Bab 1: Kota yang Hilang
Arif menatap layar ponselnya dengan penuh rasa ingin tahu. Sebuah email baru saja masuk ke kotak masuknya, dikirim oleh seseorang yang mengaku sebagai seorang profesor sejarah yang mengajar di universitas ternama. Subjek email itu hanya bertuliskan satu kalimat yang membuat hati Arif berdebar: “Ada sebuah kota yang tidak tercatat dalam peta. Temukanlah.”
Isi email tersebut singkat, namun mengandung janji misteri yang menarik bagi Arif. Sebagai seorang jurnalis muda, dia selalu mencari cerita yang bisa menguji kemampuannya, dan kali ini, dia merasa ada sesuatu yang lebih besar menanti. Kota yang dimaksud dalam email itu konon terletak di antara pegunungan yang jauh dari keramaian, begitu tersembunyi hingga tidak ada jejak apapun yang mengarah ke sana. Penduduknya kabarnya sangat sedikit, dan tidak ada siapa pun yang mampu menjelaskan sejarah panjang kota tersebut. Dalam beberapa dekade terakhir, banyak orang yang mencoba menemukannya, namun mereka semua hilang tanpa jejak. Itu adalah cerita yang menggugah rasa ingin tahu Arif.
Dengan rasa percaya diri yang besar, Arif memutuskan untuk mengikuti jejak tersebut. Dia mengemas barang-barangnya, membawa kamera, buku catatan, dan peralatan dasar untuk perjalanan panjang yang tak pasti. Dia merasa ada sesuatu yang besar yang sedang menunggunya, mungkin sebuah cerita yang bisa mengubah hidupnya—sebuah kesempatan untuk membuktikan dirinya sebagai jurnalis yang lebih dari sekadar penulis artikel biasa.
Perjalanan dimulai dengan naik kereta api menuju kota yang terdekat dari lokasi yang disebutkan dalam email. Kereta itu mengarah ke sebuah wilayah yang jarang dikunjungi orang. Di sepanjang perjalanan, Arif menyaksikan pemandangan yang indah, namun semakin jauh dia pergi, semakin sepi pula yang ia temui. Desa-desa yang terlewati tampak kosong dan terlupakan, hampir seperti dunia yang terisolasi. Tak ada tanda kehidupan yang berarti, kecuali sesekali terlihat petani yang sedang bekerja di ladang atau anak-anak yang bermain di pinggir jalan.
Sesampainya di stasiun terakhir, Arif merasakan ketegangan yang tidak bisa dijelaskan. Dia telah mendekati kota tersebut, namun kota yang disebutkan dalam email itu seolah terabaikan oleh dunia luar. Tak ada peta, tak ada petunjuk yang jelas, hanya sebuah nama kota yang hilang di balik pegunungan.
Namun, Arif tahu bahwa inilah yang dicari: kota yang hilang. Kota yang diceritakan dalam banyak cerita rakyat, kota yang tak bisa ditemui meskipun sudah berusaha mencarinya bertahun-tahun. Inilah tantangannya—dan Arif, dengan semangat dan rasa ingin tahu yang tak terbendung, memutuskan untuk melangkah lebih jauh.
Setelah berbicara dengan beberapa penduduk di sekitar stasiun, Arif mendapat petunjuk bahwa kota itu berada di balik sebuah jalur sempit yang terletak beberapa jam perjalanan dari sana. Para penduduk di sana terlihat cemas dan tak bersemangat saat membicarakan kota itu. Seorang pria paruh baya yang berwajah keras dan berbicara pelan mengingatkan Arif untuk berhati-hati.
“Apa yang kau cari di sana, nak?” tanya pria itu dengan suara serak.
Arif menghela napas, mencoba menjelaskan tujuannya tanpa terkesan mendesak. “Saya seorang jurnalis. Saya ingin mengetahui lebih banyak tentang kota yang hilang itu.”
Pria itu menatapnya lama, kemudian menggelengkan kepala. “Kota itu… tidak seperti yang kau kira. Kota itu… lebih baik dibiarkan seperti itu. Pergilah ke tempat lain, anak muda. Dunia ini punya cukup cerita tanpa harus mencari yang satu itu.”
Namun, meskipun ada peringatan, Arif tetap bersikeras. Dia merasa bahwa ini adalah kesempatan yang langka, dan dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Setelah mengucapkan terima kasih, Arif melanjutkan perjalanan menuju kota tersebut.
Jalan yang ia tempuh semakin sempit dan berkelok-kelok, menanjak di sepanjang lereng gunung yang curam. Ketika akhirnya Arif sampai di kaki bukit, langit sudah mulai gelap. Hutan lebat mengelilingi jalan, dan hanya suara angin yang terdengar. Keheningan di tempat ini hampir mencekam, dengan hanya suara langkah kaki Arif yang terdengar jelas di antara pepohonan yang tua. Pencahayaan yang semakin redup membuatnya merasa sedikit cemas, namun ia terus maju. Ia tahu, ia sudah hampir sampai.
Pada malam hari, setelah seharian berjalan, Arif akhirnya sampai di gerbang kota itu. Gerbang besar dengan gerigi besi tua menyambutnya dengan diam. Tanpa ragu, Arif melangkah masuk ke dalam. Setiap langkahnya menambah rasa gelisah yang ia rasakan. Kota itu tampaknya terbengkalai, rumah-rumah dengan cat mengelupas, jalanan yang sunyi, dan suasana yang hampir suram. Tidak ada orang yang tampak di luar, dan semua pintu rumah tertutup rapat. Suasana kota itu begitu hening, seakan dunia di luar sana tidak ada.
