Bab 1: Operasi Gagal
Hujan turun deras di tengah malam, menyapu padang pasir tandus yang mendadak berubah menjadi neraka. Petir membelah langit, menyinari sekejap bayangan delapan pria berpakaian tempur yang merayap di antara puing-puing bangunan tua. Di depan mereka, jauh di tengah reruntuhan kota tua di perbatasan Syam-Khurasan, berkedip lampu-lampu merah dari pos militan yang menjadi target operasi.
Kapten Reza Arya memberi isyarat dengan dua jari. Tim Alpha bergerak cepat, senyap seperti hantu. Misi mereka jelas: mengekstrak seorang informan kunci yang mengaku tahu lokasi gudang senjata ilegal milik kelompok teroris internasional Sakarat. Tidak boleh ada suara. Tidak boleh ada kesalahan.
“Delta 1, status?” bisik Reza ke mikrofon kecil di kerahnya.
“Target terlihat. Gerbang dijaga dua orang. Thermal mendeteksi lima di dalam bangunan utama. Belum ada alarm,” jawab Letnan Fikri, sniper tim mereka.
Reza mengangguk pelan. “Laksanakan protokol infiltrasi. Hitam senyap. Operasi dalam—”
BOOOM!
Tanah di depan mereka meledak hebat. Suara granat IED menghancurkan kesenyapan malam, menghantam dua anggota tim yang tak sempat menghindar. Tubuh mereka terlempar ke udara dan jatuh keras, tak bergerak. Reza terhempas ke belakang, telinganya berdengung keras.
“Ambush! Ambush! Posisi kita bocor!” teriak Mayor Hadi, komandan lapangan.
Seketika langit hujan berubah jadi pesta peluru. Senapan mesin berat mengaum dari sisi kanan pos musuh. Peluru memecah dinding dan menembus tanah di sekitar mereka. Reza menyeret dirinya ke belakang dinding beton setengah runtuh sambil meraih senapan serbu.
“Kita masuk perangkap!” desisnya, wajahnya berlumuran lumpur dan darah dari luka di pelipisnya.
“Alpha 3, Alpha 4—status!” Suara Reza menggema di radio, tapi yang ia dapat hanya statik panjang. Mereka terputus.
Fikri yang berada di posisi tinggi mencoba menembak balik, namun sniper musuh sudah lebih dulu memantaunya. Terdengar letusan tajam—dan tubuh Fikri terjatuh ke bawah, menghantam tanah tanpa suara. Satu per satu anggota timnya tumbang, tak ada waktu untuk proses. Ini bukan sekadar penyergapan biasa—ini pembersihan.
“Fallback! Semua unit, fallback ke titik Delta!” seru Mayor Hadi. Tapi sebelum ia sempat bergerak, peluru menembus lehernya. Darah memancar seperti pancuran rusak. Hadi terjatuh ke pelukan Reza dengan mata terbuka, kosong.
Reza mencabut pistol dari sarungnya dan membalik tubuh Mayor. Tak sempat menangis, tak sempat meratapi. Hanya sisa waktu untuk bertahan hidup.
Dalam kepanikan dan kobaran api, Reza lari menerobos puing, menghindari peluru yang seperti hujan memburu. Dua jam sebelumnya, ia masih percaya bahwa operasi ini akan menjadi akhir dari pengejaran panjang terhadap jaringan Sakarat. Kini, ia justru menyaksikan seluruh timnya dihancurkan dalam waktu kurang dari tujuh menit.
Di antara puing bangunan, Reza merangkak masuk ke saluran pembuangan tua yang dulu dipakai warga lokal sebelum kota ini ditinggalkan. Bau lumpur, darah, dan peluru menyatu jadi satu aroma khas dari sebuah misi yang dibantai.
Radio di bahunya hanya mengeluarkan suara retak-retak.
“…Kapten Reza… apakah… tersisa…?”
“Ini Reza Arya. Tim Alpha dinyatakan gagal. Korban—tujuh tewas. Saya satu-satunya yang bertahan. Meminta ekstraksi—kode prioritas merah.” Suaranya parau, nyaris tanpa emosi.
“Saluran terpantau. Jaga komunikasi minimum. Lanjutkan evakuasi diam-diam. Poin Delta-Echo dalam 15 klik,” jawab suara dari markas pusat.
Reza mematikan radio. Ia tahu musuh pasti juga menyadap frekuensi itu. Tak ada jaminan bahwa evakuasi akan berjalan aman. Bahkan, tak ada jaminan bahwa dia tidak sedang diburu sekarang. Setiap langkahnya mungkin sedang diawasi.
Di ujung lorong, Reza berhenti. Di tembok, ada simbol bercat merah. Sebuah lingkaran dengan mata di tengah—logo kelompok Sakarat. Di bawahnya, tertulis dengan darah:
“Pengkhianat tidak selalu berasal dari musuh.”
Reza mematung. Bukan hanya operasi ini yang gagal. Tapi ada yang jauh lebih mengerikan: seseorang di dalam sistem mereka telah membocorkan informasi. Dan sekarang, ia bukan hanya penyintas. Ia adalah satu-satunya saksi… dan buruan berikutnya.
Bab 2: Neraka yang Tertinggal
Tiga hari setelah operasi pembantaian itu, Kapten Reza Arya berdiri di depan markas utama Divisi Intelijen Khusus—bangunan beton masif berlapis baja di jantung ibukota, tampak kokoh, dingin, dan menyimpan terlalu banyak rahasia.
Wajahnya lebam, pelipisnya dijahit delapan jahitan. Tubuhnya masih membawa bekas luka pertempuran. Tapi luka fisik bukan yang paling menyakitkan—yang lebih menggerogoti adalah sunyi, pengkhianatan, dan bisikan diam-diam dari orang-orang yang dulu menyambutnya sebagai pahlawan.
Hari itu, ia bukan lagi pahlawan.
Ia adalah tersangka hidup dari misi yang gagal.
“Kapten Reza Arya,” suara berat dari balik meja logam itu menggetarkan ruang interogasi. “Anda satu-satunya yang selamat dari Operasi Tempest. Dan kami menemukan bukti bahwa komunikasi musuh seolah tahu gerakan kalian sebelum kalian sampai. Bagaimana Anda menjelaskan ini?”
Reza menatap lurus pria berseragam itu—Kolonel Santosa, kepala Divisi Investigasi Internal. Seorang veteran yang tak pernah tersenyum kecuali sedang mencium bau darah.
“Saya tidak bisa menjelaskan apa yang saya sendiri tidak tahu, Pak,” ucap Reza pelan. “Saya kehilangan tujuh anggota tim. Termasuk Mayor Hadi.”
“Dan Anda satu-satunya yang kembali hidup,” sahut Kolonel, menekankan kata ‘hidup’ seperti kutukan.
Reza mengepalkan tinjunya. “Apa Anda menuduh saya membunuh tim saya sendiri?”
“Saya tidak menuduh apa pun, Kapten. Saya hanya mencari kebenaran.” Santosa melempar seberkas dokumen. “Termasuk ini—data komunikasi Anda beberapa jam sebelum operasi, sinyal telepon satelit pribadi Anda aktif selama dua menit. Itu pelanggaran prosedur. Dan cukup waktu untuk menyampaikan koordinat ke musuh.”
Reza memicingkan mata. “Itu tidak mungkin. Saya tidak pernah—”
“Tidak pernah atau tidak ingat?” potong Santosa.
Reza menunduk, dadanya panas. Ia tahu prosedur. Ia tahu bahwa di dunia ini, satu celah bisa jadi peluru. Tapi ia juga tahu—dia tidak melakukan itu. Tapi jika bukan dia… maka siapa?
Santosa mendekat, menyandarkan tubuhnya ke meja. “Saya beri tahu Anda sesuatu, Kapten. Di dunia ini, kebenaran tidak selalu berdasarkan fakta. Tapi berdasarkan siapa yang paling kuat untuk menyampaikannya.”
Tiga jam kemudian, Reza keluar dari ruang interogasi dengan status: cuti tidak terbatas dengan pengawasan internal. Artinya: dia dikeluarkan secara diam-diam, tanpa sanksi resmi, tapi tetap diintai seperti hantu yang tidak dikehendaki.
Mobilnya sudah tidak ada di garasi. Akunnya dibekukan. Hanya satu orang yang menemuinya di lorong dingin markas: Sersan Tama, satu-satunya sahabat yang tersisa.
“Lo kena jebak,” bisik Tama, memberi gulungan kertas dan kunci motor tua. “Jangan percaya siapa pun. Bahkan saya. Mereka bilang lo harus disingkirkan, tapi saya nggak bisa—gue nggak percaya lo pengkhianat.”
Reza menerima kertas itu. Hanya satu koordinat, tertulis dengan tinta merah: 33°48’21.2″N 44°28’54.1″E.
“Ini di Irak…” gumam Reza.
Tama mengangguk. “Kota mati, bekas markas Sakarat. Kalau lo mau bersih nama lo, lo harus kembali ke neraka.”
Reza tidak menjawab. Ia hanya menatap langit sore—matahari tenggelam di balik gedung, menciptakan siluet yang terlalu mirip dengan medan perang.
Dua hari kemudian, Reza berdiri di perbatasan perbatasan Irak–Suriah, menyamar sebagai jurnalis perang. Jaket usang, kamera palsu, dan pistol kecil di pergelangan tangan kirinya. Ia tidak datang sebagai prajurit lagi—ia datang sebagai buronan yang mencari kebenaran.
Koordinat membawanya ke reruntuhan kota kecil, yang pernah menjadi basis komunikasi Sakarat. Di antara gedung tua dan jalanan berpasir, ia menemukan bunker setengah terkubur tanah. Pintu baja, rusak, namun masih menyimpan jejak-jejak darah lama.
Saat ia melangkah masuk, bayangan masa lalu menyergapnya.
Gema tembakan. Teriakan. Asap mesiu. Ia bisa melihat wajah Fikri, terjatuh dari menara. Wajah Mayor Hadi, bersimbah darah. Ia menggigil, tapi melangkah lebih dalam.
Di dalam bunker, ia menemukan sesuatu yang mengejutkannya—laptop tua yang masih menyala di bawah panel surya kecil. Sistem keamanan lemah. Tapi yang lebih mengejutkan adalah isinya:
File rekaman komunikasi operasi—dan suara pengkhianat yang tak asing di telinganya.
“…Tim Alpha akan tiba pukul 02:45. Ledakkan pada 02:43. Pastikan Reza tidak mati, kita butuh dia hidup.”
Reza membeku.
Suara itu… bukan hanya suara yang dikenalnya.
Itu suara yang pernah dia percaya.
Suara Kolonel Santosa.
Bab 3: Tanda Luka
Bunker itu sunyi seperti kuburan, tapi bagi Kapten Reza Arya, tempat ini lebih menakutkan daripada zona perang mana pun. Tubuhnya masih gemetar usai mendengar suara Kolonel Santosa dalam rekaman. Suara yang selama ini menjadi simbol disiplin dan loyalitas. Kini, menjadi suara pengkhianatan yang membunuh seluruh timnya.
Reza menatap layar laptop dengan rahang mengeras. Di dalamnya tersimpan log komunikasi rahasia, koordinat pengiriman senjata gelap, dan catatan aktivitas unit hitam yang tak terdaftar di bawah markas resmi. Satu nama muncul berulang—“Proyek Damar”.
Ia menyalin semua data ke dalam flashdisk kecil yang selalu ia sembunyikan di pelat logam dalam tumit sepatunya. Tangan kanannya bergetar saat menutup laptop itu, menyadari bahwa ia kini memegang bukti pengkhianatan di tubuh institusi yang seharusnya melindunginya.
Ketika ia keluar dari bunker dan melangkah ke reruntuhan kota, langkahnya terhenti. Ada tubuh—seseorang, tergeletak di balik reruntuhan dinding.
Reza segera merunduk, menarik pistol dan mendekati tubuh itu perlahan. Seorang pria, mengenakan pakaian compang-camping khas pengungsi. Wajahnya hancur, tapi yang membuat Reza membeku bukanlah wajahnya—melainkan tanda di leher pria itu.
