Bab 1: “Kehancuran Kota Sang Pahlawan”
Malam itu terasa lebih gelap dari biasanya. Bintang-bintang yang biasanya memancarkan cahaya lembut di langit seakan enggan menampakkan diri, tertutup awan kelam yang mengambang di atas kota. Suara gemuruh dari angin yang berhembus membawa aroma tanah basah, seakan-akan alam ikut merasakan ketegangan yang mencekam. Kota Sang Pahlawan, yang selama berabad-abad menjadi simbol perlawanan terhadap penjajahan, kini terancam oleh bayang-bayang kehancuran yang tak bisa lagi dihindari.
Raka, seorang pemuda yang telah tinggal di kota ini sepanjang hidupnya, berdiri di ujung jalan yang mengarah ke pusat kota. Matahari telah lama terbenam, tetapi keramaian kota belum sepenuhnya lenyap. Malam ini, seharusnya seperti malam lainnya—sepi, penuh ketenangan, dengan hanya suara-suara lembut dari pedagang pasar yang masih tersisa dan bayang-bayang orang-orang yang berjalan pulang ke rumah masing-masing. Namun, ada sesuatu yang terasa berbeda. Suasana mencekam yang menggelayuti kota ini semakin kuat.
Tiba-tiba, suara deru langkah kaki terdengar di kejauhan, disusul dengan gemuruh yang makin mendekat. Raka menoleh, dan seakan waktu berhenti ketika dia melihat bayangan pasukan berkuda yang datang dari arah utara. Mereka mengenakan armor hitam dan membawa pedang terhunus, berjalan dengan kecepatan yang luar biasa, menandakan bahwa mereka tidak datang untuk berdamai. Raka mengira ini adalah latihan tentara biasa, tapi rasa takut yang menggelayuti hatinya semakin kuat. Perasaan itu membawanya segera berlari ke rumahnya, melewati gang-gang sempit dan berkelok, berusaha menyembunyikan diri dari pasukan yang datang.
Saat Raka tiba di rumahnya, ia mendapati ibunya sedang sibuk menyiapkan makanan di dapur. Tanpa membuang waktu, Raka menarik tangan ibunya dan membawanya ke ruang belakang. “Ada yang tidak beres,” bisik Raka panik. Ibunya menatapnya dengan bingung, tetapi Raka sudah tidak punya waktu untuk menjelaskan lebih banyak. Ia menarik ibunya keluar dari rumah, menuju ke tempat aman yang sudah sering ia kunjungi sewaktu kecil—sebuah gua tersembunyi di luar kota, tempat keluarganya sering berlindung jika terjadi bahaya.
Setiba mereka di gua tersebut, Raka menatap kota yang mulai dipenuhi kobaran api. Asap tebal mulai menyelimuti langit, dan bunyi ledakan terdengar dari kejauhan. Sesuatu yang tak terbayangkan sebelumnya kini menjadi kenyataan. Pasukan musuh yang datang dengan begitu mendalamnya ternyata bukanlah ancaman biasa. Kota yang dulu dipenuhi dengan semangat perlawanan kini sedang jatuh.
Raka merasa ada yang salah dengan semuanya. Kota ini, yang dahulu merupakan tempat tinggal para pahlawan dan pejuang yang berani, seolah kehilangan semangatnya dalam sekejap. Kenapa hal ini bisa terjadi begitu cepat? Apa yang selama ini disembunyikan dari mata rakyat?
Malam itu, setelah beberapa jam berlalu, suasana kota semakin mencekam. Ketika Raka kembali ke kota bersama ibunya setelah api mereda, mereka mendapati suasana yang jauh berbeda dari yang mereka kenal. Jalanan yang biasanya ramai kini sunyi. Rumah-rumah yang dulu berdiri kokoh kini runtuh, tertutup debu dan abu. Beberapa tubuh yang terbaring tak bernyawa terlihat di tengah jalan, tak jauh dari reruntuhan. Warga kota yang selamat tampak berlarian, bingung dan ketakutan, seakan tak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya.
Raka dan ibunya berjalan dengan hati-hati, menghindari reruntuhan yang berserakan di mana-mana. Di sepanjang jalan, mereka melihat wajah-wajah yang penuh kesedihan dan kehilangan. Raka merasa ada sesuatu yang tidak wajar dengan peristiwa ini. “Ada yang salah, Ma,” kata Raka dengan suara pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Ibunya menatapnya dengan tatapan kosong. Tak ada kata-kata yang bisa diucapkan dalam situasi seperti ini.
Saat mereka sampai di rumah yang dulu mereka tinggali, Raka merasa ada sesuatu yang tertinggal. Sebuah kegelisahan yang terus mengganggunya. Raka masuk ke dalam rumah dan mencari-cari sesuatu yang bisa menjelaskan apa yang terjadi. Di sudut ruang tamu, di bawah tumpukan buku-buku usang, ia menemukan sebuah gulungan kertas yang terlihat sangat tua. Gulungan itu tampaknya telah disembunyikan dengan hati-hati, tersembunyi di balik lapisan debu tebal. Raka merasa tergerak untuk membukanya.
Ketika gulungan itu dibuka, sebuah tulisan dengan tinta yang hampir memudar mulai terbaca. Kata-kata itu tidak mudah dipahami, dan beberapa bagian tampak kabur karena waktu yang telah lama berlalu. Namun, ada satu bagian yang cukup jelas: “Rahasia terbesar kota ini terletak pada pengkhianatan yang dilakukan oleh mereka yang mengaku pahlawan.”
Raka membeku. Apa maksud tulisan ini? Mengapa rahasia sebesar ini disembunyikan? Sebuah perasaan aneh merayapi dirinya, rasa penasaran yang lebih besar daripada rasa takut. Mungkinkah ada sesuatu yang lebih gelap yang telah terjadi di balik sejarah gemilang kota ini?
Di luar, suara-suara teriakan dan langkah kaki semakin terdengar. Raka tahu bahwa jawabannya ada di luar sana, di dunia yang kini penuh dengan kekacauan dan ketidakpastian. Dengan gulungan itu di tangan, Raka membuat keputusan. Ia tidak bisa hanya berdiam diri dan menerima kenyataan ini begitu saja. Kota yang dulu penuh dengan kebanggaan dan harapan kini hancur, namun ia tidak akan membiarkan rahasia itu tertutup begitu saja.
Raka tahu bahwa perjalanannya baru saja dimulai.*
Bab 2: “Jejak yang Terhapus”
Keheningan malam di gua terasa begitu tebal, seolah-olah alam pun turut menahan napas bersama Raka. Ia duduk dengan tenang, menggenggam gulungan yang ia temukan di rumahnya. Gulungan itu, meski tampak usang, tetap menyimpan rahasia yang begitu besar. Setiap kata yang terukir di atasnya membawa beban yang terlalu berat untuk dipahami oleh pikiran seorang pemuda seumurannya. Namun, Raka tahu bahwa ia tidak bisa begitu saja mengabaikan apa yang telah ditemukan. Sesuatu yang besar, yang telah lama disembunyikan, kini mulai terungkap, dan itu ada di tangannya.
Ia menatap gulungan itu dalam-dalam, mencoba mencerna kalimat pertama yang terbaca dengan jelas: “Rahasia terbesar kota ini terletak pada pengkhianatan yang dilakukan oleh mereka yang mengaku pahlawan.” Kalimat itu menggema di benaknya, memancing rasa ingin tahu yang lebih besar dari sebelumnya. Siapa yang dimaksud dengan “mereka yang mengaku pahlawan”? Dan apa pengkhianatan yang dimaksud?
Pagi datang dengan perlahan, sinar matahari pertama menyusup melalui celah-celah gua, memberi sedikit kehangatan di udara yang dingin. Raka merasa gelisah. Ia tahu bahwa apa pun yang ada di balik kata-kata itu tidak bisa dibiarkan begitu saja. Kota yang dulu ia kenal dengan penuh kebanggaan kini hancur, dan di balik kehancuran itu, pasti ada alasan yang jauh lebih dalam daripada yang dapat dilihat oleh mata.
Setelah memutuskan untuk tidak tinggal diam, Raka mengemas sedikit barang dan melangkah keluar dari gua, berniat mencari lebih banyak petunjuk. Ibunya memandangnya dengan khawatir, namun ia tahu bahwa putranya sudah terlalu jauh terjerat dalam misteri ini untuk mundur. “Hati-hati, Nak,” kata ibunya, suaranya penuh dengan rasa takut yang mendalam.
Raka hanya mengangguk pelan dan melangkah pergi.
Tujuannya jelas: mencari tahu lebih banyak tentang pengkhianatan yang disinggung dalam gulungan itu. Ia tahu bahwa untuk memahami lebih jauh, ia harus mengetahui lebih banyak tentang sejarah kota ini. Kota Sang Pahlawan bukanlah kota biasa. Selama berabad-abad, kota ini dikenal sebagai pusat perlawanan terhadap penjajahan, tempat di mana pejuang-pejuang besar dilahirkan, tempat di mana mimpi akan kemerdekaan digenggam oleh para pemimpin yang gagah berani. Namun, apakah semua yang mereka perjuangkan adalah kebenaran?
Perjalanan Raka membawanya menuju desa terpencil yang terletak di pinggiran kota. Ini adalah tempat yang selalu diceritakan oleh para tetua sebagai salah satu saksi bisu dari masa lalu kota tersebut. Dulu, tempat ini adalah rumah bagi banyak pejuang yang berani. Namun, seperti banyak tempat lainnya, desa ini kini terabaikan, terlupakan oleh waktu, seiring dengan jatuhnya kota ke tangan penjajah. Hanya sedikit orang yang tahu tentang tempat ini—mereka yang masih hidup dan mengenang masa lalu. Desa ini menjadi simbol dari sesuatu yang telah hilang, sesuatu yang seharusnya tetap dikenang.
Raka sampai di desa itu menjelang sore, dan keheningan yang menyelimuti tempat itu semakin menambah kesan misterius. Rumah-rumah yang sudah lama ditinggalkan tampak rapuh, dinding-dindingnya penuh dengan jamur, dan kebun-kebun yang dulunya subur kini tampak terabaikan. Raka berjalan menyusuri jalanan sempit yang hampir tidak dikenali lagi, hingga ia tiba di sebuah rumah yang tampaknya lebih terawat daripada yang lainnya.
Pintu rumah itu terbuka perlahan saat Raka mengetuk. Seorang wanita tua muncul dari balik pintu, matanya tajam, namun penuh dengan kehangatan yang tersembunyi. “Ada apa, anak muda?” tanya wanita itu dengan suara serak, seakan sudah bertahun-tahun tidak berbicara pada siapapun.
“Apa kau tahu tentang sejarah kota ini?” tanya Raka, tidak ingin membuang waktu. “Tentang apa yang sebenarnya terjadi di sini?”
Wanita itu terdiam sejenak, memandang Raka dengan mata yang penuh perhitungan. Akhirnya, dia mengangguk pelan dan memberi isyarat untuk masuk. “Sejarah kota ini? Oh, banyak yang sudah terlupakan. Tapi kau mungkin ingin tahu lebih banyak tentang yang tak pernah diceritakan,” ujarnya, suara pelan tetapi tegas.
Di dalam rumah itu, Raka disuguhkan teh herbal yang hangat, dan mereka mulai berbicara tentang masa lalu. Wanita itu, yang mengaku bernama Nyi Rini, adalah salah satu dari sedikit orang yang selamat dari peristiwa besar yang mengubah jalannya sejarah kota tersebut. “Kau tahu,” Nyi Rini memulai ceritanya, “bahwa kota ini dulu dikenal dengan nama Kota Perlawanan. Selama berabad-abad, penduduknya selalu berjuang melawan penindasan, melawan penjajahan yang datang dari luar. Tapi ada satu hal yang selalu ditutupi, bahkan oleh para pemimpin kota sendiri.”
Raka menatapnya dengan penuh perhatian. “Apa yang disembunyikan?”
Nyi Rini menarik napas dalam-dalam. “Ada pengkhianatan besar yang dilakukan oleh salah satu pemimpin paling dihormati di kota ini. Aku tak akan menyebut namanya, tetapi dia adalah seseorang yang sangat dihormati oleh banyak orang, seseorang yang menjadi simbol perlawanan kita. Namun kenyataannya, dia bukanlah pahlawan seperti yang kita percayai.”
Raka merasa jantungnya berdegup kencang. “Apa yang dia lakukan?”
“Dia bekerja sama dengan penjajah,” jawab Nyi Rini, suaranya bergetar. “Dia mengkhianati rakyatnya demi kepentingan pribadi. Dalam bayangan kemuliaan perlawanan, dia diam-diam menyusun rencana untuk menyerahkan kota ini. Dan setelah kota ini jatuh, dia menghapus jejaknya—menghapus segala bukti yang bisa membuktikan pengkhianatannya.”
Raka merasa dunia seakan runtuh di hadapannya. Kota yang selama ini ia anggap sebagai simbol keberanian ternyata memiliki rahasia kelam yang sangat mendalam. Semua yang ia pelajari di sekolah, semua yang ia dengar tentang sejarah kota ini, seakan runtuh begitu saja.
“Jadi, apakah semua ini benar?” tanya Raka, suaranya penuh kebingungan.
Nyi Rini mengangguk. “Benar. Tapi tak ada yang pernah berani mengungkapkannya. Mereka yang tahu, seperti aku, terpaksa diam karena takut akan balas dendam. Banyak yang telah dibungkam oleh kekuasaan yang ada.”
Raka menunduk, merenungkan apa yang baru saja ia dengar. Di tangannya, gulungan yang ia temukan kini terasa lebih berat. Ini adalah kebenaran yang selama ini tersembunyi, dan kini, tak ada jalan lain selain mengungkapkannya.
“Lalu, apa yang harus aku lakukan sekarang?” tanya Raka dengan suara yang hampir putus asa.
“Cari kebenaran,” kata Nyi Rini dengan tegas. “Cari mereka yang tahu, gali lebih dalam, dan temukan bukti yang tak bisa disangkal. Hanya dengan begitu, sejarah yang sesungguhnya dapat terungkap.”
Raka bangkit, dengan tekad yang lebih kuat dari sebelumnya. Perjalanannya baru saja dimulai, dan ia tahu bahwa apa pun yang ia temui di depan, ia harus menghadapi kebenaran yang selama ini terkubur.*
Bab 3: Bayang Masa Lalu
Langkah kaki Raka menyusuri jalan tanah berbatu, meninggalkan desa tua tempat Nyi Rini tinggal. Suara dedaunan bergesekan ditiup angin sore, menambah keheningan perjalanan pulangnya yang terasa lebih panjang dari biasanya. Hatinya dipenuhi gemuruh rasa—marah, bingung, dan ragu bercampur menjadi satu. Gulungan tua yang kini tersimpan di dalam tas kulitnya seakan memiliki beban lebih berat daripada sekadar kertas lusuh berusia ratusan tahun.
Raka belum tahu pasti ke mana langkahnya akan membawanya. Tapi ia tahu, jika ia ingin mengungkap kebenaran, maka ia harus kembali ke akar—tempat sejarah pertama kali ditulis: Perpustakaan Kota Sang Pahlawan.
Perpustakaan itu terletak di pusat kota, di sebuah bangunan tua berarsitektur kolonial yang dahulu menjadi kantor pemerintahan. Setelah kemerdekaan, bangunan itu diubah menjadi tempat penyimpanan dokumen-dokumen sejarah, surat kabar kuno, dan catatan perang. Meski sempat terbakar sebagian ketika kota diserang beberapa malam lalu, kabarnya bagian bawah tanah perpustakaan—arsip utama—masih utuh.
Sebelum langit benar-benar gelap, Raka berhasil tiba di halaman perpustakaan yang kini sepi. Pintu kayu besar di bagian depan sudah jebol, dan pecahan kaca berserakan di lantai marmar. Ia berjalan pelan, menyusuri lorong-lorong yang dingin dan beraroma lembap. Senter kecil di tangannya menjadi satu-satunya cahaya yang menuntunnya.
Ia turun ke ruang bawah tanah lewat tangga sempit di ujung barat perpustakaan. Di sanalah ia berharap menemukan petunjuk lebih jauh. Rak-rak tinggi yang dipenuhi dokumen tua berdiri berjejer, beberapa tampak rusak, tapi sebagian masih utuh. Raka berhenti di salah satu sudut yang bertanda “PERANG BESAR KE-2”, dan mulai membuka beberapa map yang disegel kain abu-abu.
Di antara tumpukan peta dan catatan harian tentara, ia menemukan sebuah berkas tipis yang diberi label “Komite Rahasia 17 – Arsip Dalam Negeri”. Raka membuka isinya dengan hati-hati. Ada beberapa halaman surat yang tampaknya dikirim secara diam-diam dari seorang anggota komite kepada seseorang bernama Satria Mandala, salah satu nama yang selama ini dikenang sebagai pahlawan agung kota.
Namun isi surat itu mengguncang logika yang selama ini ia percayai.
“Satria, keputusan untuk menyerahkan gerbang timur pada malam ke-17 telah dibuat. Mereka percaya ini akan mempercepat negosiasi damai. Tapi aku tak bisa berdamai dengan nuraniku. Jika kau ikut dalam rencana ini, berarti kau memilih kehancuran kota demi ambisimu sendiri.”
Raka menahan napas. Satria Mandala? Orang yang patungnya berdiri megah di alun-alun kota? Yang namanya dijadikan nama jalan utama dan sekolah-sekolah negeri?
Tangannya bergetar saat menyusun surat-surat itu kembali. Potongan-potongan kebenaran mulai menyatu. Satria, sang pahlawan, mungkin bukanlah pahlawan sejati. Mungkin ia justru aktor utama di balik kehancuran kota yang selama ini dituduhkan pada kekuatan luar.
Namun, sebelum Raka sempat menyimpan dokumen itu, suara langkah kaki menggema dari atas. Cepat dan berat. Raka langsung mematikan senternya dan bersembunyi di balik salah satu rak buku. Jantungnya berdetak keras.
Dari balik rak, ia mengintip. Sosok seorang pria dengan pakaian hitam dan topeng penutup wajah turun dari tangga, membawa obor kecil di tangannya. Orang itu tampak mencari sesuatu—atau seseorang.
“Di sini pasti ada yang membuka arsip,” gumam pria itu dengan suara berat. “Mereka tidak boleh tahu terlalu banyak…”
Raka menahan napas. Ia sadar, dokumen yang ia pegang tidak hanya penting, tapi juga berbahaya. Jika orang ini bagian dari mereka yang ingin menyembunyikan kebenaran, maka nyawanya kini benar-benar dalam bahaya.
Saat pria bertopeng berjalan melewati rak tempat Raka bersembunyi, ia memanfaatkan celah sempit di belakang tumpukan dokumen tua untuk menyelinap keluar dari sisi lain ruangan. Pelan, nyaris tanpa suara, Raka naik ke tangga, lalu berlari sekuat tenaga keluar dari perpustakaan.
Udara malam langsung menyambutnya, dingin dan menyengat. Ia terus berlari menyusuri jalanan sepi, menembus gang-gang gelap, sampai akhirnya tiba di sebuah bangunan terbengkalai yang dulu merupakan sekolah lamanya. Di sana, ia beristirahat sejenak, mencoba menenangkan napas dan pikirannya.
Ia membuka kembali surat dari arsip tadi, kini membacanya dengan lebih hati-hati. Ada banyak nama lain yang disebut dalam surat-surat itu—beberapa terdengar asing, tapi ada satu yang membuat matanya melebar Kirana Mandala.
Kirana. Nama itu tidak asing. Ia adalah cucu dari Satria Mandala, seorang dosen sejarah di universitas kota yang terkenal akan pengetahuannya tentang masa lalu. Raka pernah melihatnya bicara di televisi lokal, membahas sejarah kota dengan semangat dan kecintaan luar biasa.
Mungkinkah Kirana tahu sesuatu tentang warisan kelam kakeknya?
Tanpa berpikir panjang, Raka memutuskan: ia harus menemui Kirana.
Pagi harinya, Raka menyamar menggunakan jaket tua dan topi lusuh, lalu berjalan ke bagian barat kota—tempat Kirana tinggal. Ia tahu ini berisiko, karena jika pria bertopeng tadi berasal dari organisasi yang lebih besar, kemungkinan mereka akan mulai mencarinya.
Setibanya di rumah Kirana, ia mengetuk pintu tiga kali.
Tak lama, pintu dibuka oleh seorang perempuan muda berambut hitam sebahu, memakai kacamata tipis. Tatapan matanya tajam, penuh tanya.
“Ya?” tanyanya.
“Aku Raka… aku butuh bantuan. Ini soal… kakekmu.”
Kirana mengerutkan kening. “Apa maksudmu?”
Raka membuka tasnya, lalu menunjukkan salinan surat yang ia temukan di perpustakaan. Kirana membaca cepat, wajahnya perlahan memucat.
“Aku tidak percaya…” bisiknya.
“Kau tahu tentang ini?” tanya Raka.
Kirana menggeleng. “Tidak… tapi aku pernah menemukan buku harian lama milik kakekku, yang isinya dikunci. Mungkin sekarang saatnya membukanya.”
Mereka saling menatap. Dua orang dari generasi berbeda, yang dipersatukan oleh rahasia besar dari masa lalu
Dan di titik itu, keduanya sadar kebenaran yang selama ini dikubur dalam bayang-bayang sejarah… kini mulai bangkit kembali.*
Bab 4: Kunci dalam Diam
Di ruang tamu rumah Kirana, suasana terasa tegang. Raka duduk di sofa usang yang penuh debu, sementara Kirana berdiri di depan lemari tua, mengeluarkan sebuah kotak kayu kecil. Di atas kotak itu terukir huruf S.M.—inisial dari Satria Mandala.
“Aku menemukannya di loteng rumah ini beberapa tahun lalu,” kata Kirana sambil meletakkan kotak itu di meja. “Terkunci rapat. Sudah pernah coba membukanya, tapi tidak ada kunci yang cocok.”
Raka memandang kotak itu. Tua dan lusuh, tapi jelas benda itu menyimpan sesuatu yang penting. “Apa kamu yakin itu milik kakekmu?”
Kirana mengangguk pelan. “Ibuku bilang, kotak itu ditemukan bersamaan dengan barang-barang pribadi kakek saat rumah ini direnovasi. Tapi saat itu, tidak ada yang menganggapnya penting.”
Raka mengambil kotak itu, merabanya. Ada ukiran rumit di sekelilingnya, motif bunga dan garis berkelok seperti lambang kuno. Tapi di bagian depan, tersembunyi di balik lapisan debu, ada sesuatu—lubang kecil menyerupai kunci putar. Raka teringat sesuatu.
“Gulungan dari rumah Nyi Rini…” gumamnya. Ia buru-buru membuka tasnya, mengeluarkan gulungan kain tua yang masih tersimpan rapi. Saat ia buka, gulungan itu ternyata punya sebuah jepitan logam kecil di ujungnya—bentuknya aneh, seperti tidak lazim.
Tanpa banyak bicara, ia mencoba memasukkan jepitan itu ke lubang kunci kotak kayu.
Klik.
Kotak itu terbuka.
Isi di dalamnya mengejutkan mereka berdua: sepucuk surat yang ditulis tangan, potret hitam-putih Satria Mandala bersama tiga pria lain, serta sebuah peta kuno yang menandai titik-titik tertentu di kota. Di bagian belakang peta tertulis:
“Mereka yang tidak melupakan malam itu, akan menemukan cahaya dalam kegelapan kota ini.”
Raka membaca surat itu dengan suara bergetar.
Untuk Kirana, jika kau menemukan ini, berarti kebenaran telah mulai mencuat. Aku bukan pahlawan seperti yang dikatakan sejarah. Tapi aku juga bukan pengkhianat. Malam ke-17 adalah malam keputusan terberat dalam hidupku. Aku tidak bisa mencegah pengkhianatan itu—tapi aku juga tidak bisa mengungkap semuanya. Aku hanya menanam petunjuk. Jika kau membaca ini, artinya kota ini butuh kebenaran. Temukan tiga penjaga bayangan. Mereka tahu apa yang sesungguhnya terjadi.
Kirana memejamkan mata, menahan gejolak dalam dirinya. “Jadi… dia tahu, tapi memilih bungkam.”
“Karena kalau dia bicara, mungkin dia akan dibunuh,” timpal Raka. “Tiga penjaga bayangan… siapa mereka?”
Kirana melihat kembali foto tua di dalam kotak. Di samping Satria, ada tiga pria lain—semua mengenakan pakaian militer, tapi wajah mereka tampak suram. Di sudut kanan bawah foto, ada cap kecil berbentuk segitiga.
