Bab 1: Jejak yang Tertinggal
Ardi berdiri di depan gerbang desa, menatap jalan berbatu yang membentang panjang di depannya. Desa itu terletak jauh dari keramaian kota, seakan terasingkan dari peradaban. Udara di sini terasa lebih sejuk, namun ada sesuatu yang membuatnya tidak nyaman—sebuah perasaan yang menggelitik di bagian belakang tengkuknya, seakan ada yang mengawasinya.
Dia baru saja pindah ke desa ini, mencari ketenangan setelah peristiwa pahit yang terjadi di kota. Ditinggalkan oleh teman-temannya, dikhianati oleh orang yang paling dipercaya, Ardi memilih untuk menjauh, mencari kehidupan yang lebih sederhana. Namun, seiring waktu, ketenangan yang ia harapkan malah berubah menjadi keresahan. Ada hal-hal aneh yang mulai ia dengar, bisikan-bisikan yang datang dari arah jalan yang jarang dilalui orang. Jalan sunyi itu, begitu mereka menyebutnya.
Di balik pepohonan yang rapat, jalan itu mengarah ke hutan lebat yang tampak tak berujung. Tidak ada yang tahu apa yang ada di ujung sana. Orang-orang desa selalu berbisik saat menyebutnya, seperti menyembunyikan sebuah rahasia kelam. Konon katanya, tidak ada yang berani melewati jalan itu, kecuali mereka yang bernyali besar, atau mungkin mereka yang tidak tahu apa yang sedang mereka hadapi.
Sambil melangkah menuju rumah barunya, Ardi mendengar beberapa orang berbicara di warung dekat balai desa. Sebuah percakapan yang biasa, namun kata-kata yang keluar dari mulut seorang pria tua membuat Ardi terhenti sejenak.
“Jalan itu… Jalan Sunyi. Jangan coba-coba lewat sana, nak. Banyak yang hilang di sana. Mereka yang tak pulang lagi…”
Ardi tertegun. Kata-kata itu datang begitu saja, tanpa peringatan, seakan menyentuh bagian dalam dirinya yang paling dalam. “Kenapa bisa begitu?” tanya Ardi, meskipun suaranya lebih terdengar seperti sebuah gumaman yang hampir tidak keluar.
Pria tua itu menatapnya dengan mata yang kosong, seperti seseorang yang telah menyaksikan terlalu banyak hal yang tak bisa dimengerti oleh orang biasa. “Itu bukan jalan yang sesungguhnya, anak muda. Itu jalan yang dipenuhi jejak-jejak yang tak akan pernah terhapus. Setiap orang yang melaluinya meninggalkan sesuatu… sesuatu yang lebih dari sekadar jejak kaki.”
Ardi tidak tahu harus berkata apa. Hanya anggukan pelan yang keluar dari mulutnya, dan ia segera meninggalkan pria itu dengan perasaan tidak tenang. Meskipun kata-kata pria itu membekas di pikirannya, rasa penasaran malah semakin membara. Ardi merasa seperti ada yang memanggilnya, sesuatu yang membuatnya ingin menyusuri jalan tersebut, mencari tahu apa yang tersembunyi di balik semua cerita menakutkan itu.
Malamnya, setelah makan malam sederhana di rumah barunya, Ardi duduk di dekat jendela. Lampu di luar mulai redup, meninggalkan desa dalam bayang-bayang gelap. Dalam kesunyian itu, suara angin berdesir pelan, membawa harum tanah basah yang memberi kesan ketenangan. Namun, ada sesuatu yang lain di udara. Sesuatu yang tak bisa dijelaskan, namun cukup untuk membuat Ardi merasa gelisah.
Dengan keputusan yang telah bulat, Ardi memutuskan untuk menyusuri Jalan Sunyi keesokan harinya. Ia tak tahu apa yang akan dihadapinya, tetapi rasa penasaran telah mengalahkan ketakutannya. Baginya, jalan itu adalah tantangan yang harus ia taklukkan, meski mungkin ada yang lebih dari sekadar jalan yang menunggu di sana.
Namun, saat malam semakin larut dan desa mulai tenggelam dalam keheningan, Ardi tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa sesuatu—entah apa—sedang mengawasinya. Dan saat mata tertutup, sebuah suara samar terdengar, seakan datang dari kejauhan, menggema dalam kegelapan yang pekat.
“Jalan ini tak akan pernah membiarkanmu pergi…”
Ardi terbangun dengan jantung berdegup kencang, keringat dingin membasahi dahinya. Ia menggenggam erat selimut, berusaha menenangkan dirinya. Namun, suara itu… suara itu masih terngiang di telinganya. Jalan ini tak akan pernah membiarkanmu pergi…
Pagi berikutnya, Ardi memutuskan untuk pergi, meskipun ada bagian dalam dirinya yang merasa takut. Jalan Sunyi menunggu, dan Ardi tidak bisa mengabaikan jejak yang tertinggal di sana.
Bab 2: Sebuah Perjalanan yang Mencekam
Pagi itu, Ardi bangun lebih awal dari biasanya. Udara desa yang segar membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan embun pagi. Meskipun langit tampak cerah, ada sesuatu yang tidak biasa dalam suasana itu. Angin berhembus lembut, namun sesekali terasa seperti ada sesuatu yang menekan dada, mengingatkannya pada perasaan gelisah yang tak kunjung hilang sejak malam kemarin.
Dia memutuskan untuk pergi, meski ada keraguan yang semakin menggerogoti pikirannya. Jalan Sunyi telah memanggilnya, dan hari ini adalah saat yang telah dipilihnya untuk menjelajahi tempat itu. Dengan langkah mantap, Ardi menyiapkan diri. Ia mengenakan jaket tebal untuk mengusir hawa dingin, menyiapkan botol air di ransel, dan memeriksa kompas yang ia bawa. Dalam hati, ia berusaha menepis ketakutannya.
Setiap langkah menuju jalan itu terasa semakin berat. Saat Ardi memasuki jalan setapak yang mengarah ke hutan lebat, suasana berubah seketika. Keheningan yang mencekam menyelimuti udara, seolah dunia di sekitarnya mulai menghilang. Pepohonan yang dulu tampak biasa, kini terlihat lebih besar dan gelap. Dahan-dahan pohon berdesir pelan, seperti berbisik sesuatu, meskipun angin tidak terlalu kencang.
Jalan berbatu yang sempit itu terhampar di hadapannya, membelah hutan yang semakin gelap. Langkah Ardi terdengar seperti gumaman di telinga, tumpang tindih dengan suara-suara aneh yang sulit dijelaskan. Ada suara yang seperti gesekan kaki di tanah, dan kadang-kadang, ia mendengar suara berdesir dari semak-semak yang tampaknya bergerak tanpa sebab. Ardi berhenti sejenak dan menatap sekelilingnya, berusaha mencari sumber suara, namun tidak ada yang tampak. Hanya bayangan hutan yang rapat, menutupi sinar matahari.
“Apa yang aku lakukan di sini?” bisiknya pelan, meski tahu tak ada seorang pun yang bisa mendengarnya.
Dia terus berjalan, semakin dalam ke dalam hutan. Setiap langkahnya terasa lebih berat, seakan tanah di bawah kakinya berubah menjadi rawa yang menahan geraknya. Tiba-tiba, ia berhenti. Di depan mata Ardi, jejak-jejak kaki tampak jelas di tanah lembab. Jejak itu berbeda dari jejak manusia biasa. Tidak simetris, tidak teratur. Jejak-jejak itu tampak seperti jejak yang tercetak dengan tergesa-gesa, seakan seseorang atau sesuatu yang lebih besar dan lebih berat telah melewatinya dengan kecepatan tinggi.
Ardi menatap jejak itu dengan hati berdebar. Ia merasa tidak sendirian. Seakan ada sesuatu yang sedang mengawasinya. Tanpa sadar, kakinya melangkah mengikuti jejak-jejak tersebut, meski hati kecilnya berteriak untuk berhenti. Tapi rasa penasaran mengalahkan segalanya. Jejak itu terus membawanya lebih jauh, semakin dalam ke dalam hutan yang tampaknya tak pernah berujung.
Semakin lama, suasana semakin gelap. Terang matahari yang semula cerah kini mulai pudar, terhalang oleh dahan-dahan pohon yang semakin rapat. Keheningan hutan terasa semakin menyesakkan, dan Ardi mulai merasakan sesuatu yang aneh—sebuah sensasi yang sulit dijelaskan. Ia merasa seperti ada yang mengikutinya. Suara gemerisik di balik semak-semak, yang kadang terdengar seperti langkah kaki yang perlahan mendekat. Ardi menoleh, namun tidak ada apapun di sana. Hanya hutan yang terus mengelilinginya dengan bayang-bayang gelap.
Tak lama kemudian, Ardi mendengar suara. Suara lembut yang seakan datang dari kejauhan, namun jelas terdengar di telinganya. Itu adalah suara tawa, tawa yang tidak manusiawi, tawa yang terdengar seperti sesuatu yang mengintai dalam kegelapan. Ardi menahan napas, tubuhnya kaku. Tawa itu semakin jelas, semakin dekat.
“Siapa… siapa itu?” tanya Ardi dengan suara serak. Tak ada jawaban. Suara itu terus berlanjut, tawa yang semakin mengerikan, semakin mendekat. Ardi mulai merasa panik, hatinya berdebar hebat, dan langkahnya semakin cepat.
Namun, saat ia berlari, ia merasa kakinya seolah tertarik kembali ke tanah. Seolah jalan itu tak ingin membiarkannya pergi. Setiap kali ia berpaling, suara tawa itu semakin dekat. Ardi tahu ia harus keluar, tetapi jalan yang ia lewati kini terasa semakin asing, semakin menakutkan.
Dan kemudian, tanpa peringatan, Ardi mendengar suara langkah kaki lain yang berbeda dari sebelumnya. Suara itu datang dengan ritme yang berat, langkah yang berat, seakan sesuatu yang besar sedang mendekat. Ardi berhenti, tubuhnya bergetar. Ia menatap sekeliling, berharap menemukan jalan keluar. Namun, yang ia lihat hanya kegelapan yang semakin menelan seluruh dunia di sekitarnya.
Ketika suara langkah itu semakin dekat, Ardi tahu satu hal pasti—perjalanan ini tidak akan berakhir dengan mudah. Jalan Sunyi bukan sekadar jalan biasa. Ada sesuatu yang menunggu di sana, sesuatu yang tak akan pernah membiarkannya pergi begitu saja.
“Jalan ini… akan mengubah segalanya,” pikir Ardi, saat ia merasa sosok besar itu semakin mendekat.
Bab 3: Pertemuan dengan Hantu Masa Lalu
Langit semakin kelabu saat Ardi melangkah lebih jauh ke dalam hutan. Semakin dalam ia berjalan, semakin aneh suasana di sekitar jalan itu. Angin yang tadinya berhembus lembut, kini berubah menjadi desiran keras yang menambah kesan mencekam. Semakin lama, pohon-pohon raksasa yang menjulang tinggi di kanan kiri jalan tampak seolah saling mendekat, menutup ruang gerak Ardi. Kegelapan semakin merayap di antara pepohonan, dan langkah Ardi terasa semakin berat, seakan ada sesuatu yang mengikatnya pada tempat itu.
Dia berhenti, menarik napas panjang. Suara hutan yang hening dan sunyi menambah ketegangan yang sudah menyelimuti dirinya. Tiba-tiba, di balik semak-semak, sebuah sosok muncul. Ardi hampir melompat ketakutan, namun sosok itu hanya seorang pria tua, yang tampaknya baru saja keluar dari balik pepohonan. Wajahnya tampak penuh kerutan, matanya sayu, dan tubuhnya bungkuk, mengenakan pakaian kumal yang sudah usang.
“Anak muda, kenapa kau berada di sini?” tanya pria itu dengan suara serak, namun dalam nada yang tegas. Suaranya seperti telah kehilangan banyak kekuatan, namun tetap terdengar penuh peringatan.
Ardi merasa gugup, tetapi ia memutuskan untuk menjawab dengan suara sedikit gemetar, “Saya hanya ingin tahu… tentang jalan ini. Tentang apa yang sebenarnya terjadi di sini.”
Pria tua itu menatap Ardi dalam diam, matanya kosong, seakan menilai ke dalam jiwa Ardi. Setelah beberapa detik yang terasa seperti berjam-jam, ia akhirnya berbicara lagi, “Jalan ini… bukan tempat untuk orang sepertimu. Kau tidak akan pulang seperti yang kau kira.”
Ardi merinding mendengar kata-kata itu. “Apa maksudnya?” tanyanya, suara hampir tidak terdengar, terdorong oleh rasa ingin tahu yang mendalam.
Pria itu menarik napas panjang, lalu menggelengkan kepalanya pelan. “Jalan ini sudah menyedot banyak jiwa. Dan setiap orang yang mencoba mengungkapnya akan mendapati bahwa mereka tidak pernah bisa pergi. Jalan ini punya tuannya sendiri, anak muda. Dan tuan itu bukan manusia.”
