• Latest
  • Trending
  • All
  • Movie Review
  • Box Office
  • Trailer
  • Action
  • Romantic
  • Comedy
  • Horror
  • Serial Movie
  • Genre
JEJAK DI ATAS HUJAN

JEJAK DI ATAS HUJAN

February 9, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025
JEJAK DI PINTU TERLARANG

JEJAK DI PINTU TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

May 17, 2025
TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

May 17, 2025
PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

May 12, 2025
HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

May 12, 2025
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

May 10, 2025
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

LUKISAN YANG MENANGIS

May 10, 2025
  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
No Result
View All Result
Novel Story
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah
Novel Story
JEJAK DI ATAS HUJAN

JEJAK DI ATAS HUJAN

by SAME KADE
February 9, 2025
in Romansa
Reading Time: 34 mins read

Bab 1: Pertemuan di Bawah Gerimis

Hujan gerimis membasahi jalanan kota yang dipenuhi hiruk pikuk aktivitas manusia. Langit kelabu, aroma tanah basah, dan derai air hujan yang jatuh dari atap menciptakan suasana sendu namun penuh kehangatan terselubung. Di sebuah kafe kecil di sudut kota, Aruna duduk di dekat jendela besar yang menghadap langsung ke jalan. Secangkir kopi hangat mengepul di hadapannya, sementara tangannya sibuk mencoret-coret sketsa di buku gambar kecilnya. Aruna, seorang ilustrator freelance, selalu menemukan kedamaian di tempat ini, terutama ketika hujan turun.

Pandangannya teralih saat seorang pria muda masuk ke dalam kafe, tubuhnya sedikit basah karena hujan. Jaket denimnya tampak kusut, dan sebuah gitar tua menggantung di punggungnya. Aruna hanya melirik sekilas, tak ingin terlalu lama memperhatikan. Namun, sosok itu segera menarik perhatian banyak pengunjung kafe. Pria itu berjalan ke sudut ruangan, membuka tas gitarnya, dan mulai menyetem senar-senarnya dengan tenang.

Hujan semakin deras di luar, menciptakan simfoni alami yang berpadu dengan suara gemericik air. Pria itu mulai memainkan gitar, melodi lembut mengalun memenuhi ruangan. Aruna yang awalnya tak begitu peduli mendadak terpaku. Lagu yang dimainkan pria itu terdengar familiar, seolah membawa Aruna pada kenangan lama yang selama ini dia coba lupakan.

“Kenapa lagu itu?” gumamnya lirih, tanpa sadar.

Pria itu menyanyikan bait-bait lagu dengan suara baritonnya yang hangat. Suaranya serak namun memikat, penuh dengan emosi yang menyentuh hati. Lagu itu berbicara tentang kehilangan, harapan, dan cinta yang tak pernah sampai. Aruna menutup bukunya, mendengarkan dengan lebih saksama. Hujan dan lagu itu menjadi latar sempurna untuk menggugah memori lama yang terpendam.

Saat pria itu selesai, kafe dipenuhi tepuk tangan kecil dari para pengunjung. Beberapa pelanggan mendekatinya untuk memberikan pujian atau sekadar melempar senyuman. Namun, pria itu hanya tersenyum singkat sebelum duduk kembali di sudutnya, sibuk dengan gitarnya. Ada sesuatu yang berbeda dari sosok itu, pikir Aruna. Dia tampak sederhana, tetapi ada sorot mata yang penuh cerita, seolah dia menyimpan dunia yang rumit di dalam dirinya.

Aruna, yang biasanya enggan berinteraksi dengan orang asing, merasa dorongan aneh untuk mendekati pria itu. Namun, dia menahan diri, takut terlihat aneh. Dia hanya melanjutkan sketsanya, mencoba mengalihkan perhatian, meskipun pikirannya terus mengulang melodi yang baru saja didengarnya.

Pria itu akhirnya berdiri, membawa gitarnya ke arah meja kasir. Dia memesan secangkir teh hangat sebelum duduk kembali. Aruna yang mencuri-curi pandang dari mejanya tak sengaja bertemu pandang dengan pria itu. Dia buru-buru mengalihkan tatapannya, berharap pria itu tidak menyadarinya. Namun, pria itu tersenyum kecil, senyuman yang hangat namun menyimpan misteri.

Tak lama kemudian, seorang pelayan datang ke meja Aruna dengan membawa secangkir teh tambahan. “Ini dari pria di sana,” kata pelayan itu sambil menunjuk ke arah pria dengan gitar. Aruna terkejut, tapi pria itu sudah kembali fokus dengan gitarnya.

Aruna memutuskan untuk memberanikan diri. Dia membawa teh itu ke meja pria tersebut dan berkata, “Terima kasih untuk tehnya. Tapi saya tidak yakin kita saling mengenal.”

Pria itu mendongak, tersenyum ramah, dan menjawab, “Saya Dio. Dan kamu? Apa kamu suka lagunya?”

Aruna terdiam sesaat sebelum menjawab, “Saya Aruna. Lagunya… bagus. Kamu sering tampil di sini?”

Dio mengangguk ringan. “Kadang-kadang. Musik adalah cara saya bercerita. Tapi sepertinya kamu lebih suka mendengar cerita daripada menceritakannya.” Dio menunjuk buku sketsa yang masih dipegang Aruna.

Aruna terkejut dengan pengamatan Dio. “Kamu benar. Saya lebih nyaman menceritakan sesuatu lewat gambar daripada kata-kata.”

“Bagus,” balas Dio. “Setiap orang punya cara sendiri untuk mengekspresikan diri.”

Percakapan mereka mengalir begitu saja, seolah mereka sudah saling mengenal sebelumnya. Dio bercerita sedikit tentang dirinya, bahwa dia adalah seorang musisi jalanan yang sedang mencoba menemukan tempatnya di dunia ini. Aruna, meskipun masih ragu, merasa ada sesuatu yang hangat dalam diri Dio. Di tengah hujan yang terus turun, mereka berbagi cerita, tawa, dan bahkan diam yang tidak canggung.

Saat hujan mulai reda, Dio bersiap untuk pergi. Sebelum pergi, dia berkata, “Kalau kamu suka lagunya, mungkin aku bisa mainkan lagi lain kali. Sampai jumpa, Aruna.”

Aruna hanya tersenyum kecil, melihat Dio pergi dengan gitar tuanya. Dalam hati, dia tahu, pertemuan ini bukanlah kebetulan. Ada sesuatu dalam diri Dio yang membuatnya ingin tahu lebih jauh. Namun, dia juga menyadari bahwa pertemuan ini bisa menjadi awal dari cerita yang tidak terduga.

Di bawah langit yang masih basah oleh gerimis, Aruna menatap keluar jendela, hatinya dipenuhi rasa penasaran. “Jejak di atas hujan,” pikirnya, “mungkin ini awal dari jejak baru dalam hidupku.”*

Bab 2: Lagu di Tengah Malam

Malam itu begitu tenang. Langit malam terlihat kelam tanpa bintang, sementara suara gerimis yang turun sejak sore masih terdengar pelan. Di apartemennya yang sederhana, Aruna duduk di depan meja kerjanya, mencoba menyelesaikan ilustrasi yang dipesan klien. Namun, pikirannya melayang entah ke mana. Bayangan Dio dan lagu yang dimainkan pria itu di kafe tadi siang terus berputar di kepalanya, seakan mengusik ketenangannya.

Aruna menutup buku sketsanya, menyandarkan tubuhnya ke kursi, dan menarik napas panjang. Dia tidak pernah terlalu peduli dengan orang baru, tetapi Dio meninggalkan kesan yang berbeda. Lagu yang Dio nyanyikan terasa seperti puzzle yang ingin ia pecahkan. Setiap bait dan melodi lagu itu seperti menyimpan cerita yang lebih dalam, seolah ada sesuatu yang ingin Dio sampaikan, tetapi tidak dengan kata-kata langsung.

Jam menunjukkan pukul sebelas malam. Di luar, gerimis mulai mereda, menyisakan suara tetesan air dari dedaunan. Aruna bangkit dari kursi dan berjalan ke jendela. Dia membuka sedikit tirai, menatap ke luar. Apartemen kecilnya terletak di lantai tiga, cukup tinggi untuk melihat jalanan yang basah oleh hujan. Sepi. Hanya sesekali terlihat kendaraan melintas perlahan.

Saat dia menikmati keheningan malam, sebuah suara tiba-tiba menarik perhatiannya. Itu adalah suara gitar. Lembut, hampir seperti bisikan, tetapi cukup jelas di tengah keheningan malam. Aruna memicingkan mata, mencoba mencari tahu dari mana suara itu berasal. Dia membuka jendela sedikit lebih lebar, dan suara itu semakin terdengar. Melodi gitar yang sama, lagu yang sama seperti yang Dio mainkan di kafe tadi siang.

“Dio?” gumam Aruna, merasa tidak percaya. Tapi bagaimana mungkin? Dio bahkan tidak tahu di mana dia tinggal.

Aruna memutuskan untuk mengambil jaketnya dan turun ke bawah. Rasa penasaran mengalahkan segala keengganannya untuk keluar di tengah malam. Dengan langkah hati-hati, dia membuka pintu apartemen dan keluar ke lorong. Hawa dingin malam langsung menyentuh kulitnya, membuatnya merapatkan jaketnya.

Saat dia tiba di lantai dasar, suara gitar itu semakin jelas. Aruna mengikuti suara itu yang mengarah ke taman kecil di belakang kompleks apartemennya. Taman itu biasanya sepi di malam hari, hanya diterangi beberapa lampu taman yang redup. Namun, malam ini ada seseorang yang duduk di bangku kayu, bermain gitar di bawah cahaya lampu taman.

Aruna terkejut. Itu memang Dio. Dia duduk dengan santai, memetik gitar tuanya sambil menatap ke arah langit.

“Dio?” panggil Aruna, setengah ragu.

Dio menghentikan permainannya, menoleh, dan tersenyum ketika melihat Aruna. “Hei, Aruna. Apa aku membangunkanmu?”

“Tidak, aku hanya penasaran… bagaimana kamu bisa ada di sini? Dan kenapa kamu bermain gitar di tengah malam seperti ini?” Aruna mendekat, mencoba mencari jawaban di wajah Dio.

Dio tertawa kecil. “Kebetulan aku sedang lewat daerah ini. Taman ini terlihat tenang, jadi aku berhenti sejenak. Aku tidak tahu ini dekat dengan tempat tinggalmu.”

Aruna memiringkan kepala, merasa sedikit aneh. Tapi dia tidak menemukan alasan untuk meragukan Dio. “Dan kamu memilih memainkan lagu itu lagi?” tanyanya sambil duduk di bangku sebelah Dio.

Dio mengangguk. “Lagu ini… memiliki tempat khusus di hatiku. Setiap kali aku memainkannya, rasanya seperti aku mengobati diriku sendiri.”

“Tempat khusus?” Aruna memandang Dio dengan penasaran. “Apa lagu ini tentang seseorang?”

Dio terdiam sesaat, matanya menatap jauh ke depan seolah mencoba mencari jawabannya. “Mungkin. Atau mungkin tentang sebuah perasaan yang tidak pernah selesai.”

Aruna merasa ada beban dalam kata-kata Dio, tetapi dia tidak ingin memaksa pria itu untuk bercerita lebih banyak. Sebagai gantinya, dia hanya berkata, “Lagu itu… sangat indah. Ada sesuatu di dalamnya yang terasa akrab, tapi aku tidak tahu apa.”

“Itulah keajaibannya,” jawab Dio sambil tersenyum tipis. “Musik memiliki cara untuk menyentuh bagian dalam hati kita yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.”

Mereka terdiam untuk beberapa saat, hanya ditemani oleh suara angin malam dan sisa-sisa gerimis yang menetes dari dedaunan. Aruna merasa aneh. Dia baru saja mengenal Dio, tetapi ada sesuatu dalam kehadirannya yang membuatnya merasa nyaman. Seperti berada di dekat teman lama, seseorang yang pernah dia kenal di kehidupan sebelumnya.

“Apa kamu sering bermain di taman ini?” tanya Aruna, mencoba mengalihkan pikirannya.

“Tidak. Ini pertama kalinya,” jawab Dio sambil memetik senar gitarnya dengan pelan. “Tapi mungkin aku akan sering ke sini kalau kamu tidak keberatan.”

Aruna tersenyum kecil. “Aku tidak keberatan, selama kamu tidak mengganggu tidurku.”

Dio tertawa, suaranya ringan namun hangat. “Baiklah, aku akan memastikan permainanku cukup pelan agar hanya kamu yang bisa mendengarnya.”

Malam itu, mereka berbagi cerita kecil di bawah langit malam yang kelam. Dio memainkan beberapa lagu lain, sementara Aruna mendengarkan dengan tenang. Waktu berlalu tanpa mereka sadari, dan sebelum mereka berpisah, Dio berkata, “Terima kasih sudah menemani. Aku merasa lebih baik sekarang.”

“Lebih baik?” tanya Aruna.

Dio mengangguk. “Ada saat-saat di mana aku merasa terlalu banyak pikiran. Tapi malam ini, kamu membantuku merasa lebih ringan.”

Aruna tidak menjawab. Dia hanya tersenyum, menyadari bahwa mungkin, kehadiran Dio juga memberinya sesuatu yang dia sendiri tidak sadari sebelumnya. Di bawah langit yang masih menyisakan gerimis tipis, mereka berjalan kembali ke arah masing-masing, membawa perasaan hangat yang perlahan tumbuh di hati.*

Bab 3: Rahasia di Balik Nada

Pagi itu terasa berbeda bagi Aruna. Setelah malam yang tenang dengan Dio di taman, pikirannya terus dipenuhi dengan melodi gitar yang dimainkan pria itu. Lagu yang sederhana namun sarat makna itu seakan mengusik bagian dalam hatinya. Ada sesuatu dalam nada-nada itu yang mengingatkannya pada kenangan lama, kenangan yang terkubur dalam-dalam.

Aruna duduk di meja kerjanya, menatap layar laptop tanpa tujuan. Beberapa kali, jari-jarinya bergerak di atas keyboard, tapi tak ada kata-kata yang keluar. Sebuah notifikasi muncul di layar ponselnya, membawa fokusnya sejenak dari pekerjaan yang terbengkalai. Itu adalah pesan dari Dio.

Dio: “Hey, semoga pagi harimu menyenangkan. Kalau kamu ada waktu, aku ingin ajak kamu ke kafe yang aku suka. Aku janji tidak akan bermain gitar di sana.”

Aruna tersenyum membaca pesan itu. Kehadiran Dio ternyata sudah cukup mengisi kekosongan yang ia rasakan beberapa waktu terakhir. Meskipun ia hanya bertemu Dio beberapa kali, ada sesuatu yang membuat Aruna merasa nyaman—sesuatu yang belum bisa ia jelaskan dengan kata-kata.

Tanpa ragu, Aruna membalas pesan itu.

Aruna: “Tentu, aku juga ingin mencoba kafe itu. Kapan?”

Tak lama, Dio membalas dengan cepat.

Dio: “Jam satu siang? Kalau kamu tidak keberatan.”

Aruna: “Tentu, aku akan siap.”

Pagi itu berlalu dengan cepat. Aruna merasa sedikit gelisah menunggu jam satu. Baginya, pertemuan dengan Dio bukan hanya tentang menghabiskan waktu bersama, tetapi juga tentang mencari tahu lebih dalam tentang pria itu. Ada sesuatu yang menarik tentang Dio—sebuah misteri yang ingin ia pecahkan, terutama tentang lagu yang sering ia mainkan.

Jam menunjukkan pukul satu lewat sepuluh menit saat Aruna tiba di kafe kecil yang dimaksudkan Dio. Kafe itu terletak di sudut jalan yang cukup sepi, dengan desain interior yang sederhana namun nyaman. Aroma kopi yang baru diseduh menyambut Aruna begitu ia melangkah masuk. Ia melihat Dio sudah duduk di salah satu meja dekat jendela, dengan sebuah buku di tangan dan secangkir kopi di depannya.

Dio tersenyum ketika melihat Aruna masuk, dan dengan segera mengangkat tangannya, mengundang Aruna untuk duduk. “Hey, kamu datang tepat waktu,” ucapnya sambil tersenyum ramah.

“Sepertinya kamu sudah sering datang ke sini,” jawab Aruna sambil duduk di seberang Dio. “Tempat ini terasa nyaman.”

Dio mengangguk. “Aku suka tempat ini. Tenang dan jauh dari keramaian. Kamu bisa merasa lebih… diri sendiri di sini.”

Aruna mengangguk setuju. Mereka mulai mengobrol tentang berbagai hal ringan, dari cuaca hingga pekerjaan Aruna sebagai ilustrator. Namun, meskipun percakapan mereka mengalir dengan lancar, Aruna merasa ada ketegangan yang tak terucapkan di antara mereka. Ketegangan itu terasa terutama saat mata mereka saling bertemu, seperti ada pertanyaan yang belum terjawab.

Akhirnya, Aruna memberanikan diri untuk bertanya, “Dio, lagu yang kamu mainkan malam itu… ada sesuatu yang terasa berbeda di sana. Sepertinya lagu itu punya makna yang lebih dari sekedar melodi.”

Dio terdiam sejenak, menatap kopi di depannya. Ada kilatan yang sulit dimengerti di matanya. Aruna menunggu dengan sabar, merasa ada sesuatu yang ingin Dio katakan, tetapi pria itu ragu untuk mengungkapkan.

Dio mengangkat wajahnya perlahan, dan menatap Aruna dengan pandangan yang lebih dalam. “Kamu tahu,” katanya pelan, “lagu itu memang punya makna. Tapi bukan hanya sekedar tentang lirik atau nada. Itu adalah cara aku… mengungkapkan perasaan yang tidak bisa aku katakan dengan kata-kata.”

Aruna menatap Dio dengan penuh perhatian, mencoba menangkap setiap kata yang keluar dari mulutnya. “Apa maksudmu?”

Dio menarik napas dalam-dalam. “Aku dulu pernah dekat dengan seseorang… dan lagu itu adalah kenangan yang tertinggal. Kenangan yang sulit untuk dilupakan, meskipun aku berusaha melangkah maju. Lagu itu adalah satu-satunya cara aku bisa mengingatnya tanpa merasa terlalu sakit.”

Aruna merasa ada perasaan yang mengalir dalam kata-kata Dio, sebuah kejujuran yang tak biasa. Dia tidak tahu harus berkata apa, tetapi hatinya tergerak. “Jadi, lagu itu… tentang dia?”

Dio mengangguk perlahan. “Iya, dia adalah orang yang mengajarkanku banyak hal tentang hidup. Tapi kami berpisah, dan lagu itu seperti kenangan yang tak bisa aku buang begitu saja. Setiap kali aku memainkannya, rasanya aku bisa sedikit lebih tenang. Seperti dia masih ada di sini, meskipun hanya lewat musik.”

Aruna merasakan kepedihan dalam suara Dio, dan untuk pertama kalinya, ia memahami alasan mengapa Dio begitu terikat pada lagu itu. “Aku tidak tahu harus berkata apa… tapi aku mengerti sekarang.”

Dio tersenyum tipis. “Terima kasih sudah mendengarkan, Aruna. Terkadang, kita hanya butuh seseorang yang bisa mendengarkan, tanpa harus memberi solusi.”

Mereka terdiam sejenak, membiarkan kata-kata itu menggantung di udara. Aruna merasa ada ikatan yang lebih kuat terjalin antara dirinya dan Dio. Meskipun dia baru mengenal pria itu, perasaan yang timbul dalam dirinya sangat tulus—sebuah perasaan yang sulit untuk dijelaskan.

Setelah beberapa saat, Aruna akhirnya berkata, “Aku rasa, kita semua punya rahasia. Dan mungkin itu yang membuat kita lebih manusiawi. Aku merasa beruntung bisa mendengarkan ceritamu.”

Dio memandang Aruna dengan mata yang lebih lembut. “Aku juga merasa beruntung, Aruna. Kamu membuatku merasa… diterima.”

Aruna hanya tersenyum, tetapi dalam hatinya, dia tahu bahwa pertemuan ini bukan hanya tentang Dio dan lagu yang penuh kenangan. Ini adalah awal dari sebuah perjalanan yang tak terduga, di mana dua orang yang saling berpapasan dalam hidup mereka mulai membuka lapisan-lapisan perasaan yang selama ini tersembunyi. Dan entah kenapa, Aruna merasa bahwa rahasia di balik nada-nada itu baru saja mulai terungkap.*

Bab 4: Hujan di Masa Lalu

Hujan turun dengan deras saat Aruna berjalan keluar dari gedung kantor. Langit yang tadinya cerah, tiba-tiba berubah mendung, menyelimuti seluruh kota dengan nuansa abu-abu. Setiap tetes hujan yang jatuh mengingatkan Aruna pada sesuatu yang lama terkubur di dalam hatinya. Sesuatu yang telah lama ia coba lupakan, tetapi kali ini, hujan seakan membawa kembali kenangan-kenangan itu.

Aruna menatap langit yang kelabu, seolah berharap bisa menghindari kenyataan bahwa hujan ini mengingatkannya pada masa lalu—masa lalu yang penuh dengan kebahagiaan, kehilangan, dan keputusan yang membekas. Ia mempercepat langkahnya menuju halte bus, berharap bisa segera menghilangkan bayangan-bayangan itu. Tetapi, hujan selalu membawa kenangan, dan kali ini, kenangan itu datang begitu saja.

Setibanya di rumah, Aruna langsung menuju kamar dan menutup pintu dengan keras, seakan ingin menghalangi hujan dan segala yang berhubungan dengan masa lalunya. Namun, meskipun ia sudah jauh dari keramaian kota, kenangan itu tetap datang menghampirinya. Di atas meja di samping tempat tidur, sebuah foto lama terselip di antara tumpukan kertas dan buku. Foto itu adalah satu-satunya kenangan yang tersisa dari masa lalu yang tak ingin diingatkan.

Foto itu adalah gambarnya bersama seseorang yang pernah sangat berarti—Nadia. Dulu, mereka berdua adalah sahabat tak terpisahkan, saling berbagi segala cerita, termasuk cinta yang tak pernah terucap. Nadia adalah teman pertama yang membuat Aruna merasa diterima sepenuhnya, tanpa ada yang perlu disembunyikan. Mereka menghabiskan banyak waktu bersama, bahkan hampir setiap hari. Hujan, yang selalu datang mengundang kenangan, adalah momen yang kerap mereka habiskan berdua, bercanda, berbicara tentang impian dan masa depan.

Namun, satu malam, hujan itu berubah menjadi malam yang tidak akan pernah Aruna lupakan. Malam itu, segalanya berubah. Keputusan yang dibuat dalam keterburu-buruan mengubah hubungan mereka selamanya. Aruna merindukan masa itu—masa ketika hujan membawa kebahagiaan, bukan melankolia yang mengiris hati.

Aruna meletakkan foto itu di atas meja, menatapnya dengan penuh perasaan. Ia ingat betul bagaimana Nadia selalu bisa membuatnya tertawa, bahkan saat hari-hari terasa berat. Mereka selalu tahu bagaimana cara saling menguatkan. Tetapi, ketika sebuah rahasia terungkap, semuanya hancur. Ada hal-hal yang tak bisa dijelaskan, bahkan dengan kata-kata terbaik sekalipun.

Sambil menatap foto itu, Aruna merasakan seolah hujan di luar menjadi saksi bisu dari semuanya. Ia teringat percakapan terakhir yang terjadi antara dirinya dan Nadia, percakapan yang membawa keputusan tak terduga.

“Aruna, aku rasa kita harus berhenti,” kata Nadia dengan suara serak, hampir tak terdengar di tengah hujan yang deras malam itu.

Aruna terdiam, tak bisa memahami apa yang baru saja dikatakan oleh sahabatnya. “Apa maksudmu?” tanyanya, mencoba menahan emosi yang mulai membuncah.

“Aku tidak bisa terus seperti ini. Aku merasa kita sudah terlalu jauh. Aku… aku merasa terjebak,” jawab Nadia dengan terbata-bata.

Aruna merasa dunia seakan runtuh di hadapannya. Bagaimana mungkin? Mereka selalu begitu dekat. Selalu ada untuk satu sama lain, bahkan dalam keterpurukan. Tidak ada yang bisa menghancurkan hubungan mereka, atau setidaknya, itu yang Aruna percayai.

“Tapi, kita selalu bersama, Nadia. Kenapa tiba-tiba kamu ingin pergi? Apa yang terjadi?” suara Aruna hampir tak terkendali, mencoba mencari alasan.

Nadia menunduk, dan Aruna bisa melihat mata sahabatnya yang memerah, menahan air mata. “Aku takut, Aruna. Aku takut kalau hubungan kita akan lebih dari sekadar persahabatan. Aku takut perasaan ini akan merusak segalanya.”

Tetes air mata mulai mengalir di pipi Nadia, sementara Aruna merasa hatinya seperti tercabik-cabik. “Nadia… kamu tidak perlu takut. Kita bisa menghadapinya bersama.”

Tapi Nadia hanya menggelengkan kepalanya. “Kita sudah cukup dekat, Aruna. Terlalu dekat, dan itu membuatku takut kehilanganmu.”

Sebuah diam panjang mengisi ruangan itu. Hujan di luar semakin deras, menciptakan suasana yang sepi dan penuh keputusasaan. Aruna merasa dunia itu tiba-tiba terlalu besar, terlalu sunyi, dan ia tidak tahu apa yang harus dilakukan.

“Aku harus pergi, Aruna. Aku perlu waktu untuk diri aku sendiri,” ujar Nadia pelan.

Dan dengan itu, Nadia meninggalkan Aruna, meninggalkan semua kenangan indah yang pernah mereka bagi bersama. Aruna merasa seperti kehilangan sesuatu yang sangat berharga, sesuatu yang tak bisa ia ganti dengan apa pun.

Kembali ke masa kini, Aruna duduk di tepi tempat tidurnya, menatap hujan yang turun semakin deras. Ia tahu, meskipun waktu sudah berlalu lama, ada bagian dari dirinya yang masih terperangkap dalam kenangan itu. Bagian dari dirinya yang masih ingin mencari penjelasan, masih ingin tahu mengapa semuanya berubah begitu cepat. Mengapa Nadia pergi tanpa bisa memberinya kesempatan untuk memperbaiki semuanya.

Ponsel Aruna bergetar, mengalihkan perhatiannya dari foto yang masih ada di meja. Itu adalah pesan dari Dio.

Dio: “Aku tahu hujan membawa banyak kenangan, Aruna. Tapi percayalah, terkadang kenangan itu justru membuat kita lebih kuat. Jangan biarkan hujan menghapus senyumanmu.”

Aruna membalas pesan itu dengan tangan yang sedikit gemetar.

Aruna: “Aku sedang memikirkan masa lalu. Rasanya sulit untuk melepaskan.”

Dio membalas dengan cepat.

Dio: “Kita semua punya masa lalu, Aruna. Tapi masa lalu tak akan pernah kembali. Yang kita punya adalah saat ini, dan itu yang perlu kita jaga.”

Aruna merenung sejenak, menatap pesan Dio. Ada kebenaran dalam kata-katanya. Meskipun hujan membawa kenangan yang menyakitkan, hidup harus terus berjalan. Aruna harus menerima kenyataan, meskipun itu sulit. Dia harus belajar untuk melepaskan masa lalu agar bisa melangkah ke depan.

Dengan napas yang dalam, Aruna menatap hujan yang semakin deras di luar jendela. Di balik hujan itu, ada kesempatan untuk menemukan kedamaian dalam dirinya. Mungkin, hanya dengan menghadapinya, dia bisa mengerti makna sejati dari semua kenangan yang pernah dia buat, dan melepaskan masa lalu yang selalu datang saat hujan turun.*

 

Bab 5: Melodi yang Hilang

Pagi itu, Aruna terbangun dengan perasaan yang entah bagaimana berbeda. Hujan yang semalam turun begitu deras masih menyisakan udara yang lembab dan langit yang kelabu. Ia menarik selimut lebih erat, berusaha menepis rasa cemas yang tiba-tiba datang begitu saja. Tetesan air hujan di kaca jendela membuatnya teringat pada Nadia, sahabat yang dulu sangat dekat dengan dirinya, dan bagaimana melodi kebersamaan mereka kini telah hilang begitu saja, tersapu waktu.

Setelah sarapan, Aruna memutuskan untuk berjalan kaki menuju taman kota. Udara yang segar setelah hujan membuat langkahnya terasa lebih ringan, meskipun hatinya tetap berat. Ia menoleh ke sekeliling, menikmati pemandangan pagi yang tenang. Namun, ada satu hal yang mengganggu pikirannya: suara gitar yang seolah datang dari jauh, melodi yang seakan mengingatkannya pada masa lalu yang tak bisa ia lupakan.

Aruna berhenti sejenak di sebuah bangku taman, memejamkan mata untuk menikmati alunan musik itu. Suara gitar itu membawa kenangan tentang malam-malam mereka bersama Nadia, saat keduanya duduk di tepi danau, bermain gitar dan bernyanyi bersama. Nadia dengan suaranya yang lembut dan Aruna yang memainkan gitar, menciptakan harmoni yang begitu sempurna. Mereka berdua seakan tak bisa dipisahkan oleh apa pun, meski tak ada kata-kata yang bisa mengungkapkan perasaan mereka satu sama lain.

Namun, seperti halnya hujan yang datang dan pergi, begitu pula perasaan mereka. Ada suatu titik di mana mereka tak lagi berbicara tentang masa depan, tak lagi berbicara tentang mimpi bersama. Hujan yang datang malam itu bukan lagi penyambut kebahagiaan, tetapi menjadi saksi bisu dari jarak yang tercipta antara mereka.

Suara gitar itu semakin mendekat, dan Aruna membuka matanya. Seorang pemuda dengan gitar di tangan terlihat duduk di sebuah bangku taman tak jauh darinya. Ia memandang pemuda itu, yang sedang asyik memainkan gitar, terhanyut dalam melodi yang seolah menenangkan hati. Tanpa disadari, Aruna berjalan mendekat dan duduk di bangku yang sama. Pemuda itu melirik sekilas, namun tetap melanjutkan permainannya.

“Suaramu… sangat indah,” Aruna berkata pelan, hampir tidak percaya pada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Dia merasa terhubung dengan melodi yang dimainkan pemuda itu, seolah ada sesuatu yang tersentuh di dalam dirinya.

Pemuda itu berhenti sejenak, tersenyum sambil menatap Aruna. “Terima kasih. Saya sering bermain di sini saat hujan. Ada sesuatu yang saya temukan dalam suara hujan dan gitar,” jawabnya, seolah sudah terbiasa dengan kehadiran orang yang duduk mendengarkan.

Aruna mengangguk, memandang ke arah langit yang masih mendung. “Hujan membawa banyak kenangan bagi saya,” kata Aruna, suara lembutnya bergetar. Pemuda itu tampak memperhatikan Aruna dengan penuh perhatian.

“Hujan seringkali mengingatkan kita pada sesuatu yang hilang, bukan?” tanya pemuda itu, matanya menatap jauh ke depan, seperti menyimpan banyak cerita yang tak terucapkan.

Aruna terdiam, terhanyut dalam kata-kata itu. “Ya,” jawabnya, “Ada banyak hal yang hilang karena hujan. Ada melodi yang dulu selalu kami mainkan bersama.”

