• Latest
  • Trending
  • All
  • Movie Review
  • Box Office
  • Trailer
  • Action
  • Romantic
  • Comedy
  • Horror
  • Serial Movie
  • Genre
JEJAK AIR MATA DI BAWAH

JEJAK AIR MATA DI BAWAH

January 28, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025
JEJAK DI PINTU TERLARANG

JEJAK DI PINTU TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

May 17, 2025
TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

May 17, 2025
PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

May 12, 2025
HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

May 12, 2025
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

May 10, 2025
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

LUKISAN YANG MENANGIS

May 10, 2025
  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
No Result
View All Result
Novel Story
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah
Novel Story
JEJAK AIR MATA DI BAWAH

JEJAK AIR MATA DI BAWAH

by MABUMI
January 28, 2025
in Drama Kehidupan
Reading Time: 27 mins read

Bab 1: Hujan di Pemakaman

Langit abu-abu membentang luas di atas pemakaman kecil di pinggir kota. Hujan turun dengan ritme lembut, membasahi tanah merah yang masih basah. Aulia berdiri di sana, diam tanpa gerakan, memegang payung hitam yang kini tak berguna karena tetes air mata yang bercampur dengan rintik hujan sudah mengalir deras di wajahnya. Di depannya, dua batu nisan berjajar rapi, bertuliskan nama kedua orang tuanya.

“Ayah, Ibu… maafkan Aulia.” Suaranya hampir tak terdengar, tertelan oleh suara hujan yang jatuh ke tanah. Tangannya yang gemetar menyentuh permukaan nisan yang dingin. “Aku… aku gagal melindungi kalian.”

Kenangan pahit malam itu berkelebat kembali di pikirannya. Malam kecelakaan itu. Malam terakhir ia melihat senyuman orang tuanya.

Kilas Balik

Suara tawa memenuhi ruang makan kecil mereka. Ayah dengan bercanda mengomentari masakan Ibu yang katanya terlalu asin, sementara Aulia sibuk membantu membersihkan meja. Malam itu, mereka terlihat begitu bahagia, tak menyadari bahwa kehangatan itu akan hancur dalam sekejap.

“Besok kita berangkat pagi, ya. Jangan lupa siapkan barang-barangmu,” ucap Ayah sambil menatap Aulia penuh kasih sayang. Mereka berencana mengunjungi Rani, kakak Aulia, yang telah lama menghilang tanpa kabar.

Namun, malam itu semuanya berubah. Telepon dari kantor Ayah memaksanya keluar rumah untuk menangani masalah mendadak. Aulia, yang merasa tidak enak, bersikeras ikut meski sudah dilarang. “Aku tidak bisa membiarkan Ayah pergi sendirian,” katanya waktu itu. Ibu, yang akhirnya memutuskan ikut, menambahkan, “Kalau begitu, kita semua saja pergi.”

Di tengah perjalanan, hujan mulai turun deras. Jalanan licin, dan pengemudi mobil dari arah berlawanan terlihat kehilangan kendali. Segalanya terjadi begitu cepat—suara tabrakan, dentuman keras, dan teriakan Ibu adalah hal terakhir yang Aulia ingat sebelum semuanya menjadi gelap.

Kembali ke Pemakaman

Aulia menutup matanya, mencoba menghalau ingatan itu. Tapi bayangan malam itu terlalu kuat untuk diabaikan. Ia memeluk tubuhnya sendiri, merasakan dinginnya hujan menembus jaket yang ia kenakan.

“Kenapa kalian meninggalkanku? Kenapa aku harus selamat?” bisiknya lirih. Hatinya dipenuhi rasa bersalah. Ia selalu merasa, andai saja ia tidak memaksa ikut malam itu, tragedi itu tidak akan terjadi.

“Aulia…”

Suara itu mengalihkan perhatiannya. Ia menoleh dan mendapati Reza, sahabat masa kecilnya, berdiri dengan payung besar di tangan. Reza tampak khawatir melihat kondisi Aulia. Ia tahu, pemakaman ini menjadi tempat yang selalu Aulia kunjungi setiap kali hujan turun.

“Kenapa kamu di sini lagi? Kamu tahu kamu bisa jatuh sakit kalau begini terus,” ujar Reza sambil mendekati Aulia. Ia menawarkan payungnya, tetapi Aulia hanya menggeleng.

“Aku hanya ingin di sini sebentar lagi,” jawab Aulia tanpa menatapnya.

Reza menghela napas panjang. Ia tahu, percuma memaksa Aulia untuk pulang saat perempuan itu sudah berada di tempat ini. “Mereka tidak ingin kamu terus seperti ini, Aulia. Kamu tahu itu.”

Aulia mengangkat wajahnya, menatap Reza dengan mata yang memerah. “Aku tidak tahu, Reza. Aku tidak tahu apa yang mereka inginkan. Yang aku tahu, aku selamat… tapi mereka tidak.”

Reza terdiam. Ia tahu kata-kata tidak akan cukup untuk menghapus rasa bersalah yang Aulia simpan selama ini. Ia mendekat, menaruh tangan di bahu Aulia, mencoba memberikan sedikit rasa nyaman.

“Kamu tidak bisa terus menyalahkan dirimu sendiri,” kata Reza lembut. “Kamu harus mulai memaafkan dirimu, Aulia. Kalau tidak, kamu tidak akan pernah bisa melanjutkan hidup.”

Aulia mengalihkan pandangannya ke nisan di depannya. Hujan semakin deras, seolah-olah langit ikut menangis bersamanya. “Melanjutkan hidup? Bagaimana caranya? Segalanya sudah hilang, Reza. Tidak ada yang tersisa.”

Reza menghela napas panjang. “Kamu masih punya aku. Kamu masih punya kesempatan untuk menemukan arti hidupmu lagi. Tapi semua itu hanya bisa terjadi kalau kamu mau membuka hatimu.”

Aulia tidak menjawab. Ia hanya terdiam, membiarkan kata-kata Reza menggantung di udara. Ia tahu sahabatnya itu benar, tetapi rasa sakit dan kehilangan yang ia rasakan terlalu besar untuk diabaikan.

“Biarkan aku di sini sebentar lagi,” katanya akhirnya.

Reza menatapnya sejenak, lalu mengangguk. “Aku akan menunggu di mobil. Jangan terlalu lama, ya.”

Saat Reza pergi, Aulia kembali menatap nisan itu. “Ayah, Ibu, maafkan aku. Aku tidak tahu harus bagaimana… tapi aku akan mencoba.”

Hujan terus turun, tetapi kali ini, Aulia merasa sedikit lebih ringan. Mungkin, seperti hujan yang akhirnya berhenti, luka di hatinya pun perlahan akan menemukan akhir.*

Bab 2: Sepucuk Surat Lama

Hari itu, langit masih muram, seolah ingin menyelaraskan suasana hati Aulia. Di dalam rumah tua peninggalan orang tuanya, ia sibuk membersihkan ruangan yang sudah lama dibiarkan berdebu. Bau kayu lapuk bercampur dengan aroma hujan yang masuk dari celah-celah jendela yang sedikit terbuka. Aulia melangkah pelan ke loteng, tempat ia menyimpan barang-barang lama keluarganya.

Tangannya memegang kotak kayu tua yang terlihat kusam. Di dalamnya, tersimpan foto-foto keluarga, buku harian lama, dan beberapa barang yang dulu sering digunakan ayahnya. Setiap benda yang ia pegang seolah membawa ingatan masa lalu yang pahit sekaligus indah. Namun, sesