Bab 1: Pertemuan Tak Terduga
Pagi itu, langit di kota Jakarta tampak cerah meski udara masih menyimpan rasa dingin yang menusuk. Alya, wanita muda berusia 28 tahun dengan rambut panjang yang selalu terikat rapi, sedang mempersiapkan dirinya untuk berangkat kerja. Kafe kecil di dekat rumahnya adalah tempat yang biasa ia kunjungi setiap pagi sebelum menuju galeri seni tempatnya bekerja. Kopi hitam pahit selalu menjadi ritual paginya, menjaga agar ia tetap terjaga sepanjang hari yang penuh dengan aktivitas seni dan pertemuan penting.
Namun, pagi itu ada sesuatu yang berbeda. Saat Alya melangkah masuk ke dalam kafe, aroma kopi yang biasa menenangkan jiwanya terasa sedikit asing. Mungkin karena ia terlalu terburu-buru pagi itu, atau mungkin karena pikirannya yang tak bisa berhenti berputar tentang pameran seni yang akan datang. Itu adalah pameran yang sangat penting, pameran pertama yang akan diselenggarakan oleh galeri tempatnya bekerja sejak ia bergabung. Semua persiapan sudah mendekati sempurna, tapi ada satu hal yang membuatnya gelisah—kesibukan pekerjaan yang terus memaksanya berada dalam rutinitas yang kaku.
Saat ia menuju meja favoritnya di sudut ruangan, ia melihat seorang pria yang duduk di meja yang biasanya kosong. Ia mengenakan jaket kulit hitam, dengan kacamata hitam yang masih terpasang di wajahnya meskipun di dalam ruangan. Matanya menatap lurus ke depan, tampak sibuk dengan laptop di depannya, namun ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Alya merasa seolah ia sedang mengamati seluruh ruangan, termasuk dirinya.
Alya menahan langkah sejenak, merasa aneh dengan kehadiran pria itu. Tak biasanya ada orang yang duduk di meja tersebut, apalagi di pagi hari yang ramai. Setelah beberapa detik yang terasa lama, ia memutuskan untuk duduk di meja sebelah. Namun, ketika ia mulai membuka tasnya untuk mengeluarkan buku catatan, pandangannya tak sengaja bersentuhan dengan pria itu.
“Maaf, tidak sengaja,” kata Alya cepat, sedikit canggung, meski ia merasa tidak ada yang benar-benar perlu dimaafkan. Matanya kini terpaku pada pria itu, yang ternyata sedang menatapnya dengan tatapan yang tidak bisa ia artikan. Ada keheningan sejenak, lalu pria itu mengangguk pelan dan memberi senyuman kecil, senyuman yang sepertinya penuh makna.
“Tidak apa-apa,” jawab pria itu dengan suara lembut, membuat Alya sedikit terkejut. Biasanya, orang-orang di kafe ini tidak terlalu peduli dengan orang lain, terutama di pagi hari yang sibuk. Pria itu kemudian kembali menundukkan kepalanya, melanjutkan pekerjaannya di laptop. Alya mengalihkan perhatian kembali pada mejanya, tetapi ada perasaan aneh yang mulai tumbuh di dalam hatinya. Entah kenapa, ia merasa ada sesuatu yang menarik dari pria itu, meskipun ia tidak bisa mengungkapkan apa itu.
Setelah memesan kopi, Alya kembali duduk di mejanya dan membuka laptopnya. Terkadang, pagi yang tenang seperti ini memberikan ruang bagi pikirannya untuk berkelana ke mana-mana. Tetapi pagi ini, pikirannya lebih banyak terfokus pada pria di meja sebelah. Tidak ada alasan jelas mengapa ia merasa tertarik, tetapi ada sesuatu dalam dirinya yang membuatnya tidak bisa berhenti memikirkan pria tersebut.
Beberapa menit kemudian, pria itu tiba-tiba berdiri dan mengeluarkan sebuah buku kecil dari tasnya. Buku itu tampak tua, dengan sampul yang agak usang. Dia membuka buku tersebut dan mulai menulis sesuatu dengan cepat. Alya penasaran, lalu tanpa sadar, matanya mengikuti gerakan pria itu. Ada sesuatu dalam cara pria itu menulis yang membuatnya merasa seolah-olah sedang menyaksikan sesuatu yang sangat pribadi.
Saat itu, pria itu menyadari Alya yang terus memandangi bukunya. Ia tersenyum lagi dan berkata, “Ini bukan buku biasa. Ini semacam jurnal kecil untuk mencatat hal-hal yang menginspirasi saya, kadang hanya ide-ide acak atau bahkan hal-hal yang mungkin tampak tidak penting bagi orang lain.”
Alya terkejut, tetapi kemudian tersenyum. “Oh, saya kira itu semacam buku catatan untuk ide bisnis atau proyek,” katanya dengan ringan.
Pria itu tertawa kecil. “Ya, bisa dibilang begitu. Saya percaya, setiap ide itu penting. Bahkan ide yang tampaknya paling tidak penting pun bisa menjadi kunci untuk menemukan sesuatu yang besar.”
Alya tertegun sejenak. Kata-kata pria itu terdengar familiar, seperti filosofi hidup yang ia coba pegang selama ini. Ia tidak bisa menghindari rasa ingin tahunya yang semakin mendalam.
“Jadi, kamu menulis hal-hal acak?” tanya Alya lebih lanjut, tanpa bisa menahan rasa penasaran.
Pria itu mengangguk, lalu menutup buku kecilnya dengan lembut. “Terkadang, saya menulis hanya untuk menenangkan pikiran. Ini bukan tentang apa yang saya tulis, tapi tentang bagaimana tulisan itu membantu saya mengerti lebih banyak tentang diri saya sendiri.”
Alya merasa ada sesuatu yang menghubungkannya dengan pria ini, meskipun mereka hanya bertemu dalam pertemuan yang sangat singkat dan tidak terlalu berarti. Dia teringat dengan kehidupannya sendiri yang terasa begitu teratur dan terkendali, dan pria ini—dengan cara hidupnya yang tampaknya bebas dan penuh misteri—memberikan kesan yang sangat berbeda. Entah kenapa, ia merasa ingin mengenalnya lebih dalam, meskipun ia tahu ini bukanlah waktu yang tepat.
“Mungkin saya harus mencoba hal yang sama,” kata Alya, terkejut dengan dirinya sendiri. Ia biasanya lebih suka menjaga hidupnya dalam kontrol, namun saat ini ia merasa seolah-olah membuka kesempatan untuk sesuatu yang baru.
