Bab 1: Kedatangan yang Aneh
Anisa melangkah keluar dari terminal Bandara Suvarnabhumi, menghirup udara panas yang penuh dengan aroma tanah basah dan bunga melati. Setelah bertahun-tahun hidup di luar Thailand, ia kembali ke tanah kelahirannya dengan tujuan menulis artikel untuk majalah budaya terkenal. Chiang Mai, kota yang penuh dengan sejarah dan tradisi, akan menjadi latar belakang kisah yang ingin ia ungkap.
Namun, saat taksi membawa Anisa melewati jalan-jalan sempit yang dikelilingi oleh rumah-rumah tua dan deretan pohon besar, ia merasa sesuatu yang ganjil menggelayuti atmosfer. Tidak ada yang benar-benar berbeda, hanya… sensasi tidak nyaman yang datang begitu saja. Seperti ada yang menunggu di balik bayang-bayang kota yang sedang terbenam dalam senja.
Kondisi ini tidak cukup membuatnya khawatir, namun cukup untuk merasakan adanya perubahan yang tidak dapat dijelaskan. Taksi berhenti di depan sebuah hotel tua dengan nuansa klasik yang sepertinya sudah berumur puluhan tahun. Tertulis di atas pintu masuk: *”Hotel Suriya”*. Dengan sedikit keraguan, Anisa memutuskan untuk masuk. Bagaimanapun, waktu semakin larut, dan ia harus beristirahat sebelum melanjutkan peliputannya keesokan harinya.
Di dalam hotel, suasana terasa sepi. Lobi yang luas dipenuhi dengan perabotan antik—meja-meja kayu besar, lampu gantung berwarna kuning pudar, dan tirai panjang yang tampak sudah lama tidak diganti. Di belakang meja resepsionis, seorang wanita tua dengan rambut perak yang diikat rapi menatapnya dengan tatapan tajam yang tak biasa. “Selamat datang,” ucapnya dengan suara serak, namun cepat. “Kamar 305, lantai tiga.”
Anisa merasa sedikit canggung, tapi ia mengangguk dan menerima kunci kamar tanpa banyak bicara. Ia melangkah ke lift, yang terdengar berderit keras saat mulai bergerak menuju lantai tiga. Saat pintu lift terbuka, suasana di koridor terasa dingin meskipun suhu udara luar cukup panas. Lampu koridor berpendar, seakan kurang cahaya. Saat melangkah ke kamar, ia menoleh sejenak dan melihat pintu di ujung lorong terbuka sedikit, menampilkan bayangan samar seorang pria yang berdiri dalam diam.
“Pasti pengunjung lain,” pikir Anisa, namun perasaan aneh itu tetap mengganjal.
Kamar yang diberikan resepsionis tidak jauh berbeda dengan suasana lobi—sebuah ranjang besar dengan kelambu tua, meja tulis, dan sebuah jendela yang menghadap ke sebuah kebun kecil yang dikelilingi pohon-pohon bambu. Namun ada sesuatu yang menarik perhatian Anisa. Di atas meja terdapat sebuah surat kecil, terlipat dengan rapi. Surat itu tanpa nama pengirim, namun saat dibuka, ada satu kalimat yang tercetak dengan tinta tebal:
“Hati-hati dengan bayang-bayang.”
Anisa menatap surat itu, kebingungannya semakin dalam. Siapa yang meninggalkan surat ini? Apakah ada yang mengetahui bahwa ia baru saja tiba?
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar di luar kamar. Anisa langsung bergegas mendekati jendela, berharap bisa melihat sesuatu, namun yang terlihat hanya kebun yang gelap. Suara itu berhenti, dan suasana kembali hening. Sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, ada ketukan di pintu.
“Siapa?” tanyanya, meski ia sudah merasa ada yang aneh dengan seluruh situasi ini.
Tak ada jawaban.
Dengan rasa tidak nyaman yang semakin mencekam, Anisa memutuskan untuk tidur, berusaha menenangkan pikirannya. Namun, ketika ia memejamkan mata, bayangannya yang semakin gelap dan mengintimidasi tampaknya telah mengikuti hingga ke dalam mimpinya. Dalam tidur yang gelisah, ia merasa seperti ada yang memerhatikannya, seakan-akan ada mata yang menatap dari balik jendela.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya setelah lama, Anisa merasa takut di rumahnya sendiri.*
Bab 2: Rahasia Desa
Pagi yang mendung menyambut Anisa ketika ia keluar dari hotel. Setelah merenung semalaman, ia memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke desa kecil yang sering disebut-sebut dalam berbagai cerita rakyat lokal—desanya yang penuh misteri dan rahasia. Desa itu terletak tak jauh dari Chiang Mai, dan meskipun hampir tak terjamah oleh wisatawan, memiliki daya tarik yang sulit dijelaskan. Banyak orang yang mengatakan bahwa ada sesuatu yang aneh terjadi di sana, tapi tak ada yang berani berbicara lebih jauh.
Dengan menggunakan taksi, Anisa menuju desa itu, melintasi jalan yang semakin lama semakin sempit, dikelilingi hutan lebat dan pegunungan yang menjulang tinggi. Perjalanan yang mulanya terasa biasa, tiba-tiba berubah suram saat kabut tebal mulai turun dan menyelimuti jalanan. Di sepanjang perjalanan, Anisa tak melihat tanda-tanda kehidupan, hanya rumah-rumah tua yang tampak terlantar dan ladang-ladang kosong.
Setibanya di desa, suasana terasa sunyi. Hanya terdengar suara jangkrik dan sesekali desiran angin yang merayap di antara pepohonan bambu. Desa ini seolah terhenti di waktu yang berbeda—rumah-rumah kayu beratap daun kelapa yang terbuat dari bahan-bahan alami, dan jalan setapak yang sempit yang tak tampak seperti tempat yang ramah bagi pengunjung luar.
Anisa memutuskan untuk berhenti di sebuah warung kecil di pinggir jalan. Pemilik warung, seorang pria paruh baya dengan wajah keras dan tatapan kosong, menyambutnya dengan senyum yang sedikit dipaksakan.
“Apa yang bisa saya bantu, Nona?” tanyanya dengan bahasa Thailand yang kental.
“Saya ingin tahu lebih banyak tentang desa ini,” jawab Anisa, mencoba terdengar ramah meski hatinya masih dihantui rasa takut yang tak bisa dijelaskan.
Pria itu terdiam sejenak, menatap Anisa dengan mata yang seolah bisa menembus pikirannya. Kemudian, dengan suara pelan yang hampir seperti bisikan, ia berkata, “Tidak banyak yang ingin berbicara tentang desa ini. Banyak yang telah hilang… dan ada yang lebih baik tidak tahu.”
Anisa merasa terkejut dengan jawabannya, namun ia berusaha untuk tetap tenang. “Apa maksud Anda?” tanyanya, tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini.
Pria itu menatap sekeliling, memastikan tak ada orang lain yang mendengarnya. “Hutan di belakang desa… itu terlarang. Orang-orang di sini tidak pernah berbicara tentang itu. Tapi jika Anda bertanya lebih banyak, hati-hati. Ada yang akan melihat Anda. Mereka tidak suka jika orang luar tahu lebih dari yang seharusnya.”