Sebuah luka berbentuk segitiga kecil, dibakar dengan logam panas. Tanda khas eksekusi internal milik kelompok militan Sakarat.
Reza menyentuh luka itu pelan. “Kenapa kau dibunuh oleh kelompokmu sendiri…?”
Di tangan mayat itu ada secarik kain terlipat. Reza menariknya perlahan, membuka lipatan kertas lusuh yang diselipkan di dalamnya. Tulisan tangan kasar tergores di sana:
“Jika kau menemukan ini, maka mereka sudah tahu kau selamat. Kebenaran ada di punggung mereka yang sudah dibakar. Mereka adalah saksi. Cari dia—yang pernah menari di atas api.”
Kalimat itu aneh. Puitis. Tapi Reza tahu—dunia spionase memang tak pernah bicara dengan bahasa lugas.
“Yang pernah menari di atas api.”
Ia menggigit bibir, berpikir keras. Siapa yang memiliki luka bakar sebagai identitas? Lalu ingatannya menari ke masa lalu—seorang agen ganda, mata-mata Sakarat yang dulu ditangkap di Aleppo tapi kemudian menghilang dalam tahanan: Dina Al-Hamra.
Dua hari kemudian.
Reza berada di kota kecil perbatasan bernama Al-Qaryatayn. Kota ini bagai luka yang tak kunjung sembuh—pasar penuh debu, anak-anak bermain di antara puing-puing, dan tentara bayaran dari berbagai negara lalu-lalang seperti hantu haus darah.
Ia menyamar sebagai kurir. Ia tahu Dina masih hidup—karena hanya sedikit orang yang bisa menghilang seperti itu dan tak pernah tertangkap satelit. Dan satu-satunya tempat yang cukup gelap untuk sembunyi adalah di antara orang-orang yang tak peduli siapa kamu, selama kamu bisa membayar.
Di sebuah bar sempit di sudut gang, Reza duduk sambil meneguk air mineral dari botol plastik. Seorang wanita masuk, mengenakan kerudung kusam, membawa koper besar dan luka lama di pipi yang belum sembuh betul. Ia duduk di seberang Reza tanpa diundang.
“Kalau kau bawa tentara, aku akan menembakmu duluan,” katanya, tenang.
Reza tak menjawab. Ia hanya menatap matanya—mata cokelat gelap yang dulu pernah memandangnya dari balik penjara—dan dari balik ingatan yang membara di medan perang Aleppo.
“Dina Al-Hamra,” ujar Reza pelan.
Wanita itu menyipitkan mata. “Aku bukan siapa-siapa sekarang.”
“Tapi aku butuh seseorang yang tahu bagaimana dunia terbakar, dan siapa yang menyulutnya.”
Dina menyandarkan punggungnya ke kursi. “Lalu kenapa kau datang padaku?”
Reza mengeluarkan flashdisk dari tumit sepatunya dan meletakkannya di atas meja. “Karena aku pikir kau juga ingin melihat orang-orang yang membakar kita… terbakar balik.”
Dina menyentuh flashdisk itu, wajahnya berubah serius. “Apa ini?”
“Jejak kematian timku. Bukti pengkhianatan. Dan sesuatu yang disebut Proyek Damar.”
Dina tersenyum tipis. “Proyek Damar… Kau baru masuk ke neraka yang lebih dalam dari yang kau tahu.”
“Aku tidak peduli seberapa dalam. Aku akan masuk, asal aku tahu siapa yang harus kubakar.”
Dina menatap Reza lama. Lalu membuka kerudungnya pelan—dan di lehernya, ada luka berbentuk segitiga kecil. Bekas yang sama dengan mayat di bunker.
“Sakarat meninggalkan tanda itu pada semua anggotanya. Tapi mereka hanya membakar yang mereka anggap telah mengkhianat. Aku satu dari sedikit yang masih hidup.”
Reza menatap luka itu. Ia akhirnya menemukan saksi. Tapi ia juga tahu, setiap langkah setelah ini akan membawa mereka lebih dalam ke jaringan kegelapan yang tak pernah tertulis dalam sejarah resmi negara.
Dan di tengah reruntuhan kota, dua orang yang pernah jadi alat kini memutuskan untuk menjadi peluru.
Bab 4: Kota Mati
Langit pagi menyelimuti kota Al-Qaryatayn dengan warna kelabu, seolah-olah matahari pun enggan bersinar di atas tanah yang tak pernah benar-benar damai. Di sebuah kamar kecil di lantai dua bangunan bekas toko tekstil, Reza dan Dina duduk menghadap peta tua yang sudah sobek di beberapa bagian.
Peta itu bukan sekadar lembaran—melainkan peta lama kota Al-Zahran, tempat yang dulu dikenal sebagai pusat komunikasi dan pelatihan kelompok Sakarat. Kini, kota itu tinggal puing-puing. Dihancurkan dalam serangan udara tiga tahun lalu, lalu dibiarkan mati.
Namun menurut data yang ditemukan Reza dari bunker, kota itu belum benar-benar mati. Di bawah tanah, terdapat bunker besar yang disebut Nexus, tempat lahirnya proyek rahasia bernama Damar. Sesuatu yang tidak tercatat dalam dokumen resmi militer mana pun.
“Damar bukan sekadar operasi infiltrasi,” kata Dina sambil menunjuk bagian tengah peta. “Ini program pembentukan milisi bayangan. Para mantan tentara yang dipalsukan kematiannya lalu diubah jadi algojo bayaran. Operasi hitam murni, tanpa afiliasi negara. Dan Kolonel Santosa salah satu pemiliknya.”
Reza menatap titik merah di peta. “Kau tahu ini karena…?”
“Aku dulu bagian dari Damar. Sampai aku kabur.”
Reza mengangguk pelan. Setiap jawaban yang ia cari ternyata membawa lebih banyak luka, lebih banyak kebenaran busuk yang mengoyak kepercayaannya. Tapi ia sudah tak bisa mundur.
Mereka tiba di pinggiran Al-Zahran menjelang malam. Jalanan bergelombang, penuh puing dan kawah bekas ledakan. Sisa-sisa perang tampak seperti bekas luka terbuka yang tak kunjung sembuh.
Reza turun dari jip tua mereka, mengenakan rompi kevlar dan sarung tangan taktikal. Pistol terselip di paha, senapan serbu di punggung, dan senter kepala menyala pelan di kegelapan.
“Kita masuk dari terowongan pembuangan di utara,” bisik Dina. “Tapi kalau mereka masih aktif, kita harus siap dengan jebakan.”
Mereka menyusuri lorong sempit, bau besi karat dan jamur memenuhi udara. Tak ada cahaya, hanya pantulan merah dari senter yang menari di dinding beton yang penuh coretan dalam bahasa Arab dan kode tak dikenal.
Setelah lima belas menit menyusur, mereka tiba di pintu logam tua dengan roda pengunci di tengahnya.
Dina memutar roda itu pelan. Pintu berderit berat, membuka lorong lain dengan tangga menurun—menuju perut kota mati.
Dan begitu mereka turun, dunia berubah.
Bawah tanah Nexus adalah labirin. Lorong-lorong beton setebal satu meter dengan pencahayaan darurat berwarna merah darah. Kamera tua masih terpasang di sudut-sudut, dan alarm mati berdetak lemah seperti jantung mesin yang hampir mati.
Di tengah lorong, mereka menemukan ruangan kaca besar dengan komputer-komputer tua berdebu. Tapi yang membuat Reza berhenti adalah dinding-dinding yang dipenuhi foto—semua anggota pasukan elite, termasuk foto-foto dari tim Alpha… timnya.
Mereka ditandai satu per satu. Beberapa dicoret. Beberapa masih menyala dalam bingkai digital. Dan di sudut kiri atas, ada fotonya sendiri.
Nama: REZA ARYA
Status: OBJEK BERTAHAN – DIPANTAU
Kode Damar: VULKAN.07
Reza terpaku. “Apa maksudnya ini?”
Dina menelan ludah. “Kau bukan hanya target. Kau bagian dari eksperimen mereka. Proyek Damar bukan hanya soal tentara bayaran. Ini juga program rekayasa psikologis. Mereka menanamkan trauma, lalu membentuk ulang loyalitas. Kau salah satu dari yang mereka bentuk.”
Reza mengguncang kepalanya. “Tidak. Itu tidak mungkin.”
“Pikirkan, Reza. Berapa kali kau ditempatkan di misi bunuh diri dan tetap hidup? Kenapa hanya kau yang selamat saat semua mati?”
Reza memejamkan mata. Kilatan demi kilatan masa lalu menyerbu—misi-misi yang seharusnya mustahil, keberuntungan yang terlalu sempurna, dan ketahanan mental yang sering ia pertanyakan sendiri.
“Mereka membentukmu untuk bertahan, bukan untuk menang,” kata Dina perlahan.
Sebelum Reza sempat menjawab, terdengar suara langkah berat mendekat.
“Cepat, sembunyi!” bisik Dina, menarik Reza ke balik meja server.
Tiga pria bersenjata lengkap memasuki ruangan. Salah satunya membawa tablet dan mulai memindai sistem komputer. Mereka bukan warga lokal. Gerakan mereka terlalu disiplin. Mata mereka penuh api—bukan semangat, tapi ketundukan yang diprogram.
“Tim monitoring melaporkan bahwa objek Vulkan 07 telah masuk area Nexus,” ujar salah satu pria dengan suara datar. “Perintah Kolonel: hidup-hidup.”
Reza menahan napas. Ia menatap Dina. Ini bukan lagi sekadar penyelidikan. Ini adalah perburuan, dan ia kini resmi menjadi mangsanya sendiri.
Saat para algojo berpencar, Reza dan Dina merunduk menyusuri lorong gelap lain, menuju ruang server utama yang disebut “INTI.” Tempat semua data, rekaman eksperimen, dan identitas para pelaku disimpan.
Reza mencengkeram pistolnya erat. Matanya tajam. Pikirannya dingin.
Jika ia adalah produk mereka—maka ia juga tahu cara menghancurkan mereka dari dalam.
Bab 5: Darah Lama, Luka Baru
Lorong menuju ruang INTI sempit dan gelap, hanya diterangi cahaya dari senter kepala Reza yang gemetar oleh napasnya sendiri. Suara langkah para eksekutor masih terdengar samar di kejauhan, menggema seperti ancaman yang tak pernah benar-benar pergi.
Di sampingnya, Dina menggenggam pistol dengan tangan kiri—tangan kanannya terbalut perban tipis karena tersayat logam di salah satu pintu masuk bunker tadi. Darah merembes sedikit di ujung perban, tapi ia tetap berjalan, mata terfokus pada tujuan: membongkar kebusukan yang telah menjadikan hidup mereka neraka.
“Reza,” bisiknya, “kau yakin masih ingin masuk lebih dalam? Kalau kita buka semua file di INTI, mereka akan tahu. Kita tak akan bisa mundur.”
Reza menjawab tanpa menoleh. “Aku sudah tak punya tempat untuk kembali, Dina. Satu-satunya jalan ke depan… adalah melewati api.”
Langkah mereka berhenti di depan pintu besi besar bertuliskan huruf pudar: “NEXUS CORE – CLASSIFIED”. Di samping pintu, ada panel biometrik dan keypad kuno.
Reza mengangkat alis. “Kau tahu cara masuk?”
Dina tersenyum tipis. “Dulu aku agen utama untuk wilayah Al-Zahran. Aku bahkan punya kode pintu ini di mimpi burukku.”
Ia menekan beberapa angka, lalu mendekatkan matanya ke scanner. Cahaya merah menyala. Beberapa detik hening. Lalu…
“Access Granted.”
Pintu terbuka perlahan, mendesis berat seperti membuka peti kutukan yang seharusnya tak dibuka lagi. Udara di dalam ruangan itu lebih dingin dari ruang-ruang sebelumnya. Server-server besar berdiri seperti raksasa bisu, berdesing pelan. Di tengah ruangan ada satu terminal utama, dikelilingi oleh panel kontrol dan layar LCD yang mati.
Reza duduk di depan terminal. “Bantu aku masuk ke sistemnya.”
Dina membuka port USB, memasukkan flashdisk yang berisi salinan data dari bunker pertama.
Komputer menyala.
Layar hitam berubah menjadi jalinan kode dan log operasi. Folder demi folder bermunculan: OP DAMAR, ECHO BLACK, VULKAN, PSYOPS Z-LINE, dan di bagian bawah… NAMA-NAMA. Ratusan. Bahkan ribuan.
Beberapa nama dicoret merah. Tapi satu nama di bagian atas menonjol:
REZA ARYA – PROTOKOL: VULKAN.07 – STATUS: AKTIF – PSYPROG LEVEL 5.
Reza membacanya pelan. Di bawahnya, tercatat:
Diterima ke dalam program setelah kejadian “Lompatan Banjar 2064”
Dilatih melalui trauma berulang dan skenario pengkhianatan simulatif
Potensi: Tinggi. Loyalitas dipantau melalui penyisipan trauma konstan.
Catatan terakhir: mulai menunjukkan gejala penolakan realita. Status kritis.
Ia terdiam. Nafasnya tercekat. “Mereka… membuatku begini.”
“Ya,” bisik Dina. “Tapi kau masih hidup. Dan itu yang membedakanmu dari mereka.”
Tiba-tiba, suara dari speaker tua di sudut ruangan berderak.
“Akhirnya sampai juga di jantungnya, Kapten Arya.”
Reza menoleh tajam. Ia mengenali suara itu. Lembut. Tenang. Tapi menyimpan belati di setiap katanya.
Kolonel Santosa.
“Kau selalu keras kepala. Bahkan setelah semua fase pelatihan, kau tetap memberontak. Tapi itulah kenapa kau berhasil. Kau lebih cocok jadi senjata ketimbang manusia.”
Dina berdiri. “Kita unduh semua data dan pergi. Sekarang juga.”
Reza mulai menyalin folder ke dalam flashdisk, jari-jarinya bergerak cepat. Tapi sebelum proses selesai, layar berubah. Gambar CCTV menyala. Mereka melihat diri mereka sendiri, dari sudut atas ruangan. Kamera aktif.
“Pintumu sudah kututup, Kapten. Tapi jangan khawatir. Aku datang untuk menjemputmu sendiri,” lanjut suara Santosa. “Karena darah lama belum tuntas, dan luka baru baru saja kubuka.”
Tiba-tiba, sistem menyala merah.
“LOCKDOWN INITIATED.”
Sirene meraung. Pintu otomatis mengunci dengan bunyi dentuman. Suara langkah berderap cepat di lorong luar. Reza mengangkat senapan. Dina menyiapkan granat asap.
“Mereka datang,” bisik Dina.
Reza menoleh. Matanya kini tak lagi gentar. Bukan hanya karena ia siap bertarung, tapi karena ia tahu siapa musuh sebenarnya.
“Kita keluarkan data ini. Kita bocorkan semuanya. Dunia harus tahu.”
“Setuju,” Dina mengangguk. “Tapi kita harus keluar hidup-hidup dulu.”
Pintu besi mulai berguncang. Ledakan kecil terdengar dari baliknya. Gas mulai mengalir dari ventilasi, membanjiri ruangan dengan kabut putih.
“Mereka pakai gas neuroblok,” desis Dina. “Kalau terhirup terlalu lama, kita bisa hilang kesadaran.”
Reza membuka panel lantai darurat. “Ada saluran servis ke sistem pembuangan. Kita kabur dari sana.”
Dengan data di tangan, mereka menyusuri lorong terakhir. Di belakang mereka, para pemburu sudah masuk. Peluru pertama menghantam server. Data yang tersisa mulai terbakar.
Tapi Reza dan Dina sudah masuk ke kegelapan—membawa darah lama dan luka baru ke dunia atas.
Dunia tempat kebenaran harus dibayar dengan peluru dan pengkhianatan.
Bab 6: Pemburu dan Bayangannya
Angin malam menggigit kulit ketika Reza dan Dina muncul dari lubang pembuangan di belakang reruntuhan kompleks Al-Zahran. Nafas mereka berat, paru-paru penuh gas sisa, dan pakaian mereka berlumur debu serta peluh. Tapi di tangan Reza tergenggam erat flashdisk kecil yang menyimpan bukti kehancuran—dan alasan mereka harus terus hidup.
Jip tua yang mereka sembunyikan di semak-semak masih utuh. Dina segera menyalakannya, dan mesin bergemuruh pelan seperti makhluk tua yang enggan bangun.
“Kita kemana sekarang?” tanya Dina, memeriksa senapan sambil menoleh ke belakang.
Reza menatap langit. Bintang-bintang tertutup kabut perang. “Ke satu-satunya tempat yang tak akan dicurigai…”
Ia diam sejenak.
“Ke markas lamaku di Turbah. Aku punya kontak lama yang bisa bantu sebarkan ini.”
Di kejauhan, dari balik teropong malam, sepasang mata mengawasi jip mereka menjauh.
“Visual on target. Vulkan-07 masih hidup, membawa wanita eks-Sakarat. Perintah, Kolonel?”
Di seberang frekuensi, suara Santosa terdengar dingin.
“Jangan habisi dia. Ikuti. Biarkan dia berpikir dia bebas. Kita akan memburu bayangannya… dan membakar dunia tempat ia mencoba bersembunyi.”
Turbah, 18 jam kemudian.
Turbah bukan kota, bukan desa, lebih mirip sisa-sisa peradaban. Dikelilingi gurun dan gunung tandus, tempat ini menjadi rumah bagi pelarian, tentara bayaran, dan intel pensiun yang ingin dunia melupakannya.
Reza dan Dina tiba di depan bangunan kecil berbentuk kubah, dindingnya dicat kusam dengan coretan tulisan Pashto dan Arab. Di dalamnya, aroma teh pahit dan mesiu menyambut mereka.
Pria tua berambut putih dan mata seperti burung elang menyambut mereka. Namanya Bashir, mantan analis militer dan pembocor data operasi gelap.
“Kalau Reza Arya datang jauh-jauh ke liang ular ini, pasti yang dibawanya bukan sekadar luka,” kata Bashir, menyilangkan tangan.
Reza melempar flashdisk ke atas meja. “Aku butuh ini disiarkan ke semua jalur—media alternatif, deepnet, bahkan saluran musuh.”
Bashir memutar flashdisk itu seperti dadu keberuntungan. “Kau sadar siapa saja yang akan datang begitu ini keluar?”
“Sudah terlalu banyak yang mati karena kebenaran disimpan rapat. Kali ini, biar dunia terbakar karena tahu,” sahut Reza tajam.
Bashir mengangguk pelan. “Baik. Tapi itu artinya, mulai sekarang, kalian adalah target global.”
Di malam ketiga, setelah proses enkripsi dan penyebaran dimulai, sinyal bahaya datang.
Satu tembakan senapan jarak jauh menghantam dinding luar markas Bashir. Alarm manual meraung. Dina sudah bersiaga di jendela, sementara Reza merunduk di lorong belakang.
“Penembak jitu di bukit selatan!” teriak Dina.
Reza menekan radio. “Bashir, kau punya jalur keluar?”
“Terowongan bawah, tapi butuh waktu dua menit untuk buka pintunya!”
“Dapatkan dua menit itu!” Reza bergerak ke arah atap, membawa senapan DMR dan peluru lapis baja.
Dari atas, ia bisa melihat tiga sosok mendekat dari arah timur—berpakaian hitam penuh, perlengkapan militer mutakhir, tak berlogo, dan tanpa suara.
Reza menarik napas, menyejajarkan bidikannya.
DOR!
Pria pertama tumbang. Peluru menembus helmnya, menandakan Reza masih menjadi salah satu penembak paling mematikan di angkatannya.
Dina meluncurkan granat ke sisi lain—menghantam jalan dan membentuk awan debu yang menutupi pandangan para eksekutor.
Reza menembak lagi. Kedua. Ketiga. Tapi mereka tak berhenti. Mereka bukan pembunuh biasa. Mereka adalah sisa-sisa Damar—produk sempurna yang diciptakan untuk tak takut mati.
Dan kini, mereka memburu salah satu dari mereka sendiri.
Bashir berhasil membuka terowongan bawah tanah. Dina dan Reza masuk terakhir, menutup pintu logam di belakang mereka saat peluru menghujani dinding di atas.
“Kita tak bisa bertahan di satu tempat lagi,” kata Dina sambil menarik napas.
Reza menatapnya. “Kita tak butuh bertahan. Kita harus menyerang balik.”
Ia membuka tas hitam yang ia sembunyikan sejak awal. Di dalamnya, bukan hanya senjata—melainkan daftar nama dan lokasi para operator Damar yang masih aktif, tersebar di berbagai negara.
“Aku tak akan menunggu mereka datang. Kali ini, kita yang berburu.”
Dina mengangguk. “Kau yakin kita bisa mengalahkan mereka satu per satu?”
Reza menatap mata Dina—mata yang pernah dipenuhi trauma, kini menyala dengan tekad baru.
“Aku dilatih untuk bertahan. Tapi sekarang, aku akan pakai semua itu untuk menghancurkan orang yang menciptakan monster sepertiku.”
Mereka menyusuri lorong gelap menuju kendaraan yang telah disiapkan Bashir. Di belakang mereka, kota Turbah terbakar perlahan oleh pertempuran singkat.
Di depan mereka, daftar nama. Jejak darah baru yang akan mereka ukir.
Bukan sebagai korban.
Tapi sebagai bayangan pemburu yang tak bisa dilihat sampai sudah terlambat.
Bab 7: Peluru Tak Bertuan
Langit di atas perbatasan utara Kazim membentang kelam, dihiasi awan tebal yang mengunci sinar bulan. Dari atas bukit kering, Reza mengamati area di bawahnya dengan teropong malam. Di kejauhan tampak gudang tua berdinding seng, dikelilingi pagar listrik dan dua menara pengawas. Cahaya lampu sorot berputar perlahan, menyapu tanah berdebu seperti mata robot yang lelah.
Gudang itu bukan sekadar tempat penyimpanan logistik—itu markas rahasia Operator Alpha: pria bernama Ihsan Yadullah, mantan pelatih mental Damar dan orang yang secara langsung bertanggung jawab atas aktivasi trauma psikologis Reza.
“Target masuk jam 01.05. Dikelilingi enam penjaga tetap. Dua sniper di atap,” ujar Dina melalui earpiece. Ia berada 400 meter dari sisi timur, bersiap sebagai backup.
Reza menghela napas perlahan. “Metode lama. Pola penjagaan seperti buku teks. Mereka pikir aku akan menyerang dengan cara yang sama.”
“Dan kau?”
“Aku bawa peluru yang tak tahu siapa tuannya.”
Dina hanya menjawab dengan dengusan pendek. Ia sudah tahu, saat Reza berkata begitu, artinya seseorang akan mati—dan tak ada yang bisa menghentikannya.
Jam 01.05 tepat.
Sebuah kendaraan lapis baja tanpa tanda masuk ke dalam pagar. Reza mengenali wajah di dalamnya dari pantulan lampu interior: Ihsan Yadullah, lebih tua, lebih gemuk, tapi sorot matanya masih tajam. Orang yang tersenyum sambil menyetrum para subjek pelatihan hanya untuk “mengukur ketahanan trauma.”
Reza menyisipkan peluru ke senapan jarak jauhnya. Bukan peluru biasa—ini peluru berisi data chip mini, yang saat menembus tubuh akan mengirimkan lokasi dan identitas korban ke jaringan darkweb tempat Bashir telah menanam “Jejak Balas Dendam Damar”.
Setiap kematian akan jadi pesan. Dunia akan tahu siapa yang mereka pernah latih… dan siapa yang kini mereka buru.
“Tandai target.”
Reza menarik nafas dalam, lalu menahan. Ujung laras senapan berhenti tepat di dada kiri Ihsan.
“Hembus.”
DOR!
Darah menyembur di kaca mobil. Tubuh Ihsan terlempar ke sisi kanan, dan sebelum pengawal sempat memahami arah tembakan, dua peluru tambahan sudah menyusul—menghantam dada penjaga yang berada di sisi kendaraan.