“Cobalah,” jawab pria itu dengan senyuman. “Terkadang, kita perlu sedikit keberanian untuk menulis cerita hidup kita sendiri.”
Alya mengangguk perlahan, merenungkan kata-kata pria itu. Setelah beberapa menit, pria itu bangkit dan bersiap untuk pergi. Sebelum ia beranjak, pria itu menatapnya sekali lagi, kali ini lebih lama, seakan mengingatkan Alya tentang sesuatu yang belum ia mengerti.
“Saya Leo,” katanya, lalu tanpa memberi kesempatan untuk menjawab, ia pergi begitu saja.
Alya hanya bisa diam, memandangi punggungnya yang semakin menjauh. Meskipun mereka hanya berbincang sesaat, percakapan itu meninggalkan kesan mendalam dalam dirinya. Ada sesuatu tentang Leo yang membuatnya merasa berbeda. Ia tidak tahu kenapa, tapi Alya merasa bahwa pertemuan ini adalah sesuatu yang lebih dari sekadar kebetulan.
“Apa yang baru saja terjadi?” pikirnya sambil meneguk kopinya yang sudah dingin. Namun, saat itu juga ia menyadari, mungkin inilah awal dari perjalanan hidupnya yang baru.*
Bab 2: Dunia yang Berbeda
Alya bangun lebih pagi dari biasanya keesokan harinya. Pikirannya masih terjaga oleh percakapan singkat yang terjadi di kafe kemarin. Leo—pria itu—terus berputar di pikirannya, meskipun ia mencoba untuk mengabaikannya. Bagaimanapun juga, itu hanya pertemuan singkat antara dua orang yang tidak saling mengenal. Tidak ada yang lebih dari itu, bukan? Tetapi entah kenapa, perasaan yang muncul setelah percakapan itu terasa berbeda. Alya merasa ada ketertarikan yang tidak biasa, sebuah ketertarikan yang ia tidak mengerti.
Di rumah, ruang tamunya yang kecil terasa lebih sepi dari biasanya. Tumpukan lukisan dan cat minyak di meja membuatnya merasa tenggelam dalam pekerjaan yang belum selesai. Tetapi pagi ini, dia merasa tidak bisa menenggelamkan diri dalam rutinitas yang selama ini memberikan rasa nyaman. Ia memutuskan untuk keluar dan berjalan-jalan sejenak untuk menenangkan pikirannya.
Di sepanjang jalan, angin pagi yang sejuk menyapa wajahnya, dan langkah-langkah kecilnya terasa seperti detak jantung yang perlahan menenangkan diri. Pikirannya melayang ke dunia yang berbeda, dunia yang dipenuhi dengan warna, goresan, dan emosi yang bisa dituangkan dalam setiap lukisan. Alya merasa seolah-olah ada bagian dari dirinya yang hilang dan kini mencoba untuk menemukannya kembali. Ia tahu, dunia seni adalah tempat di mana ia merasa paling hidup, tetapi ada sesuatu yang belum bisa ia raih. Mungkin jawabannya ada pada percakapan singkat dengan Leo kemarin. Mungkin, ia harus memulai petualangan baru, sesuatu yang belum pernah ia lakukan sebelumnya.
Namun, begitu ia sampai di kafe tempat mereka bertemu kemarin, ia langsung merasakan perbedaan yang besar. Kafe itu, yang biasanya terasa penuh dengan kebisingan orang yang beraktivitas dan aroma kopi yang khas, pagi ini terasa lebih sunyi dan tenang. Alya merasa seperti ada sesuatu yang berubah. Mungkin karena dirinya yang merasa lebih terbuka, atau mungkin karena ada sesuatu yang tak terlihat di udara yang membuatnya merasa terhubung dengan tempat itu.
Saat ia memasuki kafe, ia langsung melihat meja yang kemarin ditempati oleh Leo. Namun, kali ini meja itu kosong. Alya merasa sedikit kecewa, meskipun ia tahu itu bukanlah hal yang seharusnya ia rasakan. Tentu saja, tidak ada jaminan bahwa Leo akan ada di sini setiap pagi. Namun, ada rasa penasaran yang menggelayuti dirinya, membuatnya ingin tahu lebih banyak tentang pria itu.
Setelah memesan secangkir kopi, Alya duduk di meja yang masih kosong di dekat jendela. Ia menyandarkan punggungnya pada kursi dan membuka buku catatannya, mencoba untuk kembali fokus pada pekerjaannya. Tetapi, pikirannya masih terus mengarah pada percakapan kemarin. Di dalam benaknya, ia terus bertanya-tanya tentang siapa Leo sebenarnya. Apa yang dia kerjakan? Mengapa dia begitu tertarik untuk menulis jurnal kecilnya? Dan, apakah ada alasan di balik senyumannya yang penuh misteri?
Tiba-tiba, pintu kafe terbuka dan suara bel yang berdering membawa Alya kembali ke kenyataan. Matanya langsung tertuju pada seorang pria yang masuk ke dalam kafe. Alya mengenali pria itu, meskipun ia tidak bisa mengingat dengan jelas dari mana. Kemudian, tanpa disadari, pria itu mendekat ke mejanya. Dan benar saja, itu adalah Leo.
“Selamat pagi,” kata Leo sambil tersenyum, mengangkat tangannya ke arah Alya, seolah tidak ada jarak di antara mereka.
Alya terkejut, lalu dengan cepat ia berusaha menanggapi. “Oh, selamat pagi! Tidak sengaja melihat Anda lagi.”
Leo tertawa kecil, lalu duduk di meja yang ada di dekat meja Alya. “Ternyata, kita memang ditakdirkan untuk bertemu lagi.”
Alya merasa canggung sejenak, tetapi ia mencoba untuk tetap tenang. “Ya, sepertinya begitu,” jawabnya, sedikit terkikik. “Apakah Anda sering datang ke sini?”
Leo mengangguk. “Setiap pagi. Tempat ini sangat nyaman, dan kopi mereka luar biasa.”
Alya merasa aneh, tetapi sekaligus tertarik. Mungkin ini adalah kesempatan untuk lebih mengenal Leo, untuk memahami siapa dia sebenarnya. Ada ketertarikan yang kuat dalam dirinya, meskipun ia berusaha menahan diri. Dunia Leo sepertinya berbeda jauh dengan dunia yang biasa ia kenal. Alya, yang selalu hidup dalam rutinitas yang penuh dengan kontrol dan keteraturan, merasa seperti berada di ambang dunia yang lebih bebas, lebih penuh warna dan ekspresi.
