• Latest
  • Trending
  • All
  • Movie Review
  • Box Office
  • Trailer
  • Action
  • Romantic
  • Comedy
  • Horror
  • Serial Movie
  • Genre
KUE TERBANG DAN PENCURI WAKTU

KUE TERBANG DAN PENCURI WAKTU

January 29, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025
JEJAK DI PINTU TERLARANG

JEJAK DI PINTU TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

May 17, 2025
TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

May 17, 2025
PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

May 12, 2025
HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

May 12, 2025
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

May 10, 2025
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

LUKISAN YANG MENANGIS

May 10, 2025
  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
No Result
View All Result
Novel Story
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah
Novel Story
KUE TERBANG DAN PENCURI WAKTU

Oplus_131072

KUE TERBANG DAN PENCURI WAKTU

Pak Jono terjebak dalam teka-teki waktu yang aneh, di mana setiap detik yang hilang mengungkap misteri yang lebih besar dan lebih berbahaya.

by FASA KEDJA
January 29, 2025
in Comedy
Reading Time: 22 mins read

Bab 1: Sebuah Kue yang Aneh

Rina baru saja selesai bekerja setelah hari yang panjang di kantor pemasaran tempatnya bekerja. Ia memandang jam tangannya yang menunjukkan pukul lima sore. Pikirannya langsung melayang ke rencana untuk menikmati waktu santai di rumah. Setelah seharian berhadapan dengan laporan, email, dan rapat yang tiada habisnya, Rina merasa sudah layak mendapatkan sedikit waktu untuk dirinya sendiri.

Saat keluar dari gedung kantor, langit mulai gelap, tetapi udara masih terasa hangat. Di luar, suasana kota Jakarta tampak seperti biasa; hiruk-pikuk kendaraan, suara klakson yang bersahutan, dan pedagang kaki lima yang menawarkan dagangan. Namun, hari itu berbeda. Sebuah kejadian yang tak terduga akan mengubah rutinitasnya yang biasa.

Rina berjalan santai menuju halte bus yang tidak jauh dari kantor. Ketika tiba di halte, ia melihat sebuah benda kecil terbang melayang di depannya. Benda itu berputar-putar seperti menari-nari di udara. Awalnya, Rina mengira itu hanya daun yang tertiup angin, namun ketika ia memperhatikan lebih dekat, ia terkejut. Itu adalah sebuah kue. Ya, sebuah kue berbentuk bundar dengan lapisan krim di atasnya, dan sepertinya kue itu… terbang?

Rina menepuk matanya dua kali, memastikan bahwa apa yang ia lihat bukan ilusi. Namun, benda itu masih ada, melayang beberapa inci di atas tanah, berputar dengan gerakan yang sangat halus. Kue tersebut tidak tampak seperti kue biasa. Warnanya cerah dan menggiurkan, dengan lapisan krim yang tampak sangat lembut. Baunya… harum sekali, seperti perpaduan cokelat dan vanilla yang menggugah selera.

“Saya tidak salah lihat, kan?” gumam Rina pada dirinya sendiri, sambil mengamati kue itu yang terus berputar di udara. Tidak ada angin yang cukup kuat untuk membuat kue itu terbang, dan tidak ada tali atau kabel yang menahannya. Kue itu benar-benar… terbang.

Rina merasa seperti berada dalam mimpi yang sangat aneh. Apa yang harus ia lakukan? Menyentuhnya? Menangkapnya? Atau hanya menunggu sampai kue itu berhenti terbang dengan sendirinya?

Tanpa pikir panjang, rasa penasaran lebih kuat dari apapun. Rina memutuskan untuk mencoba menangkap kue itu. Dengan langkah hati-hati, ia mencoba mendekat, tapi kue itu seolah tahu maksudnya. Begitu ia hampir meraihnya, kue tersebut terbang lebih tinggi, melayang menjauh.

“Aduh!” seru Rina, terkejut dan hampir terjatuh karena kue itu bergerak begitu cepat. Ia mencoba mengejarnya, berlari kecil di sepanjang trotoar, namun semakin lama semakin kesulitan untuk mengikuti kue itu yang terus melayang jauh dari jangkauannya.

Kue itu tampaknya menikmati permainan ini. Setiap kali Rina mencoba meraihnya, kue itu terbang menjauh dengan cara yang begitu halus, seolah-olah tahu persis bagaimana menghindar. Rina tidak menyerah. Ia terus berlari, matanya tertuju pada kue itu yang semakin tinggi, berputar-putar di udara seperti benda yang memiliki hidupnya sendiri.

Tiba-tiba, kue itu berhenti sejenak, melayang tepat di depan wajah Rina. Ia bisa merasakan hembusan udara yang lembut dari gerakannya. Dengan cepat, Rina meraih kue itu, tangannya menggenggam erat. “Aha! Gotcha!” serunya dengan gembira, meskipun masih terengah-engah karena berlari.

Namun, seketika itu juga, kue yang berada di tangannya mulai bergetar. Rina merasa seperti ada energi aneh yang mengalir dari dalam kue tersebut. Sebelum ia bisa menyadarinya, kue itu melesat lagi, kali ini dengan kekuatan yang luar biasa. Rina terkejut, hampir terjatuh kembali, dan dalam hitungan detik, kue itu kembali terbang lebih tinggi, membawanya bersama ke langit.

Rina terpana. Ia tidak tahu apa yang baru saja terjadi. Kue itu melayang begitu cepat, meninggalkan Rina kebingungan di trotoar. “Apa yang baru saja… terjadi?” tanyanya pada dirinya sendiri, sambil melihat ke sekelilingnya. Orang-orang di sekitar tampak tidak melihat hal yang sama, seolah-olah kue terbang tersebut hanya ada di dunia Rina saja.

Dengan tangan yang masih terulur ke arah kue yang terus mengudara, Rina merasa seolah ia telah terseret ke dalam dunia yang tak bisa dijelaskan. Kenapa kue itu bisa terbang? Apa yang sedang terjadi? Apakah ada yang lebih besar dan lebih aneh yang akan muncul?

Rina kembali ke rumah dengan perasaan bingung, tetapi sekaligus penasaran. Ia mencoba mencari penjelasan rasional untuk kejadian itu, tetapi tak ada satu pun yang masuk akal. Dalam benaknya, satu hal yang pasti—ini bukan kebetulan. Sesuatu yang lebih besar dan aneh sedang terjadi, dan Rina tak bisa menghindarinya.

Ia meletakkan kue itu di meja ruang tamu dan duduk di sofa, memandangnya dengan tatapan penuh keingintahuan. “Apa yang sebenarnya terjadi?” pikirnya, mencoba mencerna peristiwa aneh yang baru saja ia alami.

Keheningan malam itu terasa berbeda. Rina tahu, hidupnya tidak akan pernah sama lagi setelah hari itu. Sebuah kue yang terbang, sebuah fenomena yang tak dapat dijelaskan, dan sebuah petualangan yang sedang menunggunya untuk dimulai.

