• Latest
  • Trending
  • All
  • Movie Review
  • Box Office
  • Trailer
  • Action
  • Romantic
  • Comedy
  • Horror
  • Serial Movie
  • Genre
JEJAK KEHIDUPAN DI TANAH YANG TERLUKA

JEJAK KEHIDUPAN DI TANAH YANG TERLUKA

January 29, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025
JEJAK DI PINTU TERLARANG

JEJAK DI PINTU TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

May 17, 2025
TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

May 17, 2025
PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

May 12, 2025
HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

May 12, 2025
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

May 10, 2025
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

LUKISAN YANG MENANGIS

May 10, 2025
  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
No Result
View All Result
Novel Story
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah
Novel Story
JEJAK KEHIDUPAN DI TANAH YANG TERLUKA

JEJAK KEHIDUPAN DI TANAH YANG TERLUKA

Perjalanan Seorang Prajurit di Tengah Konflik dan Pengorbanan

by FASA KEDJA
January 29, 2025
in Sejarah
Reading Time: 19 mins read

Bab 1: Penghidupan Seorang Petani

Liang Wei terbangun lebih awal dari biasanya. Udara pagi yang dingin menyapu wajahnya, memaksanya untuk membuka mata dengan perlahan. Kicauan burung dan suara riak sungai di kejauhan menjadi latar belakang yang menenangkan bagi desa kecil yang terletak di pinggiran pegunungan Shaanxi. Ini adalah tempat yang sederhana, jauh dari hiruk-pikuk ibu kota Xianyang, tetapi bagi Liang Wei, desa ini adalah dunia yang dikenal sejak lahir.

Langit mulai memerah dengan warna keemasan yang menandakan bahwa pagi hari telah tiba. Liang Wei duduk di tepi tempat tidurnya, menatap luar jendela yang terbuka lebar. Tanah yang basah setelah hujan semalam masih menyisakan aroma segar tanah yang belum tercemar. Pemandangan ini adalah kenyataan yang sederhana, namun bagi Liang Wei, setiap detiknya terasa berharga. Kehidupan sebagai petani yang sederhana telah membentuknya menjadi seorang yang sabar, kuat, dan bertanggung jawab.

Namun, meskipun kehidupan desa memberikan kedamaian, hati Liang Wei tetap dihantui oleh kenyataan bahwa ia harus menggantikan posisi ayahnya yang telah meninggal lima tahun lalu. Sejak itu, seluruh beban keluarga jatuh ke pundaknya. Ibunya yang lemah dan adik perempuannya, Liang Mei, sangat bergantung padanya. Keluarganya, yang dulu dihormati sebagai petani yang ulet, kini terjebak dalam kemiskinan akibat kehilangan sang kepala keluarga.

Setelah beberapa saat berdiam, Liang Wei akhirnya bangkit. Ia meraih pakaian sederhana yang digantung di samping tempat tidur, kemudian memulai rutinitas pagi hari yang sudah sangat familiar. Ia mencuci wajahnya di sungai kecil yang mengalir di dekat rumah mereka, menyegarkan tubuhnya sebelum memulai hari yang panjang.

Ibunya sedang mempersiapkan sarapan di dapur ketika Liang Wei memasuki rumah. Aroma nasi panas dan sayuran segar yang dimasak dengan bumbu sederhana menyambutnya. Liang Mei, adik perempuannya yang berusia tujuh belas tahun, sedang menyusun piring di meja makan. Wajahnya cerah, meski matanya masih dipenuhi kelelahan. Kehidupan di desa yang keras membuat semua orang harus bekerja keras setiap hari, namun Liang Mei tetap memancarkan semangat dan keceriaan.

“Selamat pagi, Wei-ge,” kata Liang Mei dengan senyum hangat. “Apakah tidurmu nyenyak tadi malam?”

“Seperti biasa,” jawab Liang Wei sambil duduk di meja makan. “Bagaimana denganmu? Apakah kamu sudah menyelesaikan pekerjaan di ladang?”

Liang Mei mengangguk. “Iya, aku sudah memeriksa tanaman kedelai dan jagung. Semua tumbuh dengan baik, meskipun cuaca seringkali tidak menentu.”

Mereka berbicara sambil makan bersama, menikmati makanan sederhana yang mereka miliki. Ibunya, meskipun tidak bisa banyak berbuat karena kondisi kesehatannya, selalu berusaha memberi semangat kepada anak-anaknya. Namun, ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Liang Wei merasakan beban yang lebih berat dari biasanya. Rasanya semakin lama, keadaan semakin sulit, dan ia tidak tahu berapa lama lagi mereka bisa bertahan.

Malam sebelumnya, Liang Wei mendengar percakapan antara beberapa tetangga yang membicarakan berita besar yang sedang terjadi di seluruh negeri—Kaisar Qin Shi Huang telah berhasil menyatukan Tiongkok dan membentuk Dinasti Qin. Meskipun mereka tinggal jauh dari ibu kota, berita-berita tentang Kaisar yang berhasil menyatukan negara dengan kekuatannya itu selalu sampai ke desa mereka. Tentu saja, bagi warga desa seperti mereka, itu adalah hal yang sulit dimengerti. Kaisar yang kuat itu jauh sekali, dan kehidupan mereka di sini tidak banyak terpengaruh.

Namun, dalam hati Liang Wei, ada ketertarikan yang mendalam terhadap apa yang sedang terjadi di luar sana. Setiap kali ia mendengar kisah tentang peperangan dan penyatuan negara, ada rasa penasaran yang semakin membesar. Apa artinya semua ini bagi dirinya? Apa yang akan terjadi dengan hidupnya yang sederhana ini jika perubahan besar ini datang ke desa mereka?

Setelah makan pagi, Liang Wei pergi ke ladang untuk melanjutkan pekerjaan. Meski kelelahan, ia tahu tidak ada pilihan selain terus bekerja keras demi menghidupi keluarganya. Pada saat yang sama, ia memikirkan tentang masa depan—masa depan yang terasa penuh dengan ketidakpastian. Bisakah kehidupan mereka tetap seperti ini? Atau akankah ada perubahan besar yang mengubah segala sesuatu?

