thestoryofday– Entah kenapa aku bisa hanyut ke alam lain. Mungkin karena terlalu lama melamun, sehingga sosok-sosok astral merasuki denyut darahku.
Dalam alam lain, aku diperlihatkan malam mencekam di Kampung Penari. Malam yang sebelumnya hidup, yaitu ada anak muda dan bapak-bapak yang ronda atau sekadar mengobrol di halaman rumah, kini Kampung Penari jadi sepi setelah kematian Laksmi.
Setiap malam warga selalu mendengar tangis lirih perempuan. Selain itu, beberapa dari anak muda dan bapak-bapak yang meronda kerap diperlihatkan sosok perempuan cantik yang meminta tolong diantar pulang ke arah sungai. Tapi saat tiba di sungai, perempuan itu menghilang lalu muncul kembali namun berwujud yang amat menyeramkan bagi mereka.
Salah satu warga yang pernah mengantar dan diperlihatkan kengerian itu, Kadir. Saat itu ia dan para peronda sedang mengobrol sambil ketawa-ketiwi. Namun keseruan itu tiba-tiba hening ketika angin malam mengayunkan ranting dan daun serta melayangkan kembang layu yang berserakan di sekitar mereka.
Tidak lama kemudian, sayup-sayup mereka mendengar suara gamelan. Lalu saat suara itu menghilang, disusul tangis lirih dari perempuan.
Di bawah sorot cahaya remang bulan, Kadir meminta kawan-kawannya untuk menghiraukan suara itu. Tapi tidak bisa, karena suaranya kian nyaring terdengar hingga meski merinding tapi mata mereka mencari-cari ke segala arah, bahkan ada di antara mereka yang menyorotkan lampu senter ke arah pohon-pohon rindang.
Karena tahu itu adalah suara dari makhluk tak kasat mata, para peronda sepakat untuk pulang saat matahari terbit, kecuali Kadir yang rumahnya tidak terlalu jauh karena hanya melalui satu tikungan maka sudah sampai.
Kadir izin pulang ketika itu juga. Andai saja dia tahu bahwa keputusannya itu akan membawa petaka, maka pasti dia akan berkumpul di pos ronda bersama kawan-kawannya.
“Udah di sini aja bareng kita, nanti kamu ketemu demit baru tau. Udah tau lagi kayak gini, malah kamu nekad jalan sendirian dir,” kata salah satu bapak di antara mereka.
Kadir tetap melangkah pulang melalui kembang-kembang yang mematung dan berembun serta kegelapan rumah-rumah yang berjarak beberapa meter di atas kering tanah merah.
Beriringan tekukur burung malam dan serangga bulan, langkah Kadir sudah melalui tikungan yang menandakan ia akan sampai hanya beberapa meter lagi.
Akan tetapi tidak sebagaimana biasa, kali ini Kadir menghirup udara yang agak wangi hingga dihentikanlah langkah itu. Dia sempat melihat sekitar, meski tidak berani menatap lama-lama ke arah pohon.
Kadir terkejut, kelelawar terbang di hadapannya setelah dari salah satu pohon yang cukup tinggi.
“Untung, untung,” kata Kadir yang kaget.
Karena rumah Kadir tidak jauh dari sungai, maka langkahnya malam itu beriringan suara aliran air yang deras. Bersiul dia berjalan untuk mengurangi rasa takut. Dibukanya pintu rumah.
Terlihat olehnya perempuan berambut panjang hitam yang membelakangi pintu rumahnya. Kedua tangan perempuan itu menutup wajah. Berdirinya tepat di bawah pohon nangka yang satu buahnya teramat besar.
Karena penasaran perempuan itu siapa dan sedang apa malam-malam begini, Kadir tidak segera menutup pintunya.
Dia justru sama sekali tidak mengalihkan pandangan. Saat perempuan itu melangkah ke arah sungai, Kadir mengendap-endap membuntuti sosok misterius itu.
Dari pohon ke pohon dan dinding rumah tetangga, Kadir mengikuti perempuan yang sesekali mengeluarkan suara tangis. Beberapa meter lagi sampai sungai, Kadir yang bernafsu kepada perempuan itu terkejut ketika kehilangan jejak incarannya.
Sambil memegang kepala belakang, Kadir melangkah keluar dari persembunyian. Suara air sungai kian nyaring di telinga. Namun derasnya aliran itu tidak mampu mengalahkan suara tangis perempuan yang makin menjadi. Di situ, Kadir merinding dan menyadari karena teringat cerita warga tentang sosok gaib pemilik tangisan.
Dia pernah mendengar cerita dari Ningsih yang diperlihatkan sosok kuntilanak yang wajahnya berlumuran darah dan matanya hitam serta pinggir bola matanya sangat merah. Amat menakutkan, sampai ibu dua bayi itu pingsan.
Kadir yang telah khawatir hendak berlari dan membalikan badan. Betapa dia terkejut tak sanggup berkata ketika di belakangnya terpampang jelas sosok yang menakutkan itu.
Kuntilanak yang wajahnya berlumuran darah melotot tepat di pandangannya. Kadir tak sanggup menggerakkan tubuh hingga ia terdiam mematung memerhatikan sosok itu yang perlahan menggerakan jari-jari berkuku panjang itu.
Sekedip pandang, Kuntilanak itu melayang sambil menangis dan menjauhi Kadir. Tapi sekejap kemudian, Kuntilanak itu sudah nangkring di ranting pohon dan kakinya berayun serta mengeluarkan tawa yang memekikan pendengaran Kadir.
Sampai Kadir meneteskan air mata dan kemudian pingsan, baru kuntilanak itu pergi sambil cekikikan ke penjuru Kampung. Sontak para peronda yang mendengar itu langsung bergidik ngeri melingkarkan tubuh di dalam sarung.
Keesokan pagi, para warga yang berakftifitas di sungai menemukan Kadir yang tak sadarkan diri. Kampung Penari geger.
Setelah mendengar cerita Kadir usai sadarkan diri, para orang tua melarang anak-anak mereka keluar rumah saat maghrib tiba. Jadwal anak-anak mengaji selepas maghrib digantikan menjadi sebelum dan ba’da ashar.***
Part II