Ardi mendekat sedikit, mencoba untuk lebih memahami, meski ketakutannya mulai memuncak. “Tuan itu siapa? Apa yang terjadi pada orang-orang yang hilang?”
Sosok pria tua itu tampak ragu sejenak, seolah bergulat dengan sesuatu yang sangat berat di dalam pikirannya. Kemudian, dengan suara pelan yang bergetar, ia mulai bercerita.
“Dulu, banyak orang yang datang ke desa ini, mencari keberuntungan. Mereka melewati jalan ini, sama sepertimu. Mereka tidak tahu apa yang sebenarnya ada di ujung jalan itu. Mereka pikir itu hanya sebuah jalan biasa. Tapi mereka salah,” ujar pria itu, wajahnya semakin muram. “Jalan ini adalah tempat pengorbanan. Bukan untuk manusia. Ada sesuatu yang lebih tua dari kita di sini. Sesuatu yang hidup dalam bayang-bayang.”
Ardi terdiam mendengar penuturan pria itu. “Apa yang dimaksud dengan pengorbanan?” tanyanya perlahan, meski sudah bisa menebak arah cerita itu.
“Pengorbanan jiwa,” jawab pria itu tegas, seolah kata-katanya sudah terukir dalam memori yang tak akan pernah terlupakan. “Ada roh-roh yang telah lama terperangkap di sini. Mereka yang mati dalam kesedihan, yang meninggalkan dunia tanpa keadilan. Mereka memanggil jiwa-jiwa lain untuk menggantikan mereka, agar mereka bisa bebas. Dan untuk itu, mereka butuh pengorbanan.”
Ardi merasa perutnya bergetar, seakan ada sesuatu yang merayap di dalam tubuhnya, sesuatu yang tidak bisa ia kontrol. “Jadi, mereka yang hilang… mereka menjadi bagian dari… apa?” Ardi bertanya, suaranya bergetar, tetapi penasaran.
Pria itu menatap Ardi dengan tatapan penuh empati, seolah ia tahu betapa beratnya beban yang harus dihadapi pemuda ini. “Mereka menjadi bagian dari kutukan ini. Mereka tak bisa pergi, tak bisa melepaskan diri. Jalan ini terhubung dengan dunia lain, dunia yang gelap. Dan siapa pun yang berani berjalan melewatinya, akan ditarik masuk ke dalamnya.”
“Jadi, ini semua… karena jalan ini?” Ardi bertanya, meskipun dalam hatinya sudah ada rasa takut yang begitu besar, ia berusaha untuk tetap bertanya. “Kenapa jalan ini ada? Siapa yang menciptakannya?”
Pria itu menghela napas panjang, wajahnya tampak seakan lelah dengan beban yang harus ia pikul selama bertahun-tahun. “Jalan ini dibuat oleh mereka yang tak tahu apa yang mereka lakukan. Zaman dulu, ada orang yang mencoba menguasai kekuatan gelap. Mereka membangun jalan ini sebagai tempat persembahan, tempat untuk menyembah entitas jahat. Seiring waktu, mereka yang datang membawa pengorbanan mereka, berharap bisa mendapatkan kekuatan atau kehidupan abadi. Tapi mereka tidak tahu, mereka hanya membuka pintu yang tak bisa ditutup.”
Ardi merasa tubuhnya mulai kaku, jantungnya berdegup kencang. Perasaan takut dan ingin melarikan diri begitu mendalam, namun ia tak bisa menahan rasa ingin tahu yang membawanya lebih dalam ke dalam cerita ini.
Pria itu menatap Ardi dengan tatapan yang tajam, seolah melihat ke dalam dirinya. “Kau harus berhenti, nak. Jangan biarkan dirimu terjerat. Jalan ini akan mengubahmu. Setiap orang yang berjalan di atasnya akan kehilangan sesuatu. Entah itu jiwa, ingatan, atau bahkan hidup mereka. Tidak ada yang bisa kembali dengan utuh.”
Ardi menatap pria itu dalam diam. Tiba-tiba, suara tawa yang keras terdengar, menggetarkan hutan di sekitar mereka. Suara itu datang begitu tiba-tiba, seakan tidak berasal dari manusia, tetapi dari sesuatu yang lebih gelap.
Pria itu menatap Ardi dengan serius. “Itu tandanya. Mereka sudah datang.”
“Siapa?” Ardi bertanya panik, tetapi pria itu sudah menghilang dalam kabut tipis yang tiba-tiba menyelimuti hutan. Ardi hanya bisa berdiri terdiam, merasakan getaran dari tanah yang terasa semakin kuat, seakan jalan itu mulai menuntut sesuatu darinya.
Bab 4: Malam di Jalan Sunyi
Malam itu datang lebih cepat dari yang Ardi perkirakan. Langit yang semula terang dengan cahaya senja, kini berubah menjadi kelam, menyelimuti seluruh desa dalam kegelapan yang pekat. Hutan yang tadinya terlihat ramah, kini tampak menakutkan, dengan bayangan pohon yang menjulang tinggi seakan menghalangi jalan yang akan dilalui. Ardi, yang merasa tak tenang setelah pertemuan dengan pria tua itu, berdiri di ambang pintu rumah, menatap Jalan Sunyi yang semakin memudar dalam gelapnya malam.
Tadinya ia berniat untuk tidak melanjutkan perjalanan itu, namun rasa penasaran yang tak kunjung padam mendorongnya untuk melangkah. Di dalam dirinya, ada dorongan kuat untuk mengetahui lebih jauh tentang jalan yang penuh misteri ini. Meski hatinya masih dipenuhi keraguan, Ardi tahu bahwa ia tak akan pernah bisa menenangkan pikirannya tanpa menemukan jawaban.
Langkah Ardi terdengar jelas dalam kesunyian malam yang mencekam. Tak ada suara hewan atau binatang malam yang biasa terdengar di hutan. Hanya desiran angin yang kerap kali terdengar seperti bisikan. Di setiap langkahnya, Ardi merasa ada mata yang mengikutinya, sesuatu yang tak tampak, namun kehadirannya terasa begitu nyata. Bahkan langkahnya sendiri kini terdengar lebih berat, seakan jalan itu berusaha menahan pergerakannya.
Sampai akhirnya, Ardi kembali menemui jalan berbatu yang menuntunnya masuk lebih dalam ke dalam hutan. Kali ini, jalan itu tampak semakin sempit, dengan dahan-dahan pohon yang merambat turun, hampir menutupi jalannya. Kegelapan semakin menggigit, dan hanya cahaya redup dari senter yang ia bawa yang membantu menerangi jalan. Namun, cahaya itu tak banyak membantu, karena semakin jauh ia berjalan, semakin kabur dan redup cahayanya.
Tiba-tiba, dari kejauhan, Ardi mendengar suara langkah kaki. Langkah itu perlahan mendekat, keras dan berat, seperti sesuatu yang besar sedang menghampirinya. Ardi berhenti sejenak, tubuhnya kaku, merasakan getaran yang tidak wajar merayapi sekujur tubuhnya. Suara langkah itu semakin jelas, semakin dekat. Jantung Ardi berdegup semakin cepat, namun ia berusaha menenangkan diri. “Tenang, itu hanya suara alam,” bisiknya, meskipun dirinya tidak begitu yakin.
Ketika ia kembali melangkah, langkah itu berhenti seketika. Ardi menoleh, berusaha mencari sumber suara tersebut, namun tak ada siapa pun di sana. Hanya hutan yang hening, seakan tak ada kehidupan di dalamnya. Namun, perasaan bahwa ada yang mengawasinya semakin kuat. Rasanya seperti ada sepasang mata yang tak terlihat, mengikuti setiap gerak-geriknya.
Tiba-tiba, angin bertiup kencang, menerbangkan daun-daun kering di sekitarnya. Suara berdesir itu semakin terdengar tajam, berbaur dengan bisikan-bisikan halus yang sulit dipahami. Ardi menelan ludah, merasakan sebersit ketakutan merayap dalam dirinya. “Ini bukan suara angin biasa,” pikirnya, jantungnya semakin berdebar.
Hutan di sekitarnya mulai berubah. Bayang-bayang di antara pepohonan tampak bergerak, seolah hidup. Ardi mendekati salah satu pohon besar yang tampaknya lebih gelap dari yang lain, dan tiba-tiba, sosok kabur muncul di hadapannya. Itu hanya sekilas, seperti bayangan yang cepat melintas, namun cukup untuk membuat Ardi terperangah. Mata Ardi membelalak, tubuhnya terhentak mundur beberapa langkah.
Sosok itu semakin jelas—seorang wanita dengan gaun putih yang compang-camping, rambut panjang terurai, wajahnya tertutup rambut yang terurai lebat. Tangan wanita itu terulur ke depan, seakan ingin menyentuh Ardi, namun tubuhnya tampak kabur, hampir tidak nyata. Ardi merasakan suhu di sekelilingnya menurun drastis, seolah waktu berhenti sejenak. Sosok itu berhenti sejenak, menatap Ardi dengan mata yang kosong, tak menunjukkan ekspresi apapun.
“Siapa… siapa kau?” suara Ardi terdengar serak, hampir tak keluar dari tenggorokannya.
Wanita itu tak menjawab. Ia hanya berdiri di sana, menatap Ardi dengan tatapan kosong, sebelum perlahan mulai mendekat. Setiap langkah yang diambil wanita itu meninggalkan jejak darah di tanah yang basah, jejak yang semakin memudar seiring ia bergerak maju. Tangan wanita itu terus terulur, semakin dekat dengan tubuh Ardi, seakan memanggilnya. Ardi ingin berteriak, namun tak ada suara yang keluar. Hanya rasa dingin yang semakin menggigit.
“Jalan ini… tak akan membiarkanmu pergi,” wanita itu akhirnya berbicara dengan suara yang bergetar, namun penuh ancaman. Suaranya seperti berasal dari kedalaman tanah, seperti suara yang berasal dari dunia lain.
Ardi terpaku, tubuhnya seolah beku, tak bisa bergerak. Suara wanita itu terus bergema di telinganya, semakin keras dan jelas, hingga ia merasa telinganya berdengung. Saat wanita itu hampir mencapai Ardi, ia terhenti. Sosok itu menghilang secepat ia muncul, meninggalkan hanya jejak darah yang mengering di tanah.
Tubuh Ardi gemetar hebat, keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Ia terhuyung mundur, berusaha menjauh dari tempat itu. Namun, langkahnya terasa semakin berat, seakan tanah di bawahnya menahan setiap gerakannya. Dalam kebingungannya, ia tidak tahu harus pergi ke mana.
Ketika ia berbalik untuk melangkah lebih jauh, Ardi melihat sesuatu yang membuatnya terperangah. Di ujung jalan, muncul cahaya yang samar, seperti sebuah lampu minyak yang menyala dengan redup. Cahaya itu bergerak perlahan, menuntun Ardi untuk mengikuti. Tanpa berpikir panjang, ia memutuskan untuk mengikuti cahaya tersebut, berharap menemukan jalan keluar dari kegelapan yang semakin menghimpitnya.
Namun, saat ia mengikuti cahaya itu, ia merasa ada sesuatu yang lebih mengerikan menunggunya di ujung jalan. Sesuatu yang sudah lama terperangkap di antara dunia nyata dan dunia yang tak terlihat, menunggu untuk merenggutnya dalam pelukannya yang dingin.
Di tengah perjalanan itu, Ardi mendengar kembali suara tawa yang familiar, tawa yang menembus kegelapan, mengingatkannya pada kata-kata pria tua yang pernah ia temui. “Jalan ini tak akan pernah membiarkanmu pergi…”
Jalan Sunyi terus membawanya lebih dalam, menuntunnya pada takdir yang tidak bisa ia hindari.
Bab 5: Kehadiran Setan
Malam semakin dalam, dan Ardi merasa dunia di sekelilingnya semakin berubah. Jalan Sunyi yang semula terasa seperti perjalanan biasa kini berubah menjadi labirin kegelapan yang tak bisa ia keluar. Setiap langkahnya terasa berat, seolah ia sedang berjalan melalui dunia yang berbeda, dunia yang tidak ramah, penuh ancaman yang tak terlihat namun begitu nyata. Suara langkah kaki yang terus mengikutinya masih terdengar jelas, namun kali ini, langkah itu terdengar lebih berat, lebih dalam. Ardi semakin merasa terpojok, seolah tidak ada jalan kembali.
Cahaya redup yang sebelumnya ia ikuti kini mulai meredup, seolah diserap oleh kegelapan yang semakin pekat. Hatinya semakin diliputi kecemasan. “Apa yang sebenarnya terjadi di sini?” pikirnya, merasa ketakutan yang semakin mendalam. Di tengah kebingungannya, ia berhenti sejenak, meraba dada yang terasa semakin sesak. Dalam diam, ia merasakan kehadiran sesuatu—sesuatu yang tak kasat mata, namun begitu dekat, seperti bayangan yang selalu mengikutinya.
Tiba-tiba, angin dingin bertiup kencang, menyapu seluruh tubuh Ardi. Suara bisikan kembali terdengar, kali ini lebih jelas, lebih mendalam. Bisikan itu datang dari segala arah, tak ada sumber yang pasti. Setiap kata yang terdengar adalah gema dari masa lalu, seperti suara yang berasal dari kedalaman tanah, seperti suara yang terperangkap antara dunia hidup dan dunia mati.
