BAB 1: Awal Perjumpaan
Hujan turun deras di sore hari yang muram itu. Langit kelabu menyelimuti kota, mengiringi langkah-langkah terburu orang-orang yang berusaha mencari tempat berteduh. Di sebuah halte bus kecil di sudut kota, Raka berdiri mematung. Tubuhnya basah kuyup karena ia baru saja berlari dari tempat kerjanya, sebuah pabrik kecil di pinggiran kota. Jaket tipis yang dikenakannya tak mampu menahan dingin. Namun, ia tak mengeluh. Baginya, hujan hanyalah bagian dari keseharian, sama seperti lelah yang selalu menyapa di penghujung hari.
Raka melirik jam di pergelangan tangannya yang sudah mulai berkarat. “Bus terlambat lagi,” gumamnya lirih. Ia menarik napas panjang, mencoba mengusir dingin yang merasuk hingga ke tulang.
Di sisi lain halte, seorang wanita muda tampak berdiri dengan ponsel di tangannya. Sosoknya tampak begitu kontras dengan keadaan di sekitar. Arini mengenakan blazer berwarna krem yang terlihat mahal. Meski sepatu hak tingginya sedikit basah oleh air hujan, ia tetap terlihat anggun. Rambutnya yang panjang digulung rapi, dan aroma parfumnya samar-samar tercium di tengah udara lembap.
Arini menghela napas panjang, frustrasi. Ia baru saja menyelesaikan rapat penting di kantornya. Ponselnya terus bergetar, menampilkan notifikasi pesan dari atasannya yang meminta laporan tambahan. “Ya ampun, bisa-bisanya hujan deras begini saat aku butuh cepat sampai rumah,” gumamnya dengan nada kesal.
Raka mencuri pandang ke arah Arini. Ia tak bisa menahan diri untuk tidak memperhatikan wanita itu. Penampilan Arini yang rapi dan berkelas membuatnya terlihat seperti sosok yang berasal dari dunia yang berbeda—jauh dari kehidupannya yang sederhana. Namun, Raka segera memalingkan pandangannya, tak ingin terlihat terlalu mencolok.
Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Hanya suara hujan yang terdengar, diselingi gemuruh kendaraan yang melintas.
“Tunggu bus juga?” Suara lembut Arini tiba-tiba memecah keheningan.
Raka sedikit terkejut. Ia menoleh ke arah Arini yang kini menatapnya dengan senyum tipis. “Iya, Mbak,” jawabnya singkat, mencoba tetap sopan.
“Bus di sini biasanya lama, ya?” Arini melanjutkan. Nada suaranya ramah, meski ada sedikit rasa ingin tahu.
Raka mengangguk kecil. “Kadang datang tepat waktu, tapi kalau hujan begini biasanya suka telat.”
Arini menghela napas lagi. Ia melirik jam di ponselnya, lalu memandangi hujan yang semakin deras. “Kalau begini terus, saya bisa terlambat mengerjakan laporan.”
Raka tersenyum tipis, meski ia sendiri tak tahu apa yang harus ia katakan. Ia bukan tipe orang yang terbiasa mengobrol dengan orang asing, apalagi seseorang seperti Arini yang tampak seperti wanita karier sukses.
Namun, percakapan mereka tak berhenti di situ. Mungkin karena Arini merasa bosan menunggu, atau mungkin karena Raka memiliki aura tenang yang membuatnya nyaman.
“Apa kerja di sekitar sini?” tanya Arini.
“Iya, saya kerja di pabrik tekstil di dekat sini,” jawab Raka, nada suaranya tetap sopan.
“Oh, saya kerja di kantor pusat bank, di seberang jalan sana,” kata Arini sambil menunjuk ke arah gedung tinggi yang terlihat samar di balik hujan.
“Hebat, Mbak,” Raka berkata tulus, meski ia sedikit merasa canggung.
Arini tersenyum kecil mendengar pujian itu. “Biasa saja, kok. Semua kerjaan pasti punya tantangan masing-masing.”
Percakapan mereka terus berlanjut, dari hal-hal kecil seperti cuaca hingga cerita singkat tentang keseharian mereka. Meski berasal dari dunia yang berbeda, entah bagaimana obrolan itu mengalir dengan alami.
Hingga akhirnya bus yang mereka tunggu tiba. Raka berdiri, memberi isyarat agar Arini naik lebih dulu. Namun, Arini berhenti sejenak di pintu bus, menoleh ke arah Raka.
“Terima kasih sudah menemani menunggu,” kata Arini dengan senyum tulus.
Raka hanya mengangguk sambil tersenyum. Ia tak tahu apakah pertemuan ini akan berarti sesuatu, atau hanya sekadar momen kecil yang akan terlupakan.
Namun, di balik hujan sore itu, takdir telah mulai menulis kisah mereka. Kisah yang penuh dengan kehangatan, tantangan, dan pelajaran tentang arti kehidupan.*
BAB 2: Dunia yang Berbeda
Pagi itu, Raka memulai harinya dengan langkah yang sama seperti biasanya. Jam weker tua yang sering kali tak akurat membangunkannya di pukul lima pagi. Dengan tubuh yang masih terasa berat, ia bergegas ke dapur kecil di sudut rumahnya untuk menyiapkan sarapan sederhana—nasi dengan telur goreng dan kecap untuk dirinya serta adik-adiknya, Rani dan Dafa.
Rumah Raka sederhana, hanya terdiri dari dua kamar kecil dengan dinding yang mulai mengelupas catnya. Atap seng di rumah itu sering kali bocor saat hujan deras. Namun, bagi Raka, rumah itu adalah tempat berlabuh setelah hari-hari panjang yang melelahkan.
Sambil menyiapkan sarapan, ia melirik ke arah kedua adiknya yang masih terlelap di kasur tua yang mereka gunakan bersama. Sebagai anak sulung, Raka sudah terbiasa memikul tanggung jawab besar sejak kedua orang tuanya meninggal akibat kecelakaan lima tahun lalu. Meski hidup mereka serba terbatas, Raka selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk adik-adiknya, termasuk menyekolahkan mereka.
Di sisi lain kota, Arini memulai harinya dengan suasana yang jauh berbeda. Ponselnya berbunyi nyaring, mengingatkannya bahwa ia memiliki jadwal rapat pagi di kantor. Arini membuka matanya dengan enggan, lalu meraih ponsel yang terletak di meja kecil di samping tempat tidurnya.
Apartemen Arini terletak di pusat kota, dengan pemandangan gedung-gedung tinggi yang menjulang. Kamarnya rapi, dihiasi dengan furnitur minimalis yang modern. Pagi itu, ia tak punya banyak waktu untuk bersantai. Sambil menyeruput kopi yang dibuat dengan mesin otomatis, ia memeriksa dokumen yang perlu dipresentasikan hari itu.
Bagi Arini, hari-harinya adalah rangkaian aktivitas yang padat. Ia bekerja sebagai manajer pemasaran di sebuah perusahaan besar, posisi yang ia raih berkat kerja keras dan ambisinya. Namun, di balik kesuksesannya, Arini sering merasa terjebak dalam rutinitas yang membuatnya kelelahan secara emosional.
Setelah memastikan adik-adiknya sudah bersiap untuk pergi ke sekolah, Raka bergegas ke pabrik. Tempat kerjanya jauh dari mewah—sebuah bangunan besar dengan mesin-mesin tua yang berisik. Udara di dalam pabrik sering terasa pengap, dan pekerjaan Raka sebagai operator mesin menuntut fokus penuh.
Meskipun pekerjaannya berat, Raka tak pernah mengeluh. Baginya, pekerjaan itu adalah satu-satunya cara untuk menghidupi keluarganya. Setiap hari, ia menabung sedikit demi sedikit dari gajinya yang pas-pasan dengan harapan suatu saat bisa membangun kehidupan yang lebih baik untuk adik-adiknya.
