• Latest
  • Trending
  • All
  • Movie Review
  • Box Office
  • Trailer
  • Action
  • Romantic
  • Comedy
  • Horror
  • Serial Movie
  • Genre
JODOH TAK KENAL LOKASI

JODOH TAK KENAL LOKASI

February 4, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025
JEJAK DI PINTU TERLARANG

JEJAK DI PINTU TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

May 17, 2025
TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

May 17, 2025
PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

May 12, 2025
HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

May 12, 2025
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

May 10, 2025
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

LUKISAN YANG MENANGIS

May 10, 2025
  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
No Result
View All Result
Novel Story
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah
Novel Story
JODOH TAK KENAL LOKASI

JODOH TAK KENAL LOKASI

by MABUMI
February 4, 2025
in Komedi, Romantic
Reading Time: 16 mins read

Bab 1: Pertemuan Tak Sengaja

Rani membuka laptopnya di sore hari yang lengang, sambil menyeruput teh hijau kesukaannya. Hari itu, kantor sedang tidak begitu sibuk—satu-satunya hal yang masih menunggu adalah laporan bulanan yang harus segera selesai. Namun, hari-hari seperti ini selalu membuatnya merasa terjebak dalam rutinitas yang monoton. Ketika jemarinya mengetikkan kata “resep sambel terasi” di mesin pencari, matanya tak sengaja melirik ke sebuah forum kuliner yang muncul di hasil pencarian.

“Ada yang punya resep sambel terasi enak, nggak?” tulisnya dengan harapan menemukan jawaban praktis. Rani, seperti biasa, menyukai tantangan memasak, meski di luar kantor dia lebih sering menjadi konsumen ketimbang koki handal.

Namun, yang menarik perhatian Rani bukanlah jawaban langsung yang ia harapkan, melainkan sebuah komentar yang terasa lebih lucu dari pada sekadar resep.

“Kalau sambel terasi, sih, gampang. Tapi, jangan lupakan satu bahan penting: ‘cinta’. Tanpa cinta, rasanya hambar, loh!” tulis komentar itu, disertai emoticon tertawa.

Rani tertegun sejenak. Tentu saja itu hanya sebuah komentar iseng, tapi gaya penulisannya yang ringan dan jenaka membuatnya tersenyum. “Siapa nih yang sok bijak?” pikirnya, lalu tanpa sadar, ia membalas komentar itu. “Cinta di sambel? Kayaknya terlalu dramatis, deh. Cinta ada di nasi padang, bukan di sambel terasi.”

Beberapa detik kemudian, komentar itu mendapat balasan. “Nasi padang? Wah, kalau itu sih sudah pasti! Tapi sambel terasi tanpa cinta tetap nggak bisa juara. Coba deh masak sambel dengan hati, pasti beda rasanya.”

Rani tertawa kecil. “Tunggu dulu. Kamu pasti bukan koki beneran, kan?” tulisnya sambil melanjutkan untuk menggulir layar laptopnya, berharap obrolan itu akan selesai begitu saja. Namun, dalam hitungan detik, sebuah balasan baru muncul.

“Gimana kalau buktikan? Saya jamin, sambel terasi buatan saya lebih pedas dan lebih ‘berasa’. Kalau nggak, saya traktir kamu nasi padang seumur hidup.”

Rani terhenyak. Traktir nasi padang seumur hidup? Siapa juga yang bisa berjanji seperti itu tanpa ada rasa tanggung jawab? Dengan sedikit penasaran, ia mengklik profil pengguna tersebut—Diko namanya. Foto profilnya adalah gambar pria dengan senyum lebar dan kacamata hitam, terlihat seperti seseorang yang lebih suka berada di luar ruangan daripada di dapur.

Rani pun tertawa. Orang ini jelas sekali sedang bercanda. Tapi siapa tahu, dia bisa jadi punya cara unik dalam memasak sambel terasi.

“Traktir nasi padang seumur hidup, ya?” balas Rani, “Biar saya tahu dulu nih, kamu bisa masak nggak sih?”

Tidak lama setelah itu, Diko membalas lagi. “Siapa bilang saya nggak bisa? Saya punya warung kecil di kota saya. Semua menu saya pakai cinta, loh. Kalau nggak percaya, coba deh datang ke Sumatera. Kita coba bikin sambel bareng. Dan soal nasi padang, saya sih siap dengan segala risiko.”

“Sumatera? Wah, jarak kita jauh banget, ya!” Rani menulis sambil mengernyitkan dahi. Ternyata, Diko benar-benar dari luar pulau, sedangkan Rani tinggal di Jakarta. “Tapi kalau benar bisa bikin sambel terasi juara, saya pikir-pikir deh,” lanjutnya.

Obrolan mereka berlanjut hingga beberapa jam. Rani, yang biasanya tidak terlalu percaya diri dengan percakapan daring, merasa aneh merasa nyaman berbicara dengan Diko. Mereka mulai berbicara lebih dalam, tentang kehidupan, pekerjaan, dan bagaimana masing-masing berusaha menemukan keseimbangan antara dunia kerja dan waktu untuk diri sendiri. Rani kerap bercerita tentang rutinitas harian yang menyita waktu, sementara Diko bercerita tentang warung kecil yang dikelolanya, yang kadang menyita waktu lebih banyak dari yang ia inginkan.

