• Latest
  • Trending
  • All
  • Movie Review
  • Box Office
  • Trailer
  • Action
  • Romantic
  • Comedy
  • Horror
  • Serial Movie
  • Genre
KEBANGKITAN MAGIS DENDAM

KEBANGKITAN MAGIS DENDAM

January 27, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025
JEJAK DI PINTU TERLARANG

JEJAK DI PINTU TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

May 17, 2025
TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

May 17, 2025
PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

May 12, 2025
HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

May 12, 2025
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

May 10, 2025
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

LUKISAN YANG MENANGIS

May 10, 2025
  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
No Result
View All Result
Novel Story
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah
Novel Story
KEBANGKITAN MAGIS DENDAM

Oplus_131072

KEBANGKITAN MAGIS DENDAM

Dalam dunia yang diliputi bayang-bayang kegelapan, satu pria berjuang melawan kekuatan yang bisa mengubah takdir, namun harus memilih antara balas dendam atau menyelamatkan dunia.

by FASA KEDJA
January 27, 2025
in Fantasi
Reading Time: 34 mins read

Bab 1: Kematian yang Tak Terlupakan

Malam itu, langit Aresia diselimuti kabut gelap, tanda bahwa sesuatu yang buruk sedang mendekat. Ravan berdiri di atas bukit, menatap ke arah desa yang telah terbakar, asap tebal yang membubung tinggi ke udara. Keheningan yang mencekam menyelimuti tanah yang telah lama menjadi rumahnya. Di sanalah segalanya dimulai, di sanalah keluarganya hancur dalam satu malam yang akan terukir selamanya dalam ingatannya.

Kematian ayah dan ibunya adalah gambaran kemarahan dunia yang tak terduga. Bukan karena usia tua, bukan karena sakit, tetapi karena dendam yang terpendam dalam hati seorang pria yang telah memilih jalan gelap. Seraphos, sang penyihir jahat, dengan keinginan untuk menguasai Aresia, telah menebarkan kehancuran yang tak terperikan. Ia adalah sosok yang seharusnya tak pernah ada, melampaui batas moralitas dan menebar kegelapan di seluruh kerajaan.

Ravan, saat itu masih terlalu muda untuk memahami sepenuhnya apa yang terjadi, hanya menyaksikan dengan mata penuh ketakutan ketika ayahnya—sang raja penyihir—terjatuh di hadapan Seraphos. Dengan satu kata yang terlontar dari bibirnya, “Takdir,” Seraphos mengangkat tangannya, dan tubuh sang raja tersungkur ke tanah, tak bernyawa. Ibu Ravan yang mencoba untuk melindungi suaminya, tak lebih dari seorang korban, jatuh dengan luka yang tak dapat disembuhkan.

Namun, meskipun mereka telah tiada, kata-kata terakhir ibunya tetap terngiang di telinganya. “Jaga dirimu, Ravan. Jangan biarkan kematian kami menjadi sia-sia. Temukan kekuatanmu, temukan takdirmu.” Kata-kata itu membekas dalam hati Ravan, menjadi dorongan yang terus membara. Dendam dan kehilangan berbaur menjadi satu tekad: untuk menghancurkan Seraphos dan membalaskan semua yang telah dirampas darinya.

Setelah peristiwa itu, Ravan berkelana sendirian, menghindari kota dan desa yang telah hancur akibat serangan para pengikut Seraphos. Hanya dirinya yang tersisa dari keluarga yang dulu dikenal dan dihormati. Namun, kekosongan hatinya hanya bisa dipenuhi oleh satu hal: keinginan untuk membalas dendam.

Dengan langkah-langkah kecil, ia mulai mencari informasi tentang keberadaan Seraphos. Ia tidak tahu seberapa besar kekuatan penyihir itu, tetapi ia yakin, dengan tekad yang membara, ia akan menemukan jalan untuk melawan. Namun, perjalanan itu tak mudah. Di setiap langkahnya, Ravan dihadapkan pada kenyataan pahit bahwa dunia yang dulu ia kenal kini telah terpecah-belah. Bukan hanya karena Seraphos, tetapi juga karena perang panjang yang telah merenggut kedamaian Aresia.

Setelah bertahun-tahun mengembara, Ravan sampai di sebuah desa kecil yang terletak di kaki gunung. Di sana, ia bertemu dengan seorang pria tua bernama Fendrick yang dulu pernah menjadi teman dekat ayahnya. Fendrick adalah satu-satunya orang yang masih hidup yang tahu tentang rahasia besar yang tersembunyi di balik kematian orang tuanya.

“Ravan, aku tahu mengapa kamu datang,” kata Fendrick dengan suara serak. “Ayahmu dan ibumu bukan hanya korban dalam perang ini, tetapi mereka adalah penjaga keseimbangan. Seraphos menginginkan kekuatan magis yang terkandung dalam darah mereka, darah yang berasal dari leluhur kuno yang memiliki kekuatan luar biasa. Kematian mereka adalah awal dari kebangkitan kekuatan gelap yang lebih besar.”

Fendrick mengajak Ravan untuk duduk, memulai kisah lama yang tersembunyi dari dunia luar. “Ada sebuah kekuatan yang hanya dapat dimiliki oleh mereka yang sanggup menanggung beban terbesar. Itu adalah kekuatan yang mengalir dalam darah keturunan penyihir kuno. Hanya dengan membangkitkan kekuatan itu, seseorang dapat menandingi Seraphos.”

Kata-kata itu memancing rasa penasaran Ravan. Apakah ada kekuatan lain yang bisa dia gunakan untuk menghadapi musuh yang begitu besar? Tetapi Fendrick memperingatkannya, bahwa kekuatan tersebut bukanlah sesuatu yang dapat dikuasai dengan mudah. Bahkan ayahnya, sang raja penyihir, hanya mampu mengendalikannya dalam batas tertentu. Kekuatannya terlalu kuat, terlalu mengerikan untuk dimiliki oleh sembarang orang.

“Namun, ada yang harus kamu ketahui, Ravan,” lanjut Fendrick. “Kekuatan itu hanya bisa dibangkitkan jika kamu bersedia membayar harga yang tak ternilai. Kematian, pengorbanan, dan kehilangan—semuanya menjadi bagian dari prosesnya.”

Ravan menundukkan kepala, memikirkan kata-kata itu. Ia tahu, bahwa untuk mengalahkan Seraphos, ia harus mengambil risiko besar. Kematian orang tuanya bukanlah akhir dari perjalanan ini; itu baru saja menjadi awal dari petualangan yang akan membawa dirinya ke dalam dunia yang lebih gelap dan berbahaya.

Dengan tekad yang semakin kuat, Ravan memutuskan untuk melanjutkan pencariannya, meninggalkan desa itu dengan janji untuk kembali suatu saat nanti setelah ia mengumpulkan cukup kekuatan untuk menghadapi Seraphos. Namun, rasa kehilangan yang ia bawa tetap membayangi langkahnya, dan hatinya dipenuhi oleh rasa sakit yang tak pernah sembuh.

Dalam perjalanan panjang yang penuh dengan godaan, pengkhianatan, dan pertempuran, Ravan tahu bahwa satu-satunya cara untuk membalaskan kematian yang tak termaafkan adalah dengan menghadapi Seraphos—dan melawan takdir yang telah ditentukan.

Kematian yang tak terlupakan itu akan selalu menjadi pengingat, bahwa setiap langkah yang diambil dalam hidup membawa kita lebih dekat kepada takdir yang lebih besar. Takdir yang akan menentukan apakah kegelapan ini akan hancur atau berkembang menjadi lebih kuat dari sebelumnya.*

Bab 2: Dunia yang Terlupakan

Langit Aresia semakin kelam saat Ravan menjejakkan kakinya di batas wilayah yang sudah lama dilupakan, sebuah tempat yang hanya dikenal dari cerita-cerita rakyat. Dunia yang Terlupakan, begitu orang-orang menyebutnya, adalah tempat di mana sihir purba masih hidup dan tersembunyi dari pandangan manusia biasa. Hanya sedikit yang pernah kembali dari sana, dan mereka yang selamat jarang berbicara tentang apa yang mereka temukan.

Saat melangkah lebih dalam, Ravan merasakan perbedaan yang nyata. Udara menjadi berat, dan setiap embusan angin membawa bisikan halus seakan-akan bumi sendiri berusaha berbicara kepadanya. Pohon-pohon menjulang tinggi dengan daun-daun berwarna biru keunguan, sementara tanah di bawah kakinya bersinar samar-samar, menciptakan pemandangan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Dunia ini terasa asing, seolah terlepas dari kenyataan yang ia kenal.

Langkah-langkahnya membawanya ke sebuah jalan setapak kecil yang tertutup semak belukar. Setiap jejaknya diiringi suara gemerisik dedaunan dan suara binatang yang tak pernah ia dengar sebelumnya. Di kejauhan, ia melihat sebuah reruntuhan bangunan tua, yang terlihat seperti kuil. Pilar-pilar besar yang hampir runtuh ditutupi oleh lumut dan akar-akar pohon yang telah lama menguasai tempat itu. Ravan merasa sesuatu memanggilnya ke arah sana.

Saat ia mendekati kuil itu, ia merasakan sensasi aneh di dadanya, seperti denyut jantung yang tidak normal. Ada sesuatu di tempat ini yang memengaruhi tubuh dan pikirannya. Tiba-tiba, suara langkah lain terdengar di belakangnya. Dengan refleks cepat, Ravan berbalik dan menarik pedangnya, tetapi yang ia temukan hanyalah seekor makhluk kecil berbentuk seperti kucing, namun dengan sepasang sayap di punggungnya.

Makhluk itu menatapnya dengan mata bercahaya emas. “Seorang manusia? Sudah lama tidak ada manusia yang berani datang ke sini,” kata makhluk itu dengan suara yang mengejutkan Ravan.

“Kau bisa bicara?” tanya Ravan dengan nada curiga, meskipun ia tidak benar-benar terkejut setelah semua yang telah ia alami.

“Tentu saja. Kau adalah penyusup di tempat ini, jadi aku harus memastikan apa yang kau inginkan,” jawab makhluk itu sambil melompat ke salah satu pilar yang runtuh. “Namaku Mirka, penjaga dunia ini. Dan kau… terlihat seperti seseorang yang membawa masalah.”

Ravan menyarungkan pedangnya, menyadari bahwa makhluk kecil ini bukan ancaman. “Aku tidak mencari masalah. Aku mencari jawaban. Ada sesuatu yang harus aku hancurkan, dan untuk itu, aku perlu kekuatan dari tempat ini.”

Mirka memiringkan kepalanya, seolah menilai Ravan. “Kekuatan? Dunia yang Terlupakan bukanlah tempat untuk sembarang orang mencari kekuatan. Banyak yang datang dengan tujuan seperti itu, dan tidak ada yang kembali. Apa yang membuatmu berbeda?”

Ravan menghela napas, lalu menceritakan tentang kehancuran desanya, kematian orang tuanya, dan niatnya untuk mengalahkan Seraphos. Mirka mendengarkan dengan seksama, matanya menyipit seiring cerita Ravan.

