Prolog
Kerajaan Shirogami, sebuah kerajaan yang dikenal dengan kedamaian dan kebijaksanaannya, kini berada di ambang kehancuran. Di balik tembok-tembok istana yang kokoh, kerajaan ini menyembunyikan rahasia kelam yang telah terlupakan oleh banyak orang. Sebuah rahasia yang telah terpendam selama berabad-abad, menunggu saatnya untuk terungkap. Sebuah kekuatan kuno yang tersembunyi dalam darah para siluman, kekuatan yang bisa menghancurkan atau menyelamatkan dunia.
Akira, seorang pemuda dengan darah siluman yang mengalir dalam dirinya, tidak pernah membayangkan bahwa dirinya akan terjebak dalam perang yang melibatkan takdir kerajaan dan keseimbangan antara dunia manusia dan dunia siluman. Ia tidak pernah tahu bahwa kekuatan dalam dirinya, yang selama ini ia anggap sebagai kutukan, ternyata adalah kunci untuk membuka kebenaran yang lebih besar dari yang pernah ia bayangkan.
Di tengah kekacauan yang melanda kerajaan Shirogami, Akira berjuang untuk menemukan identitasnya yang sejati. Apakah ia harus mengikuti jalan yang ditentukan oleh takdir darahnya, ataukah ia dapat menciptakan jalan hidupnya sendiri? Pertanyaan ini menggema dalam benaknya, sementara pasukan musuh yang dipimpin oleh mantan penasihat kerajaan, Kuro, mengancam untuk menghancurkan segala yang telah dibangun.
Di sisi lain, Hikari, sahabat dan rekan setia Akira, berdiri teguh di sisinya, siap berjuang bersama. Namun, meskipun mereka berjuang bersama, mereka tidak bisa mengabaikan kenyataan pahit bahwa pertempuran ini lebih besar dari sekadar melawan musuh di luar. Ada pertarungan batin yang jauh lebih dalam, sebuah pertarungan yang melibatkan identitas, pilihan, dan pengorbanan.
Akira dan Hikari tidak tahu apa yang akan terjadi, tetapi satu hal yang pasti—kehidupan mereka tidak akan pernah sama setelah pertempuran ini. Di tengah bayang-bayang kegelapan yang datang dari masa lalu, mereka harus menemukan cahaya yang dapat membimbing mereka menuju masa depan. Namun, apakah mereka mampu menghadapinya, atau akankah mereka tergelincir ke dalam jurang kehancuran yang tak terhindarkan?*
Bab 1: Panggilan di Malam Kelam
Di kerajaan yang terlupakan oleh waktu, tersembunyi di balik kabut tebal dan hutan lebat, terletaklah Shirogami, Kerajaan Siluman. Kerajaan ini bukanlah tempat yang biasa, dan hanya sedikit yang tahu akan keberadaannya. Bangunan megah di dalamnya berdiri tegak, dihiasi dengan ukiran naga, bintang-bintang, dan simbol-simbol kuno yang hanya dimengerti oleh mereka yang lahir di dunia ini—dunia siluman. Meskipun banyak siluman beragam bentuk dan kekuatan tinggal di sana, sedikit sekali manusia yang pernah menapakkan kaki mereka di tanah kerajaan ini.
Di sebuah kamar yang terletak di sudut istana, seorang pemuda tengah terjaga, terbangun dari tiduran yang gelisah. Akira, itulah namanya. Sejak kecil, ia telah dibesarkan oleh manusia, jauh dari dunia asli yang menjadi bagian dari darahnya. Ia tahu siapa dirinya, namun tak pernah merasa sepenuhnya menjadi bagian dari dunia manusia maupun siluman. Darah siluman mengalir di pembuluhnya, tetapi keberadaannya di dunia manusia memberinya rasa asing. Ketika usianya semakin dewasa, ia sering merasakan ketegangan dalam dirinya, sebuah ketidakseimbangan yang ia tak pernah bisa pahami sepenuhnya.
Pada malam itu, tatapan Akira tertuju pada bulan purnama yang memancarkan sinar lembut ke dalam kamarnya. Dingin dan sunyi, malam terasa lebih panjang dari biasanya. Ada sesuatu yang berbeda, sebuah perasaan yang tak bisa ia jelaskan. Ia merasakan sebuah panggilan, sebuah suara yang membisikan namanya dengan halus namun pasti. “Akira… datanglah, saatnya telah tiba.”
Suara itu bukan berasal dari luar, melainkan dari dalam dirinya, seperti suara batin yang tak bisa diabaikan. Ia duduk di tempat tidurnya dan meremas selimut yang masih menutupi tubuhnya, mencoba memahami apa yang baru saja dirasakannya. Sudah beberapa kali ia mengalami hal seperti ini—suara yang memanggilnya di malam hari, suara yang seolah-olah mengenal dirinya lebih dalam dari siapapun. Tetapi malam ini, panggilan itu terasa lebih kuat, lebih mendesak.
Dengan hati yang berdebar, Akira memutuskan untuk keluar dari kamarnya dan menyusuri lorong-lorong istana yang sunyi. Di sepanjang perjalanan, ia melintasi dinding yang dihiasi lukisan siluman—naga, rubah, harimau, dan makhluk lain yang pernah hidup dan berkuasa di tanah Shirogami. Semua gambaran itu mengingatkannya pada asal usulnya, meskipun ia tak tahu pasti apa yang menantinya di luar sana.