Tiba-tiba, percakapan itu diselingi dengan suara notifikasi pesan masuk.

Diko mengirimkan foto sambel terasi yang tampaknya dia buat sendiri, lengkap dengan cabai merah dan terasi yang terlihat menggoda. “Ini dia, sambel terasi dengan cinta. Rasanya pasti bikin ketagihan!” tulisnya.

Rani terkikik melihat foto tersebut. “Kamu serius, ya? Kok bisa sebar gambar sambel dengan percaya diri gitu?” jawab Rani, mencoba menanggapi dengan santai.

Diko membalas, “Serius, kok. Paling nggak, kalau nggak enak, kamu bisa marah, tapi traktir nasi padang gratis buat kamu!”

Rani hanya bisa tertawa. Dalam hatinya, ia merasa sedikit aneh bahwa perkenalan dengan seseorang yang tidak pernah ia temui bisa begitu lancar. Ia bahkan sudah mulai membayangkan seperti apa jadinya jika mereka benar-benar bertemu. Meskipun demikian, ia segera mengusir bayangan itu dan kembali fokus pada laporan yang masih tertunda.

Namun, ada sesuatu yang membuatnya merasa berbeda setelah percakapan panjang itu. Diko—meskipun seorang stranger yang jauh—terasa lebih seperti teman lama yang sudah lama tak ditemui. Sesuatu yang mengalir begitu saja.

Tiba-tiba Rani menyadari satu hal: tidak ada salahnya memberi kesempatan pada sesuatu yang terasa menyenangkan, bahkan jika itu hanya dimulai dengan sambel terasi.

Bab 2: Pesan Penuh Kejutan

Sejak percakapan pertama yang kocak dan penuh canda, Rani merasa semakin terhubung dengan Diko. Mereka mulai saling mengirim pesan hampir setiap hari, walaupun komunikasi mereka sebagian besar terbatas pada obrolan santai. Rani merasa seperti menemukan teman baru yang tidak biasa, namun menghibur, dan ia mulai menantikan obrolan-obrolan yang tak terduga.

Hari itu, setelah pulang kerja, Rani membuka aplikasi chatting dan melihat pesan dari Diko yang baru saja masuk.

“Jadi, sudah nyobain sambel terasi saya?” tulis Diko, disertai emoticon wajah penasaran. Rani sedikit terkejut. Ternyata, Diko masih ingat janji mereka untuk membahas sambel terasi. Padahal, ia sendiri belum sempat mencoba masakan apapun setelah hari pertama obrolan mereka.

“Aduh, belum sempat nih,” balas Rani, sambil berpikir tentang betapa sulitnya menyisihkan waktu untuk memasak sambel terasi yang diajukan Diko. “Tapi, kalau saya datang ke Sumatera, bisa nggak ya sambelnya beneran enak?”

Diko segera membalas dengan antusias. “Aduh, pasti enak, kok! Tapi, kalau nggak sempat ke Sumatera, kamu bisa mulai latihan dulu di Jakarta, nanti saya kirim bahan-bahannya ke sana. Yang penting, sambel itu harus dimasak dengan hati!”

Rani terkejut. “Beneran, kamu mau kirim bahan-bahan buat sambel terasi?” tulisnya, merasa ragu. “Kayaknya kamu serius banget deh!”

Diko menjawab cepat, “Serius! Kalau soal sambel terasi, saya nggak main-main. Lagian, kita harus saling mendukung, kan? Saya kirim bahan yang saya rasa cocok. Nanti tinggal kamu coba.”

Rani terkikik membaca pesan itu. Ternyata, Diko benar-benar serius ingin berbagi resep sambel terasi dengannya. Sebagai orang yang tidak terlalu pandai memasak, Rani merasa sedikit terintimidasi, namun juga tertarik dengan ide tersebut. Meski mereka hanya berkenalan lewat obrolan daring, Diko seperti sudah mulai memberi rasa percaya diri.

Namun, meskipun tawaran Diko terdengar menarik, Rani merasa ragu. Ia ingin menikmati sambel terasi yang dibuat sendiri, tapi jauh di dalam hati, ia bertanya-tanya apakah Diko menganggapnya terlalu serius atau bahkan merasa perlu untuk terus menjaga hubungan ini dengan cara yang tak terduga.

Tak lama setelah itu, Rani memutuskan untuk memberikan jawaban.

“Oke deh, kirim aja bahan-bahannya. Tapi jangan kaget kalau nanti rasanya malah jadi kegagalanku!” balas Rani, dengan nada bercanda.

Diko langsung membalas dengan semangat. “Bukan kegagalan, kok! Namanya juga belajar. Kalau gagal, kita coba lagi. Yang penting, masaknya pakai hati!”

Malam itu, Rani akhirnya meletakkan ponselnya dan berbaring di tempat tidur, memikirkan percakapan mereka. Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Rasanya sudah terlalu lama ia tidak merasakan kegembiraan semacam ini, terutama setelah bekerja begitu keras di kantor yang penuh dengan tekanan. Berbicara dengan Diko sepertinya memberi warna baru dalam hidupnya yang biasa-biasa saja.