Liang Wei berjalan menyusuri ladang, mengamati tanaman yang mulai tumbuh subur meskipun musim hujan yang tidak menentu seringkali menghambat pertumbuhannya. Ia memeriksa setiap barisan tanaman jagung dan kedelai, memastikan tidak ada hama yang mengganggu. Setiap langkahnya penuh dengan kesungguhan, namun ada rasa jenuh yang mulai tumbuh dalam dirinya. Selama bertahun-tahun, kehidupannya hanya berputar di sekitar rutinitas yang sama: bekerja di ladang, merawat keluarganya, dan menahan beban yang semakin berat.

Di tengah kesibukan, tiba-tiba sebuah suara memanggil namanya.

“Liang Wei!”

Liang Wei menoleh dan melihat seorang pria yang mengenakan pakaian perjalanan mendekat. Pria itu tampak berbeda dari orang-orang yang biasa datang ke desa mereka. Pakaian yang dikenakannya lebih bersih dan rapi dibandingkan dengan penduduk desa, dan ekspresi wajahnya tampak serius.

“Siapa kamu?” tanya Liang Wei, sedikit terkejut dengan kedatangan orang asing itu.

Pria itu tersenyum tipis, meskipun ada keseriusan di matanya. “Nama saya Zhao Yun. Saya seorang utusan dari Kaisar Qin. Kami mencari orang-orang dengan bakat tertentu untuk membantu dalam tugas besar.”

Liang Wei merasa bingung. “Tugas besar? Apa maksudmu?”

Zhao Yun mengamati sekeliling untuk memastikan tidak ada orang lain yang mendengar percakapan mereka, kemudian dia berkata, “Kaisar Qin memerlukan orang-orang yang memiliki keberanian dan keterampilan luar biasa. Kami telah mendapat informasi tentang kemampuanmu. Kami ingin mengundangmu untuk bergabung dengan pasukan Kaisar.”

Liang Wei terkejut mendengar kata-kata itu. “Aku hanya seorang petani. Aku tidak memiliki keterampilan atau kekuatan seperti yang kau sebutkan.”

Zhao Yun menggelengkan kepala. “Itulah yang kami cari. Bukan hanya kekuatan fisik, tetapi juga keberanian dan hati yang teguh. Kaisar membutuhkan orang-orang seperti dirimu untuk menjaga keamanan Dinasti Qin yang baru terbentuk ini.”

Berkali-kali Liang Wei mencoba memahami tawaran itu. Hidupnya yang sederhana, yang selama ini hanya berputar di sekitar ladang dan keluarga, tiba-tiba dipenuhi dengan kemungkinan yang tak terduga. Begitu banyak pertanyaan muncul di benaknya—apakah ia benar-benar siap untuk meninggalkan desa ini dan terlibat dalam sebuah perubahan besar yang melibatkan seluruh negeri?

Dengan hati yang berat, Liang Wei akhirnya membuat keputusan. “Baiklah, aku akan ikut bersamamu. Namun, aku harus mengurus keluargaku terlebih dahulu.”

Zhao Yun mengangguk. “Kami menunggu di luar desa. Ambil waktu yang kamu butuhkan.”

Setelah pria itu pergi, Liang Wei menatap langit yang mulai gelap. Ia tahu bahwa keputusan ini akan mengubah segalanya. Sejak saat itu, ia akan meninggalkan segala yang dikenalinya—desa yang tenang, kehidupan petani yang sederhana, dan keluarganya yang bergantung padanya. Namun, di dalam dirinya, ada keyakinan baru. Mungkin, hanya dengan menjelajahi dunia luar dan mengambil bagian dalam perubahan besar ini, ia dapat menemukan makna sejati dari kehidupannya.

Saat fajar mulai menyingsing, Liang Wei mengemas barang-barangnya dan mengatakan selamat tinggal pada ibunya dan Liang Mei, dengan harapan bahwa perjalanan ini akan membawa masa depan yang lebih baik untuk mereka semua.*

 

Bab 2: Keputusan Takdir

Pagi itu, setelah perpisahan yang penuh emosi dengan ibunya dan adiknya, Liang Wei meninggalkan desa yang telah membesarkannya. Dengan langkah-langkah berat, ia berjalan meninggalkan tempat yang selama ini menjadi rumahnya. Desanya yang sunyi kini tampak semakin jauh, dan seiring berjalannya waktu, pikiran Liang Wei semakin dipenuhi dengan pertanyaan—apakah keputusan ini benar?

Ia berjalan mengikuti pria yang mengaku sebagai utusan Kaisar Qin, Zhao Yun, yang sebelumnya telah menunggunya di luar desa. Zhao Yun adalah seorang prajurit yang tampak tegas dan berwibawa, meskipun usianya tidak jauh lebih tua dari Liang Wei. Ia memimpin perjalanan mereka ke ibu kota Xianyang, tempat kekuasaan Kaisar Qin berada. Meskipun raut wajah Zhao Yun tidak menunjukkan banyak perasaan, Liang Wei bisa merasakan aura kedalaman dan pengalaman hidup yang tersembunyi di balik mata prajurit itu.

Perjalanan mereka jauh dari mudah. Liang Wei terbiasa dengan kehidupan yang tenang di desa, di mana jalan-jalan tanah yang kasar menjadi bagian dari rutinitas sehari-hari. Namun, perjalanan menuju ibu kota ini membawa tantangan yang lebih besar—mereka melewati hutan-hutan lebat, gunung-gunung terjal, dan sungai-sungai yang deras. Setiap hari, Liang Wei merasa tubuhnya semakin lelah, namun ia tidak bisa berhenti. Rasa penasaran dan ketegangan yang menyelimuti pikirannya menghalau keletihannya.

