BAB 1: KUTUKAN JOMBLO SEUMUR HIDUP
Raka memandangi pantulan wajahnya di cermin dengan ekspresi penuh tanya. Usianya sudah 28 tahun, tapi kenapa masih betah sendiri? Bukan karena wajahnya jelek—lumayan lah, meski kalau dibandingkan dengan artis Korea jelas beda kelas. Bukan juga karena dia miskin—walau tabungan masih pas-pasan, setidaknya gajinya cukup buat makan tiga kali sehari plus sesekali traktir teman di warung pecel lele. Tapi kenapa sampai sekarang dia belum juga punya pacar?
“Raka! Bangun, Nak! Kamu nggak bosan jomblo terus?” suara ibunya membuyarkan lamunannya.
Raka menghela napas panjang. Sudah bisa ditebak, pagi ini akan diisi dengan ceramah panjang soal pernikahan. Dia melangkah keluar kamar dan benar saja, ibunya sudah berdiri di depan pintu sambil melipat tangan di dada.
“Nak, Ibu ini khawatir. Tetangga-tetangga sudah mulai tanya, ‘Bu, anaknya kapan nikah?’ Ibu harus jawab apa? Masak setiap hari bilang ‘Masih proses seleksi’ padahal seleksi aja belum mulai?”
“Bu, jodoh itu di tangan Tuhan. Aku yakin, nanti juga ada waktunya,” jawab Raka santai.
“Waktunya kapan? Pas kamu sudah pensiun? Nak, lihat tuh si Anton, teman kecilmu, udah punya anak dua. Si Budi udah mau punya rumah sendiri. Lah kamu? Punya apa? Selain koleksi meme dan video receh?”
“Bu, Anton dan Budi mungkin sudah punya istri dan anak, tapi coba lihat wajah mereka sekarang. Penuh beban! Sementara aku? Aku masih bebas tertawa!” balas Raka sambil terkekeh.
Ibunya menggelengkan kepala dengan pasrah. “Raka, kamu itu lucu. Tapi kalau terus bercanda, gimana cewek bisa serius sama kamu?”
Raka diam sejenak. Benarkah karena dia terlalu banyak bercanda? Tapi bukankah banyak wanita yang suka cowok humoris? Atau mungkin, kadar humornya terlalu receh sehingga bukan bikin terpesona, tapi bikin ilfeel?
Tak lama, ayahnya datang dengan koran di tangan, ikut nimbrung dalam perbincangan pagi itu.
“Raka, kamu tahu nggak? Keluarga kita ini ada kutukan. Semua pria di garis keturunan kita dulu menikah telat, ada yang hampir kepala empat baru dapat jodoh!” ujar ayahnya dengan nada misterius.
Raka terbelalak. “Apa? Kutukan jomblo seumur hidup? Ayah serius?”
“Ya nggak seumur hidup juga, cuma telat aja. Tapi siapa tahu kamu bisa memecahkan kutukan ini,” kata ayahnya sambil tersenyum penuh arti.
Raka menelan ludah. Jadi bukan hanya masalah kebiasaan receh atau selera humornya yang absurd, tapi ada faktor keturunan juga? Ini jelas bukan kabar baik.
Setelah mendengar ‘kutukan’ tersebut, Raka jadi semakin berpikir keras. Sebenarnya, apa yang salah dalam perjalanannya mencari cinta? Dia memang sering mendekati cewek, tapi entah kenapa selalu berakhir dengan kegagalan. Ada yang tiba-tiba menghilang tanpa kabar, ada yang malah menganggapnya sebagai ‘kakak baik’, ada juga yang mengira dia hanya bercanda saat menyatakan perasaan.
“Mungkin aku harus mulai serius,” gumam Raka.
Namun, dunia seakan tidak mendukung niat baiknya. Hari itu juga, saat sedang makan siang bersama sahabatnya, Doni, Raka curhat tentang masalahnya.
“Gue nggak ngerti, Don. Apa cewek-cewek zaman sekarang nggak suka cowok humoris?”
Doni, yang mulutnya selalu penuh dengan makanan, mengunyah sebentar sebelum menjawab, “Bukan nggak suka, Rak. Tapi mungkin selera humor lo terlalu aneh. Lo ingat pas lo nembak cewek pake pantun absurd?”
Raka mengerutkan dahi. “Emang gue bilang apa?”
Doni menirukan suara Raka dengan ekspresi dramatis, “’Kalau saja aku jadi pilot, kamu jadi pramugari. Tapi karena aku cuma rakyat jelata, maukah kamu jadi bidadari?’”
Raka langsung menepuk dahinya. “Astagaaa… Pantesan dia langsung kabur.”
Doni tertawa terbahak-bahak. “Bro, kalau lo pengen cewek serius sama lo, lo juga harus kasih kesan serius. Nggak semua cewek bisa memahami humor lo yang kelewat absurd. Coba deh kurangi komedi, perbanyak pendekatan yang lebih elegan.”
Raka berpikir keras. Mungkinkah Doni benar? Mungkin ini saatnya dia mengubah strategi. Tapi bagaimana caranya? Haruskah dia benar-benar berhenti bercanda dan menjadi pria dewasa yang serius?
Satu hal yang pasti, dia harus segera menemukan cara untuk mematahkan kutukan jomblo ini. Dan kalau bisa, tanpa harus mengorbankan identitasnya sebagai pria yang suka ketawa.*
BAB 2: MISI CARI JODOH ALA STAND-UP COMEDY
Setelah obrolan panjang dengan Doni, Raka akhirnya mendapat ide gila. Jika cewek-cewek sulit menerima dirinya yang humoris dalam percakapan biasa, kenapa tidak mencoba stand-up comedy sebagai senjata rahasia untuk mendekati mereka?
“Don, gimana kalau gue ikut open mic di acara kampus adik gue? Siapa tahu ada cewek yang tertarik sama humor gue,” kata Raka dengan penuh semangat.
Doni mengerutkan dahi. “Lo yakin ini ide bagus? Humor lo tuh beda, Rak. Kadang bukan lucu, tapi absurd. Kalau gagal?”
“Justru itu tantangannya! Kalau bisa bikin mereka ketawa, pasti ada yang jatuh hati!” jawab Raka.
Tanpa pikir panjang, Raka pun mulai latihan keras. Setiap malam dia menulis materi komedi, melatih mimik wajah di depan cermin, dan menonton video para komika terkenal. Dia yakin, ini akan menjadi momen epiknya.
Namun, latihan ternyata tidak semudah yang dibayangkannya. Saat mencoba melawak di depan Doni dan beberapa teman lainnya, reaksinya sungguh di luar dugaan.
“Kenapa ayam nyebrang jalan? Karena dia mau beli cilok di seberang!” kata Raka dengan ekspresi dramatis.
Doni hanya diam. Teman-temannya juga. Hening.
“Rak, itu… bukan stand-up. Itu jokes SD. Bahkan ayamnya aja nggak ketawa,” komentar Doni akhirnya.
“Lah, terus harus gimana?”
“Coba bikin yang lebih relevan. Yang ada hubungannya sama kehidupan lo sendiri. Orang biasanya suka humor yang relatable, bukan sekadar tebak-tebakan.”
Raka mulai berpikir keras. Mungkin benar, dia harus mengolah pengalamannya sendiri ke dalam materi stand-up-nya. Akhirnya, setelah beberapa kali latihan dan revisi materi, tibalah hari yang dinanti-nanti.