“Seraphos,” gumam Mirka. “Nama itu sudah lama tidak terdengar di sini. Jika yang kau cari adalah kekuatan untuk melawannya, kau mungkin berada di tempat yang tepat. Tapi kau harus tahu, kekuatan di tempat ini bukan untuk mereka yang lemah hati atau pikiran.”

Ravan menatap Mirka dengan tekad yang kuat. “Aku siap. Aku telah kehilangan segalanya. Tidak ada yang lebih penting daripada menghancurkan Seraphos.”

Mirka tersenyum tipis. “Baiklah, kalau begitu ikuti aku.”

Makhluk kecil itu melompat turun dan mulai berjalan ke arah dalam kuil. Ravan mengikutinya, memasuki bangunan tua yang dipenuhi oleh simbol-simbol kuno yang bercahaya samar di dinding. Ruangan utama kuil itu dipenuhi oleh patung-patung besar yang menggambarkan makhluk-makhluk fantastis—naga, burung api, dan makhluk-makhluk lainnya yang hanya ada dalam legenda.

“Dunia ini dulunya adalah pusat dari semua sihir di Aresia,” kata Mirka sambil berjalan. “Namun, ketika manusia mulai menggunakan sihir untuk tujuan egois mereka, dunia ini memutuskan untuk menyembunyikan dirinya. Hanya mereka yang benar-benar terpilih yang bisa menemukannya.”

Ravan merasa kata-kata itu mengandung peringatan, tetapi ia tetap diam. Mereka akhirnya sampai di sebuah ruangan besar dengan altar di tengahnya. Di atas altar itu, ada sebuah kristal besar yang bersinar dengan cahaya biru yang memukau.

“Inilah inti dari Dunia yang Terlupakan,” kata Mirka. “Kristal ini adalah sumber dari semua sihir di tempat ini. Jika kau ingin kekuatan, kau harus membuktikan dirimu layak untuk memilikinya.”

“Bagaimana caranya?” tanya Ravan, menatap kristal itu dengan penuh rasa ingin tahu.

Mirka menatapnya serius. “Kau harus menghadapi dirimu sendiri. Semua ketakutan, keraguan, dan kegelapan yang ada di dalam hatimu akan muncul. Jika kau bisa mengalahkannya, kau akan mendapatkan kekuatan yang kau cari. Tapi jika tidak… kau akan terjebak di sini selamanya.”

Ravan menelan ludah. Ia tahu ini bukan tugas yang mudah, tetapi ia tidak punya pilihan lain. Dengan tekad bulat, ia melangkah mendekati altar dan meletakkan tangannya di atas kristal. Cahaya biru menyelimuti tubuhnya, dan dunia di sekitarnya tiba-tiba berubah.

Ia kini berdiri di sebuah medan perang, dikelilingi oleh bayangan-bayangan dari masa lalunya. Kematian orang tuanya terulang di depan matanya, disertai oleh suara tawa Seraphos yang menghantui. Namun, ada sesuatu yang berbeda kali ini. Dari bayangan itu, muncul sosok dirinya sendiri—versi gelap dirinya, dengan mata merah menyala dan senyum penuh kebencian.

“Inilah dirimu yang sebenarnya, Ravan,” kata sosok itu dengan suara dingin. “Penuh kemarahan, dendam, dan rasa bersalah. Kau tidak akan pernah cukup kuat untuk melawan Seraphos. Kau hanya akan menjadi alat baginya.”

Namun, Ravan tidak mundur. Ia menggenggam pedangnya erat-erat, menatap bayangan itu dengan penuh keberanian. “Kau salah. Aku mungkin dipenuhi oleh rasa sakit, tetapi itu tidak akan menghancurkanku. Justru itulah yang membuatku kuat.”

Pertarungan melawan bayangan dirinya dimulai, dan Ravan menyadari bahwa ini bukan hanya pertarungan fisik, tetapi juga mental. Ia harus menghadapi semua ketakutan dan keraguannya sendiri. Dan dalam proses itu, ia menemukan bahwa kekuatan sejati tidak datang dari kebencian, tetapi dari keberanian untuk terus maju meski menghadapi kegelapan.

Ketika cahaya biru kembali menyelimuti tubuhnya, Ravan sadar bahwa ia telah berhasil. Kristal itu kini bersinar lebih terang, seolah-olah memberikan restunya. Mirka menatapnya dengan kagum.

“Selamat, Ravan,” katanya. “Kau telah membuktikan dirimu. Dunia yang Terlupakan mengakui keberanianmu. Kini, perjalananmu yang sebenarnya baru dimulai.”

Dengan kekuatan baru yang mengalir dalam dirinya, Ravan melangkah keluar dari kuil, siap menghadapi takdir yang menantinya. Namun, ia tahu bahwa ini baru awal dari perjalanan panjang yang penuh dengan tantangan dan pengorbanan.*

Bab 3: Awakening of the Old Magic

Cahaya matahari perlahan merembes melalui celah-celah daun di hutan purba, menciptakan kilauan seperti emas cair yang menari di udara. Ravan memandangi sekelilingnya dengan rasa ingin tahu dan kekaguman. Hutan ini berbeda dari tempat mana pun yang pernah ia lihat sebelumnya. Setiap pohon memiliki batang yang menjulang seperti tiang-tiang kuno, sementara sulur-sulur tanaman merambat tampak hidup, melingkar perlahan seperti ular. Udara di sekitarnya terasa berat namun dipenuhi energi, dan aroma tanah yang lembap bercampur dengan bau manis bunga liar yang tumbuh di antara akar-akar pohon.

Ravan menggenggam medali tua di tangannya, benda warisan keluarganya yang baru-baru ini ia temukan menyimpan rahasia yang tak terduga. Ia yakin bahwa medali ini adalah kunci menuju kebangkitan sihir kuno yang tersembunyi di balik legenda Dunia Terlupakan. Dengan keberanian yang ia kumpulkan, ia melangkah lebih jauh ke dalam hutan, mengikuti nalurinya yang anehnya terasa lebih tajam dari sebelumnya.

Langkah Ravan terhenti saat ia tiba di sebuah batu besar yang tertutup oleh lumut dan ukiran-ukiran kuno. Ukiran itu membentuk pola lingkaran dengan simbol-simbol misterius yang memancarkan cahaya biru samar. “Inilah tempatnya,” gumamnya. Ia merasakan sesuatu di dalam dirinya, sebuah panggilan yang tidak bisa dijelaskan.

Tanpa berpikir panjang, ia meletakkan medali itu di tengah pola ukiran di batu tersebut. Seketika, simbol-simbol itu menyala terang, dan bumi di bawah kakinya bergetar. Angin kencang berhembus dari arah yang tidak menentu, membuat pohon-pohon di sekitar bergoyang dan mengeluarkan suara seperti jeritan.

Kemudian, sebuah suara menggema dari dalam batu, seperti campuran suara pria dan wanita, tua dan muda. “Siapa yang berani membangunkan kami?”

Ravan menelan ludah, lalu menjawab dengan suara tegas meski sedikit gemetar. “Aku adalah Ravan, putra dari Desa Thalnor. Aku mencari kekuatan untuk mengalahkan kejahatan yang telah menghancurkan segalanya.”

Suara itu tertawa, meski lebih seperti gema dari ribuan orang yang berbicara sekaligus. “Kekuatan kuno tidak diberikan dengan cuma-cuma, Ravan dari Thalnor. Kau harus membuktikan dirimu layak untuk memilikinya.”

Tiba-tiba, tanah di bawah kaki Ravan retak, dan ia jatuh ke dalam lubang gelap yang tak berdasar. Ia tidak tahu berapa lama ia jatuh, tetapi ketika ia akhirnya menghantam sesuatu yang lembut seperti kabut, ia mendapati dirinya berdiri di tengah ruang kosong. Langit di atasnya berwarna ungu gelap dengan bintang-bintang yang bersinar seperti berlian. Di sekelilingnya, bayangan-bayangan mulai muncul, membentuk sosok-sosok menyerupai manusia.

Bayangan-bayangan itu mendekat, mengelilinginya dengan mata kosong yang memancarkan cahaya biru. “Kau harus menghadapi ujian,” kata salah satu dari mereka dengan suara bergetar. “Hanya mereka yang hatinya kuat yang bisa mengendalikan sihir kuno.”

Sosok pertama muncul, membentuk seorang pria tua dengan jubah panjang. “Ujian pertama adalah kebijaksanaan,” katanya. “Apakah kau tahu tujuanmu? Apakah kau tahu harga dari kekuatan yang kau cari?”

Ravan mengangguk. “Aku tahu tujuanku. Aku ingin menghancurkan Seraphos dan melindungi dunia dari kehancuran. Jika itu berarti aku harus mengorbankan diriku, maka aku akan melakukannya.”

Pria tua itu tersenyum tipis sebelum menghilang dalam seberkas cahaya. Kemudian, sosok kedua muncul, seorang wanita muda dengan rambut panjang yang bergerak seperti api. “Ujian kedua adalah keberanian,” katanya. “Kau harus menghadapi ketakutan terbesarmu.”

Wanita itu mengangkat tangannya, dan tiba-tiba, bayangan Seraphos muncul di depan Ravan, lengkap dengan tawa jahat yang menghantui mimpinya. Ravan merasa tubuhnya kaku oleh rasa takut, tetapi ia menggenggam pedangnya erat-erat dan melangkah maju. “Aku tidak akan lari,” katanya dengan suara yang tegas. Dengan ayunan pedangnya, bayangan itu pecah menjadi ribuan keping kecil, dan wanita itu menghilang seperti angin.

Sosok terakhir muncul, seorang anak kecil dengan mata yang memancarkan cahaya lembut. “Ujian terakhir adalah hati,” katanya dengan suara lembut. “Apakah kau bersedia menggunakan kekuatan ini untuk kebaikan, meskipun itu berarti kehilangan segalanya?”

Ravan menunduk sejenak, memikirkan semua yang telah ia lalui. Ia memikirkan desanya, keluarganya, dan teman-temannya yang telah tiada. Ia memikirkan dunia yang bisa ia selamatkan jika ia berhasil. “Ya,” jawabnya. “Aku bersedia.”

Anak kecil itu tersenyum, dan cahaya terang meledak dari tubuhnya, menyelimuti Ravan sepenuhnya. Saat cahaya itu memudar, ia mendapati dirinya kembali di hutan, berdiri di depan batu besar yang kini bersinar terang.

Medali di tangannya terasa panas, dan ketika ia melihatnya, ia menyadari bahwa medali itu telah berubah. Kini, medali itu memancarkan cahaya biru yang sama dengan batu besar di depannya. Ravan merasa aliran energi baru mengalir dalam dirinya, mengisi tubuh dan pikirannya dengan kekuatan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Mirka, makhluk penjaga yang sebelumnya hanya mengawasi dari kejauhan, muncul dari balik pohon. “Kau berhasil,” katanya dengan suara penuh kekaguman. “Sihir kuno telah mengakui keberanian dan tekadmu. Tetapi ingat, kekuatan ini datang dengan tanggung jawab besar.”