Zhao Yun sering memberi arahan dan instruksi dengan suara yang jelas dan tegas, seakan-akan ia sudah terbiasa memimpin dalam kondisi sulit. Setiap kali mereka berhenti untuk beristirahat, Zhao Yun selalu berbicara tentang sejarah Dinasti Qin dan ambisi besar Kaisar Qin Shi Huang. Liang Wei mendengarkan dengan seksama, meskipun banyak yang tidak sepenuhnya ia pahami.

“Sejak Qin Shi Huang menjadi kaisar, ia telah melakukan banyak hal besar,” kata Zhao Yun suatu malam ketika mereka beristirahat di sebuah penginapan sederhana. “Menyatukan Tiongkok bukanlah tugas yang mudah. Kaisar telah berjuang melawan berbagai kerajaan dan musuh yang lebih besar, dan ia terus berusaha memperkuat cengkeramannya atas negeri ini.”

Liang Wei mengangguk, meskipun hatinya penuh dengan kebingungannya sendiri. Ia tahu sedikit tentang Kaisar Qin, terutama dari cerita-cerita yang didengar orang-orang di desanya. Kaisar yang terkenal dengan kekuasaan absolutnya dan ambisi untuk menyatukan seluruh Tiongkok. Namun, ia juga mendengar tentang kebijakan-kebijakan keras yang diterapkan oleh Qin Shi Huang—seperti pembakaran buku-buku yang dianggap membahayakan kekuasaannya dan penggunaan tenaga kerja paksa untuk membangun Tembok Besar.

“Kenapa kau memilih untuk melayani Kaisar?” Liang Wei bertanya, ingin mengetahui lebih banyak tentang pria yang kini menjadi mentor sekaligus pembimbingnya. “Apa yang membuatmu percaya pada kekuasaan seperti itu?”

Zhao Yun terdiam sejenak, sebelum akhirnya menjawab dengan suara yang lebih lembut. “Aku tidak memilih untuk melayani Kaisar hanya karena kekuasaannya. Aku memilih untuk bertindak karena aku percaya bahwa perubahan besar sedang terjadi di Tiongkok. Jika kita tidak ikut terlibat, kita hanya akan menjadi saksi dari perubahan itu, dan mungkin menjadi bagian dari kehancurannya.”

Liang Wei tidak bisa menanggapi langsung. Kata-kata Zhao Yun menggugah pikirannya lebih dalam. Apa artinya bagi seseorang seperti dirinya untuk ikut serta dalam perubahan besar yang sedang terjadi? Apakah hidupnya yang sederhana akan benar-benar membawa dampak pada nasib Tiongkok? Pertanyaan-pertanyaan ini terus menghantuinya sepanjang perjalanan.

Perjalanan mereka berlanjut, dan akhirnya setelah berhari-hari menempuh jarak yang jauh, Liang Wei dan Zhao Yun tiba di ibu kota, Xianyang. Kota itu jauh lebih besar dan lebih megah daripada yang pernah dibayangkan Liang Wei. Gedung-gedung tinggi dengan atap yang melengkung dan gerbang-gerbang besar menyambut kedatangan mereka. Jalan-jalan kota dipenuhi dengan pasukan yang terlatih, pedagang yang menawarkan barang-barang langka, dan rakyat biasa yang tampaknya terhanyut dalam ritme kehidupan yang sibuk.

Liang Wei merasa cemas dan kagum sekaligus. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini, tetapi ia tahu satu hal—hidupnya tidak akan pernah sama lagi. Saat mereka berjalan melewati gerbang utama kota, Liang Wei merasakan ketegangan yang berbeda. Tionghoa yang pernah ia kenal—desanya yang damai dan kehidupan yang penuh dengan kesederhanaan—kini seolah telah lenyap, tergantikan oleh dunia baru yang penuh dengan kekuatan, politik, dan konspirasi.

Zhao Yun membawa Liang Wei menuju Markas Besar Pasukan Qin, sebuah kompleks besar yang dipenuhi dengan pasukan yang terlatih dan berlatih keras. Saat mereka memasuki halaman besar, Liang Wei bisa merasakan atmosfer yang sangat berbeda dari apa yang pernah ia alami. Di sini, segalanya tampak teratur dan disiplin, dengan pasukan yang mengenakan pelindung tubuh dan helm yang bersinar. Tiba-tiba, rasa takut dan keraguan kembali muncul dalam hati Liang Wei.

“Ini adalah tempat di mana kau akan diuji,” kata Zhao Yun, seolah membaca pikiran Liang Wei. “Kau akan menghadapi ujian yang jauh lebih besar dari sekadar mengolah tanah. Di sini, kita berbicara tentang keberanian, kesetiaan, dan kehormatan.”

Mereka bertemu dengan seorang Jenderal Zhao Lin, seorang pria berwibawa yang sudah banyak berperang dan dikenal karena ketegasan serta keberaniannya. Zhao Lin mengamati Liang Wei dengan tatapan tajam, seakan-akan menilai kemampuan dan karakter pemuda itu dalam sekejap.

“Kau datang dari desa, bukan?” tanya Zhao Lin, suara beratnya menggema di ruang besar itu.

Liang Wei mengangguk. “Iya, Jenderal. Saya seorang petani dari sebuah desa kecil di Shaanxi.”

“Petani, ya?” Zhao Lin mengernyitkan dahi, seperti sedang memikirkan sesuatu. “Tapi kau memiliki semangat yang berbeda dari kebanyakan orang desa. Kau siap untuk bertempur dalam pertempuran yang jauh lebih besar dari ladangmu?”

Liang Wei merasa gugup, namun ia berusaha untuk menunjukkan keberanian yang ia yakini ada dalam dirinya. “Saya siap, Jenderal. Saya tahu ini akan menjadi tantangan besar, tetapi saya ingin belajar dan berkontribusi untuk Dinasti Qin.”

Zhao Lin mengangguk, memberikan isyarat agar Liang Wei mengikuti arahan yang lebih lanjut. “Kami tidak hanya membutuhkan prajurit, tetapi orang-orang yang bisa berpikir dan bertindak di luar medan perang. Di sini, kau akan dilatih dalam strategi dan taktik perang. Hanya yang terbaik yang akan bertahan.”

Hari-hari berikutnya di markas pasukan merupakan hari-hari penuh latihan yang keras. Liang Wei, yang sebelumnya hanya mengandalkan otot untuk bekerja di ladang, kini harus belajar untuk menguasai senjata, bertarung dalam formasi, dan memahami dasar-dasar taktik perang. Setiap kali ia merasa lelah dan ingin menyerah, ingatannya akan keluarganya di desa memberikan semangat untuk melanjutkan.

Di tengah pelatihan yang intens, Liang Wei bertemu dengan beberapa orang lain yang juga dipilih oleh Kaisar Qin untuk bergabung dengan pasukan elit ini. Ada Wu Jian, seorang pemuda berusia 22 tahun yang memiliki latar belakang sebagai pedagang kaya yang terpaksa beralih menjadi prajurit setelah keluarganya jatuh miskin. Ada juga Yang Feng, seorang mantan pejuang dari kerajaan yang telah ditaklukkan oleh Qin yang memiliki keterampilan bertarung luar biasa namun memiliki masa lalu yang kelam.

Meski memiliki latar belakang yang berbeda, mereka semua memiliki satu tujuan yang sama—untuk melayani Dinasti Qin. Namun, semakin lama Liang Wei berada di markas, semakin ia menyadari bahwa ada lebih banyak hal yang tersembunyi di balik tugas mereka. Ada bisikan-bisikan yang berbicara tentang ambisi besar Kaisar Qin, tentang keinginan untuk mengubah seluruh wajah Tiongkok, dan tentang pengorbanan yang harus dilakukan untuk mencapai itu.

Namun, bagi Liang Wei, satu hal yang pasti: keputusan yang ia ambil untuk meninggalkan desanya tidak akan mudah, tetapi ini adalah langkah pertama menuju takdir yang lebih besar dari yang pernah ia bayangkan.*

 

Bab 3: Gelombang Perubahan

Liang Wei sudah beberapa bulan berada di markas besar pasukan Qin, menjalani latihan yang keras dan disiplin. Awalnya, ia merasa sangat terasing. Kehidupan yang dulu ia kenal, yang sederhana dan penuh ketenangan, kini terasa jauh sekali. Namun, seiring berjalannya waktu, ia mulai menyesuaikan diri dengan rutinitas yang penuh tantangan ini. Setiap hari, ia bangun pagi-pagi sekali, mengikuti pelatihan fisik dan militer, belajar menggunakan senjata, serta mempelajari strategi perang dari para jenderal yang berpengalaman.

Di tengah semua latihan yang berat itu, Liang Wei mulai merasakan perubahan yang terjadi dalam dirinya. Ia merasa lebih kuat, lebih percaya diri, dan sedikit demi sedikit, ia mulai mengenali keberaniannya yang tak pernah ia ketahui sebelumnya. Keputusan yang pernah ia anggap sebagai jalan yang penuh ketidakpastian kini mulai memberi arah baru dalam hidupnya. Meski terkadang merasa rindu akan kedamaian desanya, Liang Wei mulai sadar bahwa perjalanan ini adalah kesempatan untuk mewujudkan sesuatu yang lebih besar dari dirinya.

Pagi itu, seperti biasa, Liang Wei berlatih dengan penuh konsentrasi. Ia bersama beberapa rekan latihannya, termasuk Wu Jian dan Yang Feng, sedang menjalani ujian ketangkasan menggunakan pedang. Ujian ini bertujuan untuk menguji kecepatan dan keterampilan bertarung mereka dalam menghadapi lawan. Liang Wei, meski bukan seorang petarung alami, merasa semakin terbiasa dengan pedang di tangannya. Setiap gerakan yang dulu terasa canggung kini mulai mengalir dengan lebih lancar, meskipun masih jauh dari sempurna.

“Liang Wei, jangan hanya mengandalkan kekuatanmu!” teriak Yang Feng dari ujung lapangan. “Gunakan pikiranmu! Berpikir seperti seorang pejuang, bukan seperti petani!”

Kata-kata Yang Feng menambah semangat Liang Wei. Ia menatap lawannya dengan lebih tajam, berusaha mengontrol emosi dan ketegangan yang masih tersisa. Dengan gesit, ia mengayunkan pedangnya, mencoba menangkis serangan lawan, dan dalam sekejap, pedang itu berhasil mengenai lawannya dengan tepat. Meski kemenangan kecil ini hanya untuk latihan, Liang Wei merasa bangga dengan kemajuannya.

Setelah latihan, mereka semua berkumpul di lapangan terbuka untuk mendengarkan pengarahan dari Jenderal Zhao Lin. Hari itu, Zhao Lin tampak lebih serius dari biasanya. Wajahnya yang tegas menandakan bahwa ada sesuatu yang penting yang harus disampaikan kepada para prajurit muda ini.

“Kalian semua telah menunjukkan kemajuan yang baik dalam pelatihan, tetapi ujian sesungguhnya belum datang,” kata Zhao Lin dengan suara yang dalam dan penuh wibawa. “Perang tidak hanya soal kemampuan bertarung, tetapi juga soal taktik dan keteguhan hati. Kita hidup di zaman yang penuh perubahan, dan kita harus siap menghadapi tantangan yang lebih besar.”

Liang Wei merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Kata-kata Jenderal Zhao Lin memicu rasa penasaran dalam dirinya. Apa yang dimaksud dengan tantangan yang lebih besar? Apakah ada pertempuran besar yang akan datang? Ia memikirkan tentang Kaisar Qin yang sedang memperluas kekuasaannya, namun tidak ada yang pernah memberi penjelasan lebih jauh tentang apa yang akan terjadi selanjutnya.

“Beberapa hari ke depan, kita akan bergerak menuju perbatasan utara,” lanjut Zhao Lin. “Ada laporan tentang pemberontakan yang terjadi di wilayah tersebut. Sebagai prajurit, kalian harus siap menghadapi apa pun yang datang. Pemberontak ini berbahaya dan bisa menjadi ancaman besar bagi kekuasaan Qin.”