Saat hari H tiba, Raka berdiri di atas panggung dengan percaya diri. Namun, begitu mulai berbicara, suara gemetar dan keringat dingin mulai muncul. Alih-alih tampil lucu, dia malah tersandung kabel mikrofon dan jatuh dengan gaya yang sangat konyol.
Seketika, ruangan hening. Beberapa detik kemudian, terdengar tawa pecah dari seluruh penjuru ruangan. Tapi bukan karena leluconnya—melainkan karena momen jatuhnya yang terlalu dramatis.
“Yah, kalau nggak bisa bikin mereka ketawa dengan materi, setidaknya gue sukses bikin mereka ketawa dengan aksi,” gumam Raka sambil menahan malu.
Setelah insiden konyol itu, Raka mencoba bangkit dan tetap melanjutkan materinya. Dengan sedikit canggung, ia mulai berbicara ke mikrofon.
“Guys, gue baru sadar… mungkin emang bener ada kutukan di keluarga gue. Kalian tahu nggak? Kata bokap gue, semua cowok di garis keturunan gue nikah telat. Kayak paket COD yang nyasar dulu sebelum sampe tujuan!”
Tawa mulai terdengar dari beberapa penonton.
“Serius, gue udah 28 tahun dan masih jomblo. Kayaknya Tuhan tuh lagi main The Sims dan lupa klik tombol ‘Find Match’ buat gue. Ada yang di sini jomblo juga?”
Beberapa penonton mengangkat tangan sambil tertawa.
“Nah, kalian ngerti perasaan gue! Jadi gini, gue pernah nembak cewek pake pantun, terus dia malah lari. Baru gue sadar, pantunnya memang agak absurd. Gue bilang gini, ‘Kalau saja aku jadi pilot, kamu jadi pramugari. Tapi karena aku cuma rakyat jelata, maukah kamu jadi bidadari?’” Raka menirukan ekspresi dramatisnya saat itu.
Suasana semakin ramai. Kali ini, tawanya benar-benar karena leluconnya.
“Dan dia… langsung ngilang! Gue sampai mikir, jangan-jangan dia langsung beli tiket one-way ke planet lain biar nggak ketemu gue lagi!”
Kini gelak tawa menggema di ruangan. Raka mulai percaya diri. Ia terus melanjutkan materinya, berbicara tentang kehidupannya sebagai jomblo yang selalu jadi korban pertanyaan klise dari keluarga.
“Setiap lebaran, keluarga gue bukan nanya ‘Kapan lulus?’, tapi langsung ‘Kapan nikah?’. Nih, kakek gue aja tiap tahun ulang pertanyaan yang sama, kayak rekaman rusak!” katanya sambil menirukan suara seorang kakek tua. “’Raka, kapan nikah?’ Gue jawab, ‘Sabar, Kek, lagi cari yang terbaik.’ Tahun berikutnya, ‘Raka, kapan nikah?’ Gue jawab, ‘Sabar, Kek, jodoh belum keliatan.’ Tahun ini, ‘Raka, kapan nikah?’ Gue jawab, ‘Sabar, Kek, masih buka lowongan.’”
Suasana semakin pecah. Raka merasa lebih lega. Meskipun awalnya kacau, setidaknya ia berhasil menutup penampilannya dengan cukup sukses.
Setelah turun dari panggung, Doni langsung menyambutnya dengan senyum lebar.
“Gue harus akuin, Rak, lo tadi sukses! Gue kira lo bakal gagal total, tapi ternyata lo bisa bikin orang ketawa beneran.”
Raka menyeringai. “Tuh kan, gue bilang juga apa! Gue punya bakat alami buat bikin orang ketawa!”
Tiba-tiba, seorang gadis berambut panjang mendekat dan tersenyum ke arah Raka. “Stand-up lo tadi keren. Lucu banget. Serius deh, gue hampir nangis ketawa.”
Raka terdiam sejenak. Apakah ini pertanda baik? Apakah akhirnya misi cari jodohnya akan berhasil?
Tanpa pikir panjang, ia membalas dengan senyuman lebar. “Makasih! Kalau gitu, boleh dong gue ajak ketawa bareng lain kali?” katanya dengan nada bercanda.
Gadis itu tertawa kecil. “Boleh, asal jangan pakai pantun absurd lagi.”
Raka langsung menepuk dahinya. Mungkin ini awal dari sesuatu yang baru. Atau… setidaknya, awal dari babak baru dalam petualangan komedinya mencari cinta.*
BAB 3: GAGAL PDKT, MALAH JADI VIRAL
Setelah sukses dengan penampilan stand-up comedy pertamanya, Raka semakin percaya diri. Apalagi, ada gadis cantik bernama Karin yang memujinya setelah acara selesai. Ia merasa, inilah saatnya untuk memulai babak baru dalam perjalanan cintanya.
Namun, seperti biasa, keberuntungan sepertinya belum sepenuhnya berpihak pada Raka.
“Don, gue kayaknya bakal coba deketin Karin. Kayaknya dia tipe cewek yang bisa ngerti humor gue,” kata Raka dengan penuh semangat saat nongkrong di warung kopi langganan bersama Doni.
Doni mengangkat alis. “Lo yakin? Lo harus hati-hati, Rak. Cewek kayak Karin tuh pasti banyak yang ngejar. Jangan sampai lo terlalu pede terus malah malu sendiri.”
“Santai aja, Don. Gue udah siapin strategi. Pokoknya kali ini gue bakal all out!” jawab Raka sambil mengepalkan tangannya penuh tekad.
Raka pun mulai menyusun rencana. Dia mencari tahu tentang hobi Karin, makanan favoritnya, bahkan stalking media sosialnya untuk mencari celah yang bisa dijadikan bahan obrolan. Setelah merasa cukup persiapan, dia pun memberanikan diri untuk mengajak Karin makan malam.
Hari yang dinanti akhirnya tiba. Raka dan Karin bertemu di sebuah kafe yang cukup cozy. Awalnya, semuanya berjalan lancar. Raka berhasil membuat Karin tertawa dengan beberapa lelucon ringan. Tapi seperti biasa, Raka tidak bisa menahan sifatnya yang kelewat receh.
“Jadi, lo suka baca buku?” tanya Raka.
Karin mengangguk sambil tersenyum. “Iya, gue suka novel misteri.”
“Wah, sama! Gue juga suka misteri. Kayak misteri kenapa sampai sekarang gue masih jomblo, padahal udah berusaha maksimal.”
Karin terkekeh. “Mungkin kamu kurang usaha?”
“Atau mungkin gue ini karakter figuran di dunia nyata, sementara yang lain jadi pemeran utama dalam kisah cinta mereka,” tambah Raka dramatis.
Karin kembali tertawa, tapi Raka tidak sadar bahwa dia mulai masuk ke zona ‘garing’. Ingin semakin menghibur, dia memutuskan untuk menunjukkan trik sulap yang dia pelajari dari YouTube.
“Oke, gue mau bikin lo terkesan. Ini trik sulap sederhana. Lihat sendok ini? Gue bakal bikin dia melayang!” kata Raka dengan penuh percaya diri.
Sayangnya, bukannya melayang, sendok itu malah terpental dan mengenai pelayan yang lewat membawa minuman. Seisi kafe langsung menoleh ke arah mereka.
“Astaga, Mas nggak apa-apa?” tanya Karin panik ke pelayan yang kini bajunya basah terkena minuman tumpah.
