Bab 1 – Kedatangan Petaka
Langit mulai menggelap saat Adit memasuki gerbang Desa Kertajaya. Gerimis tipis jatuh membasahi tanah merah yang mengelupas oleh roda motornya. Aroma basah dari dedaunan dan lumpur seolah membawa kembali kenangan masa kecilnya—kenangan yang seharusnya hangat, namun kini terasa asing dan muram.
Ia menarik napas panjang ketika melihat rumah-rumah kayu tua masih berdiri di tempat yang sama. Jalan setapak itu tak banyak berubah, hanya lebih sepi, lebih sunyi. Tak ada suara anak-anak bermain, hanya deru angin yang menyusup di antara pohon-pohon bambu di pinggir desa.
Adit mematikan mesin motor di depan rumah neneknya, yang kini sudah reyot termakan usia. Dindingnya berlumut, jendela kacanya retak, dan pintunya mengerang saat ia dorong perlahan.
“Nek?” panggil Adit pelan.
Dari dalam muncul sosok renta dengan punggung membungkuk. Neneknya, Mak Inah, memandangnya dengan mata yang tampak lebih sayu dari terakhir kali ia lihat. Senyum tipis muncul di wajah keriput itu.
“Kau datang juga, Dit…”
Adit menghampiri dan memeluknya singkat. Ada kehangatan, tapi juga getaran aneh—entah karena tubuh neneknya yang dingin, atau udara desa yang tiba-tiba membuat bulu kuduknya meremang.
Setelah makan malam seadanya, mereka duduk di beranda, memandangi hujan yang turun pelan. Adit bercerita tentang pekerjaannya di kota, tentang alasan ia cuti beberapa hari untuk menjenguk neneknya yang kabarnya sedang sakit.
Namun Mak Inah hanya menanggapi sepatah-sepatah, matanya lebih sering memandang jauh ke arah jalan masuk desa.
“Sudah tiga malam terakhir… desa ini tak tenang,” gumamnya.
Adit mengernyit. “Kenapa, Nek?”
Mak Inah memandangnya serius. “Kau belum dengar cerita tentang keranda itu, ya?”
“Keranda?”
“Keranda tak bertuan. Ia datang begitu saja. Tengah malam. Tanpa suara. Tidak ada yang mendorongnya, tapi ia bergerak… pelan… melewati rumah-rumah. Dan berhenti di satu pintu.”
Adit menahan tawa kecil. “Cerita itu masih beredar ya, Nek? Aku dengar waktu kecil dulu. Cuma mitos.”
Mak Inah tidak tertawa. Ia malah meremas rosario kayu di tangannya.
“Bukan mitos. Sudah ada yang melihatnya. Dua malam lalu, di depan rumah Pak Lurah. Malam berikutnya di rumah Bu Midah. Lalu pagi harinya, mereka jatuh sakit… dan belum sadarkan diri sampai sekarang.”
Hening menyergap. Hujan berhenti, namun kabut mulai turun perlahan dari arah hutan. Angin bertiup lirih, membawa aroma bunga melati yang tidak biasa muncul di malam hari.
Adit bangkit, hendak menutup jendela, ketika matanya menangkap sesuatu dari kejauhan. Sebuah bentuk panjang… seperti… keranda. Berdiri di ujung jalan desa, setengah tersembunyi kabut.
Dia memicingkan mata. Tidak ada orang di sekitarnya. Tidak ada gerobak, tidak ada pengusung.
Keranda itu hanya berdiri di sana. Diam. Menunggu.
Adit membalikkan badan. “Nek… itu…”
Namun Mak Inah sudah berdiri gemetar, bibirnya bergetar melafalkan doa, wajahnya pucat.
“Jangan lihat. Tutup tirai. Cepat!”
Adit menurut. Ia menarik tirai dan menutup jendela dengan suara berderak. Di luar, kabut semakin tebal, dan suara roda kayu tua terdengar menggulung pelan di atas tanah.
Malam itu, Adit tidak bisa tidur. Ia berbaring di kamar kecilnya yang dingin, dengan suara-suara samar datang dari luar. Seperti suara kayu diseret, atau bisikan yang terbawa angin.
Di tengah malam, ia terbangun karena sesuatu.
Ketukan.
Tiga kali.
Lambat. Berat.
Di depan pintu.
Adit menahan napas. Tidak ada suara lain. Ia menunggu. Lima detik. Sepuluh detik. Tidak ada yang menyahut. Ia melangkah pelan menuju pintu, menempelkan telinganya.
Sunyi.
Namun saat ia membuka pintu, hanya kabut yang menyambut. Tidak ada orang. Tidak ada suara. Tapi tanah di depan teras rumah… basah seperti habis dilalui sesuatu yang berat. Dan di tengah tanah itu, bunga melati berserakan, segar, seakan baru saja dipetik.
Bab 2 – Larangan yang Dilupakan
Pagi hari menyambut Desa Kertajaya dengan kabut yang belum juga mengangkat. Matahari tertahan awan abu, dan hawa lembab menyusup ke setiap celah rumah. Adit duduk di beranda, menatap kosong ke arah jalan tanah di depan rumah neneknya. Di sana, semalam… keranda itu muncul. Dan menghilang begitu saja, menyisakan jejak dan bunga melati segar.
“Nek, semalam aku—”
“Sudah kubilang jangan dibicarakan,” potong Mak Inah cepat. “Menyebutnya saja bisa memanggilnya datang lagi.”
Adit menelan kata-katanya. Tangannya mencengkram cangkir kopi yang dingin, matanya tidak lepas dari jejak samar roda di tanah. Ia berusaha masuk akal. Barangkali itu hanya permainan pikiran, efek dari cerita horor yang didengarnya semalam. Tapi… aroma melati itu nyata. Dan ketukan di tengah malam tak bisa ia lupakan.
Usai sarapan, Adit keluar rumah. Ia ingin memastikan—mencari penjelasan. Di warung tua dekat balai desa, ia bertemu dengan beberapa warga yang mengenalnya. Mereka menyambutnya hangat, tapi wajah mereka menyimpan kekhawatiran.
“Kau datang di waktu yang tidak tepat,” kata Pak Bardi, pria setengah baya dengan mata cekung dan tangan yang terus gemetar.
“Maksudnya?”
“Ada hal-hal yang harusnya sudah dilupakan. Tapi kau datang, dan keranda itu muncul lagi.”
Adit menatapnya serius. “Jadi itu memang nyata? Bukan cuma cerita lama?”
Pak Bardi menghela napas. Ia menoleh ke kiri dan kanan sebelum berbicara lebih pelan. “Dulu, waktu kau masih kecil, desa ini punya larangan. Sebuah pantangan yang diturunkan dari kakek-kakek kami. Jangan pernah menyentuh keranda yang datang sendiri. Jangan pernah bertanya siapa yang dibawa. Dan jangan pernah mencoba membuka tutupnya.”
Adit merasa darahnya mengalir dingin. “Apa yang terjadi kalau larangan itu dilanggar?”
Pak Bardi tak menjawab langsung. Ia menatap tanah, kemudian berkata, “Yang menyentuhnya… akan diambil. Bukan jasadnya, tapi jiwanya.”
Sebelum Adit bisa bertanya lebih lanjut, suara tangisan pecah dari arah rumah Bu Midah. Ia dan warga lainnya berlari ke sana.
Bu Midah terbaring lemas di dipan kayu, matanya kosong, mulutnya komat-kamit seperti membaca sesuatu yang tak terdengar. Di sebelahnya, seorang wanita muda menangis—anaknya.
“Tadi malam dia mimpi buruk,” kata sang anak. “Katanya dia melihat keranda berhenti tepat di depan rumah. Dan ada suara… suara yang menyuruhnya ikut pulang.”
Adit merasa jantungnya mencelus. Ia melangkah mundur, mengingat lagi mimpi buruk yang dialaminya malam tadi. Apakah… itu bukan sekadar mimpi?
Kembali ke rumah, Adit memaksa neneknya bicara.
“Kenapa kalian tidak pernah cerita apa-apa padaku? Tentang keranda itu. Tentang larangan. Tentang semua ini.”
Mak Inah menatapnya lama, lalu bangkit dengan langkah berat menuju lemari tua di sudut rumah. Ia membuka lacinya, mengeluarkan kotak kayu kecil berdebu, dan menyerahkannya pada Adit.
Di dalamnya ada beberapa kertas kuning tua, tulisan tangan, dan sebuah foto. Foto hitam-putih… menunjukkan keranda kayu di tengah hutan, dikelilingi lima orang lelaki, wajah mereka disamarkan bayangan gelap.
“Itu foto dari tahun 1967,” kata Mak Inah pelan. “Waktu keranda itu pertama kali datang.”
“Siapa mereka?”
“Termasuk ayahmu.”
Adit terkesiap. Tangannya gemetar saat memegang foto itu. Ia belum sempat bertanya lebih jauh ketika Mak Inah berkata lagi, suaranya nyaris berbisik.
“Mereka mencoba membuka keranda itu. Mereka pikir bisa melawan kutukannya. Tapi yang terjadi… hanya satu yang selamat.”
Adit menatap neneknya dengan mata membelalak. “Siapa?”
Mak Inah menatap lurus padanya. “Ayahmu. Tapi… dia tidak pernah sama setelah itu.”
