BAB 1: Pagi yang Salah
Dito terbangun dengan suara alarm yang memekakkan telinga. Sambil meraba-raba di meja samping tempat tidurnya, ia mencari tombol snooze yang selalu membuatnya terlena lebih lama. Namun, yang ia temukan bukanlah tombol snooze yang biasanya berada di ujung meja, melainkan sebotol air mineral yang terjatuh dari meja. Suara jatuhnya botol itu seperti petir yang membangunkan Dito sepenuhnya.
“Hah? Kenapa botol air bisa ada di sini?” gumamnya sambil mengerjap-ngerjapkan matanya. Waktu di layar ponselnya menunjukkan pukul 07:45. Matanya terbelalak, teringat bahwa ia harus pergi ke kantor paling lambat jam 08:00.
Dito melompat dari tempat tidur dengan gerakan terburu-buru, hampir tersandung karpet, dan langsung berlari menuju kamar mandi. Setiap langkahnya terasa seperti lompatan maraton, meskipun tubuhnya belum sepenuhnya terbangun. Sambil menyikat gigi, ia meraba-raba rak handuk dengan harapan bisa menemukan handuk dengan cepat. Namun, apa yang ia temukan bukan handuk, melainkan pakaian dalam yang ternyata jatuh dari rak yang lebih tinggi. Dito menatapnya sejenak dengan tatapan bingung, namun kembali melanjutkan rutinitasnya.
Setelah mandi, Dito terburu-buru mengenakan pakaian yang ia temukan di lemari. Entah kenapa, hari itu ia merasa ada yang janggal. Pakaian yang seharusnya berwarna biru ternyata terlihat lebih seperti warna ungu. “Aduh, salah pilih baju lagi,” keluhnya. Namun, tidak ada waktu untuk berpikir panjang. Ia mengenakan celana jeans dan kemeja yang menurutnya cukup formal untuk pergi ke kantor. Setelah itu, ia melangkah menuju dapur untuk menyiapkan sarapan.
Di dapur, Dito berdiri di depan kompor sambil mengaduk kopi. Tangan kanannya memegang sendok, sementara tangan kirinya sibuk menambahkan gula. Tanpa sadar, Dito salah mengambil wadah, dan bukannya gula yang ia ambil, ia malah menambahkan garam ke dalam cangkir kopi. Saat ia mulai mencium aroma kopi yang aneh, ia baru sadar ada yang tidak beres. Namun, karena terburu-buru, ia memutuskan untuk meminumnya saja. “Paling juga nggak begitu kerasa,” pikirnya sambil menyeruput kopi yang terasa asin.
Rasa asin yang begitu kuat langsung mengguncang seluruh indera perasanya. Dito hampir tersedak. “Apa-apaan ini?” keluhnya sambil menatap cangkir kopi yang kini berubah menjadi campuran kopi dan garam. Meskipun rasa itu benar-benar mengerikan, Dito hanya bisa tertawa miris. “Hari ini memang hari yang salah,” katanya sambil menepuk-nepuk wajahnya. Ia meletakkan cangkir tersebut dan berlari keluar, berusaha untuk mengabaikan kekacauan yang baru saja ia buat di dapur.
Dito memeriksa jam tangannya lagi. Pukul 07:55. “Aduh, aku terlambat!” teriaknya, menepuk dahinya. Ia bergegas keluar rumah dan menuju mobil. Sesampainya di garasi, ia melihat mobilnya yang terparkir rapi. Sambil memasukkan kunci ke dalam pintu mobil, ia merasa bahwa semua ini semakin aneh. Ia menyadari bahwa saat ia mengemudi, segala sesuatunya tampak serba salah. Mulai dari memilih jalur yang salah, hingga melewatkan belokan yang seharusnya. Dalam kebingungannya, Dito hanya bisa tertawa kecil.
Di tengah perjalanan, Dito merasa bahwa mobilnya berjalan lebih pelan dari biasanya. Ia mencoba menekan pedal gas, tetapi mobilnya seakan-akan melawan. “Kenapa mobilku bisa lambat begini?” pikirnya. Ia pun melirik ke panel mobil dan melihat indikator bensin yang hampir kosong. Tanpa pikir panjang, Dito membelokkan mobilnya ke pom bensin terdekat. Ia segera keluar dari mobil dan mulai mengisi bahan bakar. Namun, saat tangki bensin hampir penuh, tiba-tiba Dito menyadari bahwa ia tidak membawa dompet.
“Astaga, dompetku ketinggalan!” serunya sambil meremas rambutnya. Ia mencoba mengingat-ingat tempat terakhir ia melihat dompetnya. “Pasti ada di rumah!” bisiknya, sambil melirik ke arah pom bensin yang kini terasa begitu jauh. Ia merasa konyol, tetapi tidak ada pilihan lain selain kembali ke rumah.
Setelah beberapa menit penuh ketegangan, akhirnya Dito sampai di rumah lagi. Ia berlari ke pintu, membuka kunci, dan masuk ke dalam. Dompetnya ada di meja makan. Ia merasa lega, namun juga semakin bingung dengan bagaimana segala sesuatunya menjadi serba salah.
Setelah mengambil dompet, Dito kembali ke pom bensin. Kali ini, dia tidak lagi terburu-buru. Ia merasa seperti orang yang sudah tertelan oleh absurditas hari ini. Setibanya di pom bensin, Dito melihat antrian yang cukup panjang. Ia hanya bisa tertawa kecil, meresapi kenyataan bahwa sepertinya seluruh dunia sedang tidak berpihak padanya.
Ketika tiba gilirannya, Dito dengan tenang memberikan kartu kreditnya. “Tolong isi bensin penuh,” katanya sambil tersenyum pasrah. Namun, saat petugas pom bensin memindai kartu kreditnya, layar mesin pembayaran menunjukkan “Transaksi Ditolak.”
“Kenapa lagi?” desis Dito dalam hati. Petugas dengan ramah mengembalikan kartu kredit tersebut dan mengatakan bahwa kartu tersebut tidak dapat diproses.
Dito menatap layar mesin pembayaran itu, merasa sudah cukup dengan serangkaian kejadian aneh di hari itu. “Hari yang salah benar-benar datang lebih awal hari ini,” pikirnya. Namun, seperti biasa, ia hanya bisa tertawa miris dan berkata, “Entahlah, mungkin ini hanya bagian dari dunia yang memang serba salah.”*
BAB 2: Keputusan yang Salah
Dito duduk di kursi kantornya, memandangi layar komputer dengan tatapan kosong. Pikirannya melayang, mengingat kejadian-kejadian absurd yang terjadi di pagi hari. Sejak ia tiba di kantor, suasana terasa semakin aneh. Semua orang tampak berjalan dengan ritme yang tidak sesuai dengan kenyataan. Rekan kerjanya yang biasa duduk di meja sebelah, Faris, yang biasanya pendiam dan serius, kini berbicara tentang filosofi kopi sambil menyodorkan secangkir kopi yang salah diraciknya—kopi susu yang sangat kental sampai hampir seperti puding.
