Prolognya:
Kota ini tak pernah tidur, bahkan ketika langit malam merentangkan sayap kelamnya. Selalu ada suara-suara samar yang menggema di lorong-lorong sempit, di balik jendela-jendela tua yang tertutup rapat, dan jalan-jalan yang diterangi cahaya remang-remang. Namun, suara itu bukan berasal dari manusia. Kota ini didirikan oleh mereka yang telah pergi, namun tak pernah benar-benar meninggalkannya. Para hantu—bukan hanya mereka yang mati, tetapi juga mereka yang hidup dalam ketakutan akan masa lalu mereka, terjebak dalam lingkaran yang tak pernah berakhir.
Alistair tidak pernah bermimpi bahwa suatu hari, dia akan terjebak di kota seperti ini. Sebuah kota yang sepertinya melampaui waktu, mengharuskan batas antara hidup dan mati. Awalnya, ia merasa aman, percaya diri, seperti seorang petualang yang datang untuk menyelidiki sebuah tempat penuh misteri. Namun, semakin lama ia tinggal, semakin ia merasakan adanya sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang lebih gelap daripada apa yang bisa dilihat oleh mata biasa.
Kota ini memiliki cara tersendiri untuk membuat orang terjebak. Dan mereka yang terjebak, akan selalu kembali—baik dalam tubuh mereka yang hidup, maupun dalam bayang-bayang yang mengikuti mereka. Alistair tahu bahwa ada sesuatu yang tidak ada di sini, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan, namun begitu jelas ada dalam dirinya. Sesuatu yang menariknya untuk datang lebih dekat, untuk mencari tahu lebih banyak. Dan ketika ia memutuskan untuk memasukinya, ia tidak tahu bahwa pintu yang terbuka bukanlah pintu menuju pengetahuan—melainkan pintu menuju kegelapan yang lebih dalam dari yang pernah ia bayangkan.
Tiap langkah yang ia ambil di jalan-jalan kota ini terasa berat. Tak ada suara burung malam, tak ada angin yang menggerakkan daun-daun. Hanya ketenangan yang mencengkeram, mengalir melalui udara yang tampak tebal oleh kabut. Alistair tahu, dalam setiap langkahnya, ada sesuatu yang mengikutinya. Sesuatu yang menunggu untuk mengungkap kebenaran yang telah ditemukan.
Hari pertama ia tiba di kota ini, ia bertemu dengan seorang pria tua di sebuah kedai. Pria itu mengenakan jubah hitam yang robek-robek, dengan mata yang tampak seperti melihat jauh ke dalam dirinya. Pria itu melihatnya dengan penuh makna, seolah-olah dia tahu lebih banyak tentang Alistair daripada yang bisa diceritakan oleh kata-kata.
“Kamu mencari sesuatu,” kata pria tua itu dengan suara serak, seperti habis menelan banyak rahasia. “Tapi berhati-hatilah. Kota ini tidak membiarkan siapa pun pergi tanpa membayar harga.”
Alistair terdiam sejenak. Ia tidak mengerti, tapi ada sesuatu dalam suara pria itu yang membuatnya merasa takut. Ketakutan yang tidak wajar. Ketakutan yang bukan berasal dari hal-hal yang bisa dilihat, tetapi dari sesuatu yang lebih dalam—sebuah perasaan yang muncul begitu saja, seperti bayang-bayang yang menempel pada kulitnya.
“Maksudmu, harga apa?” tanya Alistair, berusaha mengendalikan suaranya agar tidak terdengar terlalu ragu.
Pria itu hanya tersenyum, sebuah senyuman yang mengerikan, penuh dengan keputusasaan yang tak terucapkan. “Hanya mereka yang berani melihat ke dalam bayang-bayang yang bisa mengerti. Tetapi, apakah kamu benar-benar ingin mengetahui apa yang tersembunyi di baliknya?”
Alistair tidak bisa menjawab. Ada sesuatu yang ditahan. Sesuatu yang membuatnya merasa seperti berada di ujung jurang yang dalam, menunggu untuk jatuh tanpa bisa kembali. Namun, ia tidak bisa berhenti. Seperti magnet yang menariknya lebih dalam ke dalam kota yang gelap ini, ke dalam rahasia yang disembunyikan oleh waktu.
Hari demi hari, Alistair mulai merasakan adanya hal-hal aneh yang terjadi di sekitarnya. Wajah-wajah yang dilihatnya di jalanan tampak familier, tetapi tak bisa ia ingat dari mana. Suara-suara yang terdengar di malam hari terdengar seperti bisikan dari masa lalu, mengingatkannya akan sesuatu yang ia coba lupakan. Setiap kali ia berjalan di lorong-lorong kota, ia merasa seolah-olah ada yang mengikutinya—bayang-bayang yang bergerak lebih cepat dari yang bisa ia lihat, mengintai di balik setiap sudut.
Ia mencoba melarikan diri, tetapi semakin ia berusaha, semakin ia merasa terperangkap. Kota ini bukan hanya sebuah tempat fisik. Ini adalah perangkap bagi pikiran dan jiwa. Setiap sudutnya, setiap lorong yang dilewatinya, sepertinya membawa lebih dekat ke bayang-bayang yang semakin menghantuinya. Dan dalam bayang-bayang itu, ia merasa ada sesuatu yang menunggu untuk membebaskan dirinya—namun, apakah ia cukup berani untuk melihatnya?
Saat Alistair akhirnya bertemu dengan seorang wanita misterius bernama Isolde, ia merasa bahwa pertemuan itu bukanlah suatu kebetulan. Isolde tampak lebih tahu banyak tentang kota ini dibandingkan orang lain. Ia berbicara tentang bayang-bayang yang terperangkap dalam waktu, tentang kenangan yang tak bisa lepas, dan tentang kegelapan yang mempengaruhi setiap jiwa yang datang ke sini. Meskipun demikian, Isolde juga mengatakan hal yang lebih penting: bahwa ada jalan keluar. Ada cara untuk mengalahkan bayang-bayang yang menghantui kota ini.