“Sniper timur tereliminasi,” suara Dina terdengar di radio. “Kau bikin mereka panik.”
Reza tersenyum kecil. “Panikan mereka. Itu bagian dari balas dendam.”
Alarm di markas berbunyi. Lampu menyala. Enam orang mulai menyebar ke segala arah. Tapi Reza tak tinggal di tempat. Ia sudah berpindah, meninggalkan jejak palsu dan memasuki rute bawah tanah yang ia gali sejak malam sebelumnya.
Dua menit kemudian, ia sudah berada di sisi belakang markas. Ia menjatuhkan tiga granat asap dan menyusup masuk bersama kabut putih.
Di dalam, ruang kontrol kosong. Komputer menyala. Ia mengakses data dengan sidik jari yang ia salin dari jaringan militer Damar—hasil kerja Dina dan Bashir.
Folder baru muncul: “Protokol ZION”.
Reza membuka file itu.
Di layar: foto-foto para subjek eksperimental. Beberapa dikenalinya. Satu di antaranya, membuat jantungnya berhenti sejenak.
“Dina F. Laksmi – Subjek Delta 03 – Status: Dormant. Potensi Level 6.”
Reza membeku. Tapi waktu tak berpihak. Suara langkah berat terdengar di lorong. Ia menyalin file ke flashdisk kedua dan membakar sistem dengan EMP mini yang ia bawa. Semua data hilang, kecuali yang ia simpan.
Saat ia keluar, asap mulai menipis. Para penjaga masih mengatur formasi. Reza menyelinap ke sisi barat dan menyalakan detonator jarak jauh.
BOOM.
Satu sisi markas meledak. Tak cukup besar untuk menghancurkan seluruh gedung, tapi cukup untuk mengalihkan perhatian.
Dari kejauhan, Dina menunggu dengan sepeda motor curian. Reza melompat ke belakang, dan mereka melaju di tengah malam, meninggalkan kobaran api dan kekacauan di belakang.
“Berhasil?” tanya Dina, melirik sekilas.
Reza tak langsung menjawab. Ia membuka flashdisk dan menunjukkan namanya yang muncul bersama milik Dina.
Dina membaca cepat. Rahangnya mengeras.
“Aku juga bagian dari mereka?”
Reza mengangguk. “Kau hanya belum diaktifkan.”
Dina menatap jalan gelap di depan mereka. “Kalau begitu, ayo selesaikan ini… sebelum aku jadi monster yang mereka inginkan.”
Di dalam ruang observasi bawah tanah, Kolonel Santosa menatap layar monitor dengan ekspresi netral. Video kematian Ihsan sudah tersebar di jaringan gelap. Komentarnya beragam—dari simpati, hingga kekaguman.
Seorang perwira masuk tergesa. “Tuan, ‘Vulkan-07’ telah bergerak ke tiga lokasi. Dia membunuh dengan pola acak, tanpa klaim, tanpa sinyal.”
Santosa tersenyum tipis.
“Tidak ada peluru yang benar-benar tak bertuan. Dia sedang memberi pesan… hanya kita yang tahu cara membacanya.”
Ia berdiri, membuka peta digital yang menampilkan beberapa titik berkedip merah.
“Dan sekarang… saatnya mengirimkan ‘bayangan’ untuk memburu si pemburu.”
Bab 8: Api dalam Dinding Besi
Udara di wilayah bekas zona perang Gaza Timur berbau karat dan abu. Di tengah reruntuhan dan tank terbengkalai, Reza dan Dina menatap dinding logam raksasa yang mencuat dari perut gurun: Benteng D-07, salah satu fasilitas bawah tanah terakhir milik Proyek Damar yang aktif.
Bangunan itu tak terdeteksi satelit. Berada 60 meter di bawah tanah, dengan pelindung baja sekelas silo nuklir dan penjagaan otomatis. Namun, berdasarkan data yang dicuri dari markas Yadullah, di dalamnya terdapat inti server Protokol ZION—pusat pengendali semua subjek Damar yang tersebar di seluruh dunia.
Jika mereka bisa mematikannya, proyek itu lumpuh. Jika gagal, maka para subjek—termasuk Dina—bisa diaktifkan dengan satu perintah.
“Kau yakin bisa masuk ke tempat ini?” tanya Dina, melirik peta holografik di tangannya.
Reza mengecek senapan dan merakit detonator magnetik. “Dulu aku dilatih di sini. Aku tahu di mana dindingnya retak, dan di mana api bisa menyusup.”
Langit malam mulai turun saat mereka bergerak mendekati gerbang belakang. Pagar listrik tinggi dan ranjau panas menjaga perimeter. Tapi Reza punya jalannya sendiri: lorong pembuangan ventilasi di sisi barat, cukup sempit untuk merangkak, tapi tak terlacak oleh drone.
Dina masuk lebih dulu. Tubuhnya meluncur mulus di antara kabel dan besi berkarat. Reza mengikuti di belakang, membawa ransel penuh alat ledak dan EMP portabel.
“Sepuluh menit menuju ruang kontrol utama. Dua penjaga AI dan satu pasukan biologis,” bisik Dina sambil menempelkan pelat logam ke pintu dalam.
“Biologis?” Reza mengerutkan alis.
Dina menatapnya. “Subjek eksperimental. Sepertimu.”
Di dalam, suhu turun drastis. Pendingin suhu ekstrem menjaga suhu server tetap stabil. Tapi bukan itu yang membuat Reza gemetar. Dari balik kaca pengaman, ia melihat tiga sosok manusia—telanjang dada, tubuh penuh bekas jahitan, dan mata bersinar merah samar. Mereka berdiri diam seperti patung, namun napas berat mereka berembus seperti mesin.
“ZION mengaktifkan proyek ‘Parabellum’. Mereka bukan hanya pembunuh, mereka adalah pengendali. Seandainya semua subjek aktif, mereka bisa mengatur ribuan Damar hanya lewat frekuensi suara,” bisik Reza.
Mereka mencapai pusat kontrol. Dua penjaga otomatis berputar di rel magnetik, membawa senapan plasma kecil. Dina mengalihkan sistem melalui panel sirkuit, membuat satu turret berputar ke arah temannya sendiri.
Tzzzt—DORRR.
Kedua turret saling menembak, dan terbakar sendiri.
“Kau makin jago,” puji Reza.
“Trauma bikin belajar cepat,” Dina menjawab dingin.
Di depan mereka, pintu besi setebal satu meter berdiri. Di baliknya, otak digital Protokol ZION.
Reza memasang empat detonator berdaya tinggi, lalu memrogramnya mundur sepuluh menit. Tapi sebelum mereka sempat keluar, sirene menyala.
“PERINGATAN: AKSES TIDAK SAH. PROTOKOL PENGAKTIFAN DIMULAI.”
Reza membeku. “Mereka mengunci sistem. Ini jebakan.”
Dina menatap layar. Sebuah perintah berjalan otomatis:
ACTIVATE DELTA-03: MISSION OVERRIDE. OBJECTIVE: NEUTRALIZE SUBJECT VULKAN-07.
Reza memalingkan wajah. Dina menunduk, tubuhnya mulai gemetar. Di matanya, pupil melebar, dan urat lehernya menegang.
“Dina…” Reza mendekat, pelan. “Lawan itu. Bukan kamu yang menulis perintah itu.”
Tapi Dina tak menjawab. Ia meraih pistol dari ikat pinggangnya, menodongkannya ke kepala Reza.
Tangannya bergetar.
“Re…za… Aku… aku tak bisa… pikiranku dipenuhi suara…”
Reza meletakkan senjatanya.
“Dengar aku. Kau lebih dari kode. Kau bukan Delta-03. Kau Dina. Kau yang selamatkan aku. Kau yang pilih hidupmu.”
Air mata mulai menetes dari mata Dina.
Tapi pistolnya masih gemetar di udara.
“Kalau harus mati… lebih baik oleh tanganmu sendiri daripada menjadi monster mereka.”
Reza mendekat, sampai moncong pistol menyentuh dadanya.
“Kau bebas memilih. Kau satu-satunya subjek yang bisa memilih.”
Jari Dina perlahan turun. Pistol jatuh ke lantai. Tubuhnya ambruk, dan Reza memeluknya erat.
“Terima kasih,” bisik Dina, lemah.
Reza menekan detonator darurat.
“Sudah saatnya api menghancurkan dinding besi.”
BOOOOMMM!
Ledakan mengguncang seluruh fasilitas. Server ZION hancur. Sistem kendali pecah berkeping. Para subjek dalam kapsul menggelepar liar, kehilangan pusat kontrol. Beberapa pingsan, beberapa mati seketika.
Reza dan Dina melompat keluar dari ventilasi sebelum ledakan kedua menghancurkan pilar utama.
Dari kejauhan, langit malam diterangi cahaya oranye besar yang naik dari gurun.
Benteng D-07 tenggelam. Dan dengan itu, kendali atas subjek Damar ikut musnah.
Untuk pertama kalinya, tidak ada lagi yang bisa mengaktifkan mereka… kecuali mereka sendiri.
Di ruang gelap, jauh dari lokasi, Kolonel Santosa menatap layar penuh interferensi.
Ia tersenyum.
“Bagus, Vulkan. Hancurkan dindingnya. Tapi ingat… bahkan api pun punya batas.”
Ia mematikan layar, lalu menatap berkas bertuliskan satu nama terakhir yang belum tersentuh.
“Subjek Omega – Status: Tidak Diketahui.”
Bab 9: Dina
Langit malam yang kelam menyelimuti kota hancur bekas zona perang. Reza menekan pedal gas, mesin jeep tua berderu keras melawan tumpukan puing yang memenuhi jalan. Dina duduk di sampingnya, wajahnya tak terbaca, seolah menyembunyikan seribu rahasia yang mengelilinginya. Reza bisa merasakan ketegangan di udara—sesuatu yang tak terlihat, tetapi jelas mengancam. Mereka tidak bisa lebih lama di sini. Waktu mereka semakin sedikit.
Jeep itu meluncur melalui jalanan yang hancur, serpihan bangunan yang pernah megah kini menjadi puing-puing yang menghalangi setiap gerakan. Di kejauhan, api masih berkobar di beberapa titik. Saat mereka melewati jalan sempit yang dipenuhi reruntuhan, Dina membuka mulutnya. Suaranya dingin, tak ada tanda kebingungannya, meskipun Reza bisa merasakan kegelisahannya.
“Kita dekat,” kata Dina, matanya terfokus pada arah depan, meskipun pandangannya seperti mengingat kembali sesuatu yang lebih gelap dari sekadar reruntuhan kota ini. “Tempat itu… tempat yang kau cari.”
Reza mengangguk, meskipun hatinya dipenuhi kecurigaan. Dina bukanlah orang yang mudah untuk dipahami. Mereka telah berkeliling beberapa kota mati sejak mereka bertemu, namun tak ada yang lebih menyembunyikan kebenaran lebih dalam dari wanita ini. Tentu, ia seorang mantan agen intelijen, namun selalu ada sesuatu yang terasa tak pas, sesuatu yang lebih gelap.
“Kenapa kau tidak pernah memberitahuku siapa sebenarnya yang ada di balik grup ini? Apa hubungannya dengan Sakarat?” tanya Reza dengan suara serak.
Dina menatap lurus ke depan. Matanya penuh kerahasiaan, tapi juga sedikit kilatan amarah yang seolah mengingatkan Reza pada pertempuran hebat yang terjadi beberapa tahun lalu. Tiba-tiba dia berbicara, suaranya terdengar lebih rendah, nyaris berbisik.
“Sakarat bukan hanya sebuah kelompok militan. Mereka adalah bayangan, cabang dari operasi gelap negara kita. Kita semua adalah bagian dari mesin besar yang seharusnya tidak ada yang tahu.” Ia berhenti sejenak, dan Reza bisa merasakan perubahan dalam sikapnya. Ada beban yang tak bisa Dina lepaskan. “Aku dipaksa untuk bergabung dengan mereka… atau lebih tepatnya, aku dijebak.”