Dan dengan itu, petualangan yang penuh tawa, kejutan, dan kekacauan yang belum pernah ia bayangkan pun dimulai.*

Bab 2: Kue Terbang dan Masalah Serius

Keesokan harinya, Rina masih terbangun dengan perasaan aneh. Sering kali, ia mengingat kejadian semalam, ketika kue terbang itu melayang di hadapannya, menghindari tangannya, dan akhirnya membuatnya jatuh ke dalam kekacauan yang aneh. Ketika bangun, ia merasa seperti masih berada dalam mimpi, tetapi ketika melihat kue yang tergeletak di meja ruang tamunya, semua itu terasa nyata. Bahkan, ia bisa mendengar suara detak jantungnya sendiri yang semakin cepat.

Rina memutuskan untuk mengabaikan kejadian itu dan melanjutkan hidupnya seperti biasa, tapi bagaimana bisa ia mengabaikan sesuatu yang begitu aneh? Sesuatu yang tidak masuk akal? Ia menatap kue itu, yang kini tergeletak diam di atas meja dengan tenang, seolah tidak ada apa-apa yang terjadi.

“Apakah aku benar-benar melihat itu kemarin? Apa mungkin aku hanya kelelahan?” Rina bergumam pada dirinya sendiri, mencoba mencari penjelasan logis. Namun, setiap kali ia memikirkan kejadian itu, hatinya kembali berdebar-debar.

Ia menggelengkan kepala, mencoba mengusir keraguan itu. Tetapi, seperti halnya mimpi buruk yang tidak bisa hilang begitu saja, pikirannya tetap terikat pada kue terbang tersebut. “Aku harus mencari tahu lebih banyak tentang ini,” tekadnya.

Pagi itu, ia berangkat ke kantor dengan pikiran yang penuh kecemasan. Meskipun ia berusaha untuk fokus pada pekerjaannya, pikirannya terus melayang ke kejadian kemarin malam. Rina bahkan tidak bisa fokus saat rapat penting yang sedang berlangsung. Matanya sesekali melirik ke jendela, berharap bahwa kejadian aneh itu akan hilang dengan sendirinya, tetapi tidak. Kenyataan bahwa kue tersebut ada di rumahnya, menunggu untuk dijelajahi, hanya membuatnya semakin bingung.

Setelah rapat berakhir, Rina merasa perlu untuk segera pulang dan mencari jawaban. Ia berharap, setidaknya, jawaban itu bisa memberi sedikit ketenangan. Tanpa menunggu terlalu lama, ia keluar dari kantor, bergegas pulang ke rumah.

Sesampainya di rumah, Rina langsung menuju meja ruang tamu. Kue itu masih ada di sana, tidak bergerak, tetapi ada sesuatu yang aneh tentangnya. Rina menatapnya dengan hati-hati. Kue itu tidak tampak seperti kue biasa. Ada kilatan misterius di atas lapisan krimnya, dan seperti ada getaran halus yang bisa ia rasakan meski hanya dengan jarak beberapa sentimeter. Rina mencoba mendekat untuk menyentuhnya lagi, dan kali ini, ia merasa bahwa ada sesuatu yang tidak beres.

Ketika tangan Rina hampir mencapai kue, tiba-tiba kue itu bergetar. Dengan cepat, kue tersebut melesat ke udara, lebih cepat daripada sebelumnya. Rina mundur terkejut, hampir terjatuh dari sofa. Kue itu terbang tinggi ke langit-langit rumah, berputar-putar seolah memiliki kehendak sendiri. Rina mencoba mengejarnya lagi, tetapi kali ini, kue itu tidak menghindar seperti sebelumnya. Alih-alih melayang menjauh, kue itu meluncur tepat ke arah wajahnya. Rina kaget dan buru-buru menangkisnya, tetapi kue itu hanya berhenti beberapa inci dari wajahnya.

Rina berdiri kaku, terengah-engah, perasaannya campur aduk antara terkejut dan bingung. Apa yang sedang terjadi? Kenapa kue ini tidak berhenti mengganggunya? Kenapa kue itu bisa bergerak begitu bebas?

Tiba-tiba, pintu depan rumah terbuka. “Rina! Apa yang terjadi?” suara keras ibu Rina, yang baru saja pulang dari belanja.

Rina menoleh dan melihat ibunya berdiri di ambang pintu, tampak terkejut dengan kue yang melayang di udara. “Ibu… aku… aku tidak tahu apa yang terjadi. Kue ini… ini bisa terbang!” Rina mencoba menjelaskan, tetapi suaranya terdengar cemas, bahkan dia merasa seperti orang gila yang sedang berbicara.

Ibu Rina mendekat dan mencoba untuk memegang kue yang terbang itu, tetapi sepertinya kue tersebut punya ide lain. Ketika tangan ibunya hampir menyentuh kue, kue itu meluncur kembali ke udara dan berhenti tepat di atas kepala ibu Rina, yang tampaknya lebih bingung daripada terkejut. “Rina, ini… apakah ini kue yang sama yang kamu lihat kemarin?”

Rina mengangguk, tidak bisa berkata apa-apa. “Ibu… apa ini benar-benar terjadi? Apa kita sedang bermimpi?”

Ibu Rina menggelengkan kepala. “Aku tidak tahu, tapi kita harus mencari tahu. Ini terlalu aneh untuk dibiarkan begitu saja.” Rina merasa sedikit lega mendengar jawaban ibunya. Setidaknya, ia tidak sendirian dalam kebingungannya.

Kue itu akhirnya melayang turun, dan dengan hati-hati, ibu Rina menangkapnya, kali ini tanpa ada perlawanan. Mereka berdua duduk di meja makan, menatap kue itu dengan cemas.

“Apa kita harus memberitahu orang lain tentang ini?” tanya ibu Rina, suara penuh kekhawatiran. “Atau ini hanya hal yang terjadi sekali saja?”

Rina menggelengkan kepalanya, matanya tetap terkunci pada kue yang diam. “Aku rasa ini lebih dari sekadar kebetulan, Ibu. Ada sesuatu yang tidak beres di sini.”

Tiba-tiba, suara ketukan terdengar di pintu depan. Rina dan ibunya saling pandang, kaget. Siapa yang datang? Rina membuka pintu dan melihat seseorang yang tidak dikenal, seorang pria muda dengan raut wajah yang serius, seolah tahu sesuatu yang penting.

“Apakah kalian memiliki kue itu?” tanyanya langsung, tatapan tajam mengarah ke meja tempat kue itu berada.

Rina hanya bisa mengangguk. “Kamu… tahu tentang ini?”

Pria itu mengangguk, tatapannya semakin serius. “Ada banyak hal yang perlu kalian ketahui tentang kue itu. Dan kita harus bertindak cepat.”