Anisa merasa perasaan cemas mulai menjalar ke seluruh tubuhnya. Ia berterima kasih kepada pria itu dan melanjutkan perjalanan ke pusat desa. Namun, tak lama setelah ia berjalan, ia merasakan ada yang mengikutinya. Setiap kali ia menoleh, tak ada siapa-siapa di belakangnya, hanya bayang-bayang di bawah sinar matahari yang redup. Meskipun begitu, ia merasa bahwa dirinya sedang diawasi oleh sesuatu yang tak kasat mata.
Di pusat desa, Anisa mendatangi seorang wanita tua yang duduk di depan rumah kayu kecil. Wajah wanita itu penuh kerut, namun matanya tajam, seakan mengingat setiap detail kehidupan yang pernah ada di desa ini. Anisa memberanikan diri untuk bertanya lebih banyak.
“Apakah Anda tahu tentang hutan terlarang itu?” tanya Anisa dengan hati-hati.
Wanita itu terdiam sejenak, seperti sedang mempertimbangkan apakah akan memberi jawaban atau tidak. Akhirnya, dengan suara parau yang bergetar, ia berkata, “Hutan itu bukan sekadar hutan, Nona. Itu adalah tempat di mana banyak nyawa hilang tanpa bekas. Ada yang mengatakan itu bukan hanya hutan biasa. Ada roh-roh yang berdiam di sana. Roh-roh yang dulunya manusia, tapi kini menjadi sesuatu yang berbeda. Dan mereka tidak suka diganggu.”
Anisa merasa ketegangan semakin memuncak, namun rasa penasaran dalam dirinya tak bisa dibendung. “Apa yang terjadi pada mereka yang hilang?” tanyanya.
Wanita tua itu memandangnya dengan mata penuh kepedihan. “Mereka yang hilang adalah mereka yang mencari tahu lebih banyak. Jika Anda tidak ingin menjadi salah satu dari mereka, sebaiknya jangan pernah kembali ke hutan itu,” kata wanita itu sambil berbisik.
Sebelum Anisa sempat merespons, wanita itu berdiri dan pergi ke dalam rumah, meninggalkan Anisa dengan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Namun, satu hal yang pasti—sesuatu yang gelap dan misterius tersembunyi di desa ini, dan hutan itu tampaknya menjadi kunci dari semua itu.
Dengan hati yang berat dan penuh rasa penasaran, Anisa memutuskan untuk melanjutkan pencariannya. Dia tahu, untuk mengungkap kebenaran, ia harus menembus batasan yang dilarang. Namun, semakin dalam ia terjun ke dalam misteri ini, semakin jelas bahwa langkah-langkahnya menuju kegelapan yang tak terhindarkan.*
Bab 3: Cermin yang Pecah
Kegelapan mulai menyelimuti desa saat Anisa kembali ke hotel setelah berbicara dengan wanita tua di rumah kayu. Meskipun ia merasa semakin terperangkap dalam misteri yang tidak bisa dijelaskan, rasa penasaran terus mendorongnya maju. Ia tahu, untuk mengungkap kebenaran, ia harus menggali lebih dalam lagi.
Malam itu, setelah makan malam yang tenang di warung lokal, Anisa berjalan kembali ke hotel. Jalanan yang sunyi terasa semakin sepi, dan kabut mulai turun dengan cepat, membungkus desa dalam selimut dingin yang menambah kesan misterius. Setiba di kamar hotel, Anisa langsung membuka jendela untuk mencari sedikit udara segar, namun yang ia lihat hanya pekatnya kabut yang membuat segala sesuatu terlihat samar.
Namun, sebelum ia sempat duduk, sesuatu di atas meja menarik perhatian. Sebuah cermin kuno terletak di sana, yang sebelumnya tidak ada. Cermin itu kecil, dengan bingkai emas berukir yang tampak sudah tua, namun masih terjaga dengan baik. Anisa terkejut, karena cermin itu tampaknya tidak pernah ada sebelumnya. Ia tidak ingat menaruhnya di meja.
Dengan rasa ingin tahu yang besar, Anisa mengambil cermin itu, memeriksanya dengan cermat. Permukaan cermin itu bersih, tidak ada goresan atau noda, namun bayangan yang dipantulkan tidak sesuai dengan realitas di sekitarnya. Wajah Anisa terlihat kabur, seolah-olah ada kabut yang menyelimuti dirinya, meskipun ia tahu ia berada di dalam kamar yang terang. Selain itu, bayangan di cermin tampak sedikit lebih lambat dari gerakannya, seolah ada keterlambatan dalam refleksi yang tidak bisa dijelaskan.
Rasa cemas mulai merayapi dirinya, namun Anisa mengabaikan perasaan itu. Ia menatap cermin lebih dalam, berharap menemukan penjelasan logis. Tiba-tiba, seberkas cahaya aneh muncul di dalam cermin, membentuk pola-pola yang tidak dikenali—seperti tulisan yang samar, atau bahkan gambar yang bergerak. Mata Anisa terbuka lebar, berusaha untuk fokus pada pola tersebut.
Saat ia mendekatkan wajahnya ke cermin, sekejap saja, cermin itu pecah dengan suara keras, memecah bayangan Anisa menjadi serpihan-serpihan kecil yang berterbangan di udara. Jantungnya berdebar kencang, tubuhnya terasa kaku. Ia mundur dengan cepat, menjauh dari pecahan kaca yang kini tersebar di lantai.
Ketika ia melihat sekeliling, suasana di kamar tiba-tiba terasa semakin berat. Semua barang-barang di sekitarnya—kursi, meja, tirai—terlihat lebih gelap, seakan warna dunia mulai menghilang. Sebuah suara pelan terdengar, berasal dari arah pecahan kaca di lantai, seolah sesuatu sedang bergerak di antara serpihan-serpihan tersebut.
Anisa menundukkan kepala, dan di antara potongan kaca, ia melihat sesuatu yang aneh. Ada sehelai kertas kecil yang terlipat, seolah disembunyikan di antara pecahan kaca itu. Dengan tangan gemetar, ia mengambil kertas tersebut dan membuka lipatannya.
Di atas kertas itu tertulis sebuah pesan dengan tinta yang tampak baru saja ditulis:
“Jangan kembali ke desa. Mereka sedang menunggumu.”
Anisa terdiam. Kepalanya berputar, dan perasaan takut menyelimuti dirinya. Siapa yang menulis pesan ini? Bagaimana bisa ini ada di dalam kamar yang terkunci rapat? Ia memandangi kertas itu dalam diam, merasakan ketegangan yang semakin besar.
Namun, apa yang paling mengejutkan adalah suara-suara pelan yang mulai terdengar, seperti langkah kaki yang mendekat. Anisa menoleh ke pintu, berharap itu hanya halusinasi. Tetapi, tak ada yang bisa ia lihat. Semua suara yang datang terdengar semakin nyata, semakin dekat.
Akhirnya, dengan keberanian yang tersisa, Anisa melangkah keluar dari kamar dan menuju ke lorong hotel yang gelap. Pintu kamar lainnya tertutup rapat, dan suasana semakin sunyi. Namun, di ujung lorong, ia melihat sosok yang tampak seperti bayangan, berjalan dengan langkah lambat dan pasti. Tidak jelas apakah itu seorang pria atau wanita, karena sosok itu hanya terlihat samar, dikelilingi oleh kabut yang datang entah dari mana.
Anisa merasakan ketakutan yang semakin menggigit. Ia berusaha untuk tidak panik, mencoba untuk menjaga agar pikirannya tetap jernih. “Itu hanya pikiranmu,” katanya pada dirinya sendiri. Namun, meskipun ia berusaha membujuk dirinya, suara langkah kaki itu semakin mendekat, dan ketegangan yang menghimpit semakin tak tertahankan.
Sebelum sosok itu mencapai ujung lorong, Anisa berbalik dan berlari ke tangga, melangkah dengan cepat menuju keluar hotel. Setiap langkah yang ia ambil terdengar begitu berat, seperti ada sesuatu yang mengikutinya. Ia tahu, apa pun yang ada di desa ini—baik itu bayangan, roh, atau sesuatu yang lebih gelap—akan terus mengejarnya. Dan tak peduli berapa jauh ia berlari, ia merasa tak akan bisa melarikan diri dari bayangan itu.*
Bab 4: Bayang-Bayang di Hutan
Setelah kejadian di hotel yang membuatnya tak bisa tidur semalaman, Anisa merasa terjebak antara rasa takut yang mendalam dan rasa penasaran yang tak bisa dibendung. Pesan yang ditemukan di dalam cermin yang pecah, bersama dengan peringatan dari orang-orang di desa, membuatnya merasa semakin tertarik untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di hutan terlarang yang sering disebut-sebut.
Pagi itu, ia memutuskan untuk melangkah lebih jauh. Meskipun hatinya berat, ia tahu bahwa hanya dengan menembus misteri ini, ia akan bisa mengungkap kebenaran yang tersembunyi. Sebelum meninggalkan hotel, ia bertemu dengan pria tua di warung yang pernah ia temui, yang kembali memperingatkannya.
“Jangan pergi ke sana,” ujar pria itu dengan wajah khawatir. “Apa yang ada di hutan, bukan sesuatu yang bisa dijelaskan dengan kata-kata. Orang yang pergi ke sana, tak ada yang pernah kembali utuh. Mereka berubah, atau hilang…”
Anisa hanya mengangguk, menahan rasa takut yang berusaha muncul. Dengan hati-hati, ia mengucapkan terima kasih dan pergi. Ia merasa bahwa semakin ia mendekati kebenaran, semakin kuat pula kekuatan yang berusaha menghentikannya.
Perjalanan menuju hutan dimulai dengan jalan setapak yang semakin sempit, dikelilingi oleh pepohonan lebat yang tampak seolah-olah menutup jalan. Suasana di sekitar Anisa terasa semakin gelap, meskipun matahari masih tinggi di langit. Kabut tipis yang membungkus hutan membuat segalanya terlihat samar, memberikan kesan bahwa ia sedang memasuki dunia lain—sebuah dunia yang tak lagi berada dalam jangkauan logika manusia.
Di tengah hutan, segala suara dari desa seolah lenyap, digantikan dengan keheningan yang menakutkan. Langkah Anisa terdengar begitu jelas, bahkan seolah ada suara lain yang mengikuti. Suara itu datang dan pergi, tak bisa dipastikan apakah itu hanya imajinasinya ataukah sesuatu yang lebih nyata.
Tiba-tiba, di antara pepohonan yang tinggi, ia melihat sebuah sosok melintas dengan cepat, bayangannya hanya terlihat sekilas di antara dahan-dahan pohon. Jantung Anisa berdegup kencang. Ia menoleh, namun tak ada siapapun di sana. Hanya pohon-pohon besar dan udara dingin yang semakin menggigit.
Perasaan aneh semakin kuat. Ada sesuatu yang bergerak di luar jangkauan matanya. Seolah-olah hutan itu hidup, mengamati setiap gerakannya, menunggu waktu yang tepat untuk memanfaatkan kelemahannya. Semakin dalam ia melangkah, semakin jelas bahwa ia tak sendirian. Entah apa yang mengikutinya—bayangan, makhluk, atau sesuatu yang lebih buruk—ia merasa seolah terjebak dalam permainan yang tak bisa ia menangkan.
Saat ia melanjutkan langkahnya, ia tiba di sebuah area terbuka. Di sana, sebuah patung besar berdiri tegak, setengah tertutup oleh lumut dan tanaman liar. Patung itu menggambarkan seorang pria dengan ekspresi marah, matanya terbuka lebar, seakan memandang Anisa dengan penuh amarah. Di bawah patung, ada sebuah prasasti yang hampir tak terbaca, tertutupi oleh lumut.
Anisa mendekat, mencoba membaca tulisan itu dengan seksama. Meski tulisan itu sudah pudar, ia bisa sedikit menangkap kata-kata yang tertulis: “Di sini terkubur rahasia yang lebih besar dari yang dapat kamu pahami.”
Ia merasakan udara di sekitarnya semakin berat, seakan sesuatu yang jahat sedang mengintai. Dengan cepat, ia berbalik dan hendak melangkah pergi, namun tiba-tiba sebuah bayangan besar melintas di depannya. Sosok itu sangat besar, tingginya lebih dari dua meter, dengan tubuh yang tampak buram dan tak jelas. Anisa menahan napas, menatap bayangan itu dengan ketakutan yang mendalam.
Namun, sosok itu tidak menyerangnya. Sebaliknya, bayangan itu berdiri diam, hanya menatap Anisa dengan mata yang kosong dan tanpa ekspresi. Tiba-tiba, suara gemerisik terdengar dari arah lain, dan bayangan itu bergerak mundur, menghilang ke dalam kabut yang tebal.
Anisa berdiri tertegun, tidak tahu apakah itu hanya halusinasi atau sesuatu yang lebih nyata. Dalam hatinya, ia tahu bahwa hutan ini menyimpan sesuatu yang lebih gelap dan berbahaya daripada yang pernah ia bayangkan. Satu-satunya hal yang ia tahu adalah bahwa ia harus segera keluar dari hutan ini—sebelum sesuatu yang lebih buruk terjadi.
Namun, saat ia berbalik untuk meninggalkan tempat itu, ia merasa seolah langkahnya tidak lagi sesuai dengan keinginannya. Kakinya terasa berat, tubuhnya seakan dipaksa untuk melangkah lebih jauh ke dalam kegelapan hutan, seperti ada kekuatan yang menariknya.
Akhirnya, setelah apa yang terasa seperti berjam-jam, ia menemukan jalan keluar dari hutan. Saat tiba di tepian hutan, Anisa berhenti sejenak, menghirup udara segar, merasakan cahaya matahari yang kembali menyentuh kulitnya. Tetapi saat ia berbalik untuk melihat hutan itu untuk terakhir kalinya, sebuah perasaan aneh menghampirinya. Ia merasa bahwa sesuatu sedang menatapnya, sesuatu yang masih tersembunyi di balik pepohonan dan bayang-bayang.
Dengan tubuh yang gemetar, Anisa bergegas meninggalkan hutan, meninggalkan semua yang ada di dalamnya. Namun, ia tahu bahwa hutan itu tidak akan pernah membiarkannya pergi begitu saja.*
Bab 5: Pembunuhan di Tengah Malam
Malam itu, desa yang tampak sepi kembali terbungkus dalam kabut tebal. Anisa, yang baru saja kembali dari perjalanan ke hutan terlarang, merasa tubuhnya lelah dan pikirannya kacau. Walaupun ia mencoba untuk tidak membiarkan rasa takut menguasai dirinya, perasaan tidak nyaman itu terus membayangi langkahnya. Setiap suara kecil di sekitar hotel, setiap bayangan yang melintas, semakin memperburuk perasaan gelisahnya.
Ia berusaha tidur, berbaring di tempat tidurnya yang keras, tetapi tak ada yang bisa menenangkan pikirannya. Cermin yang pecah, pesan misterius yang tertulis di kertas, dan bayang-bayang yang ia lihat di hutan—semua itu berputar-putar dalam pikirannya. Apakah ia benar-benar sendirian di sini? Apa yang sebenarnya tersembunyi di balik cerita-cerita kelam tentang desa ini?
Tengah malam, sebuah suara pelan terdengar dari luar kamar, membuatnya terjaga. Suara itu awalnya halus, namun semakin lama semakin jelas. Suara langkah kaki yang berat, seakan ada seseorang berjalan perlahan di lorong luar. Pikirannya kembali ke bayangan yang sempat ia lihat di hutan—apa itu juga sesuatu yang serupa? Tidak ada suara lain, hanya langkah kaki yang semakin dekat.
Hati Anisa berdebar kencang. Ia merasa terperangkap, tidak tahu harus berbuat apa. Ia mencoba untuk menenangkan dirinya, namun saat itu, tiba-tiba pintu kamar hotelnya diketuk dengan keras. Anisa hampir melompat dari tempat tidur, rasa takut yang mendalam menghantui setiap detik yang berlalu.
Pintu itu diketuk lagi, kali ini lebih keras, dan kemudian terdengar suara seseorang yang berbisik dari balik pintu. “Tolong… tolong buka pintunya!”
Anisa merasa ragu. Siapa itu? Mengapa suara itu terdengar begitu terburu-buru dan penuh ketakutan? Tanpa berpikir panjang, ia bangkit dan berjalan menuju pintu, namun sebelum ia sempat membukanya, suara itu berhenti tiba-tiba, digantikan dengan ketegangan yang menakutkan.
Lalu, seiring dengan heningnya suara tersebut, tiba-tiba terdengar suara teriakan keras dari ujung lorong. Teriakan yang begitu mencekam, seakan mengiris udara malam. Itu adalah teriakan seorang wanita, penuh dengan rasa sakit dan ketakutan. Anisa menatap pintu, tubuhnya kaku, hanya bisa mendengarkan deru napasnya yang semakin cepat.
Teriakan itu berhenti, digantikan dengan suara langkah cepat yang berlarian. Anisa merasa seluruh tubuhnya bergetar, rasa takut yang mendalam memenuhi setiap inci tubuhnya. Ia tahu, ada sesuatu yang salah. Sesuatu yang lebih gelap dari yang bisa ia bayangkan.
Tanpa berpikir panjang, Anisa bergegas keluar dari kamar, berlari menuju sumber suara itu. Langkah kakinya bergema di sepanjang lorong yang sepi, dan saat ia sampai di ujung lorong, ia melihat sesuatu yang mengejutkan. Di depan pintu kamar yang tak jauh dari kamar hotelnya, sebuah tubuh tergeletak di lantai, darah mengalir deras membasahi karpet merah.
Itu adalah tubuh seorang wanita muda, rambutnya terurai, dan ekspresinya terkejut, seakan ia tidak sempat memahami apa yang terjadi sebelum ajal menjemputnya. Matanya terbuka lebar, menatap ke langit-langit dengan tatapan kosong yang menggambarkan ketakutan terakhir. Di samping tubuhnya, terdapat pisau besar, berlumuran darah, yang tampaknya digunakan untuk mengakhiri hidupnya.
Anisa terpaku di tempat, tak tahu apa yang harus dilakukan. Dalam sekejap, segala rasa takut yang ia coba tahan selama ini meledak. Apa yang sedang terjadi di desa ini? Apa yang sebenarnya tersembunyi di balik semua peringatan dan ancaman itu?
Ia mendekati tubuh itu dengan hati-hati, mencoba mencari petunjuk lebih lanjut, namun tiba-tiba suara langkah kaki terdengar lagi, kali ini datang dengan cepat dari arah belakang. Anisa menoleh, dan melihat seorang pria berdiri di ujung lorong. Pria itu mengenakan pakaian hitam, wajahnya tersembunyi di balik topeng yang tampak aneh dan menyeramkan. Wajahnya tidak tampak manusia—lebih seperti sesuatu yang lebih gelap, lebih mengancam.
Pria itu menatap Anisa dengan mata kosong, seolah tidak peduli dengan tubuh yang tergeletak di lantai. Tanpa berkata sepatah kata pun, ia melangkah maju, mendekati tubuh wanita yang telah terbunuh itu, dan dengan gerakan yang terampil, mengambil pisau yang masih tertancap di tubuh korban. Tanpa berbalik atau menunjukkan tanda-tanda ketakutan, pria itu melangkah mundur dan menghilang ke dalam kegelapan lorong, meninggalkan Anisa yang kini benar-benar takut.
Anisa berdiri tertegun, jantungnya berdetak kencang. Tidak ada yang bisa ia lakukan. Siapa pria itu? Apa yang baru saja ia saksikan? Ia merasakan ketegangan yang semakin meningkat. Desa ini menyimpan rahasia gelap, dan ia baru saja menyentuh permukaan dari misteri yang lebih besar daripada yang bisa ia bayangkan.
Dengan tubuh gemetar, Anisa berbalik dan berlari kembali ke kamarnya, kunci pintu dikunci dengan cepat. Dalam kebingungannya, ia menyadari bahwa ia tidak bisa melarikan diri dari kegelapan yang telah menyelubungi desa ini. Pembunuhan itu bukanlah kebetulan. Itu adalah pesan, peringatan bagi siapa pun yang berani menyelidiki rahasia yang tersembunyi di balik hutan, cermin, dan bayang-bayang gelap yang mengintai setiap sudut desa ini.
Anisa tahu bahwa sekarang, lebih dari sebelumnya, ia harus menemukan jawaban. Namun, seiring dengan setiap langkahnya untuk mengungkap kebenaran, ia semakin dekat dengan bahaya yang lebih mengancam dari apa pun yang pernah ia bayangkan.*
Bab 6: Pencarian Tanpa Henti
Malam semakin larut, namun ketegangan yang menggantung di udara tidak juga hilang. Setelah mendengar kebenaran mengerikan dari wanita tua itu, Anisa tahu bahwa tidak ada lagi waktu untuk berpikir panjang. Desanya terperangkap dalam kutukan yang tidak bisa dihindari, dan ia—sebagai orang luar yang baru saja datang—menjadi bagian dari permainan gelap ini. Kebenaran tentang entitas yang mengendalikan desa itu mengingatkannya pada banyak hal: bagaimana ia tiba di desa ini tanpa tahu apa-apa, bagaimana semuanya berputar begitu cepat menjadi mimpi buruk yang tak berujung.