Pemuda itu tersenyum samar, kemudian melanjutkan petikan gitar yang melankolis. Aruna merasa setiap nada yang dimainkan mengalir begitu dalam, seolah menyentuh setiap sudut hatinya. Hatinya berdebar, mengingatkan pada setiap kenangan bersama Nadia yang kini terasa jauh sekali.

“Apakah kamu masih berharap melodi itu kembali?” tanya pemuda itu dengan lembut, seakan merasakan kegelisahan dalam diri Aruna.

Aruna menarik napas panjang, menatap pemuda itu dengan mata yang penuh pertanyaan. “Aku… aku tidak tahu. Terkadang aku merasa seperti ada sesuatu yang hilang, dan aku tak bisa menemukannya lagi,” jawab Aruna, suaranya hampir tak terdengar di tengah alunan musik itu.

Pemuda itu berhenti sejenak, menatap Aruna dengan penuh perhatian. “Terkadang, melodi yang hilang itu bukanlah sesuatu yang bisa kita temukan kembali. Namun, kita bisa menciptakan melodi baru, melodi yang lebih kuat dan lebih indah dari sebelumnya.”

Aruna terdiam, mencerna kata-kata pemuda itu. Ia merasakan ada sesuatu yang mengalir dalam dirinya, sesuatu yang perlahan mulai menembus dinding-dinding hatinya. Melodi itu, yang pernah ada bersama Nadia, mungkin memang telah hilang. Tetapi, mungkin saja ada melodi baru yang bisa diciptakan, melodi yang membawa harapan dan kedamaian.

“Terima kasih,” Aruna berkata pelan, suaranya hampir tenggelam dalam suara gitar itu. Pemuda itu tersenyum dan melanjutkan permainannya, sementara Aruna duduk dalam diam, memikirkan kata-kata yang baru saja ia dengar.

Ketika pemuda itu selesai memainkan lagu, Aruna berdiri dan memberi tepuk tangan kecil. “Itu luar biasa. Terima kasih sudah membiarkan saya mendengarkan,” katanya dengan tulus.

Pemuda itu tersenyum dan mengangguk. “Senang bisa menemani sedikit waktu kamu.”

Aruna melangkah pergi, meninggalkan taman itu dengan hati yang sedikit lebih ringan. Melodi yang tadi ia dengar masih bergaung di telinganya, mengingatkannya bahwa meskipun ada banyak hal yang hilang, ada juga banyak kesempatan untuk menciptakan sesuatu yang baru. Dengan langkah yang lebih mantap, Aruna berjalan menyusuri trotoar, membiarkan hujan yang turun lagi membasahi wajahnya. Ia tahu, meskipun melodi lama itu hilang, ia akan menemukan jalan menuju melodi baru yang lebih baik, lebih kuat, dan lebih penuh harapan.

Aruna menatap hujan yang turun dengan tenang, merasa bahwa meskipun kenangan itu tak bisa diubah, masa depan tetap terbuka dengan kemungkinan baru yang tak terduga. Seperti melodi yang baru saja ia dengar, hidupnya pun bisa berputar ke arah yang baru, jauh lebih indah dari apa yang pernah ia bayangkan sebelumnya.*

Bab 6: Tarian di Bawah Hujan

Hujan kembali turun dengan derasnya, menciptakan tirai air yang menggantung di udara, menyelimuti kota dengan kabut dingin. Aruna berjalan cepat menyusuri trotoar yang basah, langkahnya terhuyung sedikit karena genangan air yang menggenang di sana-sini. Meski cuaca tidak mendukung, ia merasa tidak ada yang lebih melegakan daripada berjalan di tengah hujan. Ada sesuatu yang selalu membebaskan dalam kebasahan itu, sebuah ketenangan yang bisa ditemui hanya ketika langit menangis.

Pagi ini, suasana hatinya juga seakan tercurah bersama hujan. Setelah pertemuan singkat dengan pemuda gitar yang ia temui di taman, Aruna merasa ada bagian dari dirinya yang mulai membuka kembali. Kata-kata pemuda itu tentang “melodi yang hilang” dan “menciptakan sesuatu yang baru” terus terngiang di pikirannya. Ada semacam harapan yang tumbuh di dalam dirinya, perlahan-lahan mengikis dinding hati yang selama ini terasa begitu kokoh.

Namun, perasaan itu masih bertarung dengan bayang-bayang masa lalu, bayang-bayang Nadia yang selalu ada di setiap sudut pikirannya. Kenangan mereka bersama—tertawa di bawah hujan, menyanyikan lagu bersama, berbagi cerita tentang segala hal yang mereka inginkan di masa depan—terasa begitu dekat, namun kini terasa sangat jauh. Kenapa semuanya harus berubah begitu cepat?

Tiba-tiba, di tengah lamunan itu, Aruna merasakan sebuah tangan yang menyentuh bahunya dengan lembut. Ia menoleh, dan matanya bertemu dengan sosok yang telah lama tidak ia lihat. Nadia. Di bawah hujan yang turun tanpa ampun, Nadia berdiri di sana, dengan jaket tebal yang melindungi tubuhnya dan senyuman yang, meskipun penuh kehangatan, tetap membawa aura kesedihan yang tak bisa disembunyikan.

“Aruna,” Nadia memanggilnya dengan suara lembut, suaranya yang dulu selalu menghangatkan hati Aruna kini terdengar begitu penuh makna. “Aku tahu kita sudah lama tidak bertemu. Maaf kalau aku mengganggu, tapi aku rasa aku harus menemui kamu.”

Aruna terdiam sejenak, jantungnya berdebar cepat. Perasaan yang campur aduk—antara kebahagiaan, kebingungan, dan rasa rindu—tercampur aduk di dalam dirinya. Ia ingin berbicara, ingin bertanya begitu banyak hal, tapi kata-kata terasa begitu sulit untuk keluar.

“Kenapa sekarang?” Aruna akhirnya berhasil mengeluarkan kata-kata itu, suaranya lebih pelan dari yang ia harapkan. “Kenapa kamu datang di tengah hujan seperti ini?”

Nadia tersenyum, meskipun senyum itu terlihat agak canggung. “Aku tidak tahu,” jawabnya dengan lirih. “Mungkin karena hujan selalu mengingatkanku pada kita—pada saat-saat kita dulu bersama. Saat hujan turun, aku merasa seperti bisa mendengar suara kita bernyanyi bersama, bisa mendengar melodi yang hilang itu.”

Aruna merasa seperti ada sesuatu yang mengalir di dalam dirinya. Kata-kata Nadia membuatnya teringat pada semua kenangan indah mereka, namun sekaligus mengingatkan pada rasa kehilangan yang sudah lama ia sembunyikan. Tanpa sadar, ia mulai berjalan ke arah Nadia, meskipun tubuhnya basah kuyup oleh hujan.

“Apa yang kamu inginkan, Nadia?” tanya Aruna dengan suara yang lebih tegas. “Setelah semua yang terjadi, kenapa kamu datang lagi?”

Nadia menghela napas panjang, menatap Aruna dengan mata yang penuh perasaan. “Aku tidak bisa melupakan kita, Aruna. Tidak pernah. Aku tahu aku salah, aku tahu aku menghilang tanpa jejak, dan itu salahku. Tapi aku ingin kita berbicara, ingin kita mengerti satu sama lain lagi.”

Aruna memandang Nadia dengan tatapan yang penuh pertanyaan, kebingungannya semakin dalam. Semua yang ia rasakan seperti terombang-ambing di antara rindu dan amarah yang sudah lama terkubur. Namun, sebelum ia sempat mengatakan sesuatu, Nadia melangkah lebih dekat, dan tanpa berkata-kata, mereka berdiri berdampingan di tengah hujan.

Seiring hujan semakin deras, mereka mulai bergerak bersama, langkah mereka menyatu dalam irama yang tak terucapkan. Tanpa disadari, Aruna mulai merasakan sesuatu yang lain, sesuatu yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Tangan Nadia yang terulur pelan membuat Aruna ragu sejenak, namun akhirnya ia menerima. Mereka berdua mulai menari di bawah hujan, gerakan mereka perlahan namun penuh makna.

Ada keheningan yang terasa begitu dalam di antara mereka, seolah-olah dunia berhenti sejenak untuk memberi mereka ruang. Tarian mereka tidak sempurna—kaki Aruna sempat tersandung genangan air, dan Nadia hampir jatuh beberapa kali—tetapi mereka tertawa. Tertawa seperti dulu, tanpa beban, tanpa ada pikiran lain selain kebersamaan yang mereka rasakan di bawah hujan.

“Kenapa kita berhenti?” tanya Nadia, suaranya hampir tenggelam dalam hujan. “Kenapa kita berhenti berjuang untuk ini, untuk kita?”

Aruna terdiam, menatap mata Nadia yang penuh dengan perasaan yang begitu dalam. “Aku… aku takut, Nadia. Takut jika kita tidak bisa kembali seperti dulu. Takut jika aku harus merasakan perasaan ini lagi—rindu yang begitu besar, rasa kehilangan yang begitu dalam.”

Nadia menggenggam tangan Aruna dengan lebih erat, seolah memberikan kekuatan. “Aku juga takut,” jawabnya dengan suara lembut. “Tapi kita tidak akan tahu jika kita tidak mencobanya lagi. Kita tidak akan tahu jika kita tidak berani membuka diri untuk kesempatan yang baru.”

Aruna merasa hatinya sedikit terbuka. Ia tahu, meskipun hujan masih turun dengan deras, meskipun perasaan itu masih campur aduk, mereka tidak bisa terus berlarut-larut dalam kesedihan. Mereka tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang masa lalu yang sudah berlalu.

Di tengah hujan, Aruna dan Nadia melanjutkan tarian mereka, langkah-langkah kecil yang penuh harapan. Tarian yang bukan hanya tentang melodi yang hilang, tetapi tentang kemungkinan baru, tentang keberanian untuk mencintai dan diterima kembali. Dan meskipun hujan terus mengguyur mereka, perasaan itu perlahan mengalir, seolah membasahi segala keraguan yang ada.*

Bab 7: Bayangan yang Mengintai

Aruna menatap langit yang mulai gelap, meskipun matahari belum sepenuhnya tenggelam. Hujan yang mengguyur siang tadi kini hanya meninggalkan genangan air di jalan-jalan kota, menciptakan pantulan cahaya dari lampu jalan yang mulai menyala. Namun, suasana hati Aruna tidak bisa disamakan dengan keindahan yang tampak di luar. Ada sesuatu yang mengganjal, sesuatu yang terus mengintai dari balik bayangan masa lalu. Sebuah rasa yang membuatnya merasa seperti ada seseorang yang sedang mengamati setiap gerak-geriknya.

Ia berhenti sejenak di depan sebuah kafe kecil yang sudah sering ia kunjungi sejak dulu, tempat yang selalu membuatnya merasa tenang. Namun kali ini, ketenangan itu terasa jauh. Ia merasa seperti ada sesuatu yang berbeda di udara, semacam kehadiran yang tak terlihat namun sangat nyata. Ia mencoba menepis perasaan itu, berusaha untuk tidak terlalu memikirkannya, tapi semakin lama semakin sulit untuk mengabaikan.

Pikirannya melayang kembali pada pertemuannya dengan Nadia beberapa hari yang lalu, saat mereka berdua menari di bawah hujan. Meski ada banyak hal yang belum terungkap antara mereka, Aruna merasa ada semacam kelegaan setelah bertemu lagi. Namun, kelegaan itu terasa sangat rapuh. Seperti seutas benang yang tipis, yang bisa putus begitu saja jika tidak hati-hati menjaganya.

Saat ia berbalik menuju pintu kafe, sebuah sosok tiba-tiba muncul di depannya, membuat Aruna terkejut dan hampir terjatuh. Sosok itu tidak lain adalah pemuda dengan gitar yang ia temui pertama kali di taman. Pemuda yang menyebut dirinya sebagai Dira.

“Aruna,” ucap Dira dengan suara yang tenang, namun ada sesuatu yang berbeda di dalamnya. “Kau terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat.”

Aruna menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. “Tidak ada apa-apa,” jawabnya sambil memaksakan senyum. “Aku hanya sedikit kelelahan.”

Dira mengamati wajah Aruna dengan seksama, seolah bisa membaca apa yang ada di balik senyumnya. “Kau tidak bisa berbohong,” katanya, senyumnya sedikit miring. “Aku tahu, ada sesuatu yang sedang mengganggu pikiranmu.”

Aruna terdiam sejenak, ragu untuk berbicara lebih lanjut. Ada semacam ketakutan yang tiba-tiba muncul di dalam dirinya, ketakutan akan kenyataan yang tidak bisa ia hindari. Apakah ia siap untuk membuka hati lagi? Apakah ia siap untuk menghadapi bayang-bayang yang terus mengikuti dirinya? Bayang-bayang yang bukan hanya datang dari masa lalu, tetapi juga dari orang-orang yang belum bisa ia lepaskan.

“Ada sesuatu yang aneh,” Aruna akhirnya berkata, suaranya terdengar pelan dan serak. “Aku merasa seperti ada yang mengawasi setiap langkahku. Seperti ada sesuatu yang selalu mengintai, mengikutiku tanpa aku tahu siapa atau apa itu.”

Dira menatap Aruna dengan tatapan serius. “Aku mengerti,” jawabnya pelan. “Terkadang, bayang-bayang masa lalu memang sulit untuk kita lepaskan. Dan kadang, mereka muncul dengan cara yang tak terduga.”

Aruna merasa ada kehangatan dalam kata-kata Dira, namun perasaan aneh itu tetap membayangi dirinya. Mengapa ia merasa seolah-olah ada seseorang yang terus mengamatinya? Ia berusaha mengingat kembali setiap kejadian yang telah terjadi dalam hidupnya, namun semuanya terasa begitu kabur. Ada sesuatu yang hilang, dan ia tidak bisa menentukannya.

“Siapa yang menurutmu mengawasi?” tanya Dira, seolah membaca pikirannya.

Aruna menggigit bibir bawahnya, kebingungannya semakin dalam. “Aku tidak tahu,” jawabnya. “Tapi, aku merasa seolah-olah aku sudah mengenal sosok ini, meski aku tidak bisa ingat kapan atau bagaimana.”

Dira mengangguk pelan. “Mungkin itu hanya perasaanmu saja. Tetapi hati-hati, Aruna. Terkadang, bayang-bayang yang kita rasa ada di sekitar kita bukan hanya berasal dari masa lalu, tetapi juga bisa menjadi hal-hal yang kita sendiri tidak menginginkannya.”

Aruna memandang Dira dengan tatapan yang sedikit ragu, namun kata-kata Dira terasa masuk akal. Mungkin saja dia benar. Mungkin semuanya hanya perasaan berlebihan, perasaan yang datang karena rasa takut dan rindu yang bercampur aduk. Tapi entah mengapa, hatinya masih merasa gelisah. Perasaan seperti ada yang mengintai itu terus mengganggu, dan ia tidak bisa menepisnya.

Dira menatap Aruna dengan perhatian penuh. “Aku bisa membantu,” tawarnya. “Aku bisa menemanimu, jika itu yang kau butuhkan.”

Aruna tersenyum tipis. “Terima kasih, Dira. Aku akan baik-baik saja. Mungkin aku hanya perlu waktu untuk berpikir.”

Namun, dalam hatinya, Aruna tahu bahwa ia tidak bisa begitu saja mengabaikan perasaan itu. Bayang-bayang yang mengintai itu semakin mendekat, dan ia bisa merasakannya di setiap sudut jalan, di setiap keheningan yang datang di malam hari. Sesuatu yang gelap dan misterius, seolah menunggu untuk diungkapkan.

Saat Aruna kembali berjalan menuju pintu kafe, matanya tertumbuk pada bayangan yang bergerak cepat di ujung jalan. Sosok itu hanya terlihat sekilas, namun cukup untuk membuat jantung Aruna berdegup kencang. Ia menoleh dengan cepat, tetapi tak ada siapa-siapa. Hanya jalanan yang basah dan lengang.

“Aruna, ada apa?” Dira bertanya, tampak khawatir melihat perubahan ekspresi Aruna.

Aruna hanya menggelengkan kepala, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa semua ini hanyalah imajinasinya. “Tidak ada apa-apa, Dira. Aku hanya lelah.”

Namun, di dalam hati, Aruna tahu bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar kelelahan. Sesuatu yang tersembunyi di balik bayangan itu, yang mungkin akan segera muncul dan mengungkapkan kebenarannya. Dan Aruna tidak tahu apakah ia siap untuk menghadapinya.*

Bab 8: Surat Tanpa Alamat

Malam itu, Aruna duduk di meja kerjanya dengan tatapan kosong, menatap selembar kertas putih yang terbuka di hadapannya. Lampu meja yang remang-remang menyinari ruang kerjanya yang sudah lama tidak tertata rapi. Di meja itu, selain selembar kertas putih, hanya ada beberapa buku yang berserakan dan secangkir teh yang hampir dingin. Tidak ada yang lebih mengganggu pikirannya saat ini selain surat yang ia temukan beberapa hari yang lalu di bawah pintu kamarnya.

Surat itu tampak biasa saja—tanpa alamat, tanpa nama pengirim. Hanya ada tulisan tangan yang elegan, namun sedikit terburu-buru. Aruna masih ingat betul bagaimana hatinya berdebar-debar ketika membuka amplop itu. Ia sempat merasa bahwa ini adalah surat dari seseorang yang ia kenal, mungkin Dira, yang menulisnya dengan perasaan yang dalam. Namun, setelah membacanya, ia merasa lebih bingung daripada sebelumnya.

“Aruna, aku tahu kau akan bertanya-tanya siapa aku. Tapi aku yakin kau akan mengenali jejakku. Jangan khawatir, aku tidak akan mengganggu hidupmu. Namun, ada hal-hal yang harus kau tahu sebelum semuanya terlambat. Jangan biarkan masa lalumu menghalangimu. Temui aku di tempat yang kita sering kunjungi dulu. Aku akan menunggumu.”

Itu saja. Tidak ada petunjuk lebih lanjut. Tidak ada nama, tidak ada penjelasan lebih banyak. Aruna meletakkan surat itu di atas meja dan melipatnya perlahan, berusaha menenangkan diri. Ia tahu ini pasti berkaitan dengan sesuatu yang telah lama ia coba lupakan, sesuatu yang selalu mengganggu pikirannya namun ia coba untuk tidak mengingatnya. Namun, sekarang surat ini kembali membangkitkan kenangan itu, kenangan yang semakin sulit untuk ditanggalkan.

Teringat kembali, tempat yang disebut dalam surat itu adalah sebuah taman kecil di pinggiran kota, tempat yang dulu sering ia kunjungi bersama teman-temannya. Taman itu selalu menjadi tempat pelarian dari rutinitas yang melelahkan. Namun, kini taman itu terasa seperti kenangan yang sangat jauh, begitu jauh sehingga Aruna merasa seolah tempat itu tidak pernah ada.

Namun, ada sesuatu dalam surat itu yang membuatnya ragu. Kata-kata yang tertulis seolah memberi petunjuk tentang sesuatu yang lebih gelap, yang lebih misterius daripada yang bisa ia bayangkan. “Aku akan menunggumu,” kata pengirim surat itu. Siapa yang menunggu? Dan apa yang sebenarnya harus ia temui di sana?

Suasana malam semakin hening, hanya terdengar suara detakan jam dinding yang berirama lambat. Aruna meraih cangkir tehnya, namun rasa dingin itu semakin terasa menyentuh jari-jarinya. Ia menggigit bibir bawahnya, memikirkan apakah ia harus pergi ke tempat itu atau tidak. Ada banyak pertanyaan yang menghantuinya, tetapi ia merasa seolah surat ini adalah panggilan dari sesuatu yang belum ia pahami. Bagaimana jika ini adalah kesempatan untuk mengungkapkan sesuatu yang selama ini tersembunyi? Atau, bagaimana jika ini hanya jebakan, sebuah permainan dari seseorang yang memiliki niat buruk?

Pikirannya semakin kacau. Aruna tahu ia tidak bisa terus hidup dalam kebingungannya. Ia harus mencari jawaban. Meskipun ketakutan itu menyelimuti, ia merasa tidak bisa menghindar lebih lama. Masa lalu itu terus mengejarnya, dan sekarang surat tanpa alamat itu adalah pemicunya.

Pagi berikutnya, Aruna memutuskan untuk pergi ke taman yang disebutkan dalam surat itu. Ia merasa seperti sedang berjalan menuju sesuatu yang tak pasti, seperti seorang pejalan kaki yang memasuki wilayah yang asing namun familiar. Sesampainya di taman itu, suasana pagi yang sejuk tidak mampu menghilangkan rasa cemas yang melingkupi dirinya. Tidak ada yang tampak aneh, hanya beberapa orang yang sedang berjalan-jalan sambil menikmati udara pagi yang segar. Namun, bagi Aruna, tempat ini terasa berbeda.

Ia melangkah perlahan, menyusuri jalan setapak yang pernah ia lewati bertahun-tahun lalu. Pohon-pohon besar yang berjajar di sepanjang jalan kini tampak lebih rimbun, namun mereka tetap memberikan ketenangan seperti dulu. Hanya saja, perasaan Aruna tidak sama. Hatinya berdebar lebih cepat daripada biasanya. Sepertinya, ada seseorang yang sedang mengamati setiap gerak-geriknya, seperti yang ia rasakan beberapa hari yang lalu.