Rina dan ibunya saling berpandangan. Hari-hari mereka yang tenang kini mulai berubah menjadi sesuatu yang lebih besar—lebih rumit, dan lebih berbahaya.*

Bab 3: Pencuri Waktu dan Kejadian Aneh

Pagi itu, suasana di rumah Rina masih terasa canggung setelah kejadian dengan kue terbang. Ia dan ibunya kini punya lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Pria asing yang datang semalam, memperkenalkan diri sebagai Aryo, mengaku tahu asal-usul kue misterius itu, tetapi hanya memberi penjelasan singkat. Katanya, kue itu adalah “hasil dari sebuah kesalahan besar.” Namun, ia tak sempat menjelaskan lebih jauh, hanya berjanji akan kembali keesokan harinya.

Rina duduk di ruang tamu dengan secangkir kopi yang sudah dingin. Pikirannya penuh dengan berbagai kemungkinan. Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah ini hanya permainan aneh atau ada sesuatu yang lebih besar di balik semua ini? Ketika Rina hendak mengangkat telepon untuk bercerita kepada sahabatnya, Tia, tiba-tiba sebuah suara aneh terdengar dari dapur.

“Tok! Tok! Tok!”

Rina bangkit perlahan, mendekati dapur dengan hati-hati. Begitu ia sampai di sana, ia terkejut melihat jam dinding di dapur bergerak dengan cepat, jarum jamnya berputar seperti sedang dikejar waktu. Bahkan, semua jam di rumah itu—dari jam tangan hingga jam di microwave—bergerak dengan kecepatan yang tak wajar.

“Ibu! Lihat ini!” teriak Rina, mencoba memanggil ibunya yang sedang berada di kamar.

Namun, sebelum ibunya sempat keluar, semua jam tiba-tiba berhenti. Bukan hanya berhenti, tetapi mati total. Tak ada satu pun yang menunjukkan waktu lagi. Rina menyentuh jam dinding itu, tapi terasa dingin, seperti sudah kehilangan daya hidup.

Ketika Rina masih menatap jam dengan bingung, ia melihat sesuatu yang bergerak di sudut matanya. Sebuah bayangan melintas cepat di dapur. Rina terkejut, memutar tubuhnya ke arah sumber bayangan itu, tetapi tidak ada siapa pun. Hanya ada suara seperti bisikan kecil, terdengar samar, namun cukup jelas untuk membuat bulu kuduknya meremang.

“Ibu, kamu dengar itu?” tanya Rina dengan suara bergetar, berjalan keluar dapur.

Namun, ibunya hanya menggeleng dengan wajah bingung. “Dengar apa? Kamu baik-baik saja, Rina?”

Rina menghela napas panjang. “Aku yakin aku melihat sesuatu. Dan jam-jam di rumah ini… semuanya mati. Ini terlalu aneh, Bu.”

Belum sempat mereka melanjutkan pembicaraan, pintu depan diketuk keras. Aryo kembali datang, kali ini dengan membawa sebuah koper kecil berwarna hitam. Rina langsung membukakan pintu. Wajah Aryo terlihat tegang, bahkan lebih serius dari sebelumnya.

“Kalian harus mendengarkan ini,” katanya tanpa basa-basi. Ia langsung masuk dan membuka kopernya. Di dalamnya ada sebuah perangkat kecil, mirip dengan tablet tua yang penuh kabel dan tombol.

Aryo memandang Rina dan ibunya bergantian. “Jam-jam kalian mati, kan?”

Rina mengangguk, kaget karena Aryo bisa menebaknya. “Bagaimana kamu tahu?”

Aryo menyalakan perangkatnya dan menekan beberapa tombol. Di layar kecil itu, muncul grafik-grafik aneh dan beberapa angka yang berputar cepat. “Karena kue itu bukan benda biasa. Dan sekarang, kalian sedang menjadi sasaran pencuri waktu.”

“Pencuri waktu?” Rina menatap Aryo dengan alis berkerut.

Aryo mengangguk. “Kue itu adalah bagian dari eksperimen ilmiah yang gagal. Ada sebuah kelompok, sebut saja mereka ‘pencuri waktu,’ yang mencoba menciptakan alat untuk mempercepat atau memperlambat waktu. Namun, proyek mereka kacau, dan kue itu menjadi semacam katalis untuk kekacauan itu.”

Rina memutar otaknya, mencoba mencerna apa yang baru saja didengarnya. “Tunggu… jadi kue itu sebenarnya mesin waktu?”

“Bukan mesin waktu,” kata Aryo sambil menggeleng. “Lebih seperti… alat yang menghubungkan dimensi waktu. Tapi sekarang, kue itu tidak stabil. Setiap kali seseorang berinteraksi dengannya, waktu di sekitar mereka mulai rusak.”

Rina dan ibunya saling pandang. Seketika, semua kejadian aneh mulai masuk akal. Jam-jam yang mati, bayangan misterius, bahkan kue yang bisa melayang. Semua itu mungkin memang terkait dengan waktu.

“Tapi siapa pencuri waktu ini? Apa mereka akan datang ke sini?” tanya Rina, nadanya mulai terdengar cemas.

Aryo menarik napas panjang. “Itulah masalahnya. Mereka tahu kue itu ada di sini. Mereka akan mencoba mengambilnya kembali. Tapi, mereka tidak akan melakukannya dengan cara yang sopan.”

Ketika Aryo selesai berbicara, tiba-tiba lampu rumah mulai berkedip. Suara-suara aneh kembali terdengar, kali ini lebih jelas. Rina merasakan hawa dingin menyelimuti rumah, seperti ada sesuatu yang mendekat.

“Cepat, kita harus sembunyikan kue itu,” kata Aryo sambil mengemasi perangkatnya.

Namun, sebelum mereka sempat bergerak, pintu depan terbuka dengan keras. Sosok-sosok misterius berpakaian hitam masuk dengan gerakan cepat. Wajah mereka tersembunyi di balik masker aneh, dan mereka membawa alat-alat yang tampak futuristik.

“Serahkan kuenya,” kata salah satu dari mereka, suaranya terdengar dingin dan tanpa emosi.

Rina melangkah mundur, melindungi ibunya di belakangnya. Aryo berdiri di depan mereka, mencoba melindungi kue yang masih ada di meja ruang tamu.

“Jangan harap kalian bisa mengambilnya dengan mudah,” kata Aryo dengan nada tegas. Ia menekan tombol di perangkatnya, dan tiba-tiba sebuah lapisan energi biru muncul di sekitar mereka, seperti perisai.

Namun, para pencuri waktu itu tampaknya sudah siap. Mereka mulai menembakkan alat-alat mereka, mencoba menembus perisai energi tersebut. Rina hanya bisa menatap dengan ketakutan, menyadari bahwa apa yang sedang terjadi jauh lebih besar daripada yang pernah ia bayangkan.