Arif memutuskan untuk mengunjungi sebuah rumah tua yang tampak sedikit lebih besar dari yang lainnya, berharap bisa menemukan seseorang yang bisa memberinya informasi lebih lanjut. Pintu rumah itu sedikit terbuka, dan saat Arif masuk, dia disambut oleh bau tanah dan debu yang menempel di mana-mana. Di dalamnya, hanya ada beberapa perabotan tua yang berdebu. Tapi yang paling mencurigakan adalah sebuah buku besar yang tergeletak di meja, tampaknya baru saja dibuka dan dibaca.
Arif mendekat dan membuka buku itu dengan hati-hati. Di dalamnya tertulis cerita tentang kota yang sedang ia telusuri. Beberapa halaman pertama menjelaskan sejarah kota ini dengan sangat rinci, namun semakin jauh ia membaca, semakin banyak catatan yang tidak bisa dipahami. Tulisan-tulisan itu penuh dengan simbol-simbol aneh yang sepertinya menggambarkan sesuatu yang lebih gelap dan lebih misterius daripada yang ia bayangkan.
Tanpa sadar, Arif terperangkap dalam buku itu. Matanya tidak bisa lepas dari tulisan yang tampak seperti peringatan tentang sesuatu yang telah lama terkubur. Sebuah kalimat yang berulang kali muncul di setiap halaman yang ia baca membuat jantungnya berdegup lebih kencang: “Jika kamu mencari kebenaran di kota ini, kamu akan kehilangan dirimu.”
Arif menutup buku itu dengan tergesa-gesa dan memutuskan untuk keluar dari rumah tersebut. Tetapi, begitu ia melangkah keluar, ia merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Suasana semakin gelap, dan udara terasa lebih berat. Ia merasa seperti dia sedang diperhatikan. Arif mencoba menenangkan dirinya sendiri, tetapi perasaan aneh itu terus mengikutinya. Kota yang terlihat sepi ini seolah menyimpan sesuatu yang jauh lebih besar, lebih gelap, dan lebih berbahaya daripada yang ia duga.
Saat itu, dia menyadari bahwa kota ini bukan hanya sekadar tempat yang terlupakan, tetapi mungkin juga sebuah perangkap*
Bab 2: Sebuah Tanda
Kota yang tidak tercatat dalam peta itu semakin membebani pikiran Arif. Setiap sudut kota tampak seperti bagian dari teka-teki yang belum terpecahkan, dan rasa penasaran yang semula menggebu-gebu kini berubah menjadi kekhawatiran yang tak terhindarkan. Setelah menemukan buku yang tertulis dengan simbol-simbol aneh, Arif tahu bahwa ada sesuatu yang lebih dalam, lebih gelap, yang terpendam di tempat ini. Kota ini bukan hanya terisolasi secara fisik, tetapi juga terisolasi dari waktu dan realitas.
Arif merasa bahwa ia harus terus mencari petunjuk—apapun yang bisa menjelaskan apa yang terjadi di kota ini. Tanpa tujuan yang jelas, ia berjalan lagi melewati jalanan yang sunyi. Rumah-rumah tua di kiri-kanan jalan tampak seperti bangunan yang sudah lama tak dihuni, dengan beberapa di antaranya bahkan hampir runtuh. Lampu-lampu jalan yang redup memancarkan cahaya yang tak cukup untuk menaklukkan gelapnya malam. Suasana semakin mencekam, seolah kota itu mengundang Arif untuk menyelidiki lebih dalam, namun dengan ancaman yang tak terlihat.
Arif memutuskan untuk kembali ke rumah besar yang tadi ia kunjungi. Pikirannya masih terbagi antara rasa takut dan rasa ingin tahu yang terus menyelimuti dirinya. Dia tahu bahwa ada lebih banyak hal yang perlu ditemukan di sana, mungkin kunci untuk memahami kota ini, atau bahkan untuk keluar darinya. Ketika ia tiba di depan rumah itu, sebuah perasaan aneh menyergap hatinya. Seolah ada yang mengawasi dari dalam, namun tak ada siapa-siapa.
Ia mendorong pintu dengan pelan. Pintu itu terbuka dengan suara berderit, seakan menyambut kedatangannya. Begitu memasuki rumah, Arif merasakan suhu yang lebih dingin, meskipun tidak ada alasan logis mengapa rumah tersebut terasa begitu dingin. Udara di dalamnya sangat berat, dan bau lembap bercampur debu semakin menguatkan kesan bahwa rumah ini sudah lama tidak dihuni. Namun, saat matanya terbiasa dengan gelap, ia kembali melihat buku yang sebelumnya terbuka di meja. Kali ini, ia merasa harus mencari tahu lebih jauh tentang isi buku tersebut.
Arif duduk kembali di meja itu dan membuka buku itu dengan hati-hati. Ia mulai membaca lebih teliti, berusaha memahami simbol-simbol yang tercetak di halaman-halaman buku. Tiba-tiba, matanya tertuju pada sebuah catatan kecil di halaman terakhir. Kalimat itu tertulis dengan tinta merah yang mencolok, seakan peringatan dari masa lalu.