“Simbol ini…” gumam Kirana. “Aku pernah lihat di buku sejarah tua di perpustakaan universitas. Itu lambang ‘Pasukan Merah’—unit rahasia yang katanya dibentuk untuk melindungi kota dari infiltrasi musuh.”
Raka berdiri. “Mungkin tiga pria ini adalah anggota unit itu. Dan kalau mereka masih hidup…”
“Kita harus temukan mereka,” potong Kirana. “Atau setidaknya keturunan mereka. Mereka adalah kunci untuk membuka misteri ini.*
Hari itu juga, Kirana mengajak Raka ke ruang arsip pribadi di Universitas Purnajaya, tempat ia mengajar. Di sana, mereka menelusuri catatan lama tentang Pasukan Merah. Tidak mudah, karena banyak data yang hilang atau dihitamkan. Tapi satu dokumen mencantumkan nama-nama anggota unit: Ardi Wiratma, Laksana Kertanegara, dan Bayu Adinata.
“Ardi Wiratma tercatat pernah jadi kepala pos pengungsian setelah perang,” kata Kirana. “Alamat terakhirnya di Jalan Melati, tapi sekarang tempat itu jadi gedung kosong.”
“Bayu Adinata pernah jadi tukang cukur di pasar timur,” Raka menambahkan, membaca dari dokumen lain. “Tapi catatan berhenti di tahun 1974. Mungkin anak atau cucunya masih ada di sekitar.”
“Dan Laksana Kertanegara…” Kirana terdiam. “Namanya sama dengan rektor pertama universitas ini.”
Keduanya saling pandang. Jalur sejarah mulai terhubung.
Tapi sebelum mereka bisa menyusun langkah selanjutnya, ponsel Kirana bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor tidak dikenal:
“Berhenti mencari. Kebenaran tidak akan menyelamatkanmu. Ini peringatan pertama.”
Kirana menunjukkan layar ponselnya pada Raka.
“Mereka tahu kita sedang mencari,” bisik Kirana.
Raka mengepalkan tangan. “Justru itu. Kita harus lebih cepat dari mereka.”
—
Malam harinya, Raka dan Kirana pergi ke alamat lama Ardi Wiratma. Gedung kosong di Jalan Melati tampak menyeramkan. Bekas kantor pengungsian itu kini ditinggalkan, jendelanya pecah, dan pintu kayunya menggantung miring. Tapi saat mereka masuk ke dalam, mereka menemukan sesuatu yang tak mereka duga.
Di salah satu ruangan, ada foto besar tergantung di dinding—foto yang sama dengan yang ada di dalam kotak Satria Mandala. Di bawahnya, tertulis: “Kami berdiri dalam bayang, agar kota tetap dalam terang.”
Namun yang mengejutkan, ada secarik kertas tergantung di bawah foto itu. Seolah baru saja ditaruh.
Raka membacanya pelan:
“Satu telah tiada. Dua lainnya menyembunyikan diri. Tapi cahaya akan muncul saat malam ke-17 kembali.”
“Malam ke-17…” Kirana bergumam. “Apa maksudnya?”
Sebelum Raka sempat menjawab, suara langkah kaki terdengar dari luar gedung. Mereka saling tatap, lalu bersembunyi di balik rak tua. Dua orang pria berpakaian hitam masuk ke dalam gedung, memeriksa ruangan dengan senter.
“Kita terlambat. Mereka sudah ke sini,” kata salah satu pria itu.
“Lacak mereka. Jangan biarkan mereka keluar dari kota.”
Begitu kedua pria itu menjauh ke sisi lain gedung, Raka menarik tangan Kirana dan keluar diam-diam lewat jendela belakang. Mereka berlari ke arah utara, menembus gang sempit, sampai tiba di sebuah rumah kontrakan milik kenalan Kirana yang kosong. Di sana mereka bersembunyi sementara, napas masih tersengal.
“Ini lebih besar dari yang kita kira,” kata Kirana.
“Dan lebih berbahaya,” tambah Raka.
Tapi mata mereka menyala. Di balik ketakutan itu, ada tekad. Sejarah bukan hanya tentang masa lalu—ia adalah senjata, kunci, dan beban yang harus dipikul oleh generasi setelahnya.
Dan malam ke-17… perlahan mendekat kembali.*
Bab 5: Malam Ke-17
Angin dingin menyusup ke celah-celah dinding rumah kontrakan tempat Raka dan Kirana bersembunyi. Di dalam, lampu redup dari senter kecil menjadi satu-satunya cahaya yang menyinari tumpukan catatan dan potret tua yang mereka kumpulkan sejak semalam. Peta kuno terbentang di lantai, dengan titik-titik merah yang menandai lokasi yang mereka duga sebagai jejak tiga penjaga bayangan.
“Kalau malam ke-17 adalah petunjuk waktu, mungkin itu tanggal,” kata Kirana pelan.
Raka mengangguk. “Atau bisa jadi merujuk ke sebuah peristiwa yang terjadi pada tanggal 17. Seperti peringatan, atau sesuatu yang diulang setiap tahun.”
Kirana membuka laptopnya, mencari referensi. Setelah beberapa saat mengetik, matanya membelalak.
“Ada insiden yang tercatat pada tanggal 17 Juli, tahun 1965. Sebuah ledakan terjadi di markas Pasukan Merah, tapi tidak pernah diumumkan ke publik. Korban jiwa tidak diketahui, dan beritanya menghilang begitu saja dari arsip nasional.”
“Ledakan?” Raka mendekat. “Mungkin itu malam yang disebut Satria Mandala dalam suratnya. Malam keputusan.”
Kirana mengangguk pelan. “Mungkin. Dan ingat tulisan di dinding itu? ‘Malam ke-17 akan kembali.’ Bisa jadi ini bukan hanya sejarah, tapi semacam siklus. Mungkin mereka—siapapun itu—merencanakan sesuatu yang sama pada tanggal yang sama di tahun ini.”
Raka menarik napas dalam-dalam. “Tanggal 17 tinggal tiga hari lagi.”
Keesokan harinya, mereka memutuskan untuk mencari keturunan Bayu Adinata—anggota Pasukan Merah yang pernah menjadi tukang cukur. Mereka menelusuri pasar tua di sisi timur kota, yang kini sepi dan hanya dihuni oleh beberapa pedagang generasi lama. Setelah beberapa pertanyaan, mereka menemukan sebuah kios kecil yang sudah tutup, tapi di sebelahnya ada toko kelontong milik seorang pria tua.