Ravan mengangguk. Ia tahu bahwa perjalanan ini belum selesai, tetapi untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa ia memiliki peluang untuk melawan Seraphos. Dengan kekuatan baru ini, ia akan melangkah lebih jauh, menantang takdir yang telah menghancurkan segalanya.

Namun, di lubuk hatinya, ia tahu bahwa kebangkitan sihir kuno ini hanyalah awal dari sesuatu yang jauh lebih besar—sebuah perang yang tidak hanya akan menentukan nasibnya, tetapi juga nasib dunia.*

Bab 4: Sekutu dari Kegelapan

Bayangan senja perlahan menyelimuti lembah, menciptakan suasana yang mencekam. Di depan Ravan terbentang reruntuhan kota tua yang dikenal sebagai Ardeshir, tempat yang konon pernah menjadi pusat peradaban para penyihir kegelapan. Sekarang, hanya puing-puing yang tertinggal, dihuni oleh makhluk-makhluk yang tak pernah terlihat oleh manusia biasa. Hawa dingin menyelusup, membuat bulu kuduk Ravan berdiri. Ia tahu bahwa perjalanan ini penuh risiko, tetapi ia juga tahu bahwa tidak ada pilihan lain.

Mirka, makhluk penjaga kecil yang setia menemaninya, tampak cemas. “Kau yakin tempat ini aman untuk kita masuki? Reruntuhan ini penuh dengan aura gelap,” katanya dengan suara kecil, namun tetap terdengar di tengah sunyi.

Ravan menarik napas dalam-dalam. “Tidak ada tempat yang aman dalam perjalananku sekarang. Jika legenda benar, maka jawaban untuk melawan Seraphos mungkin ada di sini. Kita hanya perlu menemukannya.”

Ketika mereka melangkah lebih dalam ke dalam reruntuhan, suara angin yang menderu mulai terdengar seperti bisikan. Bisikan itu membawa rasa dingin yang menembus kulit. Ukiran-ukiran aneh terlihat di dinding reruntuhan, menggambarkan sosok-sosok menyerupai bayangan dengan mata bercahaya merah. Ravan mencoba mengabaikan rasa takutnya dan tetap fokus.

“Ravan,” Mirka memanggil pelan, menunjuk ke depan. “Lihat itu.”

Di tengah lapangan besar yang dikelilingi oleh pilar-pilar hancur, ada sebuah altar tua. Di atasnya, terdapat sebuah kristal hitam yang tampak berdenyut seperti jantung hidup. Ravan berjalan mendekat, tetapi tiba-tiba, bayangan besar muncul dari kegelapan.

“Siapa yang berani menginjakkan kaki di tempat ini?” suara rendah dan bergema memenuhi udara, seperti kilat yang menyambar malam. Dari kegelapan, muncul sesosok pria tinggi dengan mata yang bercahaya merah darah. Tubuhnya dibalut jubah hitam yang panjang, dengan simbol-simbol kuno terukir di kainnya.

Ravan menggenggam pedangnya dengan erat. “Namaku Ravan, dan aku di sini untuk mencari kekuatan yang bisa menghentikan Seraphos.”

Pria itu tertawa, tawa yang menggema di seluruh reruntuhan. “Seraphos? Nama itu membawa kenangan lama. Ia adalah bagian dari kegelapan, sama sepertiku.”

“Jika kau sama gelapnya dengannya, maka aku tidak punya urusan denganmu,” kata Ravan dengan tegas.

Pria itu mengangkat satu alis, matanya menyipit tajam. “Jangan cepat menilai, anak muda. Aku mungkin berasal dari kegelapan, tetapi aku bukan sekutu Seraphos. Namaku Kael, dan aku adalah mantan panglima kegelapan sebelum dia menghancurkan segalanya. Aku telah dikalahkan olehnya, dan sejak itu aku terjebak di sini, menunggu seseorang yang cukup berani untuk datang.”

Ravan merasa ragu, tetapi ada sesuatu dalam suara Kael yang terasa tulus. “Jika kau memang musuhnya, mengapa kau terjebak di sini? Mengapa kau tidak bertarung melawannya?”

Kael menunduk, seperti mengingat kenangan yang menyakitkan. “Aku adalah seorang pemimpin yang sombong. Aku pikir aku bisa mengendalikan kekuatan Seraphos ketika dia pertama kali muncul. Tetapi aku salah. Dia memanfaatkan kegelapan dalam diriku untuk mengalahkanku. Dia menghancurkan pasukanku dan memenjarakanku di tempat ini, menggunakan kekuatan sihir kuno.”

Mirka, yang sejak tadi diam, tiba-tiba berbicara. “Jika kau benar-benar ingin melawan Seraphos, mengapa kau tidak membantu Ravan? Dia memiliki keberanian, dan mungkin bersama-sama, kalian bisa menghentikan kegelapan itu.”

Kael memandang Ravan dengan tatapan tajam. “Kau memiliki keberanian, aku memberimu itu. Tetapi keberanian saja tidak cukup untuk melawan Seraphos. Apa yang membuatmu berpikir bahwa aku harus membantumu?”

Ravan melangkah maju, matanya bertemu dengan Kael tanpa gentar. “Aku tidak meminta bantuanmu untukku. Aku meminta bantuanmu untuk dunia ini. Dunia yang telah hancur oleh kegelapan Seraphos. Jika kau benar-benar ingin menebus kesalahanmu, maka inilah kesempatanmu.”

Kael terdiam sesaat, lalu tersenyum tipis. “Kau adalah anak muda yang berani, Ravan. Mungkin terlalu berani untuk kebaikanmu sendiri. Tetapi aku melihat keteguhan dalam matamu, sesuatu yang jarang kutemukan bahkan di antara para pejuang.”

Kael melangkah mendekati altar, lalu menyentuh kristal hitam itu. Cahaya merah gelap memancar dari kristal, dan Kael menatap Ravan sekali lagi. “Aku akan membantumu, tetapi dengan satu syarat. Kau harus siap menerima kegelapan dalam dirimu, seperti aku dulu. Kegelapan bukanlah musuhmu, tetapi alat yang bisa kau gunakan jika kau cukup kuat untuk mengendalikannya.”

Ravan merasakan keraguan menyelusup ke dalam hatinya. Tetapi ia tahu bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan sekutu yang cukup kuat untuk melawan Seraphos. Ia mengangguk. “Aku siap.”

Kael memegang kristal itu dengan kedua tangan, lalu membisikkan mantra kuno. Cahaya hitam dan merah mulai mengalir dari kristal ke arah Ravan, menyelubungi tubuhnya. Ia merasakan kekuatan besar masuk ke dalam dirinya, tetapi bersama kekuatan itu, muncul juga rasa dingin yang mengerikan.

“Ini hanya awal,” kata Kael dengan suara rendah. “Kita akan memulai pelatihanmu, dan jika kau cukup kuat, kau akan mampu melawan Seraphos. Tetapi ingat ini, Ravan: kegelapan adalah pedang bermata dua. Jika kau tidak berhati-hati, ia akan menghancurkanmu seperti yang telah menghancurkan banyak orang sebelumnya.”

Dengan sekutu barunya, Ravan tahu bahwa jalan di depannya akan semakin berbahaya. Tetapi untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa ia memiliki peluang melawan kekuatan kegelapan yang telah menghancurkan dunianya. Bersama Kael, ia akan belajar mengendalikan kekuatan baru ini dan mempersiapkan diri untuk perang yang akan datang.*

Bab 5: Pencarian Relik Magis

Matahari mulai merangkak turun, membiaskan warna jingga yang memancar dari langit. Ravan, ditemani oleh Kael dan Mirka, melanjutkan perjalanan mereka menuju sebuah lokasi yang selama ini hanya dikenal dalam legenda: Gua Eternum. Tempat itu diyakini menyimpan salah satu relik magis paling kuat yang pernah ada, sebuah artefak yang mampu memberikan kekuatan luar biasa kepada pemiliknya. Namun, relik ini bukanlah benda sembarangan. Banyak yang percaya bahwa relik itu memiliki kehendaknya sendiri dan hanya akan memilih pemilik yang layak.

“Kau yakin tentang lokasi ini, Kael?” tanya Mirka dengan suara penuh keraguan, melirik peta kuno yang dipegang Kael. Peta itu usang dan penuh coretan yang sulit diartikan.

Kael mengangguk pelan. “Gua Eternum terletak di balik Pegunungan Aridha. Jalannya sulit dilalui, tetapi aku pernah ke sana sebelumnya. Aku tahu apa yang menanti kita di dalamnya.”

Ravan menatap Kael, matanya menyipit. “Kau pernah ke sana sebelumnya? Lalu mengapa kau tidak mengambil relik itu?”

Kael menghela napas, lalu menjawab, “Aku tidak layak saat itu. Relik itu menolakku. Namun, kau mungkin memiliki peluang, Ravan. Keberanian dan tekadmu bisa menjadi kunci untuk mendapatkan kepercayaan relik tersebut.”

Perjalanan ke Pegunungan Aridha bukanlah hal yang mudah. Jalan yang mereka lalui berbatu dan curam, dengan angin dingin yang menusuk tulang. Suara langkah mereka bergema di antara tebing-tebing tinggi. Sesekali, mereka mendengar suara geraman makhluk liar di kejauhan, membuat Mirka semakin cemas.

“Kita hampir sampai,” kata Kael setelah beberapa jam berjalan. Ia menunjuk ke depan, ke arah celah sempit di antara dua tebing. “Gua Eternum ada di balik celah itu.”

Ketika mereka mencapai celah tersebut, pemandangan yang menakjubkan terbentang di depan mereka. Sebuah gua besar dengan mulut yang menyerupai rahang raksasa berdiri megah. Aura magis terasa kuat di sekitarnya, membuat udara di sekitar gua terasa berat. Ravan merasakan jantungnya berdebar lebih cepat, bukan karena ketakutan, tetapi karena antisipasi.

Mereka melangkah masuk ke dalam gua, diterangi oleh cahaya redup dari kristal-kristal yang bersinar di dinding. Gua itu dipenuhi dengan ukiran-ukiran kuno yang menggambarkan kisah-kisah lama tentang para penyihir, perang besar, dan kekuatan magis yang dahsyat. Ravan menyentuh salah satu ukiran, merasakan dinginnya batu yang seakan mengisyaratkan usia tempat ini.

“Ini adalah tempat yang dipenuhi sejarah,” gumamnya.

“Tapi juga penuh bahaya,” tambah Kael dengan nada serius. “Relik tidak akan membiarkan siapa pun mengambilnya begitu saja.”

Mereka terus melangkah hingga mencapai ruang utama gua. Di tengah ruangan, terdapat sebuah altar yang terbuat dari batu hitam, dikelilingi oleh simbol-simbol bercahaya. Di atas altar itu, melayang sebuah pedang berkilauan dengan cahaya biru yang memancar lembut, namun penuh kekuatan. Pedang itu dikenal sebagai Lumen Arcanum, relik magis yang menjadi tujuan mereka.

Namun, saat Ravan mendekat, lantai gua mulai bergetar. Dari bayangan, muncul sosok raksasa yang terbuat dari batu, dengan mata merah menyala. Makhluk itu adalah penjaga relik, diciptakan untuk menguji siapa pun yang berani mencoba mengambil pedang tersebut.

“Bersiaplah!” seru Kael sambil menarik pedangnya.

Pertarungan pun dimulai. Ravan, Kael, dan Mirka bekerja sama untuk melawan penjaga batu itu. Serangan demi serangan mereka lancarkan, tetapi makhluk itu terlalu kuat. Kael mencoba mengalihkan perhatian penjaga, sementara Ravan mencari cara untuk mendekati altar.

“Aku butuh waktu untuk mencapai pedang itu!” teriak Ravan.

Mirka, meskipun kecil, memanfaatkan kecepatannya untuk menyerang titik-titik lemah pada tubuh penjaga. Kael terus melindungi Ravan, menahan serangan-serangan berat dari makhluk itu.

Dengan keberanian yang luar biasa, Ravan akhirnya berhasil mendekati altar. Ia merasakan energi luar biasa yang memancar dari pedang tersebut. Namun, saat ia mencoba menyentuhnya, suara dalam pikirannya menghentikannya.

“Apakah kau layak?” suara itu bertanya, dalam dan bergema.

Ravan terkejut, tetapi ia menjawab dengan tegas. “Aku tidak tahu apakah aku layak, tetapi aku tahu bahwa dunia membutuhkan kekuatanmu untuk melawan kegelapan. Aku akan melakukan apa pun untuk melindungi mereka yang aku cintai.”

Suara itu terdiam sejenak, seolah mempertimbangkan jawabannya. Lalu, pedang itu bersinar lebih terang, dan penjaga batu tiba-tiba berhenti bergerak. Ravan merasakan pedang itu menyatu dengannya, memberinya kekuatan baru yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Kael dan Mirka menghampirinya, napas mereka terengah-engah. “Kau berhasil,” kata Kael dengan senyum kecil.

“Tapi ini baru permulaan,” jawab Ravan sambil memandang pedang di tangannya. “Dengan kekuatan ini, kita memiliki peluang untuk melawan Seraphos. Tapi kita harus berhati-hati. Kegelapan tidak akan tinggal diam.”

Dengan Lumen Arcanum di tangannya, Ravan merasa lebih siap dari sebelumnya. Namun, ia juga tahu bahwa perjalanan ini masih panjang, dan tantangan yang lebih besar menantinya di depan.*

Bab 6: Rahasia yang Tersembunyi

Malam itu, udara di sekitar mereka terasa berat, seolah menandakan bahwa sesuatu yang besar akan terungkap. Ravan, Kael, dan Mirka telah mendirikan perkemahan di tepi sungai kecil setelah perjalanan panjang dari Gua Eternum. Mereka berhasil membawa Lumen Arcanum, tetapi rasa lega yang mereka rasakan hanya sesaat. Sesuatu masih membebani pikiran mereka, terutama Ravan, yang merasa pedang itu berusaha berkomunikasi dengannya.

Saat api unggun mulai menyala, Kael memecah keheningan. “Ravan, ada sesuatu yang perlu kau ketahui. Aku rasa ini adalah waktu yang tepat untuk membicarakannya.”

Ravan menatap Kael, matanya dipenuhi rasa ingin tahu. “Apa yang ingin kau katakan? Apakah ini tentang pedang ini?”

Kael menghela napas panjang, lalu melanjutkan, “Lumen Arcanum tidak hanya sebuah senjata. Ia adalah kunci. Kunci yang bisa membuka pintu ke sebuah kekuatan yang jauh lebih besar, tetapi juga jauh lebih berbahaya.”

Ravan mengerutkan kening. “Kunci? Apa maksudmu? Mengapa kau tidak memberitahuku sejak awal?”

“Sebab aku ingin memastikan kau siap,” jawab Kael dengan nada serius. “Dan juga, aku tidak tahu bagaimana kau akan bereaksi. Relik ini adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang selama ini tersembunyi dari dunia.”

Mirka, yang duduk tak jauh dari mereka, ikut angkat bicara. “Kael, apakah ini ada hubungannya dengan Seraphos? Dan bagaimana kau bisa tahu begitu banyak tentang pedang ini?”

Kael menunduk sejenak, seolah-olah sedang berjuang untuk mencari kata-kata. “Aku tahu karena aku pernah menjadi bagian dari kegelapan itu.”

Pernyataan Kael membuat suasana di sekitar mereka membeku. Mirka menatap Kael dengan mata lebar, sementara Ravan terlihat bingung dan curiga sekaligus.

“Apa maksudmu?” tanya Ravan dengan nada tegas.

Kael mengangkat wajahnya, memandang Ravan langsung. “Aku dulu adalah salah satu jenderal Seraphos. Aku melayani dia selama bertahun-tahun sebelum aku menyadari kebohongan yang ia sebarkan. Seraphos menggunakan kekuatan gelap untuk memanipulasi para pengikutnya, menjanjikan kekuatan dan keabadian. Aku percaya padanya, hingga aku melihat kehancuran yang ia bawa ke dunia ini.”

Mirka melompat berdiri. “Jadi kau adalah bagian dari semua ini? Kau bekerja untuk musuh kita?”

“Dulu,” jawab Kael tenang. “Tapi aku sudah meninggalkan masa laluku. Aku berusaha menebus semua yang telah aku lakukan, dan membantu kalian adalah caraku untuk melakukannya.”

Ravan memandangi Kael dengan ekspresi tak terbaca. “Lalu apa hubungannya semua ini dengan Lumen Arcanum?”

Kael menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. “Ada sebuah tempat bernama Eterna Crux, pusat kekuatan magis yang menjadi tujuan utama Seraphos. Lumen Arcanum adalah satu-satunya yang dapat membuka akses ke sana. Jika Seraphos berhasil mencapainya, ia akan mendapatkan kekuatan yang tak terbayangkan, dan dunia ini akan benar-benar jatuh ke dalam kegelapan.”

“Kau tahu lokasi tempat itu?” tanya Mirka curiga.

Kael mengangguk pelan. “Aku tahu. Itu sebabnya aku membawa kalian ke sini. Tapi tempat itu tersembunyi dengan sangat baik, dan ada penjagaan yang jauh lebih kuat daripada yang kita temui di Gua Eternum.”

Ravan merasa kepalanya penuh dengan berbagai informasi yang membingungkan. “Kenapa kau tidak memberitahuku sejak awal, Kael? Mengapa kau menyembunyikan masa lalumu dariku?”

“Karena aku takut kau tidak akan mempercayaiku,” jawab Kael jujur. “Dan aku tidak bisa menyalahkanmu jika kau tidak percaya. Tapi aku bersumpah, aku hanya ingin menghentikan Seraphos. Aku ingin memperbaiki semua kesalahan yang telah aku buat.”

Keheningan kembali menyelimuti mereka. Ravan menatap Lumen Arcanum yang tergeletak di sampingnya, cahaya birunya memancar lembut. Ia tahu bahwa keputusan yang akan diambilnya sangat penting, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk seluruh dunia.

“Aku akan mempercayaimu, Kael,” kata Ravan akhirnya. “Tapi jika aku merasa ada sedikit saja tanda pengkhianatan, aku tidak akan ragu untuk melawanmu.”

Kael mengangguk. “Itu lebih dari cukup bagiku, Ravan. Aku tidak meminta lebih dari kepercayaanmu untuk saat ini.”

Mirka tampak masih ragu, tetapi ia mengikuti keputusan Ravan. “Kalau begitu, apa rencana kita selanjutnya?”

Kael menjawab, “Kita harus menuju Eterna Crux. Tapi sebelum itu, kita perlu menemukan sebuah peta yang tersembunyi di Kuil Altherion. Kuil itu adalah tempat yang dipenuhi teka-teki, dan hanya mereka yang benar-benar layak yang bisa menemukan peta tersebut.”

Ravan mengangguk. “Kalau begitu, kita harus bersiap. Tidak ada jalan untuk mundur sekarang.”

Malam itu, mereka tidak banyak bicara lagi. Pikiran mereka dipenuhi oleh ancaman yang semakin nyata, dan perjalanan yang semakin berbahaya. Namun, di balik semua ketegangan itu, Ravan merasakan sesuatu yang lain—dorongan kuat dari dalam dirinya. Dorongan untuk menghadapi takdirnya, apa pun yang akan terjadi di depan.

Dengan tekad yang baru, mereka bersiap untuk perjalanan berikutnya, tanpa menyadari bahwa rahasia yang lebih besar dan lebih gelap masih menanti mereka di ujung jalan.*

Bab 7: Dendam yang Makin Membara

Di bawah sinar bulan yang pucat, Ravan berdiri di atas tebing yang menghadap padang luas di kejauhan. Angin malam berhembus kencang, seolah ingin membawa bisikan dendam yang terus membakar di dadanya. Tangannya menggenggam erat Lumen Arcanum, pedang legendaris yang kini terasa seperti perpanjangan dari dirinya sendiri. Tapi malam ini, bukan hanya kekuatan pedang itu yang memacunya. Amarah dan rasa kehilangan menjadi bahan bakar yang tak henti-hentinya menyulut api dalam hatinya.

Pemandangan itu seperti bayangan kelam dari masa lalunya. Desa-desa yang terbakar, orang-orang yang menjerit meminta pertolongan, dan wajah-wajah keluarganya yang hilang ditelan kobaran api. Setiap kenangan itu kembali membanjiri pikirannya, membuat napasnya semakin berat. Dendam pada Seraphos dan para pengikutnya kini menjadi satu-satunya tujuan hidupnya.

Kael dan Mirka berada tak jauh darinya. Mereka membiarkan Ravan tenggelam dalam pikirannya, menyadari bahwa perjuangan ini bukan hanya tentang menghentikan kekuatan gelap Seraphos, tetapi juga tentang pertarungan pribadi Ravan dengan luka-luka lamanya. Namun, Mirka, yang dikenal dengan keberaniannya, akhirnya tak tahan untuk diam lebih lama.

“Ravan,” panggil Mirka sambil mendekat. “Aku tahu apa yang kau rasakan, tapi kau tidak bisa membiarkan dendammu menguasaimu. Kita membutuhkanmu dengan pikiran yang jernih. Jika kau kehilangan kendali, kita semua akan berada dalam bahaya.”

Ravan menoleh perlahan, matanya tajam dan penuh emosi. “Kau tidak mengerti, Mirka. Ini bukan hanya tentang menyelamatkan dunia. Ini adalah tentang membalas semua yang telah hilang dariku. Seraphos telah menghancurkan segalanya, dan aku tidak akan berhenti sampai aku menghancurkannya.”

Mirka terdiam sejenak. Kata-kata Ravan menggema dengan penuh kepedihan, dan meskipun ia ingin membantah, ia tahu bahwa Ravan memang memiliki alasan yang kuat untuk dendamnya.