“Jalan ini… milik kami,” bisikan itu terdengar begitu jelas, namun Ardi tidak bisa melihat siapa yang mengucapkannya. Suara itu memantul di dalam kepalanya, mengisi setiap sudut pikirannya dengan rasa takut yang tak bisa ia bendung.
Tiba-tiba, udara di sekelilingnya terasa berubah. Sesuatu yang besar, berat, dan gelap hadir di hadapannya, meskipun Ardi tidak bisa melihat wujudnya. Sebuah kehadiran yang begitu pekat, seperti awan hitam yang menutupi seluruh langit. Jantung Ardi berdegup semakin cepat, dan untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar tak berdaya. Ia mencoba bergerak, namun tubuhnya terasa kaku, seolah ada tangan tak terlihat yang menahannya di tempat itu.
Lalu, di depan Ardi, bayangan itu mulai terbentuk. Perlahan-lahan, wujud yang gelap dan kabur itu mulai jelas, membentuk sosok tinggi besar yang mengenakan pakaian hitam koyak. Wajahnya tersembunyi di balik topeng hitam yang retak, namun Ardi bisa merasakan tatapan tajam yang menusuk jiwanya. Sebuah energi gelap yang sangat kuat memancar dari sosok itu, membuat Ardi merasa seperti terperangkap dalam dunia lain yang lebih menakutkan.
“S-Siapa kamu?” Ardi berusaha bertanya, suaranya serak dan nyaris tak keluar. Tetapi, sosok itu hanya diam, tidak menjawab. Keheningan yang mencekam semakin menekan Ardi, dan tubuhnya mulai bergetar hebat. Suara angin yang menderu di sekitar mereka seperti bisikan dari dunia lain, menambah ketegangan yang semakin membelenggu.
Akhirnya, sosok itu bergerak. Gerakannya lambat, namun setiap langkahnya mengeluarkan suara seperti ranting yang patah, membuat Ardi merinding. Dengan setiap langkah yang diambil, tanah di sekitar mereka tampak menggelap, seolah menarik energi dari bumi itu sendiri. Ketika sosok itu semakin dekat, Ardi bisa merasakan udara di sekitarnya semakin dingin, suhu tubuhnya mulai menurun.
Tiba-tiba, sosok itu berhenti tepat di hadapan Ardi. Dengan gerakan yang hampir tak terlihat, tangan sosok itu terulur, dan Ardi merasa seperti ada kekuatan yang mengikatnya di tempat itu. Ada sebuah perasaan tak terungkapkan dalam sentuhan itu, seakan seluruh dunia Ardi berputar dengan kecepatan yang luar biasa, dan ia merasakan sesuatu yang sangat gelap dan buruk sedang mendekatinya.
Sosok itu akhirnya membuka mulutnya, dan suara yang keluar terdengar serak dan dalam, seperti datang dari kedalaman neraka. “Kau tidak bisa melarikan diri. Jalan ini milik kami, dan siapa pun yang menginjaknya, tak akan bisa kembali.”
Mata Ardi membelalak, tubuhnya terhuyung mundur, namun seolah ada kekuatan yang menahannya untuk tidak bergerak. “Apa yang kamu inginkan dariku?” tanya Ardi dengan suara tercekat.
Sosok itu tertawa—tawa yang rendah dan mengerikan, bergema di seluruh hutan. “Kami tidak menginginkan apa-apa. Kami hanya menginginkan jiwa yang terjebak, seperti yang sudah terjadi pada ribuan orang sebelumnya.”
Tiba-tiba, cahaya redup yang semula ia ikuti kembali menyala, namun kali ini, cahaya itu jauh lebih terang, menyorot tajam ke wajah sosok tersebut. Ardi memanfaatkan kesempatan itu untuk mundur, seakan tubuhnya diberi kekuatan untuk bergerak meski hanya sebentar. Namun, saat ia melangkah mundur, sosok itu menghilang dalam kegelapan, meninggalkan hanya sebuah rasa dingin yang membekukan tubuhnya.
Ardi terjatuh ke tanah, nafasnya terengah-engah, wajahnya pucat pasi. Jantungnya berdebar kencang, seakan tubuhnya baru saja melarikan diri dari cengkraman maut. Ia ingin berteriak, namun tak ada suara yang keluar. Semua yang ada hanya hening yang mencekam, dan bisikan-bisikan yang kembali terdengar di sekelilingnya, seakan mengingatkannya bahwa ia tidak pernah benar-benar sendirian di Jalan Sunyi.
Dengan langkah berat, Ardi kembali bangkit. Meski ketakutan memenuhi dirinya, ia tahu bahwa ia tidak bisa mundur. Jalan ini, dengan segala kegelapannya, sudah terlanjur menariknya jauh. Ia harus menemukan cara untuk keluar—atau, mungkin, ia tak akan pernah keluar sama sekali.
Bab 6: Ritual Kegelapan
Di tengah hutan yang sunyi, Ardi merasa seakan dirinya terjebak dalam dunia yang tak pernah ia kenali sebelumnya. Setiap langkah yang ia ambil hanya membawa ia lebih dalam ke dalam kegelapan yang tak terbayangkan. Udara malam itu terasa semakin dingin, namun bukan hanya suhu yang membuat tubuhnya menggigil—ada sesuatu yang jauh lebih menakutkan, yang membuat segenap jiwanya merasakan ancaman yang nyata. Keberadaan itu tidak tampak, namun hadirnya bisa dirasakan di setiap sudut, setiap helaan napas.
Saat Ardi berjalan lebih jauh, ia mulai melihat sebuah cahaya redup yang tampak berasal dari dalam hutan. Cahaya itu berkilauan, namun tidak memberi kehangatan, justru malah menambah rasa dingin yang menggigit. Rasanya seperti sebuah ilusi, sebuah umpan yang sengaja diciptakan untuk menarik orang seperti dirinya lebih jauh ke dalam kegelapan. Tanpa sadar, Ardi terperangkap dalam ketertarikan pada cahaya itu. Sebuah dorongan tak terjelaskan menarik kakinya untuk melangkah menuju sumber cahaya yang semakin terang itu.
Saat Ardi tiba di lokasi yang dipenuhi cahaya tersebut, ia mendapati sebuah lingkaran batu yang terbuat dari batu hitam yang besar dan licin. Di tengah lingkaran itu, sebuah api menyala dengan warna ungu kehitaman, berputar seperti pusaran angin yang tak terlihat. Suara desiran angin terdengar dari dalam api tersebut, seperti ada bisikan yang datang dari kedalaman waktu. Udara di sekitar lingkaran terasa tebal, seolah ada sesuatu yang membebani setiap napas yang dihirup. Di sekeliling lingkaran batu itu, terdapat patung-patung misterius yang tidak Ardi kenali—wajah mereka menakutkan, dengan mata yang kosong dan mulut yang terkatup rapat, namun terlihat seperti mereka mengawasi setiap gerakan yang terjadi.
Ardi merasakan perasaan tak terjelaskan mengalir dalam dirinya. Ada sesuatu yang gelap di tempat ini—sesuatu yang jauh lebih tua dari apa pun yang pernah ia bayangkan. Saat ia melangkah lebih dekat ke lingkaran batu, tiba-tiba, suara-suara aneh mulai terdengar dari arah sekelilingnya. Bisikan-bisikan itu semakin keras, seolah ada banyak orang yang berbisik dalam bahasa yang tidak dapat dimengerti. Setiap kata yang mereka ucapkan terkesan seperti mantra, seperti perintah yang berasal dari dunia yang jauh berbeda.
Kekhawatiran mulai merayapi Ardi. Ia merasa seperti ada sesuatu yang buruk akan terjadi, sesuatu yang mengerikan dan tak bisa ia hindari. Namun, ia merasa seakan tubuhnya terikat oleh kekuatan yang lebih besar, tidak mampu untuk mundur, hanya bisa terhanyut lebih dalam.
Tiba-tiba, sosok bayangan yang tak tampak sebelumnya muncul dari balik kegelapan. Ardi menoleh, dan sosok itu semakin mendekat. Kali ini, sosok tersebut bukan hanya sebuah bayangan gelap, melainkan sebuah bentuk manusia yang tampak kabur, namun nyata. Sosok itu mengenakan jubah hitam panjang yang terbuat dari kain yang tampaknya tidak terbuat dari dunia ini. Wajahnya tersembunyi di balik tudung jubah, hanya meninggalkan dua pasang mata yang bersinar dengan cahaya merah menyala. Ketika sosok itu melangkah lebih dekat, Ardi merasa bumi seakan bergetar di bawah kakinya.
“Selamat datang di tempat yang tak pernah kau pahami,” suara sosok itu keluar seperti bisikan, namun memiliki kekuatan yang menembus jiwa. Suaranya menggetarkan hati, seolah berbicara langsung ke kedalaman diri Ardi, membuatnya merasakan ketakutan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
“Kau telah datang ke tempat yang sudah lama menunggu,” lanjut sosok itu, suaranya seperti gema yang terperangkap di dalam ruang kosong. “Di sini, kegelapan tak hanya milik kami, tetapi juga milik siapa pun yang menginjakkan kaki di Jalan Sunyi.”
Ardi merasa mulutnya kering, seolah tak bisa mengucapkan sepatah kata pun. Namun, tubuhnya bergerak sendiri, melangkah maju menuju lingkaran batu yang semakin terang itu. Sosok di depannya tidak bergerak, hanya diam mengawasi, sementara bisikan-bisikan di sekitar semakin keras, membentuk sebuah ritus yang semakin nyata.
Dengan perlahan, sosok itu mengangkat tangannya, dan sesaat kemudian, api ungu di tengah lingkaran batu mulai berkobar lebih tinggi. Cahaya ungu itu berputar semakin cepat, hingga akhirnya api tersebut memuntahkan asap hitam yang menyeruak ke udara, membentuk pola yang tak terdefinisikan. Dari dalam api, suara-suara aneh mulai terdengar, seolah ada sesuatu yang menggerakkan dunia di balik tirai kegelapan.
“Ritual ini adalah titah yang tak bisa dihindari,” suara itu terdengar lagi, lebih dalam dan berat. “Sebuah ritual yang sudah tertanam di dalam darah mereka yang pernah berjalan di Jalan Sunyi.”
Tanpa sadar, Ardi mulai merasakan sesuatu yang sangat aneh—sebuah kekuatan gelap yang mengalir ke dalam dirinya, masuk melalui setiap pori tubuhnya. Rasa dingin yang menyusup ke dalam tubuhnya terasa semakin kuat, hingga ia hampir tidak bisa bergerak. Tubuhnya terasa terikat, seolah ada kekuatan yang mengekang dirinya. Ia mendengar suara dalam kepalanya, suara yang mengingatkannya bahwa ia tak bisa melarikan diri lagi. Ini adalah takdir yang harus diterima, sebuah takdir yang sudah lama tertulis, tak hanya untuk dirinya, tapi untuk siapa saja yang mencoba mengungkap misteri Jalan Sunyi.
“Jalan ini adalah tempat para jiwa yang terperangkap,” suara itu berkata, seakan menembus kesadaran Ardi. “Kami yang menunggu mereka untuk bergabung dalam kegelapan ini. Kini, giliranmu.”
Ardi merasakan tubuhnya semakin lemas. Ia ingin berteriak, namun suara itu terhalang oleh lidahnya yang terasa berat. Dalam kepalanya, gambar-gambar mengerikan mulai muncul, gambaran tentang jiwa-jiwa yang terjebak dalam lingkaran kegelapan, terkurung dalam api yang terus berkobar tanpa henti. Keheningan sejenak menyelimuti, namun ketegangan semakin memuncak. Bisikan-bisikan semakin jelas, dan Ardi tahu—ritual ini bukan hanya tentang dirinya, tapi juga tentang ribuan jiwa yang telah menghilang sebelum dirinya.
Dengan satu gerakan cepat, sosok itu melangkah maju, dan tanpa peringatan, ia meletakkan tangannya di dada Ardi. Sebuah energi dingin yang luar biasa mengalir melalui tubuh Ardi, memaksa setiap otot dan urat sarafnya merasakan kengerian yang belum pernah ia alami sebelumnya. Sesaat, dunia sekitar Ardi seakan terbelah. Api ungu itu memuntahkan energi yang begitu kuat, menghantam tubuhnya dengan kekuatan yang tak terduga.
Ardi merasa dirinya terjatuh ke dalam kehampaan yang tak terjangkau, jatuh ke dalam jurang yang begitu dalam. Namun, sebelum semuanya menjadi gelap, ia mendengar suara itu lagi, lebih dekat dari sebelumnya.
“Ini baru permulaan, Ardi. Jalan Sunyi tidak akan pernah membiarkanmu pergi.”
Dan dalam kegelapan yang tak terbendung, Ardi merasakan dirinya terperangkap—dalam Ritual Kegelapan yang sudah lama dimulai.
