan Dewa Malam, atau lebih tepatnya, untuk mematahkan kutukan yang telah mengikat dunia ini.”

Mereka akhirnya sampai di pusat gua, di mana sebuah altar kuno berdiri tegak, dikelilingi oleh simbol-simbol yang Arka tak mengerti. Di atas altar itu terletak sebuah pedang besar yang bersinar dengan cahaya hitam, energi gelap yang menyelubungi pedang itu hampir tampak seperti kabut. Arka merasa tubuhnya sedikit tergerak, seolah pedang itu memanggilnya, menariknya lebih dekat.

“Ini adalah Pedang Malam, senjata yang dapat membasmi kutukan Dewa Malam, atau malah memberdayakannya lebih jauh,” jelas Elara. “Ini adalah kekuatan terlarang yang kami cari. Tapi hati-hati, Arka, kekuatan yang ada di dalam pedang ini tidak bisa dikendalikan sembarangan.”

Arka terdiam, pandangannya tetap terkunci pada pedang itu. Ia merasakan ketakutan yang mendalam, tapi juga sebuah rasa penasaran yang menggelora. Pedang itu tampak memancarkan daya tarik yang tak bisa dijelaskan, seolah mengundangnya untuk memegangnya dan menguasai takdirnya sendiri. Namun, ia tahu betul bahwa kekuatan yang bisa mengubah takdir juga bisa menghancurkannya.

“Ambil pedang itu jika kau benar-benar siap dengan konsekuensinya,” kata Kael dengan suara berat. “Kekuatan ini bisa mengubah apapun—termasuk dirimu sendiri.”

Arka menghela napas panjang. Ia tahu, meskipun keberadaan pedang itu mungkin menjadi kunci untuk mengakhiri kutukan yang menimpa ayahnya, ia harus berhati-hati. Jika ia tidak bisa mengendalikan kekuatan ini, dunia yang kini terjebak dalam kegelapan bisa saja tenggelam lebih dalam.

Dengan tekad yang bulat, Arka maju dan meraih gagang pedang. Begitu tangannya menyentuh pedang itu, ia merasakan aliran energi yang kuat mengalir ke tubuhnya, seolah-olah tubuhnya disesaki dengan kekuatan yang tak terbayangkan. Seiring dengan itu, pandangannya menjadi kabur, suara berdesir memenuhi telinganya, dan sebuah visiun gelap muncul di hadapannya.

Ia melihat dunia yang hancur, dipenuhi dengan api dan kehancuran. Sosok Dewa Malam muncul dalam wujud raksasa, matanya berkilauan dengan cahaya merah, menatapnya dengan penuh amarah. “Kau pikir kau bisa melawan takdir, Arka? Kau hanya boneka dalam permainan yang lebih besar!”

Arka terhuyung mundur, terlepas dari pedang itu seketika, dan pedang kembali memancarkan cahaya hitam yang menyilaukan. Jantungnya berdegup kencang, dan tubuhnya terasa lelah. Elara dan Kael cepat-cepat mendekat, membantu Arka yang terjatuh.

“Kau harus lebih berhati-hati,” kata Elara dengan khawatir. “Pedang itu bukan hanya senjata, tetapi juga jebakan. Hanya mereka yang benar-benar siap yang bisa menggunakannya tanpa terperangkap dalam cengkeramannya.”

Arka menatap pedang itu lagi, dan kali ini, ia merasa ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kekuatan. Ada harga yang harus dibayar untuk menguasai Pedang Malam. Apakah ia siap dengan pengorbanan yang mungkin harus ia lakukan? Pertanyaan itu terus menghantuinya.

Kael melangkah maju, menatap Arka dengan tatapan penuh perhatian. “Kekuatan ini bukan milikmu jika kau tidak memahami apa yang tersembunyi di baliknya. Kamu harus belajar untuk mengendalikan keinginan dan ambisimu, atau kekuatan ini akan menghancurkanmu.”

Arka mengangguk pelan. Ia tahu perjalanan ini belum berakhir. Dengan Pedang Malam, ia mungkin memiliki senjata yang bisa menghentikan kutukan Dewa Malam, namun ia harus belajar bagaimana mengendalikan kekuatan terlarang itu. Hanya dengan pemahaman dan kendali, ia bisa menjinakkan pedang itu dan menghadapinya dengan penuh keberanian.

Namun, satu hal yang pasti, Arka tahu bahwa ia baru saja membuka babak baru dalam perjalanannya—perjalanan yang akan menguji tidak hanya fisiknya, tetapi juga jiwanya. Sebuah pertarungan batin yang jauh lebih besar dari sekadar melawan Dewa Malam.*

Bab 4: Keberanian di Dunia yang Terlupakan

Arka berdiri di depan pintu batu besar yang tersembunyi di balik reruntuhan hutan lebat. Angin malam berdesir di sekitar mereka, seolah membawa bisikan dari dunia yang sudah lama terlupakan. Dengan Pedang Malam yang terbungkus di punggungnya, Arka merasakan beratnya beban yang harus ia tanggung. Dia tahu bahwa dunia ini tidak lagi seperti yang ia kenal, dunia yang aman dan familiar. Dunia yang ia jejak sekarang adalah dunia yang telah lama hilang, dunia yang dilupakan oleh waktu.

“Di balik pintu ini, ada dunia yang penuh rahasia,” kata Elara, yang kini berdiri di sampingnya, matanya yang tajam menatap ke arah pintu batu itu. “Kita tidak hanya akan menghadapi musuh dari luar, tetapi juga bayangan dari masa lalu. Dunia yang terlupakan ini menyimpan kekuatan yang lebih besar dari apa pun yang pernah kita bayangkan.”

Arka menarik napas dalam-dalam. Pintu batu itu tampak tidak berbeda dari pintu-pintu gua atau kuil lainnya yang ia temui dalam perjalanan mereka. Namun, ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang membuat darahnya berdesir. Dunia yang tersembunyi di balik pintu ini adalah tempat yang seharusnya tidak pernah ditemukan. Ini adalah tempat yang menyimpan kenangan dan kutukan, sebuah dunia yang dihuni oleh mereka yang telah lama terbuang dari sejarah. Dan di sinilah, semua akan dimulai.

Dengan sebuah gerakan perlahan, Arka mengangkat tangannya dan menekan pintu batu itu. Sebuah suara berderak terdengar, dan pintu itu perlahan terbuka, mengungkapkan dunia yang lebih gelap dan lebih misterius daripada yang bisa ia bayangkan. Dunia yang dilupakan oleh zaman, dunia yang penuh dengan bayang-bayang, reruntuhan, dan kehancuran. Begitu pintu terbuka sepenuhnya, udara dingin menyerbu wajah mereka, dan mereka melangkah ke dalam kegelapan.

“Selamat datang di Dunia Terlupakan,” bisik Kael, suara pria itu terdengar jauh lebih berat dari sebelumnya, seperti menyimpan banyak rahasia yang belum terungkap. “Di sini, segala sesuatu tidak selalu seperti yang kita lihat. Ada kekuatan yang lebih tua, lebih kuat, dan lebih berbahaya dari apapun yang kita kenal.”

