Bab 1: Kedatangan di Kota
Hujan turun tipis saat kereta tua berhenti di peron terakhir Stasiun Timur. Kabut dari cerobong dan uap air dari rel mengaburkan pandangan, membuat segalanya tampak seperti mimpi buruk yang belum berakhir. Raka turun perlahan, mantel hitam panjangnya terseret air hujan yang menggenang. Tidak ada yang menyambutnya. Tidak ada yang tahu dia kembali.
Kota ini pernah menjadi rumahnya—tempat tumbuh, berjuang, dan kehilangan. Sekarang, yang tersisa hanyalah bangunan setengah runtuh, mural jalanan dengan simbol faksi, dan suara tembakan jauh di kejauhan yang tak lagi membuat siapa pun terkejut.
Kota Tanpa Hukum.
Itulah julukan yang melekat setelah keruntuhan pemerintahan lokal lima tahun lalu. Kepolisian bubar karena korupsi. Pengadilan dikuasai oleh tiga kekuatan: Kobra Hitam, Singa Timur, dan Bayangan Tembaga. Mereka mengatur wilayah masing-masing layaknya negara kecil dengan hukum buatan sendiri.
Raka menyusuri gang sempit menuju kawasan barat—zona netral yang nyaris tanpa kehidupan. Di sanalah tempat terakhir adiknya, Lila, terlihat beberapa minggu lalu. Gadis itu hilang tanpa jejak. Dan tak ada yang peduli.
“Masih hidup di kota ini, Rak?”
Suara serak menyapanya dari balik kios rokok tua. Di dalamnya duduk pria gemuk bermata tajam. Darto, seorang informan lama, yang sekarang lebih mirip hantu yang tak bisa mati.
“Baru tiba.” Raka menjawab pendek, matanya tetap awas.
“Kau kembali untuk gadis itu?”
“Ya. Kau dengar sesuatu?”
Darto tertawa kecil, suara parau bercampur dengan batuk. Ia merogoh kantong plastik di bawah bangku dan mengeluarkan selembar foto buram.
“Lila terlihat di wilayah Kobra dua minggu lalu. Ada yang bilang dia kerja di bar bawah tanah dekat Jembatan Besi. Tapi kau tahu sendiri, tempat itu bukan cuma bar.”
Raka mengamati foto itu—Lila tampak pucat, berdiri di sudut jalan dengan jaket usang. Tatapannya kosong. Bukan seperti gadis yang ia tinggalkan dulu.
“Kenapa kau bantu aku?” tanya Raka.
“Aku utang satu nyawa padamu. Dan lagipula… Aku benci Kobra.” Darto menyeringai, lalu menyulut rokok.
Malam mulai turun. Kota berubah saat gelap datang—lampu neon menyala hanya di wilayah yang mampu membayar faksi, sisanya tenggelam dalam bayangan.
Raka menyewa kamar sempit di lantai tiga sebuah bangunan terbengkalai. Jendelanya menghadap langsung ke zona perbatasan Kobra Hitam. Ia duduk di kursi reyot, membuka ranselnya, dan mengeluarkan senjata kecil yang dibungkus kain. Senapan pendek, buatan lama, tapi masih akurat. Senjata tanpa nomor seri, tanpa sejarah, cocok untuk kota yang juga membuang identitas.
Ia menatap cermin retak di depannya. Wajah itu sudah banyak berubah—berjenggot, luka samar di pelipis kiri, mata lelah. Tapi yang paling jelas, adalah kemarahan yang ia tahan selama bertahun-tahun. Kemarahan yang kini perlahan kembali hidup.
Saat malam larut, suara tembakan terdengar dari kejauhan. Raka tak bergeming. Ia tahu itu hanya “pembersihan malam”—satu metode klasik Kobra Hitam menyingkirkan siapa pun yang tak membayar perlindungan.
Tiba-tiba terdengar ketukan tiga kali di pintu. Lembut, tapi jelas. Raka mengangkat senjatanya pelan, lalu mengintip melalui lubang kecil di kayu lapuk.
Seorang perempuan berdiri di luar. Tubuhnya kurus, jaket hitam lusuh, wajah penuh luka lama. Tapi matanya—tajam seperti pisau.
“Tara,” gumam Raka.
Dia tak pernah menyangka akan melihatnya lagi. Mantan kekasih. Mantan polisi. Satu-satunya orang yang tahu betapa rusaknya kota ini dari dalam.
“Kau bikin banyak orang gugup, Rak,” katanya tanpa basa-basi.
“Baru dua jam kau datang, dan tiga mata-mata sudah kirim nama ke markas Kobra.”
“Aku bukan datang untuk mereka.”
“Tapi kau akan melawan mereka.”
Tara menatapnya dalam, lalu masuk tanpa diundang.
“Kalau kau mau cari adikmu, kau harus lebih cepat dari mereka yang juga mencarinya.” Ia membuka peta lusuh dari sakunya, menandai titik-titik merah.
“Kobra tidak simpan orang. Mereka jual. Dan Lila bukan satu-satunya gadis yang hilang.”
Di luar, suara sirene tua meraung samar. Kota tetap hidup—bukan karena ada hukum, tapi karena semua orang takut. Raka tahu, ia tak bisa menyelamatkan kota ini. Tapi ia bisa membakar akar busuknya satu per satu, sampai tak ada yang tersisa.
Dan malam ini, semuanya baru dimulai.
Bab 2: Jejak Lama
Hujan reda menjelang fajar. Kabut tipis menggantung di antara gang-gang sempit dan reruntuhan toko yang pernah ramai. Kota mulai bernafas kembali, tapi bukan dengan kehidupan—melainkan kebiasaan. Warga keluar tanpa suara, menunduk, menghindari tatapan. Mereka sudah terbiasa dengan bayang-bayang.
Raka dan Tara berjalan menyusuri jalan belakang pasar lama. Bekas pasar itu sekarang jadi wilayah bebas yang dipenuhi orang buangan, pengemis, pecandu, dan pelarian dari ketiga faksi.
“Lila terlihat terakhir kali di sini?” Raka bertanya, suaranya pelan.
Tara mengangguk. “Dua minggu lalu. Seorang penjaga pintu di klub bawah tanah bilang melihat gadis yang cocok dengan deskripsi adikmu. Tapi tempat itu bukan milik Kobra secara langsung—dikelola oleh broker.”
“Namanya?”
“Kiel.” Tara menatap lurus ke depan. “Bekas pengusaha teknologi yang jatuh miskin pasca kudeta. Sekarang dia jadi penghubung barang dan orang. Termasuk… perempuan muda yang ‘hilang’.”
Raka mengepalkan tangannya, jari-jarinya retak pelan. Bukan karena dingin, tapi karena ingatan. Lila tidak pantas berada di dunia ini. Ia seharusnya kuliah. Menari. Menjadi apa pun, kecuali salah satu dari ‘barang’ yang diperdagangkan di bawah tanah.
Mereka sampai di sebuah bangunan tua berlantai tiga, dindingnya ditumbuhi tanaman liar dan grafiti berbentuk ular bersayap. Pintu besi di depan dijaga dua pria bersenjata ringan, mengenakan jas panjang dan kacamata hitam. Satu dari mereka menyalakan rokok sambil menatap Raka.
“Apa kau yakin bisa masuk dengan cara ini?” tanya Tara, suaranya nyaris berbisik.
Raka menghela napas. “Aku tak datang untuk bicara sopan.”
Ia melangkah maju tanpa ragu. Penjaga pertama langsung mengangkat tangan.
“Tempat ini tertutup, teman. Kecuali kau punya undangan.”
“Aku punya sesuatu yang lebih baik,” jawab Raka, sebelum siku kanannya menghantam wajah pria itu. Dentuman keras terdengar saat tubuh penjaga jatuh menghantam pintu. Yang satu lagi sempat merogoh senjata, tapi Tara bergerak lebih cepat—pistol kecil di tangan kanannya menyentuh dagu pria itu sebelum dia bisa berpikir dua kali.
“Jangan teriak,” bisik Tara. “Atau kami buat tempat ini benar-benar sepi.”
Di dalam, tempat itu gelap dan bau alkohol basi bercampur asap. Musik pelan berdentum dari bawah—lantai dua adalah klub, lantai dasar gudang penyimpanan. Raka menuruni tangga menuju ruangan bawah tanah, di mana Kiel biasa beroperasi.
Lampu merah redup menyinari ruangan berisi kotak-kotak logam dan beberapa laptop tua. Di tengah, duduk seorang pria bertubuh kurus mengenakan pakaian rapi yang jelas sudah kedaluwarsa gaya dan kelasnya. Rambutnya rapi, tapi mata sayunya menunjukkan insomnia dan paranoia.
**”Kau bukan pelanggan,” katanya tenang. “Dan aku tak kenal kalian.”
**”Lila,” jawab Raka pendek. “Gadis 17 tahun. Rambut hitam, kulit terang, tinggi sekitar 160. Dua minggu lalu di tempat ini.”
Kiel mengedip, tak menjawab. Raka mendekat perlahan.
“Aku tak suka mengulang pertanyaan. Dan aku lebih tak suka orang yang menjual manusia.”
Kiel mengangkat tangannya cepat. “Dengar—aku tak menjual siapa pun. Aku hanya penghubung. Dan kalau benar dia adikmu, lebih baik kau cepat. Dia diambil.”
“Diambil?” Tara menyela. “Oleh siapa?”
“Faksi Bayangan Tembaga. Mereka tak seperti Kobra. Mereka senyap, bergerak lewat sistem. Merekrut orang pintar, muda, atau yang… bisa dikendalikan. Lila punya sesuatu yang mereka mau.”
Raka menegang. “Apa maksudmu?”
Kiel menelan ludah. “Gadis itu… dia pintar. Mereka bilang dia mantan siswa beasiswa teknik. Mereka butuh otak seperti itu. Untuk proyek mereka. Aku tak tahu banyak—aku cuma diberi bayaran untuk memberitahu lokasinya, dan sekarang dia tak lagi di sini.”
Raka melangkah mendekat, dan untuk sesaat Kiel terlihat panik. Tapi pria itu tahu ia tak berbohong. Ketakutannya nyata.
“Di mana markas Bayangan Tembaga sekarang?”
“Bukan markas—lab. Mereka pindah dari pusat kota. Sekarang mereka ada di zona terlarang barat. Di bawah kompleks penyulingan tua.”
Di luar, suara langkah-langkah keras mulai terdengar—penjaga yang sadar. Raka dan Tara bergerak cepat, meninggalkan Kiel dan menghilang ke gang belakang sebelum bala bantuan datang.
Mereka berlari melewati jalan-jalan kosong, menyatu dengan kabut pagi. Ketika mereka akhirnya berhenti, napas mereka terengah, tapi kepala mereka dipenuhi satu hal:
Lila masih hidup. Tapi tidak lama lagi kalau mereka terlambat.
Dan jika Bayangan Tembaga benar-benar mengendalikan bagian terdalam dari kota ini, maka apa pun yang terjadi selanjutnya… akan jauh lebih berbahaya dari yang pernah Raka hadapi.
Bab 3: Pertemuan di Balik Gudang
Udara sore terasa lebih berat di zona barat kota. Matahari tertutup awan kelabu, dan kabut dari cerobong-cerobong tua menyebar seperti racun yang tak terlihat. Di sinilah ujung kekuasaan hukum pernah berakhir—dan awal dari kekacauan dimulai.
Gudang tua di tepi rel kereta mati jadi titik pertemuan Raka dan seseorang yang katanya punya informasi soal Bayangan Tembaga. Nama kontak itu hanya disebut: “Rama.” Tak ada wajah, tak ada latar belakang. Hanya satu pesan singkat dari Darto: “Kalau kau ingin tahu soal Lila, cari Rama. Tapi jangan percaya sepenuhnya.”
Raka berdiri di balik tumpukan kontainer kosong. Tara tak bersamanya kali ini. Ia menyusup ke zona barat dari jalur lain, memantau dari jauh lewat drone kecil seukuran jari yang melayang di atas mereka.
“Satu sosok mendekat,” suara Tara terdengar dari alat komunikasi di telinga Raka. “Tinggi kira-kira 180. Sendirian. Tapi bisa jadi umpan.”
Raka mengangguk kecil, tetap diam. Tangan kanannya menggenggam pisau pendek tersembunyi di balik jaket. Langkah kaki itu berhenti sekitar lima meter di depannya.
Sosok itu muncul perlahan dari balik bayangan. Rambut gondrong sebahu, jaket jeans robek, dan mata seperti orang yang tidak tidur selama seminggu. Tapi cara dia berdiri—tegak, tenang, siap—bukan orang biasa.
“Raka.” Suaranya datar, berat. “Aku Rama. Dan kau sudah buat banyak orang penting tidak tenang.”
“Aku bukan cari masalah,” jawab Raka. “Aku cari adikku.”
Rama mengangguk pelan, lalu berjalan ke samping kontainer dan duduk di atas peti besi. “Adikmu salah langkah. Atau mungkin terlalu pintar untuk kota seperti ini.”
“Kau tahu di mana dia?”
“Pernah tahu. Sekarang… hanya bisa beri arah.” Rama mengeluarkan satu potong chip data kecil dari saku dalam jaketnya. Ia melemparkannya ke arah Raka, yang menangkapnya dengan cepat.
“Apa ini?”
“Rekaman dari kamera internal di salah satu titik transit Bayangan Tembaga. Hari ketiga setelah Lila diambil.”
Raka memeriksa chip itu cepat dengan alat portabel kecil. Video pendek. Buram. Tapi cukup jelas menunjukkan Lila—dibawa masuk ke ruang putih steril, dikelilingi orang berseragam hitam. Di tangannya ada luka. Di matanya—takut, tapi tidak menyerah.
“Di mana ini?”
“Kompleks Penjernihan 09. Bawah tanah. Sudah tak dipakai lebih dari satu dekade, tapi sekarang mereka hidupkan lagi. Kecil kemungkinan bisa tembus dari atas. Mereka pasang sensor di setiap ventilasi.”
“Kenapa kau bantu aku?”
Rama tertawa kecil, dingin. “Karena aku juga punya saudara yang tak kembali dari tempat itu. Dan karena kadang… dendam lebih jujur daripada uang.”
Sebelum Raka bisa bertanya lebih jauh, suara tembakan mendadak meledak dari arah timur. Peluru menghantam kontainer di dekat mereka—percikan api dan suara logam memekakkan telinga.
“Mereka tahu kau di sini!” teriak Tara lewat alat komunikasi. “Setidaknya tiga orang dari arah atas rel, dua dari arah barat!”
Raka dan Rama langsung berlindung. Rama menarik pistol dari balik pinggang, melempar satu granat asap kecil, dan menembak balik sambil bergerak cepat.
Raka meluncur ke arah kanan, bersembunyi di balik pilar beton. Tembakan beruntun terdengar dari arah atap gudang. Mereka disergap dari atas.
“Kobra?” tanya Raka.
“Bukan,” jawab Rama. “Bayangan Tembaga. Mereka tak suka informan bocor.”
Satu dari penyerang melompat turun ke tanah—berpakaian serba hitam dengan masker tanpa lencana, gerakannya cepat dan presisi. Raka mengayunkan pisau saat musuh mendekat. Mereka bertarung dalam jarak dekat, pisau dan tangan kosong. Tapi Raka lebih berpengalaman. Satu gerakan putar, dan pisaunya menancap di sisi leher musuh.
“Satu turun,” lapor Raka ke Tara. “Tapi masih ada dua dari barat.”
Tara menjawab cepat. “Aku ganggu jaringan mereka. Aku beri jendela 30 detik sebelum drone milik Bayangan tiba.”
“Cukup,” gumam Raka. “Kami pergi.”
Rama melempar satu suar ke arah musuh yang tersisa—menyilaukan, cukup untuk memberi celah kabur. Mereka berlari ke arah kanal tua yang mengarah ke gorong-gorong. Tanpa banyak bicara, mereka lenyap di dalam gelap.
Di dalam lorong kotor dan lembab, Raka akhirnya berbicara lagi.
“Terima kasih. Tapi ini belum selesai.”
Rama mengangguk. “Belum. Dan kau akan butuh lebih dari sekadar senjata kalau ingin masuk ke lab mereka.”
“Aku tidak datang hanya dengan senjata.”
Raka menatap ke kejauhan lorong gelap, wajahnya tanpa ragu.
“Aku datang dengan alasan.”
Dan itu lebih berbahaya dari peluru mana pun.
Bab 4: Polisi Bayangan
Angin malam membawa aroma logam dan debu dari reruntuhan pabrik di zona utara. Tara berdiri di atap sebuah bangunan tua, menatap ke arah pusat kota yang gemerlap dari kejauhan. Perbedaan antara cahaya dan bayangan begitu mencolok di kota ini—dan semua yang ada di tengahnya dianggap abu-abu. Termasuk dia.
Di balik punggungnya, sebuah siluet muncul. Seorang pria dengan jas panjang hitam dan sepatu bot tentara. Wajahnya setengah tertutup topi dan masker. Tapi Tara langsung tahu siapa dia.
“Kau datang lebih cepat dari yang kuduga, Galen.”
“Karena kau kirim sinyal yang tak seharusnya dikirim,” jawab Galen dengan suara dingin. “Kau tahu Bayangan Tembaga bisa melacak drone milik kami jika terus digunakan di zona barat.”
“Aku tak peduli,” balas Tara. “Mereka punya seseorang yang harus diselamatkan.”
Galen menatapnya, diam beberapa detik. “Masih soal adik laki-laki itu?”
“Adik perempuan,” koreksi Tara cepat. “Dan ini lebih dari sekadar keluarga. Ini soal sistem yang kita biarkan tumbuh, Galen. Kota ini sakit. Dan kita cuma mengawasi dari balik tirai.”
Galen melangkah lebih dekat, menurunkan maskernya. Bekas luka tipis di rahangnya jadi lebih jelas. “Kau pernah jadi bagian dari sistem ini, Tara. Polisi Bayangan bukan sekadar pengamat. Kita pencegah. Kita penyeimbang. Kita—”
“—kita pengecut,” potong Tara. “Kita sembunyi di balik etika sambil membiarkan orang-orang tak bersalah dijual, disiksa, dan dipakai untuk eksperimen.”
Galen menatapnya lama, lalu menunduk. Ia mengeluarkan sebuah chip kecil dari saku dalamnya dan memberikannya pada Tara.
“Ini semua informasi yang kami miliki tentang fasilitas Bayangan Tembaga di kompleks Penjernihan 09. Skema lorong, jadwal patroli, dan nama salah satu dokter yang bekerja di dalam. Tapi ini bukan lisensi untuk balas dendam, Tara.”
Tara menggenggam chip itu erat. “Terima kasih.”
“Dan satu hal lagi.” Galen menarik napas. “Ada seseorang dari pihak mereka yang mencoba keluar. Seorang mantan teknisi. Namanya Kaia. Dia tahu tentang eksperimen yang melibatkan… anak-anak muda. Jika dia masih hidup, dia kunci.”
“Di mana dia?”
“Kami kehilangan jejaknya dua hari lalu. Terakhir terlihat di stasiun air tua dekat jembatan runtuh.”
Tara menyimpan chip ke kantung dalam jaketnya. Ia berbalik, tapi sebelum pergi, Galen menahan lengannya.
“Kau tahu apa risikonya. Jika kau tembus terlalu dalam, tak akan ada yang bisa menarikmu kembali.”
Tara menatapnya tajam.
“Aku tidak minta ditarik kembali, Galen. Aku ingin membuat mereka jatuh.”
Sementara itu, Raka kembali ke tempat persembunyian yang kini ia gunakan bersama Rama. Sebuah ruangan sempit di lantai atas gedung apartemen terbengkalai, dengan jendela yang ditutupi kain dan meja darurat penuh kabel serta peta.
Rama sedang memeriksa senapan yang baru ia rakit ketika Raka masuk.
“Bagaimana kabar pencarianmu?” tanya Rama tanpa menoleh.
“Tara punya koneksi dalam sistem. Dia dapat data jalur akses ke lab,” jawab Raka. “Tapi masih perlu tahu bagaimana cara masuk tanpa membuat semua orang di tempat itu tewas.”
“Masih berpikir soal keselamatan?” Rama menatapnya kini, sedikit sinis. “Kau terlalu baik untuk kota ini.”
“Bukan soal baik. Soal benar,” balas Raka. “Kalau kita masuk dan membantai semuanya, kita tak jauh beda dari mereka.”