Hening menyelimuti ruangan. Hanya suara detik jam tua yang terdengar, berdetak lambat, seolah menandai waktu yang menuju sesuatu.
Malamnya, Adit tak bisa tidur. Ia menatap langit-langit sambil menggenggam foto itu erat. Di luar, suara jangkrik bersahutan… lalu berhenti serentak, seakan dunia menahan napas.
Dan lagi-lagi, seperti malam sebelumnya…
Ketukan.
Tiga kali.
Lebih berat. Lebih dekat.
Adit duduk tegak. Kali ini ia tidak membuka pintu. Ia hanya mendekat pelan, menempelkan telinganya. Tidak ada suara. Tapi aroma melati yang menyengat merambat masuk… menyelusup dari bawah pintu.
Dan kemudian, dari luar jendela… sebuah bisikan.
Suara wanita… parau, namun manis…
“Jangan lupakan… siapa yang seharusnya dibawa…”
Bab 3 – Ketukan di Tengah Malam
Malam turun lebih cepat dari biasanya.
Adit duduk di dekat jendela kamarnya, menatap langit yang kelam tak berbintang. Angin dari arah hutan berembus pelan, membawa aroma lembab bercampur tanah basah. Sejak pagi, perasaan ganjil tak pernah benar-benar pergi dari tubuhnya—seperti ada sesuatu yang menempel di punggungnya, mengikutinya, mengawasinya.
Mak Inah menyalakan kemenyan di setiap sudut rumah. Asap tipis mengepul, berputar-putar seakan mencari jalan keluar. Doa-doa lirih meluncur dari bibir neneknya sejak matahari terbenam. Adit memperhatikan dari balik pintu, merasa seperti kembali menjadi anak kecil yang tidak tahu apa-apa… dan untuk pertama kalinya, merasa takut akan apa yang tidak ia mengerti.
“Kalau nanti terdengar suara… jangan dibuka,” pesan Mak Inah pelan saat hendak masuk kamar. “Tidak peduli apapun yang kamu dengar. Bahkan jika itu suaraku sekalipun.”
Adit ingin bertanya lebih jauh, tapi lidahnya kelu. Ia hanya mengangguk.
Jam berdetak lambat, lebih lambat dari biasanya. 11.47 malam. Hanya tiga belas menit menuju tengah malam, waktu yang disebut warga sebagai “jam keranda”. Waktu ketika dunia manusia dan dunia lain bersentuhan, ketika batas antara nyata dan tak kasat mata kabur seperti kabut yang menyelimuti desa.
Adit duduk berselimut di atas kasur, matanya tak lepas dari pintu. Tapi justru jendela di belakangnya yang lebih dulu berubah. Udara dingin menyusup. Kaca mulai berembun. Dan suara langkah pelan terdengar… seolah ada yang berjalan di luar jendela.
Langkah itu berhenti.
Lalu…
Tok… tok… tok.
Tiga ketukan. Lembut tapi menembus tulang.
Adit membeku. Ia menahan napas, memejamkan mata. Mencoba mengabaikan.
Tok… tok… tok.
Kali ini lebih keras. Lebih dekat. Seperti berasal dari… dalam rumah.
Dengan pelan, ia membuka matanya dan beranjak. Keringat dingin membasahi lehernya. Ia membuka pintu kamar dan menyusuri lorong menuju ruang tamu. Gelap. Hanya nyala lampu minyak kecil di meja tengah yang berkedip seperti akan padam.
Kemudian, ketukan lagi.
Tok… tok… tok.
Tepat di pintu depan.
Adit mendekat perlahan. Jantungnya berdentam di dada, begitu keras hingga ia merasa suara itu bisa terdengar sampai luar rumah.
Saat tangannya hampir menyentuh gagang pintu, tiba-tiba terdengar bisikan di balik daun pintu.
“Tolong bukakan… dingin sekali di luar sini…”
Suara perempuan. Tua. Serak.
Mata Adit membelalak. Ia tahu suara itu.
Itu… suara Mak Inah.
Tapi… bukankah Mak Inah sedang tidur di kamar?
Adit menoleh cepat ke arah belakang. Hening. Rumah seperti menahan napas.
Dia tahu pesannya. “Bahkan jika itu suaraku sekalipun…”
Namun suara itu datang lagi. Lebih pelan. Lebih memohon.
“Adit… ini Nenekmu, Nak… bukakan, sayang…”
Tangannya mulai bergetar. Gagang pintu terasa dingin di genggamannya. Satu tarikan saja dan pintu itu akan terbuka. Tapi sesuatu di dalam dirinya menjerit, menahannya. Ia mundur perlahan. Ketika suara di luar berubah.
Menjadi geraman rendah, lalu tawa kecil… mirip anak-anak, tapi diputar dari piringan rusak.
Kemudian… pintu bergetar keras.
DUK! DUK! DUK!
Tiba-tiba lampu minyak padam. Kegelapan menelan segalanya.
Adit jatuh terduduk. Di dalam gelap, ia mendengar suara roda—suara keranda itu. Pelan. Menggesek tanah. Suara kayu tua yang menyeret dirinya menuju rumah.
Dan di sela-sela derak itu, ada suara lain: suara rantai diseret… dan napas berat yang datang dari arah jendela kamarnya.
Ketika pagi datang, Mak Inah menemukan Adit tergeletak di lantai ruang tamu, menggigil, matanya masih terbuka menatap langit-langit.
Tidak ada luka. Tidak ada tanda kekerasan. Tapi tubuhnya lemas seperti habis dirampas dari dalam.
Dan di luar rumah… bunga melati kembali berserakan. Lebih banyak dari sebelumnya. Membentuk jejak menuju jalan tanah… tempat keranda itu biasanya muncul.
Bab 4 – Orang Pertama yang Hilang
Pagi itu, Desa Kertajaya terasa lebih sunyi dari biasanya.
Kabut belum juga sirna meski matahari telah naik tinggi. Udara tetap dingin, seolah waktu enggan bergerak maju. Mak Inah berjalan pelan di antara jalan setapak, menuju rumah tetangganya, Pak Lurah Darman, dengan wajah murung dan langkah berat.
Adit belum pulih sepenuhnya. Meski pagi tadi ia sudah bisa bicara, tubuhnya masih lemas dan pikirannya kacau. Ia hanya bisa menceritakan sebagian kejadian semalam. Tentang ketukan, suara menyerupai neneknya, dan bisikan-bisikan dari luar jendela. Tapi ia tidak berani menyebut soal suara tawa anak-anak, atau suara rantai yang berderak… karena hanya dengan mengingatnya saja sudah membuat tengkuknya dingin.
“Sudah saatnya kami beritahu yang sebenarnya,” ucap Pak Darman lirih setelah mendengarkan cerita Mak Inah. “Kita tak bisa lagi berpura-pura ini hanya mimpi.”
Desa Kertajaya memiliki sebuah bangunan kecil di pinggir hutan—sebuah gudang tua yang dahulu digunakan untuk menyimpan hasil panen. Namun sejak dua dekade lalu, tempat itu ditutup. Kata orang, pernah terjadi sesuatu yang “ganjil” di sana. Tapi cerita-cerita itu perlahan ditelan waktu dan diganti oleh kebisuan.
Pagi itu, Adit, meski masih lemah, ikut bersama rombongan kecil yang dipimpin Pak Lurah menuju gudang tersebut.
Di dalamnya berdebu dan pengap. Lantai kayu lapuk di beberapa tempat, dan cahaya matahari yang menembus dari celah-celah papan membuat suasana tampak seperti lukisan dunia yang sudah mati. Tapi di satu sudut, ada sesuatu yang membuat Adit tercekat.
Sebuah keranda tua.
Bentuknya mirip sekali dengan yang ia lihat dalam mimpinya—atau mungkin kenyataan—dua malam terakhir. Keranda itu dilapisi kain kafan pudar yang kini menguning dan berlubang, seperti dimakan usia.
“Kenapa… ada keranda di sini?” tanya Adit dengan suara nyaris berbisik.
Pak Darman menatapnya serius. “Karena dulu… kami pernah mencoba menyembunyikannya.”
Ia lalu mulai bercerita. Dua puluh tahun lalu, keranda itu pertama kali muncul. Warga panik. Satu per satu orang jatuh sakit, lalu mati dalam keadaan aneh. Keranda itu datang setiap malam, tanpa suara, dan berhenti di depan rumah yang akan “diambil.”
Akhirnya, sekelompok warga nekat menyergapnya. Mereka mengikuti jejak keranda hingga ke tengah hutan, dan mengurungnya di gudang ini. Namun sejak saat itu, satu per satu orang yang ikut menutupnya menghilang.
“Termasuk ayahmu, Dit,” ucap Mak Inah lirih. “Tapi dia kembali. Sayangnya… bukan lagi seperti sebelumnya.”
Adit diam. Semua kepingan cerita yang selama ini disembunyikan perlahan mulai menyatu. Tapi sebelum ia bisa mencerna lebih jauh, suara langkah cepat terdengar dari luar gudang.
Seorang warga berlari tergopoh-gopoh, napasnya memburu.
“Pak… Pak Lurah! Pak Seno… hilang!”
Pak Seno adalah petani tua yang tinggal di pinggir sawah. Ia dikenal sebagai orang yang keras kepala—dan semalam, menurut anaknya, ia sempat keluar rumah untuk “menantang” keranda yang dikabarkan muncul lagi.