Keesokan harinya, Rani mendapat notifikasi email yang mengabarkan bahwa sebuah paket akan dikirimkan ke alamatnya. Ia merasa heran, karena tak ingat memesan barang apapun. Dengan penasaran, ia membuka email itu dan menemukan bahwa ternyata itu adalah paket dari Diko.

“Dikirimkan hari ini,” kata Diko dalam pesan singkatnya. “Semoga kamu suka! Jangan lupa kasih kabar kalau sudah terima!”

Rani bingung sekaligus tertawa. Ia tak menyangka bahwa seseorang yang hanya dikenalnya lewat pesan bisa menjadi begitu perhatian. Namun, dalam hati, ia merasa sesuatu yang ringan dan menyenangkan mulai tumbuh. Apa salahnya mencoba hal baru, pikirnya.

Beberapa hari kemudian, paket itu akhirnya sampai. Ketika Rani membuka kotaknya, ia terkejut melihat berbagai bahan masakan yang sudah disiapkan dengan rapi: cabai merah, terasi, gula merah, dan beberapa bumbu lainnya. Ada juga selembar kertas yang tertulis tangan oleh Diko, berisi instruksi memasak sambel terasi yang sederhana namun penuh semangat.

“Ini dia, bahan-bahan untuk sambel terasi kita! Coba dulu resepnya, ya. Kalau jadi enak, kita bisa masak bareng nanti!” tulis Diko di kertas itu.

Rani tidak bisa menahan senyum. Begitu terasa nyata dan menyenangkannya perhatian Diko, meskipun mereka belum pernah bertemu secara langsung. Ia pun merasa terdorong untuk mencoba resep tersebut, walaupun dia tahu masakan bukanlah hal yang diku

Bab 3: Kejar-kejaran Waktu

Rani mengalihkan pandangannya dari layar laptop ke jendela kantor yang menghadap ke jalan raya yang sibuk. Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore, dan tenggat waktu laporan tahunan yang harus diserahkan besok semakin mendekat. Rani menghela napas panjang. Seperti biasa, pekerjaan menumpuk dan membuatnya merasa tenggelam dalam lautan deadline. Tak terasa, sudah lebih dari dua minggu sejak dia mulai berkenalan dengan Diko, dan meskipun jarak ribuan kilometer memisahkan mereka, hubungan mereka terasa semakin dekat.

Setiap malam, Rani menyempatkan diri untuk berbicara dengan Diko, berbagi cerita tentang hari-harinya yang penuh rutinitas, dan saling berbagi tawa meskipun hanya lewat pesan teks. Mereka bahkan sudah mulai saling berbagi foto makanan, seperti halnya yang Rani lakukan dengan sambel terasi buatan dirinya beberapa waktu lalu. Diko pun dengan penuh semangat mengirimkan foto masakannya, memperlihatkan keahliannya dalam memasak, meskipun dia tetap mengaku bahwa warungnya lebih dikenal karena nasi padang yang legendaris.

Namun, di balik kebersamaan dalam obrolan mereka, Rani tidak bisa menghindari kenyataan bahwa pekerjaan menuntut perhatian lebih. Setiap kali dia berbicara dengan Diko, pikirannya selalu teralihkan. Keinginan untuk lebih banyak berbicara dengannya semakin besar, tetapi tanggung jawab yang harus dihadapi semakin menumpuk.

Hari itu, Rani hampir tak bisa lagi melawan godaan untuk menyelipkan percakapan ringan di sela-sela pekerjaan. Ia membuka aplikasi chatting di ponselnya, berharap bisa membalas pesan Diko yang sudah lama terabaikan.

“Rani, gimana? Sambel terasinya enak nggak?” pesan Diko masuk setelah beberapa hari tak ada kabar.

Rani tersenyum, membalas pesan itu sambil menekan tuts keyboard laptop dengan tangan satunya lagi.

“Enak, kok! Cuma masih kurang pedas, mungkin karena aku takut terlalu pedas. Tapi, benar kata kamu—rasanya jadi lebih ‘hidup’. Terima kasih, ya!”

Diko membalas cepat. “Wah, itu yang saya suka! Semoga setelah ini kamu berani masak sambel lebih pedas lagi, ya. Lagipula, kehidupan ini butuh rasa yang lebih berani!”

Rani tertawa kecil, tetapi kemudian ia melihat jam dinding. “Aduh, Diko, aku harus cepat selesai nih. Laporan ini nggak akan selesai sendiri. Tapi nanti malam, kita ngobrol lagi, ya?”

Diko membalas dengan emoticon tertawa, “Tentu, jangan lupa makan malam dan istirahat juga. Kerja itu penting, tapi jangan sampai lupa hidup!”

Rani menutup aplikasi chatting dengan senyum di wajahnya. Ada sesuatu dalam diri Diko yang membuatnya merasa lebih ringan, meskipun tanggung jawab pekerjaan masih menunggunya. Ia kembali fokus pada laporan yang belum selesai. Namun, meski tubuhnya sibuk dengan pekerjaan, pikirannya terbang ke obrolan dengan Diko.

Hari itu berlalu begitu cepat. Rani berhasil menyelesaikan sebagian laporan yang harus diserahkan besok, tapi ada rasa cemas yang menggelayuti. Malam itu, setelah makan malam cepat, ia membuka laptop kembali dan melanjutkan pekerjaan yang tertunda. Ketika waktu menunjukkan pukul sepuluh malam, Rani merasa lelah, tapi belum sepenuhnya puas dengan hasil kerjanya.