“Jika kamu ingin keluar, kamu harus menghadapi masa lalumu,” kata Isolde suatu malam, di tengah kabut yang semakin tebal. “Kegelapan ini bukanlah musuh yang harus kamu kalahkan. Kegelapan ini adalah bagian dari dirimu, dan hanya dengan menghadapinya kamu akan menemukan cahaya.”
Kata-kata itu terus bergema di telinga Alistair. Apakah dia benar-benar siap menghadapinya? Untuk menatap kembali ke dalam bayang-bayang yang selama ini ia hindari? Setiap jawaban yang ia cari membawa lebih banyak pertanyaan, dan setiap langkah yang ia ambil akhirnya menuntunnya ke dalam kegelapan.
Namun, satu hal yang pasti: ia tak akan pernah bisa keluar dari kota ini tanpa menghadapinya. Tanpa mengetahui apa yang telah terjadi pada dirinya, dan apa yang membuat kota ini menjadi seperti ini.
Kota ini menyimpan rahasia yang hanya bisa diungkapkan oleh mereka yang berani melihat ke dalam bayang-bayangnya.
Dan Alistair, tanpa sadar, telah menjadi bagian dari rahasia itu.*
Bab 1: Pintu yang Tak Pernah Tertutup
Alistair terbangun dengan rasa kebingungan yang membalut dirinya. Pandangannya kabur, tubuhnya terasa berat, dan udara di sekelilingnya penuh dengan aroma basah dan aneh, seperti udara yang terperangkap dalam waktu yang terlalu lama. Mata terbuka perlahan, mencoba menyesuaikan diri dengan gelap yang melingkupi segala sesuatu. Namun, saat dia mencoba menggerakkan tubuhnya, dia merasakan sensasi aneh, seperti tubuhnya bukanlah miliknya. Seakan dia sedang terjebak di dalamnya.
Dia tergeletak di tanah yang dingin, berdebu, dan berantakan. Setiap langkah yang dia coba ambil terasa seperti beban, tetapi yang lebih aneh adalah keadaan sekitarnya. Kota ini—atau tempat apa pun ini—terlihat seperti dunia yang telah lama dilupakan oleh waktu. Reruntuhan bangunan yang dulu megah kini hanya sisa-sisa hancuran, dengan tembok yang telah runtuh dan jendela-jendela yang pecah, menyisakan celah-celah gelap. Tidak ada suara, selain desiran angin yang berbisik lembut, seolah menyembunyikan rahasia yang lebih dalam.
Alistair duduk perlahan, merasakan kakinya menempel di tanah yang keras dan retak. Ia mengerutkan dahinya, mencoba mengingat yang tidak datang. Siapa aku? pertanyaan itu terus menghantuinya, namun tidak ada jawaban yang datang. Nama, wajah, bahkan kenangan masa lalu—semuanya kosong. Seolah-olah ia baru saja dilahirkan ke dunia ini tanpa ada alasan atau tujuan.
Dia berdiri dengan sedikit kesulitan, berpegangan pada tembok yang runtuh. Kota itu terasa begitu sunyi, namun ada sesuatu yang tidak wajar. Tidak ada tanda-tanda kehidupan manusia. Tidak ada jejak langkah yang baru, hanya debug dan kehancuran. Tampaknya semua orang telah menghilang, dan hanya kota itu yang tersisa. Satu-satunya suara yang terdengar adalah suara angin yang berputar-putar, menghantam dinding-dinding kosong dan menembus jalan-jalan sempit yang gelap.
Matahari tidak tampak di langit, hanya langit kelabu yang penuh kabut tebal. Rasanya seperti waktu berhenti di kota ini—seperti siang dan malam saling bertukar tempat, atau lebih tepatnya, tidak ada yang bisa menentukan kapan keduanya datang. Di setiap sudut, Alistair merasa seolah-olah sedang menonton, meskipun tidak ada seorang pun yang terlihat.
Dengan langkah-langkah hati-hati, Alistair mulai berjalan, matanya berkeliling mencari tanda-tanda kehidupan. Di jalan-jalan yang berdebu, dia menemukan banyak bangunan yang telah runtuh. Beberapa pintu terbuka, seolah mengundang seseorang untuk masuk, namun tidak ada yang bergerak di dalamnya. Tidak ada kehidupan.
Tak jauh dari sana, Alistair melihat sebuah tenda yang berdiri tegak di tengah jalan. Meskipun terlihat usang dan subur, tenda itu menarik perhatian karena tidak ada yang seharusnya berdiri di sana. Di dekat tenda, terdapat patung-patung batu yang aneh, menggambarkan makhluk yang tidak dapat dikenali. Bentuknya kabur, seperti bayangan yang terperangkap di dalam batu, dan Alistair merasa terpesona olehnya.
“Siapa yang bisa menciptakan hal seperti ini?” gumamnya, suaranya terdengar teredam oleh udara yang lembap.
Dia melangkah lebih dekat ke tenda dan merasakan ketegangan yang meningkat. Ada sesuatu di dalam sana, meskipun udara di sekitar tenda terasa kental. Tanpa berpikir panjang, Alistair menarik tirai tenda dan masuk ke dalam.
Di dalam tenda itu, suasana menjadi lebih berat. Lampu-lampu temaram yang tergantung dari langit-langit memberi cahaya yang samar, cukup untuk menampilkan benda-benda yang tertata rapi di atas meja kayu. Di atas meja, terdapat gulungan kertas kuno, sebuah kotak hitam kecil yang terukir dengan simbol yang aneh, dan sebuah buku yang tertutup rapat. Namun, hal yang paling menarik perhatian Alistair adalah gambar-gambar yang tergantung di dinding.