Rasa tegang mulai menyelimuti lapangan. Liang Wei bisa merasakan perubahan dalam udara. Sebagai petani, ia tak pernah membayangkan dirinya akan terlibat dalam pertempuran. Ia tak tahu bagaimana rasanya bertarung dalam medan perang yang sesungguhnya. Meskipun pelatihan telah mempersiapkannya dengan dasar-dasar, kenyataannya bisa jauh lebih keras.

Beberapa hari setelah pengarahan tersebut, Liang Wei dan rekan-rekannya mulai berangkat menuju perbatasan utara. Mereka diberangkatkan dengan pasukan besar yang dipimpin langsung oleh Jenderal Zhao Lin. Perjalanan mereka melewati pedesaan, pegunungan, dan hutan lebat. Semakin jauh mereka berjalan, semakin Liang Wei merasakan ketegangan yang semakin meningkat. Kehidupan yang selama ini ia jalani terasa semakin jauh, digantikan oleh situasi yang penuh bahaya.

Hari demi hari, mereka semakin dekat dengan perbatasan, dan rasa khawatir Liang Wei semakin tumbuh. Ia tak tahu apa yang akan dihadapi, tetapi satu hal yang pasti—ini adalah kenyataan yang harus dihadapinya. Keputusan yang pernah ia buat kini telah membawa konsekuensi yang tak bisa dihindari.

Setibanya mereka di perbatasan, suasana semakin tegang. Liang Wei melihat pasukan yang sedang bersiap-siap dengan perlengkapan penuh. Setiap orang tampak serius dan waspada, seolah tahu bahwa pertempuran bisa pecah kapan saja. Jenderal Zhao Lin berkumpul dengan beberapa komandan pasukan lainnya, membahas strategi dan taktik yang akan mereka gunakan untuk menghadapi pemberontak. Liang Wei dan rekan-rekannya diberi penugasan untuk menjaga garis belakang, mengamankan jalur pasokan, dan membantu pasukan utama jika dibutuhkan.

Sementara itu, di sekitar mereka, Liang Wei bisa merasakan atmosfer yang sangat berbeda. Ini bukan lagi medan latihan, ini adalah medan perang yang sesungguhnya. Setiap suara langkah kaki di tanah, setiap tiupan angin, terasa lebih berat, seolah menyampaikan pesan bahwa bahaya bisa datang kapan saja.

Pada malam hari, Liang Wei terbaring di tenda, berusaha tidur meskipun pikirannya terjaga. Suara ribut dari pasukan yang sedang bersiap-siap dan api unggun yang menyala terang menjadi latar belakang yang mengganggu tidurnya. Namun, ia tak bisa tidur. Pikiran tentang apa yang akan terjadi besok dan bagaimana pertempuran itu akan berlangsung membuatnya gelisah. Apakah ia siap untuk menghadapi kenyataan? Apakah ia akan bertahan hidup?

Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki di luar tenda. Liang Wei membuka matanya dan melihat Zhao Yun memasuki tenda. Wajah Zhao Yun tampak serius, dan tatapannya mengisyaratkan sesuatu yang penting.

“Liang Wei,” kata Zhao Yun dengan suara rendah, “besok adalah hari yang menentukan. Kita akan menghadapi pemberontak yang lebih terlatih daripada yang kita duga. Mungkin ini adalah ujian terakhir bagi kita semua.”

Liang Wei mengangguk, meskipun hatinya terasa berat. “Saya akan siap, Zhao Yun. Saya tidak akan mundur.”

Zhao Yun memandangnya dengan penuh pengertian. “Aku tahu kau lebih dari sekadar petani, Liang Wei. Tapi ingat, di medan perang, bukan hanya tubuh yang harus siap. Pikiranmu dan hatimu juga harus siap untuk menghadapi segalanya.”

Kata-kata itu bergema di benak Liang Wei sepanjang malam. Pagi harinya, pasukan bergerak maju. Liant Wei merasa seolah-olah setiap langkahnya adalah langkah menuju ketidakpastian. Begitu mereka mencapai garis depan, suara gemuruh pertempuran sudah terdengar di kejauhan.

Pasukan pemberontak ternyata lebih kuat dari yang diperkirakan. Mereka terdiri dari tentara yang terlatih, beberapa di antaranya bekas pejuang dari kerajaan-kerajaan yang telah jatuh. Ketegangan memuncak ketika kedua pasukan bertemu di medan perang yang luas. Liang Wei, dengan pedang di tangan, merasakan detak jantung yang cepat dan napas yang terengah-engah. Hari ini, ia akan belajar apa artinya bertarung untuk bertahan hidup, dan untuk sebuah masa depan yang tak jelas.*

 

Bab 4: Pertempuran di Tanah Perbatasan

Pagi itu, udara terasa berat dan tegang. Liang Wei berdiri di tengah barisan pasukan Qin, matanya tertuju ke depan, menatap medan yang kini dipenuhi oleh pasukan pemberontak. Suara langkah kaki yang berderap, suara senjata yang digerakkan, dan suara hembusan angin yang seolah membawa ancaman mengisi udara. Perasaan cemas dan ketakutan merayapi setiap sudut tubuhnya. Ini adalah pertempuran sesungguhnya. Ini bukan lagi latihan atau persiapan. Liang Wei tahu bahwa pada hari ini, nyawanya mungkin akan dipertaruhkan.

 

Ketegangan semakin terasa ketika kedua pasukan mulai berhadap-hadapan. Pasukan pemberontak, yang diperkirakan jauh lebih terlatih dan berpengalaman daripada yang dipikirkan sebelumnya, telah menyusun formasi mereka dengan rapi. Mereka menggunakan senjata berat, panah, dan busur, serta pedang yang tampak tajam dan siap digunakan. Mereka mengenakan baju zirah yang lebih ringan, namun lebih gesit, memungkinkan mereka untuk bergerak lebih cepat di medan perang.