Bab 7: Sisa-sisa Kehidupan
Pagi hari yang mendung menyelimuti langit, namun cuaca tidak memberikan ketenangan bagi Ardi. Meski matahari belum sepenuhnya terbit, hawa yang dingin masih menggigit kulitnya. Saat membuka mata, ia terkejut melihat dirinya terbaring di sebuah tanah kosong, dikelilingi oleh pepohonan yang tampak mati. Tidak ada suara burung, tidak ada angin yang berbisik. Yang ada hanya keheningan yang mencekam, yang semakin menekan dada Ardi. Kegelapan yang semalam mengerunginya kini berubah menjadi sesuatu yang lebih nyata, lebih mendalam, seperti sisa-sisa kehidupan yang hampir punah.
Tubuhnya terasa berat, seakan ada beban yang tak terlihat yang terus mengikat setiap gerakan. Dengan susah payah, Ardi bangkit dan meraba dada, mencari-cari jejak kehidupan yang tersisa. Napasnya terasa sesak, seolah ada sesuatu yang menahan dari dalam tubuhnya. Namun, yang paling mengganggu adalah perasaan kosong yang menyelimuti dirinya. Kehilangan—bukan hanya fisik, tapi juga jiwa. Seakan sebagian dari dirinya telah terlepas dan hilang dalam ritual gelap yang tak bisa ia hindari.
Pandangan Ardi berkeliling, mencoba memahami di mana ia berada. Tanah yang gersang, tak ada bunga, tak ada rerumputan hijau yang tumbuh. Hanya ada tanah keras yang tampak seperti bekas pertempuran, penuh retakan yang dalam, seakan bumi itu sendiri telah terluka. Di kejauhan, ia melihat sebuah gubuk kecil, tergantung dalam kabut tipis yang mengambang rendah di permukaan tanah.
Langkah Ardi terasa berat, namun ia merasa terpaksa untuk berjalan menuju gubuk itu. Setiap langkahnya bergaung dalam keheningan yang menakutkan. Sebuah perasaan aneh merayapi tubuhnya—seakan ada sesuatu yang mengawasi dari balik kabut, mengikuti setiap gerak-geriknya.
Ketika Ardi sampai di depan gubuk, ia terhenti. Di sana, di ambang pintu yang terbuat dari kayu tua, terdapat sebuah jejak kaki yang baru. Jejak itu tidak seperti jejak manusia biasa. Jejaknya dalam dan lebar, seperti jejak makhluk besar yang tak dikenalnya. Perasaan ngeri mulai menguasai dirinya. Ia melangkah mundur sedikit, namun tiba-tiba suara gesekan kayu terdengar dari dalam gubuk. Ardi terdiam sejenak. Ia mencoba menguatkan diri, berusaha melawan rasa takut yang terus merayap.
Dengan hati-hati, ia membuka pintu gubuk yang berderak itu. Pemandangan yang terbuka di depannya membuat tubuh Ardi terasa kaku. Di dalam gubuk, ruangan itu dipenuhi dengan sisa-sisa kehidupan—potongan-potongan benda yang tidak jelas, serta tulisan-tulisan aneh yang tercatat di dinding dengan tinta yang hampir pudar. Di sudut ruangan, sebuah meja kayu tua tergeletak dengan beberapa benda yang tampaknya digunakan dalam ritual—beberapa lilin yang hampir habis, kain hitam yang berlumuran noda merah, dan sebuah pisau tajam yang tergeletak begitu saja, seakan menunggu untuk digunakan lagi.
Namun, ada satu benda yang menarik perhatian Ardi—sebuah buku tua yang terbuka di atas meja. Halaman-halaman buku itu berwarna kecoklatan, dan tulisan yang tertera di dalamnya adalah simbol-simbol yang sangat asing baginya. Ketika Ardi mendekat untuk memeriksa lebih lanjut, ia merasakan seakan ruangan itu mulai berputar. Matanya mulai kabur, dan seakan buku itu menariknya ke dalam dirinya. Beberapa kata yang terbaca di halaman itu seakan berbisik dalam pikirannya.
“Ritual yang tak terbalas, jiwa yang terperangkap, dan kematian yang tak pernah berhenti.”
Pikiran Ardi berputar-putar. Ia tidak tahu apakah itu bagian dari pengalaman mistis yang ia alami atau apakah ini adalah kenyataan yang sebenarnya. Namun, satu hal yang pasti, ia merasa ada sesuatu yang besar, yang mengerikan, yang terselip di dalam kata-kata tersebut.
Tiba-tiba, suara desiran angin terdengar lebih keras, dan dalam sekejap, kabut di luar gubuk mulai berkumpul. Tanpa disadari, Ardi merasakan tubuhnya kembali terikat, seperti sebuah kekuatan yang menariknya ke dalam kekosongan. Wajahnya pucat, napasnya semakin terengah-engah, dan tubuhnya kembali gemetar.
Lalu, sekelebat bayangan muncul dari dalam kabut yang menyelimuti gubuk. Sosok itu muncul dengan gerakan yang hampir tak terlihat, tapi Ardi bisa merasakannya dengan jelas—sesuatu yang hidup dan mati bersamaan. Sosok itu perlahan mendekat, wajahnya terbungkus bayangan, hanya sepasang mata yang bersinar terang, seperti api yang tak bisa padam.
Ardi merasa terperangkap di antara dua dunia—dunia yang tampaknya semakin jauh dari kenyataan, dan dunia yang terus berusaha menghisapnya ke dalamnya. Setiap jejak yang ia tinggalkan hanya menyisakan kegelapan yang lebih pekat, dan ia tahu, semakin lama ia berada di tempat ini, semakin banyak bagian dari dirinya yang hilang, tak dapat kembali.
“Jalan ini adalah tempat yang hanya meninggalkan sisa-sisa kehidupan,” suara itu terdengar lagi, kali ini lebih dekat. “Tidak ada yang bisa kembali setelah melewati batas ini. Tidak ada yang akan ditemukan, kecuali jiwa yang terperangkap.”
Ardi menatap sosok itu dengan mata penuh ketakutan, namun dalam hatinya, ada sebuah dorongan yang semakin kuat untuk memahami—untuk mengetahui lebih banyak, meskipun itu berarti mengorbankan sisa-sisa kehidupannya yang masih ada. Ia tahu, di jalan ini, hanya ada satu pilihan—melangkah lebih dalam atau terhenti di tempat ini, menjadi bagian dari mereka yang terperangkap dalam kegelapan selamanya.
Dengan napas yang berat, Ardi melangkah mundur, namun bayangan itu semakin mendekat. Ia tahu, tidak ada lagi jalan keluar.
Bab 8: Misteri di Balik Kehilangan
Langit senja mulai berubah menjadi gelap, mengirimkan bayang-bayang panjang yang menari di atas tanah keras. Ardi terhenti di tengah jalan yang sepi, tubuhnya masih lemas setelah serangkaian kejadian yang hampir tak bisa ia terima. Sesuatu yang aneh terus menghantui pikirannya, menggeliat dalam benaknya seperti bayangan yang tak dapat ia tangkap. Kehilangan. Itu kata yang selalu terngiang di kepala Ardi sejak pertama kali ia melangkah di Jalan Sunyi. Namun, kehilangan apa? Dan mengapa ia merasa seolah-olah ada bagian dari dirinya yang terhapus, tak meninggalkan jejak sama sekali?
Pikiran-pikiran itu berputar, membawanya lebih dalam ke dalam kebingungannya. Ia mulai bertanya-tanya apakah ia benar-benar memahami apa yang sedang terjadi di sekitarnya. Apakah semuanya ini hanyalah sebuah mimpi buruk yang tidak bisa ia bangun, atau adakah sesuatu yang lebih gelap, lebih mengerikan, yang menariknya ke dalam kegelapan ini?
Ardi melangkah tanpa tujuan, hanya mengikuti langkah kakinya yang terasa berat, tubuhnya seperti terikat oleh beban yang tak tampak. Ia merasa seperti sedang berjalan dalam lingkaran yang tak berujung, tempat di mana ruang dan waktu tak lagi berarti. Semakin ia mencoba untuk mengingat masa lalu, semakin samar kenangan itu—seperti ada sesuatu yang sengaja menghapusnya, menghilangkan setiap detail tentang dirinya yang dulu. Siapa dirinya sebenarnya? Apa yang sebenarnya ia cari di sini?
Perasaannya semakin kacau, dan ia merasa terperangkap di dalam dunia yang tak pernah ia kenali. Semua yang terjadi, semua yang ia alami seakan dipenuhi dengan misteri yang tak pernah terpecahkan. Sesuatu yang lebih besar sedang mengawasi, menunggu, dan mempermainkan setiap langkahnya.
Tanpa sadar, ia sudah sampai di sebuah desa kecil yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Desanya tampak sunyi, tak ada seorang pun yang tampak di luar rumah. Rumah-rumah kayu yang sudah tua itu berdiri berjajar, namun tidak ada cahaya yang keluar dari jendela-jendela itu. Seakan-akan dunia ini terperangkap dalam keheningan yang abadi.
Ardi menghampiri sebuah rumah yang tampak sedikit lebih besar dari yang lain. Pintu depan rumah itu terbuka sedikit, dan dari dalam, ia mendengar suara-suara samar, seperti bisikan yang datang dari kejauhan. Langkah kakinya terasa semakin berat, namun ia tidak bisa menahan diri untuk tidak mendekat. Ada sesuatu yang memanggilnya, menariknya untuk masuk, meskipun hatinya dipenuhi dengan rasa takut yang tak bisa ia jelaskan.
Ketika Ardi melangkah masuk, ia mendapati ruang tamu yang gelap, hanya diterangi oleh cahaya redup dari lilin yang terletak di atas meja kayu. Di dinding-dindingnya, tergantung foto-foto hitam putih yang tampak tua, beberapa di antaranya menunjukkan keluarga yang tampak bahagia, namun ada satu foto yang menarik perhatian Ardi. Foto itu menunjukkan seorang pria muda dengan senyuman lebar, namun ada sesuatu yang sangat aneh pada ekspresinya. Matanya kosong, seolah-olah tidak ada kehidupan di dalamnya, dan senyumnya terkesan dipaksakan. Sosok di foto itu membuat Ardi merasa tidak nyaman, namun ia tidak bisa menahan dirinya untuk tidak terus menatapnya.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari arah belakang. Ardi berbalik, dan sebuah sosok muncul dari balik pintu. Seorang wanita tua dengan wajah yang keriput dan mata yang tajam. Matanya tidak menunjukkan tanda-tanda kebaikan, justru ada sesuatu yang gelap di balik pandangannya, seolah ia sudah lama mengetahui semua yang terjadi di sekitar mereka.
“Siapa kau?” tanya wanita itu dengan suara serak, namun ada kekuatan yang tersembunyi di dalamnya. Ardi merasa seolah-olah wanita itu bisa melihat langsung ke dalam dirinya, mengungkapkan setiap pikiran dan ketakutan yang tersembunyi di dalam hati.
“Saya… saya Ardi,” jawab Ardi ragu. “Saya… saya sedang mencari tahu apa yang terjadi di sini. Tentang kehilangan… tentang jalan ini.”
Wanita tua itu tersenyum, senyum yang tidak mengandung kehangatan sedikit pun. “Kehilangan, ya?” Ia mengangguk pelan, kemudian melangkah maju, mengarah ke meja kayu di dekat jendela. “Kehilangan adalah sesuatu yang sangat kuat di sini, Nak. Sesuatu yang tak bisa sembuh hanya dengan waktu.”
Ardi terdiam, mendengarkan setiap kata yang diucapkan wanita itu. Rasa penasaran semakin menggelayuti pikirannya. “Apa maksudnya, Bu?” tanyanya dengan suara pelan, hampir takut.
Wanita tua itu berhenti sejenak, kemudian memandang Ardi dengan tajam. “Kehilanganmu bukanlah kehilangan biasa. Ada sesuatu yang lebih gelap di baliknya. Sesuatu yang sudah lama menunggu untuk bangkit. Sesuatu yang terperangkap di dalam bayangan, di luar jangkauan kita.”
Ardi merasa darahnya berdesir mendengar kata-kata itu. “Apa itu? Apa yang sebenarnya terjadi?” tanyanya, semakin frustasi.
Wanita itu menatap Ardi dengan mata yang seakan bisa menembus jiwanya. “Kau harus berhati-hati dengan apa yang kau cari, Nak,” kata wanita itu, suaranya semakin serak. “Kehilangan adalah awal dari sesuatu yang jauh lebih besar, dan saat kau mulai mencari, kau akan menemukan lebih dari yang kau inginkan. Jalan ini tak pernah mengizinkan siapa pun untuk kembali.”
Dengan kata-kata itu, wanita tua itu menutup mulutnya dan mengalihkan pandangannya, seakan menunggu sesuatu yang tak bisa Ardi pahami. Suasana menjadi sangat tegang, dan Ardi merasakan dirinya semakin terperangkap dalam jaring misteri yang tak terpecahkan. Kehilangan—kata itu kembali terngiang di kepalanya, kali ini dengan lebih berat, lebih mengerikan.