Gambar itu menggambarkan pemandangan yang sangat asing—sebuah kota yang dipenuhi bayangan gelap yang menyeramkan. Orang-orang yang sepertinya terjebak dalam posisi yang tidak wajar, dengan ekspresi ketakutan yang mengerikan di wajah mereka. Ada beberapa gambar lain yang menunjukkan gerbang besar dengan simbol yang sama seperti yang terukir pada kotak hitam di meja. Namun, yang paling mencolok adalah gambar seorang pria yang tengah berdiri di depan gerbang tersebut, wajahnya tertutup kabut, hanya matanya yang terlihat, kosong dan penuh penderitaan.
Di dalam gambar itu, Alistair merasa seolah dia melihat dirinya sendiri. Apakah ini aku? Pikirnya, matanya terfokus pada gambar itu, tetapi semakin lama dia memperhatikan, semakin dia merasa seolah-olah ada bayangan dalam gambar itu melihat kembali, ditemukan.
Langkah kaki terdengar di luar tenda, membuyarkan keheningan. Alistair segera menoleh, tapi tidak ada siapa-siapa di luar. Hanya angin yang berhembus pelan, menggoyangkan tirai tenda. Namun, perasaan aneh itu tidak hilang. Dia merasa ada yang mengawasinya, ada yang menginginkan sesuatu darinya.
Tiba-tiba, suara gemerisik terdengar dari dalam tenda, seperti suara dari suatu benda yang bergerak. Alistair menoleh ke arah kotak hitam itu. Tanpa menyadari apa yang sedang terjadi, dia meraih kotak itu dan membukanya.
Begitu kotak itu terbuka, cahaya gelap menerangi seluruh tenda, dan suara melingkari sekelilingnya, seolah-olah dunia sedang berubah. Dalam sekejap, bayangan-bayangan bergerak, bagaikan ada makhluk yang hidup di dalam kabut yang pekat.
“Selamat datang di Kota Tanpa Nama,” suara itu terdengar, seolah datang dari mana-mana, namun tidak ada sosok yang terlihat. “Kau telah terjebak. Seperti mereka yang datang sebelummu.”
Alistair terkejut dan jatuh mundur, kotak hitam terlepas dari tangannya dan jatuh ke tanah. Dalam kehampaan itu, suara-suara hantu mulai mengisi ruang di sekitarnya, berbicara dalam bisikan yang penuh dengan penderitaan dan penyesalan.
“Siapa… siapa kamu?” Alistair berteriak, mencoba mencari suara itu, namun tidak ada jawaban.
Langkah kaki terdengar lagi, lebih jelas kali ini, dan dari balik kabut, muncul seorang wanita muda yang mengenakan gaun lusuh, wajahnya memucat, tetapi matanya tajam. Ia tersenyum, meskipun senyumnya penuh dengan kesedihan yang mendalam.
“Aku Isolde,” ucapnya dengan suara lembut, namun ada kesedihan yang menggelora di dalamnya. “Dan aku tahu kenapa kamu ada di sini.”
Alistair hanya bisa menatap dengan penuh kebingungan, tidak tahu apa yang harus diucapkan.
“Kota ini penuh dengan rahasia,” lanjut Isolde, “dan hanya mereka yang memiliki keberanian untuk menggali kebenaran yang akan menemukan jalan keluar. Namun, berhati-hatilah—setiap jawaban yang kamu temukan akan membawa lebih banyak pertanyaan.”
Tepat setelah itu, kabut semakin tebal, dan suara-suara bisikan itu semakin keras, menggema di seluruh kota. Alistair merasa dirinya semakin terjebak dalam jaring-jaring yang tak terlihat, tidak tahu apakah dia akan pernah
bisa keluar dari tempat yang menyeramkan ini.*
Bab 2: Bayang-Bayang yang berikutnya
Alistair berdiri berbaring di depan Isolde, merasakan keringat dingin mengalir di sepanjang punggungnya. Semua hal baru yang terjadi terasa begitu cepat dan membingungkan, namun ada satu hal yang pasti: kota ini bukanlah tempat biasa. Bukan hanya karena keheningan yang menekan, tetapi juga karena ada sesuatu yang tersembunyi di balik kabut dan kedamaian ini—sesuatu yang menunggu untuk ditemukan.
Isolde memandangnya dengan nada yang tajam, namun tidak menghakimi. Ada sebuah kepahitan di dalam matanya, seperti dia tahu lebih banyak daripada yang dia tunjukkan. Perlahan, dia melangkah lebih dekat, mengulurkan tangan seolah ingin menenangkan Alistair, yang tampaknya masih terkejut dengan peristiwa yang baru saja terjadi.
“Kamu masih belum mengerti apa yang terjadi di sini, kan?” suara Isolde rendah, namun cukup jelas untuk memahami keheningan yang menggantung di antara mereka.
Alistair mengangguk pelan, tidak yakin harus berkata apa. Ia ingin bertanya lebih banyak, namun lidahnya terasa berat. Banyak sekali pertanyaan yang mengganggu pikiran. Mengapa dia bisa berada di kota ini? Siapa dirinya sebenarnya? Dan, yang lebih penting lagi, apa yang dimaksud Isolde dengan ‘kebenaran yang harus digali’?
Isolde menghela napas, seolah-olah sudah memprediksi reaksi Alistair. “Kota ini, Kota Tanpa Nama, bukanlah tempat yang ramah bagi siapa pun yang datang ke sini,” katanya dengan nada yang penuh pengetahuan dan kesedihan. “Kita semua terjebak di sini. Kami tidak pernah bisa meninggalkan tempat ini… kecuali kami menyelesaikan teka-teki yang ada di dalamnya. Dan bahkan itu, tidak semua orang berhasil melakukannya.”