Kael, yang mendengar percakapan itu dari jauh, akhirnya melangkah maju. “Ravan, aku mengerti rasa sakitmu lebih dari yang kau kira,” katanya dengan suara tenang. “Aku pernah berada di posisimu, dipenuhi dendam dan amarah. Tapi aku belajar bahwa dendam yang tidak terkendali hanya akan menghancurkan dirimu sendiri. Jika kau ingin menang melawan Seraphos, kau harus menjadi lebih kuat dari itu.”

Ravan menatap Kael dengan tajam. “Apa kau berpikir aku tidak cukup kuat? Aku telah melalui neraka untuk sampai ke sini. Aku tidak membutuhkan ceramah darimu, Kael. Aku hanya membutuhkan Seraphos mati di tanganku.”

Kael menghela napas panjang, tetapi tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia tahu bahwa tidak ada kata-kata yang bisa mengubah perasaan Ravan saat ini. Waktu dan perjalanan ini sendiri yang akan menjadi guru terbaik.

Malam itu, mereka melanjutkan perjalanan mereka menuju sebuah reruntuhan kuno yang disebut Thalador, tempat yang dipercaya sebagai tempat persembunyian salah satu jenderal utama Seraphos. Ravan percaya bahwa di sana ia akan mendapatkan informasi tentang lokasi Seraphos yang sebenarnya. Tetapi jalan menuju Thalador penuh bahaya, dan para pengikut Seraphos telah menyebar untuk menghentikan mereka.

Di tengah perjalanan, mereka dihadang oleh kelompok makhluk kegelapan yang dikenal sebagai Umbrak. Makhluk-makhluk ini memiliki tubuh hitam pekat dengan mata merah menyala, dan mereka bergerak dalam kegelapan seperti bayangan hidup.

“Siapkan diri kalian!” teriak Ravan, menarik Lumen Arcanum dari sarungnya. Pedang itu bersinar terang, memancarkan cahaya biru yang menusuk kegelapan di sekitar mereka.

Pertarungan pun dimulai. Ravan memimpin serangan, menghancurkan para Umbrak dengan kekuatan luar biasa. Namun, setiap ayunan pedangnya tampak dipenuhi oleh amarah. Ia tidak hanya menyerang untuk bertahan hidup—ia menyerang dengan dendam yang membara.

“Ravan, hati-hati!” seru Mirka, saat ia melihat Ravan nyaris kehilangan keseimbangan karena terlalu terburu-buru menyerang.

Namun, Ravan tidak mendengar peringatannya. Ia terlalu tenggelam dalam amarahnya, hingga ia nyaris tidak menyadari satu Umbrak melompat ke arahnya dari belakang. Beruntung, Kael bergerak cepat dan menebas makhluk itu sebelum sempat melukai Ravan.

“Fokus, Ravan!” seru Kael dengan nada tegas. “Amarahmu bisa membuat kita kalah!”

Ravan tidak menjawab, tetapi matanya menyiratkan bahwa ia mendengar. Ia mulai mencoba mengontrol emosinya, tetapi dendam itu masih mendominasi setiap gerakannya.

Setelah pertempuran selesai, Ravan berdiri di tengah mayat-mayat makhluk itu, napasnya terengah-engah. Tangan yang menggenggam Lumen Arcanum gemetar, bukan karena kelelahan, tetapi karena amarah yang belum terlampiaskan.

“Berapa banyak lagi yang harus aku bunuh untuk bisa mencapai Seraphos?” gumamnya dengan suara penuh frustrasi.

Kael dan Mirka saling bertukar pandang, tidak tahu harus berkata apa. Mereka tahu bahwa beban dendam ini adalah sesuatu yang hanya bisa diselesaikan oleh Ravan sendiri.

Ketika mereka akhirnya tiba di Thalador, suasana di tempat itu terasa mencekam. Reruntuhan kuno itu dipenuhi dengan aura kegelapan, dan setiap langkah terasa seperti memasuki sarang kematian.

Di dalam reruntuhan, mereka menemukan sebuah ruang bawah tanah yang dipenuhi simbol-simbol kuno. Di tengah ruangan itu berdiri sebuah patung besar dengan tangan yang memegang bola cahaya hitam. Kael mendekati patung itu dan memeriksa ukiran-ukiran di sekitarnya.

“Ini adalah petunjuk,” kata Kael sambil membaca ukiran itu. “Patung ini menunjukkan lokasi persembunyian Seraphos, tetapi kita harus memecahkan teka-teki untuk membuka jalannya.”

Ravan, yang masih dipenuhi oleh dendam, hanya berkata singkat, “Cepat pecahkan teka-tekinya. Aku tidak punya waktu untuk ini.”

Kael menatap Ravan dengan prihatin, tetapi ia tidak mengatakan apa-apa lagi. Mereka mulai bekerja bersama untuk memecahkan teka-teki itu, sementara bayangan dendam terus membayangi perjalanan mereka.

Ravan tahu bahwa ia harus tetap fokus, tetapi ia juga tahu bahwa dendam ini adalah satu-satunya yang membuatnya tetap hidup. Dan hingga Seraphos tumbang di tangannya, api itu tidak akan pernah padam.*

Bab 8: Pengkhianatan yang Menghancurkan

Suasana dalam kelompok kecil mereka semakin tegang ketika perjalanan menuju Benteng Kelabu mulai menunjukkan tanda-tanda adanya ancaman yang tak terlihat. Ravan, Kael, Mirka, dan Aerith merasa bahwa setiap langkah mereka diawasi oleh bayangan yang tak kasatmata. Hutan di sekitar mereka semakin pekat, dan udara malam terasa lebih dingin dari biasanya, seolah memberi isyarat akan datangnya bencana.

Ravan berjalan di depan, menggenggam erat Lumen Arcanum. Cahaya biru dari pedang itu menjadi satu-satunya sumber penerangan di kegelapan hutan. Namun, hatinya mulai dipenuhi rasa curiga. Perasaan itu datang tiba-tiba, seperti firasat buruk yang tak bisa dijelaskan. Ia menoleh ke belakang, memperhatikan Kael, Mirka, dan Aerith. Ada sesuatu yang aneh pada Aerith, wanita misterius yang baru bergabung dengan mereka beberapa hari lalu.

“Aerith, apa kau pernah melewati jalur ini sebelumnya?” tanya Ravan, mencoba menyelidiki tanpa terlalu mencurigakan.

Aerith menatapnya dengan senyuman tipis, tetapi ada kilatan tak nyaman di matanya. “Tidak, aku hanya mengikuti petunjuk kalian. Kenapa? Apa kau merasa ada sesuatu yang salah?”

Ravan menggelengkan kepala, tetapi matanya tetap tajam mengawasi. “Tidak ada. Hanya saja, jalur ini terasa terlalu sunyi untuk tempat yang penuh bahaya.”

Kael, yang selalu menjadi pendamai di antara mereka, menyela, “Kita semua tegang. Kita sudah terlalu lama dalam perjalanan ini, dan kurang istirahat. Mungkin setelah mencapai Benteng Kelabu, kita bisa mencari tempat untuk beristirahat.”

Namun, Ravan tidak bisa menghilangkan perasaan gelisah yang semakin menguat.

Tanda-tanda Pengkhianatan

Ketika mereka tiba di tepi hutan, mereka menemukan jalan setapak yang mengarah ke lembah di mana Benteng Kelabu berdiri megah di atas bukit. Namun, jalur itu dipenuhi jebakan yang dibuat oleh pasukan Seraphos. Kael dengan cermat memeriksa setiap langkah, menggunakan pengalamannya sebagai pemburu untuk menghindari bahaya.

“Ada sesuatu yang salah,” bisik Mirka, berjalan di samping Ravan. “Aku merasa seperti kita sedang dijebak.”

“Ya,” jawab Ravan, matanya menyapu sekeliling. “Tapi jebakan ini terlalu sederhana. Mereka seolah ingin kita menemukan jalannya dengan mudah.”

Di tengah kecurigaan itu, Aerith tiba-tiba melangkah maju. “Kita tidak punya waktu untuk meragukan segalanya,” katanya dengan nada mendesak. “Jika kita terlalu lama, Seraphos akan semakin kuat. Kita harus bergerak cepat.”

Namun, justru sikap terburu-buru Aerith semakin menyalakan alarm di kepala Ravan. Ia mengangkat tangannya, menghentikan langkah kelompok itu. “Tunggu,” katanya tegas. “Aerith, bagaimana kau tahu bahwa Seraphos semakin kuat? Aku tidak ingat kita membahas hal itu sebelumnya.”

Aerith terdiam, ekspresinya berubah dingin. “Aku hanya menebak,” jawabnya cepat.

Tapi Ravan tidak mudah diyakinkan. “Kau terlalu banyak tahu untuk seseorang yang baru bergabung dengan kita. Aku ingin jawaban sekarang, Aerith. Apa kau benar-benar di pihak kami?”

Kael dan Mirka menatap Aerith dengan curiga, sementara Aerith perlahan mundur, tangannya meraih sesuatu di balik jubahnya.

“Jangan memaksaku, Ravan,” kata Aerith dengan suara rendah, hampir seperti ancaman.

Namun, sebelum Ravan bisa merespons, Aerith mengayunkan tangannya, melemparkan bola api ke arah mereka. Kelompok itu terpencar, menghindari serangan mendadak itu.

“Aku sudah cukup bermain peran,” kata Aerith dengan nada mengejek. “Kalian benar-benar mudah dibodohi. Seraphos tahu kalian akan sampai di sini, dan aku hanya perlu memastikan kalian berjalan ke perangkapnya.”

Kehancuran dalam Kepercayaan

Pertarungan pun pecah di tengah lembah itu. Aerith ternyata bukan sekadar mata-mata biasa. Ia adalah penyihir tingkat tinggi yang dipenuhi dengan energi gelap dari Seraphos. Bola-bola api, ledakan angin, dan bayangan kegelapan menyerang kelompok Ravan tanpa henti.

Kael mencoba menyerang Aerith dari samping, tetapi sihir pelindungnya terlalu kuat. Mirka memanah dari kejauhan, namun setiap panahnya hanya melewati tubuh Aerith yang kini tampak seperti bayangan.

Ravan, dengan Lumen Arcanum di tangannya, maju ke depan, menghadapi Aerith langsung. “Kau mengkhianati kami!” teriaknya dengan amarah.

Aerith tertawa sinis. “Kepercayaan adalah kelemahanmu, Ravan. Dan itu yang akan menghancurkanmu.”

Pertarungan itu berlangsung sengit, tetapi Aerith tampak terlalu kuat untuk mereka bertiga. Ketika situasi semakin genting, Aerith melepaskan ledakan energi besar yang membuat mereka terhempas jauh.

Dalam detik-detik terakhir sebelum Aerith melarikan diri, ia meninggalkan sebuah pesan. “Kalian tidak akan pernah bisa menang. Seraphos telah mengetahui setiap langkah kalian. Dan sebentar lagi, dia akan menghancurkan dunia ini sepenuhnya.”