Arka memandang sekelilingnya. Di depan mereka terhampar padang pasir yang luas, dipenuhi dengan reruntuhan kota-kota yang sudah hancur. Bangunan-bangunan yang dulunya mungkin megah kini hanya menyisakan sisa-sisa kerangka dan batu bata yang patah. Tidak ada kehidupan di sini—hanya kesunyian yang mencekam, seolah dunia ini telah terhapus dari ingatan.

Namun, dalam kesunyian itu, Arka merasakan sesuatu yang lain. Di balik reruntuhan itu, ada sesuatu yang bergerak—sesuatu yang mengamati mereka, mengintai dari balik bayangan. Sejenak, Arka merasa seperti berada di tengah-tengah ribuan mata yang menatapnya dengan penuh harapan dan ketakutan.

“Tunggu,” kata Elara, menghentikan langkahnya. “Ada sesuatu yang mendekat.”

Arka berhenti sejenak, mencoba mendengar suara apa yang sedang Elara perhatikan. Ketika dia memfokuskan perhatian, ia bisa merasakan getaran kecil di tanah di bawah kakinya. Seperti gempa kecil, tetapi intens. Tanpa peringatan, bayangan gelap melesat keluar dari balik reruntuhan, muncul dalam bentuk makhluk besar yang menyerupai manusia, tetapi tubuhnya dilapisi dengan kulit batu yang keras dan mata yang berkilauan dengan energi gelap. Mereka adalah penjaga dunia yang terlupakan ini—makhluk yang telah lama tertidur, namun kini bangun untuk melawan siapa saja yang berani menginjakkan kaki di tanah ini.

“Siap-siap,” kata Kael sambil meraih pedangnya. “Kita harus melawan jika kita ingin terus maju.”

Makhluk itu melangkah maju, mengangkat tangan batu besar yang penuh kekuatan, siap untuk menghancurkan siapa saja yang ada di hadapannya. Arka menarik Pedang Malam dari punggungnya, merasakan kekuatan gelap yang mengalir di tubuhnya begitu pedang itu terlepas dari sarungnya. Tangan Arka bergetar, namun ia tahu bahwa inilah saatnya untuk menghadapi ketakutan dan menunjukkan keberanian yang telah lama tersembunyi.

“Jaga dirimu,” kata Elara, memberikan isyarat agar Arka maju. “Kita harus menghancurkan mereka sebelum mereka menghancurkan kita.”

Dengan kekuatan yang mengalir melalui tubuhnya, Arka melangkah maju, menyongsong makhluk batu itu. Pedang Malam berkilau dalam genggamannya, menyerap cahaya dari sekelilingnya, dan mengubahnya menjadi energi gelap yang tajam dan mematikan. Ia mengayunkan pedang itu dengan kekuatan penuh, memotong udara yang tebal dengan suara berdesing yang menakutkan. Makhluk batu itu mengangkat tangan besar untuk menahan serangan, namun Arka dengan gesit menghindar dan melancarkan serangan berikutnya.

Setiap gerakan Arka terasa lebih terfokus dan terarah. Ia merasa seperti tubuhnya dipenuhi dengan kekuatan yang lebih besar dari sebelumnya—sebuah kekuatan yang berasal dari Pedang Malam. Pedang itu bukan hanya senjata, tetapi juga cermin dari dirinya sendiri—sebuah wujud dari ketakutan dan keberanian yang saling bertarung dalam dirinya.

Pertempuran semakin sengit. Kael dan Elara ikut terlibat, menggunakan kekuatan mereka masing-masing untuk melawan makhluk batu yang tak kenal ampun. Namun, meskipun mereka bertiga berjuang keras, makhluk itu terus bangkit dan menyerang dengan kekuatan yang hampir tak terkalahkan.

Arka terengah-engah, tubuhnya mulai lelah, namun ia tahu bahwa ia tidak bisa mundur sekarang. Ia harus melanjutkan perjalanan ini, harus mengungkap kebenaran di balik kutukan Dewa Malam, dan untuk itu, ia harus mengalahkan musuh-musuh yang muncul di sepanjang jalan.

Dengan sebuah teriakan yang penuh tekad, Arka mengayunkan Pedang Malam sekali lagi, kali ini dengan kekuatan yang lebih besar. Pedang itu menyambar tubuh makhluk batu, dan seketika itu juga, makhluk itu hancur menjadi serpihan batu yang berterbangan di udara. Keberanian Arka berhasil mengalahkan makhluk pertama, tetapi ia tahu bahwa ini baru permulaan. Dunia yang terlupakan ini penuh dengan bahaya yang lebih besar dari yang ia bayangkan.

“Ini baru awal,” kata Elara, memandang Arka dengan tatapan penuh hormat. “Kau menunjukkan keberanian yang luar biasa, Arka. Tapi masih ada banyak tantangan yang harus kita hadapi.”

Arka mengangguk, matanya menyiratkan tekad yang semakin kuat. Ia tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, namun ia siap menghadapi segala rintangan yang ada. Dunia yang terlupakan ini mungkin penuh dengan kegelapan, namun di dalamnya juga terdapat harapan yang harus ditemukan.*

Bab 5: Perang antara Cahaya dan Gelap

Ketika matahari terbenam di balik horizon yang dipenuhi kabut tebal, Arka berdiri di atas puncak bukit, memandang jauh ke arah lembah yang dikuasai oleh kekuatan gelap. Dunia yang dulu dikenal dengan terang dan damai kini telah berubah menjadi medan pertempuran antara dua kekuatan yang bertentangan—cahaya yang terbebani dengan harapan dan gelap yang dipenuhi dengan kebencian dan kehancuran. Perang antara keduanya sudah dimulai, dan Arka tahu bahwa ia tidak bisa mundur lagi.

Kegelapan merayap perlahan, menutupi dunia dengan selimut yang dingin dan menakutkan. Langit yang dulunya cerah kini dipenuhi awan hitam yang bergerak cepat, seolah menyembunyikan kedamaian yang dulu ada. Badai yang melanda dunia ini bukan hanya fenomena alam—itu adalah hasil dari kutukan yang telah lama diciptakan oleh Dewa Malam. Setiap langkah Arka dan kawan-kawannya semakin mendekat ke pusat dari kekuatan gelap itu, dan semakin besar pula tantangan yang harus mereka hadapi.

“Arka, kita harus bergerak lebih cepat,” kata Elara, suara wanita itu dipenuhi dengan kekhawatiran. “Kekuatan gelap semakin kuat. Mereka tahu kita mendekat, dan mereka tidak akan membiarkan kita mengungkapkan rahasia yang tersembunyi di balik dunia ini.”

Arka mengangguk, menatap ke depan dengan tatapan penuh tekad. Di balik kegelapan yang menyelimuti lembah itu, ia tahu ada sesuatu yang jauh lebih besar yang sedang mengintai. Perang ini bukan hanya tentang mengalahkan musuh, tetapi juga tentang menyelamatkan dunia yang sudah hampir hancur.

“Kita harus menemukan pusat dari kekuatan gelap itu,” jawab Arka dengan suara yang lebih berat. “Di sanalah kita bisa menghentikan semua ini. Kita tidak hanya berperang melawan musuh, kita berperang melawan waktu.”