“Mereka yang tahu terlalu banyak tentang kota ini tidak akan pernah kembali.”
Peringatan itu membuat Arif terdiam sejenak. Ia mencoba mencerna kata-kata itu, namun perasaan tidak nyaman semakin menguasai dirinya. Ada yang salah di sini. Ini bukan hanya sekedar kota yang terlupakan, tetapi tempat ini sepertinya membawa kutukan. Arif merasa seperti sedang berjalan di atas tali yang sangat tipis—antara menemukan jawaban dan terperangkap dalam misteri yang lebih dalam lagi.
Saat itu, Arif mendengar suara langkah kaki. Cepat dan berat, seperti seseorang yang berlari. Arif menoleh ke arah pintu, tetapi tak ada siapa-siapa. Suara itu hilang begitu saja. Namun, ketegangan di udara tetap terasa, semakin membebani dada Arif.
Tanpa pikir panjang, Arif memutuskan untuk mencari petunjuk lain. Ia menyusuri bagian dalam rumah yang lebih dalam, berharap bisa menemukan sesuatu yang lebih konkret untuk menuntunnya keluar dari kebingungannya. Sebuah pintu kayu yang lebih kecil terbuka ke sebuah ruang bawah tanah. Ruangan itu gelap, hanya diterangi oleh sedikit cahaya yang masuk melalui celah-celah dinding yang rusak. Tanpa ragu, Arif menuruni tangga kayu yang berderit, meskipun perasaan takut semakin menghimpitnya.
Di ruang bawah tanah itu, ia menemukan dinding yang tertutup dengan batu-batu besar. Namun, di tengah-tengah dinding tersebut ada sebuah simbol yang sama persis dengan yang ada di halaman buku yang telah ia baca. Simbol itu berupa lingkaran dengan garis-garis yang saling berhubungan, menciptakan pola yang sangat aneh dan misterius. Arif mendekat untuk mengamati simbol tersebut lebih dekat. Setiap detilnya terlihat seperti bagian dari suatu teka-teki yang menunggu untuk dipecahkan.
Tiba-tiba, Arif merasakan seolah ada suara yang berbisik dari belakangnya, sangat pelan, hampir tak terdengar. Suara itu terdengar seperti desahan, namun ketika ia menoleh, tidak ada siapa-siapa. Hanya keheningan yang semakin mencekam.
Perasaan tidak enak semakin menguasai dirinya. Arif tahu bahwa ia harus berhati-hati. Ia memutuskan untuk meninggalkan ruang bawah tanah itu, namun ketika ia berbalik, ia melihat sesuatu yang mengejutkan. Di depan pintu, ada sosok seorang pria tua, berdiri diam tanpa bergerak. Wajahnya sangat tua, kulitnya keriput, dan matanya yang kosong menatap Arif dengan tatapan yang tajam dan dalam. Arif terkejut dan mundur sejenak.
“Siapa… siapa Anda?” Arif bertanya dengan suara tercekat. Sosok pria itu tidak menjawab. Dia hanya berdiri di sana, matanya terus menatap Arif dengan penuh arti, seakan mengetahui lebih banyak dari yang seharusnya.
Akhirnya, pria itu berbicara dengan suara serak yang membuat tubuh Arif merinding. “Kau tidak seharusnya berada di sini,” katanya. “Kota ini menyimpan rahasia yang sangat dalam. Rahasia yang tidak boleh diketahui oleh siapa pun.”
Arif merasa seakan ada sesuatu yang sangat salah, tetapi ia tetap berusaha tenang. “Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Apa yang kalian sembunyikan?” Arif menanyakan dengan tekad, meskipun hatinya berdebar keras.
Pria tua itu tersenyum tipis. Senyum yang mengerikan, penuh makna yang Arif tidak bisa pahami. “Kota ini tidak akan pernah membiarkan siapa pun yang tahu terlalu banyak keluar dengan selamat,” ujarnya pelan. “Kau harus pergi. Jika tidak, kau akan menjadi bagian dari kota ini selamanya.”
Pria itu menghilang begitu saja, tanpa suara, tanpa jejak. Arif tertegun, tidak tahu harus berbuat apa. Apakah peringatan pria itu nyata? Apa yang sebenarnya terjadi di kota ini?
Arif kembali ke luar rumah dengan perasaan yang semakin cemas. Setiap langkah yang ia ambil seolah semakin membawa dirinya lebih dekat kepada sebuah takdir yang tidak bisa ia hindari. Keanehan semakin terasa di setiap sudut kota ini. Tanpa sadar, ia sudah berada di dalam perangkap yang lebih besar daripada yang ia bayangkan.
Saat ia berjalan kembali ke jalan utama, Arif melihat sesuatu yang sangat mengejutkan. Di ujung jalan, ia melihat bayangan seseorang yang berdiri di bawah lampu jalan, menghadap ke arah Arif. Sosok itu bergerak perlahan, seakan menunggu kedatangannya. Arif merasa tak bisa mundur lagi. Ia harus tahu apa yang tersembunyi di balik kota ini. Tetapi, semakin dia mendekat, semakin berat perasaan yang menghimpit dadanya. Apa yang akan ia temui selanjutnya.*
Bab 3: Suara dari Masa Lalu
Arif berjalan menyusuri jalan kota yang semakin sepi. Setiap langkahnya terasa lebih berat, dan suasana yang semakin mencekam membuat rasa takutnya semakin kuat. Seolah kota itu menginginkannya untuk terus maju, untuk terus mencari jawaban, namun ada sesuatu yang dalam diam mengawasi setiap gerak-geriknya. Dia tahu, dia tak lagi hanya seorang pengunjung yang penasaran, tetapi seorang yang terperangkap dalam misteri yang jauh lebih dalam dari yang ia bayangkan. Kota ini, dengan semua kegelapannya, seolah memiliki kekuatan untuk menarik siapa saja yang datang dan menahan mereka di dalamnya.