“Terjebak?” Alistair kembali mengatakan itu, matanya memandang sekeliling kota yang kosong. “Tapi kenapa? Apa yang terjadi di sini?”
Isolde tersenyum, namun senyuman itu lebih terasa seperti senyuman kesedihan. “Itu adalah pertanyaan yang tidak mudah dijawab. Ada banyak cerita yang saling bertautan di kota ini. Setiap orang yang datang ke sini memiliki kisah mereka sendiri, namun satu hal yang pasti—kita semua terjebak oleh kesalahan kita di masa lalu. Kota ini adalah cermin dari dosa dan penyesalan.”
Alistair merasa tubuhnya kaku, perasaan cemas mulai memenuhi hatinya. Ia merasakan kota seolah itu hidup, seolah setiap batu dan puing yang ada menyimpan kenangan gelap yang tidak bisa terhapus. Namun, dia tidak bisa membiarkan rasa takut itu menguasainya. Ia harus mencari cara untuk keluar.
“Jadi, bagaimana kita bisa keluar?” tanya Alistair dengan suara yang lebih tegas, meskipun ada keraguan di dalam hatinya.
Isolde melihatnya sejenak, kemudian berjalan meja di pojok tenda, mengambil menuju sebuah gulungan kertas kuno yang terlipat rapi. Gulungan itu terlihat sangat tua, tepi-tepinya sudah menguning, namun simbol yang terukir di atasnya tampak begitu jelas. Ia membuka gulungan itu perlahan, menampilkan peta kota yang sepertinya tidak lengkap, dengan beberapa bagian yang tergores atau hilang.
“Ini adalah peta kota,” Isolde berkata sambil menunjuk ke peta itu. “Namun, peta ini selalu berubah. Setiap kali seseorang mencoba meninggalkan kota, peta ini akan hilang atau berubah. Kota ini memiliki cara untuk menjaga dirinya sendiri. Bahkan jika kamu menemukan jalan keluar, kota akan berubah.”
Alistair mendekat, mencoba mempelajari peta itu dengan penuh perhatian. Ada banyak bagian yang terkesan tersembunyi atau tercoret, dan beberapa simbol aneh yang mengelilingi jalan-jalan yang lebih gelap. Di bagian paling tengah, terdapat sebuah gerbang besar dengan simbol yang sama seperti yang ada pada kotak hitam itu. Dan di bawahnya, ada tulisan yang tampaknya sulit dipahami: “Hanya mereka yang melampaui bayang-bayang yang dapat melihat cahaya.”
Alistair memandang Isolde, bingung. “Apa maksud tulisan ini?”
“Dunia ini penuh dengan bayang-bayang,” jawab Isolde dengan suara yang seram. “Bayang-bayang dari masa lalu, dari dosa-dosa yang tidak bisa terhapus.*
Bab 3: Pasar yang Terperangkap Waktu
Pasar itu lebih gelap dari yang dibayangkan Alistair. Di luar, kabut masih tebal, namun di dalam, cahaya redup dari lampu-lampu minyak yang tergantung di langit-langit memberikan suasana yang suram. Di setiap sudut pasar, bayang-bayang bergerak perlahan, berbaur dengan penjual dan pembeli yang tak tampak manusia seutuhnya. Mereka adalah makhluk-makhluk yang terjebak, begitu Alistair pikir, terjebak dalam kenyataan yang hancur ini.
Suara langkah kaki terdengar teredam oleh kayu lantai pasar yang sudah lapuk. Di tengah pasar, terdapat tumpukan barang-barang antik yang tertata dengan rapi, namun tak ada yang menyentuhnya. Sebuah meja kayu besar berjejer dengan buku-buku kuno yang halaman-halamannya sudah menguning, patung-patung batu yang tak terjelaskan, dan perhiasan-perhiasan yang tampak seperti peninggalan masa lalu yang tak terjamah oleh waktu.
Isolde melangkah lebih dulu, mengikuti jalan setapak yang sempit antara toko-toko. “Hati-hati,” katanya sambil melirik ke sekeliling. “Pasar ini penuh dengan pedagang yang lebih dari sekedar manusia. Mereka adalah hantu, roh yang terjebak dalam waktu dan kesalahan mereka sendiri.”
Alistair mengikuti dengan hati-hati, matanya memandang ke segala arah. Hati Alistair berdegup kencang. Setiap kali ia menatap salah satu wajah yang muncul di sesi itu, ia merasa ada sesuatu yang tidak wajar. Wajah-wajah mereka, meskipun tampak seperti manusia, tidak sepenuhnya ada. Mereka tampak buram dan terdistorsi, seolah-olah mereka berada di dua dunia sekaligus.
Beberapa roh tampak sedang berdiskusi dengan suara berbisik, sementara yang lain duduk diam, matanya kosong. Satu demi satu, mereka menghilang ke dalam bayang-bayang pasar yang sepi, meninggalkan jejak rahasia di udara.
“Siapa mereka?” tanya Alistair, suara lirih. “Apa yang mereka inginkan?”
Isolde menoleh, dan mata mereka bertemu. “Mereka adalah mereka yang tidak bisa melanjutkan perjalanan mereka,” jawabnya dengan hati-hati. “Mereka terjebak di antara kehidupan dan kematian, kembali kesalahan mereka dalam putaran waktu yang tak berujung. Beberapa di antara mereka mencari jawaban, yang lain hanya ingin menghilang.”