Elara melangkah maju, matanya tetap waspada. “Kita tahu bahwa Dewa Malam adalah sumber dari semua ini, tetapi apa yang bisa kita lakukan untuk menghentikannya? Kekuatannya sangat besar, bahkan Pedang Malam pun belum bisa menandingi gelap yang dia ciptakan.”

Arka terdiam sejenak, merenung. Pedang Malam, senjata yang telah menyelamatkan hidupnya dalam banyak kesempatan, kini tampaknya kurang berarti melawan kekuatan gelap yang begitu besar. Namun, ia merasa ada satu hal yang belum mereka coba—sesuatu yang lebih dari sekadar senjata atau taktik pertempuran. Ia harus mencari sumber kekuatan itu, dan mungkin jawaban itu ada dalam dirinya sendiri.

“Di dunia ini, selalu ada keseimbangan,” kata Arka, akhirnya membuka mulut setelah hening yang panjang. “Cahaya dan gelap saling membutuhkan satu sama lain untuk tetap ada. Jika kita bisa menemukan keseimbangan itu, mungkin kita bisa mengalahkan kekuatan gelap ini.”

Kael yang sejak tadi diam, mengangguk setuju. “Mungkin kamu benar, Arka. Tetapi bagaimana kita bisa menemukan keseimbangan itu? Apa yang harus kita lakukan untuk menyatu dengan kekuatan yang lebih besar dari sekadar kita?”

“Perang ini bukan hanya tentang fisik,” jawab Arka, matanya menatap tajam ke arah lembah yang gelap. “Ini adalah perang antara dua kekuatan yang saling bertentangan. Cahaya dan gelap bukan musuh, mereka hanya dua sisi dari mata uang yang sama. Kita harus memahaminya, bukan hanya melawannya.”

Dengan langkah yang penuh tekad, Arka memimpin kelompoknya turun ke lembah, memasuki wilayah yang semakin dipenuhi oleh bayang-bayang. Setiap langkah membawa mereka lebih dekat ke pusat dari kekuatan gelap yang telah menyelimuti dunia ini. Mereka tahu bahwa semakin dekat mereka dengan pusat kekuatan itu, semakin besar pula bahaya yang mengancam.

Di sepanjang perjalanan, mereka diserang oleh berbagai makhluk yang terlahir dari kegelapan—raksasa bayangan, iblis yang tak terlihat, dan makhluk-makhluk lain yang merupakan manifestasi dari ketakutan dan kebencian. Namun, Arka dan kawan-kawannya tidak gentar. Mereka tahu bahwa musuh mereka bukan hanya makhluk fisik, tetapi juga sesuatu yang jauh lebih dalam—suatu kekuatan yang mampu merasuki hati dan pikiran, yang mengubah siapa saja yang terpapar dengannya menjadi bagian dari kegelapan itu.

“Jangan biarkan mereka menguasai kita,” kata Kael, mengayunkan pedangnya untuk memotong bayangan yang mendekat. “Kita harus tetap kuat, tetap fokus.”

Arka melangkah maju, Pedang Malam terhunus di tangannya. Setiap serangan yang ia lancarkan tidak hanya fisik, tetapi juga energi yang mengalir dalam dirinya. Ia merasa ada kekuatan yang semakin kuat dalam dirinya—suatu kekuatan yang mungkin berasal dari keseimbangan yang telah ia cari. Pedang Malam tidak lagi hanya sekadar senjata, tetapi sebuah simbol dari keberanian dan harapan.

Mereka terus melawan, menyusuri lembah yang semakin gelap, hingga akhirnya mereka tiba di sebuah tempat yang sangat berbeda—sebuah altar kuno yang terletak di tengah-tengah lembah. Di sana, berdiri sosok yang sangat besar, tertutup dalam selubung gelap. Dewa Malam, sang sumber kekuatan gelap, berdiri di depan mereka, matanya bersinar dengan api kebencian.

“Arka,” kata Dewa Malam dengan suara yang bergema, “Kau dan teman-temanmu mencoba untuk menghentikan kehancuran ini. Namun, kau tidak tahu betapa besar kekuatan yang aku ciptakan. Kegelapan ini adalah takdir yang tak bisa dihentikan.”

Arka mengangkat Pedang Malam, tatapannya penuh dengan tekad. “Kegelapan tidak bisa menang, Dewa Malam. Di balik setiap kegelapan, selalu ada cahaya. Kami akan menunjukkan kepadamu bahwa harapan lebih kuat dari kebencian.”

Dengan satu serangan yang penuh keberanian, Arka maju, Pedang Malam bersinar dengan cahaya yang terang, menembus kegelapan yang melingkupi altar. Perang ini bukan hanya tentang kekuatan fisik, tetapi juga tentang tekad dan hati yang tak tergoyahkan. Ini adalah perang antara cahaya dan gelap, dan hanya satu yang bisa keluar sebagai pemenang.*

Bab 6: Pengkhianatan yang Menghancurkan

Keheningan malam merayap di sekitar mereka, tetapi suasana di dalam kamp masih dipenuhi oleh kegelisahan. Setelah pertempuran hebat yang mereka hadapi di lembah, Arka dan pasukannya beristirahat sejenak, meskipun mereka tahu bahwa ancaman belum berakhir. Perang ini baru saja dimulai, dan mereka harus siap menghadapi lebih banyak tantangan. Namun, ada sesuatu yang mengganjal di hati Arka—sebuah perasaan tak menentu yang terus mengganggu pikirannya.

Di bawah sinar bulan yang redup, Arka duduk sendiri di dekat api unggun, merenung. Ia memikirkan pertempuran yang baru saja mereka lewati, dan keberanian yang ditunjukkan oleh teman-temannya. Namun, ada satu hal yang ia rasakan tidak beres: ada sesuatu yang aneh dalam sikap salah satu anggota timnya, Kael. Pemuda yang dulu selalu menjadi teman seperjuangannya itu kini tampak berbeda, lebih terisolasi dan penuh rahasia. Kael selalu tahu kapan harus bertindak, tetapi kali ini, Arka merasakan ada yang berubah dalam sikapnya—sesuatu yang tidak dapat ia jelaskan.

“Arka,” suara Elara tiba-tiba memecah kesunyian. Ia berdiri di depan Arka, wajahnya penuh keraguan. “Ada yang tidak beres dengan Kael. Aku merasa ada sesuatu yang dia sembunyikan.”

Arka mengangkat wajahnya, menatap Elara dengan tatapan tajam. “Apa maksudmu? Kael adalah bagian dari tim ini. Kami sudah melalui banyak hal bersama.”

Elara menggigit bibirnya, tampak ragu. “Aku tahu, tetapi ada hal-hal yang tidak sesuai dengan sikapnya belakangan ini. Sepertinya dia tahu lebih banyak tentang kekuatan gelap yang kita hadapi daripada yang dia katakan. Aku merasa dia menyembunyikan sesuatu dari kita.”

Arka terdiam, merenungkan kata-kata Elara. Sebenarnya, ia juga merasa ada yang aneh dengan Kael, namun ia tidak ingin langsung mencurigai sahabatnya. Namun, perasaan itu semakin mengganggu, dan kali ini, Arka tahu ia tidak bisa menutup mata terhadapnya.