 

Sementara itu, pasukan Qin, meskipun jumlahnya lebih besar, tampak sedikit kaku di hadapan formasi pemberontak yang sudah terorganisir dengan baik. Liang Wei merasakan kegelisahan di dalam dirinya. Meskipun telah melewati banyak pelatihan, ia merasa jauh dari siap menghadapi kenyataan yang ada di depan matanya. Namun, ia tidak punya pilihan. Perang telah dimulai, dan ia harus terjun ke dalamnya, tak peduli apakah ia merasa siap atau tidak.

 

Di sisi lain, Jenderal Zhao Lin memimpin pasukan utama dengan penuh wibawa, mengarahkan mereka ke garis depan. Di belakangnya, Liang Wei dan prajurit muda lainnya berdiri di posisi cadangan, siap untuk memberikan dukungan jika diperlukan. Liang Wei memeriksa kembali pedangnya, memastikan bahwa senjatanya terjaga dengan baik. Tangannya yang dingin menggenggam erat gagang pedang. Meskipun ia telah berlatih bertarung, dalam pertempuran yang sesungguhnya, segala sesuatu terasa jauh lebih berat dan nyata.

 

Tiba-tiba, suara teriakan memecah keheningan pagi. Pasukan pemberontak mulai maju dengan kecepatan yang mengejutkan. Panah-panah yang terbang di udara datang menghujani pasukan Qin. Liang Wei bisa mendengar teriakan kesakitan dari beberapa prajurit yang jatuh akibat panah yang tepat mengenai tubuh mereka. Bau darah mulai tercium dari medan perang yang luas.

 

“Jaga posisi! Jangan mundur!” teriak Zhao Lin dengan suara tegas. Ia berlari maju, memimpin pasukannya untuk bertempur. Liang Wei dan rekan-rekannya mengikuti instruksi dengan segera. Mereka bergerak maju dengan cepat, meskipun tubuh mereka terasa lemas dan gemetar. Dalam hati Liang Wei, ada satu pertanyaan yang terus berulang: Akankah ia selamat dalam pertempuran ini?

 

Pertempuran itu seperti badai yang datang begitu cepat dan dahsyat. Liang Wei merasa seolah-olah ia hanyalah sebutir pasir di tengah gelombang besar yang datang menghantam. Ia mulai bertarung dengan insting, memanfaatkan pelatihan yang ia dapatkan selama ini. Namun, ia juga tahu bahwa kecepatan dan ketepatan sangat penting di medan perang. Setiap serangan yang salah bisa berakibat fatal.

 

Di tengah kegilaan itu, Liang Wei melihat Wu Jian berlari ke arahnya. Wu Jian tampak lebih tenang dan lebih terampil dalam bertarung daripada Liang Wei, meskipun latar belakang mereka sangat berbeda. Ia menebas pedangnya ke arah seorang pemberontak yang mencoba menyerangnya, lalu berteriak kepada Liang Wei, “Ayo, tetap fokus! Jangan biarkan rasa takut menguasaimu!”

 

Liang Wei hanya bisa mengangguk dan berusaha mengingat semua yang telah diajarkan kepada dirinya selama pelatihan. Tubuhnya bergerak secara otomatis, meskipun hatinya berdebar kencang. Ia melawan seorang pemberontak yang lebih besar dan lebih berpengalaman darinya. Pedang mereka saling bertautan, menciptakan suara berdesing yang keras. Liang Wei merasa otot-ototnya menegang, berusaha untuk tidak terjatuh dalam pertempuran ini. Ia tahu bahwa jika ia lengah, ia bisa mati dalam sekejap.

 

Ketika pasukan Qin mulai melawan balik, Liang Wei merasa sedikit lega. Pasukan pemberontak ternyata tidak sekuat yang dibayangkan. Meskipun lebih terlatih, mereka memiliki kekurangan dalam strategi dan kekompakan. Jenderal Zhao Lin tampaknya tahu persis bagaimana mengendalikan pertempuran ini, memimpin pasukannya dengan tegas. Taktik yang ia gunakan berhasil memperlambat serangan pemberontak dan membuat mereka mundur sedikit demi sedikit.

 

Namun, ketegangan tetap terasa. Liang Wei masih merasa seperti berada di ujung jurang. Setiap langkah yang ia ambil di medan perang seperti berjalan di atas garis tipis antara hidup dan mati. Ia bisa mendengar suara pertempuran yang tak pernah berhenti—terikan para prajurit, derap langkah kaki, denting pedang yang bertemu, serta suara tubuh yang terjatuh ke tanah.

 

Di tengah kekacauan itu, Liang Wei melihat Yang Feng sedang melawan seorang pemberontak dengan penuh keberanian. Yang Feng tampak sangat terampil dengan pedangnya, gerakan-gerakannya cepat dan mematikan. Namun, tiba-tiba, salah satu pemberontak yang lebih besar dan lebih kuat menyerangnya dari belakang. Liang Wei tidak bisa hanya berdiri melihat teman seangkatannya dalam bahaya. Tanpa berpikir panjang, ia berlari mendekat dan menebas pedang pemberontak itu dengan keras, memaksa mereka untuk mundur.

 

“Feng! Hati-hati!” teriak Liang Wei, meskipun napasnya terengah-engah.

 

Yang Feng menatap Liang Wei dengan tatapan terkejut, sebelum akhirnya mengangguk dan melanjutkan pertempurannya. Liang Wei merasa lega, meskipun ia tahu bahwa bahaya masih mengancam. Medan perang adalah tempat yang penuh dengan ketidakpastian. Teman bisa jadi musuh dalam sekejap, dan musuh bisa jadi teman dalam keadaan yang sangat tipis.

 

Seiring berjalannya waktu, pasukan Qin mulai mengambil alih pertempuran. Strategi Zhao Lin mulai menunjukkan hasil. Pemberontak yang semula tampak lebih dominan kini mulai mundur. Liang Wei merasakan bahwa mereka akhirnya mendapatkan kendali atas medan perang. Namun, meskipun pertempuran mulai berbalik, tidak ada yang merasa benar-benar aman.