Percakapan mereka berlanjut, membahas hal-hal ringan tentang kehidupan sehari-hari. Namun, semakin lama, Alya merasa semakin tertarik untuk mengetahui lebih banyak tentang Leo. Ia tahu, ada sesuatu yang berbeda tentang pria ini, sesuatu yang mengundang rasa ingin tahu yang tak terucapkan.
“Jadi, apa yang membuat Anda tertarik menulis di jurnal kecil itu?” Alya akhirnya memberanikan diri untuk bertanya, meskipun ia tahu itu bisa menjadi pertanyaan yang sangat pribadi.
Leo tersenyum bijaksana. “Saya percaya bahwa setiap orang memiliki dunia mereka sendiri. Dunia yang kita buat berdasarkan perasaan, pengalaman, dan impian kita. Kadang-kadang, dunia kita bisa begitu kompleks dan sulit dipahami, jadi saya menulis untuk mengerti lebih baik tentang diri saya sendiri. Bukankah hidup kita juga seperti jurnal yang kita tulis setiap hari?”
Alya tertegun mendengar jawabannya. Kalimatnya terasa dalam dan penuh makna. “Jurnal hidup…” kata Alya pelan, merenung.
“Ya, dan mungkin kita bisa belajar lebih banyak tentang diri kita jika kita meluangkan waktu untuk memikirkannya,” tambah Leo, seraya menatap jendela dengan tatapan kosong, seperti sedang memikirkan sesuatu yang jauh.
Alya merasakan getaran yang berbeda dalam dirinya. Ini adalah pertemuan yang tidak terduga, namun sangat berarti. Leo, dengan cara berpikirnya yang berbeda, membuat Alya merasa seperti ada dunia lain yang belum pernah ia eksplorasi—dunia di luar rutinitasnya yang monoton, dunia yang penuh dengan kebebasan, seni, dan pemahaman diri.
Dengan langkah kecil namun pasti, Alya merasa bahwa dirinya kini sedang berada di ambang pintu untuk menjelajahi dunia yang berbeda, sebuah dunia yang penuh dengan pertanyaan dan penemuan baru. Dunia yang tidak hanya penuh dengan seni, tetapi juga dengan pemahaman tentang hidup, tentang diri sendiri, dan mungkin, tentang cinta.*
Bab 3: Ketertarikan yang Semakin Tumbuh
Setelah pertemuan tak terduga di kafe, Alya merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Semuanya dimulai dengan percakapan ringan yang tidak disengaja, namun di situlah benih-benih ketertarikan mulai tumbuh. Setiap kali ia mengingat senyum Leo yang hangat atau cara pria itu berbicara tentang dunia jurnalnya, hatinya terasa berdebar, seperti ada dorongan yang tidak bisa ia hindari.
Hari-hari setelah pertemuan itu terasa sedikit berbeda. Alya tidak bisa menghilangkan bayangan Leo dari pikirannya. Setiap kali ia duduk di studio, melukis di hadapan kanvas kosong, ia merasa ada bagian dari dirinya yang melompat keluar, seperti ingin meraih sesuatu yang lebih. Mungkin sesuatu yang tidak pernah ia duga sebelumnya. Leo, dengan pesonanya yang tenang dan cara berpikir yang filosofis, kini menjadi pusat perhatian dalam hidupnya.
Namun, Alya berusaha menenangkan dirinya. Ia tahu betul bahwa hidupnya sudah cukup rumit dengan segala pekerjaan seni yang belum selesai. Tidak ada tempat untuk ketertarikan yang membingungkan ini. Tetapi kenyataan berkata lain. Setiap kali ia bertemu Leo, bahkan dalam situasi yang paling tidak terduga sekalipun, ia merasakan sesuatu yang kuat menariknya lebih dekat. Ada sesuatu dalam cara Leo memperlakukan dirinya yang berbeda dari kebanyakan orang yang pernah ia temui.
Pada suatu siang yang cerah, Alya memutuskan untuk kembali ke kafe itu, hanya untuk menikmati secangkir kopi sambil mengerjakan lukisannya. Seperti biasa, tempat ini selalu menawarkan kenyamanan yang ia butuhkan untuk menenangkan pikiran. Kafe itu selalu ramai dengan pengunjung, namun saat itulah ia merasa bisa fokus pada apa yang penting—seni dan dirinya sendiri.
Ia duduk di pojok, mengambil kuas dan palet warna, dan mulai mencampur cat untuk lukisan baru. Namun, kali ini pikirannya tidak sepenuhnya ada di atas kanvas. Matanya sesekali melirik ke pintu masuk, berharap—tidak, lebih tepatnya berharap—untuk melihat sosok Leo datang lagi.
Dan benar saja, tak lama kemudian, pintu kafe terbuka dan Leo muncul, seperti yang selalu ia lakukan. Senyumnya yang khas menyapa Alya sebelum ia melangkah menuju meja yang tidak jauh darinya. Alya bisa merasakan detak jantungnya berdegup lebih cepat. Ia berusaha menenangkan diri, menyembunyikan kegugupannya di balik aktivitas melukisnya.
Leo menyapa dengan ringan, “Alya, lagi sibuk dengan kanvas baru, ya?”
Alya tersenyum dan mengangguk. “Iya, ini lukisan yang agak berbeda dari biasanya,” jawabnya sambil mencoba terlihat santai.
“Apa tema kali ini?” Leo bertanya lagi, duduk di meja sebelahnya, seperti biasa. Ia meletakkan secangkir kopi di atas meja.
Alya merenung sejenak, mencoba menyusun kata-kata. “Ini tentang… perubahan. Tentang bagaimana hidup sering kali memberi kejutan yang tak terduga.” Ia merasa sedikit canggung mengungkapkan pemikiran dalam bentuk kata-kata, namun Leo membuatnya merasa nyaman. Ada sesuatu yang membuatnya merasa bisa terbuka, meskipun ia belum sepenuhnya mengenal pria itu.
Leo menatap lukisannya dengan penuh perhatian, seakan mencoba mengerti apa yang tersembunyi di balik setiap warna dan goresan. “Keren,” katanya, memberikan pujian tulus. “Perubahan memang selalu datang dengan cara yang tidak kita duga. Kadang, kita hanya bisa belajar untuk menerimanya.”
Alya terdiam, merasa kata-kata Leo begitu dalam. “Ya, kadang perubahan itu menakutkan, kan?” jawabnya dengan suara pelan. “Tapi sepertinya itu satu-satunya cara kita untuk tumbuh.”