Bayangan pria tua yang ia temui sebelumnya terus menghantuinya. Kata-kata pria itu bergaung di kepala Arif: “Kota ini tidak akan membiarkan siapa pun yang tahu terlalu banyak keluar dengan selamat.” Arif berusaha untuk menepis ketakutannya. Ia tidak bisa mundur sekarang. Terlalu banyak yang sudah ia temui. Terlalu banyak yang harus ia ungkap. Tapi, meskipun begitu, rasa khawatir itu tetap membayangi langkahnya.
Ia memutuskan untuk mencari seseorang yang mungkin bisa memberi penjelasan lebih lanjut tentang kota ini, seseorang yang tahu lebih banyak tentang sejarah dan rahasia yang tersimpan di sini. Di tengah kota yang hampir mati, ia melihat sebuah kedai kecil yang tampak sedikit lebih hidup daripada yang lainnya. Lampu di luar kedai itu tampak redup, namun di dalam, ia bisa melihat cahaya yang lebih terang. Ada seseorang yang duduk di balik meja, tampaknya menunggu seseorang. Arif mengambil napas dalam-dalam dan melangkah masuk.
Di dalam kedai itu, suasananya sangat kontras dengan keheningan luar. Pemilik kedai, seorang wanita paruh baya dengan wajah yang keras namun ramah, menyambutnya dengan tatapan yang tajam, seolah sudah tahu kedatangannya.
“Selamat datang di kedai saya, anak muda. Apa yang bisa saya bantu?” wanita itu bertanya, suaranya serak namun penuh kehangatan.
Arif ragu sejenak, tetapi akhirnya ia mengumpulkan keberanian. “Saya baru saja tiba di kota ini. Saya mencari informasi tentang sejarah kota ini, dan saya mendengar banyak cerita aneh. Apakah Anda tahu sesuatu?”
Wanita itu mengerutkan kening, dan Arif bisa melihat keraguan di wajahnya. Sebelum ia sempat menjawab, wanita itu mengangkat tangan, memberi isyarat agar Arif duduk.
“Duduklah. Sepertinya kau sudah mendengar hal-hal yang tidak seharusnya didengar oleh orang luar,” jawab wanita itu sambil mempersilakan Arif duduk di meja kecil dekat jendela.
Arif duduk, merasa sedikit lebih nyaman dengan kehadiran wanita itu, meskipun ia merasakan ada sesuatu yang tak biasa di dalam kedai ini. “Apa yang sebenarnya terjadi di sini?” tanya Arif dengan penuh rasa ingin tahu. “Kota ini… Kota ini berbeda dari yang lain.”
Wanita itu menghela napas panjang. Wajahnya menjadi lebih serius, seolah berbicara tentang sesuatu yang sangat berat. “Kota ini memang berbeda, dan bukan hanya karena letaknya yang terisolasi. Ada sesuatu yang telah terjadi di sini. Sesuatu yang tidak bisa kita lupakan.” Ia menundukkan kepala, seperti sedang mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan.
Arif memperhatikan setiap gerakannya, merasa bahwa dia sedang berada di hadapan seseorang yang tahu banyak tentang kota ini, tetapi takut untuk berbicara. “Apa yang terjadi? Apakah kota ini memiliki sejarah yang gelap?”
Wanita itu terdiam sejenak, kemudian mengangguk perlahan. “Ya, sejarah kota ini sangat gelap. Beberapa puluh tahun yang lalu, kota ini adalah tempat yang damai. Namun, semuanya berubah setelah sebuah insiden besar. Insiden itu melibatkan sebuah sekte yang dikenal dengan nama ‘Penjaga Gerbang’. Mereka menganggap kota ini sebagai tempat untuk melindungi sebuah pintu menuju dunia lain, dunia yang tidak bisa dimasuki oleh sembarang orang. Sekte itu menganggap diri mereka sebagai penjaga yang berperan untuk menjaga gerbang antara dunia manusia dan dunia lain, dunia yang lebih gelap, lebih misterius.”
Arif semakin terperangah. “Gerbang? Dunia lain? Apa maksud Anda?”
Wanita itu memandangnya dengan serius. “Gerbang itu, menurut legenda yang sudah turun-temurun, adalah sebuah pintu yang bisa menghubungkan kita dengan entitas yang lebih kuat dari manusia, entitas yang tidak seharusnya ada di dunia kita. Namun, sekte itu mencoba untuk mengendalikan pintu itu. Mereka percaya bahwa dengan menjaga gerbang, mereka bisa memperoleh kekuatan yang tak terbayangkan. Tapi, yang mereka tidak tahu adalah bahwa pintu itu memiliki kekuatannya sendiri. Ketika mereka terlalu serakah, mereka membuka jalan yang tidak bisa mereka tutup kembali. Insiden itu merenggut banyak nyawa, dan sejak saat itu, kota ini menjadi terkutuk.”
