• Latest
  • Trending
  • All
  • Movie Review
  • Box Office
  • Trailer
  • Action
  • Romantic
  • Comedy
  • Horror
  • Serial Movie
  • Genre
JEJAK TANPA JEJAK

JEJAK TANPA JEJAK

January 28, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025
JEJAK DI PINTU TERLARANG

JEJAK DI PINTU TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

May 17, 2025
TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

May 17, 2025
PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

May 12, 2025
HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

May 12, 2025
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

May 10, 2025
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

LUKISAN YANG MENANGIS

May 10, 2025
  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
No Result
View All Result
Novel Story
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah
Novel Story
JEJAK TANPA JEJAK

JEJAK TANPA JEJAK

by MABUMI
January 28, 2025
in Drama Kehidupan
Reading Time: 31 mins read

Bab 1: Awal yang Tak Terlihat

Arga duduk di meja kerjanya, menghadap layar komputer yang menyala dengan deretan angka-angka yang sama sekali tidak menarik perhatiannya. Di luar jendela, hujan rintik-rintik mulai turun, menciptakan irama pelan yang mengiringi hari-hari panjang yang terasa semakin monoton. Pekerjaan di kantor tidak pernah terasa lebih berat dari hari itu. Tidak ada tantangan yang berarti, tidak ada semangat yang bisa ia temukan dalam tumpukan dokumen yang harus diselesaikan. Semuanya terasa hampa.

Hari-hari Arga selalu dimulai dengan alarm yang berbunyi terlalu keras, memaksanya untuk bangun dan memulai rutinitas tanpa ada alasan jelas. Pekerjaan di perusahaan konsultan tempat ia bekerja telah menjadi bagian dari hidupnya yang terhitung lama. Namun, semakin ia menjalani hari-hari itu, semakin ia merasa seperti seorang pelancong yang berjalan tanpa tujuan, tanpa peta, tanpa arah yang jelas. Di luar sana, dunia terus berputar, namun ia merasa seolah-olah hidupnya sedang berjalan di tempat.

Kepalanya terkulai, menatap sekilas jam dinding yang berdetak dengan tenang. Sudah pukul empat sore, dan ia tahu bahwa dalam satu jam lagi ia akan menutup komputer ini, meninggalkan kantor, dan kembali ke apartemennya yang dingin dan sepi. Rutinitas yang tak pernah berubah—masuk ke kantor, bekerja, pulang, tidur, dan mengulang lagi keesokan harinya. Tidak ada yang baru. Tidak ada yang memotivasi. Tidak ada yang membuatnya merasa hidup.

Lalu, pikirannya melayang ke masa lalu—kenangan yang datang begitu saja, tanpa diundang. Arga teringat saat-saat ketika ia masih muda, ketika dunia terasa penuh dengan harapan dan impian. Dulu, ia percaya bahwa hidupnya akan penuh dengan petualangan, bahwa ia akan menemukan sesuatu yang luar biasa, sesuatu yang lebih dari sekadar pekerjaan yang membosankan ini. Tapi, semakin lama ia menghabiskan waktu dalam kebosanan, semakin ia merasa hilang. Hidupnya terasa seperti sebuah jalan yang tak ada ujungnya, seolah-olah ia berjalan di atas pasir yang terus bergerak, tanpa bisa menemukan pijakan yang pasti.

Beberapa tahun yang lalu, Arga pernah bermimpi untuk menjadi seorang penulis. Ia ingin berbagi cerita dengan dunia, menulis tentang apa yang ada dalam pikirannya, tentang apa yang ia rasakan, tentang segala keresahan hidup yang sepertinya tidak pernah terungkapkan. Namun, dengan waktu yang terus berjalan dan tanggung jawab yang semakin banyak, impian itu semakin jauh, terkubur di balik kesibukan dan tuntutan kehidupan yang semakin memenjarakan dirinya. Kini, ia merasa impian itu hanyalah sebuah kenangan samar yang sulit dijangkau, seperti bayangan yang luntur saat cahaya datang.

Telepon di meja kerjanya berdering, membuyarkan lamunannya. Arga mengangkatnya dengan cepat, berusaha menutupi kegelisahannya yang tiba-tiba muncul. “Halo?”

Suara di seberang sana terdengar sedikit cemas. “Arga, apakah kamu sudah selesai dengan laporan bulan ini? Klien kita menunggu update dari kamu.”

Arga mengerutkan kening, merasa sedikit kesal. “Iya, hampir selesai. Akan saya kirim secepatnya,” jawabnya dengan suara datar.

“Baiklah, pastikan semuanya selesai sebelum jam lima, ya. Klien sangat menunggu. Jangan lupa, Arga,” ujar suara itu sebelum telepon diputus.

Ia menatap layar komputernya lagi, merasakan seberkas rasa frustrasi yang semakin menguasainya. Semua ini terasa begitu kering. Rutinitasnya terasa seperti sebuah lingkaran setan yang tak berujung. Tidak ada rasa puas, tidak ada perasaan berarti. Apa yang ia lakukan setiap hari sepertinya tidak memberikan kontribusi pada dirinya sendiri, apalagi pada orang lain. Semuanya hanya mengarah pada satu titik—kelelahan fisik dan mental yang semakin menumpuk.

Arga tidak bisa menahan perasaan kosong yang melanda dirinya. Ada perasaan kehilangan yang terus menggerogoti. Dalam beberapa minggu terakhir, ia merasa semakin terasing dari dirinya sendiri. Ia bertanya-tanya, apakah inilah yang dimaksud dengan kehidupan yang sukses? Apakah ini yang disebut dengan kehidupan yang stabil dan aman? Tidak ada petualangan, tidak ada kejutan, hanya rutinitas yang membosankan dan tenggelam dalam tumpukan pekerjaan yang tidak pernah habis.

Beberapa kali, ia berpikir untuk berhenti dari pekerjaannya, tetapi rasa takut akan ketidakpastian selalu menghalangi. Takut kehilangan penghasilan, takut gagal, takut membuat langkah yang salah. Rasanya seperti terjebak di dalam sebuah kotak yang semakin kecil, dengan sedikit celah untuk keluar.

Pekerjaan ini—yang dulunya ia anggap sebagai jalan menuju kesuksesan—sekarang justru membuatnya merasa terbelenggu. Ia tidak merasa bangga dengan apa yang ia capai. Tidak ada kebanggaan dari sekadar menyelesaikan laporan dan memenuhi target yang ditetapkan. Semua itu terasa kosong. Ia merasa tidak memiliki arah hidup yang jelas, hanya bergerak mengikuti aliran waktu yang terus maju tanpa henti.

Pikirannya kembali melayang. Arga teringat saat ia pertama kali memilih jurusan ekonomi di universitas, bukan karena itu adalah minat sejatinya, melainkan karena itu adalah jurusan yang dianggap ‘aman’. Pilihan yang tepat, menurut orang tua dan lingkungan. Semua orang berkata bahwa ekonomi adalah jurusan yang akan memberinya masa depan yang cerah. Namun, setelah bertahun-tahun menekuni bidang itu, Arga merasa seolah-olah ia hanya menjalani kehidupan orang lain—bukan kehidupannya sendiri.

Tiba-tiba, teleponnya berbunyi lagi, mengingatkannya untuk kembali ke dunia nyata. Namun, kali ini ia tidak merasa ingin menjawabnya. Ia tahu, meskipun banyak panggilan yang datang, meskipun banyak pekerjaan yang menunggu, ada satu hal yang harus ia selesaikan terlebih dahulu—mencari tahu apa yang benar-benar ia inginkan dari hidup ini.

Arga menyandarkan tubuhnya pada kursi, menatap keluar jendela, ke langit yang mendung. Hujan terus turun, namun Arga merasakan semacam ketenangan dalam kesendirian itu. Mungkin, hanya dalam keheningan ini, ia bisa mulai menemukan jawaban yang selama ini ia cari.*

Bab 2: Jejak yang Hilang

Pagi itu, Arga bangun dengan perasaan yang sama seperti hari-hari sebelumnya—hampa dan lelah. Suara alarm yang keras memaksanya membuka mata, namun tubuhnya terasa terlalu berat untuk bangun dari tempat tidur. Ia menarik selimut lebih erat, seakan mencoba menghindari kenyataan bahwa hidupnya berjalan tanpa arah yang jelas. Keinginan untuk tetap terlelap dalam tidur semakin kuat, namun ia tahu bahwa ia harus memulai hari. Bagaimana pun juga, ia memiliki pekerjaan yang menunggu di kantor, meskipun itu bukan lagi sesuatu yang ia nikmati.

Saat berjalan menuju kamar mandi, Arga menatap bayangannya di cermin. Ia tampak lelah. Wajahnya pucat, dan garis-garis halus mulai tampak di sekitar matanya. Raut wajahnya seperti seseorang yang telah bertahun-tahun terperangkap dalam rutinitas yang tidak pernah berujung. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya, tetapi sebuah pertanyaan mengusik benaknya: Apa yang sebenarnya hilang dalam hidupku?

Beberapa tahun yang lalu, hidupnya terasa lebih berwarna. Arga ingat betul masa-masa kuliah di mana ia penuh dengan impian dan harapan. Di saat itu, dunia terasa penuh dengan kemungkinan. Ia masih ingat ketika pertama kali memutuskan untuk masuk ke jurusan ekonomi, sebuah pilihan yang didorong oleh orang tuanya. Mereka berkata, “Ini pilihan yang aman, Arga. Masa depanmu akan cerah dengan jurusan ini.” Meskipun Arga memiliki minat lain dalam seni dan menulis, ia memilih mengikuti nasihat mereka. Ia merasa tidak punya pilihan, atau lebih tepatnya, ia merasa itu adalah pilihan yang benar.

Namun, semakin ia melangkah ke dunia kerja, semakin ia merasa bahwa apa yang ia pilih dulu bukanlah jalan yang sesuai dengan hatinya. Ia merasa terjebak dalam pilihan yang dibuat untuknya, bukan untuk dirinya sendiri. Dan kini, setelah bertahun-tahun berjalan dalam rutinitas yang sama, Arga mulai merasa bahwa jejak hidupnya telah hilang. Ia merasa tidak memiliki arah, dan semakin hari, semakin sulit untuk menemukan kembali dirinya.

Makan pagi itu terasa hambar. Seperti biasa, Arga menyiapkan sarapan sederhana, sekadar roti bakar dan kopi hitam. Tidak ada rasa bahagia yang menyertainya, hanya kebiasaan. Di luar jendela, ia melihat langit yang kelabu, seakan mencerminkan perasaan batinnya. Hujan rintik-rintik mulai turun, menyapu jalanan yang kosong dan sepi. Arga mendengarkan suara tetesan air yang menenangkan, tetapi ia tahu itu hanyalah sementara—seperti semua hal yang ada dalam hidupnya.

Sesampainya di kantor, Arga langsung duduk di mejanya. Begitu banyak dokumen yang menumpuk, namun pikirannya tidak bisa fokus. Hatinya terasa berat, seolah-olah sesuatu yang tak terlihat sedang menarik-nariknya ke dalam kekosongan yang dalam. Setiap email yang ia buka, setiap rapat yang dihadiri, semuanya terasa tidak berarti. Ia mulai berpikir kembali ke masa lalu, ke waktu-waktu di mana ia merasa lebih hidup, lebih penuh dengan tujuan.

Pikirannya terhenti pada kenangan masa kecilnya. Ketika itu, ia tinggal bersama ibu dan ayahnya di sebuah rumah kecil yang penuh kehangatan. Ia masih ingat betul bagaimana ayahnya, yang bekerja keras sebagai seorang insinyur, selalu berharap besar padanya. Ayahnya ingin Arga menjadi sosok yang sukses, yang dapat membanggakan keluarga. Namun, meskipun ia tidak pernah mengungkapkannya secara terbuka, Arga merasakan bahwa ada sebuah beban besar yang selalu mengiringi langkahnya.

“Arga, kamu harus berusaha lebih keras! Masa depan kamu tergantung pada pilihan-pilihan yang kamu buat sekarang,” kata ayahnya dengan penuh tekanan.

Saat itu, Arga masih belum sepenuhnya memahami makna dari kata-kata ayahnya. Ia hanya tahu bahwa ia ingin membuat ayahnya bangga. Namun, semakin ia tumbuh, semakin ia merasa bahwa ia terperangkap dalam harapan orang lain, bukan dalam mimpinya sendiri.

Kenangan itu membuat Arga merenung dalam diam. Ia tidak bisa menghindari kenyataan bahwa ia merasa jauh dari orang tuanya. Meskipun mereka selalu mendukungnya, ia merasa tidak pernah benar-benar dipahami. Ayahnya selalu menginginkan yang terbaik untuknya, tetapi harapan-harapan itu seolah menjadi beban yang semakin berat. Bahkan setelah ia lulus kuliah dan bekerja di perusahaan konsultan ini, ia merasa tidak pernah benar-benar mendapatkan persetujuan dari dirinya sendiri—semua yang ia lakukan terasa seperti memenuhi ekspektasi orang lain, bukan keinginan hatinya.

Siang itu, saat jam makan siang tiba, Arga memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar. Ia berjalan tanpa tujuan yang jelas, hanya mengikuti langkah kakinya menuju sebuah taman kecil yang tidak jauh dari kantor. Udara segar menyambutnya, meskipun langit masih terlihat mendung. Taman itu sepi, hanya ada beberapa orang yang duduk di bangku-bangku taman, masing-masing tenggelam dalam dunia mereka sendiri. Arga duduk di salah satu bangku, menatap pohon-pohon yang mulai kehilangan daunnya.

Di situlah, di tengah-tengah keheningan, ia merasakan sesuatu yang baru—perasaan bahwa ada sesuatu yang hilang dari dirinya. Ia berpikir, Apa yang sebenarnya aku cari dalam hidup ini? Apa yang aku perjuangkan?

Perlahan, ia mulai menyadari bahwa ia telah lama mengabaikan bagian dari dirinya yang sebenarnya ingin ia temui. Seiring waktu, impian-impian yang dulu ia miliki semakin kabur, tenggelam oleh kenyataan hidup yang ia jalani. Ia ingin menulis, ingin berbagi cerita dengan dunia, namun itu hanyalah sekadar impian yang ia pendam jauh di dalam hati. Arga merasa bahwa dirinya kini adalah seorang asing, bahkan bagi dirinya sendiri.

Pikirannya semakin mendalam. Ia mulai bertanya-tanya, Apakah ini jejak yang aku tinggalkan dalam hidup? Semua pencapaian yang ia raih—gelar sarjana, pekerjaan yang stabil, penghasilan yang cukup—itu semua terasa seperti sebuah jejak yang tidak pernah benar-benar meninggalkan tanda. Semuanya hanyalah langkah-langkah kosong yang terus berlanjut tanpa memberikan makna yang sejati. Arga merasa terasing, terperangkap dalam sebuah kehidupan yang tidak ia kenali.

Ketika ia kembali ke kantor, suasana hatinya tidak berubah. Rasa kosong itu semakin menggerogoti. Namun, di dalam kekosongan itu, ada satu hal yang ia rasakan—keinginan untuk berubah. Ia tahu, jika ia terus berjalan seperti ini, ia akan kehilangan lebih banyak lagi—lebih banyak waktu, lebih banyak mimpi, dan akhirnya, lebih banyak dirinya. Arga harus menemukan kembali jejak hidupnya yang hilang, harus menemukan tujuan yang lebih dalam.

Hari itu, ia tidak menyelesaikan pekerjaan seperti biasanya. Ia menutup laptopnya, meraih jaket, dan keluar dari kantor lebih awal. Arga tahu bahwa ia tidak bisa terus hidup dalam kebiasaan ini. Ia harus mulai mencari sesuatu yang lebih berarti—sesuatu yang mungkin sudah lama ia tinggalkan.*

Bab 3: Mencari Jawaban

Arga menatap langit yang cerah dari jendela kamarnya. Pagi itu, matahari tampak malu-malu, tersembunyi di balik awan yang perlahan menghilang. Suasana di luar terasa tenang, seolah-olah alam sedang memberikan jeda bagi hati yang gelisah. Namun, meski keindahan pagi itu terasa menenangkan, hati Arga tetap dipenuhi keraguan. Ia merasa seperti berada di persimpangan jalan yang tak jelas, di mana setiap pilihan terasa kabur dan penuh ketidakpastian.

Tiga minggu sudah berlalu sejak ia mulai merasakan kebosanan yang mendera hidupnya. Setelah berhari-hari merenung, Arga akhirnya memutuskan untuk melakukan sesuatu yang berbeda, sesuatu yang belum pernah ia coba sebelumnya. Ia ingin mencari jawaban—jawaban tentang dirinya, tentang hidupnya, dan apa yang sebenarnya ia cari.

Hari itu, Arga memutuskan untuk pergi ke sebuah kafe kecil di ujung jalan yang selama ini sering ia lewati, namun tak pernah ia singgahi. Kafe itu terlihat sederhana, dengan dinding batu bata dan jendela besar yang menghadap ke taman kecil di belakang. Di luar, beberapa orang duduk di meja dengan secangkir kopi, membaca buku atau berbincang ringan. Ada ketenangan yang terasa di tempat itu, seolah dunia luar berhenti sejenak.

Saat memasuki kafe, Arga merasakan atmosfer yang berbeda—lebih hidup, lebih hangat. Tanpa sadar, ia memilih tempat di pojok, dekat dengan jendela, tempat yang memungkinkan ia melihat keluar sambil merenung. Ia memesan secangkir cappuccino, lalu duduk termenung, menatap aliran hidup di luar sana yang tampak begitu bebas, sementara ia merasa terkurung dalam kebingungan batinnya sendiri.

Sambil menunggu kopinya datang, Arga mulai membuka laptopnya. Ia membuka halaman kosong dan mulai mengetikkan kata-kata, mencoba merangkai pemikirannya. Beberapa kali jari-jarinya terhenti di atas keyboard, seolah-olah ia tidak tahu harus mulai dari mana. Pikirannya masih berputar-putar tentang apa yang harus ia lakukan, tentang bagaimana caranya menemukan kembali arah hidupnya yang hilang.

“Apa yang sedang kamu cari, Arga?” bisik hati kecilnya.

Pertanyaan itu muncul lagi, lebih keras dari sebelumnya. Arga meletakkan tangan di dahi, mencoba meredakan gejolak dalam pikirannya. Ia tahu, ia sedang mencari sesuatu yang lebih dari sekadar pekerjaan dan rutinitas sehari-hari. Ia ingin menemukan makna dalam hidupnya—sesuatu yang memberi warna, sesuatu yang mengisi ruang kosong di hatinya.

Kopi yang dipesannya datang, namun rasa manis dan pahitnya tidak bisa menutupi kekosongan yang ia rasakan. Arga memandang cangkir kopi itu, lalu menatap kembali layar laptopnya yang masih kosong. Ia mulai berpikir tentang apa yang sebenarnya ia cintai. Dulu, ketika ia masih kecil, ia sering menghabiskan waktu di perpustakaan membaca buku-buku tentang dunia luar, tentang seni, dan tentang menulis. Ia selalu merasa hidupnya akan lebih bermakna jika ia bisa mengungkapkan pikirannya melalui kata-kata.