Percakapan mereka mengalir begitu alami. Seakan-akan, dunia di sekitar mereka menghilang, hanya ada keduanya dan secangkir kopi yang hangat. Leo berbicara tentang pandangannya tentang hidup, tentang bagaimana ia melihat dunia ini penuh dengan kejutan dan ketidakpastian. Sementara Alya, yang biasanya lebih tertutup, mulai merasa semakin nyaman. Mungkin ini yang ia butuhkan, seseorang yang bisa membantunya melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda.
Leo, meskipun cenderung lebih pendiam, tidak ragu untuk berbagi pemikiran mendalamnya. Ia bercerita tentang banyak hal—dari perjalanan hidupnya yang penuh tantangan hingga impiannya yang besar. Ada kesan kedewasaan dalam cara Leo menyampaikan pikirannya, dan itu membuat Alya semakin terkesan.
Setelah beberapa pertemuan seperti itu, Alya merasa seperti menemukan dunia baru yang belum pernah ia jelajahi sebelumnya. Leo bukan hanya seorang pria yang menarik, tetapi juga seseorang yang membuatnya merasa nyaman, bahkan dengan segala kebingungannya tentang hidup. Ia merasa ada semacam kehangatan yang muncul setiap kali berada di dekatnya, meskipun mereka hanya berbicara tentang hal-hal sepele.
Namun, Alya juga mulai merasakan adanya perubahan dalam dirinya sendiri. Ada perasaan yang mulai tumbuh—perasaan yang sulit ia artikan. Ketertarikan itu, yang awalnya tampak sederhana, perlahan berkembang menjadi sesuatu yang lebih. Setiap kali ia bertemu Leo, ia merasa seperti ada koneksi yang lebih dalam, sesuatu yang lebih dari sekadar percakapan ringan.
Suatu hari, ketika mereka duduk bersama di kafe seperti biasa, Alya merasa hatinya mulai berbicara lebih keras daripada pikirannya. Ia tahu, ia harus mulai jujur pada dirinya sendiri. Perasaan yang tumbuh ini bukan hanya sekadar ketertarikan fisik atau rasa penasaran yang sementara. Ada sesuatu yang lebih, sesuatu yang melampaui sekadar hubungan antar dua orang.
“Leo,” Alya memulai, suaranya lebih pelan dari biasanya. “Aku merasa seperti dunia kita sangat berbeda, ya? Kamu dengan cara hidupmu yang bebas, aku dengan dunia seni yang penuh aturan… Mungkin kita berasal dari tempat yang berbeda, tapi entah kenapa aku merasa sangat terhubung dengan cara kamu melihat dunia.”
Leo menatapnya, dan untuk beberapa detik, suasana terasa begitu hening. Ada kesan bahwa Leo sedang mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Alya. Kemudian, ia tersenyum tipis, senyum yang kali ini bukan sekadar senyum biasa, melainkan senyum yang membawa kedalaman makna.
“Alya,” jawabnya pelan, “Kadang, kita memang datang dari dunia yang berbeda. Tapi, siapa bilang dunia itu harus membatasi kita untuk saling mengerti? Aku rasa, kita punya banyak hal yang bisa kita pelajari dari satu sama lain.”
Alya merasa hatinya berdebar. Untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa ketertarikannya kepada Leo bukanlah hal yang sia-sia. Ia merasa seperti ada ruang untuknya di dunia yang selama ini terasa begitu teratur dan penuh dengan batasan. Dan Leo, dengan cara yang tak terduga, membuatnya merasa seolah-olah semua kemungkinan itu terbuka.
Ketertarikan yang semakin tumbuh ini bukan hanya tentang perasaan semata, tetapi tentang membuka diri dan belajar menerima segala perbedaan yang ada. Alya tahu, ia dan Leo mungkin datang dari dunia yang berbeda, tetapi siapa tahu? Mungkin, di antara perbedaan itu, mereka bisa menemukan sesuatu yang lebih. Sebuah hubungan yang mungkin lebih dari sekadar sekilas pandang, tetapi lebih kepada perjalanan yang penuh dengan penemuan dan pemahaman bersama.*
Bab 4: Rintangan dari Masa Lalu
Alya terbangun pagi itu dengan perasaan yang sedikit berbeda. Selama beberapa minggu terakhir, setiap kali ia berada di dekat Leo, ada perasaan hangat yang datang, seakan-akan segala kekhawatirannya tentang hidup seketika memudar. Namun, pagi ini, hatinya terasa lebih berat dari biasanya, seperti ada bayangan yang kembali mengganggu pikirannya. Tidak ada yang bisa menghalangi kenangan lama yang kembali muncul ke permukaan, memaksa Alya untuk menghadapi sesuatu yang sudah lama ia simpan rapat-rapat.
Di balik ketenangan yang ia rasakan bersama Leo, ada luka lama yang masih menganga di hati Alya. Masa lalu yang selalu ia coba lupakan, namun seringkali datang kembali dalam bentuk yang tak terduga. Meskipun ia merasa semakin dekat dengan Leo, dan meskipun ia merasa hatinya mulai terbuka untuk seseorang lain, bayang-bayang masa lalu tetap menghantui langkahnya. Terlebih saat ia mulai merasakan kenyamanan yang tulus, yang tak jarang membuatnya ragu—apakah ia pantas untuk merasakan kebahagiaan itu?
Alya mengingat kembali beberapa tahun yang lalu, saat ia berada di kota besar dan bertemu dengan seseorang yang menjadi bagian dari hidupnya, setidaknya untuk beberapa waktu. Hubungan itu dimulai seperti cerita dalam novel, dengan penuh harapan dan janji-janji manis. Namun, seperti kebanyakan hubungan yang diajalinya dengan semangat, ia akhirnya menemukan kenyataan yang pahit. Pria itu, Dika, yang awalnya tampak sempurna, berubah menjadi seseorang yang tidak ia kenal lagi.
Dika, yang awalnya penuh perhatian dan kasih sayang, lambat laun menunjukkan sisi lain dari dirinya yang sulit untuk diterima. Keegoisan dan ketidakpedulian terhadap perasaan Alya mulai terlihat jelas. Hingga akhirnya, Alya harus menghadapinya dengan perasaan terluka. Dika meninggalkannya begitu saja, tanpa peringatan, tanpa alasan yang jelas. Masa itu meninggalkan luka yang dalam, dan Alya memilih untuk menutup hatinya, menjauh dari cinta dan hubungan yang lebih serius.
Kini, dengan perasaan yang semakin berkembang untuk Leo, rasa takut akan kekecewaan yang sama kembali muncul. Ia tidak ingin membuka hati lagi hanya untuk merasakan sakit yang sama. Rasa khawatir ini seperti bayangan gelap yang terus mengikuti, menghalangi Alya untuk melangkah lebih jauh ke dalam hubungan yang mungkin saja bisa berkembang.