Namun, rasa penatnya sedikit terobati dengan pesan masuk dari Diko.

“Aku baru aja bikin nasi padang dengan sambel terasi spesial malam ini. Nanti kalau kita ketemu, kita coba masak bareng deh!” tulis Diko dengan emoticon semangat.

Rani tersenyum membaca pesan itu. Entah kenapa, mendengar tentang nasi padang dari Diko membuatnya merasa lebih nyaman. Tidak hanya tentang makanan itu sendiri, tapi cara Diko selalu menyemangati dengan cara yang sederhana.

“Wah, nasi padang! Kalau aku datang ke Sumatera, kamu benar-benar jadi pemandu wisata kuliner ya?” balas Rani sambil mencoba menghibur diri sendiri dari tekanan pekerjaan yang belum selesai.

“Tentu dong! Tapi kalau cuma lewat pesan, kamu nggak bakal bisa ngerasain rasanya, nih. Kita harus masak bareng supaya bisa benar-benar menikmati!” jawab Diko dengan bercanda.

Rani merasa sedikit geli, tapi juga merasa semakin terhubung dengan Diko. Dia sadar bahwa walaupun mereka terpisah oleh jarak jauh, obrolan mereka selalu bisa membuatnya merasa lebih dekat, seolah tidak ada jarak di antara mereka.

Ketika layar laptopnya kembali menyala, Rani melihat jam yang menunjukkan hampir tengah malam. Pekerjaan yang masih menumpuk membuatnya ingin menyerah sejenak, tetapi ia berusaha melawan rasa malas. Dengan perlahan, ia melanjutkan pekerjaannya, namun pikirannya kembali melayang ke Diko dan bagaimana rasanya jika mereka benar-benar bertemu.

Namun, tiba-tiba ponselnya bergetar. Itu adalah pesan dari Diko.

“Jangan lupa, besok kamu harus makan nasi padang untuk kebahagiaan, ya. Jangan terlalu stres!”

Rani tertawa kecil, lalu membalas, “Kalau begitu, setelah selesai semua kerjaan, kita coba masak nasi padang bareng. Tapi, kapan ya? Kayaknya lama banget buat bertemu.”

Diko membalas dengan cepat, “Nggak masalah, yang penting kita tetap semangat, walau jauh. Aku percaya, waktu akan membawa kita ke pertemuan yang tepat.”

Rani menatap layar ponselnya. Kata-kata Diko terasa begitu menenangkan, meskipun hanya dari pesan singkat. Sambil kembali melanjutkan pekerjaan, ia merasa ada sebuah harapan kecil yang muncul, entah kapan mereka bisa bertemu, namun keyakinan bahwa hubungan ini lebih dari sekedar pertemuan virtual.

Pagi harinya, Rani terbangun dengan rasa segar, meskipun tidur hanya beberapa jam. Laporan akhirnya selesai. Ia merasa lega, dan seolah-olah hidupnya bisa kembali ke jalur yang benar. Hari itu, ia memutuskan untuk lebih banyak berfokus pada apa yang bisa ia nikmati, termasuk melanjutkan obrolan ringan dengan Diko yang kini sudah menjadi bagian dari kesehariannya.

Tiba-tiba, ponselnya berdering lagi, dan kali ini, Diko mengirimkan foto nasi padang lengkap dengan sambel terasi yang menggoda.

“Aku kirim foto, nih. Semoga bisa jadi motivasi buat kamu! Setelah kerjaan selesai, kamu harus coba juga!” tulis Diko di pesan itu.

Rani tersenyum, merasa bahwa meskipun waktu terus berjalan, hubungan mereka selalu ada di tengah kesibukan hidup.

Bab 4: Kejutan di Tengah Kesibukan

Minggu pagi itu, Rani terbangun lebih awal dari biasanya. Setelah seminggu penuh dengan rapat dan tenggat waktu yang terus berdatangan, ia merasa sangat kelelahan. Namun, ada satu hal yang membuatnya semangat: hari itu adalah hari libur pertama setelah lama bekerja tanpa henti. Ia memutuskan untuk menghabiskan waktu di rumah, menikmati secangkir kopi sambil menenangkan pikirannya.

Pagi yang tenang itu terasa berbeda. Di samping menikmati kedamaian, ia tak bisa berhenti memikirkan Diko. Percakapan mereka semakin intens, meskipun selalu dibalut dengan candaan. Rani merasa ada sesuatu yang lebih dalam, meskipun mereka belum pernah bertemu langsung. Rasanya, semakin sering berbicara dengannya, semakin ia merasa nyaman. Diko tampaknya bisa membuat suasana hati Rani lebih ringan dengan cara yang tidak bisa dijelaskan.

Sambil menikmati kopi, Rani membuka ponselnya. Ia melihat pesan masuk dari Diko.

“Pagi, Rani! Gimana, udah bangun atau masih tertidur? Aku lagi nyiapin nasi padang spesial hari ini, dan sambel terasi, pastinya. Kamu masih mau coba masak bareng?” tulis Diko, disertai emoji wajah penuh semangat.