“Nggak apa-apa, Mbak. Cuma agak kaget aja,” jawab pelayan itu sambil membersihkan bajunya.
Raka langsung menundukkan kepala, wajahnya merah padam. Karin juga tampak menahan tawa. Alih-alih terkesan, dia malah jadi sumber perhatian di kafe.
Namun, insiden itu belum berakhir. Tanpa Raka sadari, ada seseorang yang merekam kejadian tersebut dan mengunggahnya ke media sosial dengan caption: “Komika gagal PDKT pake trik sulap, sendoknya malah nyerang pelayan.”
Keesokan harinya, saat Raka bangun tidur, ponselnya penuh dengan notifikasi.
“Don, lo lihat ini nggak? Gue viral!” teriak Raka sambil menunjukkan video dirinya yang sudah ditonton ratusan ribu kali di TikTok.
Doni, yang baru saja bangun tidur, menatap layar ponsel Raka dengan mata setengah terpejam. “Gue udah bilang, Rak. Jangan terlalu pede. Sekarang lo malah jadi bahan meme.”
Raka menghela napas panjang. “Ya ampun, Don. Gue mau cari jodoh, malah jadi seleb dadakan.”
Tiba-tiba, notifikasi lain muncul. Karin mengirimkan pesan.
“Rak, gue nggak nyangka lo bisa seviral ini, hahaha. BTW, lo nggak apa-apa kan? Gue masih pengen ketawa tiap liat videonya.”
Raka tersenyum masam. Setidaknya, Karin masih menghubunginya. Meski gagal PDKT, dia tetap mendapat perhatian—walaupun bukan dalam cara yang ia harapkan.
“Kayaknya kutukan jomblo gue makin kuat, Don. Tapi yaudahlah, minimal sekarang gue terkenal,” ujar Raka dengan nada pasrah.
Doni menepuk pundaknya sambil tertawa. “Lo emang nggak pernah gagal bikin orang ketawa, Rak. Mungkin jodoh lo tuh bukan cewek, tapi penonton setia lo di internet.”
Raka hanya bisa menghela napas sambil memandangi layar ponselnya yang terus dipenuhi komentar dari warganet. Perjalanan cintanya masih panjang, tapi satu hal yang pasti: kisahnya selalu penuh dengan kejutan dan gelak tawa.
BAB 4: SI CEWEK TUKANG NYINY
Setelah kegagalan tragis yang membuatnya viral, Raka sempat berpikir untuk vakum dari dunia percintaan. Namun, nasib berkata lain. Kehidupan percintaannya kembali diuji ketika ia berkenalan dengan seorang gadis bernama Tania, yang ternyata memiliki kebiasaan unik—nyinyir dalam segala situasi.
Pertemuan pertama mereka terjadi di sebuah acara komunitas stand-up comedy. Raka yang sudah mulai dikenal karena insiden ‘sendok melayang’ kini semakin sering diundang ke berbagai acara. Saat sedang berbincang dengan beberapa rekan komika, seorang gadis datang menghampiri dengan ekspresi setengah meledek.
“Oh, ini nih yang viral gara-gara gagal sulap,” kata Tania dengan nada penuh candaan.
Raka menghela napas. “Iya, itu gue. Tapi setidaknya gue nggak gagal bikin orang ketawa.”
Tania terkekeh. “Baguslah. Gue juga nggak suka orang yang terlalu serius. Tapi lo tahu nggak? Lo harusnya latihan trik sulap yang bener biar nggak jadi bahan meme lagi.”
Doni, yang ada di samping Raka, ikut menimpali. “Tenang, Tan. Raka ini udah legowo jadi ikon komika gagal PDKT.”
Raka hanya bisa tersenyum miris. Ia tak menyangka, dalam pertemuan pertama, Tania sudah begitu blak-blakan. Namun, ada sesuatu dalam cara bicaranya yang membuat Raka penasaran. Gadis ini bukan tipe perempuan yang akan membiarkan sesuatu berlalu begitu saja tanpa komentar.
Beberapa hari setelah pertemuan itu, mereka mulai sering bertukar pesan. Tania punya keahlian luar biasa dalam mengomentari segala hal. Mulai dari tren media sosial, kebiasaan orang-orang di sekitar, sampai cara Raka mengetik pesan.
“Kenapa lo selalu pakai ‘wkwk’ di setiap chat? Klasik banget, bro,” tulis Tania di salah satu pesan.
Raka membalas, “Ya kan biar lebih santai. Masa gue harus ketawa pake ‘hahaha’ terus? Kayak robot dong.”
“Minimal sekali-sekali pakai emoji, biar ekspresif. Kalau nggak, nanti cewek-cewek ilfeel.”
Raka tertawa kecil membaca pesan itu. Meski terdengar nyinyir, Tania punya cara berbicara yang justru membuatnya semakin tertarik. Setidaknya, dia nggak berpura-pura manis atau sok tertarik dengan hal yang tidak ia sukai.
Mereka akhirnya memutuskan untuk bertemu lagi. Kali ini, Raka mengajak Tania makan malam di sebuah warung tenda yang terkenal dengan mie ayam legendarisnya. Namun, seperti yang sudah diduga, Tania lagi-lagi memberikan komentar tajam.
“Rak, lo beneran ngajak gue ke sini? Ini tempat favorit gue pas masih SMA. Romantis banget ya?” ucap Tania sambil menatap ke arah meja plastik dan kursi lipat warung itu.
Raka tersenyum canggung. “Eh, lo suka mie ayam kan? Daripada ke restoran mahal tapi rasanya biasa aja?”
Tania mengangkat bahu. “Iya sih, tapi setidaknya lo bisa kasih effort lebih dikit. Misalnya, ngajak ke tempat yang lebih proper buat kencan pertama.”
“Jadi ini kencan?” potong Raka cepat.
Tania langsung terdiam. Wajahnya yang biasanya penuh ekspresi nyinyir tiba-tiba berubah. Ia tak menyangka bahwa Raka akan membalikkan situasi seperti itu.
“Uhuk… Gue nggak bilang ini kencan. Gue cuma bilang… yah, ini pertemuan yang lebih formal dari sebelumnya,” kata Tania, berusaha mengalihkan pembicaraan.
Raka tertawa. “Jadi lo ngajak gue serius atau tetep nyinyirin gue?”
Tania akhirnya ikut tertawa. “Mungkin dua-duanya. Tapi serius, lo tuh orang yang menarik. Meski gue harus banyak nyinyir, gue tetap menikmati waktu ngobrol sama lo.”
Malam itu, Raka mulai menyadari sesuatu. Meski Tania adalah cewek tukang nyinyir, ada kejujuran dalam setiap kata-katanya. Dia bukan tipe yang basa-basi atau menutupi sesuatu hanya demi menyenangkan orang lain. Justru hal itu yang membuat Raka merasa nyaman.
“Don, lo tahu nggak? Kayaknya gue mulai suka sama Tania,” kata Raka keesokan harinya saat ngobrol dengan Doni.
Doni menatapnya dengan wajah penuh keheranan. “Lo yakin? Cewek itu kan nggak ada remnya kalau ngomong. Bisa-bisa lo jadi bahan nyinyiran dia selamanya.”
Raka menghela napas sambil tersenyum. “Mungkin itu tantangan baru buat gue. Siapa tahu, gue bisa jadi cowok pertama yang bikin dia speechless.”