Hari-hari biasa Rina kini berubah menjadi petualangan penuh bahaya, dan semuanya berpusat pada satu hal: kue terbang yang membawa masalah lebih besar dari yang pernah ia bayangkan.*

Bab 4: Kue Terbang dan Pencuri Waktu Berkolaborasi

Setelah pertarungan mendebarkan di ruang tamu Rina, malam itu terasa jauh lebih panjang dari biasanya. Aryo, Rina, dan ibunya berhasil bertahan dari serangan para pencuri waktu, berkat lapisan energi pelindung yang dibuat Aryo. Namun, keheningan yang mengikuti justru terasa lebih mencekam daripada suara tembakan dan keributan sebelumnya.

Rina duduk di sofa dengan wajah penuh kebingungan, kue terbang yang menjadi pusat masalah kini diam tak bergerak di atas meja. Ibunya, yang biasanya menjadi pilar ketenangan, terlihat sama terkejutnya. Aryo masih sibuk dengan perangkatnya, memonitor sesuatu yang terlihat seperti radar.

“Apakah mereka akan kembali?” Rina akhirnya bertanya, memecah keheningan yang berat.

Aryo mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya dari layar kecil di perangkatnya. “Tentu saja. Mereka tidak akan menyerah sampai kue itu ada di tangan mereka. Dan yang lebih buruk, waktu kita semakin sempit.”

“Waktu kita? Maksudmu apa?” Rina menatap Aryo dengan bingung.

Aryo meletakkan perangkatnya di atas meja dan menatap mereka berdua dengan serius. “Kalian tidak menyadari bahwa waktu di sekitar kita sudah mulai rusak. Kalian tahu kenapa jam di rumah ini mati? Karena kue itu menyerap energi waktu di sekitarnya. Jika ini dibiarkan, bukan hanya jam yang mati. Waktu di kota ini bisa berhenti total.”

Mendengar penjelasan itu, ibunya Rina memegangi dadanya, terlihat semakin cemas. “Tapi… apa yang bisa kita lakukan? Apakah tidak ada cara untuk menghentikan ini?”

Aryo mengangguk pelan. “Ada. Tapi… ini akan melibatkan sesuatu yang mungkin tidak kalian harapkan.”

Rina mengerutkan alis. “Apa maksudmu?”

Aryo menatap mereka dengan wajah tegang. “Kita harus bekerja sama dengan pencuri waktu itu.”

“Kamu bercanda, kan?” Rina langsung berdiri, suaranya meninggi. “Mereka baru saja mencoba menyerang kita! Bagaimana mungkin kita bisa mempercayai mereka?”

Aryo menghela napas panjang. “Aku mengerti ini sulit dipercaya, tapi dengarkan aku. Pencuri waktu itu tidak bekerja atas kehendak mereka sendiri. Mereka hanya alat. Mereka bekerja untuk seseorang yang lebih berkuasa, yang disebut sebagai ‘Arsitek Waktu.’ Jika kita bisa berbicara dengan mereka dan meyakinkan mereka bahwa kita punya cara untuk memperbaiki kekacauan ini, mereka mungkin akan membantu kita.”

Rina masih terlihat ragu. “Dan bagaimana caranya kita bisa memastikan mereka tidak akan mengkhianati kita?”

Aryo tersenyum tipis. “Karena aku tahu satu kelemahan mereka.”

Malam itu, Aryo membawa Rina dan ibunya ke sebuah gudang tua di pinggiran kota. Gudang itu terlihat seperti bangunan yang sudah lama ditinggalkan, tetapi ketika Aryo membuka pintunya, terlihat sebuah ruangan dengan peralatan canggih yang bersinar dalam berbagai warna.

“Tempat ini… apa ini?” tanya Rina, matanya membelalak melihat teknologi yang terlihat seperti berasal dari masa depan.

“Ini adalah markas kecilku,” kata Aryo sambil menyalakan sebuah layar besar di dinding. “Aku sudah mempersiapkan tempat ini untuk menghadapi situasi seperti ini.”

Aryo mulai mengetik sesuatu di keyboard, dan layar besar itu menunjukkan peta kota dengan titik-titik merah yang berkedip. “Itu mereka,” katanya, menunjuk titik-titik merah itu. “Pencuri waktu sedang bergerak. Mereka pasti sedang mencari cara untuk menyerang lagi.”

“Tunggu,” potong Rina. “Bagaimana kalau kita menggunakan kue itu sebagai umpan? Kita bisa membuat mereka datang ke sini dan menjebak mereka.”

Aryo tersenyum tipis. “Itu ide yang bagus, tapi kita tidak bisa terlalu agresif. Ingat, tujuan kita adalah membuat mereka bekerja sama, bukan menghancurkan mereka. Jika kita terlalu kasar, mereka tidak akan mendengarkan kita.”

Setelah berdiskusi panjang, mereka akhirnya memutuskan untuk memancing para pencuri waktu ke gudang itu dengan menggunakan kue sebagai umpan, tetapi dengan niat untuk berdiplomasi.

Ketika malam semakin larut, suara deru mesin terdengar di luar gudang. Rina, Aryo, dan ibunya bersembunyi di balik tumpukan kotak, menunggu kedatangan para pencuri waktu. Pintu gudang terbuka perlahan, dan empat sosok berpakaian hitam masuk dengan langkah hati-hati.

“Serahkan kuenya,” kata salah satu dari mereka dengan suara dingin, seperti sebelumnya.

Aryo muncul dari persembunyian, mengangkat tangannya sebagai tanda damai. “Kalian tidak perlu menyerang lagi. Aku ingin berbicara.”

Para pencuri waktu itu saling pandang, terlihat ragu. Namun, mereka tetap menjaga sikap waspada.

“Apa yang ingin kamu bicarakan?” tanya salah satu dari mereka.

Aryo mengambil napas panjang sebelum menjawab. “Kalian tahu kue ini tidak stabil, kan? Jika terus digunakan, ini bisa menghancurkan waktu, bukan hanya di kota ini, tapi di seluruh dunia. Aku yakin kalian tidak menginginkan itu.”

Mereka tetap diam, tetapi jelas terlihat bahwa kata-kata Aryo mulai menarik perhatian mereka.

“Kami bisa memperbaiki ini,” lanjut Aryo. “Tapi aku butuh bantuan kalian. Aku tahu kalian hanya menjalankan perintah, tetapi kalian juga bisa memilih untuk menyelamatkan waktu daripada menghancurkannya.”

Salah satu dari mereka maju, melepas maskernya, memperlihatkan wajah seorang pria muda dengan tatapan tajam. “Kamu berbicara seolah-olah kamu tahu segalanya. Tapi bagaimana kami bisa percaya padamu?”

Aryo tersenyum tipis. “Karena aku pernah bekerja untuk Arsitek Waktu. Aku tahu bagaimana mereka berpikir, dan aku tahu kelemahan sistem mereka.”

Mendengar itu, para pencuri waktu terdiam. Mereka saling pandang, seolah sedang berdiskusi tanpa kata.

Setelah beberapa saat, pria muda itu mengangguk. “Baiklah. Kami akan mendengarkan rencanamu. Tapi jika ini jebakan, kamu tahu apa yang akan terjadi.”