Apa yang sebenarnya ia cari di sini? Apa yang telah hilang dari dirinya? Dan apakah ia akan bisa keluar dari tempat ini hidup-hidup?
Semua pertanyaan itu berkecamuk di dalam pikirannya, namun jawabannya semakin jauh dari jangkauannya. Ia merasa seperti ada sesuatu yang lebih besar yang mengendalikan takdirnya, sesuatu yang tidak bisa ia hindari. Semua yang ia ketahui tentang dirinya, tentang dunia, tampaknya hanyalah ilusi yang rapuh, dan kini ia semakin tersesat di dalam misteri yang semakin membelenggunya.
Ardi tahu, apa pun yang terjadi, ia tidak bisa berhenti mencari jawaban. Meski itu berarti ia harus kehilangan lebih banyak lagi.
Bab 9: Malam Tanpa Akhir
Langit malam semakin menggelap, menelan setiap inci cahaya yang sebelumnya sempat mencoba menyusup. Tidak ada suara angin, hanya hening yang memekakkan telinga. Keheningan ini bukanlah ketenangan, melainkan sebuah peringatan—sebuah ancaman yang datang perlahan, menyeret Ardi lebih dalam ke dalam kegelapan yang tak terjangkau. Malam ini terasa berbeda, lebih menyesakkan, lebih gelap, seperti selembar kain hitam yang menutupi dunia. Tidak ada bintang yang terlihat di langit, dan bulan seolah enggan muncul, memberi ruang bagi kegelapan untuk merayap lebih dekat.
Ardi berjalan tanpa tujuan, kakinya sudah terasa berat, namun ia tidak bisa berhenti. Suara langkahnya bergema di jalan setapak yang kini tampak semakin asing baginya. Mungkin ini memang malam tanpa akhir, malam yang tak pernah beranjak, yang terus mengulangi dirinya sendiri tanpa henti. Seiring langkahnya, perasaan aneh semakin menggerogoti batinnya—sebuah perasaan bahwa sesuatu tengah mengawasi, mengintai dari bayang-bayang. Sesuatu yang tak tampak oleh mata, namun begitu nyata bagi indra lainnya.
Setiap sudut jalan yang ia lewati terasa semakin sempit, seolah dinding-dinding dunia ini perlahan bergerak mendekat, memenjarakannya di dalam lingkaran tak terhingga. Ardi memandang sekeliling dengan mata yang semakin kabur. Ia mencoba untuk mengingat kembali bagaimana ia bisa sampai di sini, namun memori itu seperti kabut tebal yang tak bisa ditembus. Sesuatu yang hilang, sesuatu yang ia lupakan, namun terasa terus mengikatnya dalam sebuah beban yang berat.
Pikirannya terus berputar, menelusuri setiap langkah yang telah ia ambil, setiap keputusan yang membuatnya tersesat jauh di dalam malam yang tiada ujung. Ia memandang sekeliling—tidak ada tanda kehidupan, hanya rumah-rumah yang berdiri sunyi, dengan jendela-jendela yang tertutup rapat, menyembunyikan rahasia mereka. Namun di balik salah satu jendela itu, Ardi merasa ada yang mengintip—dua mata yang bersinar samar dalam kegelapan.
Dengan tubuh yang kaku, Ardi melangkah mendekat. Ketika ia tiba di depan rumah itu, ia merasakan sebuah getaran aneh di dalam tubuhnya. Seperti ada sesuatu yang terhubung antara dirinya dan rumah ini, seolah-olah ia sudah lama mengenalnya. Namun, itu bukanlah tempat yang ia ingat, bukan rumah yang pernah ia masuki sebelumnya. Apa yang membuatnya merasa seperti ini?
Tangan Ardi meraih gagang pintu dengan hati-hati, meskipun setiap serat tubuhnya menolak untuk melakukannya. Namun, entah mengapa, ia merasa seperti terpaksa. Pintu itu terbuka dengan suara berderak yang memecah keheningan malam, dan begitu Ardi melangkah masuk, udara dingin menyergap tubuhnya. Sebuah aroma aneh, seperti tanah basah yang membusuk, memenuhi hidungnya.
Di dalam rumah itu, suasana semakin berat, semakin menyesakkan. Lantai kayu yang berderit di bawah langkahnya, dan dinding yang tertutup debu tebal membuat ruangan itu terasa semakin tertutup, terisolasi dari dunia luar. Ardi melangkah pelan, mencoba untuk memahami apa yang terjadi, namun setiap langkah yang ia ambil hanya semakin mendalamkan ketegangan di hatinya. Ada sesuatu yang salah di sini—sesuatu yang ia tidak bisa jelaskan.
Di sudut ruangan, sebuah meja kayu tua terletak dengan beberapa benda yang tampak terabaikan. Lilin-lilin yang sudah hampir habis terbakar, buku-buku tebal yang dibiarkan terbuka dengan halaman-halaman yang hampir pudar, dan sebuah cermin besar yang menutupi sebagian dinding. Namun, yang paling mencolok adalah sebuah kursi goyang yang bergerak perlahan, meski tidak ada angin yang menyentuhnya.
Ardi menatap kursi itu, terpesona oleh gerakannya yang aneh. Kursi itu terus bergoyang, meskipun ia tahu tidak ada yang duduk di sana. Rasa takut mulai menjalar di sekujur tubuhnya, namun ia tidak bisa berpaling. Seakan ada sesuatu yang menariknya, mengharuskannya untuk mengungkap misteri yang tersembunyi di balik malam ini.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar di belakangnya, suara pelan yang semakin mendekat. Ardi membeku, jantungnya berdebar kencang. Ketika ia berbalik, ia melihat sosok yang terhimpit dalam bayangan—seorang wanita muda dengan wajah pucat dan mata yang kosong, seolah-olah baru saja bangkit dari kubur. Wajahnya kosong, tidak ada ekspresi, hanya sebuah tatapan yang begitu dalam, seakan bisa menembus ke dalam jiwanya.
Wanita itu mendekat dengan langkah yang terhuyung-huyung, suaranya serak saat berbicara. “Kau… Kau juga akan hilang seperti yang lain,” ucapnya pelan, suaranya seperti bisikan angin yang memudar. “Kau tidak bisa keluar dari sini. Tidak ada yang bisa keluar.”
Ardi merasakan tubuhnya kaku, hampir tak bisa bergerak. Ia ingin berlari, ingin keluar dari tempat ini, namun kaki dan tangannya seolah tertanam di tanah. “Apa yang kau maksud?” tanya Ardi dengan suara gemetar. “Apa yang terjadi di sini? Siapa kamu?”
Wanita itu tidak menjawab, hanya menatapnya dengan mata yang semakin kosong, semakin dalam, seolah menuntunnya ke dalam kegelapan yang tak berujung. “Tidak ada yang bisa keluar,” katanya lagi, suaranya semakin hilang dalam kesunyian. “Semua yang datang ke sini… Akan hilang selamanya.”
Suasana di sekitar Ardi semakin menegangkan. Angin mulai berhembus kencang, mengguncang jendela dan pintu rumah, namun tak ada yang bisa membuatnya bergerak. Setiap kata wanita itu terasa seperti kutukan yang semakin membelenggunya. Seakan ada sesuatu yang lebih besar, lebih gelap, yang mengikatnya di sini—sesuatu yang tak akan membiarkan siapa pun keluar dari malam tanpa akhir ini.
Saat wanita itu mendekat semakin dekat, Ardi akhirnya bisa merasakan getaran yang mengalir di tubuhnya. Tubuhnya terhuyung, seakan tidak ada lagi kekuatan yang tersisa untuk melawan. Ia merasa seperti terperangkap dalam sebuah lingkaran yang tak pernah berakhir, tak ada jalan keluar dari malam yang mencekam ini.
Dan pada saat itu, di tengah kegelapan, Ardi tahu satu hal pasti: Malam ini akan terus berlangsung, selamanya. Tidak ada pagi yang akan datang untuk mengakhiri kegelapan ini.
Bab 10: Pengorbanan Terakhir
Malam itu terasa lebih gelap dari biasanya, bagaikan langit yang menutupi seluruh dunia dengan selimut hitam pekat. Ardi merasa ada sesuatu yang sudah menunggunya, sesuatu yang tak bisa ia hindari lagi. Di hadapannya, jalanan yang telah menjadi saksi bisu setiap langkahnya kini terasa seperti jalur menuju takdir yang tidak bisa ia elakkan. Sebuah pengorbanan, sebuah pilihan yang menuntut harga yang tak ternilai, itu yang kini menggantung di hadapannya.
Langkah Ardi semakin berat, namun hatinya dipenuhi oleh tekad yang tak tergoyahkan. Ia tahu bahwa tak ada lagi jalan mundur. Setiap keputusan yang telah ia buat membawanya ke titik ini—ke titik di mana ia harus menghadapi kenyataan, tak peduli seberapa mengerikan kenyataan itu. Jalan Sunyi, desa yang tampaknya tak memiliki akhir, dan malam yang tidak pernah berhenti, semuanya kini terhubung dengan satu titik: pengorbanan.
Di depan rumah tua itu, wanita yang ia temui sebelumnya, dengan tatapan kosong dan wajah pucat, berdiri menantinya. Ia merasa tubuhnya terikat, seakan ada kekuatan yang tak terlihat yang menariknya ke dalam rumah tersebut. Namun kali ini, ia tidak merasa takut lagi. Semua ketakutan yang pernah menguasainya kini berubah menjadi sebuah keberanian, sebuah keputusan untuk mengakhiri semuanya.
“Jadi, ini akhirnya datang juga,” kata wanita itu, suaranya terbungkus dalam bisikan, namun Ardi bisa merasakan setiap kata itu menghujam langsung ke dalam jiwanya. “Kau siap untuk menghadapi kenyataan, Nak? Siap untuk membayar harga yang harus dibayar?”
Ardi mengangguk, meskipun dadanya terasa sesak. “Apa yang harus saya lakukan?” tanyanya, suara penuh keyakinan yang tak bisa lagi digoyahkan.
Wanita itu tersenyum tipis, senyum yang dingin dan tanpa rasa. “Malam ini adalah malam yang akan mengubah semuanya,” katanya, “Malam ini adalah ujian terakhirmu. Untuk keluar dari tempat ini, untuk menghentikan segala kegelapan yang mengikat dunia ini, kau harus memberikan sesuatu yang lebih dari sekadar keberanian.”
Ardi mendengarkan, dan hatinya semakin berdegup kencang. “Apa yang harus saya berikan?”
Wanita itu melangkah maju, mendekatkan wajahnya yang pucat dan penuh misteri. “Pengorbanan,” jawabnya, “Pengorbanan terakhir. Hanya dengan mengorbankan sesuatu yang paling berharga, kau bisa menghentikan semua ini. Sesuatu yang tidak akan pernah bisa kembali. Itu adalah harga yang harus kau bayar.”
Ardi merasa seakan dunia berputar. Sesuatu yang paling berharga? Apa yang lebih berharga dari hidupnya sendiri? Apa yang bisa ia korbankan selain dirinya? Namun, di dalam hatinya, ia mulai memahami makna kata-kata wanita itu. Ini bukan hanya tentang dirinya, ini lebih besar dari itu. Jalan Sunyi, kegelapan yang tak pernah pergi, semua ini terhubung pada satu titik: pengorbanan untuk menghentikan kehancuran yang semakin mendekat.
Ia menarik napas dalam-dalam, menatap wanita itu dengan tatapan yang penuh tekad. “Saya siap,” ucapnya dengan suara yang stabil meskipun hati dan tubuhnya bergejolak. “Apa yang harus saya lakukan?”
Wanita itu mengangguk pelan. “Kau harus melepaskan apa yang paling kau cintai. Hanya dengan cara itu, jalan ini akan berhenti menghisap segalanya. Hanya dengan memberikan bagian dari dirimu, kau akan menghentikan malam yang tak berkesudahan ini.”
Ardi terdiam sejenak, berpikir keras. Apa yang harus ia lepaskan? Apakah itu keluarganya? Teman-temannya? Atau mungkin, kehidupan itu sendiri? Apa yang lebih besar dari semua itu? Tiba-tiba, ia teringat akan kenangan masa kecilnya, tentang impian-impian yang selalu ia simpan di dalam hatinya. Ia teringat bagaimana ia dulu selalu ingin membantu orang lain, mengubah dunia menjadi tempat yang lebih baik. Impian itu adalah segalanya bagi Ardi—lebih berharga dari apa pun yang ada dalam hidupnya.
Tanpa ragu, ia mengangkat kepalanya dan menatap wanita itu. “Saya mengorbankan impian saya,” katanya dengan suara yang penuh keyakinan. “Saya akan melepaskan impian saya untuk selamanya, jika itu berarti mengakhiri kegelapan ini.”
Wanita itu tersenyum, senyum yang seakan mencairkan semua ketegangan di udara. “Itu adalah pilihan yang bijak, Nak. Sekarang, saatnya untuk melepaskan. Meninggalkan masa lalu, dan memberikan jalan bagi masa depan yang baru.”