Doni menggeleng-gelengkan kepala. “Gue cuma bisa bilang, selamat berjuang, Rak. Siap-siap aja kalau nanti tiap gerakan lo dikomentarin.”
Raka hanya bisa tertawa. Ia tahu perjalanan ini tidak akan mudah. Tapi satu hal yang pasti, bersama Tania, hidupnya tidak akan pernah membosankan.
BAB 5: DUKA DI BALIK TAWANYA
Raka selalu dikenal sebagai orang yang ceria. Di setiap pertemuan, di setiap panggung stand-up comedy yang ia jalani, gelak tawa selalu mengikuti. Ia adalah sosok yang bisa membuat suasana menjadi ringan dengan candaan recehnya. Namun, tak banyak yang tahu bahwa di balik semua tawa itu, ada luka yang ia sembunyikan rapat-rapat.
Sore itu, Raka duduk di bangku taman, menatap kosong ke arah langit yang mulai berwarna jingga. Di sampingnya, Tania duduk diam, tak seperti biasanya yang selalu nyinyir atau memberi komentar tajam. Ia merasakan ada sesuatu yang berbeda dari Raka.
“Lo kenapa sih, Rak? Biasanya lo nggak bisa diam kalau ada kesempatan buat nyeletuk. Sekarang malah diem kaya patung,” ujar Tania akhirnya memecah keheningan.
Raka menghela napas. “Nggak apa-apa, Tan. Gue cuma lagi mikir aja.”
Tania menatap Raka dengan mata penuh selidik. “Lo pikir gue bakal percaya omongan lo yang gitu doang? Ayolah, gue tahu lo lebih baik dari itu. Lo boleh bercanda terus di depan orang lain, tapi nggak di depan gue.”
Raka tersenyum kecil, namun tatapan matanya tetap muram. “Tania, lo pernah nggak sih ngerasa kaya lo harus ketawa supaya orang lain nggak tahu kalau lo sebenernya lagi hancur?”
Tania terdiam. Ia tidak menyangka akan mendengar kata-kata itu dari seorang Raka, orang yang selalu ia lihat sebagai sosok yang kuat dan penuh humor.
“Gue udah terbiasa jadi orang yang harus bikin orang lain ketawa. Dari kecil, gue tahu kalau gue nggak bisa jadi yang paling pintar atau paling ganteng, tapi gue bisa jadi yang paling lucu. Itu yang bikin orang-orang suka sama gue,” lanjut Raka. “Tapi kadang… kadang gue ngerasa capek sendiri.”
Tania tidak langsung menjawab. Ia membiarkan Raka melanjutkan.
“Lo tahu nggak, dulu gue punya kakak yang selalu jadi inspirasi gue buat stand-up comedy? Dia yang ngajarin gue semua ini. Sayangnya, dia pergi terlalu cepat… Kanker lambung, Tan. Gue nggak bisa ngapa-ngapain selain liat dia makin lemah setiap hari. Sejak saat itu, gue janji ke diri sendiri, gue harus bikin orang lain ketawa. Gue nggak mau ada orang lain yang ngerasain kesedihan yang sama kaya yang gue rasain waktu itu.”
Tania menelan ludah. Ia tak pernah menyangka bahwa di balik semua lawakan dan candaan Raka, ada kisah yang begitu menyakitkan.
“Rak… gue nggak tahu harus ngomong apa. Tapi lo tahu nggak, lo nggak harus selalu jadi badut buat semua orang. Lo juga manusia. Lo boleh sedih, lo boleh nangis. Nggak ada yang bakal nyalahin lo.”
Raka tertawa kecil, meskipun suaranya terdengar getir. “Gue tahu, Tan. Tapi entah kenapa, gue lebih nyaman nyembunyiin rasa sakit gue di balik komedi. Mungkin itu cara gue buat bertahan.”
Tania menggenggam tangan Raka sebentar, memberi sedikit kehangatan. “Tapi jangan sampai lo kehilangan diri lo sendiri dalam semua ini, Rak. Nggak apa-apa kok kalau lo mau cerita ke gue. Nggak semua orang datang ke hidup lo buat ditertawakan, ada juga yang mau ada buat lo, tanpa harus lo jadi lucu.”
Raka terdiam. Hatinya terasa hangat dengan ucapan Tania. Mungkin untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa bahwa ia tidak perlu selalu kuat. Bahwa ada seseorang yang mau mendengarkan, tanpa menuntutnya untuk terus menghibur.
Senja semakin meredup, dan Raka tahu, meskipun duka itu masih ada, ia tak perlu lagi menyembunyikannya sendirian.
.
BAB 6: KENCAAU
Raka berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya dengan penuh harapan. Malam ini adalah malam penting—malam yang bisa mengubah statusnya dari jomblo akut menjadi pria yang akhirnya memiliki pasangan. Setelah melewati berbagai drama kocak dalam misinya mencari jodoh, akhirnya ia berhasil mendapatkan kesempatan untuk berkencan dengan Tania.
“Oke, Rak, ini bukan waktunya buat salah langkah. Lo harus tampil maksimal,” gumamnya sambil merapikan kerah kemeja.
Doni, sahabat setianya, tiba-tiba menyembul dari pintu kamar. “Lo yakin bakal berhasil malam ini? Mengingat track record lo yang lebih sering bikin orang ngakak daripada terpesona.”
Raka mendengus. “Don, lo underestimate gue. Kali ini gue udah siap lahir batin. Gue nggak bakal ngelucu terus. Gue bakal jadi pria gentle, penuh pesona, dan romantis.”
Doni tertawa lepas. “Iya-iya, kita lihat aja nanti. Jangan sampai lo malah bikin malapetaka di kencan pertama lo.”
Dengan percaya diri, Raka berangkat ke restoran tempat ia sudah membuat reservasi. Tania sudah menunggunya di sana, duduk dengan anggun di sudut ruangan. Ia mengenakan dress berwarna biru, terlihat lebih cantik dari biasanya.
“Wow, Tan, lo cantik banget malam ini,” ucap Raka sambil menarik kursinya.
Tania tersenyum kecil. “Tumben lo nggak mulai dengan lelucon garing.”
“Kali ini gue serius,” kata Raka sambil tersenyum.
Kencan itu berjalan cukup lancar… sampai tiba-tiba datang malapetaka pertama. Saat Raka hendak mengambil gelas untuk minum, tanpa sengaja ia malah menjatuhkan sendok ke piring yang penuh saus. Percikan saus itu melesat seperti proyektil, tepat mengenai wajah seorang pria di meja sebelah.
Pria tersebut, yang tampak seperti seorang eksekutif muda, langsung menatap Raka dengan ekspresi penuh amarah. “Serius, bro? Lo baru pertama kali makan di restoran atau gimana?”
Raka tersipu. “Eh, maaf, Bang. Gue nggak sengaja. Nih, pakai tisu gue buat bersihin.”
Tania sudah mulai menutup wajah dengan telapak tangannya. Ia tampak seperti menahan tawa dan malu di saat yang bersamaan.
Saat suasana mulai tenang, pelayan datang membawa makanan mereka. Raka, yang bertekad ingin memberikan kesan terbaik, mencoba bersikap elegan dengan cara memotong steak dengan tenang. Sayangnya, ia tidak sadar bahwa pisaunya ternyata licin, dan ketika ia menekan terlalu keras, daging itu malah terpental dari piringnya dan mendarat tepat di pangkuan seorang wanita di meja sebelah.