Arif terdiam, mencoba mencerna informasi yang baru saja diterimanya. “Lalu, apa yang terjadi pada sekte itu? Apa yang terjadi setelah insiden itu?”
Wanita itu menatapnya dengan tatapan yang tajam dan penuh pengetahuan. “Sekte itu musnah. Tetapi, yang tersisa dari mereka adalah warisan—warisan yang tidak bisa hilang. Kota ini, meskipun sepi dan terlupakan, tetap menjaga pintu itu. Dan para keturunan sekte itu, meskipun mereka hidup seperti orang biasa, masih melanjutkan tugas mereka. Mereka yang tahu terlalu banyak tentang gerbang ini tidak bisa keluar dengan selamat. Kota ini akan menjaga mereka selamanya.”
Arif merasa seperti ada beban yang jatuh di atas pundaknya. Semua yang dia dengar terasa begitu berat, seperti ada sesuatu yang sangat buruk yang telah terjadi di kota ini dan masih berlanjut hingga kini. “Jadi, kota ini… benar-benar terkutuk?”
Wanita itu mengangguk pelan. “Ya. Kota ini terkutuk oleh apa yang terjadi di masa lalu. Dan mereka yang datang ke sini untuk mencari tahu lebih banyak… mereka akan menjadi bagian dari kota ini. Tidak ada yang bisa keluar setelah mengetahui terlalu banyak.”
Arif merasa tubuhnya terasa lemas. Dia tidak tahu apakah dia harus merasa takut atau terus melanjutkan pencariannya. Namun, ada sesuatu dalam dirinya yang tidak bisa membiarkannya pergi tanpa mencari tahu lebih jauh. “Apa yang bisa saya lakukan? Apa yang saya cari di sini?” tanya Arif, hampir tak percaya pada kata-katanya sendiri.
Wanita itu menatapnya dalam-dalam, seolah mencoba melihat apakah Arif benar-benar siap menerima apa yang akan datang. “Kau bisa pergi kapan saja, anak muda. Tapi kota ini tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja. Jika kau tetap di sini, kau akan menjadi bagian dari rahasia kota ini. Kau harus memutuskan: apakah kau akan terus mencari dan mengungkap kebenaran, ataukah kau akan pergi dan melupakan semuanya?”
Arif terdiam, terperangkap dalam kebimbangan. Namun, saat ia memandang keluar jendela, dia melihat sesuatu yang mengejutkan. Sosok bayangan yang tampak mengenalnya sedang berdiri di ujung jalan. Seakan memanggilnya. Arif tahu, dia tak bisa lagi mundur.
“Terima kasih,” katanya kepada wanita itu, dengan tekad yang semakin bulat. “Saya harus melanjutkan perjalanan saya.”
Wanita itu hanya mengangguk. “Ingat, jalan yang kau pilih mungkin akan membawa kehancuran. Tetapi jika itu yang kau inginkan, maka teruslah maju.”
Arif bergegas meninggalkan kedai itu, meninggalkan peringatan yang dalam di belakangnya. Ketika ia melangkah keluar, dunia terasa berbeda. Langkahnya lebih mantap, meskipun rasa takut masih menghantui pikirannya. Kota ini, dengan semua misterinya, sudah menunggu jawaban yang ia cari—jawaban yang tak bisa dihindari.*
Bab 4: Gerbang yang Tertutup
Malam semakin larut, tetapi Arif merasa tidak bisa tidur. Kegelisahan yang mengusik pikirannya semakin membesar, berputar-putar seperti angin kencang di kepalanya. Di satu sisi, ia merasa semakin dekat untuk menemukan jawaban dari misteri kota ini, tetapi di sisi lain, ketakutan semakin menguasai hatinya. Ia tahu bahwa setiap langkah yang ia ambil semakin menariknya ke dalam pusaran yang tak bisa dipahami, dan meskipun wanita di kedai itu telah memperingatkannya, rasa ingin tahu Arif tak bisa dibendung. Kota ini memiliki rahasia yang harus ia ungkap—entah dengan cara apapun.
Arif memutuskan untuk kembali ke tempat yang pertama kali membuatnya merasa aneh—rumah besar yang telah ia kunjungi. Sesuatu tentang rumah itu terasa penting. Bahkan lebih dari itu, rasanya seperti rumah tersebut menyimpan jawaban yang selama ini ia cari, jawaban yang mungkin bisa membebaskannya dari cengkeraman kota ini.
Namun, saat ia tiba di depan rumah itu, perasaan cemas kembali datang. Lampu-lampu jalan yang tadi tampak sedikit lebih terang kini kembali meredup, seolah kota itu ingin mengubur kebenaran di dalam kegelapan. Pintu rumah besar itu masih terbuka seperti sebelumnya, namun kini tampak lebih menyeramkan, seperti sebuah mulut yang menganga menunggu untuk menelan Arif ke dalamnya. Meskipun begitu, Arif melangkah masuk, kali ini dengan lebih waspada. Ia merasa bahwa apa yang akan ditemuinya di dalam rumah itu bisa menjadi titik balik dalam pencariannya.
Di dalam, rumah itu terasa lebih sunyi dari sebelumnya, meskipun bayangan-bayangan tak tampak di sekitar. Langkah-langkah kaki Arif menggema di ruang kosong yang sepi. Perasaan tertekan menyelimuti ruangan yang gelap, dan udara yang semakin berat membuat Arif merasa seakan ia sedang diperhatikan—oleh sesuatu yang tak terlihat.
Ia melangkah lebih dalam, menuju ke ruang bawah tanah tempat ia sebelumnya melihat simbol yang aneh. Sekali lagi, pintu kayu yang berat itu terbuka dengan suara berderit, seakan menyambut kedatangannya. Di dalamnya, ruang bawah tanah tampak lebih gelap daripada sebelumnya, dan meskipun ia bisa merasakan adanya sesuatu yang aneh di sana, Arif tidak bisa berhenti untuk mencari lebih jauh. Begitu sampai di depan dinding tempat simbol itu terukir, ia merasakan getaran yang kuat—seperti energi yang mengalir di udara. Tanpa pikir panjang, ia meletakkan tangan di atas simbol itu, berharap bisa merasakan sesuatu, sesuatu yang bisa memberi petunjuk.
Tak lama setelah ia menyentuh simbol itu, dinding yang kokoh itu mulai bergerak. Suara gemuruh terdengar, dan beberapa batu besar terlepas dari tempatnya, memberi jalan menuju sebuah lorong sempit yang gelap. Lorong itu tampak seperti pintu yang baru saja dibuka, mengarah ke dalam tanah yang lebih dalam. Arif tahu, inilah yang telah ia cari. Gerbang yang tersembunyi.
Dengan hati-hati, Arif melangkah maju, menyusuri lorong sempit itu. Di setiap langkah, perasaan cemas semakin menguat, namun ia merasa seolah ada sesuatu yang memaksanya untuk terus maju. Lorong itu semakin lama semakin sempit, dan udara terasa semakin lembab, membuat Arif terpaksa menarik napas lebih dalam. Ada sesuatu yang aneh di sini—sebuah aroma yang tak bisa ia kenali, seakan mengingatkannya pada sesuatu yang sudah lama terlupakan. Namun, ia tak bisa mundur sekarang. Ia harus terus maju.
Setelah beberapa saat berjalan, lorong itu berakhir pada sebuah ruang besar yang gelap. Di tengah ruangan, ada sebuah altar batu yang sudah lama usang, dan di sekelilingnya terdapat lukisan-lukisan aneh yang menutupi dinding. Lukisan-lukisan itu menggambarkan simbol-simbol yang tak bisa dipahami, dan meskipun Arif merasa sangat terkejut, ia tak bisa melepaskan pandangannya dari lukisan-lukisan itu. Di tengah-tengah ruangan, ada sebuah meja besar yang tertutup dengan kain hitam tebal. Tanpa sadar, Arif mendekat ke meja itu, merasakan ketegangan yang semakin kuat di udara.
Ketika kain hitam itu ia angkat, Arif terkejut melihat apa yang ada di bawahnya. Sebuah buku terbuka tergeletak di atas meja, dengan halaman-halaman yang tampak sangat tua. Namun, apa yang membuat Arif terkejut adalah simbol yang ada di sampul buku itu—simbol yang sama persis dengan simbol yang ditemukan di rumah besar ini dan di halaman terakhir buku yang pernah ia baca. Buku ini tampaknya menyimpan informasi yang sangat penting, informasi yang tidak seharusnya ia temukan. Namun, ia merasa bahwa ia tak bisa berhenti. Ia membuka halaman pertama dengan tangan yang gemetar, membaca tulisan yang tidak ia mengerti.
Namun, tiba-tiba, buku itu mulai bergetar. Arif terkejut, dan buku itu terbang dari tangannya, jatuh ke lantai dengan keras. Beberapa lembar halaman terlepas, berterbangan di udara, dan ketika Arif mencoba untuk mengambilnya, ia merasa seolah ada sesuatu yang menariknya. Tiba-tiba, ruangan itu dipenuhi dengan cahaya yang terang benderang, menyilaukan mata Arif, membuatnya hampir tak bisa melihat apa-apa.
Sekujur tubuhnya terasa panas, dan suara-suara yang tak jelas mulai terdengar, seperti bisikan-bisikan yang datang dari berbagai arah. Arif merasa kepalanya berputar, tubuhnya lemas, dan ia hampir terjatuh ke lantai. Namun, sebelum ia sempat kehilangan kesadaran, sebuah suara yang dalam dan menggema terdengar dari kegelapan. Suara itu begitu kuat, sehingga Arif merasa seolah-olah seluruh tubuhnya tersentak.
“Apakah kau siap untuk mengetahui apa yang tersembunyi di balik gerbang ini?” suara itu bertanya, penuh kehadiran yang kuat dan menakutkan.
Arif tidak bisa menjawab, tubuhnya begitu lemah dan kepalanya berputar. Namun, dia tahu bahwa suara itu berasal dari entitas yang jauh lebih kuat daripada dirinya—entitas yang terikat dengan gerbang yang telah terbuka. Tanpa sadar, ia terjatuh ke tanah, dan dunia sekelilingnya menjadi gelap.
Ketika Arif membuka matanya, ia merasa terperangkap dalam suatu ruang yang sangat berbeda. Ruangan itu gelap dan penuh dengan kabut tebal. Ia mendengar suara-suara aneh yang seolah datang dari segala penjuru. Ia mencoba untuk bergerak, tetapi tubuhnya terasa sangat berat. Di depannya, tampak sosok bayangan yang bergerak perlahan mendekat. Saat bayangan itu semakin dekat, Arif bisa melihat dengan jelas bahwa itu adalah sosok manusia, namun wajahnya sangat kabur, seakan tak bisa dipahami. Sosok itu mengulurkan tangannya.
“Kau telah melangkah terlalu jauh,” suara itu berkata dengan nada yang dalam dan mengerikan. “Kini, kau harus membayar harga yang setimpal.”
Arif merasa seluruh tubuhnya terasa beku. Ia ingin melarikan diri, tetapi kakinya seperti terikat. Sosok itu semakin dekat, dan Arif bisa merasakan getaran yang mengalir dari sosok itu, sebuah energi yang begitu kuat dan tak terduga. Perasaan takut dan cemasnya semakin menguasai dirinya.
“Gerbang ini tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja,” suara itu terus bergema, semakin keras. “Kota ini adalah perangkap bagi mereka yang terlalu ingin tahu. Dan kau sudah terjebak.”
Arif merasa tubuhnya semakin lemah, dan sebelum ia sepenuhnya kehilangan kesadaran, ia mendengar sebuah suara terakhir yang menembus kegelapan. “Ini adalah akhir dari perjalananmu.”
Namun, Arif tidak menyerah. Dalam hatinya, ada sebuah tekad untuk terus berjuang, meskipun ia tidak tahu apa yang menantinya selanjutnya. Sebuah pertanyaan muncul di benaknya: Apakah ini benar-benar akhir, ataukah ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar—sesuatu yang harus ia hadapi untuk bisa keluar dari kota ini.*
Bab 5: Pintu yang Tertutup, Jiwa yang Terperangkap
Saat Arif membuka matanya, ia merasa seperti terbangun dari mimpi yang sangat buruk. Kepalanya terasa berat, dan tubuhnya lemas. Ia terbaring di tanah dingin, di ruangan yang sebelumnya dipenuhi kabut gelap dan bayangan yang mengerikan. Perlahan, ia mencoba mengangkat tubuhnya, meskipun setiap gerakan terasa begitu sulit. Di sekelilingnya, suasana tetap gelap, seakan dunia ini tidak mengenal cahaya.
Namun, ada sesuatu yang berbeda. Suara-suara aneh yang sebelumnya memenuhi ruangan itu kini menghilang. Hening. Sepi. Hanya suara napasnya yang terdengar, terengah-engah dalam keheningan yang mencekam. Arif duduk dengan bantuan tangan, memegangi kepala yang terasa pusing. Ketika ia menatap sekelilingnya, ia menyadari bahwa ia kini berada di tempat yang tidak pernah ia lihat sebelumnya—sebuah ruang yang lebih gelap dan tertutup rapat. Kabut tebal masih memenuhi udara, namun kini, lebih terasa seperti uap panas yang menyelimuti seluruh tubuhnya.
Ia berusaha bangkit, walaupun tubuhnya masih terasa lelah dan goyah. Arif berusaha menenangkan diri dan mencari tahu apa yang sedang terjadi. Ia bisa merasakan bahwa ini bukan sekadar mimpi atau halusinasi. Ada sesuatu yang lebih besar di balik semua ini, sesuatu yang ia sendiri tidak dapat mengungkapkan dengan kata-kata. Kota ini, gerbang yang terbuka, dan sosok bayangan yang telah berbicara padanya—semuanya tampaknya berkaitan.
Ketika Arif berjalan perlahan-lahan, ia merasakan bahwa lantai di bawahnya terasa lembut, seperti tanah liat yang padat namun rapuh. Di depannya, ada sebuah dinding batu besar yang sepertinya menutup seluruh ruangan, namun di tengahnya ada sebuah pintu kecil yang terbuat dari logam hitam. Pintu itu tampak kuno, dengan ukiran-ukiran aneh yang mengelilinginya. Ukiran-ukiran itu sangat mirip dengan simbol-simbol yang ia temui sebelumnya, simbol yang tercetak di buku yang terjatuh dari tangannya.
Arif merasa bahwa inilah saatnya. Pintu ini adalah jawabannya. Pintu ini adalah gerbang yang selama ini ia cari, namun dalam hatinya, ia tahu bahwa melangkah ke dalamnya berarti ia harus menghadapi kenyataan yang jauh lebih gelap dari yang ia bayangkan.
Sambil merasakan ketegangan yang semakin mencekam, Arif melangkah mendekat ke pintu itu. Tangannya gemetar saat ia menyentuh pegangan pintu yang dingin. Dengan napas tertahan, ia memutar pegangan itu, dan dengan suara berderit yang menusuk telinga, pintu itu terbuka perlahan.
Di balik pintu, terdapat lorong sempit yang gelap, dengan cahaya yang sangat minim. Arif melangkah masuk, kali ini lebih hati-hati. Lorong itu tampaknya terus berlanjut, semakin dalam dan semakin gelap. Suasana di sekitar terasa begitu berat, seolah setiap langkah yang ia ambil semakin membawa dirinya lebih jauh ke dalam perangkap yang tak terlihat. Namun, ia tidak bisa berhenti sekarang. Ia harus menemukan jawabannya.