Namun, bukan itu yang membuat Dito terperangah. Pagi itu, ia justru dipanggil oleh Pak Arif, bosnya yang terkenal kaku dan tegas. Panggilan itu membuat jantung Dito berdegup kencang. Ia sudah siap untuk dimarahi karena terlambat, atau mungkin ditanya soal proyek yang belum selesai. Tapi ternyata, apa yang terjadi justru jauh lebih absurd.
“Pak Dito,” sapa Pak Arif dengan senyum yang sedikit canggung. Dito bingung, apakah senyum itu asli atau hanya sekadar formalitas. “Kami ada rapat penting sore ini, dan saya ingin kamu yang mempresentasikan ide baru untuk tim kita. Kamu kan sudah lama bekerja di sini, pasti banyak ide segar kan?”
Dito hampir terjatuh dari kursinya mendengar kalimat itu. “Ide baru? Presentasi? Kenapa saya?” pikirnya. Ia bukanlah orang yang dikenal dengan ide-ide brilian di kantor. Bahkan, ia merasa setiap hari seperti berada dalam dunia yang tidak bisa ia pahami. Ide-idenya lebih sering tertahan di otaknya karena ia takut salah, atau lebih parah lagi, dianggap bodoh.
Pak Arif melanjutkan sambil tersenyum lebar, seakan-akan sudah mengenal Dito lebih dari siapapun. “Kamu pasti bisa, Dito. Percaya deh. Teman-teman semua di sini berharap kamu yang memimpin rapat nanti.”
Dito berusaha untuk tetap tenang meskipun seluruh tubuhnya merasa gemetar. Ia tidak bisa menolak. Ia tahu betul, menolak adalah kesalahan terbesar yang bisa ia buat. Dalam kebingungannya, Dito hanya bisa mengangguk sambil tersenyum kaku. “Tentu, Pak. Terima kasih telah mempercayakan ini kepada saya,” jawabnya, meskipun hatinya berteriak ingin melarikan diri.
Setelah rapat itu, Dito kembali ke mejanya dengan langkah lesu. Ia merasa seperti beban berat menjatuhkan dirinya ke lantai. Apa yang bisa ia presentasikan? Ia bahkan belum memikirkan ide apapun. Ia hanya menghabiskan waktu di kantor dengan menyelesaikan tugas-tugas yang terbilang sederhana dan tidak membutuhkan kreativitas tinggi.
Saat rekan-rekan kerjanya sibuk mempersiapkan diri untuk rapat sore itu, Dito merasa semakin panik. Ia menatap layar komputernya tanpa arah, mencoba mencari inspirasi. Namun, apa yang ia temukan justru semakin membuatnya kebingungan. Ia membuka dokumen lama yang ia tulis saat pertama kali bekerja, berharap menemukan sesuatu yang berguna. Namun, yang ia temukan hanya catatan yang penuh dengan ide-ide yang sudah ketinggalan zaman. Bahkan, beberapa di antaranya terdengar sangat aneh, seperti ide untuk membuat mesin kopi otomatis yang bisa berjalan sendiri, atau aplikasi penghitung jumlah langkah kaki yang ternyata sudah ada sejak sepuluh tahun lalu.
“Wah, ini benar-benar buruk,” gumam Dito, menepuk-nepuk wajahnya.
Ketika akhirnya rapat dimulai, Dito duduk di kursi depan, menghadapi seluruh tim yang sudah duduk dengan serius. Semua mata tertuju padanya, membuatnya semakin tertekan. Pak Arif yang duduk di ujung meja memberikan isyarat dengan tangan agar Dito mulai berbicara.
Dito menghela napas panjang. Ia memandangi layar presentasi yang sudah terbuka di laptopnya. Layar itu kosong. Tidak ada satu pun slide yang siap ditampilkan. Ia merasa seolah-olah seluruh dunia menantikan sebuah keajaiban yang tidak pernah ia persiapkan. “Baiklah,” ucapnya dengan suara yang sedikit bergetar. “Jadi, tema yang akan saya bahas hari ini adalah…”
Dito tiba-tiba merasakan sebuah ide meluncur begitu saja dari mulutnya, tanpa kontrol. “Inovasi teknologi dalam kehidupan sehari-hari! Ya, kita bisa memanfaatkan teknologi untuk mempermudah pekerjaan kita, misalnya, dengan menciptakan sebuah robot yang bisa menggantikan pekerjaan kita, seperti misalnya, robot yang bisa memasak atau robot yang bisa menggantikan tugas kita di rapat!”
Semua orang di ruangan itu diam sejenak. Beberapa orang mengangguk-angguk, seolah-olah ide Dito terdengar masuk akal. Dito merasa agak lega, meskipun di dalam hatinya ia tahu ini bukan ide yang matang sama sekali.
“Tapi… apakah tidak terlalu absurd untuk kita buat robot seperti itu?” tanya Rani, salah satu anggota tim yang terkenal skeptis. Dito menelan ludah, berharap ada yang bisa menanggapi dengan lebih positif.
“Tentu, itu ide yang sangat besar,” lanjut Rani dengan nada serius. “Tapi untuk saat ini, saya rasa kita bisa mulai dengan sesuatu yang lebih sederhana. Misalnya, aplikasi yang bisa mengoptimalkan jadwal harian kita dengan kecerdasan buatan. Hal itu bisa lebih terjangkau dan mungkin lebih praktis.”
Dito merasa seperti terbangun dari mimpi buruk. Ia baru menyadari bahwa apa yang ia katakan tadi mungkin benar-benar terdengar konyol. Namun, untuk beberapa alasan yang tidak dapat dijelaskan, ide anehnya itu justru diterima dengan antusias.
Pak Arif pun ikut berbicara, “Saya rasa itu ide yang menarik, Dito. Kita bisa mulai riset tentang aplikasi pengoptimalkan jadwal harian ini. Bagaimana menurut kalian, teman-teman?”
Semua anggota tim mengangguk, menyetujui ide yang sama sekali tidak ia siapkan dengan serius. Dito merasa terjebak dalam situasi yang semakin absurd. Ia tidak tahu apakah harus merasa lega atau malu, karena ia baru saja menyampaikan ide yang sangat tidak jelas, namun diterima begitu saja.
“Ya, tentu. Terima kasih, semua,” jawab Dito dengan senyum kaku, sambil menatap layar presentasi yang akhirnya menunjukkan sebuah slide kosong yang seharusnya berisi rincian ide yang bahkan belum sempat ia pikirkan.
Rapat berakhir, dan Dito kembali ke mejanya dengan perasaan campur aduk. Ia tidak bisa percaya bagaimana keputusan spontan yang tidak ia pertimbangkan dengan matang itu justru diterima begitu saja. “Ini benar-benar keputusan yang salah,” pikirnya. Namun, entah kenapa, keputusan itu malah membawanya ke dalam sebuah dunia baru yang lebih aneh dan tak terduga.
Dito menyandarkan punggungnya ke kursi dan tertawa pelan. “Mungkin dunia ini memang serba salah,” gumamnya.*
BAB 3: Cinta yang Salah
Pagi itu, Dito bangun dengan perasaan yang tidak jauh berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Setelah menjalani rapat absurd kemarin, ia merasa seolah-olah sedang terperangkap dalam dunia yang tidak bisa ia pahami sepenuhnya. Namun, ada satu hal yang selalu mengisi pikirannya akhir-akhir ini—sebuah perasaan yang sulit dijelaskan. Cinta. Cinta yang datang begitu mendalam dan tiba-tiba, meskipun ia tahu, dalam hati kecilnya, itu adalah cinta yang salah.