Rama diam. Lalu mengangguk kecil.
“Besok malam. Kita susup lewat saluran air tua di belakang pabrik semen. Itu satu-satunya akses yang tak terpantau penuh.”
“Dan Kaia?”
“Tara akan coba temukan dia lebih dulu. Kalau dia bisa bantu, kita punya lebih dari sekadar peluang—kita punya kunci.”
Di sisi lain kota, di bawah jembatan yang separuh ambruk dan dihuni para gelandangan, Tara menyelinap diam-diam. Di tangannya, pemindai panas menangkap sinyal tubuh manusia—lemah, tapi masih hidup.
Di sudut gelap, tubuh perempuan muda tergeletak. Luka di tangan, pakaian robek, dan wajah pucat. Tapi matanya membuka perlahan saat Tara mendekat.
“Kaia?”
Perempuan itu mengangguk lemah.
“Aku… mereka tahu aku kabur… aku bawa data… chip di bawah tulang selangka…”
Sebelum Kaia bisa berkata lebih jauh, suara mesin drone terdengar mendekat.
Tara segera menarik Kaia ke balik dinding dan menyiapkan pistol. Tapi sebelum menembak, drone itu justru berhenti… dan menyorot mereka. Bukan dengan senjata, tapi… kamera.
“Mereka tahu kita di sini,” bisik Tara. “Kita kehabisan waktu.”
Ia mengangkat Kaia dan mulai berlari. Hujan turun lagi. Kota seperti menangis diam-diam.
Dan dalam bayang-bayang itu, para pemburu mulai bergerak.
Bab 5: Rasa yang Belum Mati
Langit mendung meneteskan gerimis yang lambat, seolah-olah kota ingin menangis tapi sudah terlalu lelah. Di sebuah ruangan kecil di atas bar tua yang sudah tidak beroperasi, Tara membersihkan luka di lengan Kaia. Cahaya redup dari lampu portabel memantulkan bayangan samar di dinding yang mengelupas. Hanya suara napas dan bunyi hujan di atap seng menemani mereka.
Kaia, meski tubuhnya masih lemah, menatap Tara dalam-dalam. “Kau bukan bagian dari mereka.”
“Siapa?” tanya Tara, tanpa melihat wajahnya. Ia sibuk menempelkan perban.
“Bayangan Tembaga. Atau pemerintah. Atau sistem. Kau… berbeda.”
Tara menghela napas. Tangannya sedikit gemetar, tapi cepat dia sembunyikan.
“Aku pernah jadi bagian dari sistem itu,” jawabnya pelan. “Tapi aku belajar bahwa sistem tak peduli siapa yang hancur asal tujuannya tercapai.”
Kaia menelan ludah. Wajahnya pucat, tapi matanya masih hidup. “Itu sebabnya kau bantu Raka?”
Tara diam sejenak. Nama itu—Raka—mengguncang sesuatu dalam dirinya. Sesuatu yang berusaha dia kubur sejak hari mereka pertama kali bertemu.
“Raka…” Ia berhenti sejenak. “Dia keras kepala. Kadang bodoh. Tapi dia punya hati yang terlalu besar untuk kota ini. Dan… dia mengingatkanku akan sesuatu yang sudah lama aku lupakan.”
“Apa?”
Tara menatap Kaia sejenak, lalu menjawab lirih.
“Harapan.”
Sementara itu, Raka berdiri sendirian di lorong tua stasiun air, menatap jalur besi yang berkarat. Di tangannya, selembar foto lusuh—wajah Lila masih remaja, senyum kecilnya lekat di benaknya.
Rama datang dari belakang, membawa dua ransel dan satu pemindai panas portabel.
“Tara kirim pesan. Kaia selamat. Tapi dia masih trauma.”
“Apa dia bicara?” tanya Raka.
“Sedikit. Dia bilang, di dalam lab itu, mereka pakai teknologi penekan memori. Tapi Lila masih sadar waktu terakhir dia lihat.”
Raka mengepalkan tangan.
“Kau harus siap, Raka,” kata Rama hati-hati. “Orang yang kau temukan nanti… mungkin bukan lagi adik yang kau kenal.”
“Aku tahu,” jawab Raka pelan. “Tapi selama napasnya masih ada, aku akan percaya. Bahkan jika dia tak ingat aku, aku akan ingat dia.”
Malam menjelang. Tara berdiri di atap bar itu, sendirian. Ia menatap ke arah lampu kota yang gemerlap di kejauhan. Tiba-tiba, langkah kaki terdengar. Ia tahu itu Raka bahkan sebelum menoleh.
“Kau datang,” katanya.
**“Kau panggil,” jawab Raka.
Tara tersenyum tipis, pertama kalinya sejak lama. Tapi senyum itu tak lama.
“Kaia bilang sesuatu yang mengganggu,” kata Tara. “Mereka tak hanya eksperimenkan ingatan. Mereka juga memanipulasi emosi.”
“Maksudmu?”
“Mereka menciptakan ‘agen’ yang bisa patuh sepenuhnya. Bukan hanya lupa siapa mereka, tapi kehilangan rasa cinta, marah, takut. Mereka jadi senjata—tanpa rasa.”
Raka menatap tanah, lalu bertanya pelan.
“Kalau Lila… sudah jadi seperti itu?”
Tara menoleh ke arahnya. Matanya menajam. Tapi nada suaranya lembut.
“Maka satu-satunya hal yang bisa menyelamatkannya… adalah rasa yang belum mati.”
Keheningan menyelimuti mereka beberapa detik. Hanya angin malam dan bunyi jauh peluit kereta tua yang menemani.
**“Tara,” kata Raka, “Kalau aku tak keluar dari operasi ini—jangan buang hidupmu untuk balas dendam.”
Tara menatapnya tajam. “Jangan bicara seolah kau akan mati, Raka.”
“Kota ini selalu ambil yang paling aku sayang.” Raka menelan ludah. “Ayahku, ibuku, lalu Lila. Aku tak ingin ambil risiko kehilangan seseorang lagi.”
Tara menatapnya lama, lalu mendekat. Ia menyentuh dada Raka, tepat di atas jantungnya.
“Selama yang di sini masih berdetak, kau belum kalah.”
Untuk sesaat, tak ada perang. Tak ada misi. Tak ada strategi. Hanya dua jiwa yang sama-sama lelah, saling diam, tapi penuh perasaan yang belum sempat diucapkan.
“Raka…”
“Ya?”
“Kalau kita keluar dari semua ini hidup-hidup… mungkin kita bisa mulai dari awal.”
Raka menatap matanya, dalam dan tenang.
“Kalau kita bisa menyelamatkan Lila… aku akan percaya pada awal yang baru.”
Dan saat itu juga, mereka tahu: misi ini bukan hanya penyusupan. Bukan hanya perang. Ini tentang menemukan kembali hal yang paling manusiawi—cinta, harapan, dan rasa yang belum mati di dunia yang telah hilang akal.
Bab 6: Operasi Pertama
Hujan turun deras malam itu. Seolah-olah langit ingin mencuci bersih dosa yang selama ini disembunyikan kota. Di sebuah lorong sempit yang hanya bisa diakses lewat saluran air belakang pabrik semen tua, Tara, Raka, Rama, dan Kaia bersiap.
Kaia mengenakan jaket lapis baja tipis dan headset komunikasi. Meski wajahnya masih tampak pucat dan bekas luka belum benar-benar sembuh, tekad di matanya sudah kembali.
“Ada tiga jalur masuk,” bisik Kaia sambil menunjuk layar hologram kecil yang diproyeksikan dari gelang pintarnya. “Dua dikawal drone bersenjata. Satu lagi tak aktif karena runtuhan… tapi bisa ditembus dari saluran air bawah tanah.”
Rama memeriksa senapan kecil miliknya—modifikasi khusus dengan peluru listrik yang bisa melumpuhkan musuh tanpa membunuh.
“Kita bukan pasukan penuh. Kita bayangan. Masuk diam, keluar cepat.”
“Kalau bisa keluar,” gumam Tara.
Raka menatap wajah-wajah di sekitarnya. Dulu, dia hanya pemuda biasa yang ingin menyelamatkan adik perempuannya. Sekarang, dia berdiri di ambang zona berbahaya, bersama orang-orang yang menaruh nyawa mereka demi misi ini. Bukan untuk uang. Bukan untuk kehormatan. Tapi karena mereka sudah muak dengan keheningan.
“Kita mulai sekarang,” bisik Raka. “Langkah pertama: selamatkan Lila. Langkah kedua: keluarkan data eksperimen mereka.”
Dan mereka pun masuk.
Saluran air di bawah tanah itu sempit dan licin. Bau logam dan jamur memenuhi udara. Raka merayap di depan, lampu kecil di helmnya menyinari jalanan berlumpur dan dinding bata tua. Sesekali mereka harus berhenti karena suara mesin berat menggema dari atas kepala—patroli drone atau generator besar dari fasilitas.
“Lima menit lagi ke pintu servis,” ujar Kaia lewat komunikasi internal. “Kalau data di sistemku masih akurat, mereka belum tahu kita masuk.”
Tiba di pintu logam yang nyaris tak terlihat karena tertutup lumut dan karat, Rama menyambungkan alat pembuka kunci. Arus kecil menyala dan suara klik terdengar pelan. Pintu terbuka.
Di baliknya—koridor steril, putih, dengan kamera di setiap sudut.
“Tunggu,” bisik Tara. Ia mengeluarkan sebuah chip kecil dan menempelkannya ke dinding. Kamera-kamera mendadak padam satu per satu.
“Buat mereka tampak normal. Kita tidak pernah lewat sini,” ujarnya.
“Bagaimana kau punya alat kayak gitu?” tanya Rama kagum.
Tara hanya tersenyum samar. “Pernah jadi Polisi Bayangan punya keuntungannya.”
Mereka menyusup lewat lorong teknis menuju sektor 3—lokasi terakhir Lila terlihat. Setiap langkah terasa seperti ketukan jam yang terus menghantui. Di balik kaca besar, mereka melihat ruang eksperimen yang kosong—meja bedah, monitor otak, dan sel transparan dengan alat pembaca emosi.
“Mereka bukan hanya ubah ingatan,” gumam Kaia. “Mereka kalibrasi emosi dengan gelombang kejut. Pasien dipaksa kehilangan rasa secara sistematis.”