“Bayu Adinata?” pria itu mengulang nama itu. “Oh, itu tukang cukur yang terkenal di zamannya. Ramah. Tapi… menghilang tiba-tiba. Katanya dibawa militer, terus nggak pernah balik.”
“Apakah dia punya keluarga?” tanya Raka.
“Anaknya, kalau nggak salah, tinggal di pinggiran kota. Namanya Rahmat. Tapi udah tua juga sekarang. Suka ngajar anak-anak ngaji.”
Mereka segera menuju alamat yang diberikan. Di sebuah rumah sederhana, mereka bertemu Rahmat Adinata—pria paruh baya dengan wajah teduh dan suara berat. Saat mereka menunjukkan foto lama Pasukan Merah, ekspresinya berubah kaku.
“Sudah lama aku tak melihat wajah ayahku,” katanya lirih. “Kalian dari mana mendapatkan ini?”
“Dari cucu Satria Mandala,” jawab Raka jujur. “Kami sedang menyelidiki apa yang terjadi pada malam ke-17. Kami pikir ayah Anda tahu sesuatu.”
Rahmat menghela napas. Ia lalu masuk ke dalam dan kembali membawa sebuah kotak kayu kecil, penuh debu. “Ayahku meninggalkan ini padaku, tapi aku tak pernah berani membukanya. Sampai malam tadi… aku bermimpi tentangnya. Ia bilang, ‘sampaikan kebenaran.’”
Ia membuka kotak itu perlahan. Di dalamnya terdapat secarik surat usang dan potongan lambang segitiga yang sama seperti di foto Satria. Surat itu ditulis tangan:
Bayu, jika kau masih memegang ini, berarti aku gagal menghentikan mereka. Satria memilih diam, Ardi berusaha melawan, Laksana menghilang entah ke mana. Tapi mereka tidak tahu bahwa Pasukan Merah telah dipecah. Mereka pikir hanya kami berlima, padahal ada yang di belakang layar. Mereka adalah dalang. Dan malam ke-17, mereka akan mengulang semuanya. Kita harus menghentikan mereka, bahkan jika nyawa taruhannya.
Air mata mengalir di pipi Rahmat. “Ayahku tahu ada sesuatu yang besar, tapi ia selalu berkata, ‘jangan kau ulang sejarah kelam ini.’ Sekarang… aku tahu kenapa.”
“Siapa dalang yang dimaksud?” tanya Kirana.
Rahmat menatap mereka dengan tatapan tajam. “Aku tidak tahu pasti. Tapi ia selalu menyebut satu nama dalam tidurnya—Dahana.”
“Dahana?” Raka mengernyit. “Itu nama tokoh sejarah kuno kota ini. Pendirinya.”
Rahmat menggeleng. “Bukan itu. Ini seseorang dari zaman ayahku. Nama kode, katanya. Orang yang dikenal punya kendali atas politik, militer, bahkan media.”
“Kalau Dahana masih hidup… dia bisa berada di balik ancaman yang kita terima.”
Hari berikutnya, Kirana dan Raka kembali ke universitas. Mereka menyelinap ke ruang arsip tertutup, tempat catatan rektor pertama disimpan. Nama Laksana Kertanegara tercantum jelas, lengkap dengan catatan masa jabatannya. Tapi ada hal aneh—pada tahun 1965, mendadak ia mengundurkan diri tanpa alasan jelas, dan catatan kehidupannya setelah itu berhenti total.
“Laksana menghilang,” kata Raka. “Seperti yang ditulis dalam surat Bayu. Tapi kenapa jejaknya bisa hilang sebersih ini?”
Kirana menelusuri lagi catatan dosen dan staf di masa itu. Satu nama mencolok muncul berkali-kali—Prof. Dahana Pratama, dosen tamu yang masuk ke universitas tahun 1964, dan menghilang tahun berikutnya.
“Dahana Pratama…” gumam Raka. “Jangan-jangan dia…”
Sebuah suara di belakang mereka memotong percakapan.
“Bisa saya bantu, mahasiswa sekalian?”
Raka dan Kirana berbalik. Seorang pria berjas abu-abu berdiri di ambang pintu. Matanya tajam, penuh kewaspadaan.
“Saya dari dewan arsip kampus. Kami mendapat laporan ada yang mengakses dokumen rahasia.”
“Maaf, kami hanya sedang riset sejarah,” jawab Kirana tenang.
Pria itu mendekat, menatap tajam foto di meja—potret Pasukan Merah. Ia menghela napas.
“Kalian mencari terlalu dalam. Berbahaya jika tidak tahu cara keluar.”
Raka langsung curiga. “Siapa Anda sebenarnya?”
Pria itu menyeringai. “Aku? Hanya bayangan terakhir yang tersisa dari malam itu. Dan kalian—baru saja menyalakan sumbu lama.”
Tanpa menjawab lebih lanjut, ia berjalan pergi, meninggalkan mereka dalam kebingungan.
Malam harinya, Raka tak bisa tidur. Kata-kata pria itu terngiang-ngiang. Bayangan terakhir? Apakah dia saksi? Atau dalang?
Kirana duduk di dekat jendela, menatap cahaya kota. “Malam ke-17 tinggal dua hari. Kalau kita tak temukan jawaban sebelum itu, semuanya akan terulang.”
“Kita harus ke puncak menara tua di pusat kota,” kata Raka tiba-tiba. “Lihat ini.”
Ia membuka peta kuno dari kotak Satria Mandala. Salah satu titik merah mengarah ke Menara Api—bangunan tua di tengah kota yang kini jadi monumen. Tapi di balik nama itu, ada catatan kecil tertulis samar:
Titik pemicu. Semua dimulai dan berakhir di sini.
Kirana mengangguk perlahan. “Kita ke sana besok. Dan semoga, kita belum terlambat.”*
Berikut perkembangan Bab 6 dari cerita Kota Sang Pahlawan:
—
Bab 6: Menara Api
Langit kota diselimuti awan kelabu ketika Raka dan Kirana berdiri di depan Menara Api. Menara itu menjulang sunyi di tengah keramaian kota yang sibuk, seolah waktu berhenti di sekelilingnya. Dahulu, bangunan ini adalah menara pengawas utama masa kolonial, tapi kini menjadi monumen yang dilupakan.