Malam itu, setelah bekerja seharian di studio dan mencoba fokus pada lukisannya, Alya memutuskan untuk berjalan-jalan. Hawa malam yang sejuk membuatnya merasa sedikit lebih tenang, meskipun hati dan pikirannya masih terasa kacau. Ia pergi ke taman kota, tempat yang dulu sering ia kunjungi untuk menenangkan diri setelah menghadapi hari-hari yang penuh dengan drama kehidupan. Tempat itu seakan menjadi ruang aman baginya, jauh dari segala kerumitan yang ada di dunia luar.
Ketika ia duduk di bangku taman, memandang langit yang penuh bintang, pikirannya melayang pada Leo. Beberapa minggu terakhir terasa begitu menyenangkan bersamanya. Ada sesuatu yang berbeda tentang cara Leo membuatnya merasa nyaman, tanpa harus terburu-buru atau penuh harapan yang tidak realistis. Namun, perasaan nyaman itu mulai terganggu oleh kekhawatiran yang datang begitu saja.
“Alya, kamu harus jujur pada diri sendiri,” bisiknya dalam hati. “Apakah kamu benar-benar siap untuk membuka hatimu lagi? Atau kamu hanya ingin mencari pelarian dari kenyataan yang belum selesai?”
Alya menutup matanya sejenak, mencoba menenangkan pikirannya. Namun, meskipun ia berusaha untuk memfokuskan diri pada kebahagiaan yang ada di sekitarnya, masa lalu terus saja menghantuinya. Ia teringat pada detik-detik terakhir bersama Dika. Kecewa. Terluka. Semua itu terasa seperti kenangan yang tidak bisa begitu saja dilupakan.
Leo, yang tahu betul tentang pentingnya memahami seseorang secara mendalam, tidak menyadari betapa besar rintangan dari masa lalu yang sedang dihadapi oleh Alya. Ia hanya melihat Alya sebagai seorang wanita yang kuat dan penuh semangat, yang selalu tampak bisa menghadapi segala hal dengan kepala tegak. Namun, pada kenyataannya, Alya sedang berjuang dengan perasaan yang tak terlihat oleh siapa pun. Ia tidak ingin mengungkapkan kesedihan atau ketakutannya pada Leo, meskipun ia tahu, semakin lama mereka dekat, semakin sulit untuk menutupi kerapuhan yang ia rasakan di dalam hati.
Saat Alya kembali ke studio, ada pesan dari Leo yang masuk ke ponselnya. Sebuah pesan singkat yang hanya bertuliskan, “Malam ini, ada pameran seni di galeri dekat sini. Aku ingin mengajakmu ke sana. Bagaimana?”
Alya melihat pesan itu dengan ragu. Ia tahu bahwa Leo tidak tahu apa yang sedang bergumul dalam pikirannya. Ia juga tahu bahwa pergi ke galeri seni bersama Leo bisa menjadi kesempatan bagus untuk lebih mengenalnya. Namun, hati Alya masih terbelenggu oleh kenangan lama. Mengajak Leo ke dalam dunia yang penuh dengan perasaan yang belum tuntas ini rasanya seperti sebuah tantangan besar.
Setelah beberapa menit ragu, Alya akhirnya membalas pesan itu. “Tentu, aku akan ikut. Terima kasih sudah mengundang.”
Keputusan itu seperti dua sisi mata uang. Di satu sisi, ia merasa senang karena bisa menghabiskan waktu lebih banyak dengan Leo, tetapi di sisi lain, ia juga merasa ketegangan yang meningkat dalam dirinya. Apakah ia siap untuk membuka hatinya lagi? Apakah perasaan itu benar-benar bisa tumbuh tanpa terbebani oleh bayang-bayang masa lalu?
Malam itu, ketika mereka berjalan berdampingan menuju galeri seni, Alya mencoba untuk menenangkan dirinya. Ia berusaha menikmati momen itu dan menikmati kehadiran Leo, meskipun ada kegelisahan yang terus mengganggu di dalam hati. Namun, di satu sisi, ia tahu bahwa perjalanan ini adalah bagian dari proses. Proses menerima kenyataan bahwa meskipun masa lalu penuh dengan rintangan, masa depan mungkin membawa harapan yang lebih baik.
“Jangan biarkan masa lalu menghalangimu, Alya,” pikirnya, sambil menghela napas panjang. “Kadang kita harus berani melangkah, meski rintangan itu datang dari dalam diri kita sendiri.”
Dengan tekad yang perlahan tumbuh, Alya memutuskan untuk menikmati malam itu. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi, tetapi satu hal yang pasti: ia ingin membuka hati dan memberi kesempatan pada dirinya sendiri untuk merasakan kebahagiaan, meskipun bayang-bayang masa lalu masih hadir.*
Bab 5: Melampaui Rintangan
Hari itu, matahari bersinar cerah, namun di dalam hati Alya, awan gelap masih menggantung. Beberapa hari setelah malam di galeri seni, ia merasa ada kemajuan kecil dalam dirinya. Namun, perasaan itu masih disertai dengan keraguan. Di satu sisi, ia merasa lebih dekat dengan Leo, tetapi di sisi lain, masa lalu yang terluka masih terus mengejarnya, membuatnya ragu untuk sepenuhnya membuka hati.
Leo sudah cukup sabar menunggu Alya untuk membuka diri. Ia tahu bahwa Alya bukanlah tipe orang yang mudah percaya, dan ia menghargai setiap langkah kecil yang Alya ambil. Meski Alya tidak pernah secara terbuka mengungkapkan ketakutannya, Leo bisa merasakannya—dari cara Alya berbicara, bahkan dari tatapannya yang kadang terlihat jauh, seakan ia sedang berperang dengan pikirannya sendiri.
Sore itu, setelah seharian bekerja di studio, Alya memutuskan untuk berjalan-jalan. Ia sering melakukan ini saat ingin menenangkan diri. Sesekali, langkah kakinya berhenti di depan kafe yang biasa ia kunjungi, tempat yang penuh kenangan indah, namun juga kenangan buruk. Tempat itu mengingatkannya pada keputusan-keputusan sulit yang ia buat, pada pertemuan dengan orang-orang yang pernah mengisi hidupnya, dan pada luka yang masih membekas. Namun, kali ini ia merasa berbeda. Sebuah dorongan dalam dirinya membuatnya merasa bahwa ia bisa melangkah tanpa dibayangi masa lalu.