Tiba-tiba, suara keras terdengar dari salah satu lorong: Bip! Peringatan deteksi pergerakan tidak teridentifikasi.
“Mereka tahu!” seru Rama.
Alarm tak langsung berbunyi. Tapi lampu berubah menjadi merah redup. Waktu mereka tinggal sedikit.
“Lanjut ke sel utama. Aku tahu jalurnya!” kata Kaia.
Mereka berlari. Tak lama, suara sepatu logam terdengar mendekat. Tiga penjaga dengan senjata otomatis muncul dari sudut lorong. Tapi sebelum mereka bisa menembak, Tara berguling dan melempar alat ke lantai—EMP granade. Ledakan tanpa suara membuat lampu padam, dan sistem senjata penjaga mati sesaat.
Dalam waktu singkat, Rama dan Raka melumpuhkan mereka dengan tembakan pelumpuh. Tubuh-tubuh itu roboh.
“Cepat!”
Mereka tiba di sebuah ruangan dengan dinding transparan. Di dalamnya—seorang gadis muda, duduk diam, mata menatap kosong ke arah lantai.
**“Lila,” bisik Raka.
Tapi gadis itu tidak merespons.
Raka maju perlahan. Ia mengetuk kaca. “Lila… ini aku. Raka. Kakakmu.”
Gadis itu mendongak perlahan. Matanya kosong. Tapi dalam sepersekian detik, pupilnya membesar—seperti ingat sesuatu.
“Raka…” suaranya nyaris tak terdengar. “Kenapa aku… di sini?”
Pintu ruangan terbuka otomatis. Raka berlari masuk, memeluknya. Tubuh Lila dingin, tapi tangannya meremas balik pelan.
Tara mengaktifkan alat untuk unduh data dari server utama. Tapi saat proses baru mencapai 40%, suara sirene meledak. “Deteksi intrusi! Lockdown aktif!”
“Ambil apa yang bisa kau ambil!” teriak Rama.
Tara memutus kabel, membawa separuh data dalam chip kecil. Mereka menarik Lila, yang kini berjalan dengan tubuh lemah, tapi mata yang lebih hidup.
Pintu-pintu tertutup satu per satu di belakang mereka. Drone mulai berdengung di langit-langit. Peluru pertama melesat, menghantam dinding dekat kepala Kaia.
“Lompat!”
Mereka terjun ke saluran pembuangan terakhir, jatuh ke air hitam pekat. Udara dingin menghantam wajah. Tapi mereka selamat. Mereka keluar.
Untuk pertama kalinya, Raka memeluk Lila yang tak hanya hidup—tapi kembali.
Bab 7: Tanda Bahaya
Tiga hari setelah operasi penyelamatan, dunia tak lagi sama bagi Raka dan timnya. Mereka bersembunyi di sebuah bangunan terbengkalai, dulunya kantor arsip pemerintah, kini penuh dengan lumut, debu, dan suara nyaring tikus malam.
Lila duduk di pojok ruangan, memeluk lututnya. Tubuhnya tampak sehat, tapi pikirannya jauh. Sesekali ia menatap jendela kosong tanpa kata. Seolah mencoba memahami kembali siapa dirinya.
Tara memperhatikan dari jauh, matanya tak lepas dari gerakan Lila. Ia telah melihat banyak korban eksperimen sebelumnya, tapi ada sesuatu yang berbeda dari gadis ini. Sesuatu yang… belum runtuh sepenuhnya.
“Kau yakin dia baik-baik saja?” tanya Rama, berdiri di samping Tara.
Tara menggeleng pelan. “Dia selamat. Tapi ‘baik-baik saja’? Belum. Mungkin lama.”
Rama menghela napas. “Dan sekarang kita dicari di lima distrik. Semua drone patroli punya wajah kita.”
Tara membuka tampilan hologram dari chip yang berhasil diselamatkan. Data tentang eksperimen Bayangan Tembaga mulai terurai—satu persatu menunjukkan hasil yang mencengangkan: penghapusan memori selektif, penyusupan ke ingatan palsu, hingga penyaringan emosi untuk menciptakan “agen sempurna.”
“Ini…” gumam Rama. “Ini bisa jatuhin mereka kalau sampai keluar.”
“Ya. Dan itulah yang paling mereka takuti,” ujar Tara. “Kebenaran.”
Di sisi lain kota, Kapten Aldran—komandan operasional Bayangan Tembaga—berdiri di depan layar besar di ruang kendali. Gambar wajah-wajah Tara, Raka, Rama, dan Kaia terpantul jelas.
“Tim mereka kecil. Tapi mereka terlalu dalam. Terlalu dekat,” gumamnya.
Seorang analis di belakangnya berkata, “Kami deteksi sinyal mereka dari Distrik Selatan. Tapi sinyalnya hilang di bawah tanah.”
Aldran menatap tajam. “Kerahkan unit Pelacak. Dan kirim pesan pada ‘Dia.’ Sudah waktunya aktivasi Protokol Bayangan.”
Ruangan itu menjadi dingin mendadak.
Kembali ke tempat persembunyian, Lila mulai berbicara lebih banyak. Tapi ada yang aneh. Ia sering mengulang kalimat yang sama. Atau membeku saat mendengar suara tertentu. Ketika Raka menyentuh pundaknya, ia refleks menjauh dengan sorot mata panik.
“Dia mengalami disonansi memori,” kata Kaia, setelah memeriksa Lila dengan alat portabel. “Sebagian otaknya masih mencoba menyusun ulang fragmen yang dikunci oleh sistem mereka. Tapi…”
“Tapi apa?” desak Raka.
“Tapi ada sesuatu yang tak cocok. Seolah… ada ‘program’ di dalamnya. Seperti—penjaga terakhir.”
Tara menoleh. “Pemicu?”
Kaia mengangguk. “Jika dia dengar kata, suara, atau sinyal tertentu, bisa saja dia kembali ke mode ‘agen.’ Bahkan melawan kita.”
Raka terdiam. Ia menatap adiknya yang tertidur di pojok ruangan. Ia baru saja mendapatkannya kembali—dan sekarang mungkin harus menghadapinya sebagai musuh?
Malam itu, Rama bertugas jaga. Tapi sesuatu terasa… salah.
Ia mendengar langkah. Ringan. Teratur.
Saat ia menoleh, ia melihat sosok Lila berdiri—matanya kosong, tangannya menggenggam alat pemotong kabel yang tajam.
“Lila?”
Tak ada jawaban. Hanya sorot mata yang bukan milik seorang adik—tapi milik prajurit terlatih.
“Lila, ini aku—Rama. Kau kenal aku. Kau selamat karena kami.”
Tiba-tiba, Lila melompat ke arahnya. Gerakannya cepat, presisi, dan mematikan. Rama jatuh tersungkur, pundaknya terluka, tapi berhasil membalikkan tubuh Lila dan menahannya.
Suara gaduh membangunkan yang lain. Tara datang pertama. Ia mengeluarkan jarum suntik penenang dan menyuntikkannya ke leher Lila.
Dalam hitungan detik, Lila tertidur.
“Sial,” bisik Raka. “Apa ini… yang mereka tanamkan padanya?”
“Bukan cuma ingatan yang dihapus,” ujar Kaia pelan. “Mereka tanamkan protokol eksekusi. Lila bisa aktif jadi ‘agen tidur’ kapan saja. Dan sekarang kita tahu… bahwa sinyal pemicunya sudah dikirim.”
Rama bangkit dengan susah payah, menahan sakit. “Artinya mereka tahu kita di mana.”
Tara memandang ke arah luar jendela. Di kejauhan, lampu merah drone patroli melintas di langit malam.
“Kita harus pindah. Sekarang.”
“Dan kalau mereka terus mengaktifkan Lila seperti itu?” tanya Raka dengan suara bergetar.
“Maka kita harus temukan cara untuk membebaskannya sepenuhnya,” kata Tara. “Sebelum dia jadi alat untuk membunuh kita semua.”
Bab 8: Di Balik Topeng
Hujan mengguyur kota tanpa jeda malam itu, seolah ingin menghapus semua jejak langkah yang pernah melewati gang-gang kelamnya. Tim Tara kini berpindah tempat ke ruang bawah tanah bekas stasiun kereta api yang sudah tak beroperasi selama dua dekade. Bau logam karat dan oli basi memenuhi udara. Tapi di sanalah mereka bisa bernapas tanpa merasa diincar setiap detik.
Kaia tengah memeriksa ulang sistem komunikasi mereka—mencari tahu bagaimana sinyal musuh bisa melacak keberadaan mereka sebelumnya. Lila masih tertidur setelah disuntik penenang. Rama duduk bersandar pada dinding dingin, pundaknya dibalut perban tebal.
Raka mondar-mandir di lorong kecil. Pikirannya terus memutar peristiwa semalam. Lila… menyerang Rama? Itu bukan adiknya. Itu bukan Lila yang ia kenal.
Dan sekarang, rasa percaya mulai runtuh satu per satu.
“Dia tidak sadar, Rak,” kata Tara, memecah keheningan. “Itu protokol tertanam. Aku juga pernah melihatnya di mata-mata musuh. Agen tidur. Mereka tidak tahu siapa mereka sebenarnya.”
Raka menatap Tara tajam. “Kau yakin? Atau kau hanya bilang begitu supaya aku tidak mempertanyakan yang lain?”
Tara diam. Tapi tatapannya tidak goyah.
“Kau mulai ragu padaku?”
“Aku ragu pada semua orang saat ini.” Raka menjawab pelan. Tapi nada suaranya tajam. “Ada yang membocorkan lokasi kita kemarin. Sistem Kaia bersih. Komunikasi kita aman. Lalu bagaimana bisa mereka kirim sinyal aktif ke Lila tepat di saat kita sedang aman?”
Rama menimpali, suaranya pelan. “Mungkin ada yang bermain di dua sisi.”
Hening menguasai ruangan.
Kaia menutup panel alatnya dan berdiri. “Aku temukan log aneh dalam jaringan kita. Seseorang mematikan firewall internal selama 47 detik malam sebelum serangan.”
“Siapa?” tanya Tara cepat.
Kaia menatap satu per satu wajah mereka, lalu berkata: “Akses itu menggunakan kredensial milik Rama.”