Aruna berhenti di bangku yang terletak di bawah pohon besar, tempat yang biasa ia kunjungi bersama teman-temannya dulu. Ia duduk di sana, menunggu dengan sabar meskipun jantungnya berdegup semakin kencang. Saat itu, dia merasa seperti ada sesuatu yang sedang menunggunya, tetapi ia tidak bisa melihat apa itu. Hanya ada keheningan dan bayangan yang samar-samar bergerak di dalam pikirannya.

Tiba-tiba, ia mendengar langkah kaki mendekat. Aruna menoleh, dan matanya langsung terfokus pada sosok yang muncul di hadapannya. Sosok itu adalah seorang pria muda, mengenakan jaket hitam dengan topi yang menutupi sebagian wajahnya. Di tangannya, ia memegang sebuah amplop yang tampak familiar—amplop yang persis sama dengan yang ditemukan Aruna beberapa hari lalu.

Hati Aruna berdebar hebat. Ia berdiri dan melangkah maju. “Kau… yang mengirim surat itu?” tanyanya, suaranya agak terputus-putus.

Pria itu mengangguk perlahan, kemudian membuka amplop itu dan menyerahkannya pada Aruna. “Ini untukmu,” katanya dengan suara yang rendah dan dalam. “Kau harus tahu semua ini, Aruna. Tentang siapa aku, dan mengapa aku menulis surat ini.”

Aruna menerima amplop itu dengan tangan gemetar. Ia bisa merasakan ketegangan di antara mereka, seperti ada rahasia yang begitu dalam dan kuat, yang jika terbuka, akan mengubah segalanya. Ia membuka amplop itu, dan kali ini, surat yang ada di dalamnya berisi sebuah nama. Nama yang selama ini ia coba lupakan.

“Nadia.”

Nama itu membuat jantung Aruna berhenti sejenak. Ia menatap pria itu dengan kebingungannya yang semakin dalam. Ini bukan hanya tentang surat. Ini lebih besar dari itu. Ada sesuatu yang lebih dari sekadar rahasia yang ingin diungkapkan. Dan Aruna tahu, ia baru saja memasuki babak baru dalam perjalanan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.*

Bab 9: Kepergian di Tengah Badai

Hujan turun dengan derasnya, menyapu jalanan yang sudah lama tidak disapa oleh air. Langit mendung, seolah merasakan apa yang sedang dialami Aruna saat itu. Udara malam yang dingin menyusup ke kulitnya, tetapi rasa sesak di dadanya jauh lebih menekan daripada dinginnya hujan yang turun tanpa henti. Ia berdiri di tepi jendela kamar, menatap ke luar, melihat tetes-tetes air yang jatuh seperti butiran berlian, namun tidak bisa menenangkan pikirannya. Setiap tetes hujan seakan menjadi pengingat akan semua yang hilang, akan semua yang telah berlalu.

Sejak surat itu muncul, hidup Aruna tidak pernah sama lagi. Ia merasa ada dua dunia yang bertarung dalam dirinya. Dunia yang ia kenal—dunia yang penuh dengan rutinitas dan kebiasaan—dan dunia yang tidak bisa ia pahami, yang menyimpan begitu banyak rahasia dan kenangan yang terkubur jauh di dalam hatinya. Dunia yang dikaitkan dengan nama yang sekarang terus terngiang di pikirannya, nama yang membuat semuanya menjadi sangat rumit: Nadia.

Nadia, sahabat sekaligus cinta pertama yang ia kenal, yang pergi begitu saja tanpa ada penjelasan. Kepergian yang meninggalkan luka yang dalam, yang Aruna coba untuk sembuhkan dengan berlari dari kenangan itu. Namun kini, surat-surat itu, serta pengakuan dari pria misterius di taman, telah mengingatkannya kembali pada masa lalu yang ia kira telah lama ia lupakan.

Ketika hujan semakin deras, Aruna merasakan dorongan untuk pergi, untuk mencari jawaban yang telah lama ia tunda. Ia merasa seperti dikelilingi badai, tidak hanya oleh hujan yang mengguyur bumi, tetapi juga badai dalam dirinya—perasaan yang membingungkan, kenangan yang terpendam, dan cinta yang tidak pernah usai. Ia tahu bahwa keputusan untuk mencari tahu lebih banyak tentang Nadia dan apa yang sebenarnya terjadi akan membawanya pada satu titik yang tidak bisa ia hindari. Sebuah keputusan yang akan mengubah segala hal.

Aruna mengenakan jas hujan dan melangkah keluar dari rumahnya. Ia melawan angin yang semakin kencang, berusaha menahan tubuhnya agar tidak terhanyut oleh kekuatan badai. Hujan seakan semakin lebat, tetapi Aruna tidak peduli. Dalam hatinya, ada sebuah kekuatan yang membawanya melangkah. Mungkin ini adalah kesempatan untuk menutup bab yang telah lama terbuka, untuk menerima kenyataan yang selama ini ia hindari.

Ia menuju ke tempat yang sama, taman yang dulu menjadi saksi bisu bagi setiap pertemuan mereka. Tempat itu sekarang tampak berbeda. Jalan setapak yang dulu dilalui dengan langkah ringan kini dipenuhi dengan genangan air. Namun, Aruna tidak berhenti. Langkahnya semakin cepat, seolah badai yang datang tidak cukup kuat untuk menghalangi tekadnya. Hatinya berdebar semakin cepat.

Sesampainya di sana, ia mencari sosok pria yang tadi ia temui. Namun, tak ada yang tampak. Hanya suara hujan yang semakin keras dan angin yang berdesir di antara dedaunan. Aruna berhenti, mencari-cari di antara pepohonan, berharap menemukan jawaban, berharap menemukan seseorang yang bisa menjelaskan apa yang terjadi.

“Aruna,” sebuah suara memanggilnya dengan lembut dari belakang. Suara itu sudah sangat dikenal olehnya, meskipun sudah bertahun-tahun tidak terdengar. Aruna menoleh dan melihat Nadia berdiri di sana, basah kuyup oleh hujan, matanya memancarkan kelelahan dan penyesalan.

Hati Aruna berdegup kencang, tetapi ia tetap diam. Kenangan tentang Nadia, tentang masa lalu mereka yang indah dan penuh harapan, datang menyerbu begitu saja. Namun kali ini, tidak ada kebahagiaan yang menyertai pertemuan ini. Hanya ada kerinduan yang mendalam dan kesedihan yang tak terbendung.

“Apa yang terjadi, Nadia? Kenapa kau pergi tanpa mengatakan apa-apa? Kenapa kau meninggalkan aku begitu saja?” Aruna berkata dengan suara yang bergetar, hampir tidak bisa menahan tangis yang sudah lama ia pendam.

Nadia menghela napas panjang, seolah berat untuk mengucapkan kata-kata yang telah lama terpendam. “Aruna,” ia mulai, suaranya penuh dengan penyesalan, “aku pergi karena aku tidak ingin menjadi beban untukmu. Aku tahu aku tidak bisa memberikan apa yang kau butuhkan. Tapi aku selalu mencintaimu, dengan cara yang berbeda, cara yang tak bisa aku jelaskan.”

Aruna terdiam, bingung. “Tapi kenapa? Mengapa kau tidak memberiku kesempatan untuk memahami?” tanyanya dengan suara lirih, hampir tak terdengar.

“Aku… aku takut, Aruna. Aku takut kalau aku tetap tinggal, aku akan semakin menyakiti dirimu. Aku punya masalah yang tidak bisa aku bagi denganmu,” jawab Nadia, matanya tampak berkilauan oleh air hujan yang menetes di pipinya. “Aku harus pergi. Aku harus menyelesaikan semuanya sendirian.”

Aruna merasakan sakit yang luar biasa, seperti ada sebuah jarum yang menembus dadanya. Ia ingin berteriak, ingin mengungkapkan semua yang ia rasakan, tetapi kata-kata itu seakan terjebak di tenggorokannya. Ia tidak tahu harus berkata apa lagi. Semuanya terasa begitu rumit dan tak terjangkau.

Nadia mendekat, menatap Aruna dengan penuh penyesalan. “Maafkan aku, Aruna. Aku tahu aku tidak bisa memperbaiki semuanya. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku selalu menghargai setiap detik yang kita habiskan bersama.”

Dengan tangan gemetar, Aruna meraih tangan Nadia, mencoba merasakan kehangatannya di tengah hujan yang deras. “Aku… aku tidak tahu apa yang harus aku katakan,” jawabnya dengan suara serak. “Aku ingin kita bisa kembali, Nadia. Aku ingin semua ini bisa berbeda.”

Tapi Nadia hanya menggelengkan kepalanya perlahan. “Kadang-kadang, ada hal-hal yang tidak bisa kita ubah, Aruna. Kadang-kadang, kita harus melepaskan, meskipun hati kita ingin menahan. Aku harus pergi, Aruna. Aku harus pergi untuk diriku sendiri.”

Dengan kata-kata itu, Nadia berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Aruna yang berdiri di sana, terdiam dalam hujan. Aruna ingin mengejarnya, tetapi tubuhnya seakan kaku, tidak bisa bergerak. Ia tahu bahwa ini adalah saat perpisahan yang sejati. Meskipun hujan terus turun, meskipun badai semakin kuat, Aruna tahu bahwa ada hal-hal yang lebih kuat dari cuaca buruk. Ada kenangan yang tak bisa dihentikan, ada cinta yang tak bisa dijelaskan, dan ada kepergian yang harus diterima meskipun hati menolak.

Di bawah hujan yang semakin lebat, Aruna menatap sosok Nadia yang perlahan menghilang di kejauhan, tahu bahwa ini adalah akhir dari babak lama dalam hidupnya. Kepergian Nadia adalah badai yang tidak akan pernah terlupakan.*

Bab 10: Jejak di Atas Hujan

Hujan masih menyelimuti kota dengan derasnya, namun tidak ada lagi rasa dingin yang bisa menahan langkah Aruna. Malam itu, ia berdiri di tempat yang sama, di tengah-tengah jalan yang pernah menjadi saksi bisu dari berbagai kenangan indah bersama Nadia. Jalanan yang kini basah, seakan menyimpan jejak-jejak masa lalu yang tak mudah untuk dilupakan. Aruna memandang ke sekelilingnya, merasakan hembusan angin yang dingin, namun hatinya terasa lebih hangat dari sebelumnya, meskipun masih penuh dengan keraguan dan kesedihan.