Ketika tiba di depan kafe itu, matanya secara otomatis mencari sosok Leo. Ada harapan yang tumbuh di dalam dirinya, meskipun ia berusaha untuk tidak terlalu mengharapkannya. Namun, ternyata Leo sudah ada di dalam, duduk di meja yang biasa mereka tempati. Senyumnya yang hangat langsung menyambut Alya ketika ia masuk ke kafe. Tanpa banyak kata, Alya mendekat dan duduk di seberang Leo. Ada rasa nyaman yang tiba-tiba melingkupi mereka berdua, meskipun Alya tahu betapa rumitnya perasaannya.
“Malam yang indah, kan?” Leo memulai percakapan dengan nada lembut. Ia seolah tahu bahwa ada sesuatu yang sedang mengganjal dalam hati Alya.
Alya hanya tersenyum kecil. “Ya, indah. Tapi, saya merasa ada sesuatu yang belum saya selesaikan di dalam diri saya.”
Leo menatapnya dengan penuh pengertian. “Alya, kita semua punya masa lalu. Dan kadang, kita hanya perlu waktu untuk menerima dan melangkah maju. Tapi ingat, kamu nggak perlu melakukannya sendirian.”
Kata-kata itu seperti angin segar bagi Alya. Ia merasa ada ruang untuk melepaskan sedikit beban yang ia rasa begitu berat. Leo tidak memaksa, tidak menghakimi. Ia hanya ada, memberikan ruang untuk Alya untuk menjadi dirinya sendiri.
Beberapa saat berlalu dalam diam, tapi tidak ada rasa canggung yang menggelayuti. Alya merasa tenang. Ia menyadari, bahwa meskipun masa lalu yang penuh luka tidak mudah untuk dilupakan, ia tidak perlu menghadapinya sendirian. Ada orang yang peduli, yang dengan sabar bersedia menunggu sampai ia siap membuka hati.
Setelah beberapa pertemuan seperti itu, Alya mulai merasakan perubahan dalam dirinya. Perlahan tapi pasti, ia mulai melepaskan ketakutannya, membuka dirinya sedikit demi sedikit. Leo memang bukan orang yang sempurna, tetapi ia tahu bahwa kehadirannya dalam hidup Alya adalah bentuk dukungan yang tidak ternilai.
Namun, rintangan belum berakhir. Meskipun Alya mulai membuka diri, ketakutannya terhadap kemungkinan terburuk—terulangnya luka lama—masih sering datang menghantui. Ia takut jika suatu saat Leo akan meninggalkannya tanpa alasan, atau jika mereka akhirnya akan berhadapan dengan kenyataan pahit yang akan memisahkan mereka. Di satu sisi, ia ingin melangkah lebih jauh dengan Leo, tetapi di sisi lain, ia merasa tidak siap untuk menghadapi kemungkinan kehilangan lagi.
Suatu hari, Alya merasa perlu untuk berbicara lebih terbuka dengan Leo tentang ketakutannya. Mereka sedang duduk di taman kota, menikmati sore yang cerah. Taman yang sama yang beberapa waktu lalu menjadi tempat bagi Alya untuk meresapi perasaan-perasaannya. Kali ini, ia datang ke sana dengan niat yang berbeda.
“Leo, ada sesuatu yang ingin saya bicarakan,” kata Alya dengan nada yang sedikit gugup. Ia meremas tangan di pangkuannya, mencoba menenangkan dirinya.
Leo menatapnya dengan perhatian penuh. “Apa pun itu, Alya. Kamu bisa bicara dengan saya.”
Alya menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan kata-kata yang tepat. “Saya takut, Leo. Takut kalau semua ini berakhir buruk. Takut kalau saya akhirnya akan terluka lagi, seperti yang dulu pernah saya alami.”
Leo diam sejenak, kemudian ia mengulurkan tangannya, meraih tangan Alya dengan lembut. “Alya, saya nggak bisa menjamin semuanya akan berjalan sempurna. Saya nggak bisa mengubah masa lalumu. Tapi saya bisa berjanji satu hal—saya akan ada untukmu. Saya akan berusaha untuk membuatmu merasa dihargai dan dicintai. Kamu nggak perlu takut lagi, karena saya akan berjalan bersamamu.”
Kata-kata Leo menyentuh hati Alya. Di saat itu, ia merasa lebih tenang. Ia tahu bahwa meskipun ia masih harus menghadapi ketakutan-ketakutannya, setidaknya ia tidak sendirian. Ada Leo, yang dengan sabar menunggu, yang tidak menghakimi, dan yang tetap ada meskipun segala ketakutan itu terus muncul.
Malam itu, ketika mereka berpisah, Alya merasa ada perubahan besar dalam dirinya. Rintangan yang selama ini menghalanginya untuk melangkah lebih jauh kini mulai terasa lebih ringan. Ia masih merasa takut, tetapi untuk pertama kalinya dalam waktu lama, ia merasa siap untuk melangkah maju. Dengan Leo di sampingnya, ia tahu bahwa ia tidak perlu lagi terperangkap dalam bayang-bayang masa lalu.
Langkah Alya ke depan terasa lebih mantap. Melalui percakapan yang terbuka, dukungan yang penuh kasih dari Leo, dan kesediaannya untuk menghadapi ketakutannya, Alya menyadari bahwa rintangan terbesar dalam hidupnya bukan berasal dari orang lain, melainkan dari dirinya sendiri. Kini, ia harus berani untuk mengatasi ketakutan itu dan melangkah menuju masa depan yang lebih cerah.
Dengan hati yang lebih terbuka, Alya siap untuk melampaui rintangan yang ada dan menerima kenyataan bahwa hidup, meskipun penuh ketidakpastian, tetap penuh dengan peluang untuk menemukan kebahagiaan.*
Bab 6: Cinta yang Menyatu
Alya duduk di balkon apartemennya, memandang langit sore yang perlahan berubah warna menjadi merah muda, keemasan, dan akhirnya biru pekat. Dalam hening, ia merenung. Perasaan yang sebelumnya begitu menggelora di dalam dirinya kini terasa lebih tenang, namun tetap dalam. Cinta. Kata itu semakin terasa nyata dalam hatinya, dan ia tak lagi takut untuk menyebutnya. Cinta yang selama ini menggelisahkan, kini mulai menyatu dengan setiap detak jantungnya, mengalir tanpa halangan.