Aryo mengangguk. “Percayalah, kita semua menginginkan hal yang sama: waktu yang stabil.”

Dan dengan itu, kolaborasi aneh antara Rina, Aryo, dan para pencuri waktu pun dimulai, membuka jalan menuju petualangan yang lebih besar dan jawaban atas misteri kue terbang itu.*

Bab 5: Kejar-kejaran Waktu dan Kue Terbang

Hari itu, suasana di gudang kecil milik Aryo berubah menjadi pusat operasi yang sibuk. Komputer berbunyi, grafik data waktu diproyeksikan ke dinding, dan para pencuri waktu—yang sekarang lebih mirip sekutu dadakan—bergerak dengan kecepatan seperti pasukan elit. Namun, suasana serius itu sering kali terganggu oleh satu hal: kue terbang.

“Kue ini… aku benar-benar tidak tahu harus menyebutnya apa lagi,” keluh Rina sambil melihat kue yang melayang-layang di atas meja. Sesekali, kue itu melompat seolah sedang menari, seperti mengejek semua orang di ruangan itu.

“Sebut saja ‘Sumber Kekacauan,'” kata Aryo sambil memeriksa perangkat elektroniknya. “Benda itu punya energi waktu yang tidak stabil. Kalau kita tidak bisa mengendalikannya, bukan hanya waktu di kota ini yang rusak. Dunia bisa berhenti total.”

Rina memutar matanya. “Itu kalau kita semua tidak duluan gila karena keanehan kue ini.”

Sementara itu, para pencuri waktu sedang menyiapkan alat pelacak yang mereka bawa. Salah satu dari mereka, pria muda yang sebelumnya mewakili kelompok mereka, melirik ke arah Aryo. “Bagaimana kita tahu ini akan berhasil? Kita mengejar waktu—secara harfiah. Dan benda ini lebih pintar dari yang kita kira.”

Aryo menoleh sambil tersenyum samar. “Karena kita tidak punya pilihan lain.”

Namun, sebelum operasi dimulai, sesuatu yang tak terduga terjadi. Kue itu tiba-tiba berputar lebih cepat dari biasanya, menciptakan pusaran angin kecil yang menerbangkan beberapa kertas dan peralatan di meja.

“Heh, apa lagi ini?!” seru Rina sambil berusaha melindungi wajahnya dari debu yang beterbangan.

Aryo segera meraih alat pengukur energinya. “Ini buruk. Energi waktu di dalam kue itu melonjak. Kalau tidak segera dihentikan, kita bisa terjebak dalam distorsi waktu!”

Dan tepat saat Aryo selesai bicara, kue itu melesat keluar dari gudang melalui jendela yang terbuka. Semua orang terdiam selama satu detik sebelum akhirnya bereaksi.

“KEJAR!” teriak Aryo.

Kejar-kejaran dimulai.

Kue terbang itu melesat seperti peluru di jalanan kota. Aryo, Rina, dan para pencuri waktu langsung mengejarnya menggunakan kendaraan yang sudah mereka siapkan. Aryo mengendarai mobil tuanya, sementara para pencuri waktu menggunakan motor canggih yang terlihat seperti diambil dari masa depan.

“Kue itu punya kaki atau apa sih?!” keluh Rina sambil memegang erat dashboard mobil.

“Ini bukan saatnya bercanda, Rina!” Aryo memutar setir tajam, mengikuti jejak kue yang kini melayang di atas jalan utama. “Kalau kita kehilangan itu, semuanya berakhir!”

Di belakang mereka, para pencuri waktu berusaha memotong jalan dengan motor mereka. Salah satu dari mereka berhasil mendekat, mencoba menangkap kue itu dengan alat penjepit elektronik. Namun, kue itu seolah memiliki kesadaran, berbelok tajam ke arah gang kecil yang sempit.

“Astaga, benda ini seperti punya otak!” seru salah satu pencuri waktu di radio mereka.

“Jangan menyerah! Kita hampir menangkapnya!” sahut pria muda yang memimpin kelompok itu.

Kejar-kejaran semakin menegangkan ketika kue itu melesat masuk ke dalam pasar malam yang ramai. Orang-orang berteriak kaget melihat benda kecil bercahaya melayang di antara mereka, sementara para pengejarnya terlihat seperti kru film aksi yang salah lokasi.

“Kita akan membuat kekacauan besar di sini!” Aryo berteriak sambil berusaha menyetir di antara kerumunan.

“Kekacauan besar?! Lihat saja mereka!” Rina menunjuk ke arah pedagang kaki lima yang menjatuhkan dagangan mereka karena panik. “Aku yakin kita sudah masuk berita sekarang!”

Namun, Aryo tidak peduli. Fokusnya hanya pada satu hal: menangkap kue itu sebelum terlambat.

Di tengah kekacauan, pria muda dari kelompok pencuri waktu akhirnya menemukan celah. Dengan manuver cepat, dia melompat dari motornya, mencoba menangkap kue dengan jaring khusus yang dirancang untuk menangkap objek dengan energi waktu tinggi.

“Gotcha!” teriaknya penuh kemenangan.

Namun, kemenangan itu hanya berlangsung sesaat. Kue itu, dengan kecerdasannya yang aneh, memancarkan kilatan cahaya terang yang membuat semua orang di sekitarnya menutup mata. Dalam sekejap, kue itu berhasil melarikan diri lagi, meninggalkan mereka semua dalam keadaan linglung.

Setelah beberapa menit mengejar tanpa hasil, mereka semua akhirnya berhenti di sebuah taman kota yang sepi.

“Ini gila,” kata salah satu pencuri waktu sambil duduk di atas rumput, kelelahan. “Kita mengejar kue sepanjang malam, dan sekarang benda itu menghilang lagi.”

Aryo menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. “Kita tidak bisa menyerah. Aku tahu ini sulit, tapi kue itu tidak mungkin pergi jauh. Energinya pasti akan meninggalkan jejak.”

“Jejak seperti apa?” tanya Rina, yang juga terlihat lelah tetapi tetap penasaran.

Aryo menunjukkan alat pelacak di tangannya. “Ini. Alat ini bisa mendeteksi lonjakan energi waktu. Kita hanya perlu menyusuri jejak ini sebelum energi itu hilang.”

Pria muda dari pencuri waktu berdiri, menepuk debu dari pakaiannya. “Baiklah. Kalau begitu, ayo kita lanjutkan. Kita tidak akan membiarkan benda kecil itu menghancurkan dunia.”

Semua orang mengangguk, meskipun kelelahan terlihat jelas di wajah mereka. Kejar-kejaran ini mungkin baru saja dimulai, tetapi satu hal yang pasti: mereka tidak akan berhenti sampai kue terbang itu ditangkap.*

Bab 6: Pencuri Waktu yang Pusing

Malam itu, di markas rahasia pencuri waktu, suasana begitu sunyi. Para pencuri waktu—yang biasanya penuh percaya diri dengan rencana-rencana cemerlang mereka—terlihat duduk melingkar dengan ekspresi frustasi di wajah. Di tengah ruangan, sebuah papan tulis besar penuh dengan coretan strategi, diagram aneh, dan gambar kue yang diberi tanda seru.