Namun, seiring waktu, impian itu semakin terkubur dalam tuntutan hidup yang semakin berat. Setiap kali ia berpikir untuk menulis, rasa takut dan keraguan selalu menghampirinya. “Siapa yang akan membaca tulisanku? Apakah ini benar-benar bisa menjadi jalan hidupku?” pertanyaan-pertanyaan itu selalu mengganggu. Ia merasa bahwa dunia ini tidak cukup besar untuk menerima impian-impiannya yang sederhana.

Saat tengah merenung, seorang wanita tua yang duduk di meja dekat pintu menarik perhatian Arga. Ia sedang sibuk menulis di sebuah buku kecil, terkadang tersenyum pada dirinya sendiri, seolah-olah ia sedang terlibat dalam percakapan dengan seseorang yang hanya ia kenal. Arga merasa tertarik pada wanita itu, yang tampaknya begitu tenang dan damai. Dalam kebingungannya, ia merasa ada sesuatu yang bisa ia pelajari dari wanita tua itu, yang tampaknya begitu bebas dan tidak terikat oleh apapun.

Tanpa pikir panjang, Arga mendekat dan duduk di meja wanita itu. Wanita itu menatapnya dengan mata yang penuh kebijaksanaan, seakan-akan sudah menunggu kedatangannya.

“Maaf, bolehkah saya duduk?” tanya Arga dengan suara pelan, hampir ragu.

Wanita itu tersenyum lembut. “Tentu, duduklah. Apa yang mengganggumu, anak muda?”

Arga terkejut mendengar kata-kata itu. Ada kehangatan dalam suara wanita itu, sebuah ketenangan yang jarang ia temui. “Saya… saya merasa bingung dengan hidup saya,” kata Arga, terbata-bata. “Saya merasa terjebak dalam rutinitas yang tidak berarti. Saya tidak tahu apa yang saya cari, atau apa yang harus saya lakukan.”

Wanita itu mendengarkan dengan penuh perhatian, lalu menutup bukunya dan menatap Arga dengan mata yang tajam namun penuh kasih. “Terkadang, kita terlalu sibuk mengejar sesuatu yang besar, sampai kita lupa untuk melihat apa yang ada di depan kita. Hidup ini tidak selalu tentang menemukan jawaban langsung. Kadang, kita harus memberi ruang bagi diri kita untuk tumbuh, untuk bertanya tanpa takut akan jawaban yang datang.”

Arga merasa ada sesuatu yang menggetarkan hatinya mendengar kata-kata wanita itu. Ia tahu, bahwa ia tidak sedang mendengarkan nasihat biasa. Ada kedalaman dalam setiap kata yang diucapkan, seakan wanita itu tahu betul betapa terperangkapnya perasaan Arga. “Jadi, apa yang harus saya lakukan?” tanya Arga, lebih untuk dirinya sendiri daripada untuk wanita itu.

Wanita itu tersenyum, lalu menghela napas. “Jangan terlalu terburu-buru mencari jawaban, Arga. Kadang, jawaban itu tidak perlu dicari. Ia akan datang dengan sendirinya, ketika kamu mulai mendengarkan hatimu.”

Arga termenung. Ia merasa seolah-olah sebuah cahaya kecil muncul di dalam hatinya. Ia telah terlalu lama berlari mencari jawaban yang besar, tetapi mungkin yang ia butuhkan bukanlah jawaban itu sendiri. Mungkin yang ia butuhkan adalah untuk berhenti sejenak, mendengarkan, dan menerima ketidakpastian dalam hidupnya. Ia mulai menyadari bahwa pencarian dirinya bukanlah tentang menemukan tujuan yang pasti, tetapi lebih tentang perjalanan itu sendiri—tentang menerima setiap langkah, setiap kebingungannya, sebagai bagian dari proses.

Setelah beberapa lama, Arga berpamitan dengan wanita tua itu dan keluar dari kafe. Langit masih cerah, meskipun angin sedikit lebih dingin. Di luar sana, dunia tetap berjalan, dan Arga merasa sedikit lebih tenang. Ia tahu bahwa jawaban yang ia cari tidak akan datang dalam bentuk yang langsung, tetapi ia juga tahu bahwa ia tidak lagi perlu terburu-buru mencapainya. Mungkin, seperti wanita itu katakan, ia harus memberi ruang bagi dirinya untuk tumbuh, untuk merasa, dan untuk menerima setiap bagian dari perjalanan hidup ini.

Hari itu, Arga berjalan pulang dengan langkah yang lebih ringan. Pikirannya tidak lagi terbelenggu oleh keraguan yang sama. Meskipun ia masih tidak tahu apa yang akan datang di masa depan, ia merasa lebih siap untuk menerima perjalanan ini, dengan segala kebingungan dan ketidakpastian yang ada.*

Bab 4: Terjebak dalam Bayangan

Malam itu, Arga duduk di meja kerjanya, menatap layar komputer yang masih menyala dengan sebuah dokumen yang belum selesai. Matanya terasa lelah, dan pikirannya jauh dari fokus. Semuanya terlihat kabur, seperti bayangan yang berkelebat begitu cepat, meninggalkan perasaan hampa yang semakin menumpuk. Setiap ketikan yang ia buat di keyboard terasa kosong, tidak ada gairah, tidak ada semangat. Semua ini hanya rutinitas yang ia jalani tanpa ada makna sejati di baliknya.

Malam-malam seperti ini sudah menjadi hal biasa bagi Arga. Ia merasa seolah-olah ia telah terjebak dalam sebuah ruang yang sempit, di mana setiap langkahnya hanya membawa dirinya lebih jauh dari kedamaian yang ia cari. Ia mengingat kembali pertemuannya dengan wanita tua di kafe beberapa minggu lalu. Kata-katanya yang bijak—”Terkadang jawaban itu tidak perlu dicari, ia akan datang dengan sendirinya”—terus berputar di pikirannya. Arga tahu bahwa ia sedang dalam perjalanan mencari jawaban, tetapi seiring berjalannya waktu, semakin ia mencoba mencari, semakin ia merasa seperti berada dalam lingkaran yang tak berujung.

Pekerjaannya semakin menambah beban di pundaknya. Laporan yang harus diselesaikan, meeting yang harus dihadiri, dan segala tuntutan yang datang setiap hari semakin membuatnya merasa terjebak. Ia mulai merasa bahwa dirinya hanyalah bagian dari roda yang berputar tanpa henti, tidak punya kendali atas arah hidupnya. Bahkan, ketika ia mencoba untuk merenung, untuk mencari jawaban yang lebih dalam tentang dirinya, bayangannya sendiri terasa menjauh, menghilang di balik kabut kebingungannya.

Hari-harinya semakin lama semakin berat. Ketika ia bangun pagi, ia merasa seolah-olah tubuhnya sudah terlalu lelah untuk menghadapi dunia luar. Ia menarik selimut lebih lama, berusaha mencari kenyamanan dalam keheningan kamar yang sepi. Namun, kenyamanan itu hanya sementara. Begitu ia melangkah keluar, dunia kembali memaksanya untuk ikut berlari dalam permainan yang tidak pernah ia inginkan.

Salah satu masalah yang mulai mengganggu pikirannya adalah hubungan dengan orang tuanya. Ia merasa semakin terasing dari mereka. Setiap kali berbicara dengan ibunya, ia merasakan ada jarak yang semakin besar. Ibu selalu bertanya tentang pekerjaannya, tentang apakah ia sudah merasa puas dengan hidupnya. Namun, setiap pertanyaan itu hanya menambah beban di dadanya. Bagaimana bisa ia menjelaskan bahwa meskipun hidupnya tampak sempurna di luar, ia merasa kosong di dalam?

Tentu saja, ibu tidak tahu tentang kebingungannya. Ia hanya melihat Arga sebagai anak yang berhasil—seorang pria dengan pekerjaan yang baik, penghasilan yang stabil, hidup yang teratur. Tapi, di balik itu semua, Arga merasa terperangkap. Ia merasa seperti hidupnya hanya merupakan bayangan dari apa yang diharapkan orang lain darinya. Tidak ada kebebasan, tidak ada ruang untuk memilih jalannya sendiri. Segala sesuatu terasa terprogram, dari hari ke hari, tanpa ada ruang untuk sesuatu yang lebih pribadi, lebih mendalam.

Suatu malam, setelah pulang kerja, Arga duduk di ruang tamunya yang kosong, merenung dalam keheningan. Semua lampu di apartemen dimatikan, hanya ada cahaya lampu meja yang temaram. Ia menatap ke luar jendela, melihat kota yang sibuk dengan lampu-lampu yang berkelap-kelip. Dunia di luar sana terlihat begitu hidup, tetapi ia merasa semakin jauh darinya. Arga merasa seperti bayangan dirinya sendiri—hanya mengikuti alur tanpa pernah benar-benar terlibat.

Tiba-tiba, telepon di meja kerjanya berdering. Arga mengangkatnya dengan malas, merasa bahwa apapun yang datang darinya tidak akan bisa mengubah perasaannya saat itu. “Halo,” jawabnya singkat.

“Arga, ada yang perlu dibicarakan,” suara dari ujung telepon terdengar agak tegang. Itu adalah suara Dimas, rekan kerjanya yang juga sahabat dekatnya.

“Ada apa, Dim?” Arga bertanya, meskipun ia sudah bisa menebak apa yang akan dibicarakan.

“Saya dengar kamu lagi down, ya? Ada apa? Kamu nggak kelihatan seperti biasanya,” tanya Dimas, penuh perhatian.