Namun, keinginan untuk mencari tahu lebih dalam tentang dirinya sendiri membawa Akira untuk terus melangkah. Ia tidak tahu apa yang akan ia temui, tetapi sebuah kekuatan batin memberinya keberanian untuk melangkah lebih jauh.
Setibanya di ruang utama istana, Akira menemukan dirinya berdiri di depan sebuah pintu besar yang terbuat dari kayu tua, dipenuhi ukiran misterius. Pintu itu adalah gerbang menuju ruang dewan kerajaan—tempat para pemimpin kerajaan siluman berkumpul untuk membahas nasib dan masa depan kerajaan. Sebagai anak angkat manusia yang telah dibesarkan dengan penuh kasih sayang oleh seorang pemimpin siluman, Akira selalu merasa seperti seorang pengamat, bukan seorang pemimpin.
Namun malam ini berbeda. Ia tahu, bahwa apa pun yang akan terjadi, malam ini adalah titik balik bagi dirinya. Dengan hati yang bergetar, Akira menekan tuas pintu dan memasuki ruang dewan.
Di dalam, Raja Yamato sedang duduk di singgasananya yang dihiasi oleh simbol-simbol kekuatan siluman. Rambutnya panjang, terurai seperti serpihan malam, dan matanya yang tajam memancarkan kebijaksanaan yang telah teruji oleh waktu. Di sampingnya, duduk beberapa penasihat kerajaan, masing-masing dengan ekspresi serius, seolah-olah sedang menunggu sesuatu yang penting.
Ketika Akira memasuki ruangan, semua mata tertuju padanya. Raja Yamato, yang memandang Akira dengan tatapan yang dalam dan penuh misteri, kemudian membuka mulutnya. “Akira,” katanya dengan suara berat dan penuh wibawa, “dunia ini sedang menghadapi ancaman yang besar, dan kamu adalah bagian dari takdir yang lebih besar.”
Akira terkejut, belum pernah sebelumnya ia merasa begitu dipertaruhkan. “Apa maksud Anda, Raja Yamato?” tanya Akira dengan suara yang agak gemetar.
Raja Yamato mengangguk perlahan. “Ada kekuatan gelap yang mulai bangkit dari dimensi lain. Mereka ingin menguasai dunia kita, dan dunia manusia. Sudah saatnya bagi kamu untuk mengetahui siapa dirimu sebenarnya, dan untuk menemukan jalanmu.”
Di ruang tersebut, suasana menjadi hening. Para penasihat kerajaan saling memandang, dan Akira merasakan ketegangan yang semakin kuat. Namun, meski begitu, suara hati Akira kembali terdengar, lebih jelas dari sebelumnya. Suara itu seperti mengingatkan dirinya akan sebuah perjalanan panjang yang telah ditakdirkan untuknya.
Sebelum Akira bisa berbicara lagi, seorang penasihat tua yang berdiri di sisi kanan Raja Yamato, berdiri dan berkata dengan suara yang berat, “Ramalan kuno menyebutkan bahwa ada seorang yang memiliki darah siluman dan manusia, yang akan menjadi kunci untuk menghentikan malapetaka ini. Kami percaya, bahwa orang itu adalah kamu, Akira.”
Akira terdiam, bingung. “Saya?” tanyanya.
“Ya,” jawab penasihat itu dengan tegas. “Kekuatan yang ada di dalam dirimu lebih besar dari yang kamu bayangkan. Kamu memiliki kemampuan untuk memimpin, untuk menggabungkan kedua dunia—dunia siluman dan dunia manusia.”
Raja Yamato melanjutkan, “Akira, kamu tidak hanya menjadi saksi dari pertempuran yang akan datang, tetapi kamu juga harus menjadi bagian darinya. Dunia ini membutuhkanmu.”
Perasaan yang semula tidak jelas dalam diri Akira mulai berubah. Ada rasa takut, tapi juga sebuah dorongan yang tak bisa ia hindari. Sebuah panggilan yang lebih besar, lebih kuat dari apapun yang pernah ia alami sebelumnya.
“Jika memang demikian, apa yang harus saya lakukan?” tanya Akira, suara penuh tekad.
Raja Yamato tersenyum. “Kamu harus memulai perjalananmu, Akira. Kamu akan mencari artefak kuno yang dapat menahan kekuatan gelap yang sedang bangkit. Dengan artefak itu, kamu bisa mencegah kehancuran yang akan datang.”
Akira mengangguk pelan, merasa bahwa inilah saatnya untuk menemukan jawabannya. Selama ini ia bertanya-tanya siapa dirinya, dan kini ia tahu bahwa jawabannya bukan hanya ada dalam sejarah, tetapi juga dalam perjalanan yang akan ia lakukan.
Ketika Raja Yamato menambahkan, “Jangan ragu, Akira. Dunia ini menunggumu.”
Dengan langkah berat namun penuh tekad, Akira meninggalkan ruang dewan, siap untuk menjalani takdir yang telah ditentukan untuknya. Sebuah perjalanan baru, penuh dengan misteri dan bahaya, menanti di depan mata.*
Bab 2: Pencarian Dimulai
Akira berdiri di luar gerbang istana, matanya menatap ke arah hutan yang lebat dan kabut yang menyelimuti seluruh kerajaan. Setelah pertemuan dengan Raja Yamato dan para penasihatnya, ia merasa seolah-olah sebuah dunia baru terbuka di hadapannya. Dunia yang selama ini hanya ia dengar dalam cerita-cerita kuno, namun kini dunia itu menjadi takdirnya. Pencarian artefak kuno yang diyakini bisa mengalahkan kekuatan gelap yang mengancam kerajaannya harus dimulai.