“Baiklah,” kata Arka akhirnya, bangkit dari duduknya. “Kita akan cari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tapi kita harus hati-hati. Jangan sampai kita terjebak dalam permainan yang lebih besar.”

Malam itu, Arka dan Elara memutuskan untuk menyelidiki Kael. Mereka mengikuti jejaknya yang tampak mengarah ke bagian yang lebih terpencil dari kamp. Saat mereka mendekat, suara rendah terdengar dari balik pepohonan. Tanpa suara, mereka bergerak lebih dekat, berusaha menyembunyikan diri di balik bayang-bayang.

Apa yang mereka temui membuat darah Arka terasa membeku. Kael berdiri di tengah-tengah lingkaran hitam yang terang. Di sekelilingnya, ada semburan energi gelap yang berputar-putar. Arka dan Elara menyaksikan dengan mata terbelalak saat Kael berbicara dengan suara yang dalam dan menyeramkan, suara yang tidak mereka kenal.

“Kekuatanmu akan aku manfaatkan,” kata Kael, suaranya berubah menjadi lebih berat dan menyeramkan. “Dengan bantuanmu, aku akan mengakhiri semua ini dan menguasai dunia yang kacau ini.”

Hati Arka berdegup kencang. Kael, sahabat yang selama ini ia percayai, ternyata telah berkhianat. Ia bergabung dengan kekuatan gelap yang mereka perjuangkan untuk kalahkan. Rasa sakit yang Arka rasakan tidak hanya berasal dari pengkhianatan itu, tetapi juga dari kenyataan bahwa orang yang selama ini ia anggap teman sejati telah berpaling darinya.

“Kael, apa yang kau lakukan?” teriak Arka, langkahnya tergesa-gesa maju ke depan. “Kau berpihak pada mereka? Kau berpihak pada kegelapan?”

Kael menoleh, senyumnya penuh dengan kejam dan penuh kebencian. “Kau tidak mengerti, Arka. Dewa Malam menawarkan lebih banyak dari yang bisa kau bayangkan. Kekuatannya, janjinya… itu semua akan memberi aku kekuasaan untuk mengubah dunia ini sesuai kehendakku. Kegelapan bukan musuh, Arka, itu adalah jalan yang benar.”

Elara berdiri di samping Arka, matanya terpejam dengan kesedihan. “Kael, kau salah. Dewa Malam tidak akan memberimu apa yang kau inginkan. Kekuatan itu akan menghancurkanmu, dan kita semua.”

Kael tertawa kecil, seolah mereka tidak tahu apa yang sedang terjadi. “Kalian tidak mengerti. Kekuatan itu lebih besar dari apa pun yang bisa kalian lakukan. Kalian adalah hambaku, seperti semua orang lain. Aku akan menunjukkan pada kalian bagaimana dunia ini seharusnya.”

Sebelum Arka dan Elara sempat bergerak, Kael mengangkat tangan, dan energi gelap memancar dengan kekuatan yang mengerikan. Dalam sekejap, langit menjadi lebih gelap, dan suara jeritan terdengar dari kejauhan. Kekuatan yang pernah mereka perangi kini berada di tangan sahabat mereka sendiri, dan itu membuat Arka merasa semakin tertekan.

“Kael, berhenti!” teriak Arka, berlari ke arahnya, tetapi energi gelap yang dipancarkan Kael memblokir jalan mereka. Sebuah ledakan energi gelap meluncur ke arah mereka, dan Arka terpelanting mundur.

Elara berusaha untuk menenangkan diri, tetapi rasa sakit dari pengkhianatan itu membuatnya hampir kehilangan kendali. “Arka… kita harus menghentikan dia.”

Arka mengangguk dengan tegas, meskipun hatinya terbelah. Kael, teman yang dulu mereka percayai, kini telah menjadi musuh yang lebih berbahaya dari kekuatan gelap itu sendiri.

“Demi dunia ini, demi teman-teman kita, kita harus mengakhiri semuanya, Elara,” kata Arka, tangannya meraih Pedang Malam. “Ini bukan hanya tentang menghentikan Dewa Malam, tetapi juga tentang menyelamatkan Kael dari dirinya sendiri.”

Mereka bersiap, mengetahui bahwa pertempuran yang akan datang bukan hanya melawan kekuatan gelap yang ada di luar sana, tetapi juga melawan seseorang yang telah mereka anggap sebagai keluarga. Namun, satu hal yang jelas: pengkhianatan Kael telah menghancurkan lebih dari sekadar persahabatan mereka—itu telah menghancurkan harapan Arka akan masa depan yang damai.

Dan saat itu, Arka tahu bahwa pertempuran ini tidak hanya akan menentukan nasib dunia, tetapi juga nasib hati manusia yang rapuh dan penuh godaan.*

Bab 7: Menembus Gerbang Malam

Gerbang besar itu berdiri tegak di hadapan mereka, menjulang tinggi dengan struktur yang tampak kuno namun kuat, seperti milik suatu peradaban yang telah lama terlupakan. Di atasnya, sebuah simbol yang berkilau samar terukir—sebuah bulan sabit yang mengelilingi bintang tunggal, simbol yang identik dengan Dewa Malam. Arka dan Elara berdiri beberapa langkah dari gerbang tersebut, merasakan aura gelap yang kuat mengalir melalui udara. Di sekitar mereka, kabut pekat menggulung, hampir seperti kehidupan itu sendiri berusaha untuk menghalangi mereka.

Arka menggenggam Pedang Malam dengan erat, senjata yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari dirinya. Pedang itu memancarkan cahaya biru yang redup, seakan menanggapi ketegangan di udara. Elara, di sisi lain, merapatkan pelindung tangannya dan menguatkan tekad di dalam hatinya. Di depan mereka, pintu gerbang tersebut tertutup rapat, tetapi Arka tahu bahwa satu-satunya jalan untuk mengakhiri kutukan ini adalah dengan menembusnya—masuk ke dunia yang dikuasai oleh Dewa Malam dan menghadapi kekuatan yang menguasai.

“Apa yang kita tunggu, Arka?” tanya Elara dengan suara rendah. Ia tahu betul apa yang harus mereka lakukan, tetapi rasa cemas masih menggelayuti hatinya. Mereka tidak tahu apa yang menanti di balik gerbang ini, hanya bahwa mereka harus pergi ke sana untuk menyelesaikan perjalanan ini.

Arka menatap gerbang yang tampaknya tidak akan bisa dihancurkan hanya dengan kekuatan fisik biasa. Ia tahu bahwa untuk membuka gerbang ini, mereka harus menggunakan lebih dari sekadar kekuatan mereka. Mereka harus menggunakan kekuatan yang lebih dalam, kekuatan yang bisa menembus batasan dunia nyata dan dunia yang dikuasai oleh Dewa Malam.

“Kita tidak punya pilihan, Elara,” jawab Arka, suaranya tegas meskipun ada keraguan yang samar di dalamnya. “Gerbang ini adalah jalan satu-satunya menuju tempat yang kita cari. Kita harus menembusnya untuk menghentikan Kael, dan untuk mengakhiri kutukan ini.”