Arga terdiam. Ia tidak tahu harus bagaimana menjawab. Apa yang bisa ia katakan pada Dimas, tentang perasaan terperangkap yang ia rasakan? Ia tahu bahwa Dimas peduli, tapi ia juga tahu bahwa tidak mudah untuk menjelaskan perasaan yang begitu rumit. “Aku… cuma capek, Dim. Rasanya nggak ada yang baru. Semuanya monoton. Pekerjaan, kehidupan, semua itu cuma rutinitas yang nggak ada habisnya.”

Dimas diam sejenak. “Aku paham, Arga. Tapi jangan sampai kamu terjebak dalam perasaan seperti itu. Kamu masih punya banyak pilihan, banyak hal yang bisa kamu lakukan. Kamu bukan sekadar pekerja kantoran. Kamu bisa lebih dari itu.”

Arga tersenyum kecil mendengar kata-kata Dimas, tetapi senyuman itu terasa pahit di bibirnya. “Aku nggak tahu lagi, Dim. Semua yang aku lakukan terasa sia-sia. Aku bahkan nggak tahu apa yang aku cari dalam hidup ini.”

Di balik kata-kata itu, Arga merasa seolah-olah ia berbicara kepada bayangannya sendiri, berusaha mencari jawaban dalam kekosongan yang semakin dalam. Ia merasa terperangkap dalam dunia yang tampaknya sempurna di luar, tetapi sesungguhnya kosong di dalam. Setiap hari, ia bertanya-tanya apakah semua ini benar-benar hidupnya, atau apakah ia hanya menjalani hidup yang orang lain buat untuknya.

Setelah percakapan itu berakhir, Arga meletakkan teleponnya dan kembali merenung. Ia merasa seperti terjebak dalam bayangannya sendiri—terjebak dalam ekspektasi dan harapan yang tidak pernah ia pilih. Semua keputusan yang ia buat terasa seperti langkah-langkah yang diambil karena rasa takut dan kewajiban, bukan karena keinginan yang tulus. Ia mulai berpikir, Apakah aku akan terus terjebak dalam bayangan ini? Apakah aku akan terus hidup untuk memenuhi harapan orang lain?

Pikiran itu menghantui Arga sepanjang malam. Ia tahu bahwa untuk bisa maju, ia harus keluar dari bayangannya sendiri. Tetapi bagaimana caranya? Bagaimana caranya ia bisa menemukan dirinya yang sejati di tengah kebingungannya yang mendalam?

Namun, di tengah kebingungannya, ada sebuah perasaan kecil yang mulai tumbuh—perasaan bahwa jawaban itu ada di luar sana, di suatu tempat yang belum ia temui. Arga tahu bahwa ia harus bergerak, bahwa ia tidak bisa terus terjebak dalam bayangan ini selamanya. Ia harus mencari jalannya sendiri, bahkan jika itu berarti menghadapi ketakutan dan ketidakpastian yang selama ini ia hindari.*

Bab 5: Jejak yang Tersisa

Hari itu terasa berbeda. Arga baru saja kembali dari perjalanan panjang yang penuh pertanyaan tanpa jawaban yang pasti. Sejak percakapan malam itu dengan Dimas, pikirannya terus dipenuhi dengan perasaan yang sulit ia jelaskan. Ada semacam dorongan untuk bergerak maju, namun juga rasa takut yang semakin dalam. Meskipun ia tahu bahwa ia harus mencari jalan keluar dari kebingungannya, entah mengapa, langkah-langkahnya terasa semakin berat.

Arga kembali ke apartemennya yang kecil dan sunyi. Di dalam ruangannya, ia duduk di meja kerjanya, menatap laptop yang terbuka dengan selembar dokumen yang belum tersentuh sejak pagi. Semuanya tampak begitu asing. Perasaan terperangkap yang selama ini menghantui semakin menebal, dan ia merasa semakin jauh dari apa yang ia inginkan. Bahkan langkah kecil untuk mencari arti hidup yang lebih dalam terasa seperti tantangan besar. Ia bertanya-tanya dalam hati, Apakah ini jejak yang tersisa dalam hidupku? Jejak yang seolah tak pernah meninggalkan tanda apa pun.

Namun, di tengah kebingungannya, Arga menyadari satu hal—meskipun ia merasa terjebak, ada sesuatu dalam dirinya yang mulai mengingatkan untuk tidak menyerah. Mungkin jejak yang tersisa bukanlah hal-hal besar yang ia cari, melainkan hal-hal kecil yang selama ini ia abaikan. Mungkin jejak itu ada dalam setiap langkah yang ia ambil tanpa disadari. Hal kecil yang tidak pernah terlihat, namun tetap ada, memberi bentuk pada siapa dirinya sebenarnya.

Saat ia duduk merenung, pikirannya melayang kembali ke masa lalu—ke waktu-waktu yang ia rasa lebih sederhana. Ke masa-masa ketika ia masih bersemangat menjalani hidup tanpa banyak beban. Ketika ia masih menulis di buku hariannya, ketika ia merencanakan masa depan yang penuh impian. Waktu itu, ia belum terbebani oleh harapan orang lain, belum terbebani oleh pekerjaan yang kian membosankan. Segalanya terasa lebih hidup, lebih penuh dengan potensi dan kemungkinan.

Namun, seiring berjalannya waktu, segala sesuatunya mulai berubah. Keputusan-keputusan yang ia buat, baik dalam pekerjaan maupun dalam hidup pribadi, semakin terjalin dalam benang kusut yang semakin sulit untuk ditarik. Ia sering kali merasa bahwa ia hanya mengikuti jalan yang sudah ada, tanpa benar-benar tahu apakah itu adalah jalan yang ia pilih dengan kesadaran penuh. Semua yang ia lakukan terasa seperti peran yang harus dimainkan, bukan langkah yang diambil dengan sepenuh hati. Dan dalam kebingungan itu, Arga merasa bahwa ia telah kehilangan jejak dirinya sendiri.

Malam itu, ia membuka laci meja kerjanya dan menarik keluar sebuah kotak kecil yang telah lama ia simpan. Kotak itu berisi surat-surat lama, foto-foto, dan beberapa barang kecil yang memiliki kenangan. Ia menemukan sebuah buku catatan kecil yang dulu ia tulis semasa kuliah, saat ia masih memiliki impian besar untuk menulis dan berbagi cerita. Halaman-halaman buku itu dipenuhi dengan coretan tangan yang ceria, penuh dengan harapan dan semangat yang kini terasa begitu jauh.

Membaca kembali tulisan-tulisan itu, Arga merasa ada sesuatu yang menggugah dalam dirinya. Ia bisa merasakan energi yang berbeda dalam setiap kata yang tertulis di sana. Ada semangat yang begitu tulus, begitu nyata. Di sanalah ia menemukan jejak pertama yang terlupakan. Jejak yang ia tinggalkan dalam bentuk kata-kata dan impian yang dahulu begitu ia percayai. Itu adalah jejak yang telah lama terkubur oleh rutinitas dan harapan-harapan yang datang dari luar dirinya.

Arga menghela napas panjang. Ia menyadari bahwa ia tidak bisa terus hidup seperti ini. Jejak-jejak itu—meskipun kecil dan mungkin terlupakan—adalah bagian dari dirinya yang paling otentik. Itu adalah bagian dari siapa dirinya sebelum dunia dan tuntutan hidup mulai membentuknya menjadi sosok yang ia kenal sekarang. Arga menyadari bahwa untuk bisa melangkah maju, ia harus kembali ke akar itu. Ia harus menggali kembali impian-impian yang pernah ia miliki, meskipun itu berarti harus menghadapi ketakutan dan keraguan yang selama ini ia hindari.

Ia menutup buku itu dan memegangnya erat. Di dalam hatinya, sebuah tekad mulai tumbuh. Arga tahu bahwa tidak ada jalan yang mudah untuk kembali menemukan dirinya. Ia harus melewati proses yang panjang, dan tidak ada jaminan bahwa semua akan menjadi lebih baik dalam sekejap. Tetapi satu hal yang pasti—ia tidak akan lagi terjebak dalam bayangannya sendiri.

Pagi berikutnya, Arga bangun dengan perasaan yang berbeda. Ia merasa ada sesuatu yang baru dalam dirinya, meskipun ia tidak bisa sepenuhnya menjelaskan apa itu. Ia tahu bahwa langkah-langkah kecil yang ia ambil hari ini, meskipun tidak langsung membawa perubahan besar, adalah jejak yang benar-benar tersisa dalam hidupnya—jejak yang akan membimbingnya menuju perubahan yang lebih berarti. Hari itu, ia memutuskan untuk tidak membiarkan dirinya terjebak dalam kebingungannya lebih lama. Ia akan mengambil langkah pertama, meskipun itu hanya langkah kecil, untuk menemukan jalan yang telah lama ia lupakan.

Setelah sarapan, Arga meraih ponselnya dan membuka aplikasi menulis yang sudah lama tidak ia sentuh. Ia mulai mengetikkan kata-kata, merangkai cerita dengan cara yang tidak ia duga. Tulisannya terasa lebih bebas, lebih hidup. Setiap kata yang ia tulis terasa seperti bagian dari dirinya yang telah lama terkubur, dan kini ia membiarkan bagian itu muncul kembali ke permukaan.

Hari itu, Arga merasa untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia mulai melihat kembali jejak-jejak hidupnya. Bukan jejak-jejak besar yang penuh dengan pencapaian atau pujian, tetapi jejak-jejak kecil yang ia tinggalkan di sepanjang perjalanan. Jejak yang tidak terhapus oleh waktu, jejak yang terus ada meskipun kadang tersembunyi. Jejak yang akan selalu ada sebagai pengingat bahwa setiap langkah, sekecil apapun, tetap berarti.