Sejak beberapa bulan lalu, Dito mulai merasa ada sesuatu yang berbeda di kantornya. Di tengah rutinitas kerja yang padat, ada sosok yang selalu mengisi ruang kosong dalam pikirannya. Vera, seorang rekan kerja yang baru bergabung beberapa bulan lalu, yang saat pertama kali dilihat Dito, selalu tampil ceria dan penuh semangat. Vera, dengan rambut panjang yang selalu diikat rapi, senyum yang tidak pernah hilang, dan suara yang lembut namun penuh percaya diri, membuat Dito merasa seperti tertarik dalam tarikan gravitasi yang tak terhindarkan.
Awalnya, Dito hanya mengagumi Vera dari jauh. Ia tidak pernah benar-benar berbicara langsung dengannya. Namun, semakin lama, ia mulai merasakan adanya ketertarikan yang semakin kuat. Hanya saja, ada satu hal yang membuatnya ragu. Vera adalah pacar dari Faris, rekan kerja Dito yang sudah lama ia kenal. Faris, yang meskipun pendiam dan sedikit aneh, adalah sosok yang baik hati dan sering memberikan Dito nasihat bijak tentang kehidupan. Mereka sering berbicara tentang pekerjaan, tetapi tidak lebih dari itu. Dito tahu bahwa Faris sangat mencintai Vera, dan meskipun perasaan itu semakin kuat, Dito merasa dirinya terjebak dalam perasaan yang salah.
Namun, hari itu, semuanya berubah. Dito mendapat pesan teks yang membuatnya terkejut. Itu datang dari Vera, yang biasanya tidak pernah menghubungi Dito di luar jam kerja.
“Dito, bisa bicara sebentar? Ada yang ingin aku sampaikan.”
Dito terdiam sejenak, matanya terbuka lebar. Ada kegugupan yang tiba-tiba muncul di hatinya. Apa yang dimaksud Vera? Mengapa harus sekarang? Apakah ini berarti sesuatu yang buruk? Atau mungkin, Vera juga merasakan hal yang sama?
Setelah beberapa detik yang terasa seperti berjam-jam, Dito membalas pesan itu. “Tentu, Vera. Ada apa?”
Beberapa menit kemudian, Vera membalas lagi. “Boleh kita bertemu setelah jam kantor? Aku butuh bicara.”
Pesan itu semakin menguatkan kegelisahan di hati Dito. Setelah kerja selesai, ia merasa tidak tenang. Rasa penasaran dan kegelisahan bercampur aduk, membuat ia sulit fokus pada pekerjaan yang tersisa. Ia berusaha menenangkan diri, tetapi bayangan Vera terus hadir dalam pikirannya.
Akhirnya, setelah jam kerja berakhir, Dito menuju kafe kecil yang biasanya menjadi tempat favorit Vera untuk bersantai setelah bekerja. Ketika ia tiba, ia melihat Vera duduk di sudut ruangan, memandang ke luar jendela dengan ekspresi yang tidak biasa. Ada kesedihan yang tersirat di wajahnya, seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat.
Vera melihat Dito yang baru datang dan tersenyum, meskipun senyum itu terlihat sedikit dipaksakan. “Dito, terima kasih sudah datang,” ucapnya dengan lembut.
Dito duduk di kursi yang ada di depan Vera, matanya mencari-cari tanda-tanda apa yang akan dikatakan. “Vera, ada apa? Kenapa kamu ingin bicara?”
Vera menarik napas panjang sebelum akhirnya berbicara. “Aku… aku merasa ada yang salah dalam hubunganku dengan Faris. Kami sudah lama bersama, tapi belakangan ini, aku merasa ada jarak yang semakin besar di antara kami. Aku tidak tahu apakah aku masih mencintainya seperti dulu.”
Dito merasa seolah-olah seluruh dunia terhenti sesaat. Hatinya berdegup kencang. Apa yang baru saja Vera katakan? Apakah itu berarti ia punya kesempatan? Apakah ini saat yang tepat untuk menyampaikan perasaan yang sudah lama ia pendam? Atau, apakah ia hanya akan membuat semuanya lebih buruk dengan mengungkapkan apa yang ada dalam hatinya?
Vera melanjutkan, suara itu tampak sedikit rapuh. “Aku tahu ini mungkin bukan waktu yang tepat, dan aku tidak ingin membuat semuanya lebih rumit, tapi aku merasa bingung. Aku merasa seperti ada sesuatu yang hilang, dan aku tidak tahu harus berbicara dengan siapa.”
Dito merasa hatinya tercabik-cabik. Di satu sisi, ia ingin memberikan dukungan dan menjadi tempat bagi Vera untuk curhat. Namun, di sisi lain, ia merasa terperangkap dalam perasaan yang sudah sangat dalam, perasaan yang salah, perasaan yang harusnya tidak ada. “Vera, aku… aku mengerti perasaanmu. Kadang-kadang hubungan itu memang bisa jadi rumit,” jawab Dito, berusaha mengontrol suaranya agar tidak terdengar terlalu berlebihan.
Vera memandangnya dengan tatapan yang sulit diartikan. “Aku merasa tidak lagi bisa mengenal Faris seperti dulu. Kami sering terlibat dalam pertengkaran kecil, dan aku merasa seperti ada sesuatu yang terlewatkan. Aku tahu itu salah, tapi aku juga tidak ingin terus-terusan menipu diri sendiri.”
Dito merasa pusing. Apa yang seharusnya ia katakan? Apa yang seharusnya ia lakukan? Mengungkapkan perasaannya akan menjadi keputusan yang sangat berisiko. Di satu sisi, ia ingin memberikan penghiburan, tapi di sisi lain, ia tahu bahwa ia akan melukai Faris jika mengungkapkan perasaannya. Lalu, ada satu pertanyaan yang terus menghantui pikirannya—apakah benar ini adalah cinta yang salah?
Akhirnya, Dito mengambil napas dalam-dalam. “Vera, aku tidak ingin kamu merasa tertekan. Ini bukan saat yang tepat untuk membuat keputusan besar. Mungkin kamu harus memberi waktu untuk dirimu sendiri sebelum mengambil langkah lebih jauh.”
Vera tersenyum tipis. “Terima kasih, Dito. Aku tahu kamu akan memberi nasihat yang bijak. Mungkin aku memang perlu waktu untuk berpikir, dan… mungkin aku juga perlu menjauhkan diri sedikit dari semua ini.”
Dito hanya bisa tersenyum lemah. Di dalam hatinya, ia merasa bingung dan cemas. Ia tahu bahwa cinta yang ia rasakan untuk Vera adalah sesuatu yang salah, tetapi perasaan itu tidak bisa begitu saja ia singkirkan. Ia ingin mendukung Vera, tetapi ia juga tahu bahwa ia sedang berdiri di ambang jurang, siap jatuh jika ia salah melangkah.
Setelah percakapan itu, mereka berpisah dengan suasana yang sedikit hampa. Dito berjalan pulang dengan perasaan yang semakin berat. Dunia seakan tidak lagi berjalan dengan cara yang benar, dan ia merasa seperti kehilangan arah. Cinta yang salah memang bisa datang kapan saja, dan ia tahu bahwa kali ini, ia tidak bisa melarikan diri darinya.*
BAB 4: Teman yang Salah
Hari-hari setelah pertemuan dengan Vera seperti sebuah mimpi buruk yang tak kunjung berakhir. Dito merasa seperti hidupnya berputar di sekitar sebuah lingkaran tak kasat mata, dan semakin ia berusaha keluar, semakin ia terjerat. Cinta yang salah sudah cukup membingungkannya, tetapi ada satu lagi yang membuat segala sesuatunya semakin buruk—teman-temannya.
Pagi itu, Dito kembali merasa risau. Ia bangun dengan pikiran yang penuh dengan keraguan, terutama tentang Faris. Meskipun mereka sudah lama berteman, Dito merasakan bahwa hubungan mereka kini semakin renggang. Ada jarak yang sulit dijelaskan, seakan-akan dunia mereka sudah tidak lagi selaras. Seharusnya ia merasa senang bahwa Faris kini dekat dengan Vera, tetapi kenyataannya justru sebaliknya. Kecemasannya tentang Vera dan hubungan mereka semakin menyusup ke dalam hubungan persahabatannya dengan Faris. Ia merasa terjebak di antara dua dunia yang berbeda—dunia yang penuh dengan rahasia dan dunia yang harus ia jaga agar tidak hancur.
Setelah beberapa hari tidak berbicara banyak, Dito memutuskan untuk menghubungi Faris. Mereka biasanya menghabiskan waktu bersama setelah jam kerja, kadang duduk di warung kopi kecil dekat kantor atau hanya berjalan-jalan santai, berbicara tentang berbagai hal—mulai dari pekerjaan hingga kehidupan pribadi mereka. Namun, belakangan ini, Faris seperti menghindari Dito. Ketika mereka bertemu di kantor, Faris selalu terlihat sibuk dengan ponselnya, seringkali tampak terburu-buru, dan jarang berbicara banyak.
Hari itu, Dito memutuskan untuk mengajak Faris bertemu di warung kopi yang biasa mereka datangi. Ketika Faris tiba, Dito melihat ada sesuatu yang berbeda. Temannya itu terlihat lebih kusut, rambutnya lebih acak-acakan, dan matanya tampak lelah. Mungkin karena pekerjaan, pikir Dito. Tetapi ada sesuatu yang lain, sesuatu yang tidak bisa ia abaikan.
“Faris, ada apa? Kamu kelihatan capek banget,” tanya Dito, mencoba membuka percakapan dengan cara yang santai.
Faris hanya mengangkat bahunya. “Ah, biasa aja. Hanya banyak kerjaan, ya gitu deh,” jawabnya dengan suara datar. Namun, Dito bisa merasakan ada ketegangan di balik kata-kata Faris.
Dito merasa tidak nyaman. Ada yang mengganjal dalam hatinya, dan ia tidak bisa mengabaikannya begitu saja. “Faris, kamu kenapa sih? Aku tahu kalau ada yang salah. Kamu nggak biasanya kayak gini.”
Faris menatap Dito sebentar, lalu menghela napas panjang. “Sebenarnya, aku… aku merasa nggak bisa lagi seperti dulu. Semuanya jadi makin rumit. Aku… aku nggak tahu harus gimana.”
Dito semakin bingung. Apakah Faris benar-benar sedang mengalami masalah? Atau apakah ini hanya reaksi terhadap masalah dengan Vera yang belum Dito ketahui? “Masalah apa, Faris? Kalau ada yang bisa aku bantu, bilang aja.”
Faris menatapnya dengan pandangan kosong, seakan-akan ia sedang mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan kekacauan dalam pikirannya. “Aku tahu, kamu pasti bisa nebak kenapa aku nggak kelihatan seperti dulu. Semua ini gara-gara Vera. Aku nggak tahu apa yang harus aku lakukan lagi. Aku merasa seperti kehilangan arah.”
Dito terdiam. Kata-kata itu membuat dadanya terasa sesak. Ia tidak bisa mengabaikan perasaan itu, tetapi di sisi lain, ia merasa seperti sedang terjebak di persimpangan yang tidak bisa ia pilih. Ia tahu, jika ia berbicara lebih banyak tentang Vera, hubungan persahabatan mereka bisa terancam hancur. Tetapi, ia juga tahu bahwa Faris sedang dalam keadaan terpuruk, dan ia tidak bisa membiarkan temannya itu begitu saja tenggelam dalam kekacauan emosionalnya.
“Faris, kamu harus bicara sama Vera. Jangan diam aja. Kalau kamu merasa ada masalah, jangan biarkan semuanya semakin rumit,” ujar Dito, berusaha memberikan nasihat.
Faris tampak tidak yakin. “Aku udah coba bicara, Dito. Tapi entah kenapa, aku merasa Vera semakin jauh. Sepertinya dia nggak lagi tertarik dengan aku. Aku nggak tahu kenapa, padahal aku udah berusaha yang terbaik.”
Dito merasakan kepedihan dalam suara Faris. Ia tahu betapa beratnya perasaan Faris, dan di satu sisi, ia ingin membantu. Namun, perasaan yang ia pendam terhadap Vera semakin sulit diabaikan. Sejak pertemuan beberapa hari lalu, Dito merasa Vera mulai menunjukkan tanda-tanda ketertarikan yang lebih dalam kepadanya. Namun, ia tidak bisa begitu saja menyerah pada perasaan itu. Faris adalah temannya, dan ia tidak bisa begitu saja menghancurkan persahabatan mereka demi kepentingan pribadinya.
Namun, semakin lama Dito berada di dekat Faris, semakin ia merasakan adanya ketidakberesan. Tidak hanya masalah Vera, tetapi ada juga sesuatu dalam diri Faris yang terasa berubah. Temannya itu, yang dulunya penuh semangat, kini terlihat seperti orang yang terperangkap dalam dunia yang penuh dengan kebingungannya sendiri. Apa yang sebenarnya terjadi dengan Faris? Dan apakah Dito sudah membuat pilihan yang salah dengan terus mempertahankan hubungan persahabatannya?
Setelah beberapa saat terdiam, Dito berbicara lagi. “Faris, mungkin kita harus lebih banyak bicara tentang hal ini. Jangan terus-terusan menahan perasaanmu. Jika ada yang mengganjal, kamu harus ngomong. Jangan biarkan masalah ini merusak segalanya.”
Faris mengangguk pelan, tetapi Dito bisa melihat bahwa temannya itu merasa bingung. Faris mungkin merasa tidak ada jalan keluar dari masalahnya. Ia merasa kesepian dan bingung, terjebak dalam hubungan yang semakin rumit, dan itu membuat Dito merasa semakin cemas.
Setelah percakapan itu, Dito pulang dengan perasaan yang lebih berat dari sebelumnya. Ia merasa seolah-olah berada di tengah badai yang tidak bisa ia hindari. Di satu sisi, ia ingin membantu Faris, tetapi di sisi lain, ia juga merasa terjebak dalam perasaan yang salah terhadap Vera. Apa yang harus ia lakukan? Apakah ia harus tetap menjadi teman yang baik bagi Faris, atau apakah ia harus mengikuti perasaan yang semakin kuat terhadap Vera? Teman yang salah. Cinta yang salah. Semua terasa semakin tidak jelas, dan Dito semakin ragu tentang keputusannya.
Satu hal yang pasti, dunia yang penuh dengan pilihan yang salah ini terus menggulung Dito, dan ia merasa seperti tak bisa melarikan diri darinya.*
BAB 5: Kerja yang Salah
Dito memasuki kantor dengan langkah yang pelan, seakan-akan dunia di sekitarnya berjalan lebih cepat daripada dirinya. Setelah seminggu penuh dengan kebingungannya tentang hubungan dengan Faris dan Vera, ia merasa seolah-olah beban yang lebih besar dari yang ia kira datang menimpanya. Pekerjaan. Di satu sisi, ia tahu ini adalah area yang seharusnya ia kuasai—tempat di mana segala sesuatunya terasa lebih terstruktur, lebih pasti, dan lebih terkendali. Namun, kenyataannya, Dito merasa seperti orang yang sedang berjalan di atas tali yang rapuh, tanpa pegangan.
Dito bekerja di sebuah perusahaan desain grafis kecil yang bergerak di bidang pembuatan materi promosi dan branding untuk klien-klien mereka. Itu adalah pekerjaan yang sebenarnya ia nikmati. Setiap hari, ia dikelilingi oleh layar komputer, berbagai software desain, dan beragam ide kreatif. Tetapi sejak akhir-akhir ini, semangatnya mulai memudar. Dito merasa tidak terhubung lagi dengan pekerjaannya. Semua ide yang biasanya datang dengan lancar kini terasa kering. Bahkan proyek besar yang dipegangnya sekarang—sebuah desain untuk kampanye besar sebuah merek pakaian—terasa seperti beban yang menambah deretan masalah dalam hidupnya.
“Dito, kamu sudah revisi konsep untuk klien yang tadi pagi itu belum?” tanya Nia, rekan kerjanya, sambil menatapnya dari meja sebelah.
Dito tersentak dari lamunannya dan mengangguk malas. “Iya, udah. Tapi kayaknya masih ada yang kurang. Gue masih mikirin beberapa detail.”
Nia menatapnya dengan curiga. “Kamu kenapa sih? Kamu nggak kayak biasanya. Biasanya kan kamu selalu semangat kalo ada proyek besar kayak gini.”
Dito hanya menggelengkan kepala. “Gue nggak tahu, Nia. Rasanya semuanya nggak sesuai harapan akhir-akhir ini. Pekerjaan gue nggak jalan, hubungan gue berantakan, dan… gue nggak tahu apa yang gue inginkan lagi.”
Nia melihat Dito dengan tatapan prihatin. Ia sudah lama mengenal Dito sebagai seseorang yang penuh semangat dan kreatif. Dito selalu tahu bagaimana menyelesaikan setiap tugas dengan baik, bahkan dalam tekanan. Namun, sekarang ada sesuatu yang jelas berubah. “Mungkin kamu butuh istirahat sejenak, Dito. Ini bukan kamu banget. Coba pergi ke luar sebentar, tarik napas, dan pikirkan semuanya dengan lebih tenang.”
Dito menghela napas dan menyandarkan punggungnya ke kursi. “Mungkin kamu benar, Nia. Tapi… rasanya nggak mudah. Semua terasa semakin sulit.”
Hari itu, Dito kembali ke meja kerjanya dengan perasaan terperangkap dalam kesibukan yang tidak berujung. Ia harus menyelesaikan revisi desain untuk kliennya, tetapi setiap kali ia menatap layar komputer, pikirannya malah melayang ke masalah-masalah pribadinya. Faris, Vera, bahkan pekerjaannya sendiri yang kini terasa seperti rutinitas yang tak ada habisnya.
Pagi itu, Dito mendapat email dari klien yang menuntut perbaikan lebih lanjut pada desain yang sudah ia kerjakan. Klien tersebut menilai bahwa desain yang sudah disetujui sebelumnya tidak cukup menarik dan membutuhkan lebih banyak “sentuhan kreatif.” Dito merasa frustrasi. Apa yang klien ini inginkan sebenarnya? Mereka sudah memberi arahan yang jelas, tetapi setiap kali revisi selesai, ada saja yang kurang. Seolah-olah ia selalu gagal memahami apa yang mereka harapkan.
Ia memutuskan untuk menghubungi Faris, berharap temannya itu bisa memberinya perspektif yang berbeda. Namun, ketika ia menekan nomor telepon Faris, yang dijawab justru suara seorang wanita. Vera. “Halo, Dito?” suara Vera terdengar di ujung telepon.
Dito terkejut. “Vera? Eh, gimana kabarnya? Ada Faris?”
Vera terdengar canggung. “Oh, Faris lagi keluar sebentar, Dito. Dia ada urusan. Kenapa? Ada yang bisa aku bantu?”
Dito merasa tidak nyaman, tetapi ia tetap melanjutkan percakapan. “Oh, nggak apa-apa. Cuma pengen ngobrol sedikit. Kerjaanku lagi banyak banget, jadi agak stres.”
Vera tertawa ringan. “Kerjaan bisa bikin stres banget ya, Dito. Tapi kamu harus coba untuk nggak terlalu terbebani, coba pikirin yang lain juga. Jangan cuma fokus ke pekerjaan aja.”
Percakapan itu meninggalkan kesan aneh bagi Dito. Ada yang berbeda dari cara Vera berbicara. Ia merasa bahwa Vera sekarang lebih dekat dengan Faris, dan itu membuat hatinya sedikit resah. Tapi, apa yang bisa ia lakukan? Ia sudah tahu bahwa perasaan itu adalah “cinta yang salah,” dan ia tidak bisa membiarkannya mengganggu persahabatannya.
Setelah percakapan itu, Dito kembali ke pekerjaan yang terbengkalai. Ia menatap layar komputer dan berusaha untuk fokus. “Kerja yang salah,” gumamnya. Apa yang salah dengan dirinya? Mengapa semuanya selalu terasa tidak tepat? Padahal ia sudah berusaha sebaik mungkin.
Setelah beberapa jam yang penuh kebingungannya, akhirnya Dito berhasil menyelesaikan desain yang diminta oleh klien. Meskipun ia merasa bahwa desain tersebut tidak sesuai dengan ekspektasinya sendiri, ia mengirimkannya dan berharap yang terbaik. Namun, jauh di dalam hatinya, ia merasa bahwa segala sesuatu yang ia lakukan terasa “salah.”
Hari itu berakhir dengan kesan yang tidak jauh berbeda. Dito pulang ke rumah dengan perasaan kosong. Ia merasa seperti sedang menjalani hidupnya tanpa arah, seperti pekerja yang terjebak dalam rutinitas yang tidak memuaskan. Di dalam hatinya, ia ingin lebih dari sekadar pekerjaan yang tidak memberikan kebahagiaan. Tetapi apa yang harus ia lakukan untuk keluar dari lingkaran ini?
Ia memutuskan untuk berbaring di tempat tidurnya dan merenung. Mungkin benar kata Nia—ia butuh istirahat. Tetapi istirahat dari apa? Pekerjaan? Hubungan? Atau mungkin dirinya sendiri? Semua hal ini terasa seperti bagian dari teka-teki besar yang tidak bisa ia pecahkan.
Dito menghela napas panjang dan menutup matanya. Apa yang bisa ia lakukan untuk memperbaiki semuanya? Semua pilihan yang ada terasa salah. Seolah-olah ia sudah terlalu jauh terperangkap dalam hidup yang serba salah ini, dan ia tidak tahu bagaimana cara keluar dari sana.*
BAB 6: Kehidupan yang Salah
Hari-hari Dito semakin terasa seperti adegan dalam film yang berulang tanpa ujungnya. Ia bangun, pergi bekerja, merasa terjebak dalam rutinitas yang monoton, dan kembali ke rumah dengan perasaan kosong. Bahkan percakapan singkat dengan teman-temannya, yang dulunya bisa menyegarkan, sekarang tidak memberi pengaruh apa-apa. Semuanya terasa seperti hidup dalam dunia yang salah—sebuah dunia di mana langkahnya selalu sedikit terlambat, dan keputusan yang diambil selalu berujung pada jalan buntu.
Pada suatu pagi yang biasa, Dito kembali merenung di meja kerjanya. Desain kampanye besar untuk klien yang telah dikerjakannya selama berbulan-bulan, kini justru menyisakan rasa frustrasi yang mendalam. Semua masukan klien, meski sesuai dengan permintaan awal, tampak tidak pernah cukup. Setiap revisi, setiap detail kecil yang ditambahkan, hanya memperburuk perasaannya. Ia merasa bahwa apapun yang ia lakukan, hasilnya tetap tidak memuaskan—tidak hanya untuk klien, tetapi juga untuk dirinya sendiri.
Di luar ruangan kantor, hujan turun dengan derasnya, membuat suasana kantor semakin suram. Dito memandangi jendela kantor yang sudah mulai berembun. Ia ingin melarikan diri dari segala sesuatu, tetapi entah kemana. Sejak pertemuannya dengan Vera dan Faris yang terasa canggung beberapa waktu lalu, ia merasa seperti tersesat dalam sebuah labirin yang penuh dengan dinding-dinding kaca transparan. Semua yang ia lihat seakan ada, namun tidak terjangkau.
Pikirannya mulai melayang ke hubungan yang rumit ini. Vera, gadis yang sudah lama ia kenal, ternyata adalah sosok yang sangat berbeda dari yang ia bayangkan. Ia merasa ada sesuatu yang salah dengan dinamika mereka bertiga—Dito, Faris, dan Vera. Sejak dulu, Dito menganggap Faris sebagai teman terbaiknya, namun belakangan, ia merasa seperti terlempar jauh dari jangkauan sahabatnya itu. Vera, yang dulunya hanya teman dekat, kini telah menjadi bagian dari hubungan yang semakin sulit dimengerti. Dito merasa dirinya bukanlah bagian dari hubungan mereka yang terus berkembang.
“Dito, kamu baik-baik aja?” suara Nia tiba-tiba terdengar dari belakang, menyadarkan Dito dari lamunan panjangnya.
Dito menoleh dan tersenyum tipis. “Eh, iya. Cuma sedikit capek aja, Nia. Kerjaan, hubungan… semuanya terasa nggak benar belakangan ini.”
Nia menatapnya dengan wajah penuh perhatian. “Kamu masih mikirin soal Faris dan Vera ya?”
Dito mengangguk, meskipun ia merasa tidak ingin membicarakan ini lebih jauh. “Mungkin… tapi gue nggak tahu lagi apa yang sebenarnya gue rasakan. Semua jadi nggak jelas. Dulu gue pikir hidup gue punya arah, tapi sekarang semuanya kayak melenceng jauh.”
Nia menghela napas dan duduk di kursi sebelah Dito. “Dito, hidup itu memang nggak selalu sesuai ekspektasi. Kadang kita merasa sudah di jalur yang benar, tapi malah dihadapkan dengan banyak pilihan yang bikin bingung. Tapi, bukan berarti itu salah. Mungkin kamu hanya butuh waktu untuk mencari arah yang baru.”
Dito mengernyitkan dahi. “Arah baru? Gue nggak yakin ada yang bisa benerin semuanya, Nia. Gue sudah kehabisan ide.”
“Pernah nggak kamu mikir untuk berhenti sejenak dan melepaskan diri dari semua itu? Coba ambil cuti, jalan-jalan, atau bahkan lakuin hal-hal yang selama ini kamu hindarin. Mungkin dengan cara itu, kamu bisa menemukan perspektif yang berbeda tentang hidup.”
Dito menatap layar komputernya yang masih terbuka, menunjukkan pekerjaan yang belum selesai. Rasanya, saat itu, ia ingin berkata kepada Nia bahwa ia sudah terlalu lelah untuk terus berusaha. Namun, entah mengapa, kata-kata itu tidak keluar. Ia terdiam.
“Apa yang salah dengan hidup gue?” Dito berpikir dalam hati, tanpa menemukan jawaban yang memadai.
Hujan terus mengguyur Jakarta dengan deras. Suasana kantor semakin suram, namun Dito merasa seakan ada ketenangan tersendiri yang datang dari hujan itu. Setidaknya hujan itu mengingatkannya bahwa terkadang, hidup memang bisa penuh dengan ketidakpastian. Tetapi, di balik ketidakpastian itu, selalu ada ruang untuk perubahan—meskipun ia tidak tahu dari mana harus memulainya.
Hari itu, Dito memutuskan untuk pulang lebih awal. Ia merasa butuh waktu untuk merenung lebih dalam. Di jalan pulang, ia mengendarai motornya dengan kecepatan lambat, seakan ingin menunda sampai ke rumah yang terasa begitu kosong. Semua perasaan yang menghantui dirinya kini terasa seperti beban yang semakin berat. Apa yang ia cari sebenarnya? Kehidupan yang lebih baik? Atau mungkin hanya pengakuan atas segala yang telah ia lakukan?
Sesampainya di rumah, Dito langsung menuju ruang tamunya yang sepi. Tanpa ada yang menemaninya, ia duduk di sofa dan memejamkan matanya. Ia merasa terputus dari segala yang terjadi di sekitarnya—dari pekerjaan, teman-teman, bahkan hubungan yang seharusnya memberi kebahagiaan. Apa yang ia lakukan salah? Ke mana langkah-langkah yang ia ambil sebelumnya membawanya? Seandainya hidup ini bisa diulang, apakah ia akan memilih jalan yang berbeda?
Ia berpikir tentang kehidupan yang selama ini ia jalani. Tentang pekerjaan yang terasa tidak pernah memuaskan, hubungan yang terlalu rumit, dan perasaan kesepian yang semakin dalam. Dito merasakan adanya ketidakadilan dalam hidupnya. Mengapa semuanya tampak tidak berjalan dengan benar, meskipun ia sudah berusaha? Kehidupan yang seharusnya dipenuhi dengan harapan dan kebahagiaan justru terasa salah di setiap langkahnya.
Dito menghela napas panjang. “Apa yang harus gue lakukan sekarang?”
Hari-hari yang terasa seperti kesalahan, keputusan yang salah, dan hubungan yang salah mulai membuatnya lelah. Tetapi entah mengapa, ia merasa seolah-olah jawabannya ada di depan mata—hanya saja ia tidak bisa melihatnya dengan jelas. Ia ingin hidup dengan lebih baik, tetapi entah bagaimana caranya.
Sambil menatap langit yang kini mulai cerah, Dito berbisik dalam hati, “Mungkin, hidup ini tidak sepenuhnya salah. Mungkin, aku hanya perlu menemukan jalan baru untuk memulai semuanya.”*
BAB 7: Cinta yang Terbaik di Dunia Serba Salah
Dito merasa seperti berada di ujung jurang kehidupan yang semakin dalam. Sejak pertemuannya dengan Vera dan hubungan yang makin rumit dengan Faris, ia terus bergulat dengan perasaan yang tak kunjung jelas. Namun, ada satu hal yang ia rasa paling menenangkan dalam kekacauan ini—cinta. Mungkin dunia memang serba salah, tetapi cinta, meski kadang tidak sempurna, adalah satu-satunya hal yang memberinya sedikit harapan.
Hari itu, Dito duduk di sebuah kafe kecil yang terletak di sudut kota. Hujan masih turun, tetapi tidak sedalam sebelumnya. Suasana yang semula suram kini sedikit lebih cerah. Ia memandangi secangkir kopi yang mulai mendingin di depannya. Namun, pikirannya bukan pada kopi itu, melainkan pada Vera. Sudah beberapa minggu berlalu sejak pertemuan terakhir mereka yang terasa canggung, dan hingga kini, Dito masih merasa kebingungan tentang perasaannya.
Vera, bagi Dito, bukan sekadar gadis biasa. Ia adalah seseorang yang hadir begitu tiba-tiba dalam hidupnya dan memberikan warna yang tak pernah ia bayangkan. Namun, sekaligus, Vera adalah sosok yang menyulitkan perasaannya. Setiap kali ia memikirkan Vera, Dito merasa seperti terperangkap dalam sebuah labirin yang tak pernah bisa ia keluar. Ada cinta, tentu, tetapi ada juga kebingungannya sendiri yang menghambat.
Di saat ia sedang merenung, ponsel Dito berbunyi. Sebuah pesan dari Vera muncul di layar.
“Dito, aku ingin bicara tentang kita.”
Pesan itu, meskipun singkat, cukup membuat hati Dito berdebar. Ia merasa seolah-olah sebuah keputusan besar akan segera datang, dan ia harus siap untuk itu. Sejak pertama kali mereka berbicara, Dito selalu merasa bahwa hubungan ini penuh dengan ketegangan yang tak terucapkan. Namun, ia tidak bisa mengabaikan perasaan yang tumbuh di dalam dirinya. Apa sebenarnya yang ia rasakan terhadap Vera? Adakah cinta sejati di balik semua kebingungan ini, ataukah itu hanya ilusi belaka?
Dito segera membalas pesan itu.
“Aku juga ingin bicara. Kapan kamu ada waktu?”
Vera membalasnya hampir seketika.
“Mungkin sekarang? Aku ada di dekat kafe yang biasa kita kunjungi.”
Dito merasa jantungnya berdebar lebih cepat. Ia tidak tahu mengapa, tetapi ada sesuatu yang mendalam dalam pesan Vera kali ini. Ia tahu, ini adalah kesempatan untuk mengungkapkan segala perasaan yang sudah lama ia pendam.
Setelah beberapa saat, Dito tiba di kafe tempat mereka biasa bertemu. Vera sudah ada di sana, duduk di meja pojok, dengan ekspresi yang tampak lebih serius daripada biasanya. Wajahnya tidak tampak cerah seperti dulu. Dito berjalan menghampirinya, mencoba meredakan rasa cemas yang tiba-tiba muncul.
“Vera,” sapanya pelan, mengambil kursi di seberangnya.
Vera tersenyum tipis, tapi ada sesuatu di matanya yang mengisyaratkan ketegangan. “Dito, aku ingin kita bicara dengan jujur tentang apa yang sedang terjadi. Aku merasa kita berdua terjebak dalam kebingungan ini, dan aku tidak ingin terus-terusan merasa seperti ini.”
Dito mengangguk pelan. “Aku juga merasakannya, Vera. Sejak kita mulai dekat, aku selalu merasa ada sesuatu yang tidak pas. Tapi aku juga tidak bisa mengabaikan perasaan yang aku miliki untukmu.”
Vera menghela napas. “Aku juga merasa sama, Dito. Tapi ada banyak hal yang menghalangi kita. Aku… aku takut jika kita terus seperti ini, kita malah akan kehilangan arah.”
Dito menundukkan kepala sejenak, mencerna kata-kata Vera. “Aku mengerti. Dunia kita memang terasa serba salah, tapi aku ingin kita menemukan cara untuk tetap bersama. Meskipun semuanya tak sempurna, tapi aku yakin kita bisa menjalani ini.”
Vera menatapnya dalam-dalam. “Dito, apakah kamu yakin? Kehidupan kita berdua sudah penuh dengan kebingungan. Tapi, mungkin, itu yang membuat kita saling memahami satu sama lain. Mungkin, kita tidak perlu mencari kesempurnaan, tetapi cinta yang terbaik di dunia serba salah ini.”
Dito terdiam sejenak. Kata-kata Vera seperti menyentuh bagian terdalam dari hatinya. Dunia ini memang penuh dengan kebingungan, dan hidup mereka sering kali terasa seperti kesalahan yang tak pernah berakhir. Namun, mungkin, seperti yang dikatakan Vera, cinta itu sendiri adalah hal yang terbaik yang bisa mereka miliki di tengah semua ketidaksempurnaan ini.
“Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, Vera,” kata Dito akhirnya. “Tapi aku ingin kita coba. Kita coba bersama, meskipun hidup ini sering membuat kita bingung. Aku yakin, kalau kita mau, kita bisa menemukan cara untuk saling mendukung.”
Vera tersenyum, wajahnya sedikit lebih cerah. “Aku juga tidak tahu apa yang akan terjadi. Tapi aku siap mencoba, Dito. Aku rasa, selama kita jujur dengan perasaan kita, kita bisa melewati semuanya.”
Dito merasa beban yang berat di dadanya sedikit mengendur. Mungkin, cinta mereka tidak akan sempurna. Mungkin, hubungan ini akan penuh dengan kebingungan dan kesalahan, tetapi setidaknya mereka berdua siap menghadapi dunia serba salah ini bersama-sama. Cinta yang terbaik tidak selalu datang dalam bentuk yang sempurna, dan mungkin itu adalah pelajaran terbesar yang bisa mereka pelajari.
Setelah percakapan itu, Dito merasa lega. Ia tahu bahwa meskipun hidup seringkali tidak berjalan seperti yang diinginkan, ia masih memiliki seseorang yang peduli padanya. Di tengah dunia yang serba salah ini, mereka berdua akhirnya menemukan sesuatu yang benar—cinta yang datang dengan segala ketidaksempurnaannya.
Saat mereka berdua meninggalkan kafe itu, Dito merasa seperti ada sedikit cahaya yang mulai menyinari jalan mereka. Mungkin ini bukan akhir dari kebingungannya, tetapi setidaknya, ini adalah awal dari perjalanan yang penuh dengan harapan. Dunia mungkin memang serba salah, tetapi cinta yang terbaik—meskipun datang dengan segala keanehannya—adalah satu hal yang tidak akan pernah salah.*
BAB 8: Dunia yang Salah, Tapi Baik
Pagi itu, Dito terbangun dengan perasaan campur aduk. Meski semalam ia sempat merasa lega setelah percakapan dengan Vera, hari ini ia merasa ada yang ganjil. Ada sesuatu yang tidak beres, namun ia tidak bisa menamakan apa itu. Mungkin itu adalah perasaan yang datang setelah terlalu lama dikejutkan dengan berbagai kebingungannya—perasaan yang datang begitu tiba-tiba dan membingungkan. Namun, di balik semua ketidakpastian itu, ada satu hal yang masih membekas di hati Dito. Cinta. Ya, cinta yang kadang tampak absurd, namun tetap memberikan secercah harapan di tengah dunia yang terasa salah ini.
Dito bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan menuju jendela. Hujan masih menyisakan jejaknya di jalanan, namun tidak selebat kemarin. Kota yang biasanya riuh ini terlihat sepi, hampir seperti dunia sedang menunggu sesuatu yang besar terjadi. Dito merasa seperti itu—seperti seseorang yang sedang menunggu sesuatu yang entah apa, tetapi ia tahu bahwa ia harus siap menghadapinya.
Setelah mandi dan sarapan cepat, Dito melangkah keluar dari rumah. Langit masih mendung, tetapi cuaca tidak terlalu buruk. Pikirannya kembali melayang pada Vera, pada percakapan semalam, dan pada segala hal yang telah terjadi dalam hidupnya. Semua terasa seperti serangkaian kesalahan yang tiba-tiba memberi arti. Apa yang sebenarnya ia cari dalam hidup ini? Mungkin, seperti yang Vera katakan, dunia ini memang serba salah. Namun, ada satu hal yang tak bisa dipungkiri—kebaikan masih ada, meskipun tersembunyi di balik kebingungannya.
Dito berjalan menuju kantor dengan langkah santai. Ia memikirkan pekerjaan yang harus diselesaikan, tetapi pikirannya sering kali terhenti pada pemikiran tentang hubungan dengan Vera. Tidak ada yang mudah, tetapi bukankah itu esensi dari kehidupan? Jika hidup hanya penuh dengan kenyamanan, adakah arti di dalamnya? Mungkin, justru dengan kesalahan-kesalahan itulah Dito belajar banyak tentang dirinya sendiri.
Setibanya di kantor, Dito disambut oleh Faris yang sedang duduk di meja kerjanya, mengetik sesuatu dengan serius. Faris, sahabat sekaligus rekan kerjanya, selalu tampak tenang, meskipun kadang sikapnya bisa terkesan aneh. Mereka sering berbicara tentang banyak hal, dan Dito tahu bahwa Faris adalah seseorang yang bisa ia andalkan. Namun, meskipun mereka sudah dekat, ada hal-hal yang tak pernah mereka bicarakan dengan serius—termasuk masalah perasaan yang kini mengusik hati Dito.
“Eh, Dito, sudah baca email dari bos?” tanya Faris tanpa mengalihkan pandangannya dari layar komputer.
Dito mengangguk pelan. “Iya, aku sudah baca. Ada tugas baru, kan?”
“Betul. Tugas besar kali ini. Semua tim harus terlibat. Jadi, kita harus benar-benar serius,” jawab Faris dengan suara rendah, yang terdengar lebih berat dari biasanya.
Dito merasa ada yang aneh dengan suara Faris. “Kamu kenapa, Far? Sepertinya kamu sedang memikirkan sesuatu yang lebih berat.”
Faris berhenti sejenak, menatap Dito, dan akhirnya menghela napas. “Gue cuma merasa bingung, Dit. Kadang, hidup ini terasa seperti dunia yang salah, tahu gak? Kita berusaha untuk membuat semuanya baik, tapi selalu ada aja yang gak sesuai rencana.”
Dito menatap sahabatnya itu dengan penuh perhatian. “Aku ngerti banget, Far. Kadang, dunia ini memang terasa kayak gitu. Tapi, kalau kita cuma fokus sama yang salah-salah, kita nggak akan bisa lihat yang baik-baiknya.”
Faris terkekeh pelan, seolah-olah kata-kata Dito baru menyadarkan dirinya. “Kamu benar juga, Dit. Kadang gue lupa, kalau dunia ini penuh kekacauan, tapi tetap ada sisi baiknya.”
Dito tersenyum. “Ya, meskipun kita nggak bisa menghindari semua masalah, setidaknya kita bisa coba melihat hal-hal baik dari apa yang ada.”
Sementara itu, di luar jendela kantor, hujan mulai reda, dan matahari perlahan muncul, memberi sedikit sinar di langit yang sebelumnya kelabu. Dito merasa sedikit lebih tenang. Mungkin dunia ini memang penuh dengan kebingungannya, namun ia mulai menyadari bahwa kebingungan itu bisa membawa mereka pada pemahaman yang lebih dalam tentang hidup dan diri mereka sendiri.
Siang itu, Dito menerima pesan dari Vera. “Aku mau ketemu sore ini. Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan.”
Dito merasa ada sesuatu yang penting akan disampaikan Vera, dan meskipun ia tahu bahwa kehidupan ini penuh dengan kejutan, ia merasa siap menghadapinya. Percakapan mereka semalam memang belum menyelesaikan semua masalah, namun setidaknya mereka berdua berusaha untuk jujur. Dito ingin itu tetap berlangsung, meskipun ia tahu bahwa tak semua jawaban akan datang dengan mudah.
Saat sore tiba, Dito bertemu dengan Vera di kafe tempat mereka biasa bertemu. Vera sudah menunggu di meja pojok dengan ekspresi serius. Dito duduk di seberangnya, menatap wajah Vera yang tampaknya memikirkan sesuatu yang besar.
“Ada apa, Vera?” tanya Dito dengan lembut.
Vera menghela napas, menatap Dito dalam-dalam, dan berkata, “Aku ingin kita jujur, Dito. Dunia ini memang serba salah, dan kita sering kali merasa kebingungan. Tapi, aku ingin kita menemukan cara untuk menjalani hidup ini bersama, meskipun banyak hal yang tak sempurna.”
Dito tersenyum. “Aku juga merasa sama, Vera. Dunia ini memang penuh dengan hal yang gak sesuai rencana, tapi yang penting adalah kita bisa mencoba menjalani semuanya dengan jujur, kan?”
Vera mengangguk pelan, senyum tipis muncul di bibirnya. “Mungkin kita tidak akan menemukan semua jawaban, Dito. Tapi aku ingin mencoba mencari jalan bersama.”
Dito meraih tangan Vera, merasakan kehangatannya yang memberikan rasa tenang di tengah dunia yang serba salah ini. Mereka berdua tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi bersama-sama mereka bisa mencari kebaikan di balik segala kebingungan dan kesalahan yang datang.
Mungkin dunia ini penuh dengan hal yang tidak sesuai harapan, tetapi seperti yang mereka pelajari, ada kebaikan yang tersembunyi di baliknya—dan kebaikan itu adalah hal yang bisa mereka raih bersama.***
————THE END———–