“Dan untuk menyelamatkan dunia,” Elara menambahkan, meskipun kata-katanya terasa berat. Ia memandang gerbang itu dengan rasa takut dan kagum yang bercampur aduk. “Tapi, kita tidak tahu apa yang akan kita hadapi di dalam. Ini bukan sekadar tempat yang dilindungi, Arka. Ini adalah tempat yang dibangun untuk menjaga sesuatu yang jauh lebih berbahaya.”

Arka menatap Elara, merasakan ketegangan di udara. Mereka tahu bahwa Dewa Malam telah lama menjaga gerbang ini, melindunginya dari siapa pun yang mencoba menembusnya. Gerbang ini bukan hanya sebuah pintu fisik—itu adalah batasan antara dunia nyata dan dunia kegelapan yang dikuasai oleh Dewa Malam, tempat di mana waktu dan ruang tidak lagi mengikuti aturan biasa.

“Jika kita tidak bisa menembusnya,” kata Arka dengan suara rendah, “maka kita akan tetap terjebak dalam lingkaran kutukan ini selamanya. Kita harus melawan ketakutan kita dan melangkah maju.”

Elara mengangguk, meskipun perasaan tidak pasti masih menggerogoti dirinya. Mereka tahu bahwa perjalanan ini akan menguji keberanian mereka—bukan hanya dalam pertempuran fisik, tetapi juga dalam ujian mental dan jiwa. Mereka tidak hanya harus menghadapi musuh yang tak terlihat, tetapi juga menghadapi kekuatan-kekuatan jahat yang lebih kuat daripada yang bisa mereka bayangkan.

Dengan langkah mantap, Arka maju mendekati gerbang. Tangannya terangkat, dan ia meletakkan ujung Pedang Malam di depan gerbang itu. Sebuah energi mulai terasa, gelombang kehangatan yang datang dari dalam pedang, seolah-olah senjata itu tahu apa yang harus dilakukan. Cahaya biru dari pedang mulai membesar, dan Arka merasakan ikatan yang lebih kuat antara dirinya dan senjata itu.

“Dewa Malam, izinkan kami untuk menembus gerbang ini,” Arka berkata dengan lantang, suaranya penuh dengan keyakinan yang dipinjam dari setiap tetes darah yang telah tercurah dalam perjuangan ini. Ia tahu bahwa untuk membuka gerbang ini, mereka harus mengorbankan lebih dari sekadar tubuh mereka. Mereka harus memberikan sesuatu yang lebih dalam—sesuatu yang tidak bisa dipulihkan. Kekuatan mereka, kekuatan yang terkunci dalam pedang dan darah mereka, harus bersatu dengan kekuatan yang ada di dalam gerbang itu.

Sesaat setelah kata-kata Arka terucap, gerbang itu bergetar. Suara gemuruh terdengar, dan gelombang cahaya mulai memancar dari setiap celahnya. Arka dan Elara terkejut, tetapi mereka tetap berdiri tegak. Sesuatu yang besar sedang terjadi di balik gerbang, dan mereka tidak bisa mundur lagi. Mereka tidak bisa berpaling dari takdir yang telah mereka pilih.

Gerbang itu mulai terbuka perlahan, dan dari dalamnya, sebuah suara terdengar. Suara yang terdengar seperti bisikan angin yang membisikkan kata-kata yang sangat tua dan sangat kuat. “Siapa yang berani menantang aku? Siapa yang berani masuk ke dunia yang aku kuasai?”

Arka tidak ragu. “Aku, Arka, dan ini adalah perjalanan kami. Kami datang untuk menghentikan kekuatanmu, Dewa Malam. Kami datang untuk mengakhiri kutukan ini.”

Suara itu terdiam sesaat, sebelum sebuah tawa rendah terdengar. Tawa itu seperti tawa yang sudah lama terkunci dalam kedalaman malam, tawa yang penuh dengan keangkuhan dan kebencian. “Kalian begitu yakin? Kalian begitu percaya diri? Kau akan belajar, Arka, bahwa ada kekuatan yang lebih besar dari segala yang kalian bisa bayangkan.”

Tiba-tiba, cahaya yang memancar dari dalam gerbang itu berubah menjadi gelap, menyelimuti seluruh dunia mereka dengan kabut pekat. Arka merasakan perasaan berat di dadanya, seperti ada sesuatu yang mencoba menahan mereka. Namun, ia tidak mundur. Ia tahu bahwa jika mereka ingin menang, mereka harus berani menembus batasan itu—berani memasuki dunia yang tak dikenal, dunia yang dikuasai oleh kegelapan.

Dengan langkah yang mantap, Arka melangkah lebih jauh, diikuti oleh Elara. Mereka memasuki gerbang, dan dalam sekejap, dunia yang mereka kenal menghilang. Kabut gelap itu menyelimuti mereka, dan mereka merasa seperti tersedot ke dalam jurang kegelapan yang tak terjangkau oleh cahaya. Namun, mereka tidak merasa takut. Mereka tahu bahwa ini adalah bagian dari perjalanan mereka. Untuk mengakhiri kutukan ini, mereka harus siap menghadapi segala kemungkinan, bahkan jika itu berarti menghadapi Dewa Malam sendiri.

Gerbang itu menutup di belakang mereka, dan mereka telah benar-benar memasuki dunia yang terlupakan, tempat di mana kegelapan adalah penguasa, dan harapan tampak seperti hal yang jauh sekali. Namun, di balik kabut itu, ada cahaya—sebuah harapan yang tersisa, dan mereka bertekad untuk menemukannya, apapun yang harus mereka korbankan.*

Bab 8: Pertempuran dengan Dewa Malam

Udara di sekitar Arka dan Elara terasa berat, penuh dengan kegelapan yang seolah mengikat mereka dalam jaring tak kasat mata. Mereka melangkah maju, melintasi dunia yang tampaknya tak terjangkau oleh mata manusia, sebuah dunia yang dikuasai oleh Dewa Malam. Langit yang tadinya biru kini berubah menjadi hitam pekat, hanya disinari oleh bintang-bintang yang bersinar samar, seolah-olah mereka pun takut untuk memperlihatkan sinar mereka yang sebenarnya. Kabut tebal menyelimuti tanah yang tak terlihat, menutupi apa pun yang ada di bawahnya. Suara angin yang berdesir terdengar seperti bisikan dari makhluk yang tak terlihat.

Elara menggenggam pedangnya lebih erat, merasakan gemetar yang tak bisa ia hilangkan. Di dalam dirinya, rasa takut dan kecemasan semakin menguat, tapi ia tahu bahwa ini adalah momen yang tak bisa mereka hindari. Di hadapan mereka, ada satu tujuan—menghadapi Dewa Malam, kekuatan yang telah lama menguasai dunia ini, yang telah menciptakan kutukan yang membelenggu mereka.

“Arka, kita hampir sampai,” kata Elara, suaranya bergetar. “Tapi aku merasa ada sesuatu yang lebih besar dari kita yang mengamati kita sekarang.”

Arka mengangguk tanpa berkata apa-apa. Rasanya seperti ada mata yang mengawasi setiap gerakan mereka, sesuatu yang lebih tua dari dunia itu sendiri. Ia dapat merasakan aura Dewa Malam, sebuah kekuatan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Itu adalah kekuatan yang tak terlihat, tapi ada—di sana, di sekitar mereka, di setiap sudut dunia ini. Semua rasa cemas yang Elara rasakan, ia pun mengalaminya.