Dengan hati yang lebih ringan, Arga mulai menulis lagi. Mungkin, hanya dengan menulis itulah ia bisa menemukan dirinya—dalam kata-kata, dalam cerita-cerita yang ia buat, dan dalam setiap langkah yang ia ambil untuk kembali menemukan tujuan hidup yang lebih bermakna.*

BAB 6: Pertemuan yang Mengubah

Arga duduk di sudut kafe yang hangat, memandangi cangkir kopinya yang hampir habis. Kota ini, dengan segala hiruk-pikuknya, terasa semakin asing baginya. Ia merasa terperangkap dalam rutinitas yang monoton, tanpa arah yang jelas. Pekerjaan yang dulu ia jalani dengan semangat kini terasa membosankan. Cinta yang ia rasakan semakin pudar, dan kehidupan sosial yang sebelumnya ramai kini terasa hampa. Arga merasa seperti berada di persimpangan, tak tahu harus ke mana.

Tiba-tiba, suara seseorang yang familiar memanggilnya dari belakang.

“Arga?”

Arga menoleh dan matanya bertemu dengan sepasang mata yang sudah lama tidak ia lihat. Rudi. Sahabat lama yang sejak bertahun-tahun lalu meninggalkan kota ini untuk mencari kedamaian batin. Arga terkejut, tetapi tak bisa menahan senyum lega saat melihat sosok yang dulu pernah sangat dekat dengannya.

“Rudi! Apa kabar? Lama sekali nggak ketemu!” Arga berdiri dan merangkul sahabatnya itu.

Rudi tersenyum, tampak lebih tenang dan dewasa dibandingkan dengan terakhir kali Arga bertemu dengannya. Wajahnya yang dulu selalu terlihat gelisah kini tampak lebih damai, seolah ia telah menemukan kedamaian yang selama ini dicari.

“Baik, Arga. Aku baru kembali ke kota ini setelah sekian lama. Mungkin ini waktu yang tepat untuk berbicara,” ujar Rudi sambil duduk di kursi yang berseberangan dengan Arga.

Keduanya duduk dalam diam sejenak, membiarkan kesunyian menyelimuti percakapan mereka. Tiba-tiba, Rudi memecah kebisuan.

“Aku tahu, hidupmu mungkin tidak seperti yang kamu inginkan, kan?” Rudi bertanya dengan lembut, menatap Arga dengan tatapan yang penuh pengertian.

Arga terdiam, sedikit terkejut dengan pertanyaan tersebut. “Kamu tahu?”

Rudi mengangguk. “Aku tahu, karena aku pernah merasakannya. Dulu, aku juga terjebak dalam rutinitas yang sama. Terlalu fokus pada pencapaian, pekerjaan, dan memenuhi ekspektasi orang lain. Tapi itu semua tidak membawa kebahagiaan. Kita jadi lupa akan apa yang sebenarnya penting dalam hidup ini.”

Arga menatap Rudi dengan penuh perhatian, merasa bahwa sahabatnya ini menyimpan banyak cerita. “Lalu, apa yang kamu lakukan?”

Rudi tersenyum tipis. “Aku memutuskan untuk berhenti. Aku pergi jauh, ke tempat yang jauh dari keramaian, dan mulai menjalani hidup dengan cara yang berbeda. Aku belajar untuk hidup lebih sederhana, tanpa beban. Aku mencari kedamaian dalam diriku sendiri, tanpa harus terikat dengan harapan orang lain.”

Arga mendengarkan dengan seksama, merasa seolah-olah dunia sekitarnya mulai berubah. “Tapi, kan kita hidup di dunia yang penuh dengan harapan dari orang lain. Bagaimana kita bisa mengabaikan itu semua?”

Rudi memandang Arga dengan lembut, seolah-olah sudah menunggu pertanyaan itu. “Itulah yang aku pelajari, Arga. Kita hidup bukan untuk memenuhi harapan orang lain, tetapi untuk memenuhi harapan kita sendiri. Hidup itu bukan tentang menjadi apa yang orang lain inginkan, tetapi tentang menjadi diri kita sendiri, yang paling otentik.”

Arga merasa seperti ada yang tersentak dalam hatinya. Selama ini, ia hidup dalam bayang-bayang ekspektasi orang tua, teman, dan masyarakat. Semua pilihannya, dari pekerjaan hingga hubungan, sering kali didorong oleh harapan orang lain, bukan karena keinginan dirinya sendiri. Selama ini, ia takut mengecewakan orang, takut jika ia tidak memenuhi standar yang ditetapkan untuk dirinya.

“Tapi, aku… aku nggak tahu bagaimana memulai. Aku merasa sudah terlalu jauh terjebak dalam kebiasaan lama,” kata Arga, suara sedikit terlontar dalam kebingungannya.

Rudi mengangguk dengan bijaksana. “Aku mengerti. Memang tidak mudah. Tapi, langkah pertama adalah berhenti dan merenung. Tanyakan pada dirimu sendiri, apa yang benar-benar kamu inginkan dari hidup ini. Apa yang membuatmu merasa hidup, bukan sekadar bertahan hidup?”

Arga merasa pertanyaan itu membekas dalam dirinya. Selama ini, ia hanya menjalani hari demi hari tanpa benar-benar merasakan kehidupan. Ia hanya mengikuti arus, tanpa mempertanyakan apakah ia bahagia atau tidak. Mungkin, seperti yang dikatakan Rudi, sudah saatnya untuk berhenti dan merenung.

“Aku dulu berpikir bahwa kebahagiaan datang dari pencapaian, Arga. Tapi kenyataannya, kebahagiaan datang dari kedamaian dalam diri kita sendiri. Ketika kita mulai hidup dengan cara kita sendiri, kita akan merasakan kebahagiaan yang sejati,” ujar Rudi dengan suara lembut namun penuh makna.

Arga menundukkan kepala, mencerna kata-kata sahabatnya itu. Ia merasa seolah-olah ada beban yang mulai terangkat dari pundaknya. Mungkin ini saatnya untuk berubah, untuk mulai mencari hidup yang lebih otentik, meski itu berarti melepas banyak hal yang sudah ia anggap sebagai bagian dari dirinya.

“Jadi, kamu benar-benar merasa damai setelah itu?” tanya Arga.

Rudi mengangguk. “Iya, damai. Hidup lebih sederhana, lebih tenang, dan lebih bermakna. Kita tidak lagi berlari mengejar hal-hal yang tidak penting. Kita hidup dengan cara kita sendiri, tanpa merasa tertekan.”

Arga merasa hatinya sedikit lebih ringan, seperti ada sesuatu yang telah berubah dalam dirinya. Ia merasa siap untuk memulai perjalanan baru, meskipun ia tahu bahwa itu tidak akan mudah. Namun, dengan apa yang Rudi katakan, ia merasa memiliki arah yang lebih jelas. Mungkin selama ini ia terlalu terfokus pada apa yang salah dan apa yang harus diperbaiki, padahal yang ia butuhkan adalah menemukan kembali dirinya.

Saat mereka berbicara lebih lanjut, Arga merasa lebih terhubung dengan dirinya sendiri. Ia mulai memahami bahwa hidup ini bukanlah tentang mencapai kesempurnaan, tetapi tentang menerima ketidaksempurnaan dan hidup dengan penuh kesadaran. Bertahun-tahun ia berlari mengejar hal-hal yang dianggap penting, tetapi ia baru sadar bahwa yang terpenting adalah menjalani hidup dengan penuh arti, otentik, dan tanpa rasa takut.

Pertemuan dengan Rudi itu membuka matanya. Ia tidak perlu terus menerus berjuang untuk memenuhi harapan orang lain. Ia bisa memilih jalannya sendiri. Dan mungkin, hanya mungkin, inilah saatnya baginya untuk menemukan kedamaian batin yang selama ini ia cari.*

Bab 7: Menghadapi Ketakutan

Arga duduk di tepi tempat tidurnya, menatap kosong ke luar jendela kamar apartemennya. Pagi itu, langit tampak cerah, namun suasana hati Arga sangat berbeda. Meskipun ada perubahan kecil dalam dirinya setelah ia mulai menulis kembali dan menemukan sedikit harapan, ia tahu bahwa tantangan terbesar dalam hidupnya belum datang. Semua perubahan yang ia lakukan, semua keputusan yang ia ambil, masih terancam oleh satu hal yang paling ia takuti—dirinya sendiri.

Ketakutan yang selama ini menghantui Arga bukanlah ketakutan akan kegagalan atau penolakan dari orang lain. Ia lebih takut akan dirinya sendiri. Ia takut bahwa ia tidak akan bisa memenuhi harapannya sendiri, bahwa ia akan kembali terjebak dalam rutinitas yang sama seperti sebelumnya—hidup yang kosong, penuh dengan kebingungannya yang tak terjawab. Ketakutan itu selalu ada, seolah-olah menjadi bayangannya yang terus mengikuti kemanapun ia pergi.

Pagi itu, Arga memutuskan untuk menghadapi ketakutannya. Ia tahu bahwa jika ia terus lari, ia tidak akan pernah bisa menemukan kedamaian dalam dirinya. Namun, walaupun ia tahu bahwa langkah ini penting, rasa takut tetap menggerogoti hatinya. Bagaimana jika ia gagal? Bagaimana jika ia tidak pernah benar-benar menemukan jalannya? Ketakutan itu terasa begitu nyata, seperti sebuah kabut yang menutup pandangannya, membuat semuanya terasa kabur.

Ia berjalan ke kamar mandi dan menatap dirinya di cermin. Wajahnya terlihat lelah, matanya kosong, seolah-olah telah kehilangan semangat yang dulu ia miliki. Ia bisa melihat bayangannya yang pucat, wajah yang selama ini ia sembunyikan dari dunia. Arga tahu bahwa dirinya tidak bisa terus seperti ini—terus bersembunyi di balik ketakutan dan kebingungannya. Ia harus keluar dari bayangannya sendiri.