Wanita itu menjerit kecil, sementara pasangannya langsung melotot ke arah Raka. “Bro, lo mau ngajak ribut?!”
Raka mati-matian menahan diri untuk tidak tertawa, meskipun di dalam hatinya ia ingin menghilang ke dimensi lain. “Bang, tenang. Ini cuma daging, bukan peluru. Nggak ada yang terluka, kan?”
Tania akhirnya meledak tertawa. Ia benar-benar tak bisa menahan geli melihat Raka yang selalu apes di setiap kesempatan. “Rak, lo nggak pernah berubah, ya?”
Raka ikut tertawa. “Gue udah berusaha keras buat jadi cowok normal, tapi kayaknya takdir nggak mengizinkan.”
Meskipun malam itu berakhir dengan kekacauan, Raka merasa lega. Alih-alih melihatnya sebagai kegagalan, ia menyadari bahwa justru itulah dirinya—seseorang yang, meskipun selalu apes, tetap bisa membuat orang lain tertawa dan bahagia. Dan yang lebih penting, Tania tidak meninggalkan meja kencan mereka dengan rasa kecewa.
Saat mereka keluar dari restoran, Tania menoleh ke arah Raka. “Lo tahu nggak, Rak? Mungkin gue nggak butuh cowok yang sempurna. Tapi gue butuh cowok yang bisa bikin gue ketawa tiap hari.”
Raka terdiam sejenak, lalu tersenyum lebar. “Berarti gue lulus ujian kencan, dong?”
Tania terkekeh. “Belum tentu. Kita lihat seberapa lama lo bisa bertahan tanpa bikin kekacauan lagi.”
Malam itu, Raka pulang dengan hati yang lebih ringan. Meskipun kencannya kacau balau, ia merasa bahwa mungkin, hanya mungkin, ia mulai menemukan seseorang yang bisa menerima dirinya apa adanya.
Bab 7: Berang Komedi vs Romantis
Lala menatap ponselnya, jari-jarinya bergerak ragu di atas layar sentuh. Sudah beberapa kali ia ingin mengirim pesan kepada Raka, tetapi selalu saja ia menahan diri. Hari itu, ia merasa ada yang berbeda. Ia telah lama mendekati Raka, tetapi kali ini perasaan itu semakin kuat. Ada rasa yang tak bisa ia ungkapkan, sebuah perasaan yang menyelimuti hatinya dengan lembut. Lala mulai sadar bahwa dia telah jatuh hati pada pria itu, meskipun banyak hal tentangnya yang tidak sesuai dengan ekspektasinya.
Namun, satu hal yang mengganggu pikirannya adalah sikap Raka yang selalu bercanda dalam setiap situasi. Tak ada yang bisa membuatnya serius, bahkan ketika masalah itu berkaitan dengan perasaan. Lala merasa sedikit frustasi. Dia tahu bahwa dia menginginkan sesuatu yang lebih—sesuatu yang lebih mendalam, lebih serius. Tetapi, di sisi lain, Raka tampaknya hanya ingin bermain-main.
Suatu hari, setelah mereka selesai makan siang bersama, Lala memutuskan untuk berbicara dengan Raka. Momen itu tepat. Mereka duduk di sebuah bangku taman yang teduh, dikelilingi oleh pohon-pohon yang mulai menguning daun-daunnya. Angin sepoi-sepoi meniup rambut Lala, memberikan ketenangan dalam keheningan. Tapi ketenangan itu, bagi Lala, terasa begitu penuh dengan kegelisahan.
“Aku perlu bicara denganmu,” kata Lala, suaranya terdengar lebih serius dari biasanya.
Raka yang biasanya ceria dan penuh candaan kali ini menatapnya dengan tatapan sedikit bingung. “Ada apa, Lala? Kenapa tiba-tiba jadi serius gitu?”
Lala menarik napas dalam-dalam, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Raka, aku… aku merasa belakangan ini aku mulai… menyukaimu,” ucapnya dengan pelan, namun jelas.
Raka terdiam sejenak, seolah mencoba mencerna kata-kata Lala. Senyuman khasnya muncul, tetapi kali ini tampak sedikit terpaksa. “Oh, jadi begitu,” jawabnya dengan nada ringan, meski di dalam hatinya, ada sesuatu yang bergemuruh.
“Aku tahu kamu mungkin tidak terlalu serius dengan hubungan ini, tapi aku benar-benar… benar-benar ingin tahu apakah kamu merasakan hal yang sama.” Lala menunduk, sedikit merasa canggung dengan keberaniannya untuk mengungkapkan perasaan itu.
Raka tersenyum, tapi kali ini senyumannya terasa lebih datar. “Lala, kamu tahu kan, aku nggak terlalu suka ngomongin hal-hal serius. Aku lebih suka bercanda, itu cara aku untuk… mengatasi semuanya. Gimana kalau kita nikmatin aja dulu? Tanpa harus mikirin masa depan yang bikin pusing.”
Lala merasa hatinya teriris mendengar jawaban itu. Raka memang selalu seperti itu—selalu menghindar dari hal-hal serius. “Tapi, Raka,” Lala melanjutkan, “aku bukan hanya ingin bercanda. Aku mulai merasa lebih dari itu.”
Raka sedikit terkejut mendengar penjelasan Lala. Dia tahu bahwa dirinya sering kali terlalu santai dalam menghadapi banyak hal. Bahkan, dalam banyak kesempatan, dia merasa cemas untuk membuka hati, takut terluka atau terlalu terikat pada sesuatu yang mungkin akhirnya tidak bisa dia jaga. Namun, dia juga tidak ingin kehilangan Lala. Perasaannya sendiri tidak bisa dipungkiri, meskipun dia terlalu sering mengemasnya dalam bentuk candaan.
“Sebenarnya, Lala,” Raka mulai dengan suara yang lebih serius, “aku juga suka sama kamu. Tapi aku nggak tahu gimana harus mulai. Aku takut kalau kita terlalu serius, semuanya jadi berat dan aku nggak bisa ngelakuin apa-apa lagi. Aku cuma pengen kita tetap nyaman dan bahagia.”
Lala menatap Raka dengan bingung. Dia tidak tahu harus bagaimana menerima penjelasan itu. Di satu sisi, ia merasa senang mendengar bahwa Raka juga menyukainya. Tetapi di sisi lain, dia merasa kecewa karena Raka lebih memilih menghindari kedalaman perasaan mereka.
“Kamu tahu kan, Raka,” Lala memulai lagi, mencoba menahan perasaannya, “ada kalanya aku cuma ingin tahu apakah kamu juga serius dengan hubungan ini, atau apakah aku cuma bagian dari leluconmu. Aku capek kalau semuanya selalu bercanda.”
Raka merasa hatinya berat mendengar kata-kata Lala. Dia menyadari bahwa selama ini, dia terlalu sering menganggap segalanya enteng. Namun, saat melihat betapa seriusnya Lala, dia merasa perlu berpikir lebih dalam. “Aku nggak mau kamu merasa seperti itu, Lala,” jawabnya, kali ini dengan suara yang lebih rendah. “Aku mungkin nggak pandai mengekspresikan perasaan, tapi aku nggak mau kamu merasa terluka. Aku suka sama kamu, lebih dari sekedar teman.”
Lala merasa sedikit lega mendengar pengakuan itu, meskipun dia masih merasa bimbang. “Jadi, apa yang harus kita lakukan?” tanyanya, ingin tahu apakah ada harapan untuk hubungan ini.