Hari-hari mereka berlalu dengan penuh kebersamaan, penuh tawa, dan juga kadang keheningan yang nyaman. Leo memang tidak pernah memaksanya untuk menjadi seseorang yang berbeda. Ia menerima Alya dengan segala kelebihan dan kekurangannya, dengan masa lalu yang kelam dan ketakutan yang masih terkadang menghantuinya. Namun, di balik itu semua, Alya merasa bahwa cintanya pada Leo semakin tumbuh. Setiap momen bersama Leo membuatnya merasa lebih hidup, dan ia tahu bahwa ada sesuatu yang dalam antara mereka yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Malam itu, mereka bertemu di taman kota, tempat yang mereka pilih untuk menghabiskan waktu bersama setelah hari yang sibuk. Taman yang sepi, hanya diterangi oleh lampu jalanan yang hangat, memberi suasana damai bagi mereka berdua. Mereka berjalan perlahan, berbicara tentang segala hal yang ringan—dari pekerjaan hingga kenangan masa kecil, hingga akhirnya percakapan itu mengarah pada perasaan yang lebih dalam.
“Alya,” kata Leo setelah beberapa saat terdiam, matanya menatap lurus ke depan, namun senyumannya tak bisa ia sembunyikan. “Saya tahu kita sudah melewati banyak hal bersama, dan kita sudah sampai pada titik ini. Saya hanya ingin mengatakan… bahwa saya sangat bersyukur bisa bertemu denganmu.”
Alya menatap Leo, bibirnya terangkat sedikit, meskipun hatinya berdebar lebih cepat dari biasanya. Ia sudah mendengar kata-kata ini sebelumnya, tetapi kali ini terasa berbeda—terasa lebih dalam dan tulus. Leo, yang biasanya ceria dan santai, kini terlihat lebih serius. Ia berhenti sejenak di tengah jalan setapak, menatap Alya dengan pandangan yang membuat jantung Alya berdetak lebih cepat.
“Alya, saya ingin kita bersama. Tidak hanya hari ini, tetapi selamanya. Saya ingin berbagi hidup saya denganmu. Maukah kamu… menjadi bagian dari hidup saya, meskipun kita tahu kita berasal dari dua dunia yang berbeda?”
Alya terdiam, kata-kata Leo terasa seperti angin yang menampar lembut pipinya. Ia bisa merasakan betapa tulus dan dalamnya perasaan Leo. Saat itu, ia merasa seolah dunia berhenti berputar sejenak. Apa yang telah mereka jalani, rintangan yang mereka hadapi bersama, ketakutannya yang perlahan memudar, dan ketulusan Leo yang selalu hadir, semuanya membuat hatinya merasa aman. Ada begitu banyak perasaan yang bertautan di dalam dirinya, begitu banyak ketakutan yang telah dilepaskan.
Dia tidak lagi takut.
Dengan langkah pelan, Alya mendekatkan dirinya pada Leo. Tangan mereka yang saling menggenggam semakin erat, seolah menegaskan keputusan yang telah mereka buat bersama. Mungkin ini bukanlah sebuah akhir, tetapi permulaan—permulaan untuk perjalanan cinta yang baru. Cinta yang tidak hanya saling menerima, tetapi juga saling memahami. Cinta yang datang dari dua hati yang saling memberi ruang untuk tumbuh.
“Alya, jawab saya. Maukah kamu menjadi bagian dari hidup saya?” Leo bertanya lagi, kali ini suaranya lebih lembut, penuh harap.
Alya menatap mata Leo dalam-dalam. Di dalam tatapan itu, ia melihat sebuah kehangatan yang tidak pernah ia temui sebelumnya. Ada rasa percaya, ada rasa kedamaian. Dalam detik itu, Alya tahu apa yang harus ia lakukan.
Dengan penuh keyakinan, ia mengangguk. “Ya, Leo. Saya mau. Saya ingin berjalan bersamamu. Tidak peduli dari mana kita berasal atau betapa sulitnya jalan yang harus kita lewati. Saya siap untuk mencintaimu, untuk menciptakan kisah kita bersama.”
Leo tersenyum, senyumnya yang selama ini membuat Alya merasa hangat. Matanya bersinar bahagia, dan dalam pandangan itu, Alya bisa merasakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Mereka berdua tidak lagi terperangkap dalam ketakutan dan keraguan, mereka tidak lagi dibatasi oleh perbedaan. Cinta yang mereka miliki adalah sesuatu yang lebih besar dari segalanya.
Mereka berpelukan, merasa dunia seolah milik mereka berdua. Tanpa kata, tanpa alasan. Hanya dua hati yang saling menyatu, melewati segala perbedaan dan rintangan yang ada di hadapan mereka.
Keesokan harinya, Alya merasa lebih ringan. Ia merasa seolah seluruh dunia memberi dukungan untuk kisah cintanya. Tidak ada lagi perasaan terjebak, tidak ada lagi ketakutan untuk kehilangan. Ia tahu, tidak ada yang pasti dalam hidup ini, tetapi satu hal yang pasti—ia sudah menemukan cintanya, dan itu adalah segala yang ia butuhkan.
Hari-hari setelahnya, mereka mulai merencanakan masa depan bersama. Meskipun perjalanan mereka tidak selalu mulus, mereka tahu bahwa mereka akan selalu ada untuk satu sama lain. Leo, yang sebelumnya hanya seorang pria yang hadir dalam hidupnya, kini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari perjalanan hidup Alya. Tidak hanya sebagai pasangan, tetapi sebagai teman sejati, seseorang yang selalu ada, dalam suka dan duka.
“Alya,” kata Leo suatu malam, saat mereka duduk bersama di tepi pantai, melihat ombak yang menghantam batu karang. “Aku tahu ini hanya awal. Banyak hal yang masih harus kita hadapi, tapi aku yakin kita akan menghadapinya bersama.”
Alya menatapnya dengan senyum tulus. “Ya, Leo. Kita akan menghadapi semuanya bersama, karena aku sudah menemukan apa yang selama ini aku cari. Dan itu adalah cinta, yang menyatu di antara kita.”
Malam itu, langit penuh bintang, dan keduanya merasa bahwa kisah mereka—sebuah kisah cinta yang dimulai dengan ketakutan dan keraguan—sekarang berubah menjadi sebuah perjalanan yang penuh harapan dan kebahagiaan. Jejak-jejak langkah mereka saling bersinggungan, saling mendukung, dan saling mencintai, membawa mereka menuju masa depan yang penuh dengan kemungkinan tak terbatas.