Ardi merasa sebuah energi aneh mengalir di tubuhnya, seperti sesuatu yang mengalir keluar dari dalam dirinya. Dunia di sekitarnya mulai berputar, dan ia merasa tubuhnya terangkat dari tanah. Seolah-olah, setiap bagian dari dirinya yang terhubung dengan dunia ini perlahan-lahan hilang, tenggelam dalam kegelapan yang semakin mendalam.
Tiba-tiba, langit di luar rumah terbuka, menampilkan seberkas cahaya yang datang dari tempat yang jauh. Cahaya itu begitu terang, begitu murni, dan Ardi merasa seperti terhisap ke dalamnya. Semua rasa sakit, semua rasa takut yang pernah menguasainya kini lenyap. Ia merasa ringan, seolah-olah ia bisa terbang menuju tempat yang lebih baik, lebih damai.
Namun, sebelum ia bisa sepenuhnya tenggelam dalam cahaya itu, suara wanita itu terdengar lagi, kali ini lebih lembut, namun penuh makna. “Ingatlah, Nak,” katanya, “Pengorbananmu bukanlah akhir dari perjalanan ini. Itu hanyalah awal dari sesuatu yang lebih besar. Kau telah mengubah dunia ini, dan dunia akan mengenangmu.”
Dengan satu tarikan napas terakhir, Ardi merasakan segala beban di pundaknya hilang. Ia merasa bebas, akhirnya. Mungkin malam ini tidak akan pernah berakhir, namun ia telah menemukan jalan keluar—melalui pengorbanan yang tulus.
Dan dengan itu, ia melangkah menuju cahaya, meninggalkan segala yang pernah ia kenal, dan membawa kedamaian bagi dunia yang terlupakan.
Bab 11: Jejak yang Tak Terhapuskan
Keheningan yang mencekam kembali menyelimuti jalan sunyi yang telah menelan begitu banyak kenangan. Namun kali ini, Ardi tidak lagi merasa takut. Pengorbanan yang telah ia lakukan kini menjadi beban yang tak bisa disangkal, namun ia juga tahu bahwa apa yang telah terjadi bukanlah akhir dari segalanya. Ia menatap ke depan, mencoba mengerti apa yang sebenarnya baru saja ia alami, dan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Langit di atasnya masih gelap, dengan awan tebal yang menggantung rendah. Angin malam berhembus pelan, menggoyangkan daun-daun pohon yang seakan tak pernah merasakan cahaya matahari. Ardi melangkah dengan hati-hati, namun kali ini ia merasa lebih ringan, seolah beban yang selama ini menghimpit dirinya sudah hilang bersama pengorbanannya. Setiap langkahnya semakin yakin, meskipun ada satu hal yang masih mengusik pikiran—jejak yang ditinggalkan, jejak yang tidak bisa dihapuskan.
Ardi berhenti sejenak, menatap ke arah belakang, tempat ia datang. Tidak ada yang berubah. Jalanan itu tetap sama, gelap dan sunyi, dengan rumah-rumah yang tak berpenghuni, menyisakan kesan seperti dunia yang telah lama terlupakan. Namun, di dalam dirinya, ia tahu bahwa segala sesuatu telah berubah. Perjalanan panjang yang ia lalui, semuanya telah berakhir. Tetapi, apa yang baru saja ia lakukan—pengorbanan yang teramat besar—tidak akan pernah benar-benar hilang.
Ia melanjutkan langkahnya, kali ini tanpa tujuan yang pasti, hanya mengikuti naluri yang membimbingnya. Setiap sudut jalan tampak familiar, namun ada sesuatu yang berbeda. Sebuah perasaan aneh menggerogoti hatinya, seperti ada yang mengikutinya, mencatat setiap langkah yang ia ambil. Sesuatu yang tak tampak oleh mata, namun begitu nyata di dalam hatinya. Sesuatu yang tak bisa ia jelaskan, namun tak bisa ia lupakan.
Ardi mendengar suara langkah pelan di belakangnya. Langkah itu bukan langkah manusia, lebih seperti suara kaki yang melayang di udara, tanpa jejak di tanah. Perlahan ia menoleh, dan matanya tertuju pada bayangan yang melintas di ujung jalan. Sosok itu tampak samar, hampir tak tampak, namun Ardi tahu bahwa itu adalah jejak yang ditinggalkan oleh sesuatu yang tak bisa hilang. Sesuatu yang tidak akan pernah bisa dilupakan.
“Saya tahu kau masih ada,” kata Ardi pelan, suara yang keluar dari mulutnya hampir tidak terdengar oleh angin yang berhembus. Namun, dalam hatinya, ia tahu bahwa itu adalah kenyataan yang harus ia hadapi. Jejak yang tak terhapuskan, yang tertinggal dari semua yang telah terjadi.
Sosok itu semakin mendekat, dan Ardi bisa merasakan kehadirannya dengan jelas. Semakin dekat, ia mulai melihat bentuk wajah yang kabur, seperti wajah yang terdistorsi oleh waktu. Wajah itu tidak asing baginya—ia merasa mengenalnya, namun tidak bisa mengingat dari mana. Mata yang kosong, wajah yang pucat, dan senyum yang penuh rahasia.
“Apakah itu kamu?” tanya Ardi, suaranya bergetar meskipun ia berusaha untuk tetap tegar. “Kau… apa yang kau inginkan dari saya?”
Sosok itu berhenti tepat di depannya, hanya beberapa langkah lagi. Ardi bisa merasakan hawa dingin yang begitu pekat mengelilinginya, menembus kulit dan meresap ke dalam tulangnya. Ada sesuatu di udara ini yang membuatnya merasa terperangkap, meskipun ia tahu bahwa ia telah membuat pilihan yang benar.
“Saya hanya mengingatkanmu,” kata sosok itu dengan suara yang nyaris tidak terdengar, seolah berasal dari dunia lain. “Jejak yang kau tinggalkan, tak akan pernah bisa hilang. Tidak ada yang benar-benar bisa melarikan diri dari masa lalu. Begitu banyak yang terpendam di sini. Dan kau, Ardi, adalah bagian dari itu.”
Ardi terdiam, kata-kata itu menghujam jantungnya. Apa maksudnya? Pengorbanannya telah mengakhiri kegelapan itu, bukan? Tapi kenapa perasaan ini tidak bisa hilang? Mengapa setiap langkah yang ia ambil masih terasa terhubung dengan sesuatu yang tak bisa ia lupakan?
Sosok itu mengangkat tangannya, dan tiba-tiba, gambar-gambar kabur mulai terputar di sekitar Ardi. Potongan-potongan kenangan yang tidak ia ingat, wajah-wajah yang seolah pernah ia kenal, namun hilang begitu saja. Setiap bayangan yang muncul di hadapannya adalah gambaran dari dirinya yang dulu—seorang Ardi yang penuh impian, penuh harapan, namun kini hanya meninggalkan jejak yang tak terhapuskan.
“Kenangan ini tidak akan hilang,” kata sosok itu lagi, “Mereka akan selalu ada, mencatat setiap langkahmu. Tidak ada pengorbanan yang benar-benar selesai. Kau mungkin telah melepaskan masa lalu, tetapi masa lalu tetap hidup dalam dirimu.”
Ardi merasakan tubuhnya menjadi semakin berat. Semua yang ia lakukan untuk mengakhiri kegelapan itu terasa sia-sia. Ia terperangkap dalam lingkaran waktu yang tidak ada habisnya. Jejak yang telah ia tinggalkan, tak bisa terhapuskan, dan itu mengikatnya pada sesuatu yang lebih besar daripada sekadar dirinya.
Dengan langkah yang lemah, Ardi berjalan mundur, kembali ke jalan yang telah ia lewati. Bayangan itu tetap mengikutinya, dan di setiap sudut jalan yang ia lewati, ia merasakan keberadaan sesuatu yang tak bisa ia lihat, namun begitu nyata. Jejak itu, jejak yang tak terhapuskan, terus mengikuti setiap langkahnya.
Namun, kali ini, Ardi tidak merasa takut. Ia sadar bahwa, meskipun jejak itu tak akan pernah hilang, ia masih memiliki kendali atas langkahnya. Setiap keputusan yang ia buat, setiap langkah yang ia ambil, adalah miliknya. Dan mungkin, hanya dengan terus melangkah, ia akan menemukan cara untuk menghadapinya, untuk hidup bersama jejak itu—jejak yang akan selalu ada, tetapi tak mengikatnya lagi.
Dan dengan tekad yang baru, Ardi melangkah maju. Dunia ini, meskipun penuh dengan bayangan dan kenangan yang tak terhapuskan, masih memiliki ruang untuk dia buat. Jejak itu mungkin tidak akan hilang, tetapi Ardi akan terus melangkah, berusaha untuk menemukan jalan yang lebih baik di dalam kegelapan yang tak pernah benar-benar lenyap.
Bab 12: Akhir yang Tidak Pernah Tiba
Malam itu semakin mencekam. Langit yang gelap seakan menutup seluruh dunia dalam kesunyian yang tak tertandingi. Tidak ada suara binatang, tidak ada desir angin yang menyapa. Hanya hening yang terasa semakin berat, seolah dunia sendiri tengah menahan napas, menunggu sesuatu yang tak kunjung datang. Ardi berjalan dengan langkah yang terhuyung, rasa lelah yang menghimpit tubuhnya semakin kuat. Namun, ada sesuatu yang lebih kuat dari sekadar kelelahan itu—sesuatu yang menuntutnya untuk terus maju, meskipun tak tahu ke mana arah yang harus ia tuju.
Jalan Sunyi—nama yang sangat tepat untuk tempat ini, sebuah jalan yang tidak akan pernah mengarah pada kedamaian. Ia telah melangkah jauh, melewati batas yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Namun, ada satu hal yang terus menghantui pikirannya: apakah semua ini akan berakhir? Apakah pengorbanan yang ia lakukan benar-benar cukup untuk menghentikan kegelapan yang terus mengejarnya?
Malam ini, perasaan itu kembali hadir—perasaan bahwa apa pun yang ia lakukan, apa pun yang ia korbankan, tak akan pernah membawa penutupan yang sejati. Seperti labirin tanpa ujung, ia terjebak dalam spiral waktu yang seakan tak pernah berakhir. Ia memandang ke sekitar, berharap ada jawaban yang bisa ia temukan, tetapi hanya bayangan gelap yang menyelimutinya.
Di depan, sebuah cahaya kecil tampak berpendar, jauh di ujung jalan. Meskipun kecil, cahaya itu terasa seperti sebuah harapan yang menyiratkan sesuatu yang lebih besar. Dengan langkah yang tak pasti, Ardi melangkah ke arah cahaya itu. Namun, semakin dekat ia mendekat, semakin ia merasa bahwa cahaya itu bukanlah sebuah petunjuk, melainkan sebuah ilusi yang menggoda, menariknya ke dalam kegelapan yang lebih dalam.
Cahaya itu semakin lama semakin jauh, seperti menarik dirinya ke dalam sebuah lubang hitam. Ardi berhenti sejenak, merasakan sesuatu yang berbeda—sebuah sensasi yang tak bisa ia jelaskan. Ia menoleh ke belakang, berharap melihat sesuatu yang nyata, sesuatu yang familiar. Namun, yang ia lihat hanyalah keheningan malam yang mencekam, dan bayangan-bayangan yang terus bergerak di luar batas pandangannya.
Tak ada jalan lain. Ia harus memilih. Meneruskan langkahnya, atau kembali. Tapi kembali ke mana? Jalan ini tak pernah menawarkan jalan keluar. Setiap pilihan seakan membawa konsekuensi yang lebih berat. Dalam keheningan itu, satu suara perlahan terdengar, sebuah bisikan yang sangat lemah namun penuh makna.
“Apakah kamu benar-benar ingin tahu akhir dari semua ini?”
Suara itu datang dari balik kegelapan, sebuah suara yang membuat tubuh Ardi membeku seketika. Ia memutar tubuhnya, dan di sana, di dalam bayang-bayang malam yang pekat, tampak sosok yang familiar—wanita yang pernah ia temui sebelumnya. Wajahnya pucat, matanya kosong, dan senyum yang mengerikan muncul perlahan di wajahnya.
Ardi merasa jantungnya berdetak lebih cepat. “Siapa kamu? Apa yang kau inginkan dariku?” tanyanya dengan suara bergetar.
Wanita itu hanya tersenyum tipis, senyum yang penuh dengan rahasia. “Aku adalah bagian dari jalan yang kau pilih. Aku adalah bagian dari takdir yang kau tanggung. Dan kau… kau adalah bagian dari jalan ini. Kegelapan ini tak akan pernah meninggalkanmu. Tidak ada akhir yang sebenarnya.”
Kata-kata wanita itu seperti sebuah palu yang menghantam dinding harapan yang selama ini ia coba bangun. Ardi merasa seolah dunia di sekelilingnya runtuh, dan setiap usaha yang ia lakukan untuk mencari kedamaian hanya membawanya lebih dalam ke dalam lubang kegelapan yang tak terhindarkan.
“Apa maksudmu? Aku telah mengorbankan segalanya. Aku telah memberikan semuanya! Mengapa aku masih terjebak di sini?” suara Ardi mulai pecah, emosinya meledak. Ia merasa semua usahanya sia-sia, seperti berlari tanpa henti menuju sebuah garis finis yang tak pernah ada.