Hari itu, ia memutuskan untuk pergi ke taman kota, tempat yang dulu sering ia kunjungi untuk berjalan-jalan dan berpikir. Taman itu tidak jauh dari apartemennya, dan ia tahu bahwa suasana yang tenang di sana bisa memberinya sedikit ruang untuk berpikir jernih. Meskipun ketakutan masih menyelimutinya, ia tahu bahwa ia harus menghadapi kenyataan—bahwa hidup ini tidak akan berjalan jika ia terus bersembunyi.

Sesampainya di taman, Arga duduk di bangku yang terletak di bawah pohon besar, menatap ke arah danau kecil yang terletak di tengah taman. Airnya tenang, permukaannya hampir tidak bergerak, mencerminkan langit biru yang cerah. Tetapi, meskipun semuanya terlihat tenang di luar, Arga tahu bahwa ketakutannya masih ada di dalam dirinya. Ia tidak bisa begitu saja melarikan diri dari perasaan itu.

Pikirannya melayang kembali pada keputusan-keputusan yang telah ia buat dalam beberapa minggu terakhir. Ia mulai menulis kembali, menghidupkan kembali impian-impian yang dulu ia miliki, namun ketakutan selalu mengikutinya. Apakah ia bisa benar-benar menjalani hidup yang ia inginkan, atau apakah ia akan kembali ke jalan yang sudah ditentukan untuknya—jalan yang aman, tetapi penuh dengan kebosanan?

“Tidak,” gumam Arga pada dirinya sendiri. “Aku tidak bisa terus terjebak seperti ini.”

Namun, meskipun ia mencoba untuk meyakinkan dirinya, ketakutannya masih ada. Bagaimana jika ia gagal? Bagaimana jika ia tidak memiliki bakat yang cukup untuk menulis, atau jika orang-orang tidak menganggapnya serius? Ia takut bahwa usaha-usahanya akan sia-sia, dan ia akan kembali terperangkap dalam kehidupan yang tidak ia inginkan.

Saat Arga tenggelam dalam pikirannya, sebuah suara memecah keheningan. “Apakah kamu sedang memikirkan sesuatu yang berat?” suara itu terdengar lembut, namun penuh perhatian. Arga menoleh, dan melihat seorang pria paruh baya duduk di bangku sebelahnya. Pria itu tersenyum, matanya penuh dengan kedamaian, seolah-olah ia sudah mengerti apa yang sedang dirasakan Arga.

“Eh, iya,” jawab Arga dengan suara pelan. “Saya merasa seperti terjebak dalam hidup saya, dan saya tidak tahu bagaimana keluar dari situ.”

Pria itu mengangguk perlahan. “Kita semua pernah merasakannya, anak muda. Terjebak dalam bayangan ketakutan kita sendiri. Tapi, kadang-kadang, kita harus menghadapi ketakutan itu untuk bisa maju.”

Arga terdiam. Ia tidak tahu mengapa, tapi ada sesuatu dalam kata-kata pria itu yang membuatnya terkesan. Mungkin itu hanya kalimat biasa, tapi bagi Arga, itu seperti sebuah pencerahan. “Tapi bagaimana cara menghadapinya?” tanya Arga, suara penuh keraguan.

Pria itu tersenyum lebih lebar, dan mulai berbicara dengan lembut, seperti mengajari seseorang yang sedang belajar berjalan. “Kita sering merasa takut pada sesuatu yang belum terjadi. Ketakutan itu datang dari imajinasi kita sendiri. Kita membayangkan kegagalan, kesalahan, atau penolakan, padahal itu belum tentu terjadi. Ketakutan itu membuat kita terjebak dalam pikiran kita sendiri, dan kita lupa bahwa kita memiliki kekuatan untuk memilih langkah kita sendiri. Cobalah untuk fokus pada langkah kecil yang bisa kamu ambil, bukan pada bayangan besar tentang apa yang mungkin terjadi.”

Arga merenungkan kata-kata pria itu. Ia tahu bahwa pria itu benar. Ketakutannya sering kali datang dari pikirannya sendiri, dari gambaran buruk tentang masa depan yang belum tentu terjadi. Ia merasa seperti ia telah menghabiskan terlalu banyak waktu untuk khawatir, terlalu banyak waktu untuk terperangkap dalam bayangannya sendiri.

“Jadi, saya harus mulai dengan langkah kecil?” tanya Arga, berusaha mencerna apa yang baru saja ia dengar.

“Betul,” jawab pria itu. “Langkah kecil yang konsisten, yang kamu ambil dengan keberanian untuk menghadapi ketakutanmu. Tidak ada yang bisa dijalani dengan sempurna sejak awal. Semua butuh waktu dan proses. Yang penting adalah kamu berani mengambil langkah pertama.”

Arga menunduk, merenung. Kata-kata itu menggema dalam pikirannya. Ia tahu bahwa pria itu tidak memberikan jawaban yang mudah, tetapi justru itulah yang Arga butuhkan—kesadaran bahwa tidak ada jalan pintas, tidak ada cara instan untuk mengatasi ketakutan. Yang ada hanya langkah-langkah kecil yang harus ia ambil, satu per satu, dengan keberanian untuk menghadapinya.

“Terima kasih,” kata Arga pelan, tersenyum sedikit. “Saya rasa saya sudah tahu apa yang harus saya lakukan.”

Pria itu mengangguk, senyumnya tetap hangat. “Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri. Ketakutan itu tidak akan hilang begitu saja, tetapi kita bisa belajar bagaimana menghadapinya, dan itu adalah langkah pertama menuju kebebasan.”

Arga merasa seperti sebuah beban besar sedikit terangkat dari pundaknya. Ia tahu bahwa ketakutannya belum sepenuhnya hilang, tetapi sekarang ia punya cara untuk menghadapinya—dengan langkah kecil dan keberanian untuk menerima ketidakpastian.

Dengan hati yang sedikit lebih ringan, Arga berdiri dari bangkunya dan melangkah keluar dari taman. Hari itu, ia tidak hanya menghadapi ketakutannya, tetapi juga menerima kenyataan bahwa perjalanan ini bukan tentang menghindari rasa takut, melainkan tentang belajar untuk terus berjalan meskipun ketakutan itu ada.*

 

Bab 8: Jejak Baru

Arga melangkah keluar dari apartemennya dengan langkah yang lebih pasti, meskipun hatinya masih dipenuhi dengan keraguan. Meskipun ketakutan yang selama ini menghalangi jalan hidupnya belum sepenuhnya hilang, ia merasa ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Sesuatu yang lebih kuat, lebih berani. Ketakutan itu masih ada, tapi ia tahu sekarang bahwa ia tidak harus membiarkannya menguasai dirinya.

Langkah pertama yang ia ambil menuju perubahan nyata dimulai dengan tindakan kecil, namun sangat berarti. Pagi itu, ia memutuskan untuk menulis cerita yang telah lama ia pendam dalam pikirannya. Cerita yang dulu ia rasa tak layak untuk dibagikan, cerita yang selama ini ia simpan hanya untuk dirinya sendiri. Namun hari ini, Arga merasa sudah waktunya untuk memberi jejak baru pada hidupnya.

Di meja kerjanya, ia membuka laptop dan mulai mengetik. Awalnya, kata-kata itu keluar dengan lambat. Ragu-ragu, seperti langit yang berawan, penuh dengan ketidakpastian. Namun semakin lama, semakin lancar kata-kata itu mengalir. Ia merasa seolah-olah sebuah pintu yang terkunci dalam dirinya terbuka sedikit demi sedikit. Setiap kata yang ia tulis seolah mengikis keraguan yang selama ini menghentikannya untuk melangkah.

Cerita yang ia tulis adalah tentang seorang pria yang terjebak dalam kehidupan yang tidak ia inginkan, yang merasa terasing dari dirinya sendiri. Pria itu, yang jelas-jelas adalah gambaran dirinya, menghadapi berbagai kesulitan untuk menemukan kembali jejak hidup yang telah lama hilang. Melalui cerita itu, Arga seolah berbicara kepada dirinya sendiri, mencari pemahaman dan penghiburan dalam setiap kalimat yang ia ketik.

Pagi itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Arga merasa hidupnya memiliki makna lagi. Ia tidak hanya menulis untuk memenuhi ekspektasi orang lain, tetapi untuk dirinya sendiri. Ia menulis untuk menemukan siapa dirinya sebenarnya, untuk mengenal lebih dalam apa yang selama ini terpendam. Tulisannya bukan sekadar kata-kata di atas kertas—itu adalah jejak baru yang ia buat, jejak yang akan membawanya pada perubahan.

Namun, meskipun perasaan itu menyenangkan, Arga tahu bahwa jalan ini tidak akan mudah. Ketika ia menyelesaikan bab pertama cerita itu, rasa takut dan keraguan datang kembali. Bagaimana jika cerita ini tidak bagus? Bagaimana jika orang-orang tidak mengerti maksud saya? Arga tahu bahwa ia harus menghadapi ketakutannya akan penolakan dan kegagalan. Ia harus belajar untuk menerima bahwa tidak ada jaminan dalam hidup, dan terkadang, keberanian untuk mencoba adalah hal yang paling penting.

Hari itu, ia memutuskan untuk mengirimkan cerita pertama yang ia tulis ke sebuah komunitas penulis online yang dulu pernah ia temui. Komunitas itu bukanlah tempat yang besar, tetapi Arga tahu bahwa ini adalah langkah pertama untuk menguji kemampuannya. Ia tidak mengharapkan pujian atau pengakuan, tetapi ia hanya ingin melihat bagaimana orang lain merespon tulisannya. Mungkin, itu bisa menjadi petunjuk tentang arah yang harus ia ambil selanjutnya.