“Bagaimana mungkin kita, pencuri waktu profesional, kalah dari… sebuah kue terbang?” keluh Toni, salah satu anggota tim yang dikenal dengan ide-ide gilanya.

“Jangan sebut benda itu ‘kue’ lagi. Rasanya aku hampir gila mendengarnya,” sahut Andra, pemimpin kelompok yang biasanya tenang, tetapi kali ini terlihat sangat tertekan.

Di sudut ruangan, Maya, satu-satunya anggota perempuan tim, sedang memijat pelipisnya sambil memandangi layar komputer. “Setiap kali kita hampir menangkapnya, benda itu selalu menemukan cara untuk melarikan diri. Aku mulai curiga, apa benda itu benar-benar sekadar kue atau ada sesuatu yang lebih besar di balik semua ini?”

Andra menghela napas panjang. “Kita sudah mencoba semua alat yang kita punya. Jaring waktu, perangkap energi, bahkan alat penyerap dimensi. Tapi tetap saja, benda itu lolos. Apa kita benar-benar menghadapi sesuatu di luar kemampuan kita?”

Di sisi lain ruangan, Aryo, yang ikut bergabung dengan mereka setelah kejar-kejaran sebelumnya, hanya mengamati dalam diam. Dia tahu bahwa kelompok pencuri waktu ini jauh dari kata sempurna, tetapi dia juga menyadari mereka satu-satunya harapan untuk menangani kekacauan yang disebabkan oleh kue tersebut.

“Aku tahu kalian merasa ini di luar kendali,” Aryo akhirnya angkat bicara. “Tapi, dari pengalamanku, benda itu tidak hanya cerdas. Ada pola dalam cara dia bergerak. Pola itu yang harus kita pahami.”

Toni melirik ke arah Aryo dengan skeptis. “Pola? Kau serius? Kau bicara seolah-olah benda itu makhluk hidup.”

Aryo mengangguk. “Itu mungkin terdengar gila, tapi kue itu tidak pernah bergerak tanpa alasan. Selalu ada sesuatu yang memicunya.”

“Seperti apa?” tanya Maya, menatap Aryo penuh harap.

Aryo tersenyum kecil. “Ingat ketika dia tiba-tiba melesat ke pasar malam? Itu karena ada lonjakan energi dari keramaian di sana. Kue itu sepertinya tertarik pada tempat dengan banyak aktivitas manusia.”

Andra mengangguk pelan, mulai memahami. “Jadi, kau pikir kue itu mencari energi tertentu untuk tetap aktif?”

“Bukan hanya energi,” Aryo melanjutkan. “Aku rasa benda itu seperti menyerap emosi manusia. Ketika kita mengejarnya, rasa panik dan frustrasi kita malah memperkuatnya.”

Pernyataan itu membuat ruangan kembali hening. Semua orang terdiam, memproses kemungkinan tersebut. Hingga akhirnya Toni tertawa kecil, meski terdengar getir.

“Jadi… intinya, kita yang membuat kue itu semakin kuat? Luar biasa. Ini resmi jadi misi paling absurd dalam hidupku,” katanya sambil memukul meja.

“Kalau begitu, apa solusinya?” tanya Maya, kini tampak lebih serius.

Aryo memandang mereka satu per satu. “Kita harus berubah. Bukan hanya strategi kita, tetapi juga cara kita mendekati masalah ini. Kita tidak bisa terus mengejarnya dengan emosi. Kita butuh rencana yang benar-benar dingin dan terukur.”

Andra bangkit dari duduknya, menatap Aryo dengan penuh tekad. “Baiklah. Kalau itu yang harus kita lakukan, kita akan coba. Tapi sebelum itu, kita butuh waktu untuk menenangkan diri dan merancang strategi baru.”

Namun, rencana untuk “menenangkan diri” ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Beberapa jam kemudian, saat mereka mencoba menganalisis ulang data di markas, sesuatu yang aneh kembali terjadi.

Kue terbang itu—yang mereka pikir telah menghilang untuk sementara—tiba-tiba muncul di tengah ruangan tanpa peringatan. Ia melayang pelan, seolah-olah mengejek mereka.

“APA?!” Maya melompat dari kursinya. “Bagaimana benda itu bisa masuk ke sini?!”

Toni, yang sedang makan mi instan, langsung menjatuhkan mangkuknya. “Benda itu benar-benar tidak tahu kapan harus berhenti!”

Kue itu berputar-putar di udara, mengeluarkan suara aneh seperti dengungan kecil. Semua orang di ruangan itu hanya bisa menatap dengan ekspresi bingung sekaligus marah.

“Kalian diam saja? Tangkap dia!” seru Andra sambil melompat mencoba meraih kue itu.

Tapi seperti biasa, kue itu lebih cepat dari yang mereka duga. Ia melesat ke sudut ruangan, menghindari semua upaya mereka untuk menangkapnya.

Aryo, yang sejak tadi hanya mengamati, akhirnya berdiri. “Tunggu! Jangan panik!”

“Tunggu apanya?!” teriak Toni yang sudah hampir menyerah.

Aryo menarik napas dalam-dalam, lalu menatap kue itu dengan tenang. “Aku ingin mencoba sesuatu.”

Dia melangkah pelan mendekati kue itu, mengabaikan tatapan bingung dari rekan-rekannya. Dengan suara lembut, dia berbicara. “Hei… aku tahu kamu bukan hanya kue biasa. Kamu bisa mendengar kami, kan? Kalau kamu ingin sesuatu, beri tahu kami. Jangan hanya bermain-main seperti ini.”

Yang mengejutkan semua orang, kue itu berhenti melayang. Ia tetap diam di udara, seolah mempertimbangkan kata-kata Aryo.

“Luar biasa…” bisik Maya.

Aryo melanjutkan, “Kami tidak ingin melawanmu. Kami hanya ingin memahami apa yang kamu cari. Tolong, bantu kami.”

Namun, sebelum Aryo mendapat jawaban, kue itu kembali melesat keluar, meninggalkan mereka dalam kebingungan yang lebih dalam.

“Yah, setidaknya dia berhenti sejenak,” kata Toni sambil mengusap wajahnya.

Andra menghela napas. “Aryo, aku tidak tahu bagaimana caramu melakukannya, tapi itu jelas langkah maju. Kita harus mengejar benda itu lagi, tapi kali ini… mungkin dengan pendekatan berbeda.”

Aryo mengangguk, merasa yakin bahwa mereka semakin dekat dengan jawaban atas misteri kue terbang ini.