Reza mengerutkan kening. “Jebakan? Apa maksudmu?”
Dina menoleh sebentar, seolah ingin memastikan tidak ada yang mendengar, meskipun kota ini hancur lebur, tak ada siapa pun yang bisa mengancam mereka. “Ada seorang pemimpin yang lebih besar dari Arkan. Dia yang sebenarnya mengendalikan semuanya. Aku adalah salah satu agen yang dikirim untuk menghentikannya, tapi… aku gagal.”
Rasanya seperti tanah di bawah kaki Reza terguncang. Arkan—sahabat lamanya yang kini menjadi musuh—mungkin hanya pion dalam permainan yang lebih besar. Namun, Reza tahu, ia harus mendengarkan lebih banyak.
“Jadi siapa yang mengendalikan semua ini?” tanya Reza, suara penuh penekanan.
Dina menarik napas panjang. “Itu yang harus kita temukan di tempat ini. Tempat yang disebut Lumbung Kegelapan. Jika kita bisa mengakses database lama di sana, kita akan menemukan siapa yang benar-benar ada di belakang operasi Sakarat.”
Ketegangan semakin terasa. Reza menekan gas lebih dalam, menghantam jalanan berdebu. Mereka mendekati gedung yang dulunya merupakan pusat komando militer, sekarang menjadi sarang militan. Para penjaga berseragam hitam tampak berjaga di sekitar gedung. Setiap gerakan mereka tampaknya sudah terlatih dengan baik.
Dina sudah siap. Dia membuka laci kecil di bawah kursinya dan mengeluarkan dua pistol kecil, melempar satu ke tangan Reza. Ia tidak berkata apa-apa, hanya memberi isyarat untuk bersiap. Meskipun ekspresinya datar, Reza tahu, dirinya dan Dina sudah berada di titik tanpa jalan mundur.
Ketika mereka mencapai gerbang, Reza langsung menginjak rem, membuat jeep itu tergelincir. Ia melemparkan tubuhnya keluar dari kendaraan, berpindah cepat ke tempat yang lebih terlindung, sementara Dina mengikuti gerakan cepatnya. Tanpa berbicara, mereka bergerak seirama, masing-masing tahu peran yang harus mereka mainkan.
Suara tembakan membelah malam saat seorang penjaga menyadari kehadiran mereka. Reza merunduk, bergerak cepat ke samping dan melepaskan tembakan tepat sasaran, jatuhnya penjaga itu mengirimkan gema ke seluruh ruangan. Dina bergerak lebih gesit, menembus pintu utama dan meluncur ke dalam. Reza mengikuti dengan cepat, secepat bayangan, memastikan ia tetap berada di belakang Dina.
Mereka bergerak melalui lorong gelap yang sempit, suara langkah kaki dan nafas mereka satu-satunya yang mengisi udara. Tiba-tiba, Dina berhenti, memegang lengan Reza dengan cengkeraman yang cukup kuat untuk membuatnya berhenti.
“Ini dia,” bisiknya, matanya terfokus pada pintu yang terkunci rapat di depan mereka. Ada kunci yang bisa membuka pintu itu, namun kunci itu hanya dimiliki oleh satu orang—orang yang kini menjadi musuh besar Reza.
“Arkan,” gumam Reza. “Dia pasti ada di sini.”
Dina mengangguk. “Kita harus memutuskan. Sekarang atau nanti.”
Dengan satu gerakan cepat, Reza menghancurkan kunci pintu dengan tangan kosong, melesat ke dalam, dan di depan mereka, terlihat komputer besar yang terhubung dengan jaringan data yang sangat kuat.
Namun, sebelum mereka bisa bergerak lebih jauh, terdengar suara tembakan, dan bayangan besar muncul dari balik pintu. Arkan. Dia berdiri di sana, dengan senyum dingin di wajahnya.
“Kau datang terlambat, Reza. Dan kau, Dina, akhirnya memilih sisi yang salah,” katanya, suaranya dipenuhi kebencian.
Pertempuran sengit pun dimulai. Tembakan bergemuruh di lorong sempit itu, kedua belah pihak saling menyerang dengan kecepatan luar biasa, penuh dengan ketegangan yang hampir tak bisa diatasi.
Bab 10: Jalan Berdarah ke Timur
Matahari mulai terbit di balik pegunungan Timur, memancarkan sinar yang keras menyinari bentang gurun yang tandus. Hujan pasir perlahan menghilang, tetapi cuaca yang keras itu justru semakin menambah ketegangan di udara. Reza dan Dina, setelah berhasil meloloskan diri dari tempat rahasia yang mereka kunjungi, kini berada di jalur yang jauh lebih berbahaya—perjalanan mereka menuju benteng terakhir kelompok militan Sakarat yang terletak di wilayah timur yang penuh dengan perang dan kebingungan.
Jeep mereka melaju pelan di atas jalan yang penuh lubang dan serpihan puing bekas pertempuran. Di depan, hanya ada gurun tandus dan pegunungan yang menjulang tinggi, seperti penghalang besar yang menunggu untuk menelan mereka hidup-hidup. Reza menggenggam setir dengan erat, merasakan ketegangan di pundaknya. Jalan yang mereka tempuh penuh dengan ancaman tak terlihat, dan mereka tidak tahu siapa yang sedang mengawasi.
Dina duduk di sampingnya, matanya menyapu sekitar, mengawasi setiap gerakan yang bisa menandakan bahaya. Ia tahu, setiap detik yang mereka habiskan di wilayah ini adalah langkah menuju pertempuran yang tak terelakkan.
“Arkan pasti tahu kita ke sini,” kata Dina dengan suara datar, tapi ada sedikit nada cemas yang tak bisa disembunyikan.
Reza mengangguk, matanya tetap fokus di jalan. “Pasti. Dan jika dia tahu, kita akan terjebak di dalam permainan yang jauh lebih besar.”
Di luar mobil, angin berdebur keras, mengirimkan debu dan pasir ke seluruh tubuh mereka. Meskipun di luar tampak tenang, Reza tahu apa yang menanti mereka di depan. Benteng Sakarat—tempat yang menjadi markas utama mereka—terletak di sebuah desa kecil yang hancur lebur. Setiap orang yang pernah mencoba mendekat sudah dipaksa untuk berhadapan dengan kematian.
Di tengah perjalanan, tiba-tiba Dina mengangkat tangannya, memberikan isyarat kepada Reza untuk berhenti. Jeep itu akhirnya melambat dan berhenti di samping sebuah tebing besar yang menyembunyikan mereka dari pandangan musuh.
“Kita harus berjalan kaki mulai dari sini,” kata Dina sambil menatap lurus ke depan, menilai medan dengan cermat. “Jeep ini terlalu mencolok. Mereka pasti sudah menunggu di depan.”
Reza menatap Dina dengan tajam. “Kau yakin kita bisa sampai tanpa bantuan kendaraan? Wilayah ini penuh dengan jebakan.”
Dina mengangguk, matanya tetap terfokus pada medan yang akan mereka lewati. “Kita tidak punya pilihan. Jika kita terus menggunakan kendaraan, kita akan lebih mudah dilacak.”
Mereka keluar dari jeep, masing-masing membawa senjata dan perlengkapan bertahan hidup. Dengan gerakan yang terlatih, mereka mulai menuruni lereng tebing, menyusuri jalan setapak sempit yang hampir tak terlihat. Keringat menetes di dahi Reza, namun ia tetap fokus. Setiap langkah terasa berat, seolah dunia ini penuh dengan bahaya yang menunggu untuk menjatuhkan mereka.
Malam tiba dengan cepat. Udara semakin dingin, namun mereka tidak berhenti. Dina memimpin, dengan gerakan yang cepat dan tepat. Mereka memasuki hutan yang gelap, suara jangkrik dan hewan malam lainnya menjadi satu-satunya hal yang bisa didengar. Namun, Reza tahu bahwa hutan ini penuh dengan bahaya yang tak terduga. Di balik setiap bayangan, bisa saja ada musuh yang menunggu.
Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki dari belakang mereka—lambat tapi pasti. Reza dan Dina saling berpandangan, tanpa perlu kata-kata. Insting mereka bekerja dengan sempurna. Reza menarik Dina ke belakang sebuah pohon besar, tubuh mereka merunduk, bergerak diam-diam.
Tiga orang berseragam militan muncul dari balik pohon besar, senjata mereka terhunus. Reza menahan napas, tangannya sudah siap dengan senjatanya. Dina memberi isyarat untuk menunggu. Ketiga orang itu tampaknya sedang dalam patroli, tidak curiga sama sekali. Reza bisa mendengar detak jantungnya yang berpacu lebih cepat. Mereka hanya perlu menunggu beberapa detik lagi.
Ketika satu dari mereka mengalihkan perhatian ke arah lain, Dina bergerak cepat, dengan kecepatan kilat. Dalam satu gerakan, dia sudah berada di belakang salah satu penjaga, membekap mulutnya dengan kain, lalu menekan pisau ke tengkuknya. Satu musuh jatuh diam tanpa suara. Dua yang lain berbalik, terkejut, tapi belum sempat bersiap, Reza sudah melompat keluar, menembak dengan presisi—tembakan pertama mengenai dada penjaga yang satu, tembakan kedua mengarah ke kepala penjaga kedua, yang langsung ambruk ke tanah.
Mereka berdua berdiri di tengah medan yang sepi, satu pergerakan mereka bisa mengubah segalanya. Dina tidak mengatakan apa-apa. Mereka terus melanjutkan perjalanan, menyusuri jalan setapak yang semakin sempit, menuju benteng Sakarat.
Saat mereka mendekati desa yang hancur lebur, suasana semakin menegangkan. Desa itu dulunya merupakan pusat dari segala kegiatan Sakarat, tempat mereka merencanakan segala operasi gelap. Sekarang, desa itu hanya tinggal reruntuhan, dengan bangunan-bangunan yang hampir ambruk.
Dina memberikan tanda kepada Reza untuk berhenti. Mereka bersembunyi di balik sebuah bangunan yang rusak, mendengarkan suara-suara yang datang dari jauh. Dari balik reruntuhan, mereka bisa melihat sekelompok pasukan Sakarat yang bersiaga, siap untuk melawan siapa saja yang mencoba mendekat.
Reza tahu, benteng Sakarat ada di sana—di balik tembok yang lebih tinggi, di dalam labirin yang hampir mustahil ditembus. Namun, mereka sudah dekat, dan mereka tidak punya pilihan selain melanjutkan perjalanan ini.
“Ini saatnya,” kata Dina dengan nada rendah, matanya penuh tekad. “Kita harus masuk ke dalam.”
Reza menatap Dina, mengenali tekad dalam dirinya yang sama seperti dirinya. Mereka sudah terlalu jauh untuk mundur sekarang.
“Dengan cara kita sendiri,” jawab Reza, suaranya keras dan penuh semangat.
Mereka berdua melangkah ke depan, menyiapkan diri untuk pertempuran besar yang akan datang. Tidak ada jalan kembali. Mereka harus menembus benteng ini, atau mati mencoba.
Bab 11: Penjahat Tanpa Wajah
Angin kencang berhembus melalui lorong-lorong gelap yang penuh reruntuhan. Reza dan Dina bergerak cepat, berpindah dari satu bayangan ke bayangan lain, berusaha menghindari pasukan Sakarat yang semakin banyak. Mereka sudah berhasil menembus pertahanan pertama dari desa hancur yang kini menjadi markas utama musuh mereka. Namun, tujuan mereka masih jauh di depan—masuk ke pusat komando yang dijaga ketat.
Ketegangan menggantung di udara. Reza tahu ini adalah langkah terakhir mereka. Setelah melalui beragam pertempuran dan pengkhianatan, mereka berada di ujung perjalanan yang akan mengungkap semua misteri yang mengelilingi operasi gelap Sakarat—kelompok militan yang sudah memutarbalikkan banyak hidup.
Dina melangkah cepat di depannya, matanya tajam menembus kegelapan malam. Setiap langkahnya dihitung dengan hati-hati, memanfaatkan setiap sudut untuk tetap tersembunyi. Reza mengikuti dengan cepat, meskipun hatinya terus berdebar. Mereka hampir sampai, namun perasaan bahwa bahaya mengintai dari setiap sudut semakin kuat.
Sampai di depan pintu masuk utama yang dijaga dua orang berseragam hitam, Dina berbisik tanpa suara. “Di sana. Kita harus masuk tanpa menimbulkan kegaduhan.”
Reza mengangguk. Tanpa membuang waktu, Dina bergerak terlebih dahulu, menyelinap di antara bayangan, sementara Reza mengawasi dari belakang. Dalam sekejap, Dina sudah berada di belakang penjaga pertama, menutup mulutnya dengan tangan dan menjatuhkan tubuhnya dengan kecepatan kilat. Tembakan pertama Reza membunuh penjaga kedua dengan sempurna. Tercapailah tujuan pertama mereka: tembus ke dalam kompleks.
Namun, mereka tidak bisa merayakan kemenangan kecil ini. Reza bisa merasakan bahwa sesuatu yang lebih besar sedang menunggu. Semua ini terlalu mudah, dan keheningan setelah pertempuran terasa mencekam.
Mereka menyusuri lorong sempit yang penuh dengan suara langkah kaki yang bergerak di kejauhan. Setiap sudut yang mereka lewati dipenuhi dengan kamera pengintai dan sensor gerak. Dina berhenti di depan sebuah pintu besar yang terkunci. Dengan cepat, ia mengeluarkan alat dari tasnya dan mulai bekerja membuka kunci.
“Kita hanya punya sedikit waktu,” bisik Dina. “Jika mereka tahu kita di sini, seluruh markas akan terbangun.”
Reza melirik ke arah pintu yang terbuka perlahan, matanya menyapu sekeliling, merasakan sesuatu yang aneh. Pintu itu terbuka dengan mudah—terlalu mudah. Ketika Dina berhasil membuka pintu sepenuhnya, Reza bisa merasakan atmosfer yang berubah. Seketika, suara langkah kaki yang menghampiri mereka semakin keras. Wajah Reza mengeras. Mereka bukan hanya akan berhadapan dengan pasukan Sakarat yang terlatih—tetapi sesuatu yang lebih berbahaya.
Di balik pintu yang terbuka, terdapat sebuah ruangan besar yang dipenuhi layar-layar monitor, peta-peta, dan komputer-komputer yang mengendalikan jaringan Sakarat. Namun, di tengah ruangan itu berdiri seorang pria yang mengenakan masker hitam, tampaknya lebih dari sekadar pemimpin biasa. Dia berdiri di depan layar besar, seolah menunggu mereka datang.
“Reza Arya… dan Dina,” suara pria itu menggelegar, seolah telah menunggu kedatangan mereka. “Aku sudah menunggu kalian.”
Reza dan Dina langsung bersiaga, senjata terarah ke tubuh pria yang berdiri tegak itu. Reza menggenggam erat pelatuk senjatanya, sementara Dina menilai setiap kemungkinan yang ada.
“Siapa kamu?” tanya Reza dengan suara dingin, matanya tak pernah lepas dari sosok di depan mereka.
Pria itu tertawa pelan, suaranya penuh dengan penghinaan. “Kalian masih belum paham siapa aku. Aku bukan siapa-siapa. Aku adalah segala sesuatu yang ada di balik layar. Aku adalah bayangan yang kalian takkan pernah lihat—penjahat tanpa wajah.”
Dina mengerutkan kening. “Apa yang kamu inginkan? Semua ini hanya untuk apa?”
Pria itu mengangkat tangan, menandakan untuk berhenti. “Aku tidak peduli dengan apa yang kalian inginkan, Dina. Aku hanya menginginkan kekuasaan. Menggunakan negara ini sebagai alat untuk menguasai dunia.”
Reza melangkah maju, menatap tajam ke mata pria itu. “Jadi, kau yang mengendalikan Arkan?”
“Tidak hanya Arkan,” jawab pria itu sambil berbalik dan berjalan ke salah satu meja kontrol. “Arkan hanyalah pion, seperti kalian berdua. Tapi kalian adalah ancaman, dan ancaman harus dihentikan.”
Dengan sekejap, suasana berubah tegang. Pria itu memencet sebuah tombol merah di meja kontrol, dan lampu di seluruh ruangan mulai berkedip, sementara suara alarm memekakkan telinga. Sebuah pintu besar di ujung ruangan terbuka, dan sekumpulan pasukan elit Sakarat muncul, bersenjata lengkap. Mereka bergerak cepat menuju Reza dan Dina, siap untuk menyerang.
“Jangan biarkan mereka kabur,” perintah pria itu dengan suara tegas.
Tembakan pertama terdengar, diikuti oleh tembakan-tembakan lainnya yang menghancurkan segala yang ada di sekitar mereka. Reza berlari cepat, mencari perlindungan di balik meja besar yang terletak di tengah ruangan. Dina sudah lebih dulu bergerak, menembak dengan presisi tinggi dan menghancurkan senjata salah satu penjaga.
Panik mulai merayapi mereka. Pasukan Sakarat bergerak cepat, melingkari mereka dari semua sisi. Reza dan Dina melawan dengan sekuat tenaga, menghindari peluru yang meluncur deras ke arah mereka. Setiap gerakan harus diperhitungkan, dan setiap keputusan harus dibuat dengan cepat.
“Reza, kita harus keluar dari sini!” teriak Dina, matanya tajam melihat sebuah celah yang bisa digunakan untuk melarikan diri.
Namun sebelum mereka bisa bergerak, pria bertopeng itu muncul di hadapan mereka. “Kalian tidak akan keluar hidup-hidup dari sini. Dunia yang kalian kenal akan segera berakhir.”
Dengan gerakan cepat, pria itu mengeluarkan sebuah senjata laser kecil dari balik jubahnya. Ia menembak ke arah Reza, dan sebuah ledakan besar mengirim Reza terhantam ke dinding, tubuhnya terasa terbakar oleh ledakan itu. Dina berteriak, namun segera berlari ke arah Reza, mengangkatnya dengan susah payah.
Namun, di tengah kekacauan itu, Reza tahu satu hal yang pasti: musuh ini adalah bayangan yang tidak akan pernah mereka tangkap dengan mudah.
Bab 12: Dosa Lama, Perang Baru
Ledakan besar itu mengguncang seluruh markas Sakarat. Reza terbaring tak sadarkan diri di atas lantai beton yang keras. Tubuhnya terasa sakit, seolah setiap tulang di tubuhnya retak. Namun, dia tidak punya waktu untuk merasakan itu. Kesadarannya perlahan kembali, dan meskipun pandangannya kabur, suara tembakan dan teriakan di luar ruangan semakin jelas terdengar.
Dina berdiri di sampingnya, wajahnya penuh kecemasan namun tak kehilangan ketenangan. “Reza, bangun! Kita harus pergi!”
Dengan sisa tenaga yang tersisa, Reza memaksakan diri untuk bangkit, meskipun rasa sakitnya luar biasa. Tangannya yang penuh darah mencengkeram senjatanya, dan dia melihat Dina menariknya ke tempat yang lebih aman. Markas Sakarat sedang runtuh di sekeliling mereka, dan setiap detik berlalu membawa mereka semakin dekat ke kematian.
“Siapa itu?” suara Dina terdengar pelan, tetapi penuh dengan peringatan. Reza mengikuti arah pandangnya, melihat seseorang yang berdiri di tengah pintu, memandang mereka dengan tatapan penuh kebencian.
“Arkan,” kata Reza, suaranya serak. “Dia… dia masih hidup.”
Arkan, sahabat lama Reza yang seharusnya sudah mati dalam operasi yang berakhir tragis, kini berdiri di hadapan mereka. Dulu mereka berdua adalah saudara dalam pertempuran, namun kini Arkan menjadi musuh yang harus dihancurkan. Wajahnya yang keras dan penuh luka tampak lebih garang. Dia mengenakan pakaian militer Sakarat, dan senjata di tangannya tampak mengerikan.
“Kau pikir aku mati, Reza?” Arkan berkata dengan suara rendah, tetapi penuh kemarahan. “Negaraku mengkhianatiku, dan aku hidup dengan dendam. Aku hidup untuk membalaskan semua yang telah mereka ambil dariku!”
Dina menyiapkan senjatanya, namun Reza memegang lengan Dina, menghentikannya. “Arkan… kau sudah berubah. Kami berjuang bersama, dan kini kau berdiri di sisi yang salah.”
Arkan tertawa keras, suara tawa itu seperti dentingan logam yang mengiris telinga. “Salah? Aku hanya mengikuti kebenaran yang sebenarnya. Negara ini, sistem ini, mereka semua hanya ilusi. Sakarat adalah kenyataan yang sebenarnya. Kalian—kalian yang masih percaya pada negara, pada aturan—kalian hanya sekutu bagi mereka yang telah mengkhianati kita!”
Dina menggertakkan gigi, tetapi Reza menatap Arkan dengan wajah penuh penyesalan. “Jika memang begitu, Arkan… maka kita tidak punya jalan lain. Kami harus berhenti di sini.”
Saat itu juga, Arkan melepaskan tembakan pertama. Peluru meluncur begitu cepat, nyaris mengenai kepala Reza. Dengan refleks yang terlatih, Reza menarik Dina ke belakang, berlindung di balik tumpukan reruntuhan. Namun, Arkan sudah bergerak cepat, menyusup ke posisi yang lebih baik.
“Jangan coba melawan, Reza!” Arkan berteriak, sementara pasukan Sakarat mulai mengepung mereka dari berbagai arah. “Aku akan mengakhiri semua ini!”
Pertempuran sengit langsung terjadi. Tembakan saling bersautan, suara ledakan mengiringi setiap langkah mereka. Reza dan Dina bergerak cepat, menembak pasukan Sakarat yang mencoba mendekat. Namun, Reza tahu bahwa itu tidak akan cukup lama. Mereka harus mengalahkan Arkan, atau semua ini akan sia-sia.
“Reza, kita harus menghentikan Arkan!” teriak Dina sambil menembak jatuh seorang prajurit Sakarat yang mendekat. “Jika kita bisa menghentikannya, pasukan Sakarat akan kehilangan arah.”
Reza mengangguk, meskipun hatinya berat. Dia tahu bahwa untuk menghentikan Arkan, mereka harus menghadapinya langsung, tanpa ampun. Mereka berdua melesat keluar dari perlindungan mereka dan bergerak menuju tempat Arkan berada.
Arkan, yang melihat pergerakan mereka, langsung menembakkan senjata lasernya ke arah mereka. Reza terpaksa melompat untuk menghindari tembakan yang datang dengan kecepatan luar biasa. Ledakan itu menghancurkan dinding di belakang mereka, menciptakan gumpalan asap yang membutakan. Reza memanfaatkan kesempatan itu untuk bergerak lebih dekat.
Dina bergerak cepat di sisi lain, mencoba mengecoh Arkan. Tembakan demi tembakan dilepaskan, namun Arkan dengan cepat menghindar, seolah sudah mengantisipasi setiap gerakan mereka. Itu bukan hanya soal kekuatan fisik lagi, tetapi tentang keterampilan bertempur yang luar biasa. Reza menyadari bahwa Arkan telah berubah menjadi seorang pejuang yang lebih tangguh, lebih kejam, dan lebih terlatih daripada yang pernah ia bayangkan.
“Arkan!” teriak Reza, mencoba untuk memecah fokusnya. “Kau masih sahabatku! Apa yang terjadi padamu?”
Arkan berhenti sejenak, menatap Reza dengan mata penuh amarah. “Aku sudah mati, Reza. Kamu dan Dina… kalian adalah bagian dari masa lalu yang tidak akan pernah kembali. Dunia yang kalian kenal sudah hancur.”
Dengan kecepatan yang mengejutkan, Arkan menyerang mereka dengan senjata berkecepatan tinggi. Dina berhasil menghindar, tetapi Reza terpaksa menangkis serangan itu dengan tangan kosong. Kekuatan pukulan Arkan hampir membuatnya terjatuh. Namun, Reza tidak menyerah. Dia tahu bahwa ini adalah saat terakhir—pertarungan hidup dan mati.