“Kalian semua pengecut!” begitu katanya semalam, menurut tetangga yang sempat melihat. “Cuma kayu tua! Kalau datang, biar saya yang usir!”
Kini rumah Pak Seno kosong. Tak ada tanda perlawanan, tak ada kerusakan. Tapi ada sesuatu yang mengerikan di depan pintu rumahnya.
Jejak kaki satu arah.
Menuju pintu. Tapi tidak ada jejak keluar.
Dan di depan pintu itu, setangkai bunga melati. Masih segar. Masih basah.
Adit menggigil. Ia menatap jejak itu, lalu menoleh ke Mak Inah yang kini memegangi rosarionya erat-erat. Warga berkumpul dalam diam. Tak ada yang berani menyentuh pintu, seolah ketakutan bahwa menyentuhnya saja bisa membuat mereka “ikut diambil.”
Sore itu, pencarian dilakukan. Seluruh desa turun ke sawah, ke hutan kecil, ke pematang, bahkan ke sumur tua yang sudah lama ditinggalkan. Tapi hasilnya sama: tidak ada Pak Seno. Tidak ada tanda ia pernah keluar.
Dan malamnya, untuk pertama kali dalam lebih dari sepuluh tahun, keranda itu muncul di jalan desa secara terang-terangan. Tidak bersembunyi dalam kabut. Tidak datang diam-diam.
Ia meluncur perlahan… seperti sedang menunjukkan dirinya pada semua orang.
Adit menyaksikannya dari balik tirai. Tak ada orang yang mendorong. Tak ada tali. Tak ada suara. Tapi roda kayunya berputar, melewati rumah demi rumah, hingga berhenti di tengah desa.
Dan malam itu, suara-suara mulai terdengar dari segala arah:
“Satu telah diambil…
Tapi masih ada yang belum selesai…”
Bab 5 – Jejak Masa Lalu
Langit mendung menggantung di atas Desa Kertajaya, seperti kain kafan yang enggan disingkap.
Adit duduk di depan rumah sambil menatap jalan tanah yang kini terasa seperti batas tipis antara dunia nyata dan sesuatu yang jauh lebih kelam. Sejak hilangnya Pak Seno, suasana desa membeku dalam ketakutan. Tak ada suara anak-anak, tak ada candaan di warung kopi. Bahkan suara ayam pun seperti enggan berkotek. Hanya ada diam. Dan bayang-bayang.
Malam sebelumnya, keranda itu muncul lagi. Tak bersembunyi. Tak lagi menjadi hantu yang beroperasi diam-diam. Ia meluncur di jalanan desa dengan tenang, bagai bagian dari dunia yang tak pernah pergi.
Dan yang lebih mengganggu: tidak ada yang berani menyentuh atau mengusirnya.
Mak Inah kini lebih sering berdoa, kadang menangis sendiri saat membaca kitab tua yang sudah robek di beberapa bagian. Ia seperti menyimpan sesuatu yang ingin dikatakan, tapi terlalu berat untuk diungkap.
Adit tahu, semua ini bukan kebetulan. Bukan sekadar takhayul. Ia harus menggali lebih dalam.
Hari itu, Adit memutuskan untuk kembali ke rumah tua milik kakek-neneknya dari pihak ayah, yang sudah puluhan tahun ditinggalkan. Letaknya di pinggiran hutan kecil, tertutup semak dan pepohonan. Rumah itu berdiri miring, dinding kayunya penuh lumut dan rayap, namun masih cukup kokoh untuk dimasuki.
Pintu berderit saat dibuka. Bau apek, debu, dan kelembaban menyambutnya seperti pelukan dari masa lalu. Ia menyalakan senter dan mulai menyusuri ruangan demi ruangan, mencari sesuatu—apa saja—yang bisa menjelaskan semua ini.
Di sebuah kamar yang tampaknya dulu milik ayahnya, Adit menemukan lemari besi kecil yang terkunci. Setelah beberapa usaha dan satu tendangan keras, pintu lemari terbuka dengan bunyi “klak!” pelan.
Di dalamnya, tersembunyi sebuah buku catatan tua, beberapa foto hitam-putih, dan sebuah peta kasar yang digambar tangan.
Catatan itu ditulis oleh ayah Adit, bertahun-tahun lalu. Tulisannya tergesa, namun penuh emosi. Dalam halaman-halaman awal, Adit membaca:
“Kami berlima. Aku, Wira, Johan, Suro, dan Giman. Kami membuka keranda itu karena penasaran. Karena bodoh. Karena merasa tak ada yang perlu ditakuti selain kematian itu sendiri.”
“Tapi yang kami buka bukan sekadar peti mati. Kami membuka pintu. Dan sesuatu keluar bersama kami.”
Adit menelan ludah. Tangannya bergetar saat membalik halaman.
“Kami mengira berhasil. Tapi malam-malam berikutnya… satu per satu dari kami mulai berubah. Johan ditemukan tergantung di gudang. Giman hilang di sumur tua. Dan Suro… tubuhnya ditemukan, tapi jiwanya seperti telah hilang. Ia menatap kosong selama dua tahun sebelum akhirnya mati dalam tidur.”
“Aku satu-satunya yang bertahan. Tapi aku tahu waktuku akan tiba. Karena sesuatu mengikuti kami sejak malam itu. Dan ia… belum puas.”
Foto-foto dalam lemari menunjukkan lima orang pria muda, berdiri di tengah hutan dengan latar belakang keranda yang sama—keranda yang kini kembali menghantui desa. Salah satu dari mereka adalah ayah Adit. Matanya dalam foto terlihat… kosong. Seperti menyimpan sesuatu yang tidak bisa dihapus waktu.
Tapi yang paling mengejutkan Adit adalah peta kasar itu. Ada tanda silang merah besar di satu titik: “Makam Tertutup” tertulis samar.
Di bagian bawah peta, satu kalimat ditulis dengan tinta yang lebih gelap:
“Kubur sesuatu sebelum ia menggali keluar.”
Malamnya, Adit kembali ke rumah dengan pikiran penuh. Ia menunjukkan catatan itu pada Mak Inah. Neneknya menangis pelan, lalu mengangguk seolah sudah lama tahu hari ini akan datang.
“Ayahmu… menyesal seumur hidupnya,” ujar Mak Inah lirih. “Tapi penyesalan itu tidak cukup untuk menghapus apa yang telah dibuka.”
Adit memandangi peta lagi. “Kalau ini lokasi makamnya… apa yang dikubur di sana?”
Mak Inah menatapnya dalam-dalam. “Bukan siapa. Tapi apa.”
Keesokan harinya, Adit dan beberapa warga yang berani mengikuti peta itu menuju area makam tua yang sudah lama tak terurus. Mereka membersihkan semak-semak, menggali tanah keras dan basah oleh lumut. Dan di sana, mereka menemukannya.
Sebuah nisan batu hitam, tanpa nama.
Dan di sekelilingnya, puluhan kelopak bunga melati yang masih segar, seolah baru diletakkan seseorang.
Saat salah satu warga mencoba menggali lebih dalam, tanah bergetar pelan. Dan udara mendadak menjadi dingin, menusuk sampai tulang.
Dari dalam liang… terdengar suara berdesis.
Dan kemudian, samar-samar, bisikan itu datang lagi, membawa bau melati yang kini berubah menjadi anyir darah:
“Kalian menggalinya kembali… maka kalian yang akan menggantikannya.”
Bab 6 – Keranda dalam Mimpi
Malam itu, Adit tertidur dengan tubuh yang lelah dan pikiran yang kacau.
Sejak penemuan makam tak bernama siang tadi, ia merasa ada sesuatu yang “menempel” padanya. Udara di sekitarnya terasa berat, dan tiap kali ia menutup mata, bayangan keranda tua itu melintas cepat di benaknya—membelah kegelapan seperti bayang-bayang yang tak pernah hilang.
Mak Inah hanya bisa menyarankannya tidur sambil memegang jimat warisan keluarga: seuntai tali benang merah dan potongan kayu kecil yang katanya berasal dari pohon tua tempat roh-roh dijinakkan oleh leluhur desa.
Namun malam ini… benda itu tidak cukup kuat.
Adit mulai bermimpi.
Ia berdiri sendirian di tengah padang kosong, tanahnya retak-retak, langit di atasnya merah gelap seperti bara yang mati perlahan. Tidak ada suara. Tidak ada angin. Hanya… hening yang menyesakkan dada.
Lalu dari kejauhan, terdengar bunyi roda.
Kreeek… kreeek… kreeek…
Suara itu semakin dekat. Adit berbalik dan melihatnya—keranda itu. Sama persis seperti yang ia lihat di gudang tua dan jalan desa. Tapi kali ini, keranda itu terbuka. Tidak ada kain putih yang menutupi. Tidak ada rantai. Hanya peti kayu lapuk… dengan seseorang duduk di dalamnya.
Sosok itu kurus, tinggi, kulitnya pucat seperti mayat yang terendam air terlalu lama. Rambut panjang menjuntai, menutupi sebagian wajah yang hancur seperti terbakar. Namun matanya—dua titik merah menyala—menatap Adit lurus-lurus.
“Kau… akhirnya datang…”
Adit ingin mundur, tapi kakinya tidak bisa bergerak. Tanah di bawahnya berubah menjadi lumpur, dan tubuhnya terasa berat seperti ditarik ke bawah.