Wanita itu mendekat, dan ada keheningan yang mencekam saat dia berhenti hanya beberapa langkah dari Ardi. “Kau pikir pengorbananmu akan mengakhiri ini?” tanyanya, nada suaranya penuh dengan penyesalan yang terdengar tidak nyata. “Kegelapan ini tidak mengenal akhir. Tak ada yang benar-benar selesai di sini. Semua yang kau lakukan hanyalah memperpanjang perjalanan ini.”
Ardi menatapnya dengan mata yang penuh kebingungan dan kebingungan. “Jadi, apa yang harus aku lakukan? Apa yang sebenarnya aku cari?”
Wanita itu tidak menjawab. Sebaliknya, dia hanya memandangnya dengan tatapan kosong, dan perlahan mundur ke dalam kegelapan. “Kau akan tahu sendiri. Ketika waktunya tiba, kau akan mengerti bahwa akhir yang kau cari tidak pernah datang. Hanya ada perjalanan tanpa ujung.”
Ardi terpaku. Kata-kata itu menggema di dalam pikirannya, berputar-putar tanpa henti. “Akhir yang tidak pernah tiba…” gumamnya, dan tiba-tiba ia merasa begitu lelah. Semua yang telah ia perjuangkan, semua yang telah ia korbankan, terasa sia-sia. Pengorbanannya tidak membawa kebebasan. Tidak ada akhir dari perjalanan ini.
Dengan langkah yang berat, Ardi melangkah kembali ke jalan yang sama. Tak ada pilihan lain. Setiap langkah yang ia ambil seolah mengarah pada kebingungan yang lebih besar. Setiap pilihan yang ia buat seakan membawa dirinya lebih jauh dari apa yang ia inginkan.
Malam itu, Ardi sadar bahwa tidak ada jalan keluar. Tak ada akhir yang pernah tiba. Jalan Sunyi akan terus ada, seperti jejak yang tak terhapuskan—mengikatnya pada masa lalu dan masa depan yang tak pernah jelas. Ia akan terus berjalan, mencari arti dari semua yang terjadi, namun ia tahu, dalam hatinya yang terdalam, bahwa akhir itu hanyalah sebuah ilusi yang tak akan pernah terwujud.
Dan dengan itu, ia melanjutkan perjalanannya, menuju sebuah tujuan yang tak pasti, dengan harapan yang pudar, namun tetap bertahan di dalam kegelapan yang abadi.
Bab 13: Hantu yang Tak Pernah Pergi
Angin malam berhembus kencang, membawa serta bisikan-bisikan halus yang tak bisa dipahami oleh telinga manusia. Jalan Sunyi masih tetap sama—gelap, sepi, dan penuh dengan aura yang menekan setiap napas yang dihirup. Ardi melangkah perlahan, kaki-kakinya terasa berat, seolah beban yang ia bawa semakin bertambah. Namun, ada sesuatu yang berbeda malam ini. Sesuatu yang membuatnya merasa bahwa jalan ini tak hanya sunyi karena keheningan, tetapi karena ada sesuatu yang menunggu, sesuatu yang selalu ada, mengintai di balik bayangan.
Ia berhenti sejenak, matanya memandang ke arah depan. Jalan yang seakan tak berujung itu terus membentang, tetapi di sana, di antara kabut yang tipis, ia bisa melihat sebuah bayangan. Sosok itu tampak samar, namun cukup jelas untuk menarik perhatian Ardi. Hati Ardi berdegup lebih kencang, dan seketika, memori-memori lama mulai kembali menerobos pikirannya—memori tentang kejadian yang membawanya ke jalan ini, tentang pengorbanan yang telah ia lakukan, dan tentang hantu-hantu yang tak pernah pergi.
“Hantu…” gumam Ardi, suaranya hampir tertelan angin. “Hantu yang tak pernah pergi.”
Bayangan itu semakin jelas, semakin mendekat. Ardi bisa merasakan hawa dingin yang begitu dalam, menusuk hingga tulang. Setiap langkahnya terasa semakin berat, namun ia tahu bahwa ia tidak bisa mundur lagi. Ia harus menghadapi apa yang ada di depannya.
“Saya tahu kau ada di sana,” kata Ardi, suaranya bergetar. “Apa yang kau inginkan dari saya? Mengapa kau tak pernah pergi?”
Tidak ada jawaban, hanya keheningan yang semakin dalam. Bayangan itu tetap diam, tak bergerak sedikit pun. Ardi melangkah maju, langkah demi langkah, hingga akhirnya ia berdiri hanya beberapa langkah dari sosok itu.
Dan tiba-tiba, bayangan itu bergerak. Perlahan, sosok itu mulai muncul dengan jelas di hadapan Ardi, menampakkan wajah yang begitu familiar—wajah yang pernah ia kenal, wajah yang sudah lama menghilang dari hidupnya. Itu adalah wajah seorang wanita, namun ada sesuatu yang sangat berbeda. Matanya kosong, tubuhnya transparan, dan udara di sekelilingnya terasa sangat berat. Itu adalah hantu yang tak pernah pergi, yang selalu menghantui Ardi, meskipun ia berusaha melupakan.
“Wajah itu…” Ardi bergumam, matanya terbuka lebar. “Kau… kenapa kau ada di sini? Kenapa kau terus menghantuiku?”
Wanita itu hanya tersenyum tipis, senyum yang penuh dengan kesedihan dan kebingungannya sendiri. “Aku tidak bisa pergi, Ardi. Aku adalah bagian dari jalan ini. Dan selama kau masih berada di sini, aku juga akan tetap ada. Kita tak bisa berpisah, karena kau telah menjadi bagian dari takdirku.”
Ardi merasa dadanya sesak. Kata-kata itu menghantamnya seperti batu besar, meruntuhkan dinding pertahanan yang selama ini ia bangun. Ia ingin berlari, ingin melarikan diri dari kenyataan ini, namun kakinya terasa terikat pada tanah. Sosok ini, hantu ini, adalah bagian dari dirinya, dari masa lalunya yang tak bisa ia lepaskan.
“Jadi, ini tak akan pernah berakhir?” Ardi bertanya, suaranya penuh dengan keputusasaan. “Aku tak akan pernah bisa melarikan diri darimu?”
Wanita itu mendekat, dan setiap langkahnya membawa aura yang semakin berat. “Tidak ada tempat untuk lari, Ardi,” jawabnya, suaranya lembut namun penuh dengan keabadian. “Hantu-hantu ini bukan sekadar bayangan yang bisa kita hindari. Mereka adalah bagian dari kita, bagian dari kenangan yang kita bawa. Selama kau terus mencari penutupan, kau akan selalu menemui aku. Karena aku adalah kenangan yang tak bisa kau lupakan.”
Ardi merasakan hatinya tercabik. Semua usaha yang telah ia lakukan untuk mengakhiri kegelapan, untuk mengusir hantu-hantu yang menghantui, ternyata sia-sia. Ia tidak bisa lari, tidak bisa menghindar dari apa yang telah ia lakukan, dari pengorbanan yang telah mengubah segalanya.
“Aku sudah berusaha, aku sudah berkorban!” teriak Ardi, matanya dipenuhi dengan air mata yang tak pernah ia tangisi sebelumnya. “Mengapa kau terus ada di sini? Mengapa kau tak bisa pergi?”
Wanita itu menggelengkan kepala pelan. “Kau belum mengerti, Ardi. Hantu ini bukanlah musuh. Mereka adalah bagian dari diri kita. Yang kau lawan bukanlah aku, tetapi dirimu sendiri. Masa lalu, kenangan, rasa bersalah, semuanya bersatu dalam dirimu. Itu yang membuat aku tetap ada.”
Ardi terdiam. Ia merasakan seolah-olah ada sesuatu yang terlepas di dalam dirinya, sesuatu yang telah lama terkunci. Ada perasaan berat yang datang dari dalam hatinya, perasaan yang sulit dijelaskan. Kenangan itu, rasa bersalah itu, semuanya tertanam dalam dirinya, seperti akar yang sudah terlalu dalam untuk dicabut.
“Apakah ini yang harus aku terima?” tanya Ardi dengan suara yang lebih lembut, suara yang penuh dengan keraguan. “Apakah aku harus hidup dengan bayanganmu, dengan kenangan ini, selamanya?”
Wanita itu tersenyum, kali ini senyuman yang lebih tulus. “Tidak, Ardi. Kau tidak harus hidup dalam bayangan ini. Kau bisa melepaskan diri dari rasa bersalah itu, jika kau berhenti berlari dari kenyataan. Tidak ada yang bisa kau lupakan jika kau terus menolaknya. Aku di sini, bukan untuk menghantui, tapi untuk mengingatkanmu bahwa kau harus menerima masa lalu, agar bisa melangkah ke depan.”
Ardi menatap wanita itu, dan untuk pertama kalinya, ia merasakan sebuah kedamaian yang datang dari dalam dirinya. Hantu itu bukan musuh yang harus dihancurkan, tetapi bagian dari dirinya yang harus diterima. Kenangan itu tidak bisa hilang, namun itu tidak perlu menjadi beban yang menghancurkannya.
“Terima kasih,” kata Ardi dengan suara yang hampir tak terdengar, penuh dengan pemahaman yang baru. Wanita itu mengangguk, lalu perlahan-lahan menghilang ke dalam kabut malam, meninggalkan Ardi sendirian di jalan yang sunyi.
Namun kali ini, Ardi merasa berbeda. Ia tidak lagi merasa terjebak dalam kegelapan. Ia tahu bahwa hantu-hantu dari masa lalu tidak akan pernah pergi, tetapi ia bisa memilih untuk hidup berdampingan dengan kenangan itu, tanpa harus membiarkannya menguasai hidupnya.
Dengan langkah yang lebih ringan, Ardi melanjutkan perjalanan. Jalan Sunyi masih ada, tetapi ia tidak lagi merasa sendirian. Hantu-hantu itu, yang dulu ia coba hindari, kini menjadi bagian dari dirinya yang ia terima. Dan meskipun jalan ini tak akan pernah benar-benar selesai, Ardi tahu bahwa ia bisa terus melangkah, karena akhirnya ia telah menemukan kedamaian yang sejati—penerimaan akan masa lalu, dan keberanian untuk menghadapi masa depan.
Bab 14: Bayangan di Ujung Jalan
Malam semakin larut, namun udara di Jalan Sunyi tetap terasa dingin, seolah waktu di tempat ini telah terhenti. Ardi berjalan tanpa arah, kaki-kakinya tak lagi terasa lelah. Hanya satu yang ia rasakan—kegelisahan yang terus mengganggu, seperti ada sesuatu yang menunggu di depan, sesuatu yang belum ia temui, namun sudah sangat dekat. Entah mengapa, ia merasa bahwa jalan ini, meskipun tampak sama, menyimpan sebuah rahasia besar yang belum ia ungkapkan.
Jalan di depannya semakin sempit, tertutup oleh kabut yang semakin tebal, menyelimuti setiap inci dari dunia ini. Tak ada bintang yang tampak, hanya kegelapan yang menguasai langit. Ardi berhenti sejenak, menatap jalan yang terbentang di depan. Di ujung sana, di tempat yang tak terlalu jauh, ia bisa melihat sebuah bayangan samar bergerak perlahan.
Bayangan itu tampak jelas, meskipun bentuknya kabur. Setiap langkah yang diambil bayangan itu terasa sangat lambat, tetapi tidak ada suara yang terdengar. Seolah bayangan itu lebih dari sekadar makhluk hidup, lebih seperti entitas yang tak bisa dijelaskan, sesuatu yang berada di luar jangkauan logika manusia.
Ardi merasa terikat. Sebuah dorongan yang kuat membuatnya berjalan ke arah bayangan itu, meskipun ada rasa takut yang merayap dalam dirinya. Apa yang ada di ujung jalan itu? Apakah itu satu-satunya jalan keluar dari jalan ini? Ataukah itu hanya sebuah ilusi yang mengundangnya untuk terus melangkah, masuk lebih dalam ke dalam kegelapan?
Dengan hati yang berdebar-debar, Ardi mulai melangkah maju. Langkah demi langkah terasa semakin berat, meskipun tubuhnya hampir tak merasa lelah. Setiap kali ia mengalihkan pandangan, bayangan itu seolah bergerak sedikit lebih dekat, meskipun tetap tidak berbentuk dengan jelas. Seakan ia semakin mendekati sesuatu yang sangat penting, sesuatu yang menunggu untuk diungkapkan.
“Siapa di sana?” suara Ardi terdengar keras di udara yang hening, namun tidak ada jawaban. Yang ada hanya keheningan, seperti dunia ini telah melupakan suara manusia. Ia melangkah lebih cepat, tak ingin kehilangan bayangan itu.
Bayangan itu semakin jelas. Sebuah sosok manusia, namun tubuhnya terlihat seperti kabut, seperti bayangan yang tidak sepenuhnya terbentuk. Sosok itu berdiri di sana, di ujung jalan, menunggu Ardi mendekat. Hati Ardi berdetak semakin kencang, pikirannya dipenuhi dengan tanya. Apa yang akan ia temui? Apakah ini akhir dari perjalanan ini?