Ketika ia berjalan menyusuri trotoar, jejak-jejak air yang tertinggal di jalan tampak seperti bayangan masa lalu yang terus mengikuti langkahnya. Hujan ini—meskipun mengingatkannya pada kehilangan dan perpisahan—juga menjadi pengingat akan sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang telah lama tersembunyi di hatinya. Perasaan yang tidak pernah benar-benar hilang, yang selalu menunggu waktu untuk muncul kembali. Cinta, meskipun tertutup oleh banyak lapisan, tetap ada, dan itu adalah hal yang paling nyata yang masih tersisa.

Aruna menatap hujan dengan pandangan kosong, berusaha menenangkan pikirannya yang terus dipenuhi oleh kenangan bersama Nadia. Seiring langkahnya yang pelan namun pasti, sebuah suara kecil di dalam hatinya mulai berbicara. Ia tahu bahwa perpisahan itu adalah hal yang tak bisa dihindari, namun ia juga menyadari bahwa ada sesuatu yang harus ia temui, sebuah jawaban yang ia cari selama ini. Meskipun rasa sakit itu begitu dalam, perasaan rindu dan cinta yang terus mengalir dalam dirinya tidak bisa dipadamkan begitu saja.

Ketika Aruna hampir mencapai ujung jalan, ia melihat sebuah sosok berdiri di bawah sebuah lampu jalan. Sosok itu tampak samar, namun Aruna bisa merasakan kehadirannya. Dengan langkah pelan, ia mendekati, merasakan detak jantungnya semakin cepat. Apakah itu Nadia? Apakah mungkin ia kembali?

Hati Aruna berdegup lebih cepat saat ia mendekat dan melihat wajah yang sangat dikenalnya. Bukan Nadia. Tetapi seseorang yang ia kenal dengan baik. Seorang pria yang selama ini ia hindari, yang selalu hadir dalam setiap jejak yang tertinggal. Tak terasa, bibirnya mengeluarkan nama yang sudah lama ia pendam.

“Raka…” Aruna memanggil, suaranya serak, hampir tak terdengar oleh angin dan hujan yang masih deras.

Raka berdiri di sana, memandang Aruna dengan tatapan yang penuh arti. “Aruna,” jawabnya dengan suara lembut, “Aku tahu kau akan datang.”

Aruna berhenti beberapa langkah darinya, tidak tahu harus berkata apa. Ada banyak hal yang ingin ia ungkapkan, tetapi semuanya terasa begitu rumit dan tak terjangkau. Raka adalah bagian dari kisah yang sama, namun mereka selalu berada di jalur yang berbeda. Ada banyak hal yang belum terucap antara mereka, tetapi tak ada satu pun yang lebih penting daripada perasaan yang ada di dalam hati Aruna saat ini.

“Kau mencari Nadia, bukan?” tanya Raka, seolah bisa membaca pikiran Aruna.

Aruna terdiam sejenak, mengangguk perlahan. “Aku… aku tidak tahu apa yang terjadi padanya, Raka. Aku hanya ingin tahu apa yang salah. Kenapa ia pergi tanpa memberiku penjelasan?”

Raka menarik napas dalam-dalam, tampaknya ia telah lama menunggu saat ini. “Aruna, Nadia… ia bukan pergi begitu saja tanpa alasan. Ia punya alasan untuk semuanya. Tapi terkadang, orang yang kita sayangi tidak bisa memberi tahu kita seluruhnya. Mereka memilih untuk melangkah mundur, agar kita bisa maju. Meskipun itu menyakitkan.”

Aruna menatap Raka dengan pandangan penuh kebingungan. “Apa maksudmu? Kenapa kau tahu begitu banyak tentang Nadia?”

Raka mengalihkan pandangannya, menatap jalanan yang basah oleh hujan, seolah berpikir keras sebelum menjawab. “Karena aku juga mengenal Nadia. Aku juga bagian dari cerita ini, Aruna. Ada banyak hal yang tak terungkap, dan aku adalah bagian dari itu.”

“Bagian dari apa?” tanya Aruna, suara hatinya penuh dengan rasa penasaran dan sedikit kemarahan.

“Ada hal-hal yang kau tidak tahu, Aruna. Hal-hal yang terjadi sebelum kau mengenal Nadia, yang terjadi sebelum semuanya mulai berubah. Aku tahu kau merasa bingung dan terluka, tapi percayalah, kadang-kadang, kita harus menghadapi kenyataan pahit untuk bisa melangkah lebih jauh.” Raka menatap Aruna dengan penuh perhatian. “Kadang, kita tidak bisa terus menggantungkan diri pada masa lalu. Kadang, kita harus melepaskan dan memberi ruang untuk hal baru.”

Aruna menunduk, mencoba mencerna kata-kata Raka. Namun, di dalam hatinya, ia tahu bahwa apa yang dikatakan Raka tidak sepenuhnya salah. Raka benar—mungkin ia memang terlalu terikat pada kenangan dan harapan yang tak lagi bisa ia genggam. Hujan di malam itu, meskipun deras, seolah memberikan sebuah pertanda. Tetesan-tetesan air yang jatuh adalah seperti jejak-jejak yang tertinggal di jalanan. Jejak-jejak yang harus diikuti, jejak-jejak yang akan membawa Aruna pada sebuah titik di mana ia harus membuat pilihan.

Raka melangkah mendekat, memberikan sedikit ruang di antara mereka. “Aruna,” kata Raka, suaranya kini lebih lembut, “Aku tidak akan memaksa kau untuk memilih sesuatu yang kau belum siap, tapi aku ingin kau tahu bahwa aku selalu ada. Aku akan menunggumu, di sini, di tempat yang sama. Kau tidak harus menghadapinya sendirian.”

Aruna menatap Raka dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Ada kebingungannya, ada rasa kehilangan yang mendalam, tetapi juga ada rasa lega yang aneh. Kepergian Nadia mungkin membawa luka, namun hadirnya Raka membuka kesempatan untuk melihat dunia dengan cara yang berbeda.

Hujan semakin reda, dan langit perlahan mulai cerah. Namun, Aruna tahu bahwa ia sedang berada di ujung sebuah perjalanan panjang. Jejak yang tertinggal di atas hujan malam ini adalah bagian dari proses menemukan kembali dirinya. Mungkin ini bukan tentang mencari jawaban dari masa lalu, melainkan tentang menerima kenyataan dan melangkah maju—mencari apa yang bisa ia temukan dalam perjalanan yang masih panjang.

Dengan satu langkah lagi, Aruna memutuskan untuk mengikuti jejak yang terbentuk di atas hujan, jejak yang akan membawanya ke arah yang lebih terang, ke arah yang penuh dengan harapan baru.*

Bab 11: Keberanian untuk Cinta

Keheningan malam itu terasa begitu menyesakkan. Aruna berdiri di tepi jendela kamar, memandang keluar ke arah langit yang gelap, hanya diterangi oleh cahaya lampu jalan yang memantul di atas genangan air hujan. Hujan telah berhenti, namun perasaan dalam dirinya masih terus bergolak, seperti ombak yang tak bisa dihentikan. Ada banyak hal yang mengganggu pikirannya, namun yang paling mencolok adalah satu pertanyaan yang terus berputar di kepala: apakah ia sudah siap untuk mencintai lagi?

Malam itu, Raka telah mengungkapkan banyak hal. Ia mengungkapkan bahwa ia selalu ada di sana, menunggu Aruna untuk melihat sesuatu yang lebih besar dari sekadar kenangan akan Nadia. Raka bukan hanya sebuah bayangan masa lalu, ia adalah bagian dari perjalanan hidup Aruna yang baru. Namun, meskipun Aruna merasa ada ketertarikan pada Raka, hatinya masih terbebani oleh perasaan yang tak bisa ia lepaskan begitu saja. Cinta yang ia rasakan pada Nadia, meski kini telah pudar, masih mengikatnya dengan kuat.

Aruna menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan kegelisahannya. Ia berputar, berjalan ke meja yang dipenuhi dengan berbagai buku dan catatan. Di sana, di antara tumpukan kertas, ada sebuah foto lama—sebuah foto yang sudah lama ia simpan. Foto itu menunjukkan dirinya bersama Nadia, mereka tersenyum lebar, duduk di sebuah kafe di pinggir kota, tak ada yang tampak menghalangi kebahagiaan mereka. Aruna menatap foto itu, merasakan kembali getaran cinta yang pernah ada, namun juga rasa kehilangan yang begitu dalam.

“Apakah aku bisa mencintai lagi?” tanya Aruna pada bayangannya sendiri di kaca.

Suara pintu yang terbuka pelan memecah kesunyian, dan Aruna menoleh. Raka berdiri di ambang pintu, dengan ekspresi yang tak dapat dibaca. Matanya penuh dengan harapan, namun juga keraguan. Ia tidak masuk lebih jauh, hanya berdiri di sana, memberi ruang bagi Aruna untuk meresapi perasaannya sendiri.

“Apa yang terjadi, Aruna?” tanya Raka dengan suara lembut, seakan-akan mengetahui bahwa Aruna sedang bergulat dengan perasaan yang rumit.

Aruna terdiam, menatap Raka sejenak. “Aku… Aku tidak tahu harus mulai dari mana,” jawabnya pelan. “Aku ingin sekali bisa melanjutkan hidupku, tapi kadang-kadang, perasaan itu datang begitu saja. Perasaan yang membuatku merasa terjebak.”

Raka mendekat perlahan, berhati-hati, seakan takut jika ia bergerak terlalu cepat, Aruna akan mundur. “Aruna,” katanya, “Cinta tidak datang dengan mudah, dan tidak ada yang salah dengan ketakutanmu. Tapi hidup ini bukan tentang menunggu sampai kita siap. Hidup ini tentang memilih untuk melangkah, meskipun kita takut.”

Aruna menatap mata Raka, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu, ia merasa sedikit lega. Ia menyadari bahwa Raka benar—cinta itu bukan sesuatu yang bisa dipaksakan, tapi itu juga bukan sesuatu yang harus kita hindari selamanya. Cinta adalah sesuatu yang harus dijalani, meskipun kadang itu terasa menakutkan. Aruna merasa terjebak dalam bayang-bayang masa lalu, namun ia tahu bahwa ia tidak bisa terus-menerus hidup di masa lalu itu. Ia harus memberi ruang untuk dirinya sendiri, memberi izin untuk merasakan cinta lagi.

Namun, rasa takut itu masih ada. Rasa takut akan kehilangan lagi, rasa takut bahwa ia akan terluka lagi, membuatnya ragu untuk melangkah. Apa yang terjadi jika ia menyerahkan hatinya lagi, hanya untuk akhirnya hancur? Hujan yang turun di malam itu seakan menyimbolkan perasaan Aruna—sebuah perasaan yang tak bisa dihentikan meskipun ia mencoba untuk bertahan.