Namun, di balik rasa takut yang menggulung di dalam dirinya, ada dorongan kuat untuk bertahan hidup. Anisa tidak bisa hanya duduk diam, menunggu untuk menjadi bagian dari ritual yang tak berkesudahan. Tidak, ia harus mencari cara untuk keluar dari desa ini, menemukan jalan untuk menghentikan entitas itu—meskipun ia tahu bahwa itu adalah pencarian yang penuh dengan bahaya, mungkin bahkan tak mungkin dimenangkan.
Dengan tekad yang bulat, Anisa memutuskan untuk mencari lebih dalam, untuk menemukan titik lemah dari kutukan ini. Setelah mendengar cerita wanita tua itu, satu hal jelas—entitas itu berhubungan langsung dengan hutan yang terlarang. Hutan yang selama ini dilarang untuk dimasuki oleh penduduk desa, hutan yang menjadi tempat dilakukannya ritual-ritual kelam. Di sanalah segalanya dimulai, dan di sanalah mungkin akhir dari semuanya bisa ditemukan.
Pagi hari tiba, dan Anisa bergegas menuju hutan lagi. Kali ini, ia tidak pergi dengan rasa takut yang sama seperti sebelumnya, meskipun kengerian masih membayanginya. Ia tahu bahwa ia harus mencari lebih banyak petunjuk, mencari tahu lebih dalam mengenai ritual dan entitas yang menghantui desa ini. Setiap langkahnya terasa seperti langkah terakhir menuju kebenaran, atau mungkin kehancurannya.
Namun, kali ini, ia tidak sendirian.
Di sepanjang jalan menuju hutan, seorang pria yang ia kenal, seorang penduduk desa yang pernah ia temui sebelumnya, mengikuti langkahnya dengan diam-diam. Pria itu tampaknya tahu apa yang sedang ia lakukan, tetapi ia tidak berbicara, hanya mengamati dari kejauhan. Anisa merasa bahwa ia perlu bantuan, dan meskipun ia tidak tahu siapa pria itu, instingnya mengatakan bahwa ia mungkin bisa diandalkan.
Setibanya di batas hutan, Anisa berhenti sejenak. Hutan itu, meskipun tampak seperti hutan biasa dari kejauhan, memberi rasa tidak nyaman yang semakin kuat. Setiap ranting yang bergesekan, setiap angin yang berhembus, seakan membawa bisikan dari dunia lain—dunia yang lebih gelap. Kegelapan di dalam hutan seakan memanggil, menggoda, dan mengancam dengan cara yang tidak bisa dijelaskan.
Pria itu menghampiri Anisa, wajahnya tersembunyi oleh topi yang lebar. “Apa yang kamu cari di sini?” katanya dengan suara berat. “Kamu harus tahu bahwa tidak ada yang bisa selamat dari tempat ini.”
Anisa menatap pria itu dengan penuh tekad. “Aku harus tahu. Apa yang terjadi dengan desa ini? Apa yang harus aku lakukan untuk menghentikan semua ini?”
Pria itu terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. “Kamu tidak bisa menghentikan apa yang sudah dimulai. Tapi jika kamu tetap bersikeras, aku akan menunjukkan jalan yang harus kamu tempuh. Tapi ingat, ini bukan perjalanan yang mudah. Entitas itu mengawasi setiap langkah kita.”
Dengan kata-kata itu, pria itu melangkah ke dalam hutan, dan Anisa mengikuti. Hutan semakin gelap, dan semakin dalam mereka masuk, semakin berat udara yang mereka hirup. Semua suara di sekitar mereka terdengar seperti bisikan halus, seakan pohon-pohon itu memiliki kehidupan sendiri dan menonton mereka. Anisa merasakan sesuatu yang aneh—ada sesuatu yang mengikuti mereka, sesuatu yang lebih besar dari mereka berdua.
Mereka berhenti di sebuah area terbuka, dikelilingi oleh pohon-pohon besar yang tampaknya lebih tua dari yang bisa dihitung. Di tengah area itu, terdapat sebuah batu besar yang tampak seperti altar. Batu itu dipenuhi dengan simbol-simbol kuno yang tidak bisa Anisa mengerti, namun ia bisa merasakannya—simbol-simbol itu penuh dengan energi gelap.
Pria itu mendekati batu itu, menatapnya dengan cemas. “Di sinilah semua ritual itu dilaksanakan. Ini adalah pusat dari kekuatan yang mengikat desa ini. Setiap korban, setiap jiwa yang dikorbankan, menguatkan ikatan antara dunia kita dan dunia lain.”
Anisa menatap batu itu dengan rasa ngeri. “Apa yang harus kita lakukan? Apa ada cara untuk menghentikan semua ini?”
Pria itu menarik napas panjang, lalu mengeluarkan sebuah buku usang dari dalam tasnya. Buku itu tampak tua dan rapuh, dengan sampul yang hampir terlepas. Ia membuka halaman demi halaman, sampai akhirnya ia berhenti pada sebuah halaman yang penuh dengan gambar dan tulisan yang tidak bisa Anisa baca.
“Di sinilah kuncinya,” kata pria itu, menunjuk pada gambar sebuah simbol yang mirip dengan yang ada di batu besar. “Simbol ini adalah penghubung antara dua dunia. Selama simbol ini tetap utuh, entitas itu akan terus mendapatkan kekuatannya. Untuk menghentikan semuanya, kita harus menghancurkan simbol ini.”
Namun, saat pria itu mengucapkan kata-kata itu, angin tiba-tiba berubah menjadi badai kecil yang menghempaskan dedaunan. Tanah di sekitar mereka bergoyang, dan suara gemuruh yang dalam terdengar dari dalam hutan. Anisa merasa ada sesuatu yang berubah—sesuatu yang mendekat.
“Cepat!” seru pria itu. “Kita harus menghancurkan simbol itu sekarang, sebelum terlambat!”
Namun, sebelum mereka sempat bergerak, bayangan gelap yang besar muncul di antara pohon-pohon. Bayangan itu bergerak dengan cepat, tampak lebih seperti makhluk dari kegelapan, dengan mata yang menyala merah.
“Tidak ada yang bisa menghentikan kami,” suara itu bergema di udara, seakan berasal dari dalam bumi.
Anisa terkejut, namun ia tidak bisa mundur. Pencariannya kini menjadi lebih jelas—ia tidak hanya mencari jalan keluar dari desa ini, tetapi juga cara untuk menghadapi makhluk yang mengancam jiwa mereka semua. Dalam kegelapan yang semakin mendalam, ia tahu satu hal pasti: pencariannya untuk menghentikan entitas itu kini tak bisa dihentikan lagi.*
Bab 7: Serpihan Kenangan
Udara di hutan semakin tebal, penuh dengan bau tanah lembap dan kelembutan malam yang tiba-tiba menyerang kesadaran Anisa. Mereka berdua, Anisa dan pria misterius yang mengikutinya, kini terjebak di tengah kegelapan yang mengelilingi mereka. Bayangan gelap yang baru saja muncul, dengan mata merah menyala, semakin mendekat—seolah makhluk itu bisa mencium setiap gerakan mereka, setiap detak jantung yang berdegup kencang.
Pria itu menarik Anisa menjauh dari altar batu, menyuruhnya untuk bersembunyi di balik pohon besar. Dengan cepat, mereka bersembunyi di bayang-bayang pohon-pohon tinggi, yang tampaknya mengawasi mereka. Namun, meski mereka berusaha untuk diam, hati Anisa berdegup kencang—rasanya seperti waktu berhenti dan alam itu sendiri bergetar dalam ketegangan.