Tiba-tiba, langit di atas mereka berkedip, dan bayangan besar muncul dari kabut. Sebuah sosok yang begitu besar, begitu megah, tapi juga menakutkan. Dewa Malam. Wujudnya muncul dari kabut, mengenakan jubah hitam yang mengalir dengan kilauan gelap, dengan tatapan mata yang seolah menembus jiwa. Wajahnya tersembunyi dalam bayang-bayang, hanya sepasang mata yang berkilauan dengan cahaya merah darah yang tampak seperti dua obor di tengah kegelapan.

“Sia-sia,” suara Dewa Malam menggema, dalam dan dalam. Seakan seluruh dunia mendengarnya. “Kalian datang ke sini untuk menghentikan kekuatanku? Untuk menghentikan takdir yang telah kutentukan?”

Arka mengangkat Pedang Malam, yang kini bersinar dengan cahaya biru yang kuat, seakan menanggapi suara Dewa Malam. “Takdirmu tidak akan menguasai kami lebih lama. Kutukan ini harus berakhir di sini, Dewa Malam. Kami datang untuk mengakhiri semuanya.”

Dewa Malam tertawa. Tawa yang terdengar seperti angin malam yang membawa kehancuran. “Kalian memang berani, Arka. Tetapi kalian tidak tahu apa yang kalian hadapi. Kekuatan yang kurasakan sudah melewati batas-batas yang kalian kenal. Kalian tidak akan pernah bisa mengalahkanku.”

Dengan satu gerakan tangan, Dewa Malam mengangkat kabut yang menutupi tanah, menciptakan gelombang kegelapan yang datang menyapu mereka. Arka dan Elara dengan sigap melompat ke samping, menghindari gelombang tersebut yang bisa menghancurkan mereka hanya dengan sentuhan. Kabut itu bagaikan makhluk hidup yang menyerang, seolah mencoba menjerat mereka dalam pelukan gelapnya.

“Elara, hati-hati!” seru Arka, melihat Elara terhimpit oleh gelombang kegelapan yang hampir mencapai kakinya. Dengan sigap, Elara mengayunkan pedangnya, memotong kabut yang mendekat dengan gerakan yang cepat dan terlatih. Setiap tebasan pedangnya memancarkan cahaya terang, menyapu sebagian kabut yang mencoba menutupi mereka.

“Kita harus menghentikannya dari sumbernya!” seru Elara, berusaha bertahan di tengah hujan gelap yang turun dari langit. “Jika kita bisa mengalahkan inti kekuatannya, kita bisa menghentikan semua ini!”

Arka mengangguk, mengerti maksud Elara. Pedang Malam di tangannya mulai memancarkan cahaya biru yang lebih terang, dan ia menyiapkan dirinya untuk serangan berikutnya. Ia melangkah maju, berani menghadapi Dewa Malam secara langsung. Di sekelilingnya, kabut terus berputar, menciptakan ilusi dan kekacauan yang membuatnya sulit untuk melihat jelas. Namun, ia tidak gentar.

“Ini saatnya,” bisik Arka pada dirinya sendiri, dan dengan kekuatan penuh, ia mengayunkan Pedang Malam ke arah Dewa Malam. Pedang itu memotong udara dengan cepat, mengarah langsung ke sosok gelap yang menghadapinya.

Dewa Malam mengangkat tangannya dengan tenang, menyambut serangan Arka dengan keangkuhan yang tampaknya tak terbendung. Seolah-olah kabut yang mengelilinginya telah menjadi bagian dari dirinya, Dewa Malam menangkis serangan Arka dengan mudah. Namun, Arka tidak menyerah. Ia memanfaatkan kekuatan Pedang Malam untuk mengumpulkan lebih banyak energi, berusaha memecahkan pertahanan yang tampak tak tertembus.

Dewa Malam menggerakkan tangannya, dan langit di atas mereka berguncang. Bintang-bintang yang tadinya bersinar redup kini padam, seakan dilahap oleh kegelapan yang semakin tebal. Tiba-tiba, langit di atas mereka pecah, dan dari celah-celahnya muncul makhluk-makhluk bayangan, yang terdiri dari energi gelap. Mereka menyerang dengan kecepatan luar biasa, mencoba menyeret Arka dan Elara ke dalam dunia kegelapan yang lebih dalam.

“Elara!” seru Arka, berusaha melawan makhluk-makhluk itu dengan Pedang Malam yang bersinar terang.

Elara, dengan gesit, menghindari serangan makhluk-makhluk itu dan berlari ke sisi Arka. Dengan serangan pedangnya, ia memotong satu per satu makhluk bayangan yang mencoba mendekat. “Kita harus fokus pada Dewa Malam!” teriaknya, matanya terbakar dengan tekad.

Dewa Malam, dengan suara yang penuh dengan kekuatan dan penghinaan, berkata, “Kalian berani mengganggu ketenanganku? Kalian berani melawan takdir yang telah kutentukan?”

Di tengah kegelapan yang semakin dalam, Arka merasakan kekuatan Pedang Malam semakin kuat. Ia tahu bahwa ini adalah momen terakhir—momen untuk menghancurkan Dewa Malam dan mengakhiri kutukan yang telah menghancurkan dunia mereka. Dengan keberanian yang terlahir dari setiap perjuangan, Arka mengumpulkan seluruh kekuatan yang ia miliki, lalu melepaskannya dalam satu serangan yang kuat.

Pedang Malam bersinar lebih terang dari sebelumnya, dan dengan kekuatan yang tak terbendung, Arka menyerang Dewa Malam langsung ke jantung kekuatannya.

Dewa Malam berteriak, tapi teriakan itu tertutup oleh ledakan cahaya yang menyilaukan. Kekuatan kegelapan yang telah menguasai dunia itu mulai retak, dan kabut yang menyelimuti dunia mereka mulai menghilang.

Namun, Dewa Malam tidak menyerah begitu saja. Ia mencoba bertahan, mencoba menarik kekuatan terakhir dari dunia ini untuk melawan Arka dan Elara.

Namun, Arka tahu bahwa ini adalah akhirnya—dan dengan satu ayunan terakhir, ia memotong kegelapan yang telah menguasai dunia mereka.*

Bab 9: Pengorbanan dan Kebebasan

Kegelapan yang selama ini menyelimuti dunia mereka mulai surut, namun di balik itu semua, Arka merasa ada harga yang harus dibayar. Pedang Malam, yang telah memancarkan cahaya lebih terang dari sebelumnya, kini perlahan meredup, seiring dengan menghilangnya sosok Dewa Malam. Dunia ini, yang sebelumnya berada dalam cengkraman kekuatan gelap, kini perlahan kembali ke cahaya, namun di saat yang bersamaan, Arka merasakan beban yang semakin berat di pundaknya.

Ia terjatuh di tanah, napasnya terengah-engah, tubuhnya lelah setelah pertempuran panjang yang hampir menghabiskan seluruh tenaganya. Pedang Malam, yang kini hanya menyisakan kilau samar, terjatuh di sampingnya. Di sekelilingnya, kabut gelap yang telah merajai dunia itu kini mulai menghilang, digantikan oleh langit yang perlahan cerah.