Raka, melihat ketidakpastian di mata Aruna, melangkah lebih dekat. Ia tidak berkata apa-apa, hanya memberikan ruang yang cukup bagi Aruna untuk merasakan kehadirannya. Terkadang, kata-kata tidak diperlukan untuk memberi kenyamanan. Kehadiran, perhatian, dan kepercayaan yang diberikan Raka sudah cukup untuk menunjukkan bahwa ia peduli.

“Aku tahu kau masih terluka, Aruna,” ujar Raka akhirnya, suaranya lembut namun penuh keyakinan. “Dan aku tidak ingin memaksamu untuk melupakan Nadia atau segala yang telah terjadi. Tetapi aku ingin kau tahu, bahwa aku akan ada di sini, apapun yang terjadi. Aku tidak akan menghakimi perasaanmu, aku hanya ingin menjadi seseorang yang bisa kau percayai, seseorang yang bisa membantumu untuk melihat bahwa ada hal indah yang menunggumu di depan.”

Aruna merasa hangat. Kata-kata Raka menyentuh bagian hatinya yang selama ini tertutup rapat. Cinta, dalam bentuk yang baru, mungkin memang menakutkan. Namun, seperti hujan yang membasahi bumi, cinta juga memiliki cara untuk membersihkan luka lama dan memberi kehidupan baru. Raka tidak menuntut apa-apa darinya, ia hanya menawarkan sebuah kesempatan untuk melangkah maju, untuk memberi ruang pada cinta yang mungkin selama ini terpendam.

“Aku takut, Raka,” Aruna akhirnya mengakui, suaranya bergetar. “Aku takut akan apa yang bisa terjadi jika aku membuka hatiku lagi. Aku takut bahwa aku akan terluka lagi, bahwa aku akan kehilangan lagi.”

Raka mengangguk, memahami. “Aku mengerti, Aruna. Tapi kadang-kadang, kita harus mengambil risiko itu. Kadang-kadang, kita harus percaya bahwa cinta yang baru bisa mengobati luka lama, meskipun tidak dengan cara yang kita harapkan.”

Aruna menatap Raka, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu, ia merasa ada sesuatu yang bisa ia percayai. Cinta, meskipun menakutkan, bisa menjadi sesuatu yang indah jika kita memberinya kesempatan. Ia tahu bahwa ia tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang masa lalu, dan mungkin saatnya untuk membuka hati lagi. Meskipun ketakutan itu masih ada, Aruna merasa sedikit lebih siap.

“Aku akan mencoba,” katanya dengan suara lembut namun penuh tekad. “Aku akan mencoba untuk mencintai lagi, untuk memberi kesempatan pada diriku sendiri dan pada kita.”

Raka tersenyum dengan penuh pengertian, lalu mendekat sedikit lagi, memberi ruang bagi Aruna untuk merasa lebih aman. “Itu adalah langkah pertama, Aruna. Keberanianmu untuk mencoba adalah hal yang paling penting.”

Malam itu, meskipun masih ada banyak hal yang belum terungkap, Aruna merasa ada sesuatu yang mulai berubah. Ia tahu bahwa perjalanan menuju cinta yang baru tidak akan mudah, tetapi setidaknya, ia tidak lagi takut untuk melangkah. Keberanian untuk mencinta mungkin datang perlahan, namun itu adalah awal dari sesuatu yang indah—sesuatu yang akan terus berkembang seiring waktu.*

Bab 12: Di Bawah Langit yang Sama

Hari itu, langit biru membentang luas, hanya diselingi dengan awan putih yang bergerak perlahan. Hujan yang sempat turun beberapa hari lalu seakan memberikan kesempatan bagi matahari untuk kembali bersinar dengan cerah. Aruna duduk di sebuah bangku taman, di bawah pohon besar yang rindang, memandangi suasana di sekitarnya. Taman yang dulu selalu terasa asing baginya kini terasa berbeda. Tempat ini, yang dulu sepi dan penuh kenangan, kini memberi kedamaian yang sulit dijelaskan.

Di kejauhan, tampak Raka berjalan perlahan menuju Aruna. Matahari yang menyinari wajahnya menciptakan kilau keemasan pada rambutnya yang terurai, dan senyum yang tersungging di bibirnya mengundang kehangatan. Aruna merasa ada ketenangan yang muncul setiap kali mereka bertemu, seolah dunia ini hanya milik mereka berdua. Sebuah rasa yang belum pernah ia rasakan sebelumnya, meskipun masih ada keraguan yang tersembunyi dalam hatinya.

“Hey,” Raka menyapa dengan lembut, sambil duduk di sebelah Aruna. “Bagaimana hari ini?”

Aruna tersenyum tipis, mengangguk pelan. “Pagi ini terasa begitu tenang. Seperti ada sesuatu yang mulai berubah.”

Raka memandang langit, lalu menoleh ke Aruna. “Ya, sepertinya begitu. Seperti kita juga, kan? Sedikit demi sedikit, mulai berubah.”

Perasaan itu—perasaan yang mulai tumbuh di antara mereka—adalah sesuatu yang baru. Sebelumnya, Aruna merasa ragu untuk melangkah lebih jauh. Namun, setiap kali Raka ada di dekatnya, ia merasa nyaman dan diterima apa adanya. Rasanya seperti menemukan tempat yang aman di dunia ini, tempat di mana ia tidak perlu menyembunyikan ketakutannya lagi.

“Aruna,” kata Raka, suaranya kini terdengar lebih serius, “aku tahu ini mungkin belum sempurna, dan aku tidak ingin terburu-buru. Tapi aku merasa ada sesuatu yang lebih di antara kita. Sesuatu yang lebih dari sekadar pertemanan.”

Aruna menatap Raka, matanya mencari makna dari kata-kata itu. Ada kejujuran dalam suara Raka yang membuatnya merasa bahwa ia bisa mempercayai pria ini, meskipun masa lalu masih membayangi pikirannya.

“Jujur saja, aku juga merasa demikian,” jawab Aruna, suara seraknya mengungkapkan kebingungannya. “Tapi… aku tidak bisa sepenuhnya melepaskan masa lalu, Raka. Aku masih sering memikirkan Nadia.”

Raka menundukkan kepala, mengerti betul perasaan Aruna. “Aku tahu, dan aku tidak akan pernah memaksamu untuk melupakan masa lalu. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku ada di sini, dan aku bersedia menunggu. Aku tidak terburu-buru.”

Aruna merasa perasaan itu tumbuh perlahan, seiring dengan setiap kata yang diucapkan oleh Raka. Untuk pertama kalinya, ia merasa ada kemungkinan untuk membuka hati lagi. Mungkin cinta yang selama ini ia tangguhkan bukanlah sesuatu yang harus ia hindari selamanya. Mungkin, seperti langit yang kini cerah setelah hujan, ada ruang bagi perasaan baru untuk tumbuh di antara mereka.

“Aku tahu aku tidak bisa terus-menerus hidup dalam bayang-bayang masa lalu,” kata Aruna, suaranya lebih tegas. “Tapi aku juga tidak tahu apakah aku siap untuk membuka hatiku lagi.”

Raka tersenyum lembut, dan dengan hati-hati ia meraih tangan Aruna. “Kita bisa menjalani ini perlahan. Aku tidak ingin kau merasa tertekan. Yang aku inginkan hanya satu—untuk kita berjalan bersama, di bawah langit yang sama.”

Aruna menatap tangan Raka yang kini memegang tangannya. Ada kehangatan di sana, sebuah ketulusan yang sulit dijelaskan. Meskipun perasaan takut dan ragu masih ada, Aruna merasa sedikit lebih tenang. Mungkin inilah saatnya untuk memberi kesempatan pada dirinya sendiri—kesempatan untuk mencintai lagi.

“Aku ingin mencoba,” kata Aruna akhirnya, suara lembut namun penuh keyakinan. “Aku ingin mencoba untuk membuka hatiku lagi, untuk melihat apa yang ada di depan.”

Raka menatapnya dengan penuh haru. “Itu yang aku harapkan, Aruna. Aku akan berada di sini, di sampingmu, untuk melalui semuanya bersama.”

Aruna merasa ada beban yang mulai terangkat dari pundaknya. Kata-kata Raka menguatkan dirinya, memberi keyakinan bahwa meskipun masa lalu tak akan pernah sepenuhnya hilang, ia tidak perlu menjalani hidupnya sendirian. Mereka bisa berjalan bersama, di bawah langit yang sama, dan membangun sesuatu yang baru.

Seiring dengan berjalannya waktu, Aruna dan Raka semakin dekat. Setiap pertemuan membawa rasa yang lebih dalam, seiring dengan semakin kuatnya ikatan yang terjalin di antara mereka. Aruna merasa seperti seorang pelukis yang akhirnya menemukan kanvasnya, siap untuk menggoreskan warna-warna baru dalam hidupnya. Raka, dengan segala kesabaran dan pengertiannya, menjadi seseorang yang mampu membawa kedamaian ke dalam hati Aruna.

Di bawah langit yang sama, mereka mulai merajut cerita mereka sendiri, meninggalkan jejak-jejak kecil yang akan terus dikenang, meskipun hujan mungkin akan datang lagi. Namun, seperti yang sudah mereka pelajari, hujan bukanlah sesuatu yang harus ditakuti. Ia hanya bagian dari kehidupan, sebuah proses yang membawa perubahan. Dan di bawah langit yang sama, mereka tahu bahwa bersama-sama, mereka bisa menghadapinya.***

———THE END——–

Source: Agustina Ramadhani
Tags: #JejakDiAtasHujan#KisahMelankolis#PerjalananWaktu#RahasiaTakdir#RomansaMisteri
Previous Post

bos baru kekacauan baru

Next Post

TUKANG CUKUR SUKA CURHAT

Next Post
TUKANG CUKUR SUKA CURHAT

TUKANG CUKUR SUKA CURHAT

Derama laporan bulanan

CINTA PENUH  CANDA DI WARUNG KOPI

CINTA PENUH CANDA DI WARUNG KOPI

MOVIE REVIEW

No Content Available

RECENT MOVIE

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025

Tentang Kami

NovelStory.id adalah platform media online yang menghadirkan beragam cerita menarik seperti dalam novel dan drama, dirancang untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan yang berkualitas dan penuh imajinasi. Kami percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh hati, menginspirasi, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh keajaiban.

Recent News

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025

Follow Us

  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 https://novelstory.id

No Result
View All Result
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah

© 2025 https://novelstory.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In