Semua mata tertuju pada Rama. Pria itu langsung bangkit. **“Itu tidak mungkin! Aku tidak pernah—”
“—Kau satu-satunya yang tidak ada saat sistem dinyalakan kembali,” potong Kaia. “Kami pikir kau di luar mengecek perimeter, tapi…”**
“Aku—” Rama terdiam. Ia sadar bahwa kata-kata tidak cukup. Tidak malam ini.
Raka maju. “Apa kau bagian dari mereka?”
“Tidak!” Rama balas menatap. “Tapi kalau kau lebih suka percaya pada mesin ketimbang teman sendiri, silakan.”
Tara mengangkat tangannya. “Cukup! Kita tak bisa saling tuduh tanpa bukti.” Tapi bahkan suaranya terdengar lelah, nyaris putus asa.
Di ruangan lain, Lila terbangun perlahan. Napasnya berat. Ia menggigit bibirnya saat mencoba duduk. Dalam kepalanya, suara-suara asing berbisik. Seperti gema dari masa lalu yang bukan miliknya. Wajah-wajah tanpa nama. Tangan-tangan berdarah.
Ia menatap tangannya sendiri, lalu memegang lehernya—tempat bekas suntikan masih terasa perih.
**“Aku… bukan aku,” bisiknya.
Tiba-tiba, memori muncul—samar tapi jelas: ruang putih, seseorang berjas hitam berbicara padanya. Wajahnya tak jelas. Tapi kalimatnya tajam seperti belati:**
“Jika mereka menyentuh data, kau tahu apa yang harus dilakukan.”
Tangannya mulai gemetar.
Sementara itu, Tara memeriksa rekaman internal. Satu hal membuatnya tercengang: wajah Rama memang muncul dalam log. Tapi ekspresinya kosong. Matanya kosong. Seperti… orang yang dikendalikan.
Ia mengulang rekaman itu beberapa kali. Kemudian membandingkan dengan rekaman Lila saat menjadi “agen.” Pola gerakan hampir sama. Bahkan pupil mereka membesar dengan ritme yang identik.
“Astaga…” bisik Tara.
Rama tidak mengkhianati mereka. Dia korban berikutnya.
Saat ia kembali ke ruang utama, ia mendapati Raka dan Rama hampir saling pukul. Kaia mencoba menenangkan, tapi ketegangan sudah terlalu tinggi.
“Berhenti!” teriak Tara. “Rama… kau juga dikendalikan. Seperti Lila. Mungkin tidak sesering dia. Tapi sistem itu sudah masuk ke dalammu.”
Rama membeku. Ia menatap tangannya sendiri. Perlahan, ia mulai mengingat sesuatu: malam saat ia tertidur lebih cepat, mimpi aneh tentang lorong-lorong putih, dan rasa dingin di belakang tengkuknya.
“Mereka tanam chip di punggungku?”
Tara mengangguk. “Kita akan keluarkan itu. Tapi sekarang, kita tahu satu hal penting: mereka tak hanya mengontrol dari luar. Mereka sudah masuk ke dalam.”
Di layar yang dibawa Kaia, data baru muncul. Salah satu file yang diselamatkan dari server musuh ternyata berisi nama-nama kode. Bukan hanya korban eksperimen—tapi juga nama agen penyusup.
Dan di antara daftar itu, salah satu nama membuat darah mereka membeku:
“TARA-03.”
Raka menatap Tara dengan wajah bingung dan marah. “Itu nama kode-mu?”
Tara terdiam.
“Jelaskan. Sekarang.”
Bab 10: Tak Ada Jalan Mundur
Tara berdiri di tengah ruangan bawah tanah yang kini diterangi oleh lampu darurat merah menyala. Tangannya masih memegang pistol, diarahkan ke Kaia. Wajahnya tak menunjukkan emosi apa pun. Pandangannya kosong, datar, seperti manusia tanpa jiwa.
“Misi dimulai,” katanya pelan, dengan suara yang bahkan bukan suaranya.
Raka membeku, mencoba membaca situasi secepat mungkin. Jika Tara menarik pelatuk sekarang, segalanya akan runtuh. Tapi ia tahu… itu bukan Tara yang sebenarnya.
“Tara, dengar aku,” katanya perlahan sambil merentangkan tangannya. “Kau bisa melawan ini. Kau pernah melawan mereka sebelumnya.”
Tapi Tara tak bergeming. Ia bahkan melangkah satu langkah lebih dekat ke Kaia, yang berdiri terpaku sambil menggenggam tablet berisi data protokol otak Tara.
“Kau target utama. Informasi di tanganmu mengancam proyek,” ujar Tara dengan nada mekanis. “Hapus atau musnah.”
Rama bergerak cepat. Ia melompat dari belakang dan mencoba menjatuhkan pistol di tangan Tara. Tembakan meletus. Peluru meleset dan menghantam dinding, menciptakan percikan batu dan debu. Rama dan Tara bergumul. Tapi kekuatan Tara, dalam kondisi aktif ini, jauh lebih besar. Ia melempar Rama seperti boneka kain.
“Kaia, bawa data itu dan pergi sekarang!” teriak Raka.
Kaia berlari ke lorong pelarian, tablet di tangan. Raka menarik pisau lipat dari pinggangnya dan menghadang Tara, yang kini mengejar Kaia tanpa ragu.
“Kau harus melewatiku dulu,” katanya tegas.
Tara berhenti. Pandangannya masih kosong, tapi sesuatu di matanya berubah. Sedetik. Setitik keraguan.
“Raka…”
Itu suara Tara. Bukan suara datar yang tadi.
“Kau masih di sana,” bisik Raka. “Kau tahu siapa kami. Siapa aku.”
Tapi kontrol kembali mengambil alih. Tara bergerak cepat, melancarkan pukulan bertubi-tubi. Raka bertahan sebisanya. Tapi setiap serangan seperti dihantam baja.
Di tengah perkelahian, Kaia berhasil mencapai ruang server cadangan. Ia menyalin data ke chip eksternal. Jika sesuatu terjadi padanya, setidaknya data bisa disebar ke luar.
Sementara itu, Rama berdiri terhuyung. Luka-luka lama dan yang baru membuatnya sulit bergerak, tapi ia tak akan diam. Ia mengangkat senjatanya, membidik Tara yang kini hampir menjatuhkan Raka.
**“Jangan paksa aku, Tar,” gumamnya.
“Aku tidak bisa kendalikan ini,” balas Tara cepat, kali ini dengan suara yang nyata. Manusia. Panik. Ketakutan.
Raka, meski darah mengalir dari pelipisnya, masih berdiri. Ia menatap Tara dalam-dalam, lalu berkata:
“Kalau kau masih bisa bicara, itu artinya kau belum sepenuhnya hilang. Kau bukan mereka. Kau bukan boneka. Kau Tara. Pemimpin kami.”
Tubuh Tara mulai bergetar. Tangan yang menggenggam pistol terangkat ke kepalanya sendiri.
“Mereka masih di kepalaku… Tapi aku bisa… aku bisa—”
“Jangan!” teriak Kaia dari kejauhan. “Jangan kau bunuh dirimu! Aku temukan cara nonaktifkan protokol!”
Semua berhenti. Napas tertahan.
Kaia berlari kembali, menunjukkan chip berisi enkripsi pembalik. “Jika kita bisa dorong data ini melalui sistem sarafmu, kau bisa bebas. Tapi kita harus cepat. Sinyal mereka semakin kuat.”
Raka memegang bahu Tara, yang kini sudah kembali sedikit sadar. Matanya berkaca-kaca.
“Kau tidak sendirian.”
Beberapa menit kemudian, Tara duduk di kursi medis darurat. Kaia menancapkan alat ke lehernya. Detik-detik terasa seperti abad.
Sementara itu, suara-suara di radio semakin jelas. Musuh sudah mendekat. Mereka tahu lokasi tim. Jika protokol tak dinonaktifkan sekarang, Tara akan kembali menjadi senjata mereka… atau mati.
Chip aktif. Proses dimulai.
Tara menggigit kain di mulutnya, tubuhnya mulai bergetar hebat. Urat-urat muncul di wajahnya, matanya berganti warna antara hitam dan normal. Raka memegang tangannya erat.
“Aku di sini. Bertahanlah.”
Detik terakhir… dan layar menunjukkan kata:
“PROTOKOL NONAKTIFKAN – SUBJEK BEBAS”
Tara pingsan. Tapi wajahnya tenang. Untuk pertama kalinya… damai.
Di luar, langkah kaki tentara bayaran mulai terdengar. Kaia menarik Raka dan Rama.
“Kita harus pergi. Sekarang.”
Raka mengangkat Tara, dan mereka berlari menyusuri terowongan gelap menuju titik ekstraksi.
Bab 10: Tak Ada Jalan Mundur
Tara berdiri di tengah ruangan bawah tanah yang kini diterangi oleh lampu darurat merah menyala. Tangannya masih memegang pistol, diarahkan ke Kaia. Wajahnya tak menunjukkan emosi apa pun. Pandangannya kosong, datar, seperti manusia tanpa jiwa.
“Misi dimulai,” katanya pelan, dengan suara yang bahkan bukan suaranya.
Raka membeku, mencoba membaca situasi secepat mungkin. Jika Tara menarik pelatuk sekarang, segalanya akan runtuh. Tapi ia tahu… itu bukan Tara yang sebenarnya.
“Tara, dengar aku,” katanya perlahan sambil merentangkan tangannya. “Kau bisa melawan ini. Kau pernah melawan mereka sebelumnya.”
Tapi Tara tak bergeming. Ia bahkan melangkah satu langkah lebih dekat ke Kaia, yang berdiri terpaku sambil menggenggam tablet berisi data protokol otak Tara.
“Kau target utama. Informasi di tanganmu mengancam proyek,” ujar Tara dengan nada mekanis. “Hapus atau musnah.”
Rama bergerak cepat. Ia melompat dari belakang dan mencoba menjatuhkan pistol di tangan Tara. Tembakan meletus. Peluru meleset dan menghantam dinding, menciptakan percikan batu dan debu. Rama dan Tara bergumul. Tapi kekuatan Tara, dalam kondisi aktif ini, jauh lebih besar. Ia melempar Rama seperti boneka kain.
“Kaia, bawa data itu dan pergi sekarang!” teriak Raka.