 

Di tengah kemenangan yang semakin terasa, tiba-tiba sebuah teriakan keras terdengar dari sisi kanan. Liang Wei berbalik dan melihat sekelompok pemberontak yang tampaknya berusaha menyerang pasukan utama Qin dari arah yang tidak terduga. Pasukan cadangan, termasuk Liang Wei, segera bergerak untuk menghalau serangan itu.

 

Liang Wei berlari, terengah-engah, menuju titik serangan yang baru. Di tengah perjalanan, ia melihat Zhao Yun yang berada di ujung garis depan, bertempur melawan beberapa pemberontak yang lebih tangguh. Zhao Yun, meskipun tampak lebih muda, bergerak dengan penuh ketenangan dan kontrol, melibas lawan-lawannya dengan mudah.

 

Saat Liang Wei tiba di lokasi, ia melihat pasukan pemberontak yang kini semakin terdesak. Namun, ada satu prajurit pemberontak yang terlihat lebih agresif, dan tampaknya ia merupakan pemimpin dari kelompok tersebut. Pemimpin pemberontak itu mengangkat pedangnya, menantang Zhao Yun dalam duel.

 

“Sekarang waktunya,” kata Zhao Yun, berbalik sejenak kepada Liang Wei dan beberapa prajurit lainnya. “Jaga posisi dan jangan biarkan mereka maju.”

 

Liang Wei mengangguk, merasakan tanggung jawab yang besar di pundaknya. Ia harus memastikan bahwa pasukan Qin tetap aman, bahkan jika itu berarti ia harus mengorbankan nyawanya.

 

Perlahan, pertempuran mulai berakhir. Pemberontak mulai mundur, dan pasukan Qin akhirnya berhasil menguasai medan perang. Meskipun pasukan pemberontak telah mengalami kekalahan, pertempuran ini meninggalkan bekas yang mendalam di hati Liang Wei. Ia tahu bahwa ini bukanlah kemenangan yang sempurna, melainkan awal dari perjalanan yang jauh lebih panjang dan penuh tantangan.

 

Setelah pertempuran, Liang Wei berdiri di tengah medan perang yang kini dipenuhi dengan tubuh-tubuh yang tergeletak. Beberapa prajurit Qin tampak lega, tetapi wajah mereka masih menunjukkan ketegangan. Liang Wei menghela napas panjang, menyadari bahwa perang ini baru saja dimulai.*

 

Bab 5: Bayangan Masa Depan

Setelah pertempuran besar itu, Liang Wei merasa kelelahan yang luar biasa, namun di balik rasa lelah itu ada secercah perasaan yang berbeda—rasa kemenangan. Meskipun harga yang harus dibayar sangat tinggi, pasukan Qin berhasil mengalahkan pemberontak yang mencoba menggulingkan kekuasaan mereka di perbatasan utara. Namun, kemenangan ini tidak sepenuhnya membawa kebahagiaan. Di tengah kekacauan yang baru saja berlalu, Liang Wei mulai menyadari bahwa perang adalah luka yang tak mudah sembuh, bahkan setelah pertempuran usai.

Dua hari setelah pertempuran, pasukan Qin kembali ke markas besar mereka, membawa serta hasil-hasil kemenangan yang menggembirakan, namun juga membawa deretan prajurit yang terluka parah. Liang Wei berjalan menyusuri barak, matanya tertuju pada tubuh-tubuh yang tergeletak di atas ranjang medis, beberapa di antaranya sudah tidak bernyawa. Di sekelilingnya, para prajurit yang lebih muda seperti dirinya mulai melakukan pemulihan, namun wajah mereka menggambarkan perasaan yang jauh lebih dalam dari sekadar kelelahan fisik. Rasa takut, keraguan, dan kesedihan menjadi bayangan di mata mereka. Mereka telah melihat sisi gelap dari perang, dan meskipun kemenangan itu manis, itu juga membawa rasa kehilangan.

Liang Wei berhenti di depan sebuah tenda medis, di mana ia melihat Yang Feng terbaring dengan perban yang membalut bagian lengannya. Luka yang diderita Yang Feng bukanlah luka yang mematikan, namun cukup parah untuk membuatnya terbaring di tempat tidur selama beberapa waktu.

“Feng, bagaimana rasanya?” tanya Liang Wei, berdiri di sampingnya dengan cemas.

Yang Feng membuka matanya perlahan dan tersenyum tipis. “Aku akan baik-baik saja, Wei. Luka ini hanya sedikit, tidak sebanding dengan yang dialami beberapa teman kita.” Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan, “Kemenangan ini bukan tanpa harga. Kita kehilangan banyak teman, dan itu akan membekas di hati kita.”

Liang Wei mengangguk pelan, merasa tertekan oleh kenyataan yang baru saja disampaikan oleh sahabatnya. Sebagai seorang petani, ia tidak pernah memikirkan betapa mahalnya harga yang harus dibayar untuk sebuah kemenangan. Namun, kini ia tahu bahwa pertempuran ini meninggalkan luka di hati setiap orang yang mengalaminya, bahkan jika mereka masih hidup untuk melihat matahari terbit lagi keesokan harinya.

Hari demi hari berlalu, dan pasukan Qin terus berbenah pasca-pertempuran. Para prajurit yang terluka dirawat, sementara yang tewas dimakamkan dengan penuh penghormatan. Liang Wei kembali menjalani rutinitasnya dengan tekad baru. Ia tahu bahwa meskipun perang telah berakhir untuk sementara waktu, perjalanan mereka masih jauh dari selesai. Pasukan Qin masih harus menghadapi tantangan besar lainnya untuk memastikan stabilitas kerajaan mereka.

Pada suatu sore yang cerah, Liang Wei sedang berada di lapangan latihan, berlatih dengan pedangnya. Angin yang bertiup lembut seakan mengingatkannya pada kehidupan yang lebih sederhana, jauh dari kebisingan perang. Namun, di dalam hatinya, ia tahu bahwa ia tidak bisa kembali ke kehidupan itu. Ia telah berubah, dan perang telah mengubahnya. Ketika ia mengangkat pedangnya untuk berlatih, ia merasakan kekuatan dan keteguhan yang baru. Kekuatan yang datang bukan hanya dari fisiknya, tetapi juga dari mentalitas yang terbentuk dalam setiap keputusan dan pertempuran yang telah ia alami.