Beberapa jam setelah mengirimkan cerita itu, Arga duduk menunggu, merasa cemas. Ia tahu bahwa dirinya baru saja membuka diri untuk kemungkinan yang tak terduga—bisa jadi ada komentar pedas, kritik yang tajam, atau bahkan tidak ada respons sama sekali. Ketakutan itu menggoda lagi, mencoba menghentikan langkahnya. Namun, Arga menepisnya. Ia sudah memutuskan untuk melangkah, dan ia tidak bisa mundur lagi.

Tidak lama setelah itu, sebuah email masuk. Arga membuka pesan itu dengan cemas, membaca setiap kata dengan seksama. Itu adalah balasan dari salah satu anggota komunitas yang memberikan komentar konstruktif, tetapi juga sangat mendukung. “Cerita kamu memiliki potensi, Arga. Ada emosi yang kuat di dalamnya. Teruskan, jangan berhenti menulis.”

Perasaan yang Arga rasakan saat itu sulit dijelaskan—campuran antara kelegaan dan kegembiraan. Mungkin ini bukanlah pujian besar, namun bagi Arga, ini adalah bukti bahwa jejak yang ia buat tidak sia-sia. Ia tidak sendirian. Ada orang-orang di luar sana yang menghargai apa yang ia lakukan, meskipun itu baru langkah pertama. Itu adalah jejak baru yang membawanya lebih dekat pada dirinya sendiri.

Keesokan harinya, Arga memutuskan untuk lebih serius menulis. Ia mulai merencanakan bab-bab berikutnya, mengembangkan cerita dengan lebih mendalam. Tulisannya semakin berkembang, semakin hidup, dan semakin penuh dengan makna. Ia merasa seolah-olah ia sedang berjalan di jalur yang benar, meskipun jalur itu belum sepenuhnya jelas. Yang terpenting baginya adalah ia sudah mengambil langkah pertama, dan ia tidak akan mundur.

Sementara itu, di luar dunia penulisan, Arga mulai mengambil langkah-langkah kecil lainnya untuk membangun hidup yang lebih autentik. Ia mulai lebih terbuka dengan orang tuanya, berbicara tentang perasaannya dan apa yang ia ingin capai dalam hidupnya. Walaupun ada rasa canggung di awal, ia merasa lega karena akhirnya bisa mengungkapkan apa yang selama ini terpendam. Ia tahu bahwa perasaan itu, meskipun sulit, adalah bagian dari perjalanan untuk menemukan jejak hidup yang sejati.

Suatu hari, saat berbicara dengan ibunya, Arga mengatakan sesuatu yang tidak pernah ia ucapkan sebelumnya. “Ibu, aku ingin menjadi penulis. Aku ingin menulis cerita yang benar-benar aku percaya.” Ibunya terdiam sejenak, mungkin terkejut dengan pengakuannya. Namun, setelah beberapa detik, ibunya tersenyum dan berkata, “Aku bangga padamu, Arga. Aku tahu kamu punya potensi. Jangan takut untuk mengejar apa yang kamu inginkan.”

Kata-kata itu memberi Arga kekuatan baru. Ia merasa, meskipun dunia di sekitarnya mungkin tidak selalu mendukung, setidaknya ia sudah bisa menerima dirinya sendiri dan apa yang ia inginkan dalam hidup. Ia tidak perlu lagi terjebak dalam ekspektasi orang lain atau ketakutannya sendiri. Jejak baru yang ia buat adalah jejak yang berdasarkan pada impian dan keberaniannya untuk melangkah maju.

Dengan hati yang penuh dengan semangat baru, Arga melanjutkan menulis, berkomitmen untuk tidak pernah berhenti mencari jejak yang lebih bermakna dalam hidupnya. Ia tahu perjalanan ini masih panjang, dan pasti akan ada banyak tantangan yang harus dihadapi. Namun, ia juga tahu bahwa ia tidak akan melakukannya sendirian. Ia memiliki jejak-jejak kecil yang ia tinggalkan, dan jejak-jejak itu akan membantunya menemukan jalan menuju kebebasan dan keberhasilan yang sejati.*

Bab 9: Langkah Baru yang Penuh Makna

Pagi itu terasa lebih segar daripada biasanya. Arga berjalan menyusuri trotoar dengan langkah yang lebih ringan, meskipun hari itu seharusnya penuh dengan tantangan baru. Langkah-langkah kecil yang ia ambil belakangan ini mulai terasa lebih bermakna, membawa perubahan yang tidak hanya dapat ia rasakan, tetapi juga mulai terlihat oleh orang-orang di sekitarnya. Sejak ia mengambil keputusan untuk kembali menulis dan mulai menggali apa yang sebenarnya ia inginkan dalam hidup, semuanya mulai terasa berbeda—lebih terang, lebih nyata.

Arga tidak lagi merasa terjebak dalam kebingungannya. Meskipun ketakutannya masih datang sesekali, ia kini tahu bagaimana cara menghadapinya. Semua itu berawal dari langkah kecil yang ia ambil—menerima dirinya, menulis dengan hati, dan berbicara tentang impian-impian yang selama ini ia sembunyikan. Langkah-langkah itu tidak hanya membantunya mengenal dirinya lebih baik, tetapi juga membantunya membangun kehidupan yang lebih penuh makna.

Beberapa minggu yang lalu, Arga sempat merasa bahwa hidupnya tidak lebih dari rutinitas yang kosong. Pekerjaannya sebagai analis data di sebuah perusahaan besar tidak memberinya ruang untuk mengekspresikan diri. Ia merasa terjebak dalam pekerjaan yang hanya memberinya gaji bulanan, tanpa ada kepuasan pribadi. Tetapi sejak ia memutuskan untuk kembali menulis dan mengejar impian yang sempat terlupakan, hidupnya mulai berubah. Menulis bukan hanya tentang menghasilkan cerita, tetapi juga tentang menemukan kembali diri Arga yang sejati.

Pagi itu, Arga sedang menunggu di sebuah kafe kecil yang nyaman. Ia sudah menulis beberapa bab dari cerita yang sedang ia kembangkan, dan kali ini, ia akan mengirimkan draft pertama kepada seorang editor yang ia kenal dari komunitas penulis online. Keputusan untuk mengirimkan karya pertamanya ke seorang profesional adalah langkah besar, namun Arga merasa siap. Ia tahu bahwa ini adalah salah satu titik balik dalam hidupnya. Tidak lagi hanya menulis untuk dirinya sendiri, tetapi untuk berbagi dengan dunia.

Saat pesan yang ia tulis sudah selesai, ia memeriksa kembali setiap kata, setiap kalimat, memastikan semuanya terdengar benar dan menggambarkan perasaannya dengan akurat. Ketika ia merasa yakin, ia mengirimkan draft itu melalui email. Detik-detik setelah itu terasa seperti jam yang berjalan lambat. Arga menghela napas, mencoba menenangkan dirinya. Ia tahu bahwa ini adalah keputusan yang besar—dan meskipun ada rasa takut akan penolakan, ia juga merasa bangga telah sampai sejauh ini. Ini adalah langkah baru, langkah yang penuh makna.

Tak lama setelah email terkirim, Arga mendapat notifikasi dari telepon genggamnya. Itu adalah balasan dari editor tersebut. Dengan tangan yang sedikit gemetar, Arga membuka email itu. “Halo Arga, saya telah membaca cerita yang Anda kirimkan. Saya sangat terkesan dengan gaya penulisan Anda yang kuat dan karakter-karakter yang hidup. Saya ingin bekerja sama lebih lanjut dengan Anda. Mari kita jadwalkan pertemuan untuk membahas langkah selanjutnya.”

Seulas senyum merekah di wajah Arga. Perasaan lega dan kebahagiaan meluap di hatinya. Ia hampir tidak percaya bahwa apa yang dulu hanya impian dan ketakutan dalam dirinya kini mulai menjadi kenyataan. Tanggapan positif dari editor itu adalah bukti bahwa langkah-langkah yang ia ambil selama ini—meskipun penuh dengan keraguan dan ketakutan—ternyata membawa hasil yang menggembirakan.

Namun, meskipun ini adalah kemenangan kecil, Arga tahu bahwa ini hanyalah awal dari perjalanan yang lebih panjang. Proses untuk mewujudkan impian menjadi penulis yang diakui masih panjang dan penuh tantangan. Ia harus terus menulis, terus belajar, dan terus berjuang untuk menghasilkan karya yang berkualitas. Tidak ada jaminan bahwa semuanya akan berjalan mulus, tetapi Arga merasa bahwa ia telah menemukan jalan yang benar.

Setelah menerima balasan dari editor, Arga keluar dari kafe dan berjalan-jalan di sekitar taman kota yang terletak tidak jauh dari tempat ia menulis. Ia melihat sekitar, menikmati setiap langkah yang ia ambil. Ia merasa lebih hidup, lebih terhubung dengan dunia sekitarnya. Setiap pohon yang berdaun hijau, setiap hembusan angin yang menyentuh kulitnya, semuanya terasa seperti bagian dari perjalanan hidupnya yang baru. Langkah-langkah kecil yang dulu ia anggap sepele kini terasa begitu berarti.

Taman itu selalu menjadi tempat favorit Arga sejak kecil. Ia sering datang ke sini untuk berpikir, atau sekadar duduk di bangku sambil merenung. Beberapa tahun yang lalu, taman ini juga menjadi saksi bisu dari kebingungannya—waktu-waktu ketika ia merasa terperangkap dalam pekerjaan yang tidak memuaskannya dan ketakutan akan masa depan yang tidak jelas. Namun hari ini, taman ini terasa berbeda. Setiap langkahnya seolah mengarah ke arah yang lebih baik, lebih pasti.