Setelah Aerith menghilang, Ravan berusaha bangkit dengan napas terengah-engah. Amarah dan rasa sakit bercampur menjadi satu. “Aku seharusnya mendengar instingku,” katanya dengan suara penuh penyesalan.

Kael memegang bahunya. “Kita semua salah. Tapi kita tidak bisa membiarkan pengkhianatan ini menghentikan kita. Masih ada harapan, Ravan. Selama kita terus berjuang.”

Mirka mengangguk, meskipun matanya masih menyiratkan ketakutan dan keraguan. “Tapi sekarang kita tahu satu hal: musuh ada di mana-mana, bahkan di antara kita. Kita tidak bisa lagi membiarkan siapa pun masuk ke lingkaran ini tanpa kehati-hatian.”

Ravan mengepalkan tangan, matanya penuh dengan tekad yang lebih kuat dari sebelumnya. “Pengkhianatan ini hanya akan membuatku semakin yakin. Seraphos akan membayar atas semua ini—dengan nyawanya.”

Di bawah langit malam yang dipenuhi bintang, mereka melanjutkan perjalanan dengan hati yang lebih waspada, tetapi juga lebih kuat. Meski dihancurkan oleh pengkhianatan, mereka tahu bahwa perjuangan mereka belum berakhir. Namun, bayang-bayang kegelapan semakin mendekat, dan perang besar kini tak terhindarkan.*

Bab 9: Pertempuran Dalam Gelap

Langit malam di atas Lembah Kelabu mendung, menghalangi sinar bulan yang seharusnya menerangi perjalanan Ravan dan kelompoknya. Udara terasa berat, seolah-olah alam pun memahami bahaya yang sedang mereka hadapi. Di kejauhan, Benteng Kelabu berdiri megah, namun kelam, seperti simbol kegelapan yang melingkupi dunia mereka.

Ravan menggenggam erat Lumen Arcanum, pedang bercahaya biru yang tampaknya satu-satunya hal yang memberikan mereka sedikit harapan di tengah kegelapan ini. Namun, harapan itu terasa rapuh, terutama setelah pengkhianatan Aerith yang mengguncang kepercayaan mereka satu sama lain.

“Kita harus berhenti di sini,” kata Kael, menunjuk sebuah gua kecil di sisi tebing. “Kegelapan ini bukan hanya karena malam. Aku bisa merasakan energi gelap di udara. Kita perlu strategi sebelum melangkah lebih jauh.”

Mirka, yang duduk di atas batu sambil memeriksa busur dan anak panahnya, mengangguk setuju. “Energi ini terasa seperti jebakan. Aku tidak suka ini.”

Ravan tetap berdiri, matanya terpaku pada Benteng Kelabu di kejauhan. “Jebakan atau tidak, kita tidak punya pilihan. Semakin lama kita menunggu, semakin besar peluang Seraphos memperkuat posisinya.”

Kael menatap Ravan dengan penuh kekhawatiran. “Aku tahu kau ingin segera mengakhirinya, tapi kita tidak bisa menyerang tanpa rencana. Aerith sudah menghancurkan sebagian kekuatan kita dengan pengkhianatannya. Kita harus berhati-hati.”

Mirka mengangguk. “Kael benar. Lagipula, kita tidak tahu apa yang menunggu kita di dalam benteng itu.”

Ravan akhirnya mengalah dan duduk di dekat mereka. Namun, dalam hatinya, ia merasa bahwa waktu mereka hampir habis. Seraphos bukan hanya musuh biasa; ia adalah ancaman yang mampu menghancurkan seluruh dunia jika tidak dihentikan.

Malam yang Berbahaya

Setelah beberapa saat, kelompok itu akhirnya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Mereka berjalan dalam diam, hanya diiringi suara langkah kaki mereka di atas tanah berbatu. Ketika mereka semakin dekat ke benteng, kabut gelap mulai menyelimuti mereka.

“Apa ini?” tanya Mirka, mencoba menyibak kabut dengan tangannya. Namun, kabut itu terasa dingin dan menyengat, seolah-olah memiliki nyawa sendiri.

“Itu adalah sihir gelap,” kata Kael sambil menarik pisau peraknya. “Kita harus tetap bersama. Kabut ini bisa membuat kita terpisah jika tidak hati-hati.”

Namun, kabut itu ternyata lebih berbahaya daripada yang mereka perkirakan. Tiba-tiba, bayangan-bayangan mulai muncul dari kabut, membentuk sosok-sosok menyeramkan dengan mata merah menyala.

“Persiapkan diri kalian!” teriak Ravan, mengangkat Lumen Arcanum.

Pertempuran pun dimulai. Sosok-sosok bayangan itu menyerang dengan kecepatan luar biasa, memaksa Ravan dan yang lainnya untuk bertarung di tengah kegelapan yang hampir total. Pedang Ravan bersinar terang, menebas bayangan-bayangan itu satu per satu. Mirka dengan cekatan memanah dari jarak jauh, sementara Kael menggunakan pisau peraknya untuk melindungi mereka dari serangan mendadak.

Namun, jumlah bayangan itu tampaknya tidak ada habisnya. Setiap kali mereka menghancurkan satu, dua lagi muncul dari kabut.

“Ini tidak akan pernah berakhir jika kita terus di sini!” teriak Mirka, paniknya semakin terlihat.

Kael mengangguk. “Kita harus keluar dari kabut ini sebelum kita kehabisan energi.”

Ravan berpikir cepat. Ia menyadari bahwa satu-satunya cara untuk menghentikan serangan ini adalah dengan menghancurkan sumber sihirnya. “Ikuti aku!” teriaknya, melangkah maju dengan Lumen Arcanum sebagai penuntun.

Menuju Pusat Kegelapan

Mereka akhirnya menemukan sebuah altar hitam di tengah kabut, dikelilingi oleh simbol-simbol kuno yang memancarkan cahaya ungu redup. Ravan menyadari bahwa itulah sumber sihir gelap yang menciptakan kabut dan bayangan-bayangan itu.

“Mirka, Kael, lindungi aku!” kata Ravan sambil maju mendekati altar.

Namun, altar itu tidak membiarkan dirinya dihancurkan begitu saja. Dari dalamnya, muncul sosok besar berbentuk manusia dengan tanduk hitam dan sayap kelelawar. Suaranya bergema seperti ribuan bisikan kegelapan.

“Beraninya kalian mencoba melawan kehendak Seraphos!” teriak sosok itu.

Pertarungan kembali pecah. Ravan menghadapi makhluk itu secara langsung, sementara Kael dan Mirka bertarung melawan bayangan-bayangan yang terus muncul. Makhluk itu jauh lebih kuat daripada apa pun yang pernah mereka hadapi sebelumnya, dengan serangan yang dapat menghancurkan tanah di bawah mereka.

Namun, Ravan tidak menyerah. Dengan tekad yang membara, ia mengangkat Lumen Arcanum dan memusatkan seluruh kekuatannya pada satu serangan. “Untuk dunia yang lebih baik!” teriaknya, menebaskan pedangnya ke arah makhluk itu.

Cahaya biru yang keluar dari pedang itu begitu terang, membutakan semua orang di sekitarnya. Ketika cahaya itu mereda, makhluk tersebut hancur menjadi abu, dan altar hitam itu retak, menghancurkan kabut dan bayangan yang melingkupi mereka.

Setelah Pertempuran

Kelompok itu terdiam di tengah keheningan yang tiba-tiba. Mereka semua kelelahan, namun lega karena telah selamat dari pertempuran itu.

“Kita berhasil,” kata Mirka dengan suara lemah, namun penuh kemenangan.

Kael mengangguk, meskipun wajahnya masih menyiratkan kekhawatiran. “Ini baru awal. Seraphos pasti tahu kita ada di sini sekarang.”

Ravan menatap Benteng Kelabu yang kini terlihat lebih jelas di kejauhan. “Kita sudah terlalu jauh untuk mundur. Tidak peduli apa pun yang menunggu kita di sana, kita harus mengakhirinya.”

Mereka pun melanjutkan perjalanan, dengan luka dan kelelahan yang membekas, namun dengan tekad yang lebih kuat dari sebelumnya. Perang besar masih menanti mereka, dan mereka tahu bahwa apa yang telah mereka lalui barulah awal dari kegelapan yang sebenarnya.*

Bab 10: Pertempuran Terakhir

Benteng Kelabu berdiri megah di hadapan Ravan dan kelompoknya, dikelilingi oleh jurang dalam yang tampak tak berdasar. Langit di atas benteng berputar, dipenuhi awan hitam yang berkilauan oleh petir merah darah. Di balik pintu-pintu besarnya, Seraphos menunggu, menyiapkan akhir dari pertarungan yang sudah lama dinantikan.

Ravan menggenggam erat Lumen Arcanum, pedang sihir yang kini berpendar lebih terang seiring semakin dekatnya mereka dengan sumber kegelapan. Di belakangnya, Mirka memeriksa anak panah terakhirnya, sementara Kael memastikan mantra pelindungnya aktif. Mereka semua tahu, ini adalah akhir. Tidak ada jalan kembali.

“Kita harus masuk bersama. Jangan terpisah, apa pun yang terjadi,” kata Ravan, suaranya tegas namun bergetar oleh beban tanggung jawab.

Mirka mengangguk, meskipun matanya menunjukkan ketegangan. “Aku tidak suka ini, Ravan. Tempat ini terasa seperti jebakan yang hidup.”

“Tidak ada pilihan lain. Dunia kita bergantung pada ini,” jawab Kael, suaranya lembut tetapi penuh keyakinan. “Jika kita tidak mengalahkan Seraphos di sini, semuanya akan berakhir.”

Pintu Kegelapan

Ketika mereka mendorong pintu besar itu terbuka, suara deritnya menggema seperti raungan makhluk buas. Udara di dalam benteng terasa lebih berat, seolah-olah setiap napas yang mereka ambil mencuri kekuatan mereka. Aula utama dipenuhi oleh patung-patung prajurit gelap dengan mata yang bersinar merah. Di tengah ruangan itu, Seraphos berdiri, mengenakan jubah hitam panjang yang bergerak seperti asap. Matanya bercahaya ungu, penuh kebencian.

“Ah, akhirnya kalian sampai juga,” kata Seraphos, suaranya seperti racun yang merembes ke dalam pikiran mereka. “Kalian benar-benar berani, tapi bodoh. Kalian pikir kalian bisa menghentikan kekuatan yang sudah menguasai dunia ini selama ribuan tahun?”

“Cukup bicara!” teriak Ravan, mengangkat pedangnya. “Ini berakhir di sini, Seraphos!”

Seraphos tertawa, suara tawanya menggema hingga membuat dinding bergetar. “Berakhir? Tidak, ini baru permulaan.”

Dengan satu gerakan tangannya, lantai di bawah mereka retak, dan bayangan hitam merayap keluar, membentuk makhluk-makhluk gelap yang menyerang mereka tanpa ampun.