Mereka tahu, cinta yang menyatu ini adalah awal dari kehidupan baru, kehidupan yang tidak lagi terpisah oleh dunia yang berbeda, tetapi sebuah kehidupan bersama yang penuh dengan janji, kebahagiaan, dan cinta yang terus tumbuh.*
Epilog: Jejak yang Tak Terlupakan
Tahun telah berlalu sejak Alya dan Leo pertama kali mengucapkan janji mereka di taman yang sunyi itu. Dunia mereka berubah banyak, tetapi satu hal tetap—cinta mereka, yang semakin mendalam seiring waktu. Setiap langkah yang mereka ambil bersama membentuk jejak yang tidak hanya meninggalkan bekas di tanah, tetapi juga di hati mereka, tak terhapuskan meski waktu terus berlalu. Jejak itu tak sekadar tentang tempat yang mereka kunjungi bersama, atau momen-momen bahagia yang mereka bagi, tetapi juga tentang perjalanan emosional yang mereka tempuh, tentang bagaimana mereka belajar saling memahami, menerima, dan tumbuh bersama.
Alya kini berdiri di depan cermin, memandangi dirinya sendiri. Wajahnya sedikit lebih matang, matanya memancarkan kebahagiaan yang tak bisa disembunyikan. Ada senyum yang tak pernah hilang dari bibirnya, meskipun dunia kadang memberi kejutan yang tidak diinginkan. Ia mengenakan gaun putih sederhana, lebih dari sekadar pakaian untuk acara ini. Gaun itu, dengan potongan yang lembut dan elegan, adalah simbol dari perjalanan mereka yang penuh warna, dari perjuangan yang mereka lalui untuk sampai ke titik ini. Hari ini adalah hari yang sangat spesial, hari yang menandakan sebuah babak baru dalam hidup mereka—sebuah babak yang lebih pasti dan lebih penuh harapan.
Di luar ruangan, suara tawa dan obrolan riang para tamu terdengar. Pesta kecil yang digelar untuk merayakan hari bahagia mereka sudah dimulai. Namun, bagi Alya, segala kegembiraan itu terasa seperti bayangan yang pudar ketika ia memikirkan perjalanan panjang yang telah mereka lewati bersama. Ia dan Leo tidak hanya membangun hubungan mereka dari awal, tetapi juga saling menemani melewati rintangan yang sulit dan penuh tantangan. Ada banyak air mata, banyak pertanyaan yang belum terjawab, banyak rasa takut yang datang dan pergi. Tetapi ada juga tawa, kebersamaan, dan yang terpenting—cinta yang terus tumbuh.
Pintu terbuka, dan Leo muncul di ambang pintu. Senyumannya yang hangat langsung mencuri perhatian Alya, membuat hatinya berdebar seketika. Leo mengenakan setelan jas yang tampak sempurna di tubuhnya. Matanya yang lembut menatap Alya dengan penuh cinta dan kekaguman, seperti pertama kali mereka bertemu. Tidak ada kata-kata yang diperlukan untuk menggambarkan perasaan itu, hanya keheningan yang penuh makna di antara mereka.
“Sudah siap?” tanya Leo dengan suara lembut, meskipun matanya tidak bisa menyembunyikan kebahagiaan yang ada di dalamnya.
Alya hanya mengangguk, menyeka sedikit air mata yang hampir jatuh. Ia tersenyum, merasa begitu beruntung bisa berjalan di jalan hidup ini bersama Leo. Jalan yang dulu terasa asing, penuh ketidakpastian, kini berubah menjadi jalan yang penuh harapan. Cinta mereka adalah sesuatu yang sederhana, namun mendalam. Mereka tidak sempurna, tetapi mereka saling menerima kekurangan satu sama lain, dan itulah yang membuat hubungan mereka begitu kuat.
“Alya,” kata Leo, mendekat dan meraih tangan Alya, “kau tahu, aku sudah menantikan hari ini selama bertahun-tahun. Tetapi yang lebih penting, aku menantikan setiap hari yang akan datang bersama kamu.”
Alya merasakan tangan Leo yang hangat menggenggam tangannya, dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa bahwa segala yang ia lakukan, segala yang ia lewati, tidak sia-sia. Cinta ini, perjalanan ini, semuanya memiliki arti yang lebih besar daripada yang pernah ia bayangkan. Di hadapan Leo, ia merasa seperti dirinya yang sejati, tanpa ada yang harus disembunyikan.
Leo menatap Alya dengan penuh kehangatan. “Kita sudah melewati begitu banyak, dan aku tahu masih ada banyak tantangan yang harus kita hadapi. Tetapi aku percaya, bersama kamu, kita bisa menghadapinya semua.”
Alya tersenyum, matanya berbinar. “Aku juga percaya, Leo. Kita sudah membuktikan bahwa kita bisa melewati segalanya bersama. Tidak ada yang lebih penting bagiku selain kita berdua.”
Mereka berdua saling memandang dengan penuh kasih sayang. Tidak ada lagi keraguan, tidak ada lagi ketakutan. Cinta mereka telah melalui banyak ujian, dan kini mereka berdiri di sini, di titik yang mereka impikan bersama. Mereka telah menemukan satu sama lain dalam dunia yang penuh dengan perbedaan, dan kini mereka tahu, tidak ada yang lebih kuat dari ikatan yang mereka miliki.
Hari itu, di tengah tawa dan sukacita, mereka mengucapkan janji mereka sekali lagi, namun kali ini lebih kuat, lebih teguh dari sebelumnya. Janji untuk selalu ada untuk satu sama lain, untuk saling mendukung dan mencintai tanpa syarat, di setiap langkah kehidupan yang mereka tempuh bersama.
Jejak mereka sudah tercatat dalam waktu, dalam hati satu sama lain, dan dalam kenangan yang akan selalu mereka bawa ke dalam hidup mereka. Setiap tawa, setiap ciuman, setiap pelukan, semuanya membentuk jejak yang tak akan terlupakan. Cinta mereka, yang dimulai dari dua dunia yang berbeda, kini menyatu menjadi satu kisah yang indah dan penuh arti.
Ketika Alya menoleh ke belakang, ke jalan yang telah mereka lewati bersama, ia tidak merasa penyesalan sedikit pun. Semua yang terjadi, baik suka maupun duka, adalah bagian dari perjalanan yang membuat mereka menjadi siapa mereka hari ini. Tidak ada yang sia-sia. Semua jejak yang mereka tinggalkan adalah bagian dari kisah yang sempurna.
Dengan Leo di sisinya, Alya tahu satu hal pasti—cinta mereka tidak hanya akan menjadi kenangan indah di masa lalu, tetapi juga perjalanan yang akan terus berlanjut, melampaui batas waktu dan ruang. Jejak mereka, jejak cinta yang tulus, akan tetap ada, selamanya.
Dan saat itu, dalam keheningan yang menyelimuti mereka, Alya tahu bahwa ia tidak akan pernah lagi merasa sendiri. Mereka sudah menemukan satu sama lain, dan tak ada lagi yang bisa memisahkan mereka.
Jejak mereka akan tetap abadi.***
——-THE END——