Ia merasakan ketegangan di dalam tubuhnya—sesuatu yang lebih dari sekadar kecemasan. Rasanya seperti sebuah panggilan dalam dirinya, seperti sesuatu yang lebih besar dari dirinya yang menariknya menuju takdir yang belum terungkap. Sambil memandang hutan yang terhampar luas, Akira tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah. Tak hanya bahaya fisik yang mengancam, tetapi juga ancaman dari dalam dirinya sendiri, dari darah siluman yang mengalir di pembuluhnya. Darah yang selama ini ia coba pahami, kini seolah-olah meminta untuk diungkapkan lebih jauh.
Sebelum ia melangkah lebih jauh, suara yang familiar menyapanya. “Kau benar-benar akan pergi tanpa persiapan?” Suara itu berasal dari Hikari, seorang wanita siluman rubah yang telah lama menjadi pengawal istana. Hikari, dengan rambut hitam panjang yang diikat rapi, tampak berdiri di depan Akira, matanya penuh keprihatinan. Wajahnya yang anggun dan tajam seperti kilatan petir, memberi kesan bahwa ia bukanlah sosok yang mudah ditaklukkan.
Akira menatapnya dengan bingung. “Apa maksudmu?”
Hikari menghela napas panjang, lalu melangkah lebih dekat. “Akira, meskipun kau memiliki darah siluman, perjalanan ini penuh dengan bahaya yang bahkan para pejuang terhebat pun bisa jatuh. Kau akan memerlukan lebih dari sekadar niat baik untuk menjalani misi ini.”
Akira mengangguk pelan. Ia tahu bahwa Hikari berbicara dari pengalaman. Meskipun ia dibesarkan oleh manusia, ia selalu terpesona oleh kisah keberanian para prajurit siluman, dan Hikari adalah salah satu yang paling terkenal di antara mereka. Hikari tidak hanya memiliki kecerdikan dalam pertempuran, tetapi juga kekuatan magis yang luar biasa, hasil dari kemampuannya mengendalikan elemen api dan angin.
“Jika kau bersedia menemani saya,” kata Akira dengan penuh tekad, “maka saya akan menerima bantuanmu.”
Hikari tersenyum tipis, mata tajamnya bersinar penuh keyakinan. “Tentu, aku akan menemanimu. Kita akan saling melindungi.”
Mereka berdua memulai perjalanan mereka menuju hutan terlarang, sebuah tempat yang dilarang untuk dimasuki oleh siapa pun kecuali mereka yang tahu jalannya. Hutan itu terkenal dengan makhluk-makhluk berbahaya yang berkeliaran, serta rintangan-rintangan magis yang dapat membingungkan bahkan para siluman terkuat sekalipun. Di sana terdapat jejak-jejak kuno yang diyakini mengarah ke artefak yang dicari, namun juga berbahaya bagi siapa saja yang mencoba mencapainya.
Mereka berjalan menyusuri jalan sempit yang dipenuhi dengan pohon-pohon tinggi menjulang, akar-akarnya melingkar seperti tangan yang berusaha menarik mereka ke dalam kegelapan. Suasana hutan begitu sunyi, hanya suara langkah kaki mereka yang menggema di antara pepohonan. Kabut tebal membungkus setiap sudut jalan, menambah kesan misterius. Setiap langkah terasa seperti mengarah pada tujuan yang lebih jauh, namun di dalam hati Akira ada pertanyaan yang tak bisa ia hilangkan. Apa yang sebenarnya ia cari di tempat yang begitu berbahaya ini? Apa yang akan ia temukan ketika semua ini berakhir?
“Jangan terlalu banyak berpikir,” Hikari berkata, seolah-olah membaca pikiran Akira. “Kita harus tetap fokus pada tujuan kita. Dunia ini penuh dengan perangkap yang bisa memecah konsentrasi kita.”
Akira mengangguk, berusaha untuk menepis keraguan dalam dirinya. Mereka berdua terus berjalan hingga mencapai sebuah tebing yang tinggi, di bawahnya mengalir sungai besar yang deras. Di atas tebing itu terdapat sebuah gerbang batu tua yang hampir tertutup oleh semak-semak dan lumut, dengan ukiran simbol-simbol kuno yang tak bisa dimengerti oleh sembarang orang.
“Ini dia,” kata Hikari sambil menunjuk ke gerbang batu. “Gerbang ini merupakan penanda bahwa kita telah sampai di tempat yang benar. Tetapi hati-hati, Akira. Begitu kita melewati gerbang ini, kita akan memasuki wilayah yang dilindungi oleh makhluk dari dimensi lain.”
Akira merasakan sebuah dorongan kuat di dalam dirinya, seolah-olah gerbang itu memanggilnya. Ia menatap Hikari, yang memandangnya dengan serius. “Kau yakin bisa melewati ini?”
“Selama kita bersatu, kita pasti bisa,” jawab Hikari dengan penuh keyakinan.
Mereka berdua melangkah melewati gerbang batu itu, dan begitu mereka melangkah masuk, suasana di sekitar mereka langsung berubah. Hutan yang sebelumnya sepi kini terasa penuh dengan kehidupan—namun bukan kehidupan yang ramah. Akira merasakan sesuatu yang tidak wajar di udara. Bau tajam yang mencurigakan mulai memenuhi hidungnya. Dan suara berdesir, seperti bisikan angin, terdengar di telinganya. Namun, itu bukan suara angin. Itu suara makhluk yang tersembunyi di balik pepohonan, yang mengamati setiap gerakan mereka.
Tiba-tiba, dari balik semak-semak, muncul makhluk besar dengan mata merah menyala, tubuhnya bersisik seperti ular, dan ekornya berbentuk cakar besar yang memanjang ke tanah. Makhluk itu mengeluarkan raungan mengerikan, menggetarkan udara di sekitar mereka.
“Hati-hati!” teriak Hikari sambil melompat ke depan, melepaskan kekuatan api yang membara dari tangannya. Api itu menyambar tubuh makhluk itu, tetapi makhluk tersebut tidak mundur. Sebaliknya, ia maju dengan lebih ganas, mengayunkan ekornya yang besar ke arah Akira dan Hikari.
Akira, meskipun sedikit terkejut, merasa darahnya mendidih. Ia merasakan kekuatan dalam dirinya mulai bangkit, kekuatan siluman yang selama ini tersembunyi. Tanpa ragu, ia mengangkat tangannya dan memusatkan energi dalam dirinya. Sebuah cahaya biru terang mulai menyelubungi tubuhnya. Akira merasakan aliran energi yang luar biasa, seolah-olah ia telah terhubung dengan dunia siluman yang selama ini hanya ada dalam kisah-kisah legendaris.
Dengan satu gerakan cepat, Akira mengarahkan tangan kanannya ke makhluk itu, mengeluarkan energi yang mengalir deras ke arah musuh mereka. Sebuah ledakan energi yang sangat kuat menghantam makhluk itu, membuatnya terpelanting mundur, dan akhirnya jatuh ke tanah dengan suara gemuruh. Makhluk itu mengerang kesakitan sebelum akhirnya mundur, hilang ke dalam kegelapan hutan.
Akira terengah-engah, sementara Hikari menatapnya dengan kagum. “Kau… memiliki kekuatan yang luar biasa.”
Akira menatap telapak tangannya yang masih bergetar. “Saya rasa ini baru permulaan.”
Dengan rasa lega yang belum sepenuhnya hilang, mereka melanjutkan perjalanan mereka ke dalam hutan. Namun, Akira tahu bahwa ini hanyalah awal dari ujian yang jauh lebih berat. Sebuah perjalanan yang akan menguji bukan hanya kekuatannya, tetapi juga hatinya—dan lebih dari itu, jati dirinya yang kini semakin terungkap.*
Bab 3: Pengkhianatan di Istana
Setelah beberapa hari menjelajahi hutan terlarang yang dipenuhi dengan makhluk buas dan jebakan magis, Akira dan Hikari akhirnya kembali ke kerajaan Shirogami. Mereka membawa sedikit informasi mengenai keberadaan artefak kuno yang dicari, tetapi perjalanan mereka masih jauh dari selesai. Akira merasa ada sesuatu yang menunggunya, sebuah perasaan yang mengusik hatinya sejak ia meninggalkan istana. Ada ketegangan yang terasa di udara, dan meskipun ia berusaha untuk menepisnya, perasaan itu semakin menguat.
Begitu mereka kembali memasuki gerbang istana, mereka disambut oleh seorang pengawal yang tampaknya terkejut melihat mereka pulang begitu cepat. “Ada apa? Apa yang terjadi di dalam hutan?” tanya pengawal itu.
Hikari hanya mengangguk pelan, tidak ingin menjelaskan lebih lanjut di depan banyak orang. “Kami baru saja kembali, kami ingin menemui Raja Yamato.”
Pengawal itu mengangguk dan langsung membimbing mereka menuju ruang dewan istana. Akira merasa cemas saat memasuki ruangan yang begitu familiar baginya. Suasana di dalam ruangan itu tampak berbeda. Meskipun dewan kerajaan selalu penuh dengan ketegangan dan perdebatan, kali ini ada sesuatu yang terasa salah. Sepertinya, ada keraguan di mata para penasihat yang duduk mengelilingi Raja Yamato, dan itu membuat Akira semakin waspada.
Raja Yamato yang duduk di singgasana menatap mereka dengan ekspresi serius. Matanya yang tajam menilai mereka berdua, seolah-olah mengukur seberapa jauh mereka telah berkembang dalam perjalanan mereka. “Akira, Hikari,” ujar Raja Yamato dengan suara berat, “kalian kembali lebih cepat dari yang saya kira. Apakah kalian menemukan apa yang kalian cari?”
Akira menatap Raja Yamato dengan ragu. “Kami menemukan jejak-jejak kuno yang bisa mengarah pada artefak, tetapi kami masih harus melanjutkan pencarian. Namun, ada sesuatu yang tidak beres di luar sana. Kami menghadapi ancaman dari makhluk yang datang dari dimensi lain, dan saya merasa ada yang lebih besar sedang terjadi.”
Raja Yamato mengangguk pelan. “Kekuatan gelap itu semakin mendekat, dan kita harus bersiap. Namun, ada hal lain yang perlu kita bicarakan. Sepertinya, ada seseorang di antara kita yang berkhianat.”
Perasaan cemas yang menggelayuti Akira semakin dalam. “Pengkhianat? Apa maksud Anda, Raja?”
Raja Yamato menatap para penasihat kerajaan yang duduk di sekeliling meja, seolah mencari dukungan. Salah satu penasihat tertua, Kuro, yang dikenal karena kebijaksanaannya, berdiri dan mengangkat tangan. “Saya rasa sudah saatnya kita mengakui kenyataan ini. Saya baru saja mendapatkan informasi bahwa beberapa pihak dalam kerajaan ini terlibat dalam persekongkolan dengan kekuatan gelap yang kita hadapi.”
Akira terkejut, dan matanya terfokus pada Kuro yang berbicara dengan begitu meyakinkan. Kuro adalah penasihat yang selama ini dihormati karena pengalamannya yang luas dalam memimpin pasukan dan menangani urusan kerajaan. Namun, dalam hati Akira, ada suara yang memperingatkan bahwa sesuatu tidak beres dengan pernyataan Kuro.
“Siapa saja yang terlibat?” tanya Akira dengan suara tegas, berusaha mengendalikan perasaannya.
Kuro tersenyum tipis. “Kami masih melakukan penyelidikan lebih lanjut, tetapi saya mencurigai bahwa beberapa pihak dalam istana—termasuk beberapa penasihat kerajaan—mungkin terlibat. Kami sedang berusaha mencari bukti.”
Akira merasa ada yang aneh dalam cara Kuro berbicara. Ada sesuatu yang mengusik hatinya, seperti ada sesuatu yang disembunyikan dari mereka. Hikari, yang berdiri di samping Akira, menyadari ketegangan yang tercipta dalam ruangan itu dan memandang Kuro dengan waspada.
“Jadi, kita harus percaya begitu saja pada klaim Kuro?” Hikari bertanya, suaranya tegas. “Apakah tidak ada cara lain untuk membuktikan siapa yang berkhianat?”
Kuro mengangkat bahu dengan santai. “Kita hanya dapat mencari bukti, Hikari. Dan saya yakin dengan sedikit waktu, kita akan menemukan siapa yang terlibat dalam konspirasi ini.”
Namun, sebelum Akira dan Hikari dapat melanjutkan pertanyaan mereka, suasana ruangan berubah menjadi tegang. Sebuah suara keras terdengar dari luar, diikuti oleh langkah-langkah cepat yang mendekat. Pintu ruang dewan terbuka dengan keras, dan seorang prajurit kerajaan berlari masuk dengan napas terengah-engah.
“Tuan, ada sesuatu yang terjadi di luar! Pasukan asing mulai memasuki wilayah kerajaan!” teriak prajurit itu.
Raja Yamato segera berdiri, ekspresinya berubah menjadi serius. “Apa yang kau katakan? Pasukan asing?”
“Ya, Tuan. Pasukan dari dimensi lain. Mereka datang dengan kekuatan yang sangat kuat.”
Semua orang dalam ruangan itu terdiam. Akira merasa hatinya berdetak lebih cepat. Kekuatan gelap yang mereka hadapi akhirnya datang. Namun, ada sesuatu yang membuatnya terkejut—sesuatu yang tidak bisa ia pahami. Mengapa pasukan dari dimensi lain ini muncul begitu cepat setelah mereka mengetahui tentang pengkhianatan dalam kerajaan?
Raja Yamato memandang Akira dengan penuh perhatian. “Akira, ini adalah saatnya. Kita harus bertindak cepat. Kamu harus pergi ke medan perang dan memimpin pasukan kita. Hikari, kamu juga harus ikut. Kita tidak bisa menunggu lebih lama lagi.”
Akira mengangguk, meskipun hatinya dipenuhi keraguan. Apakah ini semua benar-benar karena ancaman dari dimensi lain, atau ada sesuatu yang lebih besar yang sedang dimainkan oleh pihak-pihak dalam istana? Akira tidak bisa begitu saja mempercayai semua yang terjadi. Ada ketidakpastian yang melanda dirinya, namun satu hal yang ia tahu: dia harus bertindak.
Sesampainya di luar, suasana kerajaan terasa berubah. Tentara Shirogami bersiap-siap di barisan mereka, dengan senjata terhunus dan sihir yang siap digunakan. Namun, tak jauh dari gerbang utama istana, pasukan yang datang tidak tampak seperti pasukan dari dunia ini. Mereka mengenakan armor hitam, dengan simbol-simbol aneh yang berkilau di atasnya. Mereka bergerak dengan kecepatan yang mengerikan, seolah-olah mereka tahu persis di mana harus menyerang.
Di tengah kekacauan itu, Akira merasakan sebuah kehadiran yang familiar. Dalam kerumunan pasukan musuh, ia melihat seseorang yang tampak tidak asing. Seorang pria dengan rambut putih panjang, mengenakan jubah gelap yang dihiasi dengan simbol siluman, dan matanya yang dingin penuh dengan niat jahat—Kuro.
Akira menatapnya dengan kebingungan dan amarah yang mencampur aduk. “Jadi ini dia,” pikirnya, menyadari bahwa Kuro, penasihat yang selama ini dia percayai, ternyata adalah pengkhianat yang bersekongkol dengan pasukan dari dimensi lain.
Raja Yamato berdiri di depan pasukan kerajaan, memandang pasukan musuh dengan tatapan penuh tekad. “Ini adalah perang untuk menjaga keberadaan kita. Kita tidak akan menyerah.”
Namun, sebelum pertempuran bisa dimulai, Akira mendekat dan berbisik pada Hikari, “Kuro, dia yang berkhianat. Kita harus menghentikannya.”
Hikari mengangguk dengan tajam, dan mereka berdua bergerak menuju barisan pasukan musuh. Akira tahu, perjalanan ini bukan hanya tentang menghentikan pasukan gelap yang datang, tetapi juga untuk mengungkap
kebenaran yang tersembunyi di balik pengkhianatan ini.*
Bab 4: Menghadapi Kebenaran
Langit di atas kerajaan Shirogami berubah gelap saat pasukan musuh mulai mendekat. Suara langkah kaki yang berat terdengar mengiringi pergerakan mereka, sementara angin kencang menghembuskan udara dingin yang membuat suasana semakin tegang. Akira dan Hikari berdiri di barisan depan, siap menghadapi musuh yang datang. Namun, di tengah ketegangan itu, pikirannya terus terfokus pada satu sosok—Kuro.
Kuro, penasihat yang selama ini mereka anggap sebagai teman dan sekutu, ternyata adalah pengkhianat yang berkolusi dengan kekuatan gelap dari dimensi lain. Akira merasa terkhianati, dan perasaan itu semakin menguat saat matanya menemukan sosok Kuro di tengah pasukan musuh. Dengan rambut putih panjang yang berkilau di bawah cahaya redup, Kuro tampak begitu tenang, seolah-olah dia tahu persis apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Apa yang harus kita lakukan?” Hikari berbisik, suaranya tegang, tetapi penuh fokus.
Akira menggenggam erat pedangnya, merasa getaran kuat dari darah siluman yang mengalir dalam dirinya. “Kita harus menghentikan Kuro. Jika dia dibiarkan, semua yang kita perjuangkan akan sia-sia.”
Hikari mengangguk, lalu melangkah maju, siap untuk menghadapi pasukan yang semakin mendekat. “Baik, aku akan mengalihkan perhatian mereka. Kau pergi hadapi Kuro.”
Akira mengangguk, dan dengan gerakan cepat, ia bergerak menuju barisan musuh, melintasi medan pertempuran yang mulai memanas. Setiap langkahnya terasa semakin berat, namun tekad dalam dirinya semakin menguat. Kekuatan darah siluman yang selama ini hanya ia rasakan sebagai bagian dari dirinya kini terasa lebih hidup, lebih nyata. Sebuah kekuatan yang bukan hanya untuk melindungi, tetapi juga untuk menghancurkan apa pun yang menghalangi jalannya.
Saat Akira sampai di hadapan Kuro, ia berhenti sejenak. Sosok yang dulunya merupakan penasihat kerajaan, yang selalu memberikan kebijaksanaan dan nasihat, kini berdiri di hadapannya sebagai musuh yang paling berbahaya. Kuro menatapnya dengan senyuman tipis yang penuh makna.
“Akira,” kata Kuro dengan suara yang tenang, seolah-olah tidak ada yang berubah. “Kau datang jauh-jauh hanya untuk menghentikan aku? Kau benar-benar tak tahu apa yang kau hadapi.”
Akira menggenggam pedangnya lebih erat. “Apa yang sebenarnya kau inginkan, Kuro? Mengapa kau berkhianat kepada kerajaan ini?”
Kuro tertawa kecil, suaranya berdering seperti angin malam yang dingin. “Keinginan? Aku tidak menginginkan apa pun. Aku hanya mengikuti takdir. Kerajaan Shirogami telah lama kehilangan arah, dan aku hanya menunjukkan jalan yang benar.”
Akira merasa amarahnya semakin membara. “Takdir? Takdirmu hanyalah penghancuran! Jika kau merasa kerajaan ini telah kehilangan arah, kenapa tidak berjuang untuk memperbaikinya? Mengapa memilih jalan yang gelap?”
Kuro mendekat sedikit, matanya yang tajam menatap Akira dengan penuh keangkuhan. “Kau masih terlalu muda untuk memahami, Akira. Dunia ini bukan tentang kebaikan dan kejahatan. Ini tentang kekuatan. Mereka yang memiliki kekuatan akan menentukan masa depan. Dan aku… aku sudah tahu apa yang harus dilakukan.”
Sebelum Akira bisa menanggapi lebih lanjut, Kuro mengangkat tangannya, dan dalam sekejap, sebuah gelombang energi gelap meledak dari tubuhnya, memaksa Akira mundur. Sebuah kekuatan magis yang begitu kuat hingga menggetarkan tanah di bawah mereka. Akira tersentak mundur, merasakan tekanan besar yang membuatnya hampir kehilangan keseimbangan. Namun, darah siluman dalam dirinya menyala, memberi kekuatan untuk tetap berdiri tegak.
“Ini kekuatan yang lebih besar dari yang pernah kau bayangkan, Akira,” ujar Kuro dengan senyum jahat. “Dan aku tahu kau memiliki kekuatan yang sama. Darah siluman yang mengalir dalam dirimu adalah kunci dari segalanya. Kau bisa memilih untuk menggunakannya, atau kau akan hancur bersama mereka yang lemah.”
Akira merasa darahnya mendidih. Kata-kata Kuro mengusik hati dan pikirannya, tetapi ia tahu bahwa memilih jalan yang sama dengan Kuro berarti kehancuran. Ia menatap Kuro dengan mata yang penuh tekad.
“Aku tidak akan jatuh ke dalam jurang kegelapan seperti dirimu, Kuro,” jawab Akira dengan tegas. “Aku akan menghentikanmu, apapun yang terjadi!”
Dengan kata-kata itu, Akira mengangkat pedangnya, dan sekejap kemudian, ia mengalirkan energi siluman yang luar biasa ke dalam senjatanya. Sebuah cahaya biru terang memancar dari ujung pedangnya, menandakan bahwa kekuatan dalam dirinya telah bangkit sepenuhnya. Dalam sekejap, Akira meluncur ke arah Kuro, menebaskan pedangnya dengan kecepatan luar biasa.
Kuro tidak terkejut. Dengan gerakan tangan yang elegan, ia menangkis serangan Akira menggunakan energi gelap yang dipancarkan dari tangannya. Dua kekuatan bertabrakan dengan dahsyat, menciptakan gelombang kejut yang meluncur ke segala arah, merobek tanah di bawah mereka. Akira merasa kesulitan menahan kekuatan Kuro, tetapi ia tidak mundur. Ia tahu ini adalah pertarungan yang menentukan.
Setiap serangan yang dilancarkan oleh Akira terasa semakin kuat, dipenuhi dengan energi siluman yang mengalir bebas dalam dirinya. Namun, Kuro dengan mudah menghindari dan membalas serangan itu dengan serangan magis yang lebih kuat, yang mengancam untuk menghancurkan segala sesuatu di sekitarnya.
“Aku bisa merasakannya, Akira,” kata Kuro sambil tersenyum. “Kekuatanmu… itu adalah kekuatan yang luar biasa. Namun, kau masih terikat pada moralitas yang lemah. Kau tidak akan bisa mengalahkanku jika terus bertahan dalam belenggu itu.”
Akira berusaha untuk tetap fokus, berjuang dengan segenap kemampuannya. “Aku tidak akan menggunakan kekuatan yang gelap seperti yang kau lakukan, Kuro! Aku akan melawanmu dengan caraku sendiri!”
Dengan kata-kata itu, Akira memusatkan semua kekuatannya pada satu serangan terakhir. Ia menarik energi siluman dari dalam dirinya, menyalurkannya ke dalam pedang, dan dengan kekuatan yang menggetarkan, ia menyerang Kuro dengan serangan yang begitu kuat hingga menembus pertahanan magisnya.
Kuro terkejut saat serangan itu mengenai tubuhnya. Ia terhuyung mundur, mengerang kesakitan. Namun, meskipun terluka, ia masih tersenyum dengan penuh keangkuhan. “Kau… kau benar-benar telah berkembang. Tapi ini belum selesai, Akira.”
Tiba-tiba, sebuah suara keras terdengar dari arah pasukan kerajaan. “Raja Yamato, pasukan kita mulai mundur! Kita membutuhkan bantuan!”
Akira menatap Kuro dengan amarah yang membara. “Perang ini tidak hanya tentang kita berdua, Kuro. Jika kau terus melawan, kau hanya akan menghancurkan semuanya.”
Namun, sebelum Kuro bisa memberikan jawaban, pasukan musuh yang semakin mendekat menambah ketegangan. Akira menyadari bahwa pertempuran ini lebih besar daripada dirinya, dan jika ia tidak segera mengalahkan Kuro, semuanya akan hancur.*
Bab 5: Akhir dari Kegelapan
Panas terik matahari mulai menyusup melalui celah-celah awan gelap yang menyelimuti kerajaan Shirogami. Langit yang tadinya dipenuhi dengan kegelapan kini mulai menunjukkan sedikit tanda-tanda terang. Namun, meskipun matahari mulai kembali muncul, ketegangan di medan perang belum juga mereda. Akira berdiri di tengah kekacauan, memandang Kuro dengan perasaan campur aduk. Di hadapannya, mantan penasihat kerajaan yang kini menjadi musuh terbesar, tampak semakin mengerikan dengan kekuatan gelap yang mengalir dari tubuhnya.
Suara pertempuran semakin jauh bergema, pasukan kerajaan berjuang keras di belakang Akira, namun dia tahu bahwa jika Kuro tidak dihentikan, kemenangan apapun akan sia-sia. Akira tahu bahwa ini adalah pertarungan yang akan menentukan masa depan kerajaan Shirogami, dan mungkin, bahkan dunia itu sendiri.
“Aku tidak akan membiarkanmu menghancurkan semuanya, Kuro!” seru Akira, suaranya tegas, meskipun ketegangan yang semakin mendalam terasa di dalam hatinya.
Kuro tersenyum tipis, senyum yang penuh dengan kebencian dan kecerdikan. “Akira, kau masih tidak mengerti. Ini adalah jalan yang benar. Kekuatan ini… kekuatan yang kutemukan, adalah sesuatu yang melampaui segala yang kalian perjuangkan di sini. Dunia ini akan lebih kuat, lebih bebas tanpa belenggu dari moralitas yang lemah. Aku akan membawa kerajaan ini ke jalannya yang benar.”
“Tapi dengan menghancurkan semua yang kita kenal?” Akira berteriak, penuh amarah. “Kau mengkhianati semuanya! Kau mengkhianati kerajaan yang telah mempercayaimu!”
Kuro mengangkat tangannya, dan gelombang energi hitam menyelimuti tubuhnya. “Kalian hanya melihat permukaannya. Aku berjuang untuk sesuatu yang lebih besar. Kekuatan ini, Akira, akan membuat kita tak terbatas. Semua yang kalian sebut kejahatan adalah bagian dari takdir yang lebih besar. Dan kau, dengan darah silumanmu, memiliki potensi untuk lebih dari sekadar sekutu. Kau bisa bersamaku.”
Akira merasakan darahnya mendidih saat kata-kata Kuro menembus hatinya. Kuro berbicara tentang kekuatan yang tak terbatas, namun Akira tahu, itu bukanlah jalan yang benar. Baginya, kekuatan tidak bisa dibenarkan dengan merusak hidup orang lain. Kekuasaan yang terkutuk, yang menghancurkan segala yang ada demi keserakahan dan ambisi, adalah sesuatu yang harus dihentikan.
“Tidak!” Akira berteriak lagi, dan dengan segenap kekuatannya, dia menyerang. Pedangnya yang bersinar dengan cahaya biru memancar menuju Kuro dengan kecepatan luar biasa.
Kuro tertawa sinis, tetapi dengan gesit menghindari serangan itu. Namun, serangan Akira tidak berhenti begitu saja. Dia mengayunkan pedangnya dengan kekuatan yang semakin besar, memanfaatkan kekuatan darah siluman yang mengalir di tubuhnya. Setiap tebasan pedang membawa cahaya yang membelah kegelapan, namun Kuro dengan cepat membalas dengan serangan magis yang menakutkan.
Dengan sekejap, medan pertempuran menjadi saksi dari pertarungan antara dua kekuatan yang sangat berbeda. Akira berjuang dengan segala yang dia miliki, sementara Kuro menggunakan segala kejahatan yang ada dalam dirinya untuk melawan. Setiap serangan terasa seperti benturan antara dua dunia yang bertolak belakang—sebuah dunia yang ingin dihancurkan oleh kekuatan gelap, dan dunia yang ingin dipertahankan dengan keadilan dan kebaikan.
“Aku tidak akan menyerah, Kuro!” seru Akira, matanya penuh tekad. “Selama aku masih bisa bertarung, aku akan melawanmu!”
Kuro tersenyum jahat, mengangkat tangannya sekali lagi untuk melepaskan kekuatan gelap yang lebih besar. Energi hitam yang mengerikan meluncur ke arah Akira, menghancurkan segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Namun, pada saat itu, Akira merasakan dorongan kuat dalam dirinya. Kekuatan yang selama ini ia pendam, kekuatan darah siluman, kini bersatu dalam dirinya. Ia mengangkat pedangnya sekali lagi, dan dengan semangat yang baru, ia menantang kekuatan gelap itu.
“Tidak!” Akira berteriak, suara penuh kekuatan. “Aku tidak akan menjadi bagian dari kegelapan ini!”
Dengan segenap kekuatannya, Akira menebaskan pedangnya ke dalam gelombang energi gelap yang datang. Dalam sekejap, kedua kekuatan itu bertabrakan. Ledakan hebat terjadi, memancar ke segala arah. Akira merasa tubuhnya terhempas oleh kekuatan itu, namun sebelum dia jatuh, sesuatu yang luar biasa terjadi. Cahaya biru dari pedangnya semakin terang, dan kekuatan siluman dalam dirinya mulai membakar habis kegelapan yang melanda medan pertempuran.
Cahaya itu terus berkembang, memancar lebih kuat, menembus gelapnya dunia. Akira tahu ini adalah momen yang menentukan. Dia harus mengakhiri semuanya sekarang.
Dengan satu serangan terakhir, Akira meluncurkan pedangnya ke arah Kuro dengan seluruh kekuatan yang dia miliki. Pedang itu menyusup ke dalam tubuh Kuro, menembus pertahanan magisnya, dan dengan kekuatan siluman yang tak terbendung, pedang itu menghancurkan inti kekuatan gelap yang telah menguasai Kuro. Kuro terhuyung mundur, matanya terbuka lebar, penuh dengan kejutan dan ketakutan.
“Aku… aku tidak bisa…” Kuro terjatuh, dan tubuhnya mulai menghilang, larut dalam gelombang energi gelap yang kini mulai mereda.
Akira terjatuh ke tanah, tubuhnya lelah dan terluka, namun matanya tetap tegas. Dia telah mengalahkan Kuro, dan dengan itu, ancaman terhadap kerajaan Shirogami pun berakhir. Namun, meskipun kemenangan itu tercapai, Akira merasa ada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang tidak akan pernah bisa dia dapatkan kembali.
Hikari mendekat dengan cepat, matanya penuh kekhawatiran saat melihat Akira yang terjatuh ke tanah. “Akira, kau baik-baik saja?”
Akira mengangguk lemah. “Ya, Hikari. Tapi… ini bukan akhir yang aku harapkan.”
Hikari menunduk, seolah memahami perasaan Akira. “Kadang, meskipun kita menang, harga yang harus dibayar sangat tinggi.”
Saat mereka berdiri di medan pertempuran yang kini sepi, suara pasukan yang semakin redup terdengar. Pertarungan besar itu telah berakhir, dan meskipun kemenangan mereka besar, rasa kehilangan dan pengkhianatan masih menghantui setiap sudut kerajaan. Raja Yamato yang muncul di belakang mereka, bersama dengan pasukan yang selamat, melihat ke arah mereka dengan tatapan penuh haru.
“Kau telah mengakhiri ancaman ini, Akira. Kerajaan Shirogami berutang budi padamu,” kata Raja Yamato dengan suara berat.
Akira menatapnya, merasa ada beban berat yang masih menggelayuti hatinya. “Aku hanya melakukan apa yang harus dilakukan, Raja. Tetapi, kemenangan ini datang dengan harga yang mahal.”
Raja Yamato mengangguk, lalu memandang pasukan yang kini mulai berkumpul di sekitar mereka. “Namun, kita masih memiliki masa depan. Masa depan yang harus kita bangun bersama, dari puing-puing kehancuran ini.”
Akira menatap matahari yang kini sepenuhnya terbit, menerangi medan pertempuran yang telah terhenti. Dia tahu bahwa meskipun perang ini telah berakhir, perjalanan untuk membangun kembali kerajaan dan dunia yang lebih baik baru saja dimulai. Namun, satu hal yang pasti, dia tidak akan pernah melupakan perjuangan yang telah dia jalani, dan bahwa di dalam dirinya, dia memiliki kekuatan untuk melindungi dunia dari kegelapan yang datang.***
……………………..THE END…………………..