“Menara ini memang jadi simbol,” gumam Kirana. “Tapi tidak pernah ada yang tahu fungsinya sebenarnya.”
“Menurut peta, di bawah menara ada ruang bawah tanah,” kata Raka sambil menatap catatan dari Satria Mandala. “Tempat berkumpul Pasukan Merah, titik pemicu, mungkin juga tempat mereka menyembunyikan sesuatu yang ingin dilupakan sejarah.”
Pintu utama terkunci, tapi Raka sudah menyiapkan kunci duplikat yang ia buat diam-diam dari kunjungannya minggu lalu. Mereka menyelinap masuk, menyusuri lorong sempit dengan dinding bata merah tua. Debu dan sarang laba-laba menempel di langit-langit. Tangga spiral membawa mereka ke lantai dasar, lalu ke lorong tersembunyi yang ditutupi besi tua dan papan peringatan.
Raka mendorong papan itu—berderit berat—membuka jalan ke ruang bawah tanah. Di dalamnya, mereka menemukan ruangan luas yang kosong, kecuali sebuah peti besi di tengah.
“Ini pasti bukan sembarang tempat,” kata Kirana pelan.
Raka membuka peti itu dengan hati-hati. Di dalamnya terdapat map berlabel Proyek Merah Putih: Kode Dahana. Jantung Raka berdegup kencang saat membaca lembaran pertama:
> Tujuan utama: Menyusup ke dalam sistem pemerintahan pasca kemerdekaan, memastikan stabilitas melalui kontrol informasi, penghilangan tokoh-tokoh yang dianggap mengancam narasi nasional.
“Ini bukan sekadar organisasi idealis,” bisik Raka. “Ini konspirasi politik tingkat tinggi. Mereka menciptakan pahlawan palsu dan mengubur pahlawan asli.”
Di balik map, terdapat rekaman pita suara dan sebuah catatan tertulis tangan:
Rekaman 17 Juli 1965. Simpan di tempat terakhir sebelum malam ke-17 tiba kembali.
Kirana mengambil alat pemutar dari dalam peti, yang untungnya masih dapat digunakan dengan baterai yang mereka bawa. Mereka menyalakan rekaman itu—suara laki-laki terdengar jelas, dalam dan tegas.
> “Ini Satria Mandala. Jika rekaman ini diputar, berarti aku gagal mencegah mereka. Dahana bukan satu orang. Ia adalah simbol. Wajah berganti, tapi tujuannya sama: menjaga narasi. Mereka akan menciptakan peristiwa baru, menuduh, menghapus, dan mengganti kebenaran dengan versi mereka. Malam ke-17 akan menjadi awal babak baru. Kota ini akan jadi pusatnya.”
Raka dan Kirana saling berpandangan. “Mereka akan ulang kejadian itu. Tapi dengan bentuk baru,” kata Raka.
Tiba-tiba suara retakan terdengar dari atas. Langkah kaki bergema.
“Mereka tahu kita di sini,” bisik Kirana.
“Ambil semuanya. Kita harus keluar lewat lorong barat,” jawab Raka cepat.
Mereka membawa map, pita rekaman, dan salinan foto yang mereka temukan. Namun sebelum sempat mencapai tangga, tiga pria berpakaian gelap muncul, menghadang. Salah satu dari mereka adalah pria berjas abu-abu dari arsip kampus.
“Kami sudah memberi peringatan,” katanya datar. “Tapi kalian terus menggali.”
“Kau Dahana?” tantang Raka.
Pria itu tersenyum tipis. “Bukan. Aku hanya penjaga gerbang terakhir. Tapi aku tahu, setelah malam ke-17, kalian tidak akan pernah mengganggu lagi.”
Ia memberi isyarat pada anak buahnya. Kirana menarik senter dan menyinari mata salah satu dari mereka, membuatnya limbung. Raka melempar map ke sudut ruangan, memancing perhatian, lalu mendorong salah satu pria ke arah pilar besi. Kesempatan itu cukup untuk mereka kabur ke lorong barat.
Lorong itu sempit dan penuh reruntuhan, tapi mereka berhasil keluar ke taman belakang menara. Napas mereka terengah, pakaian berdebu, tapi map dan rekaman selamat.
“Kita harus sebarkan ini,” kata Kirana. “Sebelum mereka menyebarkan narasi palsu.”
—
Malamnya, di kamar kontrakan, mereka mengirimkan salinan file dan rekaman ke beberapa jurnalis independen serta dosen-dosen sejarah yang mereka percaya. Tapi Kirana ragu.
“Mereka bisa menganggap ini rekayasa. Tanpa bukti fisik kuat, mereka bisa menyangkalnya.”
Raka terdiam. “Kalau begitu… kita harus tampil. Buka semuanya. Bicara ke publik langsung.”
“Lewat konferensi pers? Atau siaran langsung?”
“Lebih baik kita pakai platform netral. Siaran langsung di kanal sejarah. Biar publik yang menilai.”
Keesokan harinya, mereka menyiapkan segalanya. Raka membuat naskah, Kirana menyiapkan visual. Saat waktu siaran tiba, mereka duduk di depan kamera.
“Nama saya Raka. Bersama Kirana, kami mengungkap bagian sejarah kota ini yang selama ini dikubur. Ini bukan tentang teori konspirasi. Ini tentang pengkhianatan terhadap kebenaran…”
Mereka memutar rekaman suara Satria Mandala. Menunjukkan bukti visual, peta, potret, dan surat-surat asli dari Pasukan Merah. Tayangan itu langsung menjadi viral. Banyak yang meragukan, tapi sebagian besar publik—terutama yang pernah hidup di era itu—mulai menyambungkan potongan ingatan dan fakta.
Namun tak lama setelah siaran berakhir, kontrakan mereka dilempari batu. Dinding dicorat-coret: “Diam atau hilang.”
“Ini berarti kita berhasil mengusik mereka,” kata Kirana.
“Dan mereka mulai panik,” tambah Raka.
—
Hari berganti. Malam ke-17 tiba.
Kota dipenuhi spanduk peringatan kemerdekaan. Upacara besar-besaran akan digelar di Lapangan Merdeka, dengan pidato dari tokoh politik nasional. Tapi Kirana menemukan kejanggalan.
“Lihat rutenya,” katanya sambil menunjukkan dokumen resmi. “Konvoi pejabat akan berhenti di Menara Api. Mereka akan siarkan langsung dari sana.”