Kaia berlari ke lorong pelarian, tablet di tangan. Raka menarik pisau lipat dari pinggangnya dan menghadang Tara, yang kini mengejar Kaia tanpa ragu.
“Kau harus melewatiku dulu,” katanya tegas.
Tara berhenti. Pandangannya masih kosong, tapi sesuatu di matanya berubah. Sedetik. Setitik keraguan.
“Raka…”
Itu suara Tara. Bukan suara datar yang tadi.
“Kau masih di sana,” bisik Raka. “Kau tahu siapa kami. Siapa aku.”
Tapi kontrol kembali mengambil alih. Tara bergerak cepat, melancarkan pukulan bertubi-tubi. Raka bertahan sebisanya. Tapi setiap serangan seperti dihantam baja.
Di tengah perkelahian, Kaia berhasil mencapai ruang server cadangan. Ia menyalin data ke chip eksternal. Jika sesuatu terjadi padanya, setidaknya data bisa disebar ke luar.
Sementara itu, Rama berdiri terhuyung. Luka-luka lama dan yang baru membuatnya sulit bergerak, tapi ia tak akan diam. Ia mengangkat senjatanya, membidik Tara yang kini hampir menjatuhkan Raka.
**“Jangan paksa aku, Tar,” gumamnya.
“Aku tidak bisa kendalikan ini,” balas Tara cepat, kali ini dengan suara yang nyata. Manusia. Panik. Ketakutan.
Raka, meski darah mengalir dari pelipisnya, masih berdiri. Ia menatap Tara dalam-dalam, lalu berkata:
“Kalau kau masih bisa bicara, itu artinya kau belum sepenuhnya hilang. Kau bukan mereka. Kau bukan boneka. Kau Tara. Pemimpin kami.”
Tubuh Tara mulai bergetar. Tangan yang menggenggam pistol terangkat ke kepalanya sendiri.
“Mereka masih di kepalaku… Tapi aku bisa… aku bisa—”
“Jangan!” teriak Kaia dari kejauhan. “Jangan kau bunuh dirimu! Aku temukan cara nonaktifkan protokol!”
Semua berhenti. Napas tertahan.
Kaia berlari kembali, menunjukkan chip berisi enkripsi pembalik. “Jika kita bisa dorong data ini melalui sistem sarafmu, kau bisa bebas. Tapi kita harus cepat. Sinyal mereka semakin kuat.”
Raka memegang bahu Tara, yang kini sudah kembali sedikit sadar. Matanya berkaca-kaca.
“Kau tidak sendirian.”
Beberapa menit kemudian, Tara duduk di kursi medis darurat. Kaia menancapkan alat ke lehernya. Detik-detik terasa seperti abad.
Sementara itu, suara-suara di radio semakin jelas. Musuh sudah mendekat. Mereka tahu lokasi tim. Jika protokol tak dinonaktifkan sekarang, Tara akan kembali menjadi senjata mereka… atau mati.
Chip aktif. Proses dimulai.
Tara menggigit kain di mulutnya, tubuhnya mulai bergetar hebat. Urat-urat muncul di wajahnya, matanya berganti warna antara hitam dan normal. Raka memegang tangannya erat.
“Aku di sini. Bertahanlah.”
Detik terakhir… dan layar menunjukkan kata:
“PROTOKOL NONAKTIFKAN – SUBJEK BEBAS”
Tara pingsan. Tapi wajahnya tenang. Untuk pertama kalinya… damai.
Di luar, langkah kaki tentara bayaran mulai terdengar. Kaia menarik Raka dan Rama.
“Kita harus pergi. Sekarang.”
Raka mengangkat Tara, dan mereka berlari menyusuri terowongan gelap menuju titik ekstraksi.
Bab 11: Tiga Kepala Ular
Tiga hari setelah pelarian terakhir mereka, tim bertahan dalam persembunyian sementara di reruntuhan gudang tua di luar batas kota. Luka-luka mulai pulih perlahan, tapi beban mental jauh lebih sulit disembuhkan. Tara masih sering terbangun dari tidur dengan tubuh gemetar, terbayang momen ketika pikirannya bukan miliknya sendiri. Namun kini ia bebas—dan rasa bersalahnya tak terelakkan.
Kaia menyusun ulang data dari chip yang diselamatkannya. Raka dan Rama menjaga perimeter, selalu siaga jika ada drone pengintai yang lewat. Mereka tahu waktu mereka di tempat ini tidak banyak.
Di hadapan layar hologram, Kaia mengangkat kepalanya. “Aku temukan sesuatu.”
Tara dan Raka segera mendekat. Di layar, muncul simbol aneh—seperti tiga kepala ular saling membelit. Di bawahnya ada nama: Triarx Syndicate.
“Apa itu?” tanya Raka, menatap simbol tersebut dengan dahi berkerut.
“Itulah yang mengendalikan semua kekacauan di kota ini,” jawab Kaia. “Bukan hanya satu orang, bukan satu organisasi. Tapi tiga tokoh besar yang bersekutu… dan membagi kota ini menjadi wilayah kekuasaan.”
Ia mengetik cepat, membuka tiga arsip rahasia yang berhasil didekripsi.
Kepala Pertama: Darius Velro
Bos perdagangan senjata gelap. Dia mengontrol pelabuhan, jalur distribusi bawah tanah, dan jaringan penyelundupan dari luar negeri. Darius dikenal sebagai “Pedagang Api”. Ia bukan hanya menjual senjata—ia menciptakan konflik agar barangnya terus laku. Dalam arsip disebutkan bahwa Darius diam-diam menyuplai senjata ke pihak militer korup… termasuk unit yang dulu digunakan untuk memburu Tara.
“Dialah yang pasok drone dan senjata tak dikenal yang menyerang kita waktu itu,” gumam Rama. “Aku ingat logo di senapan mereka.”
Kepala Kedua: Alina Mordash
Pemilik jaringan informasi dan pengendali media. Ia mengatur narasi publik, menyembunyikan kebenaran, dan menyebar propaganda untuk menutupi tindakan Triarx. Alina dikenal sebagai “Ratu Bayangan.” Di balik layar, ia menghilangkan siapa pun yang mencoba menyebarkan informasi berbeda. Dalam file Kaia, terungkap bahwa Alina memiliki akses langsung ke sistem kamera kota dan data penduduk—itulah sebabnya tim mereka selalu kesulitan bersembunyi.
“Setiap langkah kita selama ini terekam olehnya,” kata Tara perlahan. “Dia tahu kita lebih baik dari siapa pun.”
Kepala Ketiga: Jenderal Aldran
Tokoh militer kuat yang berpura-pura menjalankan operasi keamanan kota, padahal ia justru menggunakan kekuatannya untuk menjaga stabilitas tirani. Dialah yang bertanggung jawab atas proyek-proyek eksperimen seperti Tara dan Lila. Ia dikenal sebagai “Fang,” si taring. Sadis, dingin, dan tak pernah ragu mengorbankan siapa pun demi “ketertiban.” Kaia menemukan data operasi rahasia: Jenderal Aldran ternyata sudah bekerja sama dengan Darius dan Alina sejak lima tahun lalu. Ketiganya menciptakan sistem yang membuat kekacauan jadi terkontrol—sebuah ilusi agar rakyat tetap tunduk.
“Mereka bukan sekadar musuh,” kata Raka dengan suara berat. “Mereka arsitek neraka ini.”
Keheningan menyelimuti ruangan. Tara memandangi simbol tiga kepala ular di layar.
“Dan kita baru tahu sekarang.”
Kaia menutup laptop dan berdiri. “Sekarang kita tahu. Dan itu berarti… kita bisa mulai memburu mereka.”
Rama tertawa kecil. “Kau yakin? Mereka bukan hanya punya kekuasaan. Mereka punya tentara. Sistem. Pengaruh. Ini bukan pertempuran… ini bunuh diri.”
“Mungkin,” kata Tara. “Tapi ini satu-satunya jalan. Kita sudah tak bisa kembali. Tak ada tempat aman. Kita harus potong satu per satu kepala ular itu.”
Raka menatap Tara. “Kita mulai dari siapa?”
Kaia menyodorkan peta pelabuhan. “Darius. Dia paling lemah secara personal. Kalau kita bisa ledakkan salah satu gudang senjatanya dan memutus suplai, kota akan mulai goyah. Kepala lainnya akan panik.”
“Dan kalau gagal?” tanya Rama.
“Maka kita mati. Tapi dengan kepala tegak.”
Bab 12: Satu Peluru, Satu Kebenaran
Pelabuhan 17, tengah malam. Kabut laut menebal, menyelimuti area dengan keheningan mencekam. Deretan kontainer tua berdiri seperti raksasa sunyi, masing-masing bisa saja menyimpan senjata, bahan peledak, atau tubuh-tubuh yang takkan pernah ditemukan. Tempat ini adalah kerajaan kecil milik Darius Velro, sang “Pedagang Api.”
Tara, Raka, Kaia, dan Rama sudah bersiap. Misi malam ini sederhana dalam rencana, namun rumit dalam eksekusi: tembus ke dalam markas utama Darius, temukan data transaksi senjata, dan bila memungkinkan—akhiri dia.
Kaia membuka komunikator.
“Ada sinyal drone patroli. Empat unit, jalur melingkar. Kita punya celah dua menit setiap rotasi.”
“Cukup,” jawab Tara dingin. Ia sudah mengenakan pelindung ringan berwarna gelap, wajahnya tertutup masker dengan optik malam di satu mata.
Raka dan Rama mengapit sisi kanan. Mereka mulai bergerak menyelinap di antara kontainer, langkah tanpa suara, seperti bayangan yang ditelan malam. Semua berlangsung senyap—hingga suara mendesis terdengar di frekuensi komunikasi mereka.
“Dua penjaga bersenjata, 30 meter arah jam dua. Aku atur.”
Tara mengangkat pistol dengan peredam. Napasnya perlahan. Ia menunggu—lalu satu tembakan. Kepala penjaga pertama jatuh. Yang kedua mencoba bereaksi, tapi tembakan kedua lebih cepat.
“Dua peluru. Dua kebenaran,” bisik Tara.
Di dalam markas Darius, kesibukan berjalan seperti biasa. Para anak buah berseragam hitam sibuk memuat senjata ke dalam kontainer. Komputer pusat sedang mencatat rute pengiriman berikutnya—menuju zona konflik di luar negeri. Darius tak hanya memperjualbelikan senjata untuk Kota Tanpa Hukum. Ia memperpanjang perang ke seluruh dunia.