Sosok di dalam keranda berdiri pelan. Setiap gerakannya mengeluarkan bunyi seperti tulang-tulang yang retak. Ia berjalan mendekat, menyeret kakinya sambil menggeretakkan gigi.
“Dulu… aku dikurung. Karena mereka takut padaku. Tapi kini… darahku mengalir dalam tubuhmu.”
Adit membelalak. “Apa maksudmu?”
Sosok itu tersenyum. Senyum yang membuat perut terasa mual.
“Keturunan terakhir… anak dari sang penjaga… kau adalah kunci.”
Tiba-tiba, dunia di sekitarnya bergetar. Langit pecah. Suara-suara berteriak dari bawah tanah, seperti ribuan tangan yang menggapai dari dalam bumi. Dan dari balik retakan tanah, muncul wajah-wajah—mata kosong, mulut ternganga, seperti korban yang tidak pernah sempat beristirahat.
Adit berteriak… dan terbangun dengan tubuh penuh peluh.
Masih malam. Rumah gelap. Hanya cahaya bulan dari celah jendela yang masuk.
Tapi Adit sadar sesuatu: ia masih memegang jimat itu… tapi tali merahnya putus.
Dan dari arah ruang depan… terdengar suara roda pelan.
Kreeek… kreeek…
Adit bangkit pelan dan mengintip dari balik pintu kamar. Tak ada siapa-siapa. Namun ketika ia melangkah keluar, ia melihat jejak di lantai kayu—jejak roda kecil dan tapak kaki basah.
Jejak itu berhenti tepat di depan pintu kamar Mak Inah.
Adit mendorong pintu kamar itu dengan cepat.
Kosong.
Mak Inah tidak ada.
Hanya ada bantal dan guling yang berserakan, serta seuntai kain putih yang masih mengepul aroma melati… dan darah.
Pagi harinya, Adit menceritakan mimpinya kepada Pak Lurah dan beberapa warga yang tersisa. Wajah mereka pucat, saling menatap dengan takut.
Pak Lurah berkata pelan, “Kau sudah masuk ke dalam ‘ruang’ mereka, Dit. Mereka menunjukkan mimpi itu bukan untuk menakutimu… tapi untuk memperingatimu.”
“Memperingatkan tentang apa?” tanya Adit.
Pak Lurah menatapnya dengan mata berat.
“Bahwa kau tidak lagi hanya pengamat. Kau bagian dari mereka. Dan keranda itu bukan hanya datang untuk mengambil… tapi untuk mengembalikan sesuatu yang seharusnya tidak pernah dibuka.”
Malam berikutnya, Adit tidak berani tidur. Tapi saat ia mulai mengantuk di kursi ruang tengah, suara bisikan itu datang lagi—lembut, merayap masuk ke dalam kepala:
“Temukan tubuhku…
Lepaskan aku…
Atau kau akan menggantikannya…”
Bab 7 – Pengakuan Nenek
Malam itu, desa Kertajaya terasa lebih hening dari biasanya. Adit duduk di luar rumah, menatap langit yang dipenuhi awan hitam pekat. Tidak ada suara malam yang biasa terdengar—tak ada suara jangkrik, tak ada angin. Hanya kebisuan yang menekan, seolah dunia sedang menunggu sesuatu yang akan datang.
Sudah seminggu sejak Mak Inah menghilang, dan Adit semakin merasa bahwa setiap langkahnya membawa mereka lebih dekat pada kegelapan yang tak terhindarkan. Namun, yang lebih menyesakkan adalah kenyataan bahwa ia sendiri adalah bagian dari kutukan itu. Mimpi-mimpinya semakin mengganggu, dan semakin banyak petunjuk yang mengarah pada keluarga mereka, yang terhubung langsung dengan keranda tua yang datang tiap malam.
Adit sudah tidak tahu lagi harus kemana. Ia sudah berusaha menggali lebih dalam tentang makam yang ditemukan di pinggir hutan, tentang keranda itu yang sepertinya memiliki kekuatan untuk membangkitkan sesuatu yang tidak seharusnya ada. Tapi satu-satunya orang yang bisa memberinya jawaban adalah Mak Inah, yang kini menghilang tanpa jejak.
Setelah beberapa hari mencari di sekitar desa dan rumah mereka, Adit akhirnya menemukan sesuatu yang memberinya sedikit harapan—di bawah papan lantai rumah tua milik keluarganya, sebuah petunjuk baru ditemukan. Tumpukan surat dan catatan tua yang selama ini tersembunyi di balik lantai yang sudah lapuk. Surat-surat itu adalah surat-surat lama yang ditulis oleh nenek buyutnya—seorang wanita yang disebut-sebut sebagai penjaga rahasia keluarga.
Dengan hati berdebar, Adit membuka satu per satu surat tersebut. Setiap surat berisi peringatan tentang keranda tak bertuan dan kutukan yang diwariskan melalui darah mereka.
Di surat terakhir, tulisannya sangat jelas, namun juga penuh rasa penyesalan yang mendalam:
“Kamu tidak bisa melarikan diri, Inah. Ketika aku pertama kali membuka keranda itu, aku tahu semuanya akan berubah. Aku tahu darah kita tidak akan pernah bebas dari kutukan ini. Kami membuka peti mati yang seharusnya tetap terkubur, dan sekarang, tidak ada yang bisa menghentikan perjalanan itu. Aku menyesal, lebih dari apapun. Tapi yang lebih buruk lagi adalah ketika aku menyadari bahwa kami tidak hanya membuka keranda itu… kami juga membuka jalan untuk dirimu. Kamu adalah penerus yang tidak bisa menghindar dari warisan ini.”
Adit menutup surat itu dengan tangan gemetar. Kata-kata itu bagaikan sebuah pukulan keras yang menghantam batinnya. Semua yang ia alami—semua yang terjadi pada desa dan keluarganya—terjadi karena tindakan neneknya, dan akibatnya kini jatuh padanya. Tapi masih ada satu pertanyaan yang tak terjawab: Mengapa Mak Inah memilih diam? Mengapa ia tidak memberitahukan Adit lebih awal?
Pagi itu, Adit memutuskan untuk kembali ke rumah Mak Inah. Meski ia sudah merasa takut dan cemas, ia tahu tidak ada pilihan lain. Ada jawaban yang harus ia dapatkan, dan hanya Mak Inah yang bisa memberinya jawaban itu.
Ia berjalan cepat menuju rumah neneknya yang kini tampak lebih tua dan rapuh dari sebelumnya. Begitu tiba, ia merasa ada sesuatu yang aneh. Tidak ada suara dari dalam rumah, tidak ada asap yang keluar dari cerobong asap, dan pintu depan terbuka sedikit. Adit melangkah masuk dengan hati-hati.
“Mak Inah?” panggilnya pelan.
Tidak ada jawaban. Tetapi di ruang tamu, ia menemukan Mak Inah duduk dengan punggung membungkuk, memandangi sebuah keranda kecil yang terletak di atas meja kayu.
Mak Inah menoleh perlahan, wajahnya tampak sangat lelah dan tua. Matanya yang biasanya tajam kini tampak kosong, namun ada sorot tertentu di dalamnya—sorot penyesalan yang mendalam.
“Adit…” suara Mak Inah serak, “Kamu datang juga akhirnya.”
Adit merasa perutnya mual. “Nenek… apa yang terjadi? Mengapa kau menghilang? Apa yang kau sembunyikan dari kami?”
Mak Inah menunduk, menatap keranda kecil di depannya. “Aku tidak punya banyak waktu, Adit. Mereka sudah mulai datang. Waktu kita sudah habis.”
Adit mendekat, menatap keranda kecil itu. “Apa itu? Apa hubungan keranda ini dengan semua yang terjadi?”
Mak Inah menghela napas panjang. “Keranda ini adalah kunci dari semuanya. Kunci untuk membebaskan diriku dan membebaskan kamu, Adit. Tapi itu juga kunci yang akan menutup hidupmu jika kamu tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.”
Ia mengangkat tangannya, menggenggam erat tali rosario tua yang masih tergantung di lehernya. “Dulu, sebelum kamu lahir, aku dan ayahmu membuat keputusan besar. Kami berdua adalah keturunan dari penjaga rahasia ini. Ketika aku membuka keranda itu untuk pertama kalinya, aku tahu konsekuensinya. Aku tahu kutukan itu akan menempel pada darah kita.”
Adit terdiam, mulutnya terasa kering. “Jadi, apa yang harus aku lakukan sekarang? Apa yang harus aku cari?”
Mak Inah menatapnya dengan penuh kepedihan. “Kamu harus menghentikan keranda itu, Adit. Kamu harus menggali lebih dalam dan menemukan makam yang tersegel itu. Di situlah semua dimulai. Di situlah semua berakhir. Jika tidak, semua yang ada di desa ini… akan musnah.”
Adit merasakan guncangan yang kuat di dalam dadanya. “Apa maksudmu? Semua akan musnah?”
Mak Inah mengangguk perlahan. “Keranda itu tidak hanya mencari jiwa. Ia juga mencari tempat untuk tinggal. Dan kamu… adalah tempat yang paling cocok baginya.”
Adit merasa seolah dunia berhenti berputar. “Apa maksudmu? Aku… aku tidak bisa melarikan diri?”