Dengan satu dorongan terakhir, Reza menyerang Arkan, menggunakan senjatanya untuk memukul ke arah kepala Arkan. Namun, Arkan dengan cepat mengelak, melepaskan serangan balasan yang lebih kuat. Tiba-tiba, Dina datang dari sisi lain, menembakkan senjatanya dengan presisi yang luar biasa, mengenai tangan Arkan dan membuat senjatanya terjatuh.
“Tidak ada jalan mundur, Arkan!” teriak Dina, menatapnya dengan tatapan penuh tekad.
Arkan, meskipun terluka, masih berdiri dengan penuh kebencian. “Kalian… kalian tidak mengerti. Negara ini sudah mati, dan yang tersisa hanya kebohongan!”
Pada saat itu, Reza melangkah maju, menatap Arkan dengan tatapan yang berbeda. “Kau tidak salah, Arkan. Tapi kita masih punya pilihan untuk memperbaiki semua ini. Kau bisa kembali, tapi hanya jika kau memilih untuk berhenti.”
Arkan terdiam, matanya berkedip seolah ada sedikit keraguan di dalam dirinya. Namun, saat itu juga, ledakan keras terdengar dari luar. Pasukan Sakarat yang tersisa menyerbu ke dalam, dan Arkan, dengan berat hati, mengangkat senjatanya. “Aku tidak bisa mundur lagi, Reza. Aku sudah terjebak dalam perang ini.”
Pertempuran kembali memanas. Reza dan Dina harus membuat pilihan—terus melawan Arkan sampai akhir atau mencari jalan keluar dari kehancuran yang semakin dekat.
Bab 13: Padang Neraka
Di bawah langit yang kelam, gurun pasir yang luas membentang tak berujung. Debu-debu tipis mengambang di udara, terbawa oleh angin yang berdesir tajam. Ini adalah tempat terakhir mereka. Padang Neraka—sebuah medan perang yang telah lama dilupakan dunia, tapi kini menjadi tempat pertempuran hidup dan mati. Reza dan Dina melangkah berat, setelah berhari-hari bertempur melawan Sakarat, mereka akhirnya sampai di lokasi yang telah ditentukan. Benteng terakhir yang menjadi sarang bagi kelompok militan yang telah membantai ribuan orang. Di sinilah, mereka tahu, perang besar akan terjadi.
Tangan Reza menggenggam erat senjata api yang sudah aus. Setiap langkah yang diambil terasa berat, namun dia tahu bahwa ini adalah jalan terakhir untuk menyelesaikan semua yang telah dimulai. Setiap jengkal tanah ini dipenuhi dengan jejak darah, bukan hanya dari pasukan Sakarat, tetapi juga dari banyak korban tak berdosa yang terjebak dalam konflik ini.
Dina berjalan di sampingnya, matanya menatap ke depan, penuh tekad. Dia tahu apa yang mereka hadapi—ini bukan sekadar pertempuran biasa. Ini adalah pertarungan untuk kehidupan, untuk menghentikan mesin perang yang tak kenal ampun yang telah dirancang oleh Sakarat.
“Kita hampir sampai,” kata Dina dengan suara rendah, berusaha memberi semangat meski keadaan semakin suram.
Reza mengangguk, tetapi matanya tidak bisa lepas dari horizon yang gelap. Angin bertiup lebih kencang, membawa bisikan-bisikan yang seolah mengingatkan mereka akan bahaya yang menanti. Saat mereka melangkah lebih jauh, sebuah suara datang dari kejauhan. Mesin-mesin perang mulai terdengar, dan mereka tahu bahwa pertempuran sudah dimulai.
Mereka sampai di kaki bukit, dan dari sana mereka bisa melihat benteng yang terbuat dari baja dan beton yang kokoh. Benteng yang dikelilingi oleh pagar kawat berduri, dengan penjaga-penjaga yang bersenjata lengkap di setiap sudutnya. Namun, Reza dan Dina tidak takut. Mereka sudah melalui terlalu banyak hal untuk mundur sekarang.
“Begitu kita masuk, kita tidak bisa mundur,” ujar Reza sambil menarik napas dalam-dalam. “Semua ini harus berakhir malam ini.”
Dina menatapnya dengan mata yang penuh pengertian. “Kita tidak akan mundur, Reza. Kita akan menuntaskan semua ini.”
Mereka bergerak cepat, berlari mendekati benteng dengan penuh perhitungan. Setiap langkah mereka dipenuhi dengan kebingungan dan ketegangan, tetapi mereka tahu bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk menghentikan Sakarat. Ketika mereka tiba di pagar kawat berduri, Reza menarik sebuah alat pemotong kawat dan mulai bekerja dengan cepat.
Suara tembakan terdengar dari kejauhan. Mereka sudah diketahui. Pasukan Sakarat mulai menyerang dengan segerombolan tentara yang berlarian menuju posisi mereka. Reza dan Dina tidak punya pilihan selain bertempur. Mereka berlari melewati pagar yang sudah terbuka, dan dalam hitungan detik, mereka disergap oleh serangan dari segala arah.
Ledakan besar mengguncang tanah, diikuti dengan suara tembakan yang menghujam udara. Reza dan Dina terpisah sejenak, bersembunyi di balik reruntuhan untuk menghindari tembakan. Reza dengan sigap menembak salah satu prajurit yang mencoba mendekat. Setiap peluru yang dilepaskan terasa seperti pertaruhan terakhir—mereka tahu bahwa hanya ada satu peluang untuk menang.
Dina bergerak lebih agresif, berlari ke arah kanan, menuju gerbang utama benteng, sementara Reza menutup posisinya dengan tembakan-tembakan tepat sasaran, menghalau pasukan musuh yang datang dari arah berlawanan.
Namun, mereka tidak sendirian. Dari balik gerbang utama, muncul sosok yang mereka kenal dengan jelas: Arkan. Dengan penuh percaya diri, Arkan berdiri di depan mereka, wajahnya penuh kebencian, senjatanya terarah langsung ke arah Reza dan Dina.
“Reza… Dina,” Arkan berkata dengan suara serak, penuh amarah. “Aku tahu kalian akan datang. Tidak ada yang bisa menghentikan kami sekarang. Sakarat sudah menguasai dunia ini, dan kalian hanya bisa mengubur diri dalam perang ini.”
Reza merasa darahnya mendidih. “Kami tidak akan membiarkanmu menang, Arkan. Perang ini harus berakhir.”
Dengan gerakan cepat, Arkan melepaskan tembakan pertama. Ledakan besar mengguncang tanah saat peluru menghantam dinding di dekat Reza. Dina langsung menyergap, melompat ke arah Arkan, tetapi dia terhalang oleh segerombolan prajurit Sakarat yang datang dari segala arah.
“Tidak ada jalan keluar, Reza!” teriak Arkan, dan dengan cepat dia melompat mundur, mengambil posisi yang lebih tinggi.
Reza merasakan ketegangan memuncak. Semua yang mereka perjuangkan selama ini—semua yang telah terjadi—tergantung pada saat ini. Dia harus menghentikan Arkan. Tidak ada waktu lagi untuk ragu. Dia mengarahkan senjatanya ke posisi Arkan, yang kini berada di atas menara baja benteng.
Saat Reza siap menembak, Arkan melepaskan serangan mematikan. Tembakan laser yang kuat menghantam dinding tempat Reza berlindung, membuatnya hampir terjatuh. Namun, dengan segenap kekuatan, Reza melompat keluar dari perlindungan dan menghadap Arkan.
“Dina!” teriak Reza. “Sekarang!”
Dina, yang sudah siap dengan senjatanya, melesat dari sisi lain, memanfaatkan momen ketika perhatian Arkan teralihkan. Dengan tembakan yang presisi, Dina berhasil menembak salah satu peluru dari senjata Arkan, membuatnya kehilangan keseimbangan. Arkan berbalik, menatap Dina dengan kemarahan yang menggelegak.
Namun, itu adalah kesalahan fatal. Reza memanfaatkan kesempatan itu untuk melompat maju, menembakkan peluru tepat ke arah tubuh Arkan. Dalam detik-detik yang penuh ketegangan, peluru itu mengenai dada Arkan. Tubuhnya terhuyung mundur, dan dia jatuh ke tanah dengan ekspresi wajah penuh penyesalan dan kebencian.
Reza berdiri di atas tubuh Arkan yang sudah tak bernyawa. Seluruh tubuhnya terasa lelah, namun dia tahu bahwa ini adalah titik balik. Semua ini harus berakhir sekarang.
Suasana di sekitar mereka kembali hening, hanya ada dentuman suara ledakan dari jauh. Pasukan Sakarat yang tersisa kini mulai mundur, menyadari bahwa pemimpin mereka telah jatuh. Reza dan Dina berdiri di tengah padang yang penuh darah, menatap benteng yang hancur.
Namun, meskipun kemenangan itu terasa manis, Reza tahu bahwa ini bukan akhir dari segalanya. Dunia ini masih penuh dengan kegelapan, dan meskipun mereka berhasil mengalahkan Arkan, musuh mereka yang lebih besar masih ada di luar sana.
“Ini belum selesai, Dina,” kata Reza, suaranya serak. “Masih ada banyak yang harus kita hadapi.”
Dina menatapnya, mengangguk. “Tapi ini adalah awal, Reza. Kita bisa membangun kembali apa yang hancur.”
Dengan langit yang masih gelap di atas mereka, Reza dan Dina melangkah maju. Padang Neraka mungkin telah menjadi saksi bagi akhir perang ini, namun jalan mereka masih panjang.
Bab 14: Pengakuan dan Pengkhianatan
Keheningan yang mencekam melingkupi reruntuhan bangunan yang hancur di sekitar mereka. Ledakan besar dari pertempuran sebelumnya masih meninggalkan bekas di tanah, sementara langit di atas mereka mulai menggelap, seperti cerminan suasana hati Reza Arya yang hancur. Wajahnya tercoreng darah, tubuhnya lelah, namun matanya tetap tajam, penuh tekad. Setiap langkah yang diambil menuju Dina terasa lebih berat, seperti langkah menuju sebuah kebenaran yang tak terelakkan.
Dina berdiri dengan punggung membungkuk, matanya menghindari pandangannya. Ada sesuatu yang tidak beres—sesuatu yang mengganggu ketenangannya. Reza merasakan itu, getaran yang tidak biasa, meski Dina selalu berusaha untuk menyembunyikan rahasia di balik sikap tenangnya. Mereka sudah melewati banyak pertempuran bersama, tetapi saat ini, udara di sekeliling mereka terasa begitu tegang, seolah-olah dunia mereka akan berubah dalam sekejap.
“Ada apa, Dina?” suara Reza menggetarkan udara yang sunyi. “Kenapa kamu diam seperti ini?”
Dina menghela napas panjang, menyeka peluh yang mengalir di dahinya. “Reza, aku… aku harus memberitahumu sesuatu.”
Reza menatapnya, rasa curiga mulai tumbuh. Sejak awal, Dina selalu terlihat seperti memiliki sesuatu yang disembunyikan darinya. Mereka sudah berjuang bersama selama ini, namun kini dia merasakan bahwa rahasia itu akan segera terungkap. Ia tidak tahu mengapa, tapi hatinya sudah mulai merasakan bahwa kali ini, semuanya akan berubah.
“Kenapa sekarang?” tanya Reza dengan nada yang sedikit keras. “Setelah semua ini, kamu baru memberitahuku sesuatu? Apa yang terjadi, Dina?”
Dina menunduk, seakan tidak sanggup untuk menatap langsung wajah Reza. Ia memegang erat tas kecil yang ada di sampingnya, lalu perlahan menarik sebuah amplop berisi dokumen tebal. Tanpa sepatah kata pun, ia menyerahkannya kepada Reza. Sesuatu dalam diri Reza bergetar, intuisi perangannya menyadari bahwa amplop itu lebih dari sekadar informasi biasa. Itu adalah kunci dari segala hal yang terjadi, dan kunci dari masa depan mereka.