Kaia berhasil menyusup ke ruang sistem. Ia menancapkan alat pembaca data, dan layar menyala. Transaksi ilegal muncul satu per satu, beserta bukti transfer dana, dokumen pembelian, dan—yang paling mencengangkan—salinan surat perjanjian antara Darius, Alina Mordash, dan Jenderal Aldran.
“Ini… bukti nyata. Mereka benar-benar bekerja sama. Mereka menciptakan konflik—dan lalu menjual solusinya,” gumam Kaia. “Dunia harus tahu ini.”
Tapi tak ada waktu.
Tara dan Raka sudah menyusup ke tingkat atas markas, tempat Darius biasanya mengawasi dari balkon kaca.
Mereka temukan dia di sana. Duduk di kursi kulit, cerutu menyala di tangan, mengenakan jas hitam elegan dan ekspresi percaya diri yang menyebalkan.
“Akhirnya,” katanya santai. “Kupikir kalian akan datang lebih cepat.”
Tara mengarahkan pistol padanya. “Kau tahu kami?”
“Tentu saja. Kau aset hilang paling berharga. Dan kalian semua… hanya bagian dari permainan. Kalian pion.”
Raka melangkah maju. “Permainan apa? Membakar kota demi bisnis?”
“Bukan sekadar bisnis, anak muda. Ini kontrol. Kekuasaan. Dunia tak pernah berubah karena pemilu—ia berubah karena peluru. Dan aku punya jutaan peluru.”
Tara nyaris menarik pelatuk saat itu juga. Tapi Darius mengangkat satu jari. Di layar besar di belakangnya, ia menampilkan gambar: anak kecil—sekilas mirip Tara—di ruang laboratorium.
“Kau tahu siapa kau sebenarnya, Tara? Aku yang mendanai proyek lahirmu. Aku tahu ingatanmu direkayasa. Orang tua yang kau kenang? Ilusi. Hidupmu, misimu, dendammu? Semuanya produk kami.”
Dunia runtuh sejenak di kepala Tara. Ia terguncang, tapi tetap membidik.
“Kau pikir itu akan hentikan kami?”
“Kau takkan bisa menembakku. Kau butuh jawaban. Dan kau tahu aku satu-satunya yang punya semuanya.”
Raka maju dan menatap Tara. “Dia benar. Tapi bukan berarti dia harus hidup.”
Tara berpaling ke Kaia lewat radio.
“Sudah dapat semua data?”
“Sudah. Dan aku siarkan secara langsung ke jaringan gelap. Dunia akan tahu siapa dia.”
Tara kembali menatap Darius.
“Kau benar. Satu peluru tak bisa ubah dunia. Tapi satu peluru bisa awali semuanya.”
Dan ia menarik pelatuk.
Darius terjerembap ke belakang, darah mengalir dari dadanya. Ekspresi sombongnya membeku di tengah jalan.
Raka memandang Tara, lalu menepuk bahunya. “Satu kepala ular… jatuh.”
Di luar, ledakan kecil menghancurkan salah satu gudang senjata sebagai sinyal mundur. Tim keluar sebelum bala bantuan tiba. Di kejauhan, langit mulai terang. Hari baru—dan dunia telah berubah.
Satu peluru, satu kebenaran.
Tapi dua kepala ular masih berkeliaran. Dan mereka tidak akan diam.
Bab 13: Kota Tanpa Tuhan
Kota itu tak lagi berdoa. Tak ada suara lonceng gereja, tak ada nyala lilin di kuil tua, bahkan suara azan pun tak terdengar dari pengeras masjid yang rusak. Bangunan-bangunan ibadah hancur atau dikunci—bukan oleh bencana alam, tapi oleh ketakutan dan ketidakpedulian. Di setiap sudut, graffiti menyerukan pesan sarkastik: “Tuhan Sudah Tinggal Pergi.”
Tara berdiri di atap sebuah gedung setengah rubuh, memandangi kota yang dulu ia pikir bisa diselamatkan. Tapi malam ini, ia mulai ragu.
“Apa kita terlalu terlambat?” bisiknya pada angin.
Di bawah sana, api kecil berkobar dari kerusuhan terbaru. Kematian Darius Velro yang mereka eksekusi seminggu lalu telah mengirimkan gelombang ketidakstabilan. Geng-geng bersenjata mulai berebut kekuasaan di wilayah kosong. Polisi tidak lagi muncul. Pemerintah lokal—jika masih ada—diam membisu.
Kaia datang membawa secangkir kopi panas yang hampir basi. “Kami dapat info baru,” katanya, duduk di sebelah Tara. “Alina mulai mengaktifkan sistem kendali massalnya. Semua media siaran kembali aktif, tapi isinya propaganda penuh.”
Tara memejamkan mata. Ia bisa membayangkan layar besar di pusat kota menayangkan pidato palsu yang menenangkan massa. Janji keamanan. Janji pemulihan. Semua kebohongan yang dibungkus seindah mungkin. Namun, apa yang sebenarnya terjadi di jalanan… adalah neraka.
Raka dan Rama bergabung tak lama kemudian. Mereka baru kembali dari menyusup ke salah satu pusat distribusi air kota—tempat yang kini dikuasai oleh milisi lokal.
“Mereka mulai mengenakan pajak untuk air bersih. Kalau kau tak bisa bayar, kau minum dari selokan,” jelas Raka dengan suara penuh amarah. “Dan yang paling menyakitkan… warga tak melawan. Mereka… menyerah.”
“Mereka lelah,” kata Rama pelan. “Kau bisa lihat di mata mereka. Mereka bahkan tak percaya pada revolusi lagi. Mereka hanya ingin hidup sehari lagi.”
Kaia mengangguk. “Kau tahu yang menyedihkan? Mereka tak butuh penindas lagi. Mereka sudah menindas diri mereka sendiri.”
Keheningan menyelimuti mereka. Bukan karena tak tahu harus berkata apa—tapi karena apa pun yang dikatakan rasanya tidak cukup. Tara akhirnya bicara.
“Ini bukan lagi sekadar tentang menjatuhkan tiga kepala ular. Ini tentang menghidupkan kembali sesuatu yang hilang di kota ini.”
“Apa?” tanya Raka.
“Harapan. Kepercayaan. Rasa bahwa hidup ini masih punya arti.”
Beberapa jam kemudian, tim bersembunyi di salah satu ruang bawah tanah yang dulu digunakan sebagai tempat pengajaran agama. Di dalamnya masih ada bangku kayu tua, sebuah altar retak, dan dinding penuh coretan.
Di tengah ruangan, seorang pria tua duduk sendirian. Pakaiannya sederhana, matanya redup namun penuh kehangatan. Namanya Pastor Imanuel, salah satu dari sedikit pemuka agama yang tersisa di kota ini. Mereka menemukannya lewat jaringan bawah tanah.
“Tuhan tidak pergi,” katanya ketika melihat mereka. “Kita yang berhenti mencarinya.”
Tara menatapnya dengan ragu. “Lihat kota ini. Semua hancur. Orang saling bunuh. Anak-anak dibesarkan oleh senjata, bukan cinta. Kalau Tuhan ada, kenapa Dia diam?”
Pastor itu tersenyum lembut. “Tuhan tak diam. Dia bicara lewat keberanianmu. Lewat pilihan kalian untuk melawan ketidakadilan. Tapi Dia tak akan paksa manusia memilih yang benar. Itu bukan caranya.”
Rama melipat tangan. “Kami bukan orang suci. Kami membunuh. Kami berdarah. Kami mungkin tak jauh beda dengan mereka.”
“Bedanya,” jawab Imanuel, “kalian masih mempertanyakan itu. Dan itu berarti kalian masih manusia.”
Kaia menunduk. Kata-kata itu merayap perlahan ke hati mereka—seperti setitik cahaya dalam kegelapan pekat.
Di akhir malam, Tara kembali ke atap. Dari kejauhan, ia melihat dua anak kecil bermain dengan senter rusak. Mereka tertawa. Tertawa sungguhan, meski dunia di sekitar mereka hancur.
“Mungkin kita belum kalah,” katanya pelan. “Mungkin masih ada sesuatu yang bisa diselamatkan.”
Dan dari balik kabut kota, untuk pertama kalinya sejak lama, Tara merasa bahwa perlawanan mereka bukan hanya demi membalas dendam. Tapi demi membangun ulang iman—bukan pada Tuhan, bukan pada sistem, tapi pada manusia itu sendiri.
Kota ini mungkin tanpa Tuhan.
Tapi belum tanpa jiwa.
Dan itu adalah medan perang yang sesungguhnya.
Bab 14: Pertarungan Terakhir
Langit kota kelam dan berasap. Aroma bahan bakar terbakar dan besi panas memenuhi udara. Di kejauhan, menara-menara pengawas berpendar merah, menyapu jalan-jalan kosong dengan sorot lampu seperti mata predator. Jenderal Aldran telah mengambil alih penuh kota setelah kematian Darius dan jatuhnya jaringan Alina. Kini, militer korup berdiri tanpa kedok, menguasai segalanya.
Dan malam ini, mereka akan dijatuhkan.
Di ruang bawah tanah bekas stasiun kereta bawah tanah, Tara berdiri di tengah ruangan yang dipenuhi peta, senjata, dan suara ketegangan. Di sekelilingnya: Raka, Rama, Kaia, serta sekitar dua puluh warga kota yang masih berani mengangkat senjata. Ini bukan lagi tim kecil. Ini pasukan pemberontakan terakhir—sisa-sisa kota yang menolak menyerah.
Kaia menunjuk peta digital di layar.
“Target utama: Menara Komando Aldran. Semua kendali senjata otomatis dan jaringan pengawasan terpusat di sana. Kalau kita hancurkan itu, kota akan buta. Dia kehilangan cengkeramannya.”
Raka menambahkan, “Tapi pertahanan di sana gila. Sniper di tiap sisi. Drone patroli tiap dua menit. Kita butuh gangguan besar untuk bisa masuk.”
Tara menatap layar, lalu ke rekan-rekannya. “Kita semua tahu ini bisa jadi misi terakhir. Tapi kalau malam ini kita diam, maka besok tak akan ada lagi yang bisa berdiri. Kota ini akan jadi penjara tanpa pintu keluar.”