Alistair merasa lidahnya kering, dan pertanyaan-pertanyaan tentang masa lalunya semakin mengganggu pikiran. Ia merasa seolah dirinya adalah salah satu dari mereka, terjebak dalam suatu siklus yang tak pernah bisa dihentikan.
Mereka tiba di sebuah sudut pasar yang lebih gelap, di mana sebuah meja kayu besar dengan kain hitam yang terselip di bagian bawah berdiri di tengah. Di belakang meja itu, seorang lelaki tua dengan jubah kumal dan berjanggut panjang duduk mematung. Matanya sangat tua memandang mereka dengan menghilang, namun ada sesuatu yang tajam dalam mengaburkan, seolah-olah ia bisa melihat ke dalam jiwa mereka.
Isolde mendekat dengan langkah hati-hati. “Ini adalah Nyx,” katanya dengan suara rendah. “Dia adalah salah satu pedagang paling tua di pasar ini. Dia tahu banyak hal, lebih banyak dari yang dia ungkapkan.”
Alistair mengangguk pelan dan melangkah lebih dekat. “Apa yang dijual oleh orang seperti dia?” gumamnya.
“Semuanya,” jawab Isolde. “Dia menjual informasi, kenangan, dan bahkan jiwa. Namun, berhati-hatilah. Tidak semua yang dia tawarkan bisa membawa kebaikan.”
Alistair merasa takut mulai mengecewakannya. Namun, rasa ingin tahu mengalahkan ketakutannya. Ia merasa, untuk memahami lebih banyak tentang dirinya dan kota ini, ia harus berbicara dengan Nyx.
Nyx mengangkat tangan yang keriput, isyarat yang sepertinya dimaksudkan untuk mengundang mereka mendekat. “Kalian datang ke sini dengan tujuan,” katanya dengan suara berat, seperti suara dari kedalaman yang jauh. “Namun tujuan itu tidak akan mudah tercapai. Kalian akan menemukan jawabannya, tapi jawaban itu akan datang dengan harga yang harus kalian bayar.”
Isolde berdiri di samping Alistair, menatap lelaki tua itu dengan penuh perhatian. “Kami mencari petunjuk,” kata Isolde. “Petunjuk untuk keluar dari kota ini. Petunjuk untuk mengakhiri siklus ini.”
Nyx tertawa pelan, suara tertahan yang terasa menakutkan. “Keluar?” Ucapnya, “Kalian pikir ada jalan keluar dari tempat ini? Kota ini bukan tempat yang bisa kalian tinggalkan dengan mudah. Semua yang terjebak di sini memiliki harga yang harus dibayar. Jika kalian ingin pergi, kalian harus menggali lebih dalam. Menghadapi bayang-bayang kalian sendiri.”
Alistair merasa jantungnya berdegup kencang. “Bayang-bayang kami?” tanyanya, suaranya bergetar. “Apa maksudmu?”
Nyx menatap dengan mata tajam, seolah mencari sesuatu di dalam diri Alistair. “Setiap orang di sini, termasuk kamu, memiliki sesuatu yang mereka sembunyikan. Sesuatu yang sangat gelap, yang tidak ingin mereka hadapi. Itulah yang menjadi bayang-bayang kalian. Dan itu yang akan membimbing kalian keluar dari kota ini.”
Alistair merasa tubuhnya kaku. “Apa yang harus aku lakukan?” tanyanya, merasa semakin bingung dan terperangkap.
Nyx tersenyum tipis. “Temui mereka yang terjebak dalam bayang-bayang mereka,” jawabnya. “Hanya dengan memahami masa lalu kalian, kalian akan tahu bagaimana cara keluarnya. Kalian harus menggali kenangan yang terkubur, bahkan yang paling gelap sekalipun.”
Alistair menelan ludah. Kenangan—apakah itu yang harus dia temui? Namun, ada rasa takut yang lebih besar yang menyelubungi dirinya. Apa yang harus dia hadapi? Kenapa dia tidak bisa mengingat apapun tentang dirinya? Kenapa dia merasa seolah ada sesuatu yang sangat salah dengan dirinya?
Isolde menarik lengan Alistair, menandakan bahwa sudah waktunya untuk pergi. “Kami akan pergi,” katanya kepada Nyx, matanya menunjukkan rasa terima kasih yang tulus meski samar. “Kami akan kembali jika kami membutuhkan lebih banyak informasi.”
Nyx hanya mengangguk, dan Alistair merasa ada sesuatu yang menekan dalam dirinya saat mereka berbalik untuk pergi. Tapi sebelum mereka bisa melangkah lebih jauh, suara Nyx terdengar lagi, lebih dalam kali ini.
“Tunggu,” ucap Nyx pelan. “Ada satu hal yang perlu kalian ingat. Tidak semua jawaban akan membawa kebebasan. Beberapa jawaban hanya akan membuat kalian terjebak lebih dalam.”
Dengan kata-kata itu, Alistair merasa kegelapan semakin menyelimutinya. Seakan-akan, setiap langkah yang diambilnya semakin mengarah pada sesuatu yang lebih gelap, dan dia mulai merasakan beratnya takdir yang menantinya.
Alistair menoleh ke Isolde, yang hanya mengangguk pelan, wajahnya serius. “Kita harus terus berjalan,” katanya dengan suara tegas. “Tidak ada jalan mundur.”
Mereka melanjutkan perjalanan mereka melalui pasar yang semakin sunyi, seiring dengan gelapnya malam yang mulai membuat Kota Tanpa Nama. Alistair merasakan beratnya setiap langkah yang diambilnya, mengetahui bahwa jawaban yang mereka cari semakin dekat, namun setiap jawaban itu juga semakin menjauhkan mereka dari apa yang mereka inginkan kebebasan.*
Bab 4: Menghadapi Bayang-Bayang
Pasar Hantu semakin sunyi saat Alistair dan Isolde melangkah pergi dari meja Nyx. Setiap langkah yang mereka ambil terasa semakin berat, seperti ada sesuatu yang mengikuti dari belakang. Alistair menoleh sejenak, memastikan bahwa tidak ada yang mengikuti mereka, namun pasar tetap begitu sepi. Kabut semakin menggelap, membekukan langit dan jalan setapak yang lalui.