Mak Inah menatapnya tajam, dan dengan suara yang hampir tak terdengar, ia berkata, “Kamu sudah melangkah terlalu jauh, Adit. Sekarang kamu harus menyelesaikannya.”
Bab 8 – Tiga Hari, Tiga Korban
Kehidupan di Desa Kertajaya semakin berubah setelah pengakuan Mak Inah. Setiap detik terasa berat bagi Adit. Ia tahu waktunya semakin sempit. Kutukan yang terpendam sejak lama kini terbangun, dan keranda yang menggerogoti setiap sudut desa semakin mendekat. Tidak ada lagi waktu untuk berpikir, tidak ada lagi waktu untuk ragu.
Hari itu, udara pagi terasa mencekam. Adit baru saja meninggalkan rumah Mak Inah setelah mendengarkan pengakuan yang membuatnya tak bisa tidur semalam suntuk. Semua yang dikatakan neneknya terasa begitu berat. Mengetahui bahwa takdirnya sudah digariskan, dan tak ada cara untuk menghindar dari apa yang sudah mulai berjalan.
Mak Inah memintanya untuk menggali lebih dalam tentang “misteri makam tersegel”, tempat kutukan itu bermula. Adit tahu bahwa ia harus segera bergerak, namun ada satu hal yang mengganggunya—keranda itu, seperti ada dalam setiap langkahnya, mengikuti dengan diam, sabar, seperti sesuatu yang menunggu kesempatan.
Setiap malam, Adit mulai melihat bayangan keranda itu di jalanan desa. Tiap kali ia menoleh, sosok itu sudah menghilang. Tapi kehadirannya tidak bisa disangkal. Ia tahu bahwa sesuatu yang jauh lebih mengerikan akan segera terjadi.
Hari pertama berjalan tanpa kejadian mencolok, namun ketegangan di desa semakin terasa. Warga mulai membicarakan kejadian-kejadian aneh yang mereka alami. Ada yang mendengar suara ketukan dari dalam rumah, ada yang merasakan udara dingin yang datang tiba-tiba tanpa sebab, dan beberapa bahkan melaporkan bahwa mereka melihat sosok di balik jendela, dengan mata merah menyala.
Namun, ketegangan itu mencapai puncaknya pada malam ketiga.
Pagi hari itu, Adit berkeliling desa, mencoba mengumpulkan informasi lebih lanjut tentang kejadian-kejadian aneh yang terjadi pada para korban sebelumnya. Semakin lama ia berkeliling, semakin jelas bahwa kutukan ini bukan hanya milik keluarganya—kutukan ini telah menyebar ke seluruh desa. Beberapa orang yang pernah mencoba melawan keranda itu atau yang terlibat dalam upacara pemakaman yang salah—mereka menjadi sasaran pertama.
Hari pertama korban datang setelah Adit menggali lebih dalam mengenai kutukan yang telah menimpa keluarganya.
Warga pertama yang menjadi korban adalah Pak Widodo, seorang petani yang hidupnya biasa-biasa saja, tidak terlibat dalam masalah apapun yang terkait dengan kutukan ini. Namun, pada malam itu, ia ditemukan tewas di ladang padi miliknya, dengan tubuh terbaring kaku, mulutnya terbuka, dan matanya melotot seperti orang yang mati ketakutan. Hanya satu hal yang berbeda—di samping tubuhnya, ada sebuah jejak roda kecil yang terpatri di tanah, jejak yang sudah sering dilihat Adit. Jejak yang mengarah ke arah rumahnya.
Adit merasa jantungnya terhenti. Ia tahu ini adalah tanda bahwa kutukan itu sedang mulai mengumpulkan “bayaran”.
Malam berikutnya, Bu Tini, pemilik warung kopi di desa, ditemukan hilang. Tidak ada jejak, tidak ada saksi yang melihat, hanya sejumlah kepingan uang logam yang tergeletak di lantai warungnya. Warga mencarinya sepanjang malam, namun tidak menemukan apapun. Hanya ada bau melati yang tercium di udara, seperti aroma yang membawa pertanda buruk.
Dan pada malam ketiga, Adit merasakan sesuatu yang lebih gelap lagi. Sesuatu yang ia tidak ingin hadapi.
Malam itu, Mbah Daryo, sesepuh desa yang telah lama mengasingkan diri di rumahnya yang jauh di ujung desa, ditemukan tewas dengan cara yang mengerikan. Tubuhnya ditemukan di halaman depan rumah, terbungkus kain putih. Ada keranda kecil di samping tubuhnya, dan satu-satunya petunjuk yang ditemukan di sekitar tubuhnya adalah sebuah tulisan aneh yang tergores di tanah. Adit tidak bisa membaca tulisan itu dengan jelas, namun ada satu kata yang tertulis di sana, yang membuat bulu kuduknya berdiri:
“Tujuh.”
Tujuh. Adit terdiam. Apa artinya ini?
Pagi harinya, Adit mengunjungi rumah Mbah Daryo. Rumah itu berada di tepi hutan, jauh dari keramaian. Sesampainya di sana, Adit merasa sebuah kekuatan yang tidak terlihat menariknya lebih dalam. Begitu ia masuk ke dalam rumah, bau melati dan udara dingin langsung menyergapnya. Ia mulai mencari-cari jejak yang mungkin bisa memberi petunjuk lebih lanjut.
Di ruang belakang rumah, Adit menemukan sebuah peta tua yang terlipat rapi di atas meja. Peta itu menggambarkan lokasi-lokasi yang selama ini dianggap sebagai tempat-tempat terlarang di desa. Salah satunya adalah Makam Tertutup, yang telah ia temui dalam peta sebelumnya. Namun, ada satu lokasi baru yang muncul di peta itu—Sumur Tua yang terletak di ujung desa, yang selalu dianggap sebagai tempat yang terkutuk.
Tanpa pikir panjang, Adit pergi ke sumur itu.
Sumur Tua terletak di ujung desa, jauh dari tempat tinggal warga lainnya. Sumur itu sudah lama tidak digunakan, dan sering kali terdengar cerita tentang suara-suara aneh yang datang dari dalamnya, terutama di malam hari. Adit mendekat perlahan. Di sekeliling sumur, tanahnya basah dan berlumpur. Seperti ada sesuatu yang sedang menunggu untuk keluar.
Saat Adit menatap ke dalam sumur yang dalam, tiba-tiba, ada suara langkah kaki di belakangnya. Ia berbalik cepat, namun tidak ada siapa-siapa. Hanya angin malam yang berhembus pelan. Tapi Adit merasa ada yang tidak beres. Ada sesuatu yang mengintai.
Kemudian, suara itu terdengar lagi—ketukan keras dari dalam sumur.
Kreeek… kreeek…
Itulah suara yang sudah dikenal Adit.
Adit tahu, tidak ada lagi waktu yang tersisa. Tiga korban telah jatuh dalam tiga malam berturut-turut, dan keranda itu sudah semakin mendekat. Sesuatu yang terkutuk kini hidup dalam bayang-bayang desa ini, dan hanya ada satu cara untuk menghentikan semuanya.
Namun, Adit tidak tahu apakah ia bisa melawan kegelapan yang telah menguasai tempat ini.
Malam berikutnya, ia harus melakukan langkah terakhir. Melawan keranda yang tak bertuan dan mengungkapkan rahasia yang terkubur dalam makam tersegel.
Bab 9 – Upaya Melawan
Malam semakin larut, dan udara di Desa Kertajaya terasa semakin berat. Setiap detik berjalan dengan penuh ketegangan, seolah waktu menunggu sebuah keputusan yang akan menentukan nasib desa dan segala yang ada di dalamnya. Adit berdiri di depan pintu rumah, menatap jalanan desa yang sepi. Hanya suara angin malam yang terdengar, tetapi dalam keheningan itu, Adit bisa merasakan sesuatu yang jauh lebih mengerikan—sesuatu yang mendekat.
Tiga korban dalam tiga hari terakhir, dan keranda itu semakin sering terlihat di jalanan, seperti mengintai dari kejauhan. Tidak ada yang bisa menghentikannya, dan Adit tahu bahwa ia tidak bisa lagi hanya berdiam diri. Tugasnya jelas—ia harus menggali lebih dalam dan menemukan makam tersegel yang selama ini disebut-sebut dalam catatan Mak Inah dan Mbah Daryo.
Namun, ada satu hal yang membuat Adit semakin ragu: apakah ia benar-benar bisa menghadapi kekuatan yang terpendam itu? Ia merasa seperti tidak memiliki pilihan lain selain maju, tetapi di sisi lain, ada rasa takut yang mencekam. Apakah ia akan menjadi korban berikutnya, atau dapatkah ia benar-benar menghentikan kutukan yang telah menghancurkan keluarganya selama berabad-abad?
Malam itu, Adit memutuskan untuk menemui Pak Lurah. Pak Lurah adalah satu-satunya orang yang masih tersisa dengan pengetahuan tentang sejarah desa dan tentang keranda itu. Adit tahu bahwa ia harus mendapat lebih banyak informasi untuk dapat melawan kekuatan yang selama ini tersembunyi.
Pak Lurah menyambut Adit dengan wajah yang penuh kecemasan. “Adit, kau harus berhati-hati. Apa yang kau hadapi bukanlah hal yang bisa dilawan dengan kekuatan biasa. Kutukan ini sudah ada jauh sebelum kita lahir.”