Tiba-tiba, bayangan itu bergerak. Bukan hanya sekadar melangkah, tetapi tubuhnya menyatu dengan kabut yang ada di sekitarnya, menciptakan bentuk yang semakin kabur. Ardi merasa seolah-olah ia telah sampai pada batas yang tak bisa ia lewati. Jantungnya berdebar kencang, namun ia tak bisa berhenti. Setiap langkahnya terasa seperti langkah menuju takdir yang tak bisa ia hindari.
“Saya tahu kau ada di sana,” ujar Ardi, suaranya kali ini lebih tenang, meskipun rasa takut masih menyelimuti hatinya. “Apa yang kau inginkan dariku? Mengapa aku harus terus melangkah?”
Bayangan itu berhenti, tak bergerak lagi. Dalam diam yang panjang, Ardi merasakan hawa yang sangat berat, hampir seperti ada sesuatu yang menekan seluruh tubuhnya. Lalu, sebuah suara datang, lembut namun penuh dengan kehadiran yang menakutkan.
“Kau datang lebih dekat, Ardi,” suara itu terdengar begitu dekat, seolah berbisik di telinganya. “Kau merasa tertarik untuk mengungkapkan kebenaran, tetapi apakah kau siap menerima konsekuensinya?”
Ardi terdiam. Suara itu mengenalnya, namun ia tidak tahu dari mana. Hanya ada perasaan yang sangat kuat, seperti kenangan yang terpendam, seperti sesuatu yang pernah ia dengar di masa lalu, tetapi tak bisa ia ingat sepenuhnya. Ia ingin bertanya, ingin mengetahui siapa yang berbicara, namun kata-kata itu terasa seperti terperangkap dalam dirinya, tak bisa keluar.
“Siapa kau?” akhirnya Ardi bertanya, suaranya penuh dengan ketegasan yang ia paksa untuk hadir.
Bayangan itu perlahan-lahan mulai menghilang, menyatu dengan kabut yang ada di sekitarnya. “Aku adalah bayangan dari perjalananmu,” jawab suara itu dengan sangat jelas. “Aku adalah bagian dari setiap langkah yang kau ambil. Aku adalah keputusan yang telah kau buat, masa lalu yang tak bisa kau lepaskan. Aku adalah hantu yang tak pernah pergi.”
Kata-kata itu menggema dalam pikiran Ardi, dan ia merasa seperti seluruh tubuhnya terhimpit oleh kenyataan yang baru saja diungkapkan. Bayangan itu bukanlah sebuah makhluk asing, bukan pula entitas yang bisa ia lawan. Bayangan itu adalah dirinya sendiri—keputusan-keputusan yang ia buat, kesalahan yang ia tinggalkan, dan kenangan yang ia coba lupakan.
“Jadi, apakah ini semua tak akan pernah berakhir?” tanya Ardi dengan suara yang hampir tenggelam, penuh dengan keraguan.
Bayangan itu tidak menjawab, tetapi sebuah cahaya kecil mulai muncul di balik kabut, sebuah cahaya yang hangat, namun samar. Ardi menatap cahaya itu dengan penuh harapan, seakan itu adalah satu-satunya petunjuk yang bisa ia raih. Namun, bayangan itu tetap ada, mengingatkan Ardi bahwa jalan ini bukan hanya tentang melarikan diri, tetapi tentang menerima apa yang ada dalam dirinya, apa yang telah ia lakukan, dan apa yang akan ia hadapi.
“Setiap langkah yang kau ambil adalah bagian dari jalan ini, Ardi,” suara itu kembali terdengar, lebih lembut kali ini. “Tidak ada yang bisa mengubah apa yang sudah terjadi, tetapi kau masih memiliki pilihan untuk melangkah. Cahaya itu ada di sana, jika kau berani mencapainya.”
Cahaya itu semakin terang, dan perlahan-lahan bayangan di ujung jalan menghilang, seperti terkubur dalam kabut yang semakin tebal. Ardi menatap ke arah cahaya itu dengan hati yang penuh pertanyaan. Apa yang harus ia lakukan? Akankah ia terus melangkah, atau kembali ke jalan yang sudah ia tempuh? Namun, ia tahu satu hal pasti—perjalanan ini belum berakhir. Bayangan itu akan selalu ada, tetapi hanya Ardi yang bisa memilih bagaimana ia akan menghadapinya.
Dengan langkah yang penuh tekad, Ardi mulai berjalan menuju cahaya itu, meninggalkan bayangan yang ada di ujung jalan. Meskipun ia tahu bahwa perjalanan ini tak akan pernah selesai, ia merasa sedikit lebih ringan. Mungkin, hanya dengan menerima bayangan-bayangan itu, ia bisa terus melangkah, menuju cahaya yang lebih terang—meskipun itu hanya sebuah ilusi, ataukah kenyataan yang harus ia terima.
Bab 15: Jejak Setan
Malam itu, angin bertiup kencang, menggulung daun-daun kering yang berserakan di sepanjang Jalan Sunyi. Ardi berdiri di tempat yang sama, di ujung jalan yang seakan tak pernah berakhir. Pikirannya kacau, seakan-akan seluruh dunia berputar di sekitarnya, membawanya ke dalam pusaran kegelapan yang tak bisa ia hindari. Hantu-hantu masa lalunya terus menghantuinya, dan ia tahu, perjalanan ini tak akan selesai selamanya. Namun ada satu hal yang masih mengusik benaknya—apa yang sebenarnya terjadi di sini? Apa yang sebenarnya menjadi akar dari semua kekacauan ini?
Ia menatap ke depan, menyadari bahwa bayangan yang selama ini mengikutinya kini telah menghilang. Tapi, jejak-jejak itu, jejak setan yang tertinggal di jalan ini, tak bisa hilang begitu saja. Setiap langkahnya selalu mengarah kembali ke tempat ini, seolah-olah ada kekuatan yang menariknya kembali. Seperti takdir yang tak bisa ditolak.
Perasaan aneh mulai merayap dalam diri Ardi. Keberadaannya di sini bukan sekadar kebetulan. Jalan ini, kabut yang tebal, dan segala sesuatu yang terjadi dalam perjalanannya, semuanya memiliki tujuan. Jejak setan yang tertinggal adalah petunjuk, sebuah peringatan yang tak bisa diabaikan. Ia harus menghadapinya, harus tahu apa yang tersembunyi di balik semuanya. Tidak ada lagi lari. Tidak ada lagi alasan untuk bersembunyi.
“Jadi, apa yang sebenarnya kau inginkan dariku?” Ardi berbicara pada dirinya sendiri, suara itu terdengar lebih tegas, meskipun hatinya masih berdebar. “Apakah ini semua hanya permainan? Atau ada sesuatu yang lebih besar yang harus aku temui?”
Tidak ada jawaban. Keheningan kembali menyelimuti jalan ini, begitu mencekam. Namun, seketika itu juga, Ardi merasa seperti ada sesuatu yang bergerak di kegelapan. Sesuatu yang jauh lebih kuat daripada dirinya. Sesuatu yang menunggunya di sana, di dalam bayangan yang tak pernah pergi. Suara langkah kaki terdengar jelas di telinganya, langkah-langkah berat yang semakin mendekat.
“Siapa itu?” Ardi berteriak, tubuhnya kaku. Ia menatap ke arah kabut, berusaha melihat apa yang ada di baliknya. Tidak ada yang terlihat. Namun, ia bisa merasakannya. Sesuatu yang gelap, yang penuh dengan kebencian dan kemarahan, mendekat dengan sangat cepat.
Tiba-tiba, sosok itu muncul. Tidak jelas bentuknya, hanya sebuah bayangan besar yang bergerak perlahan keluar dari kabut. Seseorang, atau sesuatu, yang tak dapat ia identifikasi dengan mata biasa. Hanya ada kehadiran yang begitu menakutkan, yang membuat jantungnya hampir berhenti berdetak.
“Setan,” bisik Ardi, mulutnya kering. “Kau… apa yang kau inginkan dariku?”
Bayangan itu bergerak lebih dekat. Suara tawa yang keras dan mengerikan terdengar, seolah berasal dari tempat yang sangat jauh namun juga sangat dekat. Suara itu membuat tubuh Ardi gemetar, seakan-akan seluruh daging di tubuhnya tergerus oleh kehadiran itu. Bayangan itu semakin jelas, dan Ardi bisa melihat wajah yang tampaknya terbalik—sebuah wajah yang penuh dengan luka dan darah, wajah yang bukan milik manusia, tetapi sesuatu yang jauh lebih gelap.
“Apakah kau pikir ini hanya mimpi, Ardi?” suara itu terdengar, serak dan penuh dengan kebencian. “Kau sudah berjalan sejauh ini. Sudah berlari dari dirimu sendiri. Namun kau tetap kembali ke tempat ini. Apa yang kau coba lupakan, Ardi?”
Ardi terdiam. Jawaban itu sudah jelas, meskipun ia menolaknya dalam hati. Ia sudah berusaha lari dari masa lalunya, dari segala kesalahan yang telah ia buat. Namun, jalan ini, jalan yang penuh dengan jejak setan, membawa dirinya kembali. Mungkin, tidak ada jalan keluar dari semua ini. Mungkin, ini adalah cara untuk menghadapi segala ketakutan yang selama ini ia hindari.
“Kau pikir kau bisa menebus semuanya dengan berlari?” suara itu bertanya lagi, semakin mendekat, semakin menekan. “Tidak ada jalan yang akan membebaskanmu, Ardi. Setiap langkahmu hanya akan membawa lebih banyak penderitaan.”
Ardi menggigit bibirnya, mencoba untuk menahan ketakutan yang menguasai dirinya. Tetapi, ia tahu, kali ini ia tidak bisa lari. Kali ini, ia harus menghadapinya. Jika ada satu hal yang ia pelajari selama perjalanannya, itu adalah kenyataan bahwa ia tidak bisa menghindar dari masa lalunya. Masa lalu itu adalah bagian dari dirinya, dan hanya dengan menghadapi kenyataan itu, ia bisa menemukan kedamaian.
“Aku tidak takut lagi,” bisik Ardi, meskipun suara itu terdengar gemetar. “Aku akan menghadapinya. Apa pun yang harus aku hadapi, aku akan melakukannya.”
Dengan tekad yang baru, Ardi melangkah maju, mendekati bayangan itu. Setiap langkah terasa berat, namun ia tahu, ini adalah satu-satunya cara untuk mengakhiri perjalanan ini. Bayangan itu berhenti, seolah-olah menunggu sesuatu, menunggu keputusan yang akan diambil oleh Ardi.
Ketika Ardi semakin dekat, ia merasa seperti sebuah kekuatan besar menghentikan tubuhnya. Suara itu kembali terdengar, kali ini lebih pelan, namun tetap penuh dengan ancaman.
“Selama ini kau tidak pernah sadar, Ardi,” suara itu berkata, “bahwa jejak setan ini adalah milikmu. Kau yang membentuknya, kau yang memberinya kekuatan. Jalan ini bukan hanya tentang berlari atau mencari jalan keluar. Ini tentang penerimaan. Jika kau tidak bisa menerima kebenaran tentang dirimu, maka perjalanan ini tidak akan pernah berakhir.”
Ardi terdiam, merenung sejenak. Apa yang dikatakan oleh suara itu ada benarnya. Ia telah berlari terlalu lama, mencoba menghindar dari kenyataan yang sulit diterima. Namun, kali ini, ia tahu bahwa tidak ada lagi yang bisa dihindari. Ia harus menerima siapa dirinya, masa lalunya, dan semua keputusan yang telah ia buat.
Dengan penuh keberanian, Ardi mengangkat kepala, menatap bayangan itu langsung di mata.
“Aku siap,” katanya dengan suara yang penuh keyakinan. “Aku siap menerima apa pun yang datang.”
Bayangan itu tersenyum, senyum yang penuh dengan kejam dan kebijaksanaan yang tidak bisa dipahami oleh pikiran manusia. “Jika itu yang kau inginkan, maka perjalananmu akan segera berakhir, Ardi. Tetapi ingatlah satu hal—jejak setan ini tak akan pernah hilang. Ia akan selalu ada, dan kau akan selalu membawa ingatannya.”
Dengan kata-kata terakhir itu, bayangan itu menghilang, membubarkan diri menjadi kabut yang perlahan-lahan menyelimuti seluruh jalan. Ardi berdiri di sana, sendirian, namun untuk pertama kalinya, ia merasa sedikit lebih ringan. Perjalanan ini memang tidak berakhir seperti yang ia harapkan, tetapi ia tahu, ia telah mengambil langkah pertama untuk menerima dirinya sendiri.
Jejak setan yang selama ini ia hindari, kini menjadi bagian dari dirinya. Dan mungkin, itu adalah cara untuk melangkah maju—meskipun bayangannya akan selalu ada, Ardi akhirnya bisa menerima kenyataan bahwa tak ada lagi yang perlu ia lari dari.***
————————-THE END———————–