Isolde tidak berbicara selama beberapa saat, sepertinya memikirkan sesuatu dengan serius. Alistair merasa cemas. Dia ingin tahu lebih banyak tentang kata-kata Nyx, terutama tentang bayang-bayang yang disebutkan pria tua itu. Apa yang dimaksud dengan bayang-bayang itu? Mengapa dia merasa semakin terperangkap di dalam kota ini, seolah-olah ada sesuatu yang menghalangi dia untuk bergerak maju?
“Isolde,” kata Alistair setelah beberapa saat, suaranya sedikit lebih rendah dari biasanya. “Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Apa yang dimaksud dengan bayang-bayang itu?”
Isolde berhenti dan tiba-tiba berhenti. Wajahnya serius, namun ada kedalaman yang tak terungkap di matanya. “Kamu akan menghadapinya, Alistair,” katanya dengan suara lembut namun tegas. “Kita semua memiliki masa lalu yang gelap, sesuatu yang kita sembunyikan. Bayang-bayang itu adalah kenangan kita yang tak terungkap, dosa-dosa yang tidak bisa kita lepaskan. Mereka akan selalu mengikuti kita, menuntut kita untuk menghadapinya.”
Alistair menatapnya, bingung. “Tapi aku tidak ingat apa-apa tentang masa laluku. Aku merasa seolah-olah aku tidak memiliki apapun yang bisa aku hadapi.”
Isolde menghela nafas, mengerti kegelisahan Alistair. “Kamu akan mengingatnya, Alistair. Waktu dan kota ini akan mengingatnya, meski terkadang itu akan sangat menyakitkan.”
Mereka melanjutkan perjalanan mereka melalui lorong-lorong pasar yang semakin gelap. Suara langkah kaki mereka menggema di sepanjang jalan, menambah kesan sunyi yang semakin mencekam. Sepanjang jalan, Alistair melihat lebih banyak makhluk yang terperangkap di antara kehidupan dan kematian, mereka yang tidak bisa bergerak maju, hanya terjebak dalam waktu yang tak berkesudahan.
Ketika mereka tiba di sebuah persimpangan jalan, Isolde berhenti dan menoleh ke arah Alistair. “Kita akan masuk ke dalam Rumah Kenangan,” katanya, terdengar seolah-olah takut ada yang mendengarnya. “Di sana, kamu akan menemukan petunjuk lebih lanjut tentang masa lalumu.”
Rumah Kenangan itu terletak di ujung jalan yang lebih gelap. Bangunannya tampak seperti rumah tua yang sudah terlupakan oleh waktu, dengan jendela yang tertutup rapat dan pintu yang sepertinya belum pernah dibuka selama berabad-abad. Namun, meskipun tampak tak terjamah, ada sesuatu yang menarik Alistair untuk masuk.
Isolde membuka pintu kayu yang berderak, dan udara dingin langsung menyambut mereka. Bau busuk yang samar memenuhi ruangan, namun itu bukan bau yang asing bagi Alistair. Itu adalah bau kenangan yang terlupakan—kenangan yang ingin ia abaikan, tetapi tidak bisa ia hindari.
Di dalam, rumah itu penuh dengan benda-benda yang sepertinya sudah sangat tua. Ada lukisan-lukisan lama di dinding, patung-patung dari batu yang tampak usang, dan furnitur yang hampir runtuh. Di tengah ruangan, berdiri sebuah meja kayu besar, dengan banyak benda aneh yang tergeletak di atasnya—sebuah selai pasir yang tak bergerak, kunci tua yang berkarat, dan sekumpulan foto-foto usang yang tidak bisa dikenali wajahnya.
Isolde memimpin mereka lebih dalam, ke ruang yang lebih dalam dari rumah itu. “Ini adalah tempat di mana semua kenangan yang telah terlupakan,” katanya dengan suara berat. “IniTempat menyimpan rahasia-rahasia yang hanya akan muncul jika kita benar-benar siap menghadapinya.”
Alistair merasa tubuhnya mulai gemetar. Dia merasakan ada sesuatu yang tak terlihat di dalam ruangan ini, seperti bayang-bayang yang bersembunyi, menunggu untuk muncul dan menghadapinya. Ia tidak tahu apa yang akan dia temui, namun ada rasa takut yang semakin tumbuh di dalam dirinya. Apa yang sebenarnya dia cari di tempat ini? Apakah dia benar-benar ingin mengungkapkan masa lalunya?
“Isolde,” kata Alistair dengan suara pelan, mencoba menenangkan dirinya sendiri. “Apa yang akan terjadi jika aku mengingat semuanya? Jika aku menghadapi bayang-bayang itu, apakah aku akan bisa keluar dari sini?”
Isolde berhenti sejenak, menatap dengan mata yang penuh pemahaman. “Menghadapi masa lalu bukanlah hal yang mudah, Alistair. Namun, hanya dengan menghadapinya kita bisa menemukan jalan keluar. Bayang-bayang itu akan terus mengikutimu, tetapi jika kamu memahaminya, kamu bisa menemukan cahaya.”
Alistair mengangguk, meskipun hatinya masih dipenuhi keraguan. “Aku akan mencobanya.”