Raka menghela napas, menyadari bahwa ia tidak bisa lagi menghindar. “Mungkin kita bisa coba lihat ke depannya, tanpa terburu-buru. Aku janji, aku akan berusaha lebih serius, meskipun itu nggak mudah buatku. Aku akan coba… lebih perhatian sama perasaan kamu.”
Lala tersenyum sedikit, merasa sedikit lega. Meskipun Raka bukan orang yang mudah mengungkapkan perasaan, tetapi ada secercah harapan bahwa dia bisa berubah. “Aku berharap kita bisa lebih serius, Raka. Tapi aku nggak mau terus-terusan jadi bahan lelucon.”
Raka mengangguk, berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan berusaha menjadi lebih baik untuk Lala. “Aku nggak janji kita akan langsung berubah jadi pasangan yang sempurna, tapi aku janji akan coba menjadi lebih baik.”
Mereka duduk bersama dalam keheningan, tetapi kali ini, keheningan itu terasa lebih hangat. Di antara mereka, ada sebuah pemahaman baru yang tumbuh. Raka tahu bahwa mungkin dia harus belajar untuk lebih serius, dan Lala menyadari bahwa cinta itu membutuhkan waktu untuk berkembang. Namun, satu hal yang pasti—mereka sudah memulai langkah baru dalam perjalanan ini, dan itu adalah awal yang baik.
Bab 8: Cinta dalam Sebuah Lelucon
Raka duduk di ruang tamu apartemennya yang sederhana, memandang layar ponselnya yang menunjukkan nama Lala. Sejak pertemuan mereka di taman, suasana di antara mereka terasa sedikit lebih ringan. Namun, di dalam hatinya, Raka masih merasakan perasaan cemas yang menggelayuti pikirannya. Lala menginginkannya untuk lebih serius, tapi Raka merasa seperti berada di persimpangan jalan, bingung harus mengambil langkah yang bagaimana.
Hari itu, Lala mengirim pesan lagi, kali ini lebih ceria dari sebelumnya.
**Lala:**
*“Raka, hari ini aku baru saja nonton film komedi! Aku kira aku nggak bisa berhenti ketawa! Nanti aku ceritain, ya!”*
Raka tersenyum melihat pesan itu. Lala selalu memiliki cara untuk membuatnya merasa lebih ringan, bahkan ketika hatinya penuh dengan keraguan. Lalu, ia membalas dengan gaya khasnya, sedikit bercanda.
**Raka:**
*“Haha, kalau kamu ketawa terus nanti susah tidur, loh! Jangan sampe ganggu orang sekitar, nanti dibilang nggak sopan.”*
Lala langsung membalas dengan emoji tertawa, dan Raka merasa sedikit lega. Meskipun kata-katanya tidak selalu dalam konteks serius, ia tahu bahwa Lala senang dia tetap bisa bercanda dengannya. Namun, Raka juga tahu bahwa ini bukan sekadar soal lelucon lagi. Ada sesuatu yang lebih dalam di balik interaksi mereka. Lala sudah mengungkapkan perasaannya, dan dia tahu dirinya juga menyukai gadis itu, meski sering kali bersembunyi di balik humor.
Pagi berikutnya, mereka sepakat untuk bertemu di sebuah kafe yang biasa mereka kunjungi. Raka tiba terlebih dahulu dan duduk di meja yang mereka pilih. Dia melihat sekeliling, mengamati orang-orang yang sibuk dengan aktivitas mereka. Di antara keramaian itu, dia merasa sedikit cemas. Sebuah perasaan yang aneh mengusik dirinya, perasaan yang biasanya dia hindari dengan candaan. Tapi kali ini, dia tidak bisa menghindarinya.
Ketika Lala tiba, dia langsung menuju meja mereka dengan senyum lebar. Raka pun menyambutnya dengan senyuman lepas, meskipun ada sedikit ketegangan yang terasa. “Lala, kamu pasti udah punya cerita seru kan? Gimana filmnya?” tanyanya, mencoba membangun percakapan dengan cara yang familiar.
Lala duduk dan langsung memulai cerita panjangnya tentang film komedi yang baru ia tonton. “Aku bener-bener ketawa sampai nangis! Ada adegan yang bikin aku nggak tahan, sampe kayaknya nggak bisa berhenti ketawa.” Lala menirukan ekspresi lucu dari karakter dalam film itu, dan Raka pun ikut tertawa, meskipun ada sesuatu yang masih mengganjal di hatinya.
Namun, setelah beberapa saat, Lala menyadari bahwa Raka tidak terlihat seperti biasanya. Senyumnya agak dipaksakan, dan matanya tampak lebih serius daripada biasanya. “Eh, Raka, ada yang ganggu ya?” tanyanya, mengamati perubahan sikap Raka.
Raka terdiam, matanya beralih ke cangkir kopi di hadapannya. “Nggak apa-apa, Lala,” jawabnya cepat, mencoba menutupi kegelisahannya dengan senyuman. “Cuma… aku mulai mikir soal apa yang kamu bilang kemarin.”
Lala terkejut, kemudian mengerutkan kening. “Maksudnya?”
“Ya, tentang kita. Kamu kan bilang kamu mulai serius. Aku nggak bisa terus-terusan bikin lelucon tentang semuanya, kan?” Raka menatap Lala, merasa sedikit canggung. Dia tidak tahu bagaimana harus menjelaskan perasaannya yang sebenarnya. “Aku cuma nggak tahu gimana harus serius. Aku takut kalau aku terlalu serius malah jadi aneh, dan kita malah nggak nyaman.”
Lala menatapnya, merasa sedikit tersentuh. “Raka, kamu nggak harus takut jadi aneh. Aku cuma pengen kita jadi lebih jujur. Aku nggak mau hubungan ini cuma jadi bahan lelucon terus-menerus, kita harus bisa bicara serius juga.”
Raka tertawa ringan, meskipun di dalam hatinya ada rasa hangat yang mulai tumbuh. “Gini deh, Lala. Aku janji bakal coba serius, tapi bukan berarti aku berhenti jadi diri aku yang suka bercanda, ya. Cinta itu kan juga bisa jadi lelucon, kan? Kalau kita terlalu serius, bisa jadi kaku.”
Lala memandangi Raka, sedikit terkejut dengan jawabannya. “Jadi, kamu pikir kita bisa punya hubungan yang serius, tapi tetep seru?”
“Kenapa nggak?” jawab Raka, sambil mengangkat bahu. “Serius itu penting, tapi bukan berarti kita harus melupakan tawa dan kebahagiaan. Cinta itu, buatku, ya kayak film komedi—kadang harus ada momen lucu, biar nggak bosen.”
Lala tersenyum, merasa sedikit lega mendengar penjelasan Raka. Dia tahu bahwa Raka memang tidak akan pernah menjadi orang yang sepenuhnya serius, tapi mungkin itulah yang membuatnya begitu istimewa. “Aku ngerti, Raka. Mungkin aku yang terlalu serius mikirin ini semua. Tapi, kamu bener, kadang cinta itu memang butuh tawa.”
Raka mengangguk, senyum nakalnya kembali muncul. “Jadi, kita nggak akan jadi pasangan yang penuh drama, kan? Kita tetap bisa saling bercanda dan tetap bahagia. Aku janji, Lala, aku akan berusaha jadi lebih perhatian, tapi kita tetap harus seru.”