Pencuri waktu yang pusing itu kini punya harapan baru, meski perjalanan mereka masih jauh dari selesai.*

Bab 7: Waktu dan Kue Terbang Kembali Normal

Malam itu, di tengah keheningan kota yang hanya sesekali dipecahkan oleh deru angin, markas pencuri waktu terlihat jauh lebih tenang dari sebelumnya. Setelah kejadian terakhir di mana kue terbang tiba-tiba muncul dan memberikan “pertunjukan”, Aryo dan tim pencuri waktu memutuskan untuk mengubah pendekatan mereka. Tidak ada lagi kejar-kejaran membabi buta, tidak ada lagi perangkap yang rumit. Kali ini, mereka akan mencoba berbicara dengan “benda aneh” itu.

Maya sedang sibuk memeriksa layar komputer yang penuh dengan grafik dan data energi waktu yang telah mereka kumpulkan. Ia berbalik dan menatap Andra, yang sedang memutar-mutar pena di antara jari-jarinya. “Energi kue itu terus menurun, tapi ada pola yang aneh. Sepertinya dia hanya muncul di lokasi tertentu—tempat-tempat yang punya ikatan emosional kuat.”

Andra mengangguk. “Itu sesuai dengan yang Aryo katakan. Kue itu tidak hanya ‘terbang’ tanpa arah. Ada sesuatu yang dia cari.”

Aryo, yang duduk di sudut ruangan dengan secangkir kopi di tangannya, akhirnya angkat bicara. “Aku rasa, kue itu bukan hanya objek. Dia… semacam entitas yang menyerap emosi, mungkin untuk bertahan atau mencari penyelesaian terhadap sesuatu.”

“Penyelesaian?” tanya Toni dengan kening berkerut. “Apa maksudmu, Aryo? Kue itu butuh penutupan emosional?”

Aryo tertawa kecil. “Kedengarannya konyol, ya. Tapi lihat saja fakta-fakta yang kita miliki. Dia muncul di pesta ulang tahun anak kecil, di pasar malam yang penuh tawa, di taman tempat banyak pasangan berkumpul. Semua tempat itu punya satu kesamaan: energi kebahagiaan bercampur dengan kenangan.”

Maya memandang data di layar dengan tatapan serius. “Kalau begitu, kita harus menemukan lokasi berikutnya. Mungkin, kita bisa membantunya mendapatkan apa yang dia cari dan… mengembalikannya ke keadaan normal.”

Keesokan harinya, mereka memutuskan untuk mengikuti pola energi yang terdeteksi di peta. Lokasi yang ditunjukkan sistem Maya adalah sebuah taman kecil di pinggiran kota. Tempat itu dulunya sangat ramai dikunjungi, tetapi sekarang sudah mulai sepi dan hanya menjadi tempat nostalgia bagi sebagian kecil orang.

Ketika mereka tiba di sana, suasana terasa ganjil. Udara terasa lebih berat, seolah-olah waktu di tempat itu berjalan lebih lambat dari biasanya. Dan di tengah taman itu, di atas bangku kayu yang sudah usang, melayanglah kue terbang itu. Tidak seperti biasanya, kue itu terlihat lebih “tenang,” tidak melesat ke sana kemari atau memancarkan cahaya aneh.

“Dia ada di sana,” bisik Toni, meskipun tidak ada alasan untuk berbisik.

“Jangan lakukan gerakan tiba-tiba,” kata Andra, menahan Toni yang sudah bersiap untuk mengejar kue itu.

Aryo melangkah maju perlahan, kali ini membawa sesuatu yang berbeda: sebuah foto tua. Foto itu dia temukan di arsip sejarah kota, menunjukkan pesta ulang tahun seorang anak kecil di taman ini beberapa dekade lalu. Di dalam foto itu, kue yang identik dengan kue terbang tersebut terlihat di tengah meja.

“Kau ingat ini?” Aryo bertanya dengan nada lembut, mengangkat foto itu ke arah kue.

Semua orang menahan napas, termasuk Maya yang diam-diam sudah menyiapkan alat untuk berjaga-jaga jika sesuatu terjadi. Tapi yang terjadi selanjutnya benar-benar di luar dugaan mereka.

Kue itu berhenti melayang dan perlahan turun, seperti merespons pertanyaan Aryo. Warna-warna cerah di permukaannya yang semula memancarkan cahaya mulai redup. Suasana di sekitar taman tiba-tiba menjadi lebih hangat, seperti ada energi yang dilepaskan.

“Luar biasa…” gumam Maya sambil merekam kejadian itu.

Aryo melanjutkan. “Kau adalah bagian dari kenangan. Kenangan seseorang yang mungkin sudah lama tidak ada. Kau mencari tempatmu, mencari tujuanmu. Tapi sekarang, saatnya kau beristirahat.”

Saat kata-kata itu terucap, kue itu bergetar pelan, lalu perlahan memudar menjadi debu cahaya yang menyatu dengan angin malam. Semua orang terdiam, tidak percaya dengan apa yang baru saja mereka saksikan.

“Apa… itu tadi?” Toni akhirnya memecah keheningan.

Andra menarik napas dalam. “Aku rasa, kita baru saja menyaksikan akhir dari sesuatu yang aneh tapi indah. Mungkin benda itu memang terjebak di antara waktu dan emosi, dan akhirnya menemukan kedamaiannya.”

Maya menutup laptopnya, merasa lega meskipun masih penuh dengan rasa penasaran. “Yang jelas, energi waktu di seluruh kota sudah kembali normal. Tidak ada lagi lonjakan aneh.”

Aryo tersenyum tipis. “Terkadang, hal yang paling rumit bukan tentang teknologi atau strategi. Tapi tentang memahami emosi—dan bagaimana kita terhubung dengan masa lalu.”

Ketika mereka kembali ke markas, suasana terasa lebih ringan dari sebelumnya. Untuk pertama kalinya, tim itu merasa benar-benar lega. Tidak ada lagi kejar-kejaran, tidak ada lagi kebingungan yang membuat kepala mereka pusing.

“Kupikir, aku akan merindukan kue itu,” kata Toni sambil terkekeh. “Sebagai musuh, dia cukup menantang.”

Maya menimpali sambil tertawa. “Kau pasti bercanda. Aku tidak mau ada ‘kue terbang’ lagi dalam hidupku.”

Andra, meskipun tersenyum, tidak bisa menyembunyikan rasa lega di wajahnya. “Baiklah, ini pelajaran untuk kita semua. Bahkan teknologi dan strategi paling canggih tidak akan bisa mengalahkan sesuatu yang berasal dari hati manusia.”

Aryo hanya mengangguk setuju. Di dalam dirinya, ia merasa bahwa pengalaman ini telah mengubah cara pandangnya tentang banyak hal. Dan meskipun kue itu telah pergi, kenangan tentangnya akan tetap hidup di hati mereka semua—sebagai sesuatu yang tak terlupakan.*

Bab 8: Kue Terbang dan Waktu yang Hilang, Akhir yang Lucu

Hari itu terasa seperti hari biasa, tetapi tim pencuri waktu merasakan ada sesuatu yang ganjil. Markas mereka dipenuhi dengan suasana aneh, perpaduan antara lega karena energi waktu telah kembali normal dan bingung karena masalah kue terbang masih menyisakan misteri besar.