Isolde berjalan lebih jauh ke dalam ruangan, menuju sebuah lemari kayu besar yang terletak di sudut. Ia membuka pintu lemari itu dan mengeluarkan sebuah buku tebal yang sepertinya sudah sangat tua. Halaman-halaman buku itu tampak rapuh, dan di setiap halaman terdapat gambar-gambar aneh yang sulit dipahami.
“Buku ini adalah kunci,” kata Isolde, membuka salah satu halaman. “Ini berisi gambar-gambar yang akan diingat. Setiap gambar adalah petunjuk untuk mengungkap bayang-bayang yang tersembunyi di dalam dirimu.”
Alistair mendekat, merasa jantungnya berdegup kencang. Ia melihat gambar pertama di dalam buku itu—sebuah pintu besar yang terbuka ke dalam kegelapan, dengan bayang-bayang yang menyelimutinya. Alistair merasa seolah-olah pintu itu adalah sesuatu yang sangat familiar, meskipun dia tidak tahu kenapa.
Isolde mengarahkan kursor ke gambar itu. “Pintu ini adalah awal dari perjalananmu, Alistair. Kamu harus melewati pintu itu dan menghadapi apa yang ada di dalamnya.”
Alistair merasa seolah-olah ada suara yang terjadi, suara yang berasal dari dalam dirinya sendiri. Dia ingin menghindarinya, namun perasaan itu semakin kuat. Tanpa bisa menahan diri, dia menatap gambar itu lebih lama, merasa seolah-olah pintu itu mengingatkannya pada sesuatu yang lebih besar, lebih gelap.
“Apakah ini berarti aku harus memasuki kegelapan?” tanyanya, suaranya penuh ketakutan.
Isolde menatapnya dengan serius. “Setiap orang yang terjebak di sini harus memasuki kegelapan mereka sendiri. Itu adalah bagian dari proses. Hanya dengan memasuki kegelapan kita bisa menemukan cahaya.”
Alistair mengangguk pelan. Ia merasa terperangkap dalam perasaan yang tidak bisa dijelaskan. Namun, dia tahu bahwa ini adalah jalan yang harus dilalui. Jika ia ingin keluar dari kota ini dan mengungkapkan siapa dirinya sebenarnya, ia harus menghadapi bayang-bayang itu.
Dengan langkah yang ragu, ia memutuskan untuk mengikuti Isolde lebih dalam, menuju ruang yang lebih gelap di dalam Rumah Kenangan. Setiap langkah yang ia ambil terasa semakin menantang, dan ia tidak tahu apakah ia akan bisa kembali setelah ini. Namun satu hal yang pasti—dia harus menghadapi bayang-bayangnya sendiri, apapun yang ada di balik pintu itu.*
Bab 5: Pintu Terbuka
Ketika Alistair dan Isolde melangkah lebih jauh ke dalam Rumah Kenangan, udara semakin dingin dan tebal. Setiap langkah terasa semakin berat, seperti ada tarikan yang tak terlihat yang ingin menghentikan mereka. Namun, Alistair tahu bahwa mereka tidak bisa berhenti. Dia harus menghadapinya. Harus membuka pintu itu dan menghadapi bayang-bayangnya.
Di ujung ruang yang lebih dalam, mereka tiba di sebuah pintu besar yang tertutup rapat. Pintu itu tampak kuno, dengan ukiran yang samar, hampir seperti yang sudah ada sejak zaman yang sangat lama. Di sekeliling pintu, bayang-bayang seakan bergerak, seperti ingin keluar dan merenggut mereka. Tetapi Alistair merasa ada yang aneh—sebuah ketegangan yang membuncah dalam dirinya. Ini adalah saat yang akan menentukan. Jika dia ragu, dia akan terjebak di sini selamanya, dalam waktu yang tak terhingga.
Isolde berhenti beberapa langkah sebelum pintu, lalu kembali menatap Alistair dengan serius. “Ini adalah tempat di mana kenangan akan menjadi kenyataan. Apa yang akan kamu lihat, tidak akan mudah untuk diterima.Tetapi ceramah, Alistair, apa yang kamu lihat bukanlah kenyataan yang harus kamu takuti. Itu adalah bayang-bayangmu sendiri. Masa lalu yang harus kamu terima.”
Alistair menelan ludah, matanya terfokus pada pintu itu. “Apa yang akan terjadi jika aku membukanya?” tanyanya, suara penuh keraguan.
Isolde menatap pintu itu, lalu menoleh ke Alistair dengan senyuman tipis yang penuh pengertian. “Jika kamu membukanya, kamu akan menemukan jawaban. Namun, jawaban itu mungkin lebih sulit dari yang kamu bayangkan. Masa lalumu, kegelapan yang ada di dalam dirimu, akan mengungkapkan dirinya. Jika kamu menghadapinya dengan keberanian, kamu akan bisa melangkah keluar.”
Alistair mengangguk, meski jantungnya berdetak kencang. Ia merasa seolah-olah pintu itu adalah batas yang tak bisa ia lewati, sebuah garis yang tidak boleh dilangkahi. Tetapi seiring berjalannya waktu, ketakutannya mulai mengalahkan rasa ragu itu. Apa yang harus dia takuti? Bukankah ini hanya satu-satunya jalan untuk keluar?
Dengan langkah perlahan, ia maju ke depan dan meraih gagang pintu. Jantungnya berdetak lebih cepat, suaranya menggema di telinga. Keringat dingin mulai membasahi dahi. Namun, ia tahu bahwa ini adalah keputusan yang harus ia buat.
Ketika gagang pintu itu disentuh, suara berderak terdengar, dan dengan perlahan, pintu itu mulai terbuka, menampakkan ruang yang lebih gelap dari sebelumnya. Sebuah koridor panjang dengan dinding yang dipenuhi gambar-gambar yang terkesan bergerak, mengundang Alistair untuk melangkah lebih jauh.