Lala tertawa, merasa ringan. “Oke, kalau begitu. Kita coba jalani ini dengan tawa dan sedikit keseriusan, ya?”
Hari itu, mereka akhirnya merasa lebih tenang. Raka mungkin tidak akan bisa menghilangkan kebiasaan bercandanya, tetapi Lala juga mulai menerima bahwa cinta mereka bisa berkembang dengan cara yang unik. Mereka tak perlu menjadi pasangan yang sempurna; yang terpenting adalah mereka bisa saling memahami dan menikmati momen bersama.
Cinta mereka mungkin tidak seperti kisah-kisah romantis yang penuh dengan kata-kata indah atau kisah dramatis, tetapi itu adalah cinta dalam sebuah lelucon—cinta yang ringan, penuh tawa, dan selalu ada ruang untuk keseriusan ketika diperlukan. Dengan cara mereka sendiri, Raka dan Lala tahu bahwa mereka akan tetap bersama, meskipun dunia mereka penuh dengan humor dan kejutan.
Bab 9: Ditolak di Depan Umum
Hari itu cerah, cuaca hangat, dan suasana kota terasa hidup dengan berbagai kegiatan yang terjadi di sekitar. Raka dan Lala sedang berjalan bersama menuju sebuah kafe di pusat kota. Mereka berdua tertawa lepas, seperti biasa, tanpa ada beban. Meski masih ada ketegangan yang sedikit terasa di antara mereka, terutama setelah pembicaraan tentang hubungan mereka yang lebih serius beberapa waktu lalu, keduanya sepakat untuk menikmati waktu bersama tanpa terburu-buru.
Namun, hari itu, Raka merasakan ada sesuatu yang berbeda. Ada dorongan kuat dalam dirinya untuk mengungkapkan sesuatu yang lebih dalam, sebuah perasaan yang sudah lama ia pendam. Ia sudah cukup lama merasa bahwa Lala adalah orang yang tepat untuknya. Namun, di balik perasaan itu, ada ketakutan yang mengganggu. Ketakutan bahwa perasaan yang ia rasakan tidak akan diterima. Meskipun Lala selalu mengingatkannya untuk lebih serius, Raka masih merasa ragu akan bagaimana cara terbaik untuk mengungkapkan perasaannya.
Setelah duduk di meja dekat jendela kafe yang nyaman, Raka memutuskan untuk mengajukan pertanyaan yang sudah lama mengendap di benaknya. “Lala, aku mau nanya sesuatu, dan ini agak serius,” katanya sambil menatap wajah Lala dengan sedikit kecemasan.
Lala menatapnya, heran dengan nada serius yang tiba-tiba berubah. “Ada apa, Raka? Kok serius banget?” tanyanya, mencoba mencari tahu apa yang membuat Raka berubah suasana.
Raka menarik napas dalam-dalam. “Aku cuma mau tanya, Lala. Kalau misalnya aku bilang aku suka banget sama kamu, lebih dari sekadar teman, kamu bakal gimana?”
Lala terdiam sejenak. Matanya terfokus pada Raka, seolah mencoba mencari makna dari kata-kata itu. “Raka, kamu serius?” tanya Lala akhirnya, tetapi nadanya terdengar ragu, seperti ada sesuatu yang mengganjal di dalam hatinya.
“Ya, aku serius,” jawab Raka, kali ini lebih tegas. “Aku sudah lama mikir tentang kita, dan aku merasa kamu itu lebih dari sekadar teman buatku. Aku suka banget sama kamu, Lala. Aku ingin kita coba lebih dari ini.”
Lala terdiam lama, wajahnya berubah sedikit cemas. Raka yang duduk di hadapannya bisa melihat ekspresi itu, dan hatinya tiba-tiba terasa berat. Mungkin dia sudah terlalu terburu-buru mengungkapkan perasaan, tanpa memikirkan apa yang mungkin Lala rasakan.
Setelah beberapa detik yang terasa begitu lama, Lala akhirnya menghela napas, dan dengan suara pelan berkata, “Raka… aku… aku nggak bisa.”
Raka merasa dunia seperti berhenti berputar. Kata-kata itu seperti hantaman keras yang langsung menghentakkan perasaannya. “Apa maksud kamu, Lala?” tanyanya, mencoba mencerna kalimat yang baru saja keluar dari mulut Lala.
Lala menunduk, menggigit bibir bawahnya, sebelum akhirnya dia mengangkat wajahnya lagi dan berkata, “Aku nggak bisa menjawab perasaan kamu, Raka. Aku… aku nggak siap. Aku nggak melihat kita bisa lebih dari ini.”
Raka merasa seperti ada ribuan batu yang jatuh di dadanya. Perasaannya tercabik-cabik, dan dia merasa dipermalukan di depan umum, di depan Lala yang selama ini dia anggap sebagai teman dekat. Namun, yang lebih menyakitkan adalah kenyataan bahwa perasaan yang ia harapkan akan diterima dengan hangat ternyata ditolak dengan lembut, namun tegas.
“Lala, kenapa?” tanya Raka, suara hatinya mulai pecah. “Aku nggak paham. Apa yang salah dengan kita? Kita sudah lama saling kenal, kita sering ketawa bareng. Kamu nggak lihat apa yang aku rasakan?”
Lala terlihat bingung, seolah mencoba mencari cara yang paling baik untuk menjelaskan. “Bukan karena aku nggak suka sama kamu, Raka. Aku cuma nggak siap buat hubungan yang lebih serius. Aku takut, dan aku nggak mau mengecewakan kamu.”
Raka merasakan kehangatan di dadanya perlahan menghilang. Dia tidak tahu harus berkata apa lagi. Meskipun jawabannya terdengar masuk akal, dia tetap merasa hancur. Setiap kata yang diucapkan Lala bagaikan duri yang menembus hatinya, dan tak ada cara yang bisa menghapus rasa sakit itu.
Beberapa detik berlalu dalam keheningan yang berat. Raka akhirnya menarik napas panjang dan mengangguk, meskipun hatinya terasa hancur. “Baiklah, Lala. Kalau itu yang kamu rasakan, aku nggak bisa memaksakan. Aku cuma… aku cuma berharap kita bisa lebih.”
Lala menatapnya dengan wajah penuh penyesalan. “Aku nggak ingin kamu merasa sakit, Raka. Kamu adalah teman yang penting buat aku, dan aku nggak mau kehilangan itu. Tapi aku nggak bisa lebih dari ini.”
Raka tersenyum pahit, berusaha menahan perasaan yang mulai menggenang di matanya. “Aku ngerti, Lala. Aku cuma… nggak nyangka kita bakal sampai di sini.”
Lala menghela napas, menatap Raka dengan tatapan penuh rasa bersalah. “Aku benar-benar minta maaf. Aku nggak mau kamu ngerasa buruk, tapi aku cuma nggak bisa ngasih apa yang kamu inginkan.”
Dengan berat hati, Raka berusaha untuk menerima kenyataan itu. Mereka menghabiskan sisa waktu mereka di kafe dalam keheningan yang canggung. Tidak ada lagi tawa atau candaan seperti biasanya. Raka merasa semua yang ada di sekelilingnya begitu asing, seolah dunia ini tidak lagi ramah terhadap perasaannya.