“Jangan bergerak,” pria itu berbisik, wajahnya serius. “Entitas itu mendengar setiap suara, setiap langkah.”
Namun, sesuatu yang aneh terjadi. Tanpa peringatan, bayangan besar itu menghilang dalam sekejap, meninggalkan kesunyian yang sangat menekan. Keheningan itu menambah rasa cemas dalam hati Anisa. Apa yang baru saja terjadi? Mengapa makhluk itu menghilang begitu cepat?
Tanpa banyak bicara, pria itu menarik Anisa lebih dalam ke hutan, menuntunnya menuju sebuah gua kecil yang tersembunyi di balik semak belukar. Begitu mereka sampai di dalam gua, pria itu menyandarkan tubuhnya ke dinding, berusaha menenangkan napasnya yang terengah-engah. Anisa mengikuti gerakannya, meskipun pikirannya masih berputar dengan seribu pertanyaan.
“Siapa… siapa makhluk itu?” tanya Anisa, mencoba meredakan ketegangan yang masih mengguncang tubuhnya.
Pria itu menatapnya dengan tatapan kosong, seolah berpikir apakah ia harus berbicara atau tidak. “Itu adalah pengawal dari entitas itu. Mereka yang menjaga dunia lain agar tetap terkunci. Mereka tidak akan membiarkan siapa pun mengganggu keseimbangan itu.”
Anisa mengangguk pelan, namun matanya tidak bisa lepas dari sosok pria itu. Sesuatu dalam dirinya merasa bahwa ia tidak mengatakan seluruh kebenaran. Seperti ada sesuatu yang disembunyikan.
“Kenapa kamu membantu aku?” tanya Anisa, suaranya serak. “Apa yang kamu inginkan?”
Pria itu terdiam sejenak, lalu memandang Anisa dengan tatapan yang lebih lembut. “Karena aku pernah berada di posisimu,” jawabnya pelan. “Aku pernah datang ke desa ini, tidak tahu apa-apa. Aku juga berusaha untuk keluar dari kutukan ini, tapi seperti kamu, aku terjebak.”
Anisa merasa tubuhnya kaku. “Apa yang terjadi denganmu?”
Pria itu menghela napas panjang. “Aku adalah salah satu dari mereka yang dulu melakukan ritual ini. Aku adalah orang yang, tanpa sadar, ikut membuka gerbang itu. Tetapi aku tidak bisa kembali lagi. Aku terikat dengan kekuatan itu—selama kamu berada di desa ini, kamu juga terikat.”
Anisa merasa sebuah beban berat menimpa dirinya. “Kamu terikat dengan desa ini? Apakah aku juga akan seperti itu?”
Pria itu mengangguk perlahan. “Setiap orang yang datang ke desa ini, setiap orang yang menyelidiki kutukan ini, pada akhirnya akan terperangkap. Tidak ada yang bisa keluar. Kekuatan itu akan terus mencari mereka yang mencoba melawan.”
Tapi saat pria itu melanjutkan ceritanya, sesuatu yang lebih gelap mulai terungkap. Mata Anisa terfokus pada sosok pria itu, tetapi tiba-tiba ingatannya berputar, seolah potongan-potongan kenangan lama mulai muncul dalam pikirannya.
“Kenapa aku merasa aku sudah pernah… bertemu denganmu sebelumnya?” tanya Anisa dengan cemas, terkejut dengan gelombang perasaan yang datang begitu saja. “Aku merasa seperti ada sesuatu yang hilang… sesuatu yang aku lupakan.”
Pria itu terkejut mendengar pertanyaan Anisa, dan wajahnya seketika berubah. “Apa yang kamu katakan?”
“Kenapa aku merasa… seperti kita pernah bertemu?” suara Anisa semakin ragu. Kenangan itu datang seperti serpihan—mungkin sebuah petunjuk, mungkin hanya kebingungannya. “Aku tidak tahu mengapa… tetapi ada sesuatu yang menghubungkan kita.”
Di luar gua, suara angin yang berdesir tiba-tiba berhenti. Keheningan kembali menyelimuti mereka. Pria itu memandang Anisa dengan tatapan yang lebih dalam, seakan sebuah keputusan penting sedang tergantung di antara mereka.
“Apa kamu yakin kamu ingin tahu kebenarannya?” Pria itu berbicara perlahan, suaranya mengandung keraguan yang dalam. “Kebenaran yang sebenarnya…”
Anisa mengangguk, meskipun hatinya berdebar. Ia tahu bahwa saat ini adalah titik balik dalam pencariannya. Apa yang akan ia temukan jika ia terus mengikuti jalan ini? Apa yang akan terungkap tentang dirinya sendiri?
Pria itu akhirnya menghela napas dan mengangguk. “Baiklah, aku akan memberitahumu. Tetapi ingat, ini akan mengubah segalanya.”
Ia mengambil nafas panjang sebelum melanjutkan, “Kamu adalah bagian dari sebuah cerita yang lebih tua daripada yang kamu bayangkan. Kamu tidak hanya seorang pendatang yang kebetulan datang ke desa ini. Kamu adalah keturunan dari mereka yang dahulu membuka gerbang itu. Dalam darahmu mengalir warisan yang menghubungkanmu langsung dengan entitas yang menguasai desa ini. Kamu… adalah bagian dari kutukan ini.”
Anisa merasa darahnya membeku, seakan seluruh dunia berhenti bergerak. “Apa… maksudmu?”
Pria itu menatapnya dengan serius. “Kamu adalah keturunan dari orang yang pertama kali mengorbankan diri mereka kepada entitas itu. Darahmu adalah darah yang mengikat dunia ini dengan dunia lain. Seiring berjalannya waktu, keluarga-keluarga yang terlibat dalam ritual ini akan melahirkan generasi baru yang akhirnya akan terjebak lagi dalam kutukan ini. Kamu, Anisa, adalah salah satu generasi itu.”
Setiap kata yang diucapkan pria itu seperti dentingan lonceng yang menghancurkan ilusi-Ilusi dalam hidup Anisa. Seperti serpihan kenangan yang telah lama terkubur, kebenaran itu akhirnya terbuka. Ia bukan hanya korban dari sebuah ritual. Ia adalah kunci untuk menyelesaikan atau melanjutkan kutukan itu.
Dengan ketegangan yang semakin memuncak, Anisa tahu bahwa jalan yang harus ditempuh semakin jelas, namun juga semakin berbahaya. Sebuah pengorbanan harus dilakukan untuk mengakhiri semua ini—dan kali ini, itu mungkin pengorbanan dirinya sendiri.*
Bab 8: Pengkhianat Terungkap
Pagi itu, Anisa terbangun dengan perasaan cemas yang tak bisa diabaikan. Suara angin yang mengerang di luar gua hanya memperburuk kegelisahannya. Semua yang baru ia ketahui—tentang keluarganya, tentang kutukan yang mengikatnya—membuat dunia seakan terbalik. Apa yang selama ini ia anggap biasa, ternyata hanyalah bagian dari sebuah takdir yang gelap dan tak terelakkan.