Setelah beberapa saat berjalan, lorong itu berakhir pada sebuah ruangan yang jauh lebih besar. Di tengah ruangan itu, ada sebuah altar batu yang besar, dengan ukiran yang sangat rumit di sekelilingnya. Arif merasa seperti berada di ruang yang sakral, tempat yang sudah lama terlupakan. Ada bau busuk yang samar, dan udara di sekitar terasa tebal, hampir sesak. Ia tahu bahwa altar itu adalah titik pusat dari semua yang terjadi di kota ini, titik yang menghubungkan gerbang yang tersembunyi dengan kekuatan yang tak terbayangkan.
Di atas altar, tergeletak sebuah buku besar yang tampaknya sangat tua. Halaman-halamannya yang kusut terlipat, namun tetap utuh meskipun usianya yang sangat tua. Buku itu tergeletak begitu saja, seperti menunggu untuk dibuka oleh orang yang tepat—atau orang yang cukup berani untuk menghadapinya.
Tanpa berpikir panjang, Arif mendekati altar itu dan meraih buku tersebut. Begitu ia menyentuh sampul buku itu, sebuah suara yang dalam dan menggema terdengar, seakan berasal dari kedalaman ruang itu. Suara itu begitu kuat, hampir membuat Arif terjatuh, namun ia tetap berusaha untuk fokus pada buku yang ada di tangannya.
“Apakah kau siap?” suara itu bertanya dengan nada yang serak, namun begitu kuat. “Kau telah melangkah terlalu jauh, dan kini, tidak ada jalan kembali.”
Arif menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. “Saya harus tahu,” jawabnya dengan tegas. “Saya harus tahu kebenarannya.”
Dengan tangan yang gemetar, Arif membuka halaman pertama buku itu. Tulisan-tulisan yang tak dikenal muncul di depannya, seperti bahasa kuno yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Namun, ada satu kata yang tampaknya familiar—kata yang pernah ia dengar dalam bisikan bayangan yang mengikutinya: “Penjaga Gerbang.”
Ketika ia membalik halaman demi halaman, terungkaplah sebuah kisah yang lebih gelap dari yang ia bayangkan. Buku itu menceritakan asal-usul sekte yang dikenal dengan nama Penjaga Gerbang, dan bagaimana mereka mencoba membuka gerbang yang menghubungkan dunia manusia dengan dunia lain—dunia yang jauh lebih gelap dan penuh dengan entitas yang tak bisa dibayangkan oleh pikiran manusia.
Arif membaca lebih dalam, menemukan bahwa para penjaga tidak hanya mencari kekuatan, tetapi mereka berusaha mengendalikan gerbang tersebut untuk tujuan yang lebih besar—untuk memanggil makhluk-makhluk dari dunia lain, entitas yang seharusnya tidak pernah melintasi batas dunia manusia. Namun, mereka terlalu terlena dengan ambisi mereka dan akhirnya gagal, melepaskan kekuatan yang tidak bisa mereka kendalikan. Gerbang itu tidak hanya membuka jalan, tetapi juga merobek ruang dan waktu, menciptakan sebuah loop yang terperangkap dalam waktu itu sendiri—sebuah kota yang terus berulang, dengan setiap generasi terjebak dalam rahasia yang tak terpecahkan.
Kota ini, Arif menyadari, adalah bagian dari eksperimen yang gagal. Setiap orang yang datang ke kota ini akan terjebak dalam lingkaran waktu yang tak bisa dihindari, menjadi bagian dari permainan yang telah dimulai jauh sebelum mereka lahir. Mereka yang tahu terlalu banyak tentang gerbang ini tidak akan pernah bisa keluar. Mereka akan menjadi bagian dari kota itu—seperti Arif.
Perasaan dingin mulai merayap ke dalam dirinya saat ia menyadari kenyataan ini. Tidak ada jalan kembali. Arif, tanpa sadar, telah menjadi bagian dari cerita yang lebih besar—sebuah cerita yang mengikatnya dengan nasib kota ini. Ia adalah bagian dari gerbang yang terbuka, dan meskipun ia ingin berlari, ia tahu bahwa tidak ada tempat untuk melarikan diri. Pintu itu sudah tertutup, dan jiwa-jiwa yang terperangkap di dalam kota ini tidak akan pernah bisa kembali.
Saat Arif memandang ke arah altar, sebuah sosok muncul di hadapannya. Sosok itu adalah pria tua yang pertama kali ia temui di kota ini. Wajah pria itu tampak lebih jelas sekarang—sebuah wajah yang penuh dengan keputusasaan dan kebijaksanaan yang tak terungkapkan.
“Kau akhirnya mengerti,” suara pria itu terdengar dalam-dalam, penuh penyesalan. “Kota ini adalah perangkap, dan kita semua terjebak di dalamnya. Tapi kau, anak muda, memiliki pilihan. Kau bisa tetap di sini, bersama kami, atau kau bisa menjadi penjaga baru. Pilihanmu menentukan nasibmu.”
Arif menatap pria itu dengan tatapan kosong, merasakan ketakutan yang luar biasa. Tapi dalam hatinya, ia tahu apa yang harus dilakukan. Meskipun ini adalah akhir dari pencariannya, ini juga adalah awal dari sebuah pemahaman yang lebih besar—pemahaman bahwa tidak semua misteri bisa dipecahkan, dan terkadang, menerima takdir adalah satu-satunya jalan keluar.
Gerbang ini mungkin sudah tertutup, tetapi kisahnya akan terus berlanjut, dan Arif, meskipun terperangkap, akan menjadi bagian dari cerita kota ini selamanya.***
————THE END ————-