Aryo duduk di kursinya, menatap secangkir kopi yang perlahan mendingin. Toni, seperti biasa, mencoba menghidupkan suasana dengan lelucon-leluconnya yang kurang lucu. Maya sibuk mengetik sesuatu di laptopnya, terlihat serius, meskipun sesekali dia melirik ke arah Aryo dan Toni.

“Jadi, kita sepakat ya,” kata Toni tiba-tiba, meletakkan cangkir kopinya dengan dramatis. “Kue itu adalah alien. Tidak ada penjelasan lain.”

Andra yang sedang membaca laporan harian mendesah panjang. “Toni, bisa nggak sih, kau pakai otakmu untuk berpikir sedikit lebih logis?”

“Logis? Kita berbicara tentang kue yang bisa terbang, Andra. Apa yang logis dari itu?” Toni membalas dengan nada penuh keyakinan.

Aryo tersenyum tipis, akhirnya memutuskan untuk ikut dalam pembicaraan. “Toni ada benarnya. Kue itu memang tidak masuk akal. Tapi apa pun itu, dia sudah pergi. Kita harus fokus pada hal yang lebih penting sekarang.”

Namun, sebelum Aryo sempat melanjutkan, tiba-tiba terdengar bunyi gemuruh dari dapur markas mereka. Semua orang langsung terdiam, saling pandang dengan ekspresi waspada.

“Apa itu tadi?” bisik Maya, matanya membesar.

Toni berdiri dengan penuh semangat. “Mungkin itu alien kue yang kembali!”

Andra menepuk dahinya, tapi tetap mengikuti Toni ke dapur bersama yang lain. Ketika mereka sampai, mereka menemukan sesuatu yang benar-benar tidak terduga: sebuah kue terbang, tapi kali ini bentuknya lebih kecil, seperti cupcake, dan terlihat… ceria?

Kue kecil itu melayang di tengah dapur, berputar-putar seolah ingin menarik perhatian mereka. Tapi kali ini, tidak ada aura mengancam atau keanehan waktu seperti sebelumnya.

“Jadi… dia punya anak?” bisik Toni dengan mata berbinar-binar.

Maya langsung mengetik sesuatu di laptopnya. “Aku tidak yakin ini entitas yang sama. Energinya berbeda, lebih stabil. Tapi tetap saja, ini… aneh.”

Cupcake itu, seolah mendengar pembicaraan mereka, tiba-tiba melesat ke arah meja makan dan mendarat dengan anggun di atas piring. Tidak ada yang bergerak selama beberapa detik, sampai Toni, dengan penuh rasa ingin tahu, mendekat perlahan.

“Jangan dimakan, Toni!” seru Maya panik.

Toni berhenti, mengangkat kedua tangannya. “Aku cuma mau melihat. Siapa tahu ini adalah bentuk komunikasi baru.”

Andra memutar matanya, tapi Aryo, yang selalu berpikiran logis, mengambil langkah maju. Dia menatap cupcake itu dengan seksama, lalu berkata, “Kalau kau bisa mendengar kami, beri kami tanda.”

Semua orang menunggu dengan tegang. Dan seolah-olah cupcake itu benar-benar mengerti, dia memancarkan cahaya kecil dari atasnya, seperti lilin ulang tahun yang baru dinyalakan.

Toni langsung melompat kegirangan. “Dia paham! Dia paham!”

Malam itu berubah menjadi pertemuan lucu yang penuh spekulasi. Cupcake itu, yang mereka juluki “Mini-Kue,” tidak hanya bisa memancarkan cahaya, tapi juga melompat-lompat kecil seolah menari mengikuti suara mereka.

“Aku yakin, dia cuma mau jadi bagian dari keluarga kita,” kata Toni sambil memeluk cupcake itu seperti anak kecil yang baru mendapatkan mainan baru.

“Toni, kau sadar ini tetap sesuatu yang aneh, kan?” Andra mengingatkan, meskipun dia tidak bisa menahan senyumnya.

Maya, yang sudah mulai terbiasa dengan keanehan ini, berkata, “Aku punya teori. Bisa jadi cupcake ini adalah bentuk akhir dari energi waktu yang tertinggal. Dia tidak berbahaya, tapi mungkin dia ingin tetap terhubung dengan kita.”

Aryo mengangguk, setuju. “Kalau itu benar, mungkin ini adalah kesempatan kita untuk belajar lebih banyak tentang fenomena ini. Tapi yang jelas, ini akhir dari semua kekacauan waktu yang pernah terjadi.”

Beberapa minggu berlalu, dan Mini-Kue menjadi bagian dari markas mereka. Dia tidak hanya menghibur mereka dengan tingkah lucunya, tetapi juga membantu mereka dalam pekerjaan sehari-hari dengan cara yang tidak terduga. Misalnya, dia bisa menyala seperti lampu saat listrik padam, atau melompat-lompat di sekitar Maya saat dia terlalu serius bekerja, membuatnya tertawa.

“Kupikir aku akan merindukan semua kekacauan itu,” kata Toni suatu hari, sambil mengelus Mini-Kue yang duduk di mejanya.

Aryo tersenyum. “Kau tahu, Toni, mungkin kekacauan itu adalah hal terbaik yang pernah terjadi pada kita. Itu mengajarkan kita banyak hal—tentang waktu, tentang kenangan, dan tentang bagaimana kita harus menghargai hal-hal kecil.”

Maya menambahkan, “Dan tentang bagaimana kue bisa menjadi teman.”

Semua orang tertawa.

Dan di tengah tawa itu, Mini-Kue melompat-lompat dengan ceria, seolah-olah dia setuju. Tidak ada lagi kejar-kejaran, tidak ada lagi kebingungan waktu. Hanya ada satu cupcake kecil yang menjadi simbol akhir dari petualangan panjang mereka—dan awal dari kebahagiaan sederhana yang tidak pernah mereka duga sebelumnya.

Terkadang, akhir yang lucu adalah yang paling manis.***

————-THE END———–

 

Source: Jasmine Malika
Tags: #Komedi#KomediFantasy#Komedikonyol#Petualangan#Teka-teki
Previous Post

PELANGI DI BALIK AWAN

Next Post

SISA WAKTU

Next Post
SISA WAKTU

SISA WAKTU

DALAM PELUKAN SENJA

DALAM PELUKAN SENJA

cinta dibalik tukang bakso

cinta dibalik tukang bakso

MOVIE REVIEW

No Content Available

RECENT MOVIE

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025

Tentang Kami

NovelStory.id adalah platform media online yang menghadirkan beragam cerita menarik seperti dalam novel dan drama, dirancang untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan yang berkualitas dan penuh imajinasi. Kami percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh hati, menginspirasi, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh keajaiban.

Recent News

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025

Follow Us

  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 https://novelstory.id

No Result
View All Result
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah

© 2025 https://novelstory.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In