Di hadapannya, pria itu masih duduk diam, seolah menunggu reaksi Anisa setelah mengungkapkan kebenaran yang mengejutkan. Selama beberapa menit, keduanya terdiam. Hanya suara angin dan suara deburan air yang terdengar di luar gua. Namun, di dalam hati Anisa, pertanyaan terus berputar.
“Apa yang harus aku lakukan?” suara Anisa pecah, terdengar lemah namun penuh dengan keresahan. “Kamu bilang aku adalah kunci untuk mengakhiri kutukan ini. Tapi bagaimana jika aku malah menjadi bagian dari masalah ini? Bagaimana jika darahku adalah kunci untuk membuka gerbang yang lebih gelap?”
Pria itu menatap Anisa dengan tatapan penuh penyesalan. “Kamu tidak memilih ini, Anisa. Ini adalah warisan yang sudah ada jauh sebelum kamu dilahirkan. Semua yang terjadi, semua yang kamu alami, adalah bagian dari takdir yang tak bisa dihindari. Tetapi ada satu hal yang masih bisa kamu lakukan. Ada cara untuk menghentikan semuanya.”
“Bagaimana?” Anisa bertanya dengan penuh harap, meskipun hatinya masih dipenuhi keraguan. “Apa yang harus aku lakukan?”
Pria itu berdiri, berjalan mendekati Anisa. “Kamu harus menghancurkan simbol itu. Hancurkan koneksi yang mengikat dunia ini dengan dunia lain. Hanya dengan itu, kutukan ini akan terputus, dan semuanya akan berakhir.”
Namun, saat pria itu berbicara, sebuah suara yang familiar terdengar di luar gua—sebuah suara yang membuat hati Anisa berdebar hebat. Suara langkah kaki yang terburu-buru. Tanpa peringatan, pintu gua terbuka, dan seorang pria lain, yang tak asing lagi, muncul dengan wajah serius.
Anisa terkejut. Itu adalah kepala desa, seorang pria yang telah ia anggap sebagai sekutu, bahkan teman selama tinggal di desa ini.
“Kamu…” suara Anisa tercekat. “Kamu? Apa yang kamu lakukan di sini?”
Kepala desa tersenyum dingin, senyum yang tidak pernah ia tunjukkan sebelumnya. Senyum yang membawa sesuatu yang sangat berbeda—sesuatu yang tidak bisa disangkal lagi.
“Apa yang kamu katakan itu tidak sepenuhnya benar, Anisa,” jawab kepala desa, suaranya tenang namun penuh dengan tekanan. “Kamu memang memiliki darah yang mengikatmu dengan kutukan ini. Tapi itu tidak berarti kamu harus menghancurkan segalanya. Ada jalan lain, jalan yang lebih aman.”
Anisa merasa ada yang salah. Sesuatu dalam kata-kata kepala desa itu membuatnya merinding. Pria itu bukanlah orang yang ia kira.
“Tunggu,” kata Anisa dengan cemas. “Jadi, apa maksudmu? Kamu tahu tentang semua ini? Kamu tahu siapa aku?”
Kepala desa mengangguk dengan tenang. “Tentu saja, Anisa. Aku tahu lebih dari yang kamu bayangkan. Aku yang mengawasi dan mengarahkan semua ini. Kamu tidak tahu siapa aku sebenarnya, bukan?”
Anisa terkejut. “Apa maksudmu? Kamu…?”
Pria itu tersenyum sinis, dan perlahan membuka jaketnya, mengungkapkan sebuah simbol yang sama seperti yang ada pada batu altar di hutan. Simbol yang menandakan hubungan langsung dengan entitas gelap yang menguasai desa ini.
“Aku adalah bagian dari mereka. Aku adalah bagian dari kultus yang telah memanipulasi desa ini selama berabad-abad. Keluargamu, Anisa, bukan hanya keturunan yang terikat pada kutukan ini. Keluargamu adalah bagian dari kami. Kami adalah yang pertama kali membuka gerbang ini, dan kami yang telah menjaga agar kutukan ini terus berlanjut. Aku adalah pengawas dari semua ini,” kata kepala desa dengan nada penuh keyakinan. “Dan sekarang, aku datang untuk memastikan bahwa takdirmu tetap berjalan sesuai rencana.”
Anisa merasa seperti ada petir yang menyambar jantungnya. Kenapa? Kenapa kepala desa yang ia percayai—yang seharusnya menjadi pelindungnya—ternyata adalah pengkhianat terbesar dari semuanya?
“Jadi, kamu yang selama ini memainkan semuanya?” tanya Anisa, suaranya hampir tak terdengar. “Kamu yang membuat kami semua terperangkap dalam kutukan ini?”
Kepala desa tertawa pelan, lalu mengangguk. “Ya, dan aku akan terus menjaga desa ini agar tetap berada dalam kendali kami. Kamu, Anisa, adalah bagian dari takdir yang sudah digariskan. Kamu tidak bisa lari dari itu. Tidak ada yang bisa menghentikan apa yang telah dimulai.”
Pria yang sebelumnya berada di sisi Anisa, pria yang telah membantunya untuk memahami kebenaran, kini berdiri dengan tegap, menatap kepala desa dengan penuh kebencian.
“Jangan dengarkan dia, Anisa,” ujar pria itu dengan keras. “Kepala desa ini adalah pengkhianat. Dia adalah bagian dari kelompok yang telah merusak desa ini selama berabad-abad. Apa yang dia inginkan adalah menggunakan kamu untuk memperkuat kekuatan entitas itu lagi. Jangan biarkan dia memanipulasimu.”
Kepala desa tersenyum licik. “Apa yang kamu katakan itu tidak akan mengubah apapun. Anisa sudah tahu yang sebenarnya sekarang. Dia adalah bagian dari kami. Tidak ada yang bisa melawan takdir.”
Anisa merasa dunia seakan runtuh. Dia terjebak dalam permainan yang lebih besar daripada yang ia bayangkan. Namun, dalam hati kecilnya, ia tahu satu hal pasti—ia tidak akan membiarkan kepala desa itu menang. Tidak akan membiarkan siapa pun menggunakan dirinya untuk memperpanjang kutukan ini.
“Tidak,” jawab Anisa dengan tegas, suaranya semakin kuat. “Aku tidak akan menjadi bagian dari permainanmu, kepala desa. Aku akan menghentikan kutukan ini, apapun yang terjadi.”
Pria itu, yang sebelumnya mendukungnya, kini tersenyum dengan rasa bangga. “Kamu baru saja membuat keputusan yang benar.”
Kepala desa itu tertawa lebar, namun tawa itu terdengar semakin gelap, semakin menakutkan. “Kita lihat saja apakah kamu masih bisa bertahan setelah ini.”
Anisa kini tahu bahwa ia berada di titik terberat dalam pencariannya. Pencariannya untuk kebebasan, untuk menghentikan kutukan yang telah mengikat keluarganya selama berabad-abad, akan segera dimulai—dan kali ini, ia tidak bisa mundur lagi.*
Bab 9: Puncak Dari Segala Misteri
Keheningan malam itu terasa sangat tebal, seolah seluruh dunia sedang menahan napas, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Angin yang berdesir di sela-sela pepohonan seakan berbisik, menyampaikan perasaan yang tak bisa dijelaskan. Hati Anisa berdebar kencang, setiap detakan jantungnya terasa seperti petir yang menggema di dalam dirinya. Ia tahu bahwa saat ini, ia sudah berada di puncak dari segala misteri yang telah mengelilinginya.