“Ini tentang Arkan,” suara Dina serak, seperti ada beban yang tak bisa dia angkat lagi. “Tentang apa yang sebenarnya terjadi selama ini.”
Reza membuka amplop itu dengan tangan gemetar. Setiap helai kertas yang dibaca mengungkapkan lebih banyak kebenaran yang menyakitkan. Nama-nama yang familiar, operasi-operasi yang telah berlangsung tanpa sepengetahuannya. Dan satu nama yang membuat hatinya berdebar lebih cepat: Arkan, sahabatnya yang lama hilang, yang sekarang berada di sisi musuh.
“Jadi, selama ini kamu tahu semuanya?” tanya Reza, suara penuh ketegangan. “Kamu tahu tentang operasi ini? Tentang Sakarat? Tentang Arkan?”
Dina menunduk, menghindari tatapan Reza. “Aku tidak tahu semuanya, Reza. Tapi aku tahu lebih banyak dari yang kamu kira. Arkan… dia bukan musuhmu, Reza. Dia bukan siapa yang kamu pikirkan.”
“Dia menghianatiku!” teriak Reza, suaranya bergema di tengah reruntuhan. “Dia membunuh teman-temanku, memimpin pasukan yang membantai kami! Apa lagi yang harus aku dengar?”
Dina melangkah maju, mendekatkan dirinya kepada Reza, matanya yang biasanya penuh teka-teki kini terisi dengan penyesalan yang mendalam. “Reza, kamu salah. Arkan tidak membunuh teman-temanmu karena dia ingin. Ada sesuatu yang lebih besar di balik itu semua. Dia dihianati, seperti kita. Semua yang dia lakukan adalah untuk mengungkap kebenaran yang tersembunyi.”
Reza mundur selangkah, tidak bisa mempercayai apa yang baru saja didengarnya. “Kebenaran? Tentang apa? Apakah kamu bermaksud mengatakan bahwa kita telah berperang di sisi yang salah?”
Dina mengangguk pelan, wajahnya penuh kecemasan. “Semua yang terjadi selama ini—semua misi kita, semua operasi kita—itu bagian dari rencana yang lebih besar. Arkan dan aku, kami sama-sama terjebak dalam jaringan ini. Kami bekerja untuk mengungkap kebenaran, Reza. Menghentikan sesuatu yang jauh lebih besar dan lebih mengerikan dari apa yang kita lihat.”
Reza merasa dunia di sekelilingnya mulai runtuh. Pikirannya berputar cepat. Ia tahu bahwa apa yang dikatakan Dina memiliki dasar, namun saat yang sama, ia tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa Arkan, sahabatnya, telah memilih jalur yang berbeda. Jalur yang penuh dengan darah, pengkhianatan, dan kebohongan.
“Jadi, kamu berpihak pada Arkan?” tanya Reza dengan suara yang penuh luka. “Setelah semua yang terjadi, kamu memilih untuk berdiri di sisi dia?”
Dina tidak menjawab, matanya tertunduk. “Aku tidak memilih, Reza. Aku hanya berusaha mencari kebenaran. Sama seperti kamu.”
Suasana menjadi semakin tegang. Reza merasa tubuhnya diliputi amarah, kebingungannya semakin mendalam. Saat itulah suara langkah kaki berat terdengar dari balik reruntuhan. Reza menoleh, dan di sana berdirilah Arkan, sosok yang selama ini ia cari, yang kini menjadi musuh terbesar dalam hidupnya.
“Reza,” kata Arkan dengan suara yang berat, seperti mengandung banyak penyesalan. “Dina benar. Semua yang kamu ketahui tentang kami, tentang aku, adalah bagian dari kebohongan yang lebih besar. Negara kita tidak bersih. Kami berjuang untuk menghentikan sesuatu yang lebih mengerikan.”
Reza mendekat, matanya penuh dengan kebencian. “Jadi, apa yang kamu inginkan sekarang, Arkan? Setelah semuanya, kamu ingin aku bergabung denganmu? Menjadi bagian dari kebohongan ini?”
Arkan menatapnya dalam-dalam. “Aku tahu kamu marah, Reza. Tapi percayalah, ini bukan tentang kita lagi. Ini tentang dunia yang kita tinggalkan. Kalau kita tidak melawan, maka semua yang kita perjuangkan selama ini akan sia-sia.”
Reza merasakan amarah yang mendidih dalam dirinya, namun di balik amarah itu, ada kebingungannya. Ia tahu apa yang dihadapi Arkan jauh lebih besar daripada sekadar pengkhianatan pribadi. “Aku tidak tahu apa yang harus aku percayai lagi, Arkan,” ujar Reza dengan suara serak. “Tapi aku tidak bisa membiarkan ini berlanjut.”
Di luar sana, dentuman senjata terdengar, dan dunia mereka kembali terperangkap dalam perang yang tiada akhir. Reza tahu, tidak ada pilihan mudah. Ia harus membuat keputusan yang akan mengubah nasib mereka semua.
Bab 15: Jejak Terakhir
Matahari mulai terbenam, menyelimuti padang yang tandus dengan cahaya kemerahan yang memudar. Di bawah langit yang murung, Reza Arya berdiri di atas puing-puing medan pertempuran. Tubuhnya lelah, napasnya terengah-engah, namun matanya tetap tajam, penuh tekad. Angin berhembus kencang, membawa debu dan asap dari sisa-sisa perang yang baru saja mereka alami. Di sekelilingnya, hanya ada kehancuran—sisa-sisa sebuah dunia yang telah hancur karena kebohongan dan pengkhianatan.
Namun di dalam dirinya, ada satu hal yang tidak bisa ia lepaskan: jejak yang tertinggal, jejak yang kini harus ia tanggung, jejak yang akan mengarah pada sebuah akhir yang tak bisa dihindari.
Dina berdiri di sampingnya, matanya terarah pada pertempuran yang kini telah berakhir. Keadaan sunyi di sekitar mereka menyiratkan bahwa perang ini belum sepenuhnya selesai. Reza tahu, meskipun peluru sudah berhenti bersiul dan darah sudah mengering, ancaman yang sebenarnya masih ada. Musuh yang lebih besar, yang tersembunyi di balik layar, belum sepenuhnya hilang. Jejak-jejak dari masa lalu masih membayang, dan itu akan menghantuinya selamanya.
“Reza,” suara Dina memecah keheningan. “Kita menang, tapi… apakah itu berarti kita sudah selesai?”
Reza memandangnya dengan tatapan kosong. “Menang?” katanya dengan sinis. “Apa artinya menang jika kita hanya menghancurkan satu dari sekian banyak cermin yang memantulkan kebohongan besar ini? Kita sudah mengungkap sebagian kebenaran, Dina, tapi ada lebih banyak lagi yang tersembunyi. Dan aku tahu, kita hanya baru menggores permukaannya.”
Dina mengangguk pelan, matanya menatap jauh ke depan. “Arkan… dia sudah pergi, Reza. Apa yang terjadi padanya… tidak bisa diubah lagi.”
Reza menggertakkan giginya, perasaan campur aduk menghantam dirinya. Arkan—sahabat yang telah menjadi musuh, yang kini sudah menjadi bagian dari sejarah kelam yang tidak bisa mereka hindari. Reza tahu bahwa Arkan berjuang untuk sebuah kebenaran, meskipun dengan cara yang keliru. Namun pada akhirnya, keputusannya untuk berseberangan dengan negaranya telah membawa mereka semua pada jalan yang penuh darah dan pengkhianatan.
Di kejauhan, sisa-sisa pasukan yang masih hidup mundur, bersembunyi di balik bayang-bayang reruntuhan. Mereka adalah orang-orang yang telah terperangkap dalam jaringan konspirasi yang lebih besar, yang harus dihadapi oleh Reza dan Dina. Reza menatap mereka, matanya mengeras. Mereka adalah bagian dari dunia yang telah hancur, dunia yang telah dipenuhi dengan kebohongan, pengkhianatan, dan darah.
“Apakah kita akan membiarkan mereka pergi begitu saja?” tanya Dina, memecah pikirannya. “Mereka adalah bagian dari jaringan ini, Reza. Mereka tahu terlalu banyak.”
Reza merasakan ketegangan yang semakin meningkat. Ia tahu bahwa membiarkan mereka pergi berarti memberikan kesempatan bagi musuh yang lebih besar untuk muncul kembali. Namun, memburu mereka berarti mengorbankan lebih banyak jiwa. Ia sudah cukup kehilangan orang-orang yang dia sayangi. Namun, di tengah kebingungannya, ada satu hal yang pasti—apa yang mereka lakukan saat ini akan menentukan apakah dunia ini akan terus terjerumus dalam kegelapan.
“Jangan biarkan mereka pergi,” kata Reza dengan suara penuh tekad. “Tanyakan siapa yang ada di balik semua ini. Mereka tahu lebih banyak dari yang mereka katakan.”
Dina mengangguk, berjalan mendekat kepada sekelompok prajurit yang masih hidup. Sementara itu, Reza mengarahkan pandangannya ke arah langit, seolah mencari jawaban di sana. Kebenaran yang mereka cari tidak akan mudah ditemukan. Namun, mereka harus berjuang untuk itu, apapun harganya.
Tiba-tiba, suara tembakan terdengar dari arah belakang mereka. Reza berbalik, reflek mengarahkan senjatanya, namun segera menyadari bahwa tembakan itu bukan datang dari musuh. Seorang prajurit mereka, yang sebelumnya terlihat terluka, berdiri dengan senjata yang terarah ke dirinya sendiri.
“Jangan!” teriak Reza, berlari ke arahnya. “Jangan lakukan itu!”
Namun, sudah terlambat. Sebelum Reza bisa mendekat, prajurit itu menarik pelatuknya, dan tubuhnya terjatuh ke tanah dengan darah mengalir deras. Reza terhuyung mundur, terkejut dan marah. Seseorang yang mereka anggap bagian dari tim, ternyata tidak bisa bertahan dengan beban pengkhianatan yang telah mereka hadapi. Ini adalah harga yang harus mereka bayar.
Dina berdiri di samping Reza, menatap tubuh prajurit yang terbujur kaku. “Mereka semua terperangkap, Reza. Tidak ada yang bisa lari dari bayang-bayang ini.”
Reza menutup matanya sejenak, menarik napas dalam-dalam. “Kita tidak bisa membiarkan ini berlanjut, Dina. Kita harus menghentikan semua ini sekali dan untuk selamanya.”
Saat itu, sebuah helikopter datang dari kejauhan, mendarat di tanah yang terbakar. Dari dalamnya, seorang pejabat tinggi negara yang dulu pernah ia percayai keluar. Wajahnya serius, penuh dengan kalkulasi. Reza tahu, di balik ekspresi itu, ada kebenaran yang lebih gelap. Mereka yang seharusnya melindungi negara, ternyata justru menjadi bagian dari konspirasi yang merusak segalanya.
“Reza Arya,” suara pejabat itu terdengar dingin. “Aku sudah mendengar semuanya. Namun, jangan kira bahwa ini akan berakhir begitu saja.”
Reza berjalan mendekat, matanya menyala penuh amarah. “Jangan coba mengancamku,” katanya tegas. “Kami sudah cukup menderita. Kalau kau ingin melanjutkan permainan ini, kau akan menanggung akibatnya.”
Pejabat itu tersenyum sinis, namun senyuman itu tidak mencapai matanya. “Kau tidak tahu apa yang kau hadapi, Reza. Kami lebih kuat dari yang kau kira.”
Reza menatapnya tanpa rasa takut. “Aku sudah cukup. Ini adalah jejak terakhir yang harus aku tinggalkan.”
Dengan satu gerakan cepat, Reza melepaskan tembakan ke udara, menandakan berakhirnya semua permainan ini. Dunia mereka, yang telah hancur oleh kebohongan, kini harus dihadapi dengan kebenaran. Meski harga yang harus dibayar sangat mahal, Reza tahu satu hal—perang ini belum berakhir. Bayangan musuh yang lebih besar masih mengintai, tapi kini, ia siap untuk menuntaskan jejak terakhir yang harus ia jalani.***
——————-THE END—————–