Sementara itu, di kantor Arini, suasana begitu kontras. Gedung kantornya megah, dengan interior modern dan fasilitas lengkap. Ruangannya ber-AC, dan setiap orang yang bekerja di sana mengenakan pakaian formal yang elegan. Namun, tekanan pekerjaan di tempat itu juga sangat tinggi.
Hari itu, Arini menghadiri rapat dengan direksi perusahaan. Presentasinya berjalan dengan lancar, tetapi ia tahu bahwa kesalahan sekecil apa pun bisa berakibat fatal bagi reputasinya. Dunia kerja Arini penuh dengan persaingan, di mana setiap orang berlomba-lomba untuk mencapai posisi terbaik.
Meski pekerjaannya memberinya penghasilan yang cukup untuk hidup nyaman, Arini sering merasa ada kekosongan dalam hidupnya. Ia jarang memiliki waktu untuk bersantai atau sekadar menikmati momen kecil dalam hidup. Bahkan hubungannya dengan keluarga sering kali terasa renggang karena kesibukan yang tak kunjung usai.
Malam harinya, Raka duduk di depan rumahnya yang sempit sambil memandangi langit malam. Ia memikirkan kehidupannya yang seolah berjalan di tempat. Dalam hati, ia ingin memberikan kehidupan yang lebih baik untuk adik-adiknya, tetapi keterbatasan selalu menjadi hambatan.
Di apartemennya, Arini membuka jendela dan memandang lampu-lampu kota yang berkilauan. Ia memikirkan percakapannya dengan Raka di halte bus beberapa hari lalu. Ada sesuatu tentang pria itu yang membuatnya terkesan—kesederhanaannya, cara bicaranya yang tenang, dan senyumnya yang tulus.
Mereka berdua mungkin berasal dari dunia yang berbeda, tetapi malam itu, keduanya memikirkan hal yang sama: kehidupan yang dijalani dengan cara yang berbeda, tetapi sama-sama penuh perjuangan.
Pertemuan singkat di halte bus itu seolah menjadi jembatan kecil antara dua dunia yang berbeda. Raka dan Arini mungkin tak menyadari, tetapi takdir perlahan mulai menenun kisah mereka, meskipun jalan yang harus mereka tempuh penuh dengan rintangan.*
BAB 3: Jatuh Cinta dalam Kesederhanaan
Malam itu, angin bertiup lembut, membawa aroma hujan yang baru saja reda. Di sudut sebuah warung kopi kecil di pinggir jalan, Raka duduk di sebuah bangku kayu dengan secangkir kopi hitam yang mengepul di hadapannya. Tempat itu sederhana, hanya dilengkapi beberapa meja panjang dan penerangan seadanya dari lampu-lampu kuning yang tergantung di atas kepala. Tapi bagi Raka, warung ini adalah tempat favoritnya untuk melepas lelah setelah bekerja seharian di pabrik.
Sore sebelumnya, secara tak sengaja, ia bertemu lagi dengan Arini. Pertemuan itu terjadi di dekat halte bus yang sama dengan perjumpaan pertama mereka. Arini yang baru pulang dari kantor terlihat kelelahan, tapi senyum kecil tetap menghiasi wajahnya saat menyapa Raka.
“Raka, bukan?” tanya Arini sambil menyipitkan mata, memastikan ia tidak salah mengenali.
“Iya, Arini,” jawab Raka dengan nada ramah. “Kok bisa ketemu lagi di sini?”
Arini mengangkat bahu sambil tersenyum. “Aku sering lewat sini kalau pulang kantor. Kamu juga sering di sekitar sini?”
Raka mengangguk sambil tersenyum kecil. “Iya, halte ini dekat dari rumah. Kebetulan habis jemput adik dari sekolah tadi.”
Percakapan ringan itu kemudian berlanjut dengan obrolan tentang kesibukan masing-masing. Saat itu, Raka dengan santai mengundang Arini untuk mampir ke warung kopi langganannya. Awalnya, Arini ragu. Warung kopi kecil seperti itu sangat berbeda dari kafe-kafe modern yang biasa ia datangi. Tapi entah mengapa, ada rasa penasaran yang mendorongnya untuk menerima ajakan Raka.
Kini, mereka duduk berseberangan di meja kayu panjang. Raka, seperti biasa, memesan kopi hitam tanpa gula. Arini, dengan sedikit ragu, mencoba kopi susu khas warung itu yang direkomendasikan oleh Raka.
“Aku jarang ke tempat seperti ini,” kata Arini sambil memandangi sekeliling. Ia merasa suasananya jauh lebih santai dibandingkan kafe mewah di pusat kota.
Raka tersenyum. “Tempatnya memang sederhana, tapi kopinya enak. Di sini juga nggak terlalu ramai, jadi bisa ngobrol lebih santai.”
Arini mengangguk pelan sambil menyeruput kopinya. Rasa manis yang lembut menyentuh lidahnya, berbeda dari kopi-kopi mahal yang sering ia pesan di kafe. Ada sesuatu yang hangat dan nyaman dalam kesederhanaan tempat itu, sesuatu yang membuatnya merasa lebih santai.
“Aku nggak nyangka, kopi di sini seenak ini,” kata Arini, membuat Raka tertawa kecil.
“Kadang yang sederhana itu justru yang paling berkesan,” jawab Raka sambil tersenyum.
Obrolan mereka mengalir tanpa hambatan, seperti dua sahabat lama yang saling berbagi cerita. Raka bercerita tentang kehidupannya, bagaimana ia harus bekerja keras untuk menghidupi adik-adiknya setelah orang tua mereka meninggal. Sementara itu, Arini berbagi tentang betapa sibuknya hidup di dunia korporat yang penuh tekanan dan persaingan.
“Kadang aku iri sama orang-orang yang hidupnya nggak terlalu rumit,” kata Arini sambil memandang cangkir kopinya. “Mereka mungkin nggak punya banyak, tapi kelihatannya lebih bahagia.”
Raka tersenyum mendengar ucapan itu. “Bahagia itu bukan soal punya banyak atau sedikit, tapi soal gimana kita mensyukuri apa yang kita punya.”
Kata-kata Raka itu terngiang di kepala Arini. Ia tak menyangka, seorang pria yang hidup dengan begitu banyak keterbatasan bisa memiliki sudut pandang yang begitu bijak. Ada sesuatu dalam diri Raka yang membuatnya merasa nyaman, sesuatu yang tak pernah ia temukan dalam pergaulannya di dunia yang serba cepat dan materialistis.
Saat malam semakin larut, hujan turun rintik-rintik. Raka mengeluarkan jaket tua dari tasnya dan menyerahkannya kepada Arini.
“Pakai ini, biar nggak kedinginan,” katanya.
Arini sempat menolak, tapi Raka bersikeras. Ia akhirnya menerima jaket itu dengan senyum malu-malu. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Arini merasa diperhatikan dengan cara yang tulus, tanpa ada motif tersembunyi.
“Terima kasih, Raka,” katanya pelan.
“Gak apa-apa, aku biasa aja kok,” jawab Raka sambil tersenyum.
Hujan semakin deras, memaksa mereka menunggu lebih lama di warung itu. Namun, waktu yang mereka habiskan bersama justru terasa begitu singkat. Dalam hati, Arini mulai menyadari bahwa ia menyukai kesederhanaan yang ada dalam diri Raka. Pria itu mungkin tidak memiliki kemewahan, tapi ia memiliki sesuatu yang lebih berharga: hati yang tulus dan sikap yang hangat.
Di sisi lain, Raka mulai merasakan hal yang sama. Ia tahu, dunia mereka berbeda. Arini adalah seseorang yang terbiasa hidup di dunia yang serba mewah dan modern, sementara ia hanya pria biasa yang berjuang untuk bertahan hidup. Tapi senyum Arini malam itu membuat Raka berpikir, mungkin perbedaan mereka bukanlah penghalang, melainkan sebuah anugerah yang memperkaya hidup mereka.
Ketika hujan akhirnya reda, mereka berpisah di depan warung itu. Raka mengantarkan Arini ke halte bus dan memastikan ia naik dengan aman.
“Terima kasih untuk malam ini, Raka,” kata Arini sebelum masuk ke dalam bus.
“Terima kasih juga sudah mau mampir,” jawab Raka sambil tersenyum.
Saat bus itu melaju, Arini melambaikan tangan dari jendela. Dalam hati, keduanya merasa bahwa pertemuan itu adalah awal dari sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang mungkin akan mengubah hidup mereka.
Malam itu, di tengah kesederhanaan yang hangat, benih cinta mulai tumbuh di hati mereka. Sebuah cinta yang mungkin tak sempurna, tapi memiliki keindahan tersendiri.*
BAB 4: Ujian Pertama
Pagi itu, matahari bersinar terik, seolah memberi tanda bahwa hari tersebut akan penuh dengan tantangan. Raka duduk di bangku panjang di depan rumahnya, memandangi kalender tua yang tergantung di dinding. Hari itu adalah tenggat waktu pembayaran uang sekolah adiknya, Rani. Namun, seperti biasanya, keuangan Raka sedang seret. Ia menghela napas panjang, mencoba mencari cara agar bisa segera menyelesaikan masalah ini.
Di sisi lain kota, Arini sedang berjuang dengan masalahnya sendiri. Kantornya baru saja mendapatkan proyek besar dari klien asing, dan sebagai kepala tim, ia diharapkan untuk memimpin dengan sempurna. Namun, tuntutan kerja yang tinggi dan waktu yang terbatas membuat Arini merasa tertekan. Ia tidak pernah mengira bahwa hidup yang terlihat gemerlap di luar ternyata begitu penuh dengan beban di dalam.
Siang itu, Raka dan Arini berkomunikasi melalui pesan singkat. Arini yang biasanya penuh energi terdengar sedikit murung saat menjawab pesan Raka.
“Lagi sibuk banget di kantor,” tulis Arini. “Kamu sendiri gimana?”
Raka sempat ragu untuk bercerita tentang masalahnya. Baginya, masalah keuangannya terlalu sederhana untuk dibandingkan dengan tekanan kerja Arini yang tampak jauh lebih rumit. Tapi akhirnya, ia memutuskan untuk jujur.
“Lagi pusing soal uang sekolah adikku,” balas Raka. “Tenggatnya hari ini, tapi aku belum cukup uang buat bayar.”
Tak butuh waktu lama bagi Arini untuk membalas. “Aku bantu, Raka. Kirimkan nomor rekeningmu, aku transfer sekarang.”
Raka tertegun membaca pesan itu. Ia merasa canggung menerima bantuan, apalagi dari seseorang seperti Arini.
“Terima kasih, tapi nggak usah. Aku pasti bisa cari jalan lain,” balas Raka dengan nada sopan.
Namun, Arini bersikeras. “Raka, kamu selalu berusaha untuk orang lain. Kadang, nggak apa-apa kok menerima bantuan. Anggap saja ini bentuk rasa terima kasihku karena kamu selalu baik sama aku.”
Meski merasa ragu, Raka akhirnya menerima bantuan itu. Hatinya penuh dengan rasa syukur, tapi juga ada sedikit perasaan tidak enak. Baginya, bantuan dari Arini adalah hal yang besar, dan ia takut hal ini akan menjadi beban dalam hubungan mereka.
Sementara itu, di kantor Arini, suasana semakin memanas. Bosnya, Pak Herman, terus menekan timnya untuk menyelesaikan proyek sebelum tenggat waktu. Presentasi kepada klien besar dijadwalkan esok hari, dan kesalahan sekecil apa pun bisa membawa malapetaka bagi reputasi perusahaan.
Arini memimpin rapat dengan penuh ketegangan. Ia mencoba tetap tenang, meski di dalam hati ia merasa ragu pada beberapa bagian proyek yang masih belum selesai. Ketegangan ini membuatnya hampir tidak sempat memikirkan hal lain, bahkan tentang Raka.
Malam harinya, setelah semuanya berakhir, Raka mengirimkan pesan untuk berterima kasih kepada Arini.
“Uang sekolah adikku sudah lunas. Aku nggak tahu harus bilang apa selain terima kasih. Aku janji akan ganti,” tulis Raka.
Arini membalas singkat, “Nggak usah dipikirkan. Yang penting, Rani bisa terus sekolah.”
Namun, saat membaca pesan itu, Raka merasakan sesuatu yang berbeda. Kata-kata Arini memang sederhana, tapi ada kesan bahwa gadis itu sedang menyembunyikan sesuatu. Raka pun memberanikan diri untuk menelepon Arini.
“Arini, kamu baik-baik aja?” tanya Raka dengan nada khawatir.
Arini menghela napas di ujung telepon. “Aku capek, Raka. Tekanan di kantor berat banget. Kadang aku mikir, buat apa aku kerja sekeras ini kalau ujung-ujungnya aku tetap nggak bahagia?”
Raka terdiam sejenak, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Arini, aku tahu hidup kamu nggak mudah. Tapi aku yakin, semua ini pasti ada tujuannya. Kamu orang hebat, dan aku yakin kamu bisa melewati ini.”
Mendengar kata-kata itu, Arini merasa hatinya sedikit lebih ringan. Meski Raka tidak bisa memberikan solusi untuk masalahnya, kehadirannya di saat-saat seperti ini adalah hal yang sangat berarti bagi Arini.
Namun, ujian belum berakhir. Dua hari kemudian, Raka dihadapkan pada masalah baru. Salah satu teman kerjanya menuduhnya mencuri alat produksi di pabrik. Tuduhan itu tidak masuk akal, tapi cukup untuk membuat Raka dipanggil oleh manajer.
Di ruang manajer, Raka berusaha menjelaskan bahwa ia tidak bersalah. Tapi tanpa bukti yang cukup, manajer tetap memberikan peringatan keras dan memotong gajinya sebagai bentuk “kompensasi” atas barang yang hilang.
Ketika Raka menceritakan kejadian ini kepada Arini, ia hanya bisa terdiam. Hatinya merasa hancur karena melihat pria itu harus menanggung begitu banyak hal sendirian.
“Kamu nggak sendiri, Raka,” kata Arini dengan nada tegas. “Kamu punya aku. Kalau kamu butuh bantuan, aku selalu ada.”
Raka tersenyum mendengar itu. Meski ujian demi ujian terus menghampirinya, ia merasa tidak sepenuhnya sendirian. Kehadiran Arini, meski dalam bentuk yang sederhana, memberi kekuatan baru baginya.
Di tengah kesulitan yang mereka hadapi, cinta mereka justru semakin tumbuh. Ujian ini, meskipun berat, menjadi momen bagi mereka untuk saling menguatkan, menunjukkan bahwa dalam hubungan yang tulus, kesederhanaan dan ketulusan adalah hal yang paling berarti.*
BAB 5: Luka Lama yang Terbuka
Pagi itu, udara terasa lembap setelah semalaman hujan mengguyur kota. Di sebuah warung kopi kecil tempat mereka sering bertemu, Raka dan Arini duduk berdua. Secangkir kopi panas dan segelas jus jeruk tersaji di meja kayu yang mulai lapuk. Mereka berbincang ringan tentang rencana akhir pekan, hingga tiba-tiba ponsel Arini berbunyi. Sebuah nama yang sudah lama tak muncul di kehidupannya terpampang di layar: Reynaldi.
Wajah Arini seketika berubah. Senyum yang sebelumnya menghiasi wajahnya mendadak lenyap. Raka memperhatikan perubahan itu dengan tatapan penuh tanya.
“Kenapa, Arin? Siapa yang telepon?” tanyanya dengan nada lembut.
Arini menunduk sejenak, berusaha menenangkan diri. “Itu… seseorang dari masa lalu,” jawabnya singkat, berusaha menghindari pembahasan lebih lanjut.
Namun, panggilan itu membawa kembali kenangan lama yang selama ini ia coba kubur dalam-dalam. Reynaldi adalah mantan kekasih Arini yang pernah membuat hatinya hancur berkeping-keping. Hubungan mereka dulu berakhir dengan pengkhianatan yang menyakitkan, sesuatu yang hingga kini masih menyisakan luka di hati Arini.
Saat itu, Arini merasa perlu menjelaskan pada Raka. “Reynaldi itu… mantanku. Dia mengkhianatiku dulu. Aku pikir dia sudah hilang dari hidupku, tapi tiba-tiba dia menghubungi lagi,” katanya dengan suara yang bergetar.
Raka terdiam. Ia tak ingin memaksa Arini bercerita lebih banyak, tapi di hatinya muncul perasaan tak nyaman. Bukan karena ia tak percaya pada Arini, melainkan karena ia khawatir luka lama itu akan mengganggu hubungan mereka yang perlahan mulai menemukan ritmenya.
Hari berikutnya, Arini menerima pesan dari Reynaldi. Isinya sederhana namun cukup untuk mengusik pikirannya.
“Arin, aku minta maaf. Boleh kita ketemu untuk bicara? Ada hal yang belum sempat aku jelaskan dulu.”
Arini merasa dilema. Ia tahu tak ada gunanya membuka kembali cerita lama, tapi di sisi lain, ia merasa ada bagian dari dirinya yang butuh mendengar penjelasan itu agar bisa benar-benar melanjutkan hidup. Setelah berpikir panjang, ia memutuskan untuk memberi tahu Raka.
“Raka, Reynaldi ingin bertemu. Dia bilang ada hal yang perlu dijelaskan. Menurutmu aku harus apa?” tanyanya dengan hati-hati.
Raka menghela napas panjang. Meski hatinya berat, ia tak ingin menghalangi Arini. “Kalau kamu merasa perlu mendengarnya, aku nggak apa-apa, Arin. Aku percaya sama kamu. Tapi pastikan kamu melakukannya untuk dirimu sendiri, bukan untuk dia.”
Kata-kata Raka membuat Arini merasa sedikit lega. Ia tahu Raka adalah orang yang tulus dan selalu berusaha mendukungnya, bahkan dalam situasi yang sulit sekalipun.
Pertemuan Arini dengan Reynaldi berlangsung di sebuah kafe kecil yang cukup sepi. Saat Reynaldi muncul, Arini merasakan jantungnya berdegup kencang. Wajah pria itu masih sama seperti yang ia ingat, meski kini ada garis-garis penyesalan di matanya.
“Arin, terima kasih sudah mau ketemu,” kata Reynaldi dengan nada pelan.
Arini hanya mengangguk, menunggu apa yang akan dikatakan pria itu.
“Aku tahu aku sudah banyak menyakitimu dulu. Aku mengkhianatimu, dan itu adalah kesalahan terbesar dalam hidupku. Aku nggak minta kamu memaafkanku, tapi aku ingin kamu tahu… aku benar-benar menyesal,” ucap Reynaldi, suaranya terdengar tulus.
Arini menghela napas panjang. Mendengar permintaan maaf itu tidak membuat lukanya sembuh seketika. “Rey, aku nggak tahu harus bilang apa. Kamu tahu bagaimana aku berjuang setelah semuanya berakhir? Aku kehilangan kepercayaan, bahkan kepada diriku sendiri,” jawab Arini dengan nada tegas, meski matanya mulai berkaca-kaca.
Reynaldi menunduk, tak mampu menatap Arini. “Aku nggak punya alasan untuk apa yang aku lakukan dulu. Tapi aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku benar-benar menyesal.”
Arini menatap Reynaldi. “Aku menghargai permintaan maafmu, Rey. Tapi itu nggak mengubah apa yang sudah terjadi. Aku sudah mencoba melupakan semua itu, dan sekarang… aku sudah punya kehidupan baru. Aku nggak mau kembali ke masa lalu.”
Reynaldi mengangguk pelan. Meski ada rasa kecewa, ia tahu Arini telah membuat keputusan yang benar untuk dirinya sendiri.
Sepulang dari pertemuan itu, Arini langsung menemui Raka. Ia ingin memastikan bahwa tak ada yang berubah di antara mereka.
“Raka, aku sudah bertemu Reynaldi. Aku dengar permintaan maafnya, tapi aku sadar, aku nggak butuh masa lalu untuk bahagia. Aku cuma butuh kamu,” kata Arini dengan suara lirih.
Raka tersenyum, meski di hatinya ia merasa lega. “Aku tahu, Arin. Aku percaya sama kamu. Yang penting, kita jalani ini bersama, apa pun yang terjadi.”
Malam itu, mereka berbicara lebih banyak tentang masa depan daripada masa lalu. Meskipun luka lama sempat terbuka, keduanya menyadari bahwa cinta yang mereka miliki jauh lebih kuat daripada bayang-bayang masa lalu. Mereka tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang, tapi bersama, mereka siap menghadapi apa pun yang akan datang.*
BAB 6: Cinta yang Teruji
Hujan deras mengguyur kota sepanjang sore itu, seakan alam turut mencerminkan gejolak yang sedang dirasakan oleh Arini dan Raka. Setelah pertemuan Arini dengan Reynaldi beberapa hari lalu, hubungan mereka terasa berbeda. Bukan karena Raka kehilangan kepercayaan, tetapi karena keduanya tahu bahwa cinta sejati tidak hanya diuji oleh masa lalu, melainkan juga oleh keteguhan hati dalam menghadapi rintangan.
Malam itu, Raka mengajak Arini bertemu di sebuah taman kecil di tengah kota. Meski udara dingin dan gerimis masih turun, ia memilih tempat itu karena di sanalah mereka pertama kali berbicara dari hati ke hati. Raka tahu, saat ini mereka butuh ruang untuk saling memahami lebih dalam.
“Arin, aku ingin kita bicara,” ujar Raka, matanya menatap Arini dengan serius.
Arini mengangguk pelan. Ia tahu pembicaraan ini penting, tetapi ia juga tak bisa mengabaikan rasa cemas yang mulai menguasai hatinya.
“Aku percaya sama kamu, Arin,” Raka memulai. “Tapi aku nggak bisa bohong kalau aku merasa sedikit takut. Bukan takut kamu akan kembali ke masa lalu, tapi takut aku nggak cukup untuk membuatmu bahagia.”
Perkataan Raka membuat hati Arini terenyuh. Ia tidak pernah menyangka bahwa di balik sikap tenang Raka, ada keraguan yang selama ini ia simpan.
“Raka, kamu nggak perlu merasa seperti itu,” balas Arini lembut. “Aku memilih kamu bukan karena kamu sempurna, tapi karena kamu adalah kamu. Kamu yang selalu ada untukku, yang membuatku merasa dicintai tanpa syarat.”
Raka terdiam sejenak, mencoba mencerna setiap kata yang diucapkan Arini. Namun, sebelum ia sempat merespons, sebuah suara dari kejauhan memanggil nama Arini.
“Arin!”
Mereka berdua menoleh dan mendapati Reynaldi berdiri tak jauh dari sana. Kehadiran pria itu membuat suasana yang sudah tegang menjadi semakin rumit.
“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Raka dengan nada yang sedikit lebih tajam dari biasanya.
“Aku hanya ingin bicara sebentar dengan Arini,” jawab Reynaldi. “Ini penting.”
Arini melihat ke arah Raka, meminta pengertiannya. Meski hatinya enggan, Raka akhirnya mengangguk dan melangkah mundur, memberi ruang untuk mereka berbicara.
“Rey, aku pikir kita sudah selesai bicara,” kata Arini tegas.
“Aku tahu, tapi ada satu hal yang belum sempat aku katakan,” Reynaldi memulai. “Arin, aku sadar aku sudah kehilangan kamu, tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku masih mencintaimu. Jika ada kesempatan kedua, aku ingin memperbaiki semuanya.”
Perkataan itu membuat Arini tertegun. Ia tidak pernah menyangka Reynaldi akan mengungkapkan perasaannya secara langsung, apalagi di hadapan Raka.
“Rey, kamu terlambat,” jawab Arini akhirnya. “Aku sudah menemukan seseorang yang membuatku bahagia, yang mencintaiku apa adanya. Aku tidak ingin kembali ke masa lalu.”
Reynaldi tampak kecewa, tetapi ia tidak memaksakan kehendaknya. Setelah beberapa saat, ia melangkah pergi, meninggalkan Arini dan Raka.
Setelah kejadian itu, hubungan mereka tidak serta-merta kembali normal. Raka masih merasa ada hal-hal yang belum selesai, sementara Arini terus berusaha meyakinkan Raka bahwa cintanya tulus.
Beberapa hari kemudian, Raka mengajak Arini untuk berjalan-jalan ke sebuah desa kecil di pinggir kota. Tempat itu adalah salah satu lokasi favorit Raka ketika ia butuh ketenangan. Dengan pemandangan sawah hijau yang membentang luas dan udara segar yang menenangkan, Raka berharap mereka bisa menemukan kembali kehangatan yang sempat terasa hilang.
“Arin, aku nggak ingin kita terus-terusan seperti ini,” kata Raka saat mereka duduk di bawah pohon besar. “Aku tahu kamu sudah memilihku, tapi aku ingin tahu, apa aku benar-benar cukup untukmu?”
Arini menggenggam tangan Raka erat. “Raka, kamu lebih dari cukup untukku. Aku tahu aku bukan orang yang sempurna, dan aku membawa banyak luka dari masa lalu. Tapi aku juga tahu, kamu adalah orang yang selalu bisa membuatku merasa bahwa aku pantas dicintai.”
Mendengar itu, Raka tersenyum tipis. “Arin, aku nggak mau jadi alasan kamu merasa terbebani. Aku cuma ingin jadi seseorang yang bisa membuatmu bahagia.”
“Kamu sudah melakukannya, Raka,” jawab Arini dengan mata berkaca-kaca. “Kebahagiaan itu bukan soal siapa yang sempurna, tapi siapa yang mau berjuang bersama. Dan aku ingin berjuang bersama kamu.”
Sejak saat itu, hubungan mereka perlahan kembali hangat. Mereka belajar untuk saling memahami dan menerima kekurangan masing-masing. Meski Reynaldi sempat mengguncang, cinta mereka tetap bertahan karena keduanya memilih untuk tidak menyerah.
Cinta, bagi mereka, bukan hanya soal perasaan, tapi juga komitmen untuk terus berjuang, meski dunia di sekeliling mereka terus memberikan ujian.*
BAB 7: Titik Terendah
Hidup terkadang memiliki caranya sendiri untuk menguji manusia. Begitulah yang dirasakan Arini dan Raka di babak kehidupan mereka kali ini. Setelah semua rintangan yang mereka lalui, ujian yang lebih berat datang tanpa mereka duga, membawa mereka ke titik terendah yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.
Hari itu dimulai seperti biasa. Arini sibuk di kantornya, mengerjakan deadline proyek besar, sementara Raka berada di lokasi pembangunan, mengawasi proyeknya yang hampir selesai. Namun, badai datang ketika Arini menerima panggilan telepon dari ibunya.
“Arin, pulanglah, Nak. Ada yang harus kita bicarakan,” suara ibunya terdengar lirih, membuat Arini langsung merasa ada sesuatu yang tidak beres.
Sepulang kerja, Arini buru-buru pergi ke rumah orang tuanya. Sesampainya di sana, ia mendapati ibunya duduk di ruang tamu dengan wajah murung, sementara ayahnya tampak gelisah, berjalan mondar-mandir.
“Ada apa, Bu?” tanya Arini, mencoba menahan rasa cemas.
Ibunya terdiam sejenak sebelum akhirnya membuka suara. “Reynaldi datang ke rumah beberapa hari yang lalu. Dia bilang, dia masih mencintaimu, Arin. Dia ingin kita membujukmu untuk mempertimbangkan kembali hubungannya denganmu.”
Pernyataan itu membuat Arini terpaku. “Rey? Tapi aku sudah jelas menolaknya. Kenapa dia sampai datang ke sini?”
Ayahnya akhirnya angkat bicara. “Dia bilang dia punya dokumen penting yang bisa menghancurkan karier Raka. Dia bilang dia akan mempublikasikannya kalau kamu tidak kembali padanya.”
Arini merasakan darahnya seolah berhenti mengalir. Ancaman itu terlalu besar, dan ia tahu Reynaldi cukup berkuasa untuk melakukannya.
Arini tidak tahu harus berbuat apa. Dalam kebimbangannya, ia memutuskan untuk menemui Reynaldi di sebuah kafe kecil tempat mereka pernah bertemu sebelumnya.
“Kenapa kamu lakukan ini, Rey?” tanya Arini dengan nada penuh emosi.
Reynaldi hanya tersenyum tipis. “Karena aku tahu kamu masih mencintaiku, Arin. Aku hanya ingin kita kembali seperti dulu.”
“Tapi aku sudah memilih Raka. Kamu tidak punya hak untuk mengancamnya!”
“Arin,” Reynaldi menyela, matanya tajam. “Aku melakukan ini karena aku tahu dia tidak pantas untukmu. Dia hanya membawamu ke dunia yang penuh dengan kesederhanaan. Kamu pantas mendapatkan lebih.”
Arini menggeleng kuat. “Rey, ini bukan soal materi. Ini soal perasaan. Dan aku tidak mencintaimu lagi.”
Namun, ucapan Arini tidak membuat Reynaldi mundur. Ancaman itu tetap ada, menghantui pikirannya setiap saat.
Di sisi lain, Raka mulai merasakan jarak di antara mereka. Arini menjadi lebih pendiam dan sering terlihat murung, seolah menyimpan sesuatu yang berat.
“Arin, ada apa? Kamu kelihatan berbeda,” tanya Raka suatu malam ketika mereka bertemu di sebuah warung kopi.
Arini hanya tersenyum tipis, tetapi matanya tidak bisa menyembunyikan kegelisahan. “Nggak ada apa-apa, Raka. Aku cuma lelah.”
Namun, Raka tahu itu bukan jawaban yang sebenarnya. Meski ia ingin mendesak lebih jauh, ia memutuskan untuk menunggu sampai Arini siap bercerita.
Hari-hari berlalu, dan tekanan di hati Arini semakin berat. Ia tahu ia harus memilih: melindungi Raka dari ancaman Reynaldi, atau mempertahankan hubungan mereka dengan segala risiko yang ada. Dalam kebimbangannya, ia mulai menjaga jarak dari Raka, berharap itu bisa melindungi pria yang ia cintai.
Raka merasakan perubahan itu semakin nyata. Arini mulai jarang membalas pesannya, bahkan sering menolak ajakannya untuk bertemu. Hingga akhirnya, suatu malam, Arini mengirim pesan singkat yang membuat hati Raka hancur.
“Raka, maaf. Aku rasa kita harus berhenti di sini. Ini yang terbaik untuk kita berdua.”
Pesan itu membuat Raka terdiam lama. Ia membaca dan membacanya lagi, berharap ada kesalahan. Namun, kenyataan mulai menyadarkannya bahwa Arini benar-benar ingin mengakhiri semuanya.
Raka tidak menyerah begitu saja. Ia mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ia mendatangi rumah Arini, tetapi ibunya hanya mengatakan bahwa Arini sedang butuh waktu sendiri.
“Aku tahu ada yang salah, Bu,” kata Raka. “Arini nggak mungkin tiba-tiba mengambil keputusan seperti ini.”
Namun, tidak ada jawaban pasti yang ia dapatkan. Hari-harinya menjadi kelabu. Semangat hidupnya seolah hilang, terutama karena ia tahu Arini masih mencintainya, tetapi sesuatu telah memisahkan mereka.
Sementara itu, Arini hidup dalam penderitaan yang sama. Ia merasa hancur karena harus melepaskan orang yang ia cintai demi melindunginya. Ia bahkan mencoba menghindari Reynaldi sebisa mungkin, tetapi ancaman pria itu terus menghantui pikirannya.
Hingga suatu hari, Arini tidak tahan lagi. Ia memutuskan untuk jujur kepada Raka, meski itu berarti membuka semua luka dan risiko yang ada.
“Raka, aku perlu bicara,” kata Arini ketika akhirnya mereka bertemu di tempat favorit mereka.
Raka hanya menatapnya dengan mata yang penuh pertanyaan. “Kenapa, Arin? Kenapa kamu menjauhiku?”
Arini menghela napas panjang sebelum akhirnya berkata, “Karena aku takut kehilangan kamu. Reynaldi mengancammu, Raka. Dia bilang dia punya sesuatu yang bisa menghancurkan kariermu.”
Mendengar itu, Raka terdiam. Namun, ia tidak menunjukkan kemarahan atau kebingungan seperti yang Arini duga. Sebaliknya, ia menggenggam tangan Arini erat.
“Arin, kalau kamu pikir menjauhiku bisa menyelesaikan masalah ini, kamu salah. Kita harus hadapi ini bersama, apa pun risikonya.”
Kata-kata Raka membuat hati Arini bergetar. Meski berada di titik terendah, cinta mereka tetap saling menopang, memberi kekuatan untuk melawan badai yang ada di depan mereka.*
BAB 8: Keputusan yang Sulit
Arini duduk di tepi ranjang kamarnya dengan kepala tertunduk. Di hadapannya, sebuah amplop putih dengan logo perusahaan Reynaldi tergeletak di atas meja. Surat ancaman itu terasa seperti batu berat yang menghimpit pundaknya. Semakin ia berpikir, semakin sulit rasanya mengambil keputusan. Bagaimana jika ia melawan Reynaldi? Apakah itu akan menghancurkan Raka? Namun, jika ia menyerah, apakah itu berarti ia mengorbankan cintanya demi seseorang yang tidak lagi memiliki tempat di hatinya?
Malam itu terasa panjang. Pikiran Arini terus berputar, sementara air mata tanpa sadar membasahi pipinya. Ia memutuskan untuk berbicara dengan seseorang yang mungkin bisa memberinya pandangan—sahabatnya, Maya.
Maya selalu menjadi tempat Arini berbagi, orang yang mampu memberikan sudut pandang berbeda ketika Arini merasa terjebak dalam labirin pikirannya sendiri. Saat mereka bertemu di sebuah kafe kecil keesokan harinya, Maya langsung tahu bahwa ada sesuatu yang salah.
“Arin, wajah kamu pucat banget. Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Maya sambil menggenggam tangan Arini, memberikan rasa hangat yang sedikit menenangkan.
Arini menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian untuk bercerita. “Reynaldi mengancam Raka. Dia bilang kalau aku nggak kembali padanya, dia akan menyebarkan sesuatu yang bisa menghancurkan karier Raka.”
Maya terkejut mendengarnya. “Dia benar-benar keterlaluan! Jadi, itu alasan kamu menjauh dari Raka?”
Arini mengangguk lemah. “Aku nggak tahu harus bagaimana, Maya. Aku nggak mau Raka kehilangan segalanya karena aku. Tapi aku juga nggak bisa kembali ke Reynaldi. Aku… aku nggak mencintainya lagi.”
Maya terdiam sejenak, berpikir sebelum akhirnya berkata, “Arin, aku tahu kamu hanya ingin melindungi Raka. Tapi keputusan yang kamu ambil ini tidak bisa kamu buat sendirian. Kamu harus melibatkan Raka. Ini bukan hanya tentang kamu, ini juga tentang dia.”
“Tapi kalau aku bilang yang sebenarnya, itu hanya akan membuatnya lebih khawatir,” balas Arini dengan suara gemetar.
“Arin, hubungan kalian dibangun atas kepercayaan, kan? Kalau kamu menyembunyikan ini terus-menerus, kamu hanya akan semakin menjauh darinya. Bukankah lebih baik kalian hadapi ini bersama-sama?”
Kata-kata Maya menyentuh hati Arini. Meski masih ada keraguan, ia mulai merasa bahwa Maya mungkin benar.
Sore itu, Arini memutuskan untuk menemui Raka. Ia mengundangnya ke sebuah taman yang biasa mereka datangi. Meski gugup, ia tahu ini adalah waktu yang tepat untuk mengungkapkan segalanya.
Raka datang dengan senyum kecil, meskipun raut wajahnya menyimpan kekhawatiran yang tak bisa disembunyikan. “Kamu kelihatan lebih tenang hari ini,” katanya membuka percakapan.
Arini tersenyum lemah. “Raka, aku ingin minta maaf. Selama ini aku menyembunyikan sesuatu darimu.”
Raka mengernyitkan dahi, jelas terkejut. “Menyembunyikan apa, Arin?”
Arini menarik napas panjang sebelum akhirnya menjelaskan semuanya—ancaman Reynaldi, surat yang ia terima, dan alasan mengapa ia memutuskan untuk menjauh. Setiap kata yang ia ucapkan terasa seperti duri yang menyayat hatinya, tetapi ia tahu bahwa ini adalah kebenaran yang harus ia ungkapkan.
Setelah mendengar semuanya, Raka terdiam lama. Arini takut akan reaksinya, tetapi ia tetap menunggu dengan sabar. Akhirnya, Raka mendongak, menatap Arini dengan mata yang penuh tekad.
“Arin, aku mengerti kenapa kamu melakukan ini. Kamu hanya ingin melindungiku. Tapi kamu nggak harus menanggung semua ini sendirian. Kita bisa melawan Reynaldi bersama-sama.”
“Tapi, Raka, kalau dia benar-benar melakukannya, kamu bisa kehilangan segalanya,” kata Arini dengan nada putus asa.
Raka tersenyum tipis. “Arin, aku lebih baik kehilangan karierku daripada kehilangan kamu. Aku tahu risikonya, tapi aku nggak mau menyerah pada orang seperti Reynaldi. Aku akan cari cara untuk menghadapi ini.”
Mendengar itu, Arini merasa lega sekaligus bersalah. Ia tak menyangka Raka akan sekuat ini dalam menghadapi masalah sebesar ini.
Keesokan harinya, Raka mulai mengambil langkah. Ia meminta bantuan sahabatnya yang seorang pengacara, Aryo, untuk meninjau situasi tersebut. Aryo mendengarkan cerita Raka dengan serius sebelum akhirnya memberikan saran.
“Kamu harus kumpulkan bukti ancaman dari Reynaldi, Rak. Kalau dia benar-benar punya niat untuk menjatuhkanmu, kita harus siap dengan strategi hukum,” kata Aryo.
Raka mengangguk. “Aku juga ingin melibatkan Arini. Ini bukan hanya tentang aku, tapi juga tentang dia. Reynaldi tidak boleh terus-terusan memanfaatkan posisinya untuk menyakiti orang lain.”
Aryo setuju. “Tapi, Rak, kamu harus siap dengan segala kemungkinan. Proses ini mungkin akan panjang dan berat.”
“Aku siap,” jawab Raka tanpa ragu.
Sementara itu, Reynaldi mulai merasakan tekanan. Ketika ia tahu bahwa Raka dan Arini tidak menyerah pada ancamannya, ia mencoba memanipulasi situasi lebih jauh. Ia mulai menyebarkan rumor tentang Raka di dunia profesional, membuat beberapa proyek Raka tertunda.
Namun, Raka tidak mundur. Dengan dukungan Aryo dan Arini, ia tetap maju. Bersama-sama, mereka mengumpulkan bukti, mencatat setiap pesan ancaman dari Reynaldi, dan menyusun rencana untuk menghadapi ancaman tersebut di jalur hukum.
Di tengah semua tekanan ini, hubungan Arini dan Raka justru semakin kuat. Meski berada dalam situasi sulit, mereka menemukan kekuatan dalam cinta mereka. Setiap malam, mereka saling menguatkan, berbagi rasa takut, tetapi juga harapan.
Akhirnya, Arini menyadari sesuatu yang penting. Keputusan yang sulit ini tidak hanya tentang melindungi Raka atau melawan Reynaldi. Keputusan ini adalah tentang bagaimana ia dan Raka memilih untuk menghadapi hidup—bersama, dalam suka maupun duka.
Meski ujian yang mereka hadapi masih jauh dari selesai, Arini merasa yakin bahwa cinta mereka akan mampu bertahan. Dan di titik itu, ia tahu bahwa ia telah membuat keputusan yang benar: memperjuangkan cinta mereka, apa pun risikonya.*
.BAB 9: Merajut Asa
Mentari pagi menyinari bilik kecil tempat Arini duduk merenung. Setelah melewati berbagai badai, kini ia dan Raka mencoba bangkit dari keterpurukan. Meskipun Reynaldi masih menjadi ancaman di balik layar, mereka sepakat untuk tidak lagi membiarkan rasa takut menguasai hidup mereka.
Arini menatap keluar jendela, memandang hamparan bunga di taman kecil dekat rumahnya. Ada sesuatu tentang bunga-bunga itu yang mengingatkannya pada harapan—mereka tumbuh meski angin dan hujan kerap melanda.
Pagi itu, Arini memutuskan untuk memulai sesuatu yang baru. Bersama Raka, ia ingin membangun kembali hidup mereka. “Kita harus berhenti memikirkan apa yang Reynaldi lakukan. Aku ingin kita fokus pada hal-hal yang bisa kita kendalikan,” ujar Arini ketika ia dan Raka duduk sarapan bersama di dapur kecil mereka.
Raka tersenyum tipis, matanya penuh kehangatan. “Aku setuju. Kalau kita terus terjebak dalam bayang-bayang Reynaldi, itu artinya dia menang. Kita nggak boleh memberikan dia kepuasan itu.”
Hari itu menjadi awal dari perjalanan baru mereka. Arini memutuskan untuk kembali aktif di dunia seni, sesuatu yang sempat ia tinggalkan karena terlalu sibuk mengurus luka masa lalu. Ia mulai melukis lagi, mengungkapkan perasaan dan pikirannya melalui sapuan kuas di atas kanvas.
Sementara itu, Raka memutuskan untuk membuka bisnis kecil di bidang yang ia sukai—fotografi. Ia tahu kariernya di dunia korporat mungkin sudah tercoreng akibat ulah Reynaldi, tetapi ia tak ingin menyerah pada keadaan. Ia percaya, dengan usaha dan kerja keras, ia bisa membangun sesuatu yang baru.
“Kamu yakin mau buka studio foto?” tanya Arini suatu malam saat mereka tengah duduk di ruang tamu kecil mereka, sambil menatap tumpukan katalog kamera yang berserakan di meja.
Raka mengangguk mantap. “Ini sesuatu yang aku suka. Aku nggak hanya ingin bekerja untuk orang lain lagi. Aku ingin menciptakan sesuatu yang bisa kita banggakan bersama.”
Mendengar itu, Arini merasa hangat di dadanya. Raka selalu memiliki cara untuk melihat harapan di tengah keterpurukan. Dan kini, ia mulai merasakan semangat itu menjalar ke dalam dirinya.
Mereka memulai segalanya dari nol. Studio foto Raka hanya berupa ruangan kecil yang disewa di pinggir kota, tetapi ia menyulapnya menjadi tempat yang nyaman dan hangat. Ia memotret segala macam momen—dari foto keluarga sederhana hingga prewedding pasangan muda. Lambat laun, usahanya mulai dikenal orang.
Sementara itu, Arini mulai berpartisipasi dalam pameran seni lokal. Lukisan-lukisannya, yang sarat dengan emosi dan kisah kehidupan, mulai menarik perhatian banyak orang. Salah satu lukisannya, yang menggambarkan dua burung kecil yang bertengger di cabang pohon, diberi judul Merajut Asa. Lukisan itu menjadi simbol perjalanan mereka—tentang cinta, perjuangan, dan harapan.
“Aku nggak menyangka, lukisan ini akan menarik perhatian banyak orang,” ujar Arini kepada Raka saat mereka berjalan pulang dari pameran seni.
Raka menatapnya dengan bangga. “Karena lukisan itu mencerminkan hati kamu, Arin. Orang bisa merasakan ketulusan dan kejujuran di dalamnya.”
Arini tersenyum. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa dirinya berharga.
Namun, seperti semua perjalanan, perjuangan mereka tidak selalu mulus. Reynaldi belum menyerah. Ia mencoba mencari cara lain untuk menjatuhkan mereka, tetapi kali ini, Arini dan Raka lebih siap. Dengan bantuan Aryo, mereka terus mengumpulkan bukti ancaman Reynaldi dan bersiap membawa kasus ini ke meja hijau.
“Kalau kita bisa memenangkan ini, itu bukan hanya kemenangan untuk kita, tapi juga untuk semua orang yang pernah dirugikan oleh Reynaldi,” ujar Aryo dengan nada optimis saat mereka membahas strategi hukum.
Arini mengangguk. “Aku tahu ini berat, tapi aku nggak akan mundur lagi.”
Raka menggenggam tangan Arini erat. “Kita jalani ini bersama, Arin. Apa pun hasilnya, aku akan selalu ada di sini untuk kamu.”
Di tengah perjuangan melawan Reynaldi, mereka juga belajar untuk lebih menghargai momen-momen kecil dalam hidup. Setiap sore, mereka menyempatkan waktu untuk berjalan-jalan di taman, berbicara tentang mimpi dan harapan mereka. Mereka saling menguatkan, saling menginspirasi.
“Arin, kamu tahu nggak? Aku nggak pernah merasa lebih hidup daripada sekarang,” ujar Raka suatu sore sambil menatap langit yang mulai berubah warna menjadi jingga.
Arini menoleh, menatap wajah Raka yang tampak damai. “Aku juga, Raka. Aku rasa, semua yang kita lalui mengajarkan kita untuk benar-benar menghargai hidup.”
Raka tersenyum, lalu menggenggam tangan Arini. “Dan aku tahu, selama kita bersama, nggak ada yang nggak bisa kita lewati.”
Hari demi hari berlalu, dan lambat laun, mereka mulai merasakan hasil dari kerja keras mereka. Studio foto Raka semakin berkembang, dan lukisan-lukisan Arini mulai dikenal hingga ke luar kota. Mereka tidak hanya berhasil bangkit, tetapi juga menemukan kembali arti kebahagiaan.