Rama bersandar ke dinding, menggenggam senjata. “Kita mulai dari gerbang selatan. Buat kerusuhan di sana. Lalu tim utama masuk dari saluran limbah lama, tepat di bawah menara.”
Kaia mengangguk. “Aku siapkan EMP portabel. Begitu kita dekat, aku ledakkan medan sinyal. Kamera dan sensor mereka mati selama dua menit. Itu jendela kita.”
Tara menatap mereka semua, satu per satu. “Ini bukan lagi soal kita. Ini soal semua yang belum sempat bicara. Yang sudah mati tanpa nama. Yang ingin hidup tapi tak pernah diberi pilihan. Malam ini… kita bukan bayangan. Kita jadi cahaya.”
Pertarungan Dimulai
Ledakan pertama terjadi di gerbang selatan. Api menyala, kabut asap naik, dan sirene berdengung menjerit. Pasukan Aldran berpencar, mencoba menahan serangan semu.
Sementara itu, Tara dan tim utama menyusup lewat terowongan limbah tua—gelap, bau, dan penuh bahaya, tapi tak diawasi. Mereka bergerak cepat, pelan, senyap. Detak jantung memuncak tiap langkah.
Begitu mereka mencapai akses bawah menara, Kaia menempelkan alat EMP ke panel logam.
“Tiga… dua… satu…”
Dentuman sunyi terdengar, dan lampu-lampu di atas mati. Kamera bergedip lalu padam. Alarm berhenti. Ini saatnya.
Mereka menyerbu naik—melewati koridor logam, menembak setiap penjaga bersenjata yang menghadang. Ledakan granat kejut membutakan sejenak, cukup untuk melewati dua lantai.
Tara memimpin. Matanya tajam, pistolnya tak pernah meleset. Tubuhnya terluka, tapi ia terus bergerak—karena ia tahu ini akhir segalanya.
Aldran, Sang Taring
Mereka sampai di lantai paling atas: ruang kendali pusat. Dan di sana berdiri Jenderal Aldran. Seragam hitam lengkap, wajah dingin, tangan di belakang punggung. Di belakangnya, layar raksasa menampilkan peta kota—dan titik-titik merah berkedip: drone, senjata otomatis, unit militer.
“Akhirnya,” katanya, suaranya berat seperti besi. “Kupikir kalian akan menyerah.”
Tara maju. “Kami tidak pernah tahu cara menyerah.”
Aldran berjalan pelan. “Kalian kira dunia berubah karena idealisme? Tidak. Dunia tunduk pada kekuatan. Pada keteraturan. Kalian ini penyakit. Dan tugasku… menyembuhkan kota ini.”
“Kau bukan penyembuh,” sahut Raka. “Kau kanker yang makan habis akarnya.”
Tanpa aba-aba, Aldran menarik senjatanya. Pertempuran meledak. Raka dan Rama bertempur habis-habisan melawan pasukan elit yang menyerbu dari sisi lain ruangan. Sementara Tara berhadapan langsung dengan Aldran—pukulan demi pukulan, tembakan yang nyaris fatal, pertarungan satu lawan satu yang liar dan brutal.
Tubuh mereka berdarah, lutut mereka goyah. Tapi Tara tidak mundur. Dalam satu momen terakhir, ia berhasil menusuk perut Aldran dengan pisau kecil yang ia sembunyikan—tepat di bawah pelindung rompinya.
Aldran tersentak.
“Kau… hanya… bidak…”
Tara mendekat, berbisik: “Mungkin. Tapi bidak pun bisa membunuh raja.”
Aldran jatuh. Peta kota di layar berubah—titik-titik merah mulai menghilang. Sistemnya lumpuh. Pertahanan runtuh.
Cahaya Baru
Saat fajar menyingsing, Tara berdiri di atap menara. Kota di bawah masih gelap, tapi tak lagi bisu. Orang-orang mulai keluar dari rumah mereka. Mereka melihat ke langit, mendengar keheningan baru yang tidak mengancam—tapi mengundang harapan.
Kaia menyiarkan pesan terakhir mereka lewat gelombang radio yang berhasil direbut:
“Kepada siapa pun yang mendengar, kota ini bukan lagi milik tirani. Ini milik kita. Kita yang masih hidup. Kita yang bertahan. Ini permulaan.”
Raka dan Rama duduk kelelahan. Luka di tubuh mereka tak terhitung, tapi senyuman kecil muncul. Tara memejamkan mata, menghirup udara pagi.
Misi mereka berakhir. Tapi perjuangan baru saja dimulai.
Bab 15: Diamnya Kota
Setelah perang usai, kota tak merayakan.
Tak ada kembang api. Tak ada konvoi kemenangan. Tak ada teriakan bahagia di jalanan. Yang ada hanyalah keheningan yang menyesakkan. Kota itu—yang pernah penuh dengan hiruk-pikuk, teriakan, tembakan, dan ledakan—kini sunyi, seperti menahan napas.
Tara berjalan sendirian di sepanjang lorong bekas kantor pusat Alina. Lantainya masih basah oleh darah yang belum sempat dibersihkan. Dindingnya berlubang, penuh bekas peluru dan coretan waktu perang. Ia melihat cermin retak tergantung di ujung lorong. Saat ia menatap bayangannya, ia hampir tak mengenali sosok yang ia lihat.
Lingkar mata gelap, wajah penuh luka kecil yang belum sembuh. Tapi yang paling menyakitkan adalah tatapan kosongnya. Mata seorang pejuang yang sudah tak tahu lagi apa yang harus diperjuangkan.
Di luar, langit tampak terang, tapi kota tetap abu-abu. Jalanan penuh reruntuhan. Banyak bangunan ambruk. Kabel listrik menjuntai seperti akar pohon patah. Orang-orang mulai muncul, tapi hanya untuk mencari air, makanan, atau sisa barang yang bisa digunakan. Mereka menunduk, berjalan cepat, dan jarang bicara.
“Kota ini bukan hanya tanpa hukum. Sekarang… kota ini juga tanpa suara,” gumam Kaia saat ia duduk bersama Tara di depan bangunan tua yang dulu menjadi pos penjagaan militer. Sekarang, pos itu kosong, ditinggal begitu saja. Spanduk berisi simbol rezim lama tergeletak sobek di tanah.
“Mereka takut bicara,” tambah Rama, yang baru datang dengan sepeda tua. “Mereka tak percaya siapa pun. Bahkan pada kita.”
Tara mengangguk pelan. “Mereka bukan takut. Mereka hancur.”
Kaia menunjuk sekelompok anak kecil yang tengah bermain dengan kaleng kosong. Tak ada senyum, tak ada tawa. Mereka bergerak seolah terprogram, seolah tak tahu apa itu ‘bermain’.
“Ini harga kemenangan?” tanya Kaia lirih.
“Ini harga dari terlalu lama membiarkan ketidakadilan jadi biasa,” jawab Tara.
Pemakaman Tanpa Nama
Beberapa hari setelah pertempuran, mereka mengadakan upacara sederhana untuk menguburkan rekan-rekan yang gugur. Banyak dari mereka tak memiliki nama, hanya tanda: bekas luka, sepotong lencana, atau kalung kecil.
Raka berdiri di samping lubang makam massal yang baru mereka gali di halaman belakang gereja tua. Ia memegang topi militer milik seorang rekan yang tewas melindungi pintu masuk menara saat malam serangan.
“Kita tak sempat menulis sejarah mereka,” ucapnya. “Tapi mereka adalah alasan kota ini masih bisa melihat pagi.”
Tara menaburkan bunga-bunga kering ke dalam lubang. Di sekeliling, para warga menunduk diam. Beberapa menangis. Beberapa hanya mematung.
“Kami akan menjaga kota ini,” kata Tara perlahan. “Kalau bukan untuk kami… maka untuk kalian yang tak sempat melihat dunia ini kembali bernapas.”
Luka yang Tak Terlihat
Meski kota bebas dari rezim, luka-luka tak semua tampak dari luar. Banyak yang masih hidup dalam ketakutan. Beberapa mengurung diri, takut kalau keadaan hanya sementara. Yang lain membentuk kelompok kecil untuk mempertahankan wilayah mereka, karena trauma membuat mereka tak lagi percaya pada siapa pun.
Kaia mulai mengajar anak-anak membaca lagi, di sebuah perpustakaan kecil yang rusak. Ia menulis kata-kata sederhana di papan tulis: “Harapan. Cahaya. Damai.”
Anak-anak hanya menatapnya bingung. Beberapa tak tahu arti kata-kata itu. Beberapa belum pernah mendengarnya sebelumnya.
“Ini tugas terberat kita,” kata Kaia pada Tara. “Bukan memenangkan perang. Tapi mengembalikan arti pada kata-kata yang telah hilang.”
Tara dan Surat yang Tertinggal
Di malam yang tenang, Tara menemukan sebuah surat di tasnya—tertulis dengan tangan, ditandatangani oleh Darius Velro sebelum kematiannya. Surat itu tidak mengandung ancaman, melainkan pengakuan.
“Kami—aku, Alina, bahkan Aldran—kami tahu sistem ini cacat. Tapi kami percaya kekacauan lebih berbahaya daripada tirani. Kami salah. Tapi kami juga takut. Takut akan dunia tanpa kendali. Jika kau membaca ini, Tara, maka kau telah menang. Tapi aku ingin kau tahu: membangun dunia yang lebih baik adalah hal yang lebih sulit daripada menghancurkan dunia yang lama.”
Tara menggenggam surat itu dengan tangan gemetar. Ia tak menangis. Ia hanya duduk lama, memandang keluar jendela ke arah kota yang kini perlahan dibangun kembali dari puing.
Diamnya Kota
Diam bukan selalu kematian. Kadang diam adalah duka. Kadang diam adalah jeda. Dan kadang, diam adalah awal dari sesuatu yang baru.
Tara berdiri di tengah lapangan terbuka, tempat dulu para warga ditembak mati oleh rezim. Kini, tanah itu bersih, dan anak-anak mulai datang ke sana. Mereka belum bermain, belum tertawa. Tapi mereka datang.
Itu sudah cukup.
Kota ini memang pernah tanpa hukum.
Tapi sekarang, kota ini sedang belajar bernapas kembali.
Dan dalam diamnya kota, harapan perlahan mulai berbicara kembali.***
————-THE END————–