Ketika mereka berpisah, Raka hanya bisa tersenyum lemah. Dia tahu, meskipun rasa sakit itu terasa begitu dalam, hidup harus terus berjalan. Lala mungkin tidak bisa memberinya apa yang dia inginkan, tapi setidaknya, dia masih punya kenangan indah bersama Lala yang akan selalu dia simpan. Namun, untuk pertama kalinya, dia merasa perasaan cinta yang dia pendam telah hancur dalam satu detik—ditolak di depan umum, di hadapan orang yang sangat dia sayangi.
Bab 10: Jodoh Memang di Ujung Ketawa
Hari setelah penolakan itu, Raka merasa seperti seseorang yang kehilangan arah. Setiap langkah yang dia ambil seolah terasa berat, seakan-akan dunia di sekitarnya berhenti berputar. Dia mencoba untuk tidak terlalu terbebani dengan perasaan kecewa yang menggelayuti hatinya, tetapi sejujurnya, tidak mudah. Kafe yang sebelumnya selalu menjadi tempat favoritnya untuk bercanda bersama Lala kini terasa asing, dan setiap sudut kota yang mereka jelajahi bersama menyisakan kenangan yang menyakitkan.
Namun, kehidupan harus terus berjalan. Raka tahu dia harus menghadapinya. Hari itu, dia duduk di bangku taman sendirian, menatap langit biru yang cerah. Cuma ada suara burung berkicau dan angin sepoi-sepoi yang menenangkan. Dia menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya yang masih kacau.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar, dan ketika melihat layar, dia melihat nama Lala yang muncul di sana. Rasa ragu sejenak menggelayuti hatinya. Apakah dia harus membalas? Bukankah mereka baru saja terpisah dengan perasaan yang tidak menyenangkan? Tetapi kemudian, rasa ingin tahu mengalahkan keraguannya, dan dia membuka pesan itu.
**Lala:**
*“Raka, aku minta maaf banget kalau kamu ngerasa kecewa sama apa yang aku bilang kemarin. Aku nggak ingin kamu merasa terluka. Aku tahu aku mungkin agak bingung, tapi aku ingin tetap jadi teman baik kamu. Kita nggak harus putus hubungan kan?”*
Raka terdiam sejenak membaca pesan itu. Ada rasa hangat yang mulai muncul di dadanya. Meskipun Lala tidak bisa memberikan jawaban yang dia harapkan, dia merasa Lala tetap peduli padanya. Tanpa ragu, dia membalas pesan itu.
**Raka:**
*“Nggak apa-apa, Lala. Aku ngerti kok. Aku cuma… nggak bisa langsung terima aja. Tapi aku hargain keputusan kamu. Kita tetap teman, kan?”*
Tak lama setelah itu, Lala membalas dengan emoji senyum yang hangat, dan Raka merasa sedikit lega. Mungkin memang benar, terkadang perasaan cinta memang tidak bisa dipaksakan, tapi persahabatan mereka bisa tetap bertahan.
Beberapa hari berlalu, dan meskipun suasana hatinya tidak sepenuhnya pulih, Raka mencoba untuk menjalani hari-harinya dengan lebih baik. Namun, seperti biasa, setiap kali dia mendengar tawa Lala atau melihat senyumnya, hatinya kembali merasa terombang-ambing.
Hari itu, mereka berdua bertemu di taman seperti biasa, dan meskipun suasana di antara mereka sempat canggung, mereka mulai berbicara lagi dengan santai. Lala yang biasanya ceria, kini sedikit lebih hati-hati saat berbicara dengan Raka. Namun, meskipun ada jarak yang sedikit lebih terasa, ada juga kenyamanan di antara mereka yang mulai pulih perlahan.
“Raka,” Lala memulai dengan suara yang ceria meski ada sedikit rasa gugup di sana. “Kamu tahu nggak? Aku baru saja nonton video lucu yang bikin aku ngakak banget!”
Raka tersenyum mendengar itu. Meski hatinya masih tergores oleh penolakan, dia tahu bahwa tawa Lala adalah sesuatu yang tak bisa dia abaikan. “Ya ampun, Lala, kamu ini, ya! Kamu kalau udah ketawa, bisa bikin orang ikut ketawa juga,” jawabnya dengan nada bercanda, mencoba mengembalikan suasana.
Lala tertawa ringan, dan tanpa sadar, suasana di sekitar mereka pun kembali terasa seperti dulu—penuh tawa dan canda. Seperti ada sebuah ikatan yang tidak bisa diputuskan, meskipun perasaan cinta yang terpendam tak bisa diungkapkan dengan cara yang mereka inginkan.
“Kenapa kamu bisa ketawa terus, sih?” tanya Raka, sedikit heran dengan semangat Lala yang selalu tampak tak pernah pudar.
Lala tersenyum lebar. “Karena hidup ini memang lebih indah kalau kita bisa ketawa, Raka. Terkadang, tawa itu yang bikin semua masalah terasa lebih ringan.”
Raka terdiam mendengar kata-kata Lala. Ia mulai menyadari sesuatu yang sangat sederhana, tapi seringkali terlupakan—tawa itu adalah obat terbaik. Dalam tawa itu, ada kebahagiaan yang bisa melupakan segala kesedihan. Mungkin, memang benar, jodoh itu bisa datang dari tempat yang tidak terduga, bahkan bisa berada di ujung ketawa.
Raka memandang Lala dengan senyuman yang tulus. “Mungkin kamu benar, Lala. Tawa itu… bisa membawa kita lebih dekat daripada yang kita kira. Aku selalu suka kalau kita bisa ketawa bareng.”
Lala menatapnya dengan penuh perhatian. “Aku juga, Raka. Mungkin kita nggak harus jadi pasangan yang sempurna. Mungkin kita memang ditakdirkan untuk jadi teman yang bisa saling buat ketawa, bahkan ketika ada banyak hal yang nggak bisa kita ungkapkan.”
Mendengar itu, Raka merasa sebuah beban di dadanya perlahan hilang. Mungkin mereka memang tidak ditakdirkan untuk menjadi pasangan, tapi setidaknya, mereka bisa tetap saling mendukung dan menjadi teman yang tak terpisahkan. Cinta bisa datang dengan cara yang berbeda, dan terkadang, itu tidak harus berupa hubungan romantis yang penuh dengan drama. Terkadang, cinta datang dalam bentuk yang paling sederhana, seperti tawa yang membahagiakan.
“Jadi, kamu tetap mau jadi teman aku, kan?” tanya Raka dengan senyum nakal, mencoba menggoda seperti dulu.
Lala tertawa kecil. “Tentu saja! Siapa lagi yang mau ketawa bareng kamu kalau bukan aku?” jawabnya dengan penuh canda, dan Raka ikut tertawa, merasa bahwa semuanya tidak perlu rumit.
Mereka duduk bersama di bangku taman itu, berbicara tentang hal-hal kecil yang membuat mereka tertawa. Mungkin mereka tidak akan pernah menjadi pasangan, tetapi setidaknya, mereka tahu bahwa mereka telah menemukan kebahagiaan di dalam persahabatan mereka, dan itulah yang paling penting.
Hari itu, Raka menyadari bahwa terkadang jodoh memang tidak selalu ada di ujung cinta, tetapi di ujung ketawa. Cinta bisa datang dalam berbagai bentuk, dan dalam tawa, mereka telah menemukan satu bentuk yang paling indah dari semua.
Struktur ini bisa dikembangkan lebih lanjut sesuai dengan alur yang lebih mendetail. Apakah kamu ingin menambahkan elemen tertentu dalam ceritanya? ***
………………………..THE END………………………