“Raka, aku rasa ini baru awal dari perjalanan kita,” kata Arini suatu malam ketika mereka duduk di balkon kecil rumah mereka, memandang bintang-bintang di langit.
Raka mengangguk, lalu memeluk Arini dengan penuh cinta. “Iya, Arin. Dan aku nggak sabar untuk melihat apa yang akan datang selanjutnya, selama kita terus merajut asa bersama.”
Dengan cinta dan harapan sebagai pondasi, mereka melangkah maju, siap menghadapi apa pun yang akan datang. Perjalanan mereka mungkin belum sempurna, tetapi mereka tahu, selama mereka bersama, mereka selalu memiliki alasan untuk terus berjuang.*
BAB 10: Kisah Kita Tak Sempurna
Waktu berlalu dengan begitu cepat, dan Arini serta Raka kini merasa bahwa hidup mereka telah mencapai titik yang lebih stabil. Studio foto Raka terus berkembang, bahkan mendapatkan klien dari luar kota. Lukisan Arini juga telah dipamerkan di beberapa galeri seni terkemuka. Mereka bisa merasakan bahwa kerja keras mereka mulai membuahkan hasil, tetapi tidak ada yang bisa menutupi kenyataan bahwa perjalanan ini penuh dengan tantangan dan luka.
Satu malam, setelah selesai menghadiri acara pembukaan pameran seni Arini, mereka duduk berdua di teras rumah mereka, menikmati sejuknya angin malam. Tangan mereka saling bergenggaman erat, seolah-olah tidak ingin melepaskan satu sama lain.
“Apa yang kita lalui tidak mudah, Raka,” ujar Arini, matanya menatap jauh ke arah gelapnya langit malam. “Kita telah melalui banyak cobaan, dan kadang aku merasa seperti… kita tidak akan pernah bisa benar-benar bahagia.”
Raka menatap Arini, dan senyum tipis muncul di wajahnya. “Aku paham, Arin. Tapi kita sudah melalui banyak hal, dan kita masih berdiri di sini, bersama. Bukankah itu artinya kita telah berhasil menemukan kebahagiaan kita sendiri?”
Arini mengangguk pelan. “Aku tahu, Raka. Aku hanya takut… takut bahwa semua yang kita bangun akan runtuh begitu saja.”
“Tapi itu tidak akan terjadi, Arin,” jawab Raka, suaranya lembut namun penuh keyakinan. “Kita sudah cukup kuat untuk menghadapinya. Kita sudah cukup kuat untuk melewati setiap badai yang datang.”
Malam itu, Arini merenung dalam-dalam. Meski kata-kata Raka menenangkan, rasa takut itu masih mengintai di dalam hatinya. Mereka telah berhasil mengalahkan Reynaldi, tetapi dunia ini tidak selalu berjalan sesuai rencana. Apa yang mereka punya sekarang adalah hasil dari kerja keras, keberanian, dan tentu saja, cinta mereka satu sama lain. Tetapi, mereka tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa kebahagiaan yang mereka raih adalah kebahagiaan yang penuh dengan perjuangan.
Di pagi hari, ketika mereka kembali menjalani rutinitas masing-masing, Arini dan Raka mulai menyadari bahwa setiap langkah dalam hidup mereka tidaklah sempurna. Mereka bukanlah pasangan yang sempurna. Mereka juga bukanlah orang yang hidup tanpa masalah. Namun, dalam setiap ketidaksempurnaan itu, mereka menemukan kekuatan untuk saling mendukung, untuk saling mencintai meskipun segala sesuatu tidak berjalan sesuai harapan.
Suatu hari, Arini sedang menatap lukisan terbarunya di studio, lukisan yang menggambarkan dua tangan yang saling meraih. Meskipun tampak sederhana, lukisan itu membawa pesan yang dalam—bahwa meskipun hidup kadang terpisah oleh jarak atau kesulitan, selalu ada kesempatan untuk saling meraih dan memulai kembali.
Raka datang dan berdiri di sampingnya. “Lukisan ini sangat indah, Arin,” katanya, suaranya penuh kekaguman.
Arini tersenyum lembut. “Aku membuatnya untuk kita. Untuk kisah kita yang tak sempurna ini.”
“Aku selalu tahu kita akan melalui ini bersama,” jawab Raka, menggenggam tangan Arini dengan penuh kelembutan. “Kisah kita memang tak sempurna, tapi aku rasa itulah yang membuatnya begitu istimewa. Kita tidak perlu menjadi sempurna untuk menjadi bahagia.”
Arini menoleh ke arahnya, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku tahu, Raka. Aku tahu. Tapi kadang aku merasa… merasa tak pantas mendapatkan semua kebahagiaan ini. Kita punya masa lalu yang penuh luka, dan aku merasa seakan semua yang kita bangun ini bisa hancur kapan saja.”
Raka menatapnya dalam-dalam. “Arin, kita memang punya luka. Kita memang punya masa lalu yang tidak sempurna. Tapi justru karena itulah kita jadi lebih kuat. Kita tahu bagaimana cara bertahan, dan kita tahu bagaimana cara mencintai, meskipun dunia ini tidak selalu adil.”
Arini menghela napas, merasakan kehangatan dari kata-kata Raka. Ia tahu bahwa di dalam ketidaksempurnaan mereka, ada kekuatan yang tak terhingga. Setiap kesalahan, setiap kekurangan, hanya membuat mereka lebih memahami satu sama lain. Mereka telah belajar bahwa kebahagiaan tidak datang dari kesempurnaan, tetapi dari kemampuan untuk menerima segala hal yang ada, baik yang menyenangkan maupun yang menyakitkan.
Malam itu, setelah menyelesaikan pekerjaan mereka, Arini dan Raka duduk di ruang tamu. Mereka berbicara tentang masa depan, tentang impian-impian yang ingin mereka capai bersama. Arini ingin mengadakan pameran seni besar, sementara Raka berencana membuka studio foto yang lebih besar. Namun, mereka tahu bahwa jalan menuju impian itu tidak akan mudah.
“Apakah kita akan selalu begini, Raka?” tanya Arini dengan sedikit kecemasan. “Apakah kita akan selalu berada di jalur yang penuh ketidakpastian ini?”
Raka tersenyum dan menarik Arini ke dalam pelukannya. “Mungkin, Arin. Mungkin kita akan selalu berjalan di jalur yang penuh ketidakpastian. Tapi kita tidak akan pernah berjalan sendirian. Kita akan selalu bersama, apapun yang terjadi. Itu yang terpenting.”
Arini mengangguk, merasakan ketenangan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Di dalam pelukan Raka, ia merasa aman. Tidak ada lagi ketakutan yang menggerogoti hatinya. Apa pun yang terjadi, mereka akan selalu memiliki satu sama lain.
Kisah mereka memang tak sempurna, namun itulah yang membuatnya begitu berharga. Mereka telah belajar untuk menerima kekurangan dan kesalahan, untuk saling mendukung meskipun dunia kadang terasa tidak adil. Dalam ketidaksempurnaan itu, mereka menemukan kebahagiaan yang sejati.
“Aku bersyukur bisa menjalani hidup ini bersamamu, Raka,” kata Arini, suaranya penuh kehangatan. “Kisah kita mungkin tidak sempurna, tapi itu adalah kisah yang paling indah.”
Raka tersenyum, menggenggam tangan Arini dengan penuh cinta. “Kita akan terus merajut kisah ini, Arin. Tidak peduli seberapa tak sempurna jalan yang kita lewati, selama kita bersama, itu sudah cukup.”
Dan dengan itu, mereka melangkah maju, tangan mereka saling menggenggam erat, siap menghadapi apapun yang akan datang, karena mereka tahu bahwa kisah mereka—meskipun tak sempurna—akan selalu menjadi kisah yang penuh makna.***
——–THE END——-