Kepala desa, yang kini menjadi musuh utama, masih berdiri dengan senyum licik di bibirnya, sementara pria yang telah membantunya, yang ternyata juga terperangkap dalam takdir yang sama, berdiri tegak di sampingnya. Mereka berdua berada di tengah lapangan terbuka, di bawah cahaya bulan yang memancar dari langit, memancarkan cahaya dingin yang menambah ketegangan dalam udara.
“Anisa,” suara kepala desa terdengar lembut, meskipun di dalamnya penuh dengan ancaman. “Ini sudah waktunya. Kamu tahu apa yang harus dilakukan. Dunia ini, desa ini, sudah terikat pada kami. Tidak ada yang bisa mengubahnya.”
Anisa menatap kepala desa itu dengan penuh kebencian, namun di dalam hatinya, kebingungan dan keraguan masih menghantuinya. Perasaan itu datang dari kenyataan bahwa ia adalah bagian dari takdir yang lebih besar, bagian dari ritual yang sudah ada sejak zaman dahulu. Ia tahu bahwa darahnya mengalirkan kekuatan yang tidak bisa ia kendalikan, dan kini, ia harus memutuskan apakah akan melawan atau menerima kenyataan ini.
Pria yang mendampinginya, yang sejak awal memberikan bantuan dan arahan, kini melangkah maju. Wajahnya penuh dengan tekad, namun juga kelelahan. “Kamu tidak harus melakukan ini, Anisa,” katanya dengan suara berat. “Ada cara lain. Jika kamu menghancurkan simbol itu, kamu akan membebaskan diri dan desa ini. Kita bisa mengakhiri semuanya.”
Anisa menatap pria itu, mencoba mencari petunjuk dalam matanya. Ia ingin percaya padanya, tetapi rasa ragu menghalangi pikirannya. “Apa yang sebenarnya kamu inginkan? Mengapa kamu membantuku? Apa kamu juga terjebak dalam permainan ini?”
Pria itu menarik napas panjang, dan untuk pertama kalinya, ia terlihat rentan. “Aku adalah bagian dari keluarga yang dulu membuka gerbang ini, sama seperti kamu. Tapi aku menyesal. Aku ingin menghentikan semuanya. Aku tidak ingin melihat desa ini hancur, dan aku tidak ingin melihatmu terjebak seperti kami. Aku tidak ingin melihatmu menjadi bagian dari kutukan ini selamanya.”
Kepala desa tertawa kecil, suaranya serak dan dingin. “Semua ini hanyalah ilusi, Anisa. Apa yang kamu dengar darinya hanya kebohongan. Kalian berdua adalah bagian dari rencana yang lebih besar, yang tidak bisa dihindari. Darahmu adalah kunci untuk membangkitkan kekuatan yang tertidur. Menghancurkan simbol itu hanya akan mempercepat kehancuranmu.”
Anisa menggigit bibirnya, cemas. Ia memandang kepala desa dengan tatapan tajam. “Kau tidak akan menang, kepala desa. Aku tidak akan membiarkanmu mengendalikan hidupku. Aku tidak akan menjadi bagian dari takdir yang kau tentukan. Aku akan menghancurkan semuanya.”
Kepala desa menyeringai, matanya berkilat penuh dengan kekuasaan. “Baiklah, kalau begitu. Cobalah. Tapi ingat, Anisa. Ketika kamu menghancurkan simbol itu, kamu juga akan menghancurkan bagian dari dirimu sendiri. Takdirmu akan terungkap, dan kamu tidak akan bisa lagi melarikan diri.”
Anisa berdiri tegak, memutuskan bahwa ini adalah saatnya. Dia tahu bahwa dia berada di persimpangan jalan. Kemenangan atau kehancuran, hidup atau mati, semuanya tergantung pada keputusan yang ia buat saat ini. Dengan langkah tegas, ia berbalik dan berjalan menuju altar batu yang ada di tengah lapangan. Simbol yang telah mengikat seluruh desa ini ada di sana, menunggu untuk dihancurkan.
Saat Anisa berdiri di depan simbol itu, perasaan aneh muncul dalam dirinya. Seperti ada kekuatan yang menariknya, seakan mengingatkan dia tentang ikatan yang sudah ada sejak lama. Darahnya berdenyut kencang, dan ia bisa merasakan ada sesuatu yang hidup dalam dirinya, sesuatu yang terhubung langsung dengan entitas itu.
Namun, pada saat itulah, sebuah suara yang dalam dan menggema terdengar dari dalam dirinya—suara yang tidak bisa ia hindari. Suara itu berbicara dengan ketegasan yang tidak bisa dibantah.
“Anisa, kamu adalah bagian dari kami. Tidak ada yang bisa mengubah takdir ini. Darahmu adalah darah yang membawa keseimbangan dunia ini. Jika kamu menghancurkan simbol itu, kamu akan menghancurkan dunia yang sudah ada. Pilihanmu akan menentukan segalanya.”
Suara itu, yang berasal dari dalam dirinya sendiri, menggetarkan seluruh tubuh Anisa. Ia tahu bahwa ini adalah puncak dari perjalanan panjang yang telah ia tempuh. Ia bisa merasakan kehadiran entitas itu—sebuah kekuatan gelap yang ada di balik setiap keputusan, setiap langkah yang diambil.
Tiba-tiba, pria yang mendampinginya berlari ke arah Anisa, wajahnya penuh dengan ketakutan. “Anisa, jangan! Itu bukan jalan yang benar!”
Namun, sebelum Anisa bisa bereaksi, sebuah suara keras terdengar. Kepada desa tertawa keras, matanya menyala dengan kekuatan yang lebih besar dari sebelumnya. “Kamu tidak bisa lari dariku, Anisa. Kamu sudah menjadi bagian dari ini. Tidak ada yang bisa menghentikan kutukan ini.”
Anisa, yang hampir merasa terperangkap dalam kekuatan yang lebih besar, akhirnya mengambil keputusan terakhirnya. Dengan hati yang penuh tekad, ia menghancurkan simbol itu. Seketika, sebuah ledakan energi besar mengguncang tanah di bawahnya, mengirimkan gelombang kekuatan yang begitu kuat hingga menghancurkan segala sesuatu di sekitarnya.
Namun, sesuatu yang aneh terjadi. Alih-alih menghancurkan dunia ini, ledakan itu membuka jalan baru—jalan yang membawa Anisa ke dimensi yang berbeda, dunia yang lebih gelap, lebih penuh misteri. Di sana, ia menghadapi sebuah kebenaran yang lebih besar dari apapun yang pernah ia bayangkan.
Dengan simbol yang hancur dan dunia yang terbelah, Anisa akhirnya mengerti bahwa ini bukanlah akhir. Ini adalah permulaan dari sebuah perjalanan baru—sebuah perjalanan untuk mencari keseimbangan yang sebenarnya, untuk mengalahkan kekuatan yang lebih besar dari yang ia bayangkan.
Dan di situlah, pada puncak dari segala misteri, Anisa menyadari satu hal yang paling penting—kutukan ini belum berakhir. Justru, sekaranglah waktunya untuk memulai kembali.***
———THE END——-