Adit mengangguk. “Aku tahu, Pak Lurah. Tapi aku tidak bisa membiarkan desa ini terus dihantui. Aku harus melawan, meskipun aku tidak tahu apa yang akan terjadi.”
Pak Lurah duduk di kursi kayu, menatap Adit dengan mata yang berat. “Ada satu cara, Adit. Namun itu bukan sesuatu yang bisa kau lakukan sendiri. Kau harus mencari artefak yang dapat membebaskan jiwa-jiwa yang terperangkap. Itu adalah satu-satunya cara untuk menghentikan keranda itu.”
“Artefak?” tanya Adit, penasaran. “Apa yang kau maksud?”
Pak Lurah menghela napas panjang. “Ada sebuah batu yang disebut Batu Pengikat. Batu itu digunakan oleh leluhur kita untuk mengunci roh jahat dalam keranda. Batu itu kini tersembunyi di dalam gua yang terletak di puncak bukit yang tinggi. Tapi untuk mencapainya, kau harus melewati banyak rintangan. Tidak ada yang berhasil mencapainya tanpa pengorbanan.”
Adit merasa perutnya tercekik. Gua di puncak bukit itu bukan tempat yang mudah dijangkau, apalagi dengan rintangan yang Pak Lurah sebutkan. Namun, ia tahu bahwa tidak ada pilihan lain. Jika itu satu-satunya cara untuk menghentikan kutukan ini, ia harus melakukannya.
“Bagaimana aku bisa menemukannya?” tanya Adit dengan suara yang tegas, meski hatinya dipenuhi kekhawatiran.
Pak Lurah menatap Adit dalam-dalam, kemudian berdiri dan mengambil sebuah kotak kayu kecil dari lemari. Ia membuka kotak itu dan mengeluarkan sebuah medali kuno yang terukir dengan simbol-simbol yang tidak Adit pahami. “Ini adalah tanda dari para penjaga, Adit. Gunakan medali ini untuk menunjukkan bahwa kau adalah penerus dari mereka yang berjuang melawan kutukan ini. Batu Pengikat hanya akan terbuka bagi mereka yang memegang medali ini.”
Adit menerima medali itu dengan tangan gemetar. Ia tahu bahwa langkah berikutnya adalah pergi ke gua tersebut, meski risiko yang akan dihadapi sangat besar. “Terima kasih, Pak Lurah. Aku akan berusaha sekuat tenaga.”
Pagi hari berikutnya, Adit memulai perjalanannya menuju bukit tinggi yang disebutkan oleh Pak Lurah. Perjalanan ini bukan hanya perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan batin yang berat. Adit tahu bahwa semakin dekat ia dengan gua itu, semakin besar pula bahaya yang akan menghadangnya.
Di sepanjang perjalanan, Adit merasakan kehadiran yang aneh. Rasanya seperti ada mata yang mengawasinya dari kegelapan hutan. Setiap langkah yang diambilnya terasa semakin berat, dan di beberapa titik, ia merasa seolah kakinya tak bisa bergerak. Angin yang berhembus juga terasa berbeda, seakan membawa suara bisikan yang memanggilnya.
Namun, Adit tidak bisa berhenti. Ia tahu bahwa jika ia berhenti, semuanya akan berakhir. Kutukan itu tidak akan pernah berhenti mengejar mereka yang mencoba melarikan diri.
Adit terus mendaki bukit, meskipun sudah lelah dan kehabisan tenaga. Setelah berjam-jam berjalan, akhirnya ia tiba di mulut gua. Gua itu gelap dan penuh dengan bau tanah lembap. Tidak ada suara, hanya kesunyian yang menekan. Dengan hati-hati, Adit memasuki gua, memegang medali kuno di tangannya. Setiap langkahnya membuat dinding gua bergema, menambah kesan mencekam yang semakin terasa.
Di dalam gua, Adit menemukan sebuah batu besar yang terletak di tengah ruangan. Batu itu memiliki pola yang aneh, dan di atasnya terdapat sebuah ukiran yang tampaknya mirip dengan simbol yang ada di medali yang diberikan Pak Lurah. Adit tahu bahwa ini adalah tempat yang ia cari.
Namun, sebelum ia bisa mendekat, suara keras terdengar dari dalam gua—seperti sesuatu yang bergerak cepat. Adit menoleh dan melihat sebuah bayangan hitam melintas di kegelapan. Ia menarik napas dalam-dalam dan melangkah maju, menempelkan medali pada batu besar itu.
Tiba-tiba, batu itu mulai berguncang, dan suara bisikan yang mengerikan mengisi udara di sekitar Adit. “Kau datang terlalu jauh, Adit… Kau tidak akan pernah bisa menghentikannya.”
Adit menggenggam medali itu lebih erat, bersiap untuk menghadapi apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia tahu, apa pun yang datang, ia tidak bisa mundur lagi. Ini adalah pertempuran terakhir untuk menghentikan kutukan yang telah menghancurkan keluarganya dan desa tercinta.
Bab 10 – Teror di Kuburan Tua
Adit berdiri di depan gerbang kuburan tua, napasnya tercekat di tenggorokan. Udara malam terasa lebih dingin dari biasanya, seperti sebuah tangan tak kasat mata yang menyentuh kulitnya. Di depan mata Adit, sebuah kuburan yang lama terlupakan berdiri tegak, dikelilingi oleh pepohonan besar yang membentuk bayangan gelap di sekelilingnya. Setiap langkah yang diambilnya terasa seperti menuju kematian. Ia tahu bahwa di sinilah semuanya akan berakhir, tetapi ia juga tahu bahwa tak ada lagi jalan mundur.
Di dalam tasnya, Adit merasakan berat sebuah medali kuno yang diberikan oleh Pak Lurah. Medali itu bukan hanya simbol keberanian, tetapi juga harapan terakhir bagi desa ini. Batu Pengikat yang tersembunyi di dalam gua harus segera ditemukan, dan hanya dengan menggunakan medali itu ia bisa mengaktifkan kekuatan yang dapat menghentikan kutukan yang selama ini menyelimuti desa. Namun, untuk mencapainya, ia harus melewati kuburan ini—tempat yang dikenal sebagai Kuburan Tua, yang bahkan dihantui oleh cerita-cerita paling mengerikan.
Kuburan ini telah lama dilupakan oleh penduduk desa. Di zaman dahulu, tempat ini pernah digunakan untuk menguburkan para leluhur yang mati dalam pertempuran besar. Namun, setelah banyak kejadian aneh dan mengerikan yang terjadi di sekitar kuburan ini, tempat itu akhirnya ditinggalkan. Orang-orang mulai melupakan dan menghindarinya, menganggapnya sebagai tempat terkutuk. Adit sendiri baru tahu tentang keberadaan kuburan ini setelah mendalami sejarah desa dan mendengarkan cerita-cerita dari Pak Lurah.
Adit melangkah lebih dalam, menundukkan kepalanya saat melewati gerbang batu yang sudah hampir runtuh. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Suara langkah kakinya terasa lebih keras dari biasanya, dan udara di sekitarnya semakin dingin. Saat ia melangkah ke area tengah kuburan, ia merasa tanah di bawah kakinya bergerak, seperti ada sesuatu yang sedang mengawasi pergerakannya.
Di tengah kuburan, ada sebuah tugu batu besar yang telah tertutup lumut. Adit mendekat dengan hati-hati, matanya memindai sekelilingnya, mencari petunjuk. Tiba-tiba, ia melihat sebuah jejak yang tidak asing—jejak roda kecil. Jejak itu tampaknya mengarah ke sisi kuburan, menuju sebuah area yang lebih terlupakan. Tanpa ragu, Adit mengikuti jejak tersebut, semakin jauh ke dalam area kuburan yang gelap.
Semakin dalam ia berjalan, semakin Adit merasakan kehadiran yang tidak terlihat. Ada suara gemerisik di antara daun-daun kering, seolah ada yang mengikuti langkahnya. Adit mempercepat langkahnya, tetapi semakin ia berjalan, semakin suara itu semakin jelas—ketukan yang mengerikan, seolah datang dari dalam tanah. Suara itu terdengar seperti suara keranda yang digerakkan di dalam tanah yang terkubur.
Tiba-tiba, sebuah bayangan hitam melintas di hadapannya. Adit terhenti. Dari balik pohon besar, sebuah sosok yang tidak tampak jelas muncul, berlari dengan cepat, seakan-akan mengejarnya. Adit terkejut, dan sebelum ia sempat berlari, sosok itu sudah menghilang begitu saja, seperti udara yang hilang dalam keheningan. Namun, rasa takut yang menyerang semakin menekan. Adit merasa bahwa ia semakin dekat dengan apa yang ia cari—dan semakin dekat dengan bahaya yang akan datang.
Adit melanjutkan langkahnya, menghindari beberapa batu yang tergeletak di jalan setapak. Ia tahu bahwa di ujung perjalanan ini, Batu Pengikat yang akan menghentikan keranda itu menunggu. Ia hampir sampai ketika tiba-tiba sebuah suara keras menggema dari dalam tanah, membuat tanah di bawah kakinya bergetar.
“Kau tidak akan bisa menghentikan kutukan ini, Adit.”