Isolde berdiri di belakangnya, matanya penuh perhatian, namun tidak ada kata-kata yang terucap. Alistair melangkah masuk ke dalam koridor itu, langkah kakinya terasa semakin berat setiap detik yang berlalu. Gambar-gambar di dinding mulai memudar, kemudian menjadi lebih jelas. Alistair terpana ketika melihat wajah-wajah yang familiar muncul di setiap sisi dinding—wajah-wajah orang yang pernah dia kenal. Keluarganya. Teman-teman. Mereka semua tampak mengingatkannya pada sesuatu yang telah ia lupakan.
Dia melangkah lebih jauh, dan bayang-bayang mulai bergerak lebih cepat, seolah mengikuti langkahnya. Ketika ia mendekati sebuah gambar besar yang terletak di ujung koridor, ia melihat sebuah cermin besar yang memantulkan wajahnya. Wajahnya terlihat lebih muda, namun ada sesuatu yang sangat asing di matanya. Sesuatu yang tak bisa ia kenali.
Tiba-tiba, wajah di cermin itu berubah. Mata Alistair terbelalak, dan seiring dengan perubahan itu, bayang-bayang mulai menyelamatkannya. Cermin itu menampilkan bukan hanya dirinya saja, namun juga bayang-bayang gelap yang berputar di sekelilingnya. Suara bisikan terdengar dari segala arah, mencaci, mengingatkan, dan menuntut.
“Kamu bukan siapa-siapa,” suara itu terdengar, serak dan bergetar. “Kamu adalah bagian dari masa lalu yang tak ingin kamu hadapi. Kamu tidak bisa melarikan diri dariku.”
Alistair terhuyung mundur, mencoba menahan diri. Ia ingin lari, namun kakinya terasa tertanam di dalam tanah. Dalam cermin itu, dia melihat bukan hanya bayang-bayangnya, tetapi juga kenangan-kenangan yang ia coba hindari—kenangan akan menjadi kenangan, kesalahan, dan ketidakberdayaannya. Ia melihat dirinya dahulu, seseorang yang melarikan diri dari kenyataan, menyembunyikan rasa takut dan rasa bersalahnya.
Mata Alistair mulai berair, dan ia merasakan rasa sakit yang sangat dalam. Kenangan-kenangan yang terkubur dalam dirinya akhirnya muncul ke permukaan, dan dia tidak bisa menahan air mata yang mulai mengalir. Kenapa dia tidak bisa mengingat siapa dirinya? Apa yang telah dia lakukan untuk memotret dirinya sendiri hingga terjebak di tempat ini?
“Tidak!” teriak Alistair, mencoba menepis bayang-bayang itu, namun semakin ia melawan, semakin mereka mendekat. “Aku tidak ingin menjadi seperti ini.”
Namun, suara dalam bayang-bayang itu hanya tertawa, lebih keras dan lebih menakutkan. “Kamu tidak bisa lari, Alistair. Kamu adalah bagian dari masa lalu ini, bagian dari kegelapan yang akan selalu mengikuti. Kamu tidak bisa melarikan diri darinya.”
Alistair jatuh tersungkur di lantai, tak bisa lagi menahan beban yang begitu berat. Ia merasa seperti ada yang mencekiknya, menekannya lebih dalam ke dalam kegelapan. Namun, di tengah kegelapan itu, dia mendengar suara Isolde memanggil namanya dengan lembut.
“Alistair,” suara itu terdengar lebih jelas, lebih dekat. “Ingatlah, kegelapan bukanlah akhir. Itu adalah bagian dari perjalanan.”
Isolde muncul di tempatnya, melihatnya dengan penuh pengertian. Dengan tangannya yang lembut, ia membantu Alistair bangkit. “Kamu bisa melaluinya. Kamu bisa menghadapinya.”
Alistair mengangkat wajahnya, melihat ke dalam mata Isolde yang penuh keberanian. Di balik ketakutannya, ada secercah cahaya yang mulai bersinar. Perlahan-lahan, ia mengangkat tangannya dan memegang cermin itu. Dengan kekuatan yang baru ditemukan, ia berbicara dengan suara yang lebih pasti, “Aku tidak akan lagi melarikan diri.”
Cermin itu bergetar, dan bayang-bayang yang melingkupinya mulai memudar. Perlahan, gambar-gambar di sekitarnya berubah, menjadi lebih cerah. Alistair merasa tubuhnya menjadi lebih ringan, dan bayang-bayang yang menakutkan itu perlahan menghilang, digantikan dengan cahaya yang mulai mewakili ruang itu.
Ketika semuanya selesai, Alistair merasa sesuatu yang besar telah berubah dalam dirinya. Bayang-bayangnya yang dulu mengerikan kini hanya menjadi kenangan yang bisa ia hadapi. Ia tidak lagi terperangkap dalam kegelapan masa lalu. Ia telah menghadapinya, dan kini ia bebas.
Isolde tersenyum pada Alistair, mata mereka bertemu dengan penuh pemahaman. “Kamu berhasil,” katanya dengan lembut. “Sekarang kamu bisa pergi.”
Alistair mengangguk, merasakan kelegaan yang tak terucapkan. Dia tahu bahwa perjalanan ini belum berakhir, tetapi dia telah menemukan kekuatan untuk melanjutkan. Dengan satu langkah maju, ia melangkah keluar dari ruang itu, meninggalkan masa lalunya di belakang. Kini, dia tahu—pintu yang terbuka bukanlah akhir, tetapi awal dari perjalanan baru.
Kota itu, yang dulu terasa begitu menakutkan dan penuh misteri, kini terlihat berbeda. Meskipun kabut masih membuat jalan keluar, Alistair tahu bahwa ia telah menemukan cahaya yang akan membimbingnya keluar.***
TAMAT.