Rani terkikik. Diko memang tak pernah gagal membuatnya tersenyum. “Pagi, Diko! Wah, enak banget itu. Tapi, kalau aku ke Sumatera, pasti jadi chef sambel terasi, kan?” balas Rani sambil tertawa, meski hanya di dalam hati.

Sekilas, Rani merasa terkesan dengan betapa Diko tetap semangat meskipun mereka terpisah jarak yang cukup jauh. Obrolan ringan itu membuat Rani merasa bahwa meskipun mereka hanya berbicara lewat layar ponsel, ada koneksi yang lebih dalam yang mulai terbentuk. Rani sering kali tertawa sendirian saat memikirkan betapa spontan dan menghiburnya Diko. Ia tidak mengira, seorang pria yang ia kenal hanya melalui aplikasi chatting, bisa begitu mempengaruhi suasana hatinya.

Namun, pagi itu ada pesan yang cukup mengagetkan dari Diko.

“Rani, aku ada rencana buat datang ke Jakarta bulan depan. Punya waktu buat ketemu?” tulis Diko, disertai dengan tanda tanya yang menandakan keraguannya.

Rani merasa sedikit terkejut. Jakarta? Diko akan datang ke Jakarta? Ia tidak menyangka bahwa perkenalan mereka yang hanya bermula dari obrolan ringan bisa berkembang menjadi niat untuk bertemu langsung. Jarak yang selama ini menjadi penghalang kini terasa begitu dekat. Namun, di sisi lain, Rani merasa cemas. Belum pernah ia bertemu seseorang yang hanya ia kenal melalui percakapan daring. Apakah ia siap untuk itu?

Tangan Rani sedikit gemetar ketika membalas pesan itu. “Jadi, kamu beneran akan ke Jakarta? Wah, baru tahu nih. Tentu aja, kita bisa ketemu. Tapi, gimana kalau kita mulai dengan yang ringan dulu? Makan siang di tempat yang enak aja.”

Beberapa detik kemudian, Diko membalas dengan cepat. “It’s a deal! Aku udah cari beberapa tempat makan yang asyik di Jakarta. Kita bisa ngobrol lebih banyak dan, tentunya, nyobain nasi padang yang aku buat dengan cinta!”

Rani merasa perasaannya campur aduk. Sebagian dari dirinya merasa bersemangat, tetapi ada juga rasa cemas yang mengganggu pikirannya. Apa yang harus ia lakukan? Sejauh ini, mereka hanya berteman lewat layar, tetapi dengan rencana pertemuan ini, semuanya menjadi lebih nyata. Pikirannya mulai berputar, meraba-raba perasaan yang semakin berkembang di dalam hatinya.

Setelah beberapa lama, ia memutuskan untuk memberi diri sedikit waktu untuk berpikir. Meskipun ia merasa sedikit cemas, ia juga merasa penasaran. Apakah pertemuan ini akan menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar pertemuan teman? Namun, ada satu hal yang membuat Rani merasa nyaman: meskipun mereka berbicara tentang hal-hal serius, Diko selalu membuatnya tertawa. Rasanya seperti bertemu teman lama yang sudah lama tak berjumpa, bukan seseorang yang baru dikenalnya.

Siang harinya, Rani memutuskan untuk melanjutkan aktivitasnya. Pekerjaan di kantor sudah mulai kembali menumpuk, dan ia harus kembali ke rutinitasnya. Namun, rasa cemas tentang pertemuan itu masih membayanginya. Setiap kali ia membuka ponsel, pesan-pesan dari Diko yang penuh dengan canda dan semangat mengingatkannya bahwa ia harus lebih santai. Dia harus memberi kesempatan untuk hal-hal baru dalam hidupnya.

Beberapa hari kemudian, Diko mengonfirmasi tanggal kedatangannya ke Jakarta. “Aku bakal ada di Jakarta mulai minggu depan. Kalau kamu nggak sibuk, kita bisa atur waktu buat ketemu.”

Rani merasa gugup sekaligus senang. Seolah-olah sebuah babak baru dalam hidupnya sedang dimulai. Ia merasa lebih banyak pertanyaan muncul dalam pikirannya. Bagaimana pertemuan ini akan berlangsung? Apakah ia akan merasa canggung? Namun, ada satu hal yang pasti: ia merasa bersemangat untuk melihat seperti apa Diko di dunia nyata, bukan hanya melalui pesan teks.

Malam sebelum pertemuan mereka, Rani tidak bisa tidur nyenyak. Ia terus berpikir tentang apa yang harus dikenakan, bagaimana membawa diri, dan apakah ia harus mempersiapkan sesuatu. Ia mencoba untuk tetap tenang, tetapi ada perasaan tidak sabar yang terus mengganggunya.

“Jangan terlalu khawatir, Rani,” bisiknya pada dirinya sendiri. “Ini hanya makan siang santai, kan?”

Namun, walaupun mencoba untuk meyakinkan dirinya, perasaan gugup dan antusias itu tetap ada. Rani merasa sedikit cemas, tetapi ia tahu bahwa ini adalah kesempatan untuk melihat apakah hubungan yang mereka bangun lewat percakapan bisa berkembang lebih lanjut.