“Arka!” suara Elara terdengar begitu khawatir, memanggilnya dengan suara yang penuh cemas.

Dengan susah payah, Arka berusaha mengangkat tubuhnya. Ia menatap Elara, yang berlari menghampirinya, matanya yang penuh kekhawatiran terlihat jelas. Elara mendekat, tangannya terulur untuk membantunya bangun. Namun, Arka menggelengkan kepala, menahan dirinya untuk tidak terlalu bergantung padanya.

“Jangan khawatir, Elara… aku baik-baik saja,” kata Arka dengan suara serak, meskipun ia tahu dirinya sedang kelelahan dan hampir tak mampu berdiri.

Namun, Elara tidak terlihat begitu meyakini perkataannya. Matanya melirik ke sekeliling mereka, melihat bahwa meskipun dunia ini mulai kembali ke keadaan semula, namun masih ada bekas luka yang ditinggalkan oleh pertempuran ini. Dunia mereka yang dulu dipenuhi dengan cahaya kini perlahan kembali bersinar, namun ada harga yang harus dibayar untuk kebebasan ini.

“Apa yang terjadi pada Dewa Malam?” tanya Elara dengan suara bergetar. “Apakah… apakah kita berhasil mengalahkannya?”

Arka mengangguk lemah, menatap langit yang perlahan cerah. “Dia sudah pergi… kita berhasil. Tapi… aku merasakan sesuatu yang berat, Elara. Ada sesuatu yang masih hilang… ada yang harus dibayar untuk kebebasan ini.”

Elara menatapnya bingung. “Apa maksudmu? Bukankah kita sudah berhasil menghentikan kutukan ini?”

Arka tidak segera menjawab. Ia memejamkan mata, berusaha merasakan kembali kekuatan yang baru saja ia lepaskan. Rasa kelelahan yang datang setelah pertarungan besar itu perlahan menjalar ke seluruh tubuhnya. Namun, di balik itu semua, ada perasaan yang lebih mendalam—rasa kehilangan yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Kebebasan yang mereka perjuangkan bersama Dewa Malam ternyata memiliki harga yang jauh lebih besar dari yang mereka bayangkan.

Dengan langkah berat, Arka memutuskan untuk berbicara, meskipun kata-kata itu terasa berat di tenggorokannya. “Elara… Dewa Malam tidak hanya menghancurkan dunia dengan kekuatan gelapnya. Dia juga menciptakan kutukan ini… dan kutukan itu… ada dalam diriku.”

Elara terdiam, matanya melebar. “Maksudmu…?”

Arka menarik napas panjang, sebelum akhirnya ia mengungkapkan apa yang ia rasakan. “Selama ini, aku telah terikat dengan kekuatan Dewa Malam. Ketika aku menggunakan Pedang Malam untuk mengalahkannya, aku juga menggunakan sebagian besar kekuatanku yang terhubung dengan kekuatan gelap itu. Dan sekarang… aku merasa seperti aku mulai kehilangan kendali atas diriku sendiri.”

Elara menatapnya dengan cemas. “Jangan bilang… ada sesuatu yang buruk akan terjadi padamu!”

Arka hanya tersenyum tipis, meskipun senyum itu terasa pahit. “Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, Elara. Aku tidak bisa melihat masa depanku. Tapi aku tahu satu hal… pengorbanan ini tidak hanya untuk kebebasan dunia, tetapi juga untuk kebebasanku sendiri.”

Elara mendekat, menggenggam tangan Arka dengan erat, seolah-olah mencoba memberi kekuatan kepadanya. “Aku akan bersamamu, Arka. Apa pun yang terjadi, kita akan menghadapinya bersama.”

Namun, Arka hanya mengangguk perlahan. “Aku… mungkin aku harus pergi. Agar dunia ini bisa benar-benar bebas dari kutukan Dewa Malam.”

Elara terkejut mendengar perkataan itu. “Apa yang kau katakan? Jangan bilang kau akan pergi! Kita bisa mencari jalan lain. Kita bisa—”

Arka menepuk pelan tangan Elara, menghentikan kata-katanya. “Tidak, Elara. Ini adalah takdirku. Aku telah terikat dengan kutukan ini lebih lama dari yang kau tahu. Aku tidak bisa terus tinggal di sini, karena jika aku melakukannya, kutukan itu akan kembali. Jika aku ingin memastikan dunia ini bebas, aku harus melepaskan diriku sepenuhnya.”

Elara menatap Arka dengan mata yang penuh air mata. “Tidak! Aku tidak bisa membiarkanmu pergi! Kita telah berjuang bersama-sama untuk kebebasan ini, dan sekarang kau ingin pergi begitu saja?”

Arka menatap Elara dengan tatapan lembut, penuh penyesalan. “Aku tahu ini berat, Elara. Tapi ini adalah keputusan yang harus aku ambil. Untuk dunia ini, untuk masa depan yang baru… Aku harus pergi, agar kekuatan gelap itu tidak kembali lagi.”

Elara terdiam, menahan tangisnya. Ia tahu bahwa ini adalah pilihan yang sulit bagi Arka, dan meskipun hatinya hancur, ia tahu bahwa Arka telah membuat keputusan yang tepat, meskipun itu berarti berpisah dengannya. Dengan air mata yang jatuh perlahan, Elara menggenggam tangan Arka sekali lagi.

“Jaga dirimu, Arka. Aku… aku akan selalu ingat perjuangan kita bersama.”

Arka tersenyum lemah. “Aku akan selalu ada di dalam hatimu, Elara.”

Dengan langkah yang berat, Arka berbalik dan mulai berjalan, meskipun setiap langkah terasa seperti membawa beban yang lebih berat dari sebelumnya. Ia tahu bahwa kebebasan dunia ini telah tercapai, tetapi harga yang harus dibayar adalah pengorbanannya sendiri. Namun, di balik semua itu, ia merasakan kedamaian yang jauh lebih besar—kedamaian yang datang dari melepaskan dirinya dari kutukan yang telah menghancurkan begitu banyak.

Dan di dunia yang baru ini, di bawah langit yang cerah, Arka tahu bahwa kebebasan yang sesungguhnya hanya bisa ditemukan melalui pengorbanan yang tulus.*

Bab 10: Dunia yang Baru Terlahir

Langit yang cerah membentang di atas kepala, menggantikan kelamnya bayang-bayang yang sebelumnya menutupi dunia ini. Bumi yang semula gelap dan suram, kini mulai kembali hidup dengan sinar matahari yang menyinari setiap sudutnya. Angin yang semula berat dengan aroma kebusukan, kini berhembus lembut, membawa kesegaran dan kehidupan baru. Dunia yang telah lama terperangkap dalam kutukan gelap kini terlahir kembali, bebas dari cengkeraman Dewa Malam.

Namun, meskipun dunia ini sudah mulai berubah, Arka tahu bahwa perjalanan mereka belum selesai. Ia berdiri di tepi jurang, menatap dunia yang telah diperjuangkan, namun hatinya masih terasa kosong. Langkah demi langkah ia menapaki tanah yang baru, seolah-olah mencoba meresapi kedamaian yang baru saja dicapai. Ia merasakan perubahan di sekitarnya—bukan hanya pada dunia, tetapi juga pada dirinya sendiri.