“Dan itu bisa jadi momen mereka menciptakan peristiwa baru,” gumam Raka.
“Kita harus ke sana. Pastikan tak ada yang aneh.”
Mereka menyelinap ke belakang panggung, berpura-pura jadi kru dokumentasi. Di dalam, mereka melihat alat-alat siaran, kamera, dan—sebuah ruangan kecil dengan tulisan Protokol Keamanan: Dahana.
Raka membuka pintu itu diam-diam. Di dalam, ada layar pemantau, alat pemicu, dan seorang pria tua duduk di kursi roda. Wajahnya penuh luka lama, tapi matanya tajam.
“Kalian akhirnya datang,” kata pria itu.
“Siapa Anda?” tanya Kirana.
“Aku… Laksana Kertanegara. Yang terakhir dari Pasukan Merah. Aku pura-pura menghilang, agar bisa mengawasi dari dalam. Tapi mereka terlalu kuat. Hari ini… mereka akan mencoba memicu ledakan untuk menyalahkan kelompok aktivis.”
Raka maju. “Kami tak akan biarkan itu terjadi.”
Laksana tersenyum. “Maka ambillah ini. Bukti terakhir.” Ia menyerahkan chip data. “Jika sesuatu terjadi padaku, lanjutkan perjuangan kami.”
Suara di pengeras terdengar: “Persiapan siaran langsung, sepuluh menit lagi.”
Raka dan Kirana berlari keluar ruangan, membawa chip itu. Mereka tahu, malam ke-17 bukan akhir—ini permulaan babak perlawanan. Dan mereka bukan lagi sekadar peneliti atau mahasiswa.
Mereka adalah penjaga ingatan.*
PENUTUP
Siaran langsung dari Menara Api menjadi peristiwa paling ditunggu malam itu. Seluruh kota menyaksikan, sebagian karena rasa nasionalisme, sebagian lagi karena desas-desus siaran sebelumnya dari Raka dan Kirana yang sudah viral ke seluruh negeri.
Sementara para pejabat duduk rapi di bawah sorotan lampu, Raka dan Kirana bersembunyi di balik peralatan produksi. Di tangan Raka, chip data pemberian Laksana Kertanegara terselip dalam jaket. Ia tahu, ini adalah momen terakhir—mereka takkan dapat mundur lagi.
“Begitu siaran dimulai, kita sisipkan data ini ke sistem pusat,” bisik Kirana. “Seluruh layar dan tayangan utama akan menampilkan dokumen asli, rekaman suara, dan identitas Dahana yang sebenarnya.”
Raka mengangguk. “Dan kalau kita gagal, kita bisa mati malam ini.”
Kirana menatapnya. “Setidaknya kita mati dengan nama kita sendiri, bukan dibungkam dalam kebohongan.”
Siaran dimulai. Pidato demi pidato dilontarkan dengan kata-kata manis: kemerdekaan, pengorbanan, pahlawan. Tapi di tengah pidato puncak, Kirana berhasil menyusup ke sistem siaran menggunakan koneksi darurat. Raka menekan tombol eksekusi data.
Layar utama berubah.
Bukan pidato yang tampil, tapi potongan dokumen hitam putih, peta operasi Pasukan Merah, rekaman Satria Mandala, dan foto-foto korban pengkhianatan. Wajah-wajah pejabat berubah pucat. Para hadirin terdiam. Keheningan berubah jadi riuh. Kamera masih merekam, dan publik menyaksikan kebenaran secara langsung.
Salah satu pejabat berdiri dengan wajah marah. “Matikan siaran! Tangkap mereka!”
Namun, sebelum perintah itu dijalankan, suara pecahan kaca terdengar. Orang-orang berseragam menyerbu ke atas panggung. Tapi kali ini, bukan untuk menghentikan Raka dan Kirana.
“Jangan bergerak! KPK dan TNI Angkatan Khusus! Kami punya surat perintah penangkapan atas nama Dahana dan afiliasinya!”
Kerumunan terbelah. Beberapa tokoh penting ditangkap saat itu juga. Pejabat yang selama ini dielu-elukan sebagai pahlawan ternyata adalah dalang dari proyek manipulasi sejarah kota. Nama mereka kini berubah dari ‘pelindung’ jadi ‘pengkhianat’.
Kirana memeluk Raka erat. “Kita berhasil.”
Namun kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Dari sudut atap, suara tembakan memecah malam. Kirana terjatuh.
“Kiranaa!” Raka berteriak, memeluk tubuhnya yang mulai dingin.
Kirana tersenyum lemah, darah mengalir dari dadanya. “Kau harus hidup… Raka… lanjutkan…”
Ia terdiam.
Raka menangis, dunia seakan hening. Tapi ia berdiri. Mengangkat tubuh Kirana, menatap kamera yang masih menyala, dan berkata:
“Ini harga dari kebenaran. Dan tidak ada satu pun dari kita yang boleh melupakannya.”
—
Beberapa bulan berlalu.
Kota itu kini berubah. Menara Api dijadikan museum kebenaran. Kisah Pasukan Merah, pengkhianatan dalam sejarah, dan perjuangan Raka-Kirana diajarkan di sekolah. Nama Kirana diabadikan sebagai nama taman pusat kota. Raka sendiri menghilang dari sorotan, memilih tinggal diam di perpustakaan tua tempat dulu ia pertama kali menemukan fragmen sejarah.
Tapi ia tahu, kebenaran yang mereka perjuangkan tidak sia-sia.
Suatu hari, seorang anak muda datang ke perpustakaan. Ia membawa buku catatan dengan tulisan: “Bayangan Para Pahlawan”.
“Apakah Anda Raka?” tanyanya ragu.
Raka mengangguk.
“Saya ingin menulis kisah tentang pahlawan yang dilupakan… dan tentang wanita bernama Kirana.”
Raka menatap anak muda itu, tersenyum tipis. “Kalau begitu… mari kita mulai dari awal. Dari saat di mana kota ini hampir dilupakan oleh sejarah… dan diselamatkan oleh kebenaran.”
Dan begitulah, kisah yang nyaris padam dinyalakan kembali. Bukan oleh peluru atau pidato, tapi oleh ingatan dan keberanian untuk mengungkap kebenaran, seberapapun pahitnya.***
_______________THE END_______________