Adit berhenti sejenak, tubuhnya membeku. Suara itu begitu familiar, seperti suara dari keranda yang sudah beberapa kali ia dengar dalam mimpinya. Namun kali ini, suara itu lebih nyata—seperti datang langsung dari bawah tanah, seperti sesuatu yang bangkit dari dalam makam yang terlupakan.
Suara itu mengerang lagi, semakin keras, seolah tanah di bawahnya tak bisa menahan kekuatan yang berusaha keluar. Adit menggenggam medali di tangannya lebih erat, mencoba mencari keberanian yang tersisa. Ia melangkah maju, dan di hadapannya, ia melihat sebuah batu besar yang tergeletak di tanah. Batu itu sepertinya menutupi sebuah makam yang lebih besar, lebih dalam, yang tidak terungkap oleh siapa pun selama bertahun-tahun.
Ketika Adit mulai menyentuh batu itu, suara bisikan mulai terdengar lagi, namun kali ini lebih banyak—suara-suara yang datang dari semua arah, mengelilinginya.
“Adit, Adit…”
Bisikan itu seolah berisi nama-nama orang yang pernah hidup di desa ini, orang-orang yang telah menjadi korban kutukan yang mengerikan. Adit merasa jantungnya hampir keluar dari dada. Tidak ada lagi keraguan—ia harus bertindak.
Dengan segenap kekuatan, Adit mendorong batu besar itu. Namun, batu itu tampaknya tak mau bergerak. Ketika ia mencoba untuk mendorongnya lebih keras, tanah di sekitarnya mulai bergerak, dan dari dalam makam yang tersembunyi itu, muncul sesosok bayangan—sebuah keranda kecil, yang terbuat dari kayu tua dan tertutup debu tebal. Keranda itu mulai bergerak sendiri, seolah hidup, dan mulai mendekat ke arah Adit.
Adit terkejut, namun ia tahu bahwa ia harus bertindak cepat. Ia menggenggam medali yang diberikan Pak Lurah, dan dengan suara gemetar, ia berkata, “Aku akan mengakhiri kutukan ini.”
Tiba-tiba, sebuah kilatan cahaya terang menyelimuti medali itu, dan batu besar yang menutupi makam itu perlahan mulai terangkat. Suara gemuruh mengisi udara, dan keranda kecil yang bergerak itu mulai berhenti.
Namun, keranda itu tidak mau menyerah begitu saja. Dari dalamnya, muncul suara keras, seperti sesuatu yang meronta untuk keluar. Adit memejamkan mata, berdoa agar kekuatan yang ada dalam medali itu cukup untuk menghentikan apa yang keluar dari dalam keranda.
Dalam keheningan yang penuh ketegangan, Adit bisa merasakan energi jahat yang begitu kuat, namun ia tidak mundur. Ia tahu bahwa ia harus bertahan, karena jika tidak, semua orang yang ia cintai akan menjadi korban berikutnya.
Tiba-tiba, keranda itu terhenti, dan suara ketukan yang mengerikan itu berhenti. Adit membuka matanya dan melihat keranda itu tertahan di tengah udara, seolah kekuatan dari Batu Pengikat telah menghentikan segalanya. Semua suara, semua ketukan, dan semua bayangan hilang begitu saja.
Adit merasa tubuhnya lemas, namun ia tahu bahwa pertempuran belum berakhir. Apa yang baru saja ia hadapi hanyalah permulaan. Batu Pengikat mungkin telah menahan kutukan untuk sementara, tetapi Adit tahu bahwa jika ia tidak menemukan cara untuk mengalahkan roh jahat itu sepenuhnya, kutukan itu akan kembali lagi, bahkan lebih kuat dari sebelumnya.
Bab 11 – Jiwa yang Ditukar
Adit duduk terengah-engah di tanah kuburan tua, matanya terfokus pada keranda yang masih melayang di udara, tertahan oleh kekuatan Batu Pengikat yang diberikan oleh Pak Lurah. Keranda itu terdiam, namun hawa dingin yang mengelilinginya tak kunjung menghilang. Di sekeliling Adit, semuanya terasa semakin sunyi, namun dalam kesunyian itu, ia bisa merasakan ada sesuatu yang tidak beres—sesuatu yang mengancam dari balik bayang-bayang kegelapan.
Keberhasilan Adit dalam menahan keranda itu hanya sementara. Ia tahu bahwa kutukan ini lebih kuat dari yang bisa dibayangkan siapa pun. Batu Pengikat hanya menunda kekuatan itu, tetapi tidak bisa mengalahkannya. Namun, sebelum Adit bisa memikirkan langkah selanjutnya, sebuah suara melengking tiba-tiba terdengar, seperti suara yang datang dari kedalaman tanah.
“Kau masih belum mengerti, Adit.”
Adit menoleh dengan cepat, mencari sumber suara itu. Suara itu terdengar familiar, dan semakin jelas, hingga akhirnya muncul di hadapannya—sosok yang ia kenal. Sosok itu adalah Mbah Daryo, kakek yang telah menghilang bertahun-tahun yang lalu. Adit terbelalak, merasa kebingungannya semakin menjadi.
“Kakek… Mbah Daryo?” suara Adit tercekat. Ia hampir tidak bisa percaya apa yang dilihatnya.
Mbah Daryo tersenyum, namun senyum itu tidak terlihat seperti senyum orang yang biasa ia kenal. Wajahnya tampak pucat, dan matanya kosong, seakan ada sesuatu yang gelap menyelubungi dirinya. “Kau pikir kau bisa menghentikan kutukan ini? Semua ini tidak sesederhana itu, Adit.”
Adit terkejut, tubuhnya merinding. “Tapi… kau hilang, kakek. Semua orang mengira kau sudah mati.”
Mbah Daryo mengangguk pelan, matanya tidak lagi menatap Adit dengan penuh kasih sayang, melainkan dengan tatapan yang kosong dan penuh dengan penderitaan. “Aku memang sudah mati, Adit. Atau lebih tepatnya, aku… sudah mengorbankan diriku untuk menahan kutukan ini agar tidak menghancurkan desa kita. Aku menukar jiwaku dengan roh jahat yang terperangkap dalam keranda ini.”
Adit merasa tubuhnya seolah dipukul keras. Kata-kata itu seperti petir yang menghancurkan pemahamannya tentang segala sesuatu yang ia ketahui. Menukar jiwa? Apa maksudnya? Bagaimana bisa seorang yang ia anggap sebagai pelindung desa ternyata menjadi bagian dari kutukan yang menakutkan ini?
“Apa yang kau maksudkan, Kakek? Mengapa kau melakukannya? Mengapa kau tidak memberitahuku?”
Mbah Daryo menghela napas panjang, mengubah ekspresinya menjadi lebih serius. “Aku tidak ingin kau terlibat, Adit. Aku melakukan ini untuk melindungi keluargaku, melindungi desa kita dari kehancuran yang lebih besar. Aku adalah orang yang pertama kali membuka segel keranda ini, dan ketika aku melakukannya, aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Yang aku tahu hanyalah bahwa aku harus menahan roh itu agar tidak menghancurkan desa.”
Adit mencoba mencerna apa yang baru saja ia dengar, namun semakin ia mendengarkan, semakin banyak pertanyaan yang muncul di benaknya. “Kakek, jika kau menukar jiwamu, lalu siapa yang ada dalam tubuhmu sekarang? Apa yang kau lakukan selama bertahun-tahun setelah itu?”
Mbah Daryo tertawa kecil, tapi tawa itu terdengar lebih seperti isak tangis. “Setelah aku menukar jiwaku dengan roh jahat yang ada di dalam keranda, aku menjadi penjaga kutukan ini. Aku terperangkap dalam siklus yang tak berujung, Adit. Aku ada di sini, tetapi aku juga tidak ada. Jiwa yang terperangkap dalam tubuhku selalu berusaha mencari jalan keluar. Dan kini, aku datang untuk memberi tahumu bahwa kau adalah penerusku.”
Adit merasa jantungnya berdegup lebih kencang. “Penerus? Aku tidak mengerti. Apa yang harus aku lakukan? Apa yang harus aku lakukan untuk menghentikan semua ini?”
Mbah Daryo menatap Adit dengan tatapan yang penuh penyesalan. “Untuk mengakhiri kutukan ini, Adit, kau harus melakukannya dengan cara yang sangat sulit. Hanya ada satu cara untuk membebaskan jiwa yang terperangkap dalam keranda ini, dan itu berarti kau harus menggantikan posisiku. Seseorang harus menukar jiwanya untuk menahan roh jahat itu, dan kau adalah satu-satunya yang bisa melakukannya.”
Adit merasakan seolah seluruh dunia runtuh di hadapannya. “Tidak! Aku tidak akan melakukan itu. Aku tidak akan mengorbankan jiwaku seperti yang kau lakukan, Kakek!”
Mbah Daryo menggelengkan kepala, seolah ia memahami pergulatan batin yang sedang dialami Adit. “Kau tidak punya pilihan, Adit. Jika kau tidak melakukannya, roh itu akan bebas. Seluruh desa ini akan hancur, dan kutukan itu akan terus menyebar ke dunia luar. Tidak ada yang bisa menghentikan kekuatannya kecuali dengan menukar jiwa.”