Saat ia duduk di bangku taman, Arga memikirkan semua yang telah ia alami. Ia mengingat kembali saat-saat di mana ia merasa terjebak dalam hidup, saat ia merasa bahwa hidupnya tidak memiliki tujuan yang jelas. Tapi kini, ia tahu bahwa semua itu hanya bagian dari perjalanan. Langkah-langkah kecil yang ia ambil—mulai dari menulis kembali, berbicara tentang impian-impian yang telah lama ia sembunyikan, hingga mengambil keputusan besar untuk mengirimkan karya kepada editor—semuanya membawa Arga pada titik ini. Sebuah titik di mana ia merasa lebih dekat dengan dirinya sendiri dan apa yang ia inginkan dalam hidup.

Arga menatap langit yang mulai memerah dengan cahaya matahari sore. Ia tahu bahwa ia tidak akan berhenti di sini. Langkah barunya adalah langkah menuju perubahan yang lebih besar. Mungkin ia belum tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi ia percaya bahwa dengan setiap langkah, ia semakin dekat dengan impian-impian yang dulu ia simpan jauh di dalam hati.

Ia tidak lagi takut untuk melangkah, untuk menghadapi ketakutan-ketakutannya, dan untuk mengejar hidup yang lebih bermakna. Langkah baru yang ia ambil kini bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk orang-orang di sekitarnya. Arga tahu bahwa hidupnya kini memiliki makna yang lebih dalam, bukan hanya sebagai seorang pekerja atau seorang penulis, tetapi sebagai seseorang yang berani mengubah takdirnya.

Dengan hati yang penuh semangat, Arga berdiri dan berjalan kembali menuju jalan yang membawanya pulang. Ia tahu bahwa setiap langkah yang ia ambil, sekecil apapun, adalah bagian dari perjalanan besar yang akan membentuk masa depannya. Dan dengan tekad yang bulat, Arga siap menghadapi setiap tantangan yang akan datang. Karena bagi Arga, setiap langkah baru adalah jejak yang penuh makna.*

 

Bab 10: Jejak Tanpa Jejak

Hujan turun perlahan di tengah malam, membasahi jalanan yang sudah mulai sepi. Arga berdiri di balkon apartemennya, menatap kota yang dihiasi oleh cahaya lampu jalan yang memantul di permukaan air. Langit yang gelap diselimuti awan, namun ada sesuatu yang tenang di dalam dirinya—sebuah rasa damai yang sulit dijelaskan, seperti ketika seseorang akhirnya bisa menerima kenyataan yang telah lama ia hindari. Selama ini, ia mencari jejak-jejak dalam hidupnya, berharap menemukan arah yang jelas, namun ternyata, jejak yang paling bermakna adalah jejak yang tidak terlihat oleh mata.

Arga pernah berpikir bahwa hidupnya harus dipenuhi dengan prestasi besar, dengan pencapaian yang nyata, agar ia bisa merasa bahwa ia telah hidup dengan penuh arti. Ia merasa bahwa untuk bisa mengukir jejak dalam hidup, ia harus menjadi seseorang yang diakui dunia—seorang penulis terkenal, atau seorang yang sukses dengan karier impiannya. Namun, setelah semua yang ia alami, Arga menyadari sesuatu yang sangat mendalam: kadang-kadang, jejak yang paling penting bukanlah jejak yang terlihat oleh orang lain, tetapi jejak yang kita tinggalkan di dalam diri kita sendiri.

Sudah beberapa bulan sejak Arga mengirimkan karya pertamanya kepada editor yang dia kenal dari komunitas penulis online. Sejak saat itu, hidupnya tidak lagi sama. Ia telah melewati berbagai rintangan, merasakan kegelisahan dan kebimbangan, tetapi ia juga merasakan kebanggaan dan kepuasan yang luar biasa. Karyanya kini tengah dalam proses penyuntingan dan semakin dekat dengan publikasi. Namun, yang lebih penting dari semua itu adalah perjalanan yang ia lalui untuk sampai ke titik ini—perjalanan menuju dirinya sendiri.

Dalam beberapa minggu terakhir, Arga telah lebih banyak berbicara dengan orang tuanya tentang impian dan perjuangannya. Mereka, yang dulu sempat meragukan pilihannya untuk menjadi penulis, kini mulai memberikan dukungan yang lebih nyata. Mereka tidak lagi hanya berharap agar Arga “mendapatkan pekerjaan yang lebih stabil,” tetapi mulai mengerti bahwa menulis adalah panggilan hati Arga, dan itu adalah bagian dari siapa dirinya. Tidak ada lagi tekanan untuk menjadi seseorang yang mereka inginkan, melainkan dorongan untuk menjadi diri sendiri.

Arga kini sadar bahwa hidup tidak selalu tentang mengejar apa yang tampak di luar sana, tetapi tentang mencari kedamaian dan keberanian untuk menjalani apa yang ada di dalam hati. Jejak yang ia cari bukanlah jejak yang bisa dilihat oleh orang lain, bukan pula jejak yang dihargai oleh banyak orang. Jejak yang ia temukan adalah jejak yang ia tinggalkan dalam dirinya sendiri, dalam perjalanan untuk menerima ketidaksempurnaan, dalam keberanian untuk mengambil langkah meskipun tidak ada jaminan.

Malam itu, setelah menatap kota yang basah oleh hujan, Arga duduk kembali di meja kerjanya. Laptopnya terbuka, dan di layar, terlihat draft terakhir dari novel yang telah ia tulis. Ia sudah sampai pada bab terakhir, bab yang terasa seperti penutupan dari sebuah perjalanan panjang—sebuah cerita tentang seorang pria yang mencari jejak-jejak dalam hidupnya, namun akhirnya menyadari bahwa jejak sejati adalah jejak yang hanya bisa dia temukan dengan menerima ketidakpastian.

Arga menulis kata-kata terakhir itu dengan hati yang penuh makna. “Terkadang, kita berlari mencari jejak yang ingin kita tinggalkan, namun sebenarnya kita telah meninggalkan jejak itu sejak lama—dalam setiap langkah yang kita ambil, dalam setiap pilihan yang kita buat. Jejak yang paling berarti adalah yang tidak tampak oleh mata, namun mengalir dalam setiap denyut hidup kita.”

Ia menekan tombol “save” dan menutup laptopnya. Rasanya seperti sebuah babak baru dimulai, namun bukan karena hal-hal besar yang akan datang. Arga merasa bahwa langkah terbesarnya adalah bagaimana ia bisa hidup tanpa harus selalu mengejar sesuatu yang tampak, tanpa harus selalu mencari jejak di luar dirinya. Ia tahu bahwa hidupnya tidak akan pernah sempurna, dan itu tidak masalah. Yang penting baginya adalah bagaimana ia bisa terus melangkah, menerima ketidakpastian, dan menjalani setiap detik dengan penuh kesadaran.

Jejak yang ia tinggalkan tidak perlu dikenali oleh dunia, dan mungkin tidak akan pernah dikenali. Tetapi bagi Arga, itu adalah jejak yang paling bermakna. Dalam pencariannya selama ini, ia menemukan bahwa yang terpenting bukanlah tujuan akhir, tetapi proses yang mengarah padanya—perjalanan untuk menerima dirinya, untuk berani melangkah, dan untuk menyadari bahwa hidup ini, dengan segala ketidakpastiannya, adalah anugerah yang penuh dengan makna.

Saat pagi menjelang, Arga berdiri di balkon lagi, memandangi langit yang mulai cerah. Hujan telah reda, dan kota terlihat lebih terang. Ia merasa ringan, seperti beban berat yang selama ini menghalangi jalannya kini telah terlepas. Ia tahu bahwa perjalanan ini tidak akan pernah selesai, karena setiap langkah yang ia ambil selalu akan mengarah pada langkah berikutnya. Tetapi yang terpenting, ia sekarang memahami bahwa jejak yang paling penting adalah yang tidak terlihat, yang ada dalam dirinya sendiri.

Arga tahu bahwa ia masih akan menghadapi banyak tantangan di masa depan. Ada ketakutan dan keraguan yang akan datang lagi, mungkin juga ada kegagalan yang harus ia hadapi. Namun, ia tidak lagi takut. Karena kini, ia tahu bahwa tidak ada jejak yang lebih berarti daripada jejak yang telah ia tinggalkan di dalam dirinya—jejak yang mengajarinya untuk menerima kehidupan dengan segala ketidaksempurnaan dan keindahannya.

Jejak tanpa jejak. Begitulah Arga menyebutnya. Sebuah perjalanan yang tidak selalu terlihat, tetapi terasa begitu dalam di setiap langkah yang ia ambil. Tidak ada jejak yang lebih berharga daripada itu—sebuah jejak yang ada dalam hati dan pikiran, yang akan selalu ada meskipun dunia mungkin tidak pernah mengetahuinya.***

————————–THE END———————

Source: Gustian Bintang
Tags: semangat
Previous Post

KUE KEJU YANG TERSESAT

Next Post

KEHIDUPAN ABSURD DI DUNIA SERBA SALAH

Next Post
KEHIDUPAN ABSURD DI DUNIA SERBA SALAH

KEHIDUPAN ABSURD DI DUNIA SERBA SALAH

PELANGI DI BALIK AWAN

PELANGI DI BALIK AWAN

KUE TERBANG DAN PENCURI WAKTU

KUE TERBANG DAN PENCURI WAKTU

MOVIE REVIEW

No Content Available

RECENT MOVIE

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025

Tentang Kami

NovelStory.id adalah platform media online yang menghadirkan beragam cerita menarik seperti dalam novel dan drama, dirancang untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan yang berkualitas dan penuh imajinasi. Kami percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh hati, menginspirasi, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh keajaiban.

Recent News

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025

Follow Us

  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 https://novelstory.id

No Result
View All Result
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah

© 2025 https://novelstory.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In