Di saat yang sama, Jenderal Zhao Lin datang mendekat dengan wajah serius. “Liang Wei, aku ingin berbicara denganmu,” kata sang jenderal.

Liang Wei meletakkan pedangnya dan menghampiri Zhao Lin. “Ada apa, Jenderal?”

Zhao Lin menatapnya dengan tajam, seolah menilai kemampuan Liang Wei dalam satu pandangan. “Kemenangan kita di perbatasan hanya permulaan. Kami membutuhkan lebih banyak prajurit yang dapat diandalkan untuk menghadapai ancaman lain yang akan datang. Aku melihat potensi dalam dirimu, Liang Wei. Kau bukan lagi petani, tetapi seorang prajurit yang tangguh.”

Liang Wei terdiam mendengar pujian tersebut, tetapi di dalam hatinya, ia merasa bingung. “Aku hanya seorang yang mencoba bertahan hidup, Jenderal. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di dunia ini.”

Zhao Lin tersenyum tipis. “Setiap prajurit yang bertahan dalam medan perang memiliki cerita mereka sendiri. Dan cerita-cerita itulah yang membentuk kekuatan kerajaan ini. Jika kau benar-benar ingin terus maju, kau harus siap menerima kenyataan bahwa tidak ada jalan kembali. Perang ini akan mengubah banyak hal—termasuk dirimu.”

Liang Wei menatap ke tanah, merasakan beban kata-kata itu. Ia tidak tahu bagaimana harus menjawab, tetapi ada sesuatu yang tumbuh di dalam dirinya—sebuah keyakinan yang perlahan menguat. Ia sudah membuat pilihan untuk terlibat dalam perjalanan ini, dan ia tidak bisa mundur sekarang.

“Aku akan siap, Jenderal,” jawab Liang Wei, suaranya lebih tegas dari sebelumnya.

Beberapa minggu kemudian, pasukan Qin bergerak ke arah wilayah barat, di mana ancaman baru mulai muncul. Mereka menghadapi kelompok pemberontak yang lebih terorganisir dan berbahaya. Namun, dalam perjalanan menuju wilayah tersebut, Liang Wei semakin merasa bahwa perang ini bukan hanya soal peperangan fisik, tetapi juga tentang bertahan dalam situasi yang tak terduga. Dalam setiap pertempuran, ia belajar lebih banyak tentang dirinya, teman-temannya, dan dunia yang selama ini tak pernah ia kenal.

Di medan perang berikutnya, yang jauh lebih brutal daripada yang pernah mereka hadapi sebelumnya, Liang Wei bertemu dengan seorang pemberontak bernama Zhao Xian, seorang pemimpin yang memiliki keahlian luar biasa dalam strategi. Zhao Xian bukan hanya bertarung dengan pedang, tetapi juga dengan kecerdikannya. Selama beberapa hari, pasukan Qin dikejutkan oleh serangan mendadak yang dilakukan oleh pasukan Zhao Xian. Mereka tampaknya tahu setiap langkah yang akan diambil oleh pasukan Qin.

Liang Wei berada di garis depan, bersama dengan Zhao Lin dan prajurit lainnya. Perang kali ini bukan hanya tentang bertempur di medan terbuka, tetapi juga tentang beradaptasi dengan serangan musuh yang cerdik. Liang Wei mulai melihat perbedaan dalam cara bertarung musuh, dan ia tahu bahwa ia harus semakin pintar dan lebih berhati-hati.

Namun, dalam hati Liang Wei, perasaan yang paling kuat bukan hanya rasa takut akan musuh yang lebih cerdas dan lebih kuat. Yang lebih mengganggunya adalah bayangan masa depan yang semakin kabur. Apakah ia akan terus berjuang dalam perang ini sampai akhir? Apa yang akan terjadi setelah perang ini berakhir? Apakah ia akan kembali ke desa dan menjalani hidup yang sederhana lagi, atau apakah perang ini akan menutup semua kemungkinan itu?

Dengan pertempuran yang semakin intens, Liang Wei tahu satu hal: ia tidak bisa lagi melihat dunia dengan cara yang sama. Ia telah menjadi bagian dari sebuah dunia yang penuh dengan ketegangan, keputusan sulit, dan kehilangan yang tak terhindarkan. Namun, meskipun pertempuran masih berlanjut, ada satu hal yang ia yakin—apa pun yang terjadi, ia tidak akan pernah menyerah. Karena dalam setiap perang, ada pelajaran yang harus dipelajari, dan setiap pelajaran itu membentuk siapa kita sebenarnya.

Dengan tekad yang bulat, Liang Wei melangkah maju, siap menghadapi hari esok—terlepas dari apa yang akan terjadi.***

…………………..THE END…………………..

 

Source: Jasmine Malika
Tags: SejarahPerang #PrajuritQin #KehidupanPasukan #PerjuanganTanpaAkhir #PengorbananDalamPerang #KekuatanMental #JenderalZhaoLin #KisahPrajurit #PerangDanPersahabatan
Previous Post

BAYANG DALAM PERANG

Next Post

BAYANGAN TANAH AIR

Next Post
BAYANGAN TANAH AIR

BAYANGAN TANAH AIR

KISAH KLAN TAKEDA

KISAH KLAN TAKEDA

BAYANG PERADABAN YUNANI

BAYANG PERADABAN YUNANI

MOVIE REVIEW

No Content Available

RECENT MOVIE

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025

Tentang Kami

NovelStory.id adalah platform media online yang menghadirkan beragam cerita menarik seperti dalam novel dan drama, dirancang untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan yang berkualitas dan penuh imajinasi. Kami percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh hati, menginspirasi, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh keajaiban.

Recent News

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025

Follow Us

  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 https://novelstory.id

No Result
View All Result
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah

© 2025 https://novelstory.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In