Adit merasa tercekik oleh kata-kata itu. Semua yang telah dilakukannya, semua yang telah ia pertaruhkan, tampaknya akan sia-sia jika ia tidak mengikuti apa yang diminta. Ia tidak bisa membayangkan harus mengorbankan dirinya, namun ia juga tahu bahwa jika ia tidak melakukannya, banyak orang yang akan menderita.
“Kakek, aku tidak tahu apakah aku bisa melakukan ini. Aku masih muda, aku tidak siap untuk menjadi seperti dirimu.”
Mbah Daryo mengangkat tangannya, memberi isyarat agar Adit mendengarkan dengan seksama. “Tidak ada yang siap, Adit. Kita tidak memilih untuk menjadi pahlawan atau korban. Kita hanya memilih apakah kita akan melawan atau menyerah. Apa yang aku lakukan dulu adalah pilihan yang harus kuambil. Sekarang, pilihan itu ada di tanganmu. Jangan biarkan kutukan ini terus menguasai segalanya. Jika kau memilih untuk melawan, kau harus siap membayar harga yang sangat mahal.”
Adit menutup matanya, berusaha menenangkan pikirannya. Hatinya terasa hancur, tapi di dalam dirinya, ada perasaan yang lebih kuat—rasa tanggung jawab. Jika ini adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan desa dan orang-orang yang ia cintai, maka ia harus melakukannya.
Dengan suara yang gemetar, Adit akhirnya berkata, “Aku akan melakukannya. Aku akan menggantikanmu, Kakek. Tapi aku tidak akan menyerah begitu saja. Aku akan mencari cara untuk mengakhiri kutukan ini tanpa ada lagi pengorbanan.”
Mbah Daryo tersenyum, meski senyum itu tampak penuh dengan kesedihan. “Kau lebih kuat daripada yang aku kira, Adit. Semoga saja kau berhasil. Tetapi ingatlah, tidak ada yang bisa mengalahkan kekuatan ini tanpa harga yang harus dibayar.”
Bab 12 – Akhir yang Tidak Selesai
Adit berdiri di depan keranda yang telah terangkat tinggi, matanya memandang tajam ke arah batu kuno yang terhampar di tanah. Di sekelilingnya, udara terasa lebih berat, seperti beban yang tak terkatakan. Mbah Daryo, yang selama ini menjadi penjaga kutukan, telah memberikan Adit pilihan terakhir—untuk menggantikan tempatnya. Namun, meskipun keputusan itu ada di tangan Adit, hatinya penuh dengan keraguan.
Apakah ini benar? tanya Adit dalam hati. Apakah benar aku harus mengorbankan diriku untuk menghentikan kutukan ini?
Langkah-langkahnya terasa berat, namun Adit tahu ia tidak punya pilihan. Jika ia mundur sekarang, desa ini akan jatuh ke dalam kehancuran yang lebih besar. Dalam dirinya, ada perasaan campur aduk—takut, marah, dan penuh dengan keputusasaan. Tetapi ada satu hal yang membuatnya terus melangkah maju: keinginan untuk melindungi orang-orang yang ia cintai.
Keranda itu mengeluarkan suara berderak keras, dan bayangan gelap yang selama ini terperangkap di dalamnya mulai bergerak. Adit tahu bahwa saat ini, roh yang terperangkap dalam keranda itu sedang berusaha bebas. Rasa dingin yang tajam meresap ke dalam tubuhnya, seolah mengingatkan bahwa waktu untuk bertindak sudah hampir habis.
Adit menggenggam medali yang diberikan oleh Pak Lurah. Medali itu sekarang terasa lebih berat dari sebelumnya, seperti sebuah tanda bahwa takdir yang harus ia jalani sudah menunggunya. Dengan penuh tekad, ia melangkah lebih dekat, menghadapi keranda yang telah terangkat di udara.
Di dalam keranda, Adit bisa melihat bayangan sosok yang tidak jelas. Sosok itu mulai membentuk wajahnya, dan Adit bisa merasakan kebencian yang luar biasa emanasi dari dalam tubuh bayangan itu. Roh jahat yang telah lama terperangkap, yang telah menghancurkan kehidupan banyak orang, sekarang ingin dibebaskan. Dan hanya dengan menukar jiwa, Adit bisa menghentikan kebebasan itu.
Namun, sebelum Adit sempat melangkah lebih jauh, sebuah suara keras terdengar dari balik keranda. Suara itu begitu mengerikan, seolah-olah sebuah jeritan yang datang dari kedalaman alam lain.
“Kau tidak bisa menghentikanku, Adit! Aku akan membebaskan diriku, dan kau akan menjadi milikku!”
Adit terhenti sejenak, tubuhnya bergetar oleh kekuatan suara itu. Suara yang mengerikan, penuh dengan kemarahan dan kebencian, memenuhi udara di sekitar mereka. Keranda itu bergetar hebat, dan Adit tahu bahwa itu adalah pertanda dari kekuatan yang melawan.
Namun, Adit tidak mundur. Ia telah mengambil keputusan. “Aku tidak akan membiarkanmu menghancurkan semua ini!” teriak Adit, dan ia melemparkan medali ke arah keranda dengan segenap kekuatan yang ia miliki.
Medali itu melesat cepat, terbang menembus udara yang dingin dan gelap. Ketika medali itu menyentuh keranda, sebuah ledakan cahaya yang sangat terang meledak, membuat Adit terpelanting ke belakang. Seluruh tubuhnya terasa panas, seperti terbakar oleh energi yang luar biasa. Namun, Adit tetap berusaha bangkit, meskipun rasa sakit itu hampir tak tertahankan.
Cahaya itu menyelimuti seluruh area, dan Adit bisa melihat sosok bayangan di dalam keranda mulai terdistorsi. Bentuknya semakin gelap, semakin kabur, hingga akhirnya menghilang dalam cahaya yang semakin memudar. Ketika cahaya itu mulai redup, Adit merasakan ada sesuatu yang berubah di udara. Suasana yang sebelumnya penuh dengan kegelapan, kini terasa lebih ringan, lebih tenang.
Namun, Adit tahu bahwa meskipun ia telah berhasil menahan roh jahat itu, ada yang tidak beres. Cahaya dari medali itu menyebar ke seluruh tubuh Adit, dan dalam sekejap, ia merasakan tubuhnya seolah diselimuti oleh kekuatan yang tak bisa ia kontrol. Kekuatan ini milik roh itu.
Adit merasakan adanya sesuatu yang sangat berat di dalam dirinya—sesuatu yang bukan berasal dari dirinya. Kekuatan roh jahat itu masuk ke dalam dirinya, menggantikan posisi Mbah Daryo yang sebelumnya menjadi penjaga kutukan. Kini, Adit telah menjadi pengganti. Jiwa yang terperangkap itu, meskipun telah terkalahkan dalam keranda, kini berusaha menguasai dirinya.
Aku… aku menjadi bagian dari kutukan ini, pikir Adit dengan panik. Bagaimana mungkin aku bisa mengalahkan sesuatu yang sudah ada di dalam diriku?
Suara-suara bisikan mulai terdengar di dalam pikirannya—suara-suara yang berasal dari roh jahat yang telah terperangkap di dalam keranda selama berabad-abad. Bisikan itu semakin keras, semakin membingungkan, dan Adit merasa pikirannya hampir hancur oleh kekuatan itu.
Namun, di dalam kebingungannya, Adit teringat sesuatu—Pak Lurah. Lurah adalah satu-satunya orang yang tahu tentang kutukan ini lebih dari siapa pun. Ia adalah orang yang memberi Adit medali ini, dan Adit tahu bahwa mungkin Pak Lurah memiliki cara untuk membantunya. Dengan tekad yang baru, Adit berusaha mengatasi bisikan-bisikan itu, berusaha untuk tidak sepenuhnya terperangkap oleh kekuatan itu.
Tapi saat ia berbalik untuk mencari jalan keluar dari kuburan, ia menyadari sesuatu yang lebih menakutkan—keranda itu mulai bergerak lagi. Medali yang kini tergeletak di tanah berkilauan dalam kegelapan, dan seiring berjalannya waktu, Adit menyadari bahwa kutukan ini belum berakhir. Ia mungkin telah menahan roh jahat untuk sementara, tetapi kutukan itu belum benar-benar hilang.
“Adit, kau sudah terperangkap.” Suara itu kembali terdengar, lebih kuat dan lebih jelas. “Ini bukan akhir. Ini hanya awal dari sebuah siklus yang tak akan pernah selesai.”
Adit terjatuh ke tanah, tubuhnya semakin lemah oleh kekuatan yang semakin kuat menguasai dirinya. Ia mencoba melawan, namun seiring dengan semakin kuatnya bisikan itu, ia merasa semakin sulit untuk mempertahankan kendali atas dirinya sendiri.
Di saat itulah Adit menyadari bahwa, mungkin, tidak ada akhir yang benar-benar selesai untuk kutukan ini. Apa yang bisa ia lakukan? Apa yang bisa ia harapkan? Semua yang ia coba untuk hentikan, pada akhirnya akan kembali lagi, terus berulang—seperti sebuah lingkaran tak berujung.
Sebelum ia kehilangan kesadarannya sepenuhnya, Adit hanya bisa berpikir tentang satu hal: apakah ini akhirnya akan menjadi nasibku? Apakah aku akan menjadi penjaga kutukan ini selamanya?
Dan dengan pemikiran itu, ia jatuh ke dalam kegelapan.***
————THE END————