Keputusan yang telah ia ambil, untuk melepaskan dirinya demi dunia ini, ternyata membawa dampak yang jauh lebih besar daripada yang ia bayangkan. Meskipun dunia bebas dari kutukan, Arka tahu bahwa ia harus menghadapi konsekuensi dari pengorbanannya. Rasa kehilangan yang mendalam masih terasa di hatinya, namun ia berusaha untuk menenangkan diri, menerima kenyataan bahwa kebebasan dunia ini membutuhkan harga yang harus dibayar.

Elara, yang masih berada di sampingnya, memandang Arka dengan penuh perhatian. Ia tahu bahwa meskipun Arka telah mengalahkan Dewa Malam, masih ada luka yang belum sembuh di dalam dirinya. Namun, Elara juga tahu bahwa ini adalah pilihan Arka, dan ia tidak bisa berbuat banyak selain memberikan dukungan yang tulus.

“Arka,” suara Elara terdengar lembut, memecah keheningan di antara mereka. “Apa yang kau rasakan? Dunia ini sudah kembali ke jalannya, tetapi aku tahu ada sesuatu yang masih mengganjal di dalam hatimu.”

Arka menatap Elara dengan pandangan kosong, seolah mencari jawaban yang tepat. “Aku merasa… seakan ada sesuatu yang hilang,” katanya pelan. “Dunia ini memang bebas dari kutukan, tetapi aku tidak bisa mengabaikan perasaan bahwa ada bagian dari diriku yang telah terkubur bersama Dewa Malam. Aku tidak tahu apakah aku bisa benar-benar kembali setelah semua yang telah terjadi.”

Elara menggenggam tangan Arka dengan lembut, memberikan kehangatan yang ia butuhkan. “Kau sudah melawan kekuatan gelap itu dengan segenap jiwa. Kau telah mengorbankan dirimu demi dunia ini. Jangan biarkan perasaan itu menghantui langkahmu. Dunia baru ini membutuhkanmu, Arka. Dunia ini lahir kembali berkat keberanianmu.”

Arka menatap tangan Elara yang menggenggamnya, merasakan kekuatan yang datang dari dukungannya. Di tengah kesendiriannya, ia mulai menyadari bahwa mungkin kebebasan yang ia perjuangkan selama ini bukan hanya untuk dunia ini, tetapi juga untuk dirinya sendiri. Ia bisa merasakan sesuatu yang baru dalam dirinya, sesuatu yang sebelumnya tidak pernah ia sadari—sebuah harapan yang lahir dari pengorbanan.

“Terima kasih, Elara,” kata Arka dengan suara yang penuh rasa terima kasih. “Tanpamu, aku mungkin tidak akan pernah bisa melewati semua ini. Dunia ini memang baru terlahir, tetapi kita juga harus membangun masa depan dari dasar yang baru.”

Mereka berdua berdiri di sana, di atas tanah yang kini penuh dengan kehidupan baru. Pohon-pohon yang tadinya layu mulai bertunas kembali, bunga-bunga yang menghadap ke langit mulai mekar dengan warna-warna cerah, dan udara yang dulunya terkontaminasi dengan energi gelap kini terasa segar. Segala sesuatu yang pernah rusak kini mulai sembuh, dan dunia ini perlahan-lahan kembali menjadi tempat yang layak untuk dihuni.

Namun, meskipun dunia ini telah pulih, Arka tahu bahwa ada banyak hal yang harus mereka hadapi untuk benar-benar menciptakan dunia yang baru. Mereka tidak bisa hanya berdiam diri dan membiarkan waktu berlalu begitu saja. Dunia ini harus dibangun kembali, dengan penuh harapan dan kerja keras.

Mereka melangkah bersama, meninggalkan tempat itu dan berjalan menuju desa-desa yang tersebar di kaki gunung. Setiap desa yang mereka lewati tampak hidup dengan keceriaan orang-orang yang kini bebas dari ketakutan dan penderitaan. Namun, Arka tahu bahwa dunia ini tidak akan pernah sempurna. Ada banyak tantangan yang harus dihadapi, dan mereka harus membangun kembali fondasi kehidupan yang telah lama hancur.

Salah satu desa yang mereka lewati adalah desa tempat Arka dan Elara pertama kali bertemu. Desa itu kini dipenuhi dengan orang-orang yang mulai bekerja kembali, memperbaiki rumah-rumah yang rusak akibat pertempuran. Anak-anak berlarian dengan ceria, sementara orang dewasa bekerja keras untuk menghidupkan kembali kebun dan ladang mereka. Melihat pemandangan itu, Arka merasa sedikit damai, meskipun beban di pundaknya masih terasa.

“Kita sudah sampai, Arka,” kata Elara, menunjuk ke arah rumah tua yang tampak lebih baik dari sebelumnya. “Tempat ini akan menjadi rumah baru kita. Tempat di mana kita akan membangun masa depan bersama.”

Arka menatap rumah itu dengan tatapan yang penuh arti. Ia tahu bahwa meskipun banyak yang harus mereka lakukan, mereka tidak lagi sendirian. Dunia baru ini, yang telah terlahir dari pengorbanan dan perjuangan, kini penuh dengan peluang. Sebuah kesempatan untuk membangun kehidupan yang lebih baik, bukan hanya untuk mereka, tetapi juga untuk generasi yang akan datang.

“Ini bukan hanya akhir dari perjalanan kita, Elara,” kata Arka, dengan senyum yang tulus. “Ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar. Dunia ini telah kembali kepada kita, dan kini saatnya kita untuk memastikan bahwa kutukan itu tidak akan pernah kembali lagi.”

Mereka berjalan bersama menuju rumah itu, memulai babak baru dalam hidup mereka. Meskipun dunia ini tidak sempurna, mereka tahu bahwa dengan tekad dan kerja keras, mereka bisa membangunnya menjadi tempat yang lebih baik. Dunia baru ini, yang terlahir dari pengorbanan, adalah simbol dari harapan yang tidak pernah padam, dan Arka serta Elara siap untuk menjalaninya bersama.***

————THE END——–

 

 

 

 

 

 

Source: Jasmine Malika
Tags: #Kutukan#Magis#Protagonismisteritakdir
Previous Post

RAHASIA TAKDIR

Next Post

LUKISAN YANG HILANG

Next Post
LUKISAN YANG HILANG

LUKISAN YANG HILANG

PERANG TITAN

PERANG TITAN

KERAJAAN DIBALIK MISTERI KABUT

KERAJAAN DIBALIK MISTERI KABUT

MOVIE REVIEW

No Content Available

RECENT MOVIE

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025

Tentang Kami

NovelStory.id adalah platform media online yang menghadirkan beragam cerita menarik seperti dalam novel dan drama, dirancang untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan yang berkualitas dan penuh imajinasi. Kami percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh hati, menginspirasi, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh keajaiban.

Recent News

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025

Follow Us

  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 https://novelstory.id

No Result
View All Result
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah

© 2025 https://novelstory.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In