Pertarungan Melawan Kegelapan

Pertarungan pecah dengan cepat. Ravan menghadapi Seraphos secara langsung, pedangnya memancarkan kilatan cahaya biru setiap kali bertabrakan dengan sihir gelap musuhnya. Sementara itu, Mirka melompat ke atas pilar, menembakkan panah yang bercahaya untuk menghentikan makhluk-makhluk bayangan yang menyerang Kael.

“Mirka, belakangmu!” teriak Kael sambil melemparkan mantra pelindung ke arah Mirka yang hampir diserang dari belakang.

Mirka berputar dan melepaskan dua anak panah sekaligus, menghancurkan makhluk itu sebelum sempat menyentuhnya. “Terima kasih, Kael! Aku hampir habis!”

Di tengah kekacauan itu, Ravan mulai terdesak. Seraphos terlalu kuat, setiap serangan yang diluncurkan Ravan tampaknya hanya melukai permukaan kekuatannya.

“Kau pikir pedangmu yang menyedihkan itu bisa melukaiku?” ejek Seraphos, melemparkan gelombang energi gelap yang membuat Ravan terlempar ke dinding.

Ravan terbatuk, darah mengalir dari sudut bibirnya. Namun, ia berdiri lagi, menggenggam pedangnya lebih erat. “Aku tidak akan menyerah! Dunia ini pantas untuk diperjuangkan!”

Cahaya Harapan

Kael menyadari bahwa kekuatan Ravan saja tidak cukup. Ia mulai merapalkan mantra yang selama ini ia simpan, sebuah sihir kuno yang bisa mengikat kekuatan Seraphos, tetapi dengan risiko besar.

“Ravan! Aku butuh waktu untuk menyelesaikan ini! Tahan dia sekuat yang kau bisa!” teriak Kael.

Ravan mengangguk, lalu kembali menyerang dengan seluruh kekuatannya, memberikan Kael waktu yang ia butuhkan. Mirka juga bergabung, melompat dari satu pilar ke pilar lain, menembakkan panah sihir untuk mengalihkan perhatian Seraphos.

Kael berdiri di tengah ruangan, memusatkan energi sihirnya ke dalam lingkaran magis yang ia ciptakan. “Roh dunia, dengarkan panggilanku! Kurung kegelapan ini dalam rantai cahaya!”

Seraphos menyadari apa yang Kael lakukan. Dengan amarah yang memuncak, ia mengarahkan serangan langsung ke arah Kael, namun Ravan melompat ke depannya, menangkis serangan itu dengan Lumen Arcanum. Ledakan besar terjadi, melemparkan keduanya ke sisi lain ruangan.

“Kau akan membayar untuk itu, anak kecil!” teriak Seraphos, kini berfokus pada Ravan.

Pengorbanan dan Kemenangan

Ketika mantra Kael mencapai puncaknya, cahaya terang meledak dari lingkaran sihirnya, menutupi seluruh ruangan. Seraphos berteriak, tubuhnya mulai terurai oleh cahaya itu.

“Tidak! Ini tidak mungkin! Aku adalah kekuatan abadi!” raung Seraphos, suaranya memudar bersama tubuhnya yang hancur menjadi abu.

Namun, mantra itu memiliki harga. Kael jatuh ke tanah, kelelahan luar biasa menyerang tubuhnya. Mirka berlari ke arahnya, memeriksa kondisinya.

“Kael, kau baik-baik saja?” tanya Mirka, air mata mengalir di wajahnya.

Kael tersenyum lemah. “Aku… hanya butuh istirahat sebentar. Kita berhasil, kan?”

Ravan berdiri di tengah ruangan, memandang abu Seraphos yang tersebar di lantai. “Ya, Kael. Kita berhasil. Dunia ini selamat.”

Akhir dari Kegelapan

Ketika mereka melangkah keluar dari benteng, langit mulai cerah, matahari muncul untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun tertutup oleh kegelapan. Dunia telah diselamatkan, meskipun dengan pengorbanan besar.

Ravan, Mirka, dan Kael berdiri di puncak bukit, memandang ke arah horizon yang kini bersinar terang. Mereka tahu bahwa tugas mereka belum selesai. Dunia yang baru membutuhkan penjaga, dan mereka siap untuk menghadapi apa pun yang datang.

“Ini baru awal,” kata Ravan, menggenggam pedangnya. “Tapi setidaknya, kita telah memberikan dunia ini kesempatan kedua.”*

Bab 11: Kebangkitan yang Sejati

Udara pagi terasa berbeda di reruntuhan Benteng Kelabu. Matahari yang baru terbit memancarkan cahaya keemasan yang menembus kabut tipis. Setelah kekalahan Seraphos, dunia mulai perlahan pulih, tetapi bagi Ravan, Mirka, dan Kael, kemenangan mereka terasa belum sepenuhnya tuntas. Ada sesuatu yang menggantung di udara, sebuah pertanda bahwa perjuangan mereka belum selesai.

Ravan berdiri di tepi jurang, pandangannya tertuju ke cakrawala. Pedangnya, Lumen Arcanum, kini tampak lebih terang, namun terasa lebih berat dari sebelumnya. Dalam hatinya, ia tahu bahwa sesuatu yang besar sedang menunggu. Suara langkah kaki Mirka membuyarkan lamunannya.

“Ravan, kau baik-baik saja?” tanya Mirka, mendekat dengan ekspresi khawatir.

Ravan mengangguk, meskipun wajahnya menunjukkan kelelahan. “Aku hanya merasa… ini belum berakhir. Seolah-olah Seraphos meninggalkan sesuatu sebelum dia hancur.”

Mirka menghela napas, memandang ke arah Kael yang duduk bersila di dekat lingkaran sihirnya. Wajah Kael masih pucat, tubuhnya gemetar akibat energi besar yang ia keluarkan saat mengikat kekuatan kegelapan Seraphos. Meskipun Kael bertahan, kekuatan sihirnya belum sepenuhnya pulih.

“Aku merasakan hal yang sama,” kata Mirka pelan. “Ada energi di sekitar kita. Tidak seperti kegelapan Seraphos, tapi… sesuatu yang lebih tua.”

Suara dari Masa Lalu

Kael tiba-tiba membuka matanya, napasnya terengah-engah. Ia berdiri dengan tergesa-gesa, memandang kedua rekannya dengan mata yang penuh kegelisahan. “Aku melihatnya. Aku melihat sesuatu.”

Ravan dan Mirka bergegas mendekatinya. “Apa yang kau lihat, Kael?” tanya Ravan.

“Sebuah pintu,” jawab Kael dengan nada serius. “Pintu besar yang tersembunyi di bawah benteng ini. Di baliknya, ada sesuatu… sesuatu yang lebih kuat dari Seraphos.”

“Kau yakin?” Mirka menatapnya ragu. “Bukankah kita sudah mengalahkan sumber kegelapan?”

Kael menggeleng. “Tidak. Seraphos hanyalah penjaga. Kegelapan yang sebenarnya masih tersembunyi. Dan aku yakin itulah yang menyebabkan dunia ini tetap tidak seimbang.”

Ravan mengepalkan tangan. Ia tahu bahwa mereka tidak bisa berhenti sekarang. Jika ada ancaman yang lebih besar, maka tugas mereka adalah menghentikannya. “Kalau begitu, kita harus menemukan pintu itu.”

Menuju Kedalaman

Mereka bertiga memasuki kembali benteng, kali ini menuju ke lorong-lorong gelap yang belum mereka jelajahi sebelumnya. Udara di dalam semakin dingin, dan setiap langkah terasa seperti membawa mereka semakin jauh dari dunia di atas. Dinding batu yang mereka lalui dipenuhi ukiran kuno, menceritakan kisah tentang pertarungan antara cahaya dan kegelapan sejak zaman dahulu kala.

Kael memimpin dengan tongkat sihirnya yang bersinar redup, sementara Mirka berjaga di belakang dengan busurnya. Mereka berjalan dalam keheningan, hanya suara langkah kaki mereka yang menggema di lorong panjang itu.

“Tunggu,” kata Kael tiba-tiba, menghentikan langkah mereka. Di depan mereka terdapat pintu besar yang terbuat dari logam hitam, dihiasi simbol-simbol bercahaya yang tampak bergerak seperti hidup. Pintu itu memancarkan aura kuno yang membuat bulu kuduk mereka meremang.

“Inilah pintunya,” bisik Kael.

Membuka Pintu Kuno

Ravan melangkah maju, meletakkan tangannya pada pintu tersebut. Begitu ia menyentuhnya, pintu itu bergetar, seolah-olah merespons keberadaan Lumen Arcanum. Cahaya biru dari pedangnya berpadu dengan simbol-simbol di pintu, menciptakan pola rumit yang perlahan membuka kunci pintu itu.

Ketika pintu terbuka, mereka disambut oleh pemandangan yang tak terduga. Di dalam ruangan besar itu, ada sebuah altar melingkar yang dikelilingi oleh kristal bercahaya. Di tengah altar, terdapat bola cahaya besar yang memancarkan energi luar biasa. Namun, energi itu terasa campuran—ada cahaya yang hangat, tetapi juga bayangan gelap yang berputar di sekitarnya.

“Ini… apa?” bisik Mirka, matanya membelalak melihat keindahan sekaligus ancaman dari bola cahaya itu.

Kael mendekati altar dengan hati-hati. “Ini adalah inti keseimbangan dunia. Tapi lihatlah, ada sesuatu yang merusaknya. Bayangan itu… mungkin berasal dari kekuatan yang tersisa dari Seraphos.”

Ravan merasakan pedangnya bergetar, seolah-olah merespons bola cahaya itu. “Apa yang harus kita lakukan, Kael? Bagaimana kita mengembalikan keseimbangan?”

Kael menggeleng, wajahnya penuh kebingungan. “Aku tidak tahu. Tapi satu hal yang pasti, kita harus membersihkan bayangan itu.”

Kebangkitan yang Sejati

Saat mereka mendekati bola cahaya, bayangan gelap di sekitarnya mulai bergerak, membentuk sosok yang tinggi dan mengerikan. Sosok itu tidak memiliki wajah, hanya mata merah menyala yang memandang mereka dengan penuh kebencian.

“Kalian berani menyentuh inti dunia?” Suara sosok itu menggema, membuat ruangan bergetar. “Aku adalah penjaga terakhir. Jika kalian ingin mengembalikan keseimbangan, maka buktikan kekuatan kalian.”

Ravan mengangkat pedangnya, bersiap menghadapi ancaman itu. “Jika itu yang diperlukan untuk menyelamatkan dunia ini, maka kami tidak akan mundur!”

Pertarungan pun dimulai. Sosok bayangan itu bergerak dengan kecepatan luar biasa, menyerang mereka dengan gelombang energi kegelapan. Mirka melompat ke atas pilar, melepaskan tembakan panah sihir untuk mengalihkan perhatian musuh, sementara Kael melindungi Ravan dengan mantra perisai.

Ravan maju dengan keberanian yang luar biasa, menebaskan pedangnya ke arah sosok bayangan itu. Setiap tebasan menciptakan percikan cahaya yang perlahan mengurangi kekuatan bayangan tersebut. Namun, bayangan itu semakin kuat, menyerang balik dengan kekuatan yang membuat mereka kewalahan.

Pengorbanan dan Harapan Baru

Di tengah pertarungan, Kael menyadari bahwa hanya ada satu cara untuk mengalahkan bayangan itu: menggabungkan energi Lumen Arcanum dengan sihir inti dunia. Tapi itu berarti seseorang harus mengorbankan dirinya untuk menjadi perantara.

“Ravan!” teriak Kael. “Aku akan menggabungkan sihirku dengan inti dunia! Kau harus menebaskan pedangmu untuk menghancurkan bayangan itu selamanya!”

“Tapi, Kael—”

“Tidak ada waktu untuk ragu!” Kael menatapnya dengan tegas. “Aku percaya padamu!”

Dengan berat hati, Ravan mengangguk. Kael mulai merapalkan mantra kuno, tubuhnya diselimuti cahaya yang semakin terang. Ketika sihirnya mencapai puncaknya, Ravan menyerang dengan seluruh kekuatannya, menebaskan pedangnya ke arah inti cahaya.

Ledakan besar terjadi, mengisi ruangan dengan cahaya yang menyilaukan. Saat debu mereda, bayangan itu lenyap, dan bola cahaya di altar bersinar terang tanpa gangguan. Dunia akhirnya kembali seimbang.

Kael terbaring di lantai, tersenyum lemah. “Kita berhasil…” bisiknya sebelum kehilangan kesadaran.

Awal Baru

Ketika mereka keluar dari benteng, dunia di sekitar mereka telah berubah. Langit biru yang cerah dan angin sejuk menyambut mereka, membawa harapan baru. Ravan menatap pedangnya yang kini bersinar dengan kehangatan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Mirka memandang Kael yang masih terbaring lemah, tetapi dengan senyum penuh keyakinan.

“Kita sudah melalui banyak hal,” kata Mirka, memandang ke arah Ravan. “Tapi ini adalah kebangkitan yang sejati, untuk dunia… dan untuk kita.”

Ravan mengangguk. “Ini bukan akhir. Ini adalah awal dari sesuatu yang baru.”

Epilog: Cahaya Baru untuk Dunia yang Terlupakan

Dunia yang terlupakan itu kini bangkit dari kegelapan. Setiap langkah yang diambil oleh Ravan, Mirka, dan Kael mengarah ke sebuah dunia yang lebih cerah, yang sebelumnya dipenuhi bayang-bayang dan ketakutan. Mereka telah melalui perjalanan panjang, menghadapi banyak rintangan dan pengorbanan, tetapi kini, ketika semua telah usai, mereka tahu bahwa tugas mereka tidak berakhir hanya dengan mengalahkan kegelapan yang mengancam. Dunia ini, yang pernah terperangkap dalam keputusasaan, kini membutuhkan mereka lebih dari sebelumnya.

Benteng Kelabu, yang sebelumnya menjadi saksi bisu kehancuran dan kehampaan, kini berdiri tegak sebagai simbol kebangkitan. Di sekitarnya, pohon-pohon yang telah mati perlahan mulai tumbuh kembali, dan bunga-bunga mulai bermekaran, memberikan warna yang tak pernah ada sebelumnya. Angin sepoi-sepoi yang dulu terasa berat dan penuh dengan aura kematian kini berhembus ringan, membawa aroma kehidupan baru. Dunia yang pernah terlupakan ini akhirnya menemukan jalannya kembali ke cahaya.

Ravan berdiri di tengah reruntuhan benteng, memandangi cakrawala yang perlahan berubah dari kelabu menjadi terang. Cahaya matahari yang menyinari dunia ini terasa berbeda, seolah-olah lebih hangat, lebih penuh harapan. Pedang Lumen Arcanum di tangannya bersinar terang, sebuah simbol dari perjuangan yang telah mereka lalui, namun juga simbol dari kekuatan yang masih tersisa untuk menjaga kedamaian ini. Kekuatan yang bukan hanya berasal dari sihir, tetapi juga dari tekad dan harapan.

“Ravan,” suara Mirka mengganggu lamunannya. Dia berdiri di sampingnya, memandang ke arah yang sama. “Kita berhasil. Dunia ini kembali ke jalannya.”

Ravan tersenyum tipis, namun ada kelelahan yang terlihat di matanya. “Kita berhasil, tetapi perjalanan ini belum selesai. Kita telah membuka jalan bagi dunia ini untuk kembali hidup, tetapi masih banyak yang harus dilakukan.”

Mirka mengangguk, memahami apa yang dimaksud Ravan. “Dunia ini terlupakan begitu lama, banyak yang harus kita pulihkan. Kota-kota, desa-desa, dan bahkan pengetahuan yang hilang selama berabad-abad. Semua itu perlu dipulihkan.”

Kael, yang sejak tadi hanya mengamati, akhirnya berbicara. Suaranya lemah, namun penuh kebijaksanaan. “Tidak hanya itu. Dunia ini juga membutuhkan pemimpin yang baru. Pemimpin yang tidak hanya berkuasa, tetapi yang bisa membawa harapan. Kekuatan kita hanya akan bertahan jika kita bersatu, dan jika kita mengingat apa yang telah kita perjuangkan.”

Ravan menatap Kael dengan serius. “Kita telah kehilangan banyak. Banyak yang tidak akan pernah kembali. Tapi kita juga telah memperoleh banyak hal, hal-hal yang bisa kita gunakan untuk membangun masa depan.”

Mereka bertiga berdiri dalam diam sejenak, membiarkan angin yang lembut berhembus mengelilingi mereka. Dunia yang terlupakan ini akhirnya mendapatkan kesempatan untuk lahir kembali, namun ini bukanlah sebuah tugas yang mudah. Ravan, Mirka, dan Kael tahu bahwa mereka harus berjuang lebih keras untuk mempertahankan kedamaian ini.

Pemulihan Dunia yang Terlupakan

Beberapa bulan setelah pertempuran terakhir itu, mereka melihat perubahan yang nyata. Kota-kota yang dulu runtuh kini mulai dibangun kembali, dengan bantuan para pengrajin dan ilmuwan yang menemukan kembali pengetahuan lama yang terkubur di bawah debu waktu. Orang-orang mulai kembali ke desa mereka, menghidupkan kembali tradisi dan cara hidup yang telah lama terlupakan. Tanah yang dulunya kering kini mulai subur kembali, berkat upaya mereka untuk mengembalikan keseimbangan alam.

Namun, mereka tidak hanya membangun fisik dunia ini. Ravan, Mirka, dan Kael juga berusaha membangun kembali kepercayaan yang telah hancur. Mereka mengadakan pertemuan dengan berbagai pemimpin dari suku dan kerajaan yang berbeda, mengajak mereka untuk bersatu demi masa depan yang lebih baik. Mereka tidak memimpin dengan kekuasaan atau ketakutan, tetapi dengan kebijaksanaan dan harapan. Rakyat mereka melihat hal ini, dan perlahan-lahan mulai percaya bahwa dunia ini dapat diperbaiki.

Ravan, yang dulu dikenal sebagai seorang pejuang, kini berperan sebagai pemimpin yang bijak. Ia memimpin dengan hati, mengingatkan semua orang bahwa kekuatan sejati tidak hanya datang dari pedang, tetapi juga dari keberanian untuk memilih jalan yang benar. Mirka, yang dahulu seorang pemburu yang terlatih, kini menjadi jembatan antara berbagai suku dan ras, memastikan bahwa komunikasi tetap terjalin di seluruh dunia yang baru ini. Kael, dengan pengetahuannya tentang sihir, membimbing para penyihir muda untuk menggunakan kekuatan mereka demi kebaikan, bukan untuk kepentingan pribadi atau kedengkian.

Kehidupan Baru, Tantangan Baru

Meski dunia ini kini hidup kembali, tantangan yang dihadapi mereka tidak sedikit. Masih ada banyak misteri yang harus dipecahkan, dan banyak tempat yang belum ditemukan. Ravan sering kali melamun di malam hari, memikirkan hal-hal yang mungkin tersembunyi di balik dunia yang kini lebih terbuka. Adakah kekuatan lain yang bisa mengancam mereka di masa depan? Atau, apakah dunia yang baru ini akan kembali terperosok ke dalam kegelapan jika mereka lengah?

“Apakah kita benar-benar aman, Kael?” tanya Ravan suatu malam, saat mereka duduk di dekat api unggun, memandangi bintang-bintang di langit. “Apakah kita bisa menjaga dunia ini dari kegelapan yang pernah datang?”

Kael memandangnya dengan penuh arti. “Keamanan sejati tidak datang hanya dengan mengalahkan musuh. Keamanan datang dari kesadaran bahwa kita harus selalu berjaga. Dunia ini memang telah terlahir kembali, tetapi kita harus terus merawatnya.”

Mirka tersenyum lembut. “Dan kita akan terus merawatnya. Kita akan memastikan bahwa dunia ini tidak akan pernah terlupakan lagi.”

Cahaya Baru untuk Dunia yang Terlupakan

Dunia yang pernah terlupakan kini bersinar dengan harapan baru. Dari reruntuhan dan kegelapan, mereka berhasil menciptakan dunia yang lebih baik, di mana cahaya mengalahkan bayangan, dan kegelapan tak lagi mengancam. Di atas semua itu, mereka tahu bahwa kebangkitan dunia ini bukan hanya karena sihir atau kekuatan mereka, tetapi karena pilihan mereka untuk tidak menyerah.

Mereka berdiri bersama, menatap dunia yang kini lebih hidup. Dunia yang tidak hanya terlahir kembali, tetapi yang juga dihiasi dengan harapan dan kebijaksanaan yang akan membimbingnya selama berabad-abad yang akan datang.

Dan di balik setiap langkah yang mereka ambil, mereka tahu satu hal dengan pasti: Dunia yang terlupakan ini, yang pernah dilupakan oleh sejarah, kini telah menemukan jalannya menuju masa depan yang lebih cerah. Dunia ini akan tetap mengingat mereka—sebagai cahaya yang menyinari jalan, bahkan di saat-saat tergelap sekalipun.***

———-THE END———

 

Source: Jasmine Malika
Tags: #fantasi#Kehancuran#KekuatanMagis#KekuatanMisterius#Perjalanandendam
Previous Post

PENCARIAN TAKDIR YANG TERLARANG

Next Post

KERAJAAN ARAHIA

Next Post
KERAJAAN ARAHIA

KERAJAAN ARAHIA

RAHASIA TAKDIR

RAHASIA TAKDIR

KUTUKAN DEWA MALAM

KUTUKAN DEWA MALAM

MOVIE REVIEW

No Content Available

RECENT MOVIE

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025

Tentang Kami

NovelStory.id adalah platform media online yang menghadirkan beragam cerita menarik seperti dalam novel dan drama, dirancang untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan yang berkualitas dan penuh imajinasi. Kami percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh hati, menginspirasi, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh keajaiban.

Recent News

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025

Follow Us

  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 https://novelstory.id

No Result
View All Result
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah

© 2025 https://novelstory.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In