Akhirnya, hari yang dinanti-nanti itu tiba. Dengan hati berdebar, Rani mempersiapkan dirinya untuk pertemuan yang pertama kalinya dengan Diko. Ia tahu, tak ada yang tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi satu hal yang pasti: ia sudah siap untuk memulai babak baru dalam hidupnya.

Bab 5: Pertemuan yang Tak Terduga

Hari yang dinanti akhirnya tiba. Rani merasa cemas tapi juga bersemangat. Setiap detik terasa lebih panjang dari biasanya. Ia sudah mempersiapkan segala sesuatunya, memilih pakaian yang nyaman namun tetap terlihat rapi, dan mencoba untuk menenangkan dirinya dengan berulang kali mengingatkan bahwa ini hanya sebuah pertemuan santai—bukan sesuatu yang besar. Tetapi, meskipun sudah berusaha menenangkan diri, perasaan gugupnya tak bisa dielakkan.

Ia melihat jam di ponselnya. Diko akan tiba di Jakarta sore ini, dan mereka sepakat untuk bertemu di sebuah restoran yang tidak terlalu ramai, tempat yang nyaman untuk berbicara lebih banyak. Rani memutuskan untuk datang lebih awal agar tidak terburu-buru. Ia tiba di restoran dan memilih meja yang agak tersembunyi, dengan pemandangan kota yang cukup indah. Ia memesan minuman dingin untuk menenangkan diri.

Setiap kali pintu restoran terbuka, jantung Rani berdebar. Setiap orang yang masuk terasa seperti Diko, meskipun ia tahu itu tidak mungkin. Ia melihat-lihat setiap orang yang lewat, mencoba mencari tahu siapa yang akan menjadi Diko dalam kehidupan nyata. Tiba-tiba, pintu restoran terbuka lagi, dan seseorang yang tidak asing bagi Rani muncul di ambang pintu. Itu Diko.

Diko terlihat sedikit berbeda dari foto profilnya—lebih tinggi, lebih gagah, dan tentunya lebih nyata. Senyum di wajahnya sangat lebar, dan matanya yang cerah seolah menunjukkan antusiasme yang sama dengan yang ia tunjukkan dalam setiap pesan mereka. Diko mengenakan kaos santai dan celana panjang, tampak sederhana namun tetap memiliki daya tarik. Rani hampir tidak bisa berkata-kata, tetapi senyum tulus di wajahnya mengatakan segalanya.

“Rani?” tanya Diko, suaranya penuh kehangatan. Ia mengangkat tangan, memberi isyarat seolah mengajak Rani untuk mendekat.

Rani mengangguk, sedikit gugup. “Diko, ya?” suaranya terdengar lebih pelan daripada yang ia inginkan. Tapi Diko tidak peduli. Ia berjalan mendekat, dan mereka berdua saling memberi pelukan ringan sebagai salam.

“Wow, akhirnya bisa ketemu juga,” kata Diko dengan senyum lebar. “Aku hampir nggak percaya kalau kita akhirnya bertemu di dunia nyata.”

Rani tertawa kecil. “Aku juga, kok. Rasanya agak aneh ya, tiba-tiba bertemu dengan orang yang selama ini cuma ada di layar ponsel.”

Mereka duduk, dan setelah memesan makanan, perbincangan pun mengalir dengan lancar. Rani merasa sedikit canggung pada awalnya, tapi Diko dengan cepat membuat suasana menjadi lebih santai. Ia membuat beberapa lelucon yang membuat Rani tertawa terbahak-bahak, dan seketika itu juga, kegugupannya menghilang. Ternyata, Diko memang seperti yang ia bayangkan—penuh semangat, ceria, dan mudah bergaul. Meskipun mereka baru pertama kali bertemu, suasana hati Rani terasa ringan, seolah-olah mereka sudah lama saling mengenal.

“Jadi, gimana rasanya bertemu orang yang sebelumnya hanya kamu kenal lewat pesan?” tanya Diko sambil mengangkat gelas berisi es teh manis.

Rani tersenyum, mengangkat gelasnya juga. “Hmm… Rasanya seperti bertemu teman lama. Padahal, ini baru pertama kali kita ngobrol secara langsung, ya?”

Diko mengangguk. “Iya, benar. Tapi aku merasa kita udah kenal cukup lama, karena setiap obrolan kita nggak pernah terasa canggung.”

Mereka melanjutkan obrolan tentang banyak hal—dari pekerjaan, hobi, hingga makanan favorit. Ternyata, mereka memiliki banyak kesamaan, terutama dalam hal makanan. Diko bercerita tentang betapa ia mencintai nasi padang dan sambel terasi, sementara Rani mengaku baru mengenal betapa lezatnya sambel terasi setelah Diko mengirimkan bahan-bahannya beberapa waktu lalu.

“Jadi, sekarang kamu sudah berani masak sambel terasi yang lebih pedas?” tanya Diko, masih dengan nada bercanda.

Rani tertawa. “Tentu saja! Tapi sepertinya, aku butuh lebih banyak latihan. Kamu siap jadi guruku, kan?”

Diko hanya tersenyum lebar. “Tentu saja! Kita akan masak bareng di Sumatera. Nggak ada alasan untuk nggak bisa bikin sambel yang lebih pedas!”

Mereka melanjutkan makan dengan tertawa, dan Rani merasa seperti berada di dunia yang berbeda—lebih ringan, lebih cerah. Ternyata, meskipun baru pertama kali bertemu, mereka bisa berbicara dengan sangat natural. Tanpa disadari, waktu berjalan begitu cepat. Makanan sudah hampir habis, dan Rani merasa kenyang serta puas, tidak hanya dari makanan, tetapi juga dari percakapan yang menyenangkan itu.

Setelah makan, mereka memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar di sekitar restoran. Mereka berjalan menyusuri jalanan Jakarta yang mulai meredup setelah matahari tenggelam. Lampu-lampu kota mulai menyala, menciptakan suasana yang hangat meskipun udara mulai dingin.

Saat mereka berjalan, Diko memulai pembicaraan yang lebih serius. “Rani, aku merasa ada yang spesial dari pertemuan ini. Gimana kalau kita coba melangkah ke tahap berikutnya?”

Rani menatap Diko, sedikit terkejut dengan pertanyaannya. “Apa maksudmu, Diko?”

Diko tersenyum dengan tatapan serius namun lembut. “Aku rasa kita punya banyak kesamaan, dan aku ingin lebih dekat denganmu. Kalau kamu juga merasa begitu, aku ingin kita mencoba untuk melanjutkan ini.”

Rani terdiam sejenak. Rasanya, kata-kata Diko membawa sebuah beban yang tidak pernah ia duga. Apakah ia siap untuk membuka hati untuk sesuatu yang lebih dari sekadar pertemanan? Namun, setelah beberapa detik merenung, ia merasa bahwa inilah saat yang tepat untuk merespons perasaannya.

“Aku juga merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar teman,” jawab Rani pelan. “Tapi, aku nggak tahu apa yang akan terjadi ke depan. Kita harus belajar satu sama lain dulu, kan?”

Diko tersenyum lebar dan mengangguk. “Tentu, Rani. Kita akan melangkah perlahan. Yang penting, kita terus berbicara dan saling mengenal.”

Pertemuan itu berakhir dengan senyum dan perasaan yang lebih ringan. Rani tahu, perjalanan ini baru saja dimulai, dan meskipun banyak ketidakpastian yang menyelimuti, ia merasa siap untuk menghadapi apa pun yang akan datang bersama Diko.

Bab 6: Menjaga Harapan

Minggu-minggu setelah pertemuan pertama mereka berlalu begitu cepat. Rani merasa kehidupannya mulai sedikit berubah. Meskipun pekerjaan tetap menyita waktu, perasaan yang tumbuh di antara dia dan Diko semakin nyata. Mereka terus berkomunikasi hampir setiap hari, berbagi cerita tentang keseharian mereka, dan semakin sering merencanakan pertemuan berikutnya. Meskipun masih ada jarak yang memisahkan mereka, rasanya seolah-olah mereka sudah berada dalam satu dunia yang sama.

Rani kini merasa lebih percaya diri. Diko benar-benar membuatnya merasa nyaman. Setiap kali mereka berbicara, ia merasa seperti berbicara dengan teman lama, seseorang yang sudah lama dikenalnya meskipun sebenarnya mereka baru saja bertemu. Tawa, lelucon, dan candaan kecil mereka yang dulu hanya terjadi lewat pesan teks kini menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.

Namun, meskipun ada banyak momen kebahagiaan, Rani tak bisa menghindari perasaan cemas yang kerap muncul. Mungkin karena hubungan mereka yang masih baru, atau karena jarak yang terus menjadi penghalang. Rani sering bertanya-tanya apakah mereka benar-benar bisa mempertahankan kedekatan ini jika tidak ada pertemuan lagi dalam waktu dekat. Apakah percakapan yang mereka miliki sekarang cukup kuat untuk mengatasi rintangan jarak dan waktu?

Suatu malam, ketika mereka sedang berbicara lewat telepon, Diko menyadari kekhawatiran yang dirasakan Rani.

“Rani, aku tahu kamu sibuk banget, tapi aku merasa kita perlu bicara tentang ini,” kata Diko, suaranya terdengar lebih serius dari biasanya.

Rani menarik napas dalam-dalam, merasa gugup mendengar perubahan nada suara Diko. “Tentang apa?” tanyanya, mencoba menahan rasa cemas yang tiba-tiba muncul.

Diko diam sejenak, seolah memilih kata-kata yang tepat. “Tentang kita, Rani. Aku tahu kita baru kenal, dan ada banyak hal yang masih perlu kita pelajari satu sama lain. Tapi, aku ingin tahu, apa kamu merasa hubungan ini bisa bertahan? Aku merasa kita punya sesuatu yang spesial, tapi aku juga paham kalau ini nggak mudah. Jarak, waktu… semuanya itu tantangan, kan?”

Rani terdiam, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk merespons pertanyaan itu. Jujur saja, ia sendiri pun tidak tahu bagaimana perasaan hatinya. Bagaimana bisa ia memastikan sesuatu yang belum tentu? Di satu sisi, ia merasa nyaman dengan Diko, merasa seolah-olah ada ikatan yang kuat meskipun belum lama mengenalnya. Namun, di sisi lain, ia tak bisa mengabaikan kekhawatiran akan jarak yang begitu besar.

“Aku juga merasa ada yang spesial, Diko,” jawab Rani akhirnya, “Tapi… kadang aku takut kita nggak akan kuat dengan jarak ini. Aku nggak tahu bagaimana kita akan bertahan kalau kita nggak bisa sering ketemu.”

Diko menghela napas di ujung telepon. “Aku paham banget, Rani. Aku juga khawatir dengan hal itu. Tapi aku percaya, kalau kita berdua saling berusaha, jarak bukan masalah besar. Aku yakin, kita bisa menemukan cara untuk terus terhubung, meskipun cuma lewat pesan atau telepon. Dan nanti, kita bisa bertemu lebih sering.”

Mendengar kata-kata Diko, Rani merasa sedikit lega. Ada harapan dalam setiap kalimat yang diucapkan Diko, sebuah keyakinan yang meskipun tidak langsung menghapus keraguannya, tapi cukup untuk membuatnya merasa lebih tenang. Mereka berdua tahu bahwa tidak ada jaminan dalam hubungan, apalagi hubungan jarak jauh seperti ini. Namun, ada rasa percaya dan tekad untuk tetap mencoba.

Rani merasa hatinya lebih ringan setelah percakapan itu. Meskipun cemas masih ada, ia tahu bahwa Diko juga merasa hal yang sama. Mereka berdua harus mencari cara untuk menjaga hubungan ini tetap hidup. Mungkin itu berarti lebih sering berbicara, atau bahkan merencanakan pertemuan berikutnya dengan lebih matang. Yang jelas, mereka berdua sepakat untuk tetap berusaha, meskipun rintangan akan selalu ada.

Pagi berikutnya, Rani membuka ponselnya dan menemukan pesan dari Diko.

“Aku cuma mau bilang, jangan terlalu khawatir, Rani. Kita akan baik-baik saja. Kita berdua sama-sama berusaha, kan? Aku akan selalu ada untuk kamu, meskipun jarak memisahkan kita.”

Rani tersenyum membaca pesan itu. Ia merasa bahwa meskipun mereka belum memiliki semua jawaban tentang hubungan mereka, ada satu hal yang pasti: keduanya sama-sama ingin berjuang untuk menjaga kedekatan ini. Jarak dan waktu bisa menjadi tantangan, tetapi jika mereka berdua saling berusaha, maka itu bukanlah hal yang mustahil.

Hari-hari berikutnya berlalu dengan penuh komunikasi yang lebih intens. Rani mulai merasa lebih yakin bahwa meskipun mereka terpisah jarak, mereka tetap bisa merawat hubungan ini. Ia semakin menikmati percakapan mereka, semakin sering berbicara tentang impian dan harapan mereka. Rani mulai merencanakan liburan ke Sumatera untuk bertemu dengan Diko lagi, kali ini dengan lebih banyak waktu bersama. Meskipun itu masih beberapa bulan lagi, perasaan itu memberikan semangat baru dalam setiap harinya.

Pada suatu sore yang cerah, ketika Rani sedang duduk di taman dekat kantornya, ia menerima sebuah pesan suara dari Diko.

“Rani, aku baru aja pikirin sesuatu. Mungkin nggak sekarang, tapi suatu saat nanti, kita bisa lebih sering ketemu. Mungkin kita bisa coba hidup di kota yang sama, atau mungkin aku yang pindah ke Jakarta. Aku yakin kita bisa kok, kalau kita serius. Aku nggak mau ketinggalan momen penting dalam hidup kamu.”

Rani mendengarkan pesan itu dengan hati yang berdebar. Tiba-tiba, ia merasa lebih tenang. Ada harapan yang lebih besar yang mulai muncul, dan ia tahu bahwa meskipun perjalanan ini masih panjang, Diko akan selalu ada untuknya. Dan begitu pula dirinya. Mereka berdua memiliki tekad yang sama untuk membuat hubungan ini berhasil.

Hari itu, di bawah langit yang cerah, Rani merasa yakin bahwa meskipun tantangan akan terus datang, mereka berdua akan mampu menghadapinya. Sebab, dalam hubungan ini, mereka sudah menemukan sesuatu yang jauh lebih penting daripada jarak dan waktu—yakni, kepercayaan dan harapan.

———————–THE END———————

Source: Gustian Bintang
Tags: KeputusanBesar #CintaYangBerjuang #PertaruhanCinta
Previous Post

CINTA DI BALIK CERMIN

Next Post

Suek, Fans Manchester United Maling Demi Makan Tahi Kucing

Next Post
Suek, Fans Manchester United Maling Demi Makan Tahi Kucing

Suek, Fans Manchester United Maling Demi Makan Tahi Kucing

MENJADI TERAPIS HERA DAN ZEUS

MENJADI TERAPIS HERA DAN ZEUS

Bayang Kelam Fans Manchester United Nazar Makan Tahi Kucing Basah

Bayang Kelam Fans Manchester United Nazar Makan Tahi Kucing Basah

MOVIE REVIEW

No Content Available

RECENT MOVIE

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025

Tentang Kami

NovelStory.id adalah platform media online yang menghadirkan beragam cerita menarik seperti dalam novel dan drama, dirancang untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan yang berkualitas dan penuh imajinasi. Kami percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh hati, menginspirasi, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh keajaiban.

Recent News

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025

Follow Us

  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 https://novelstory.id

No Result
View All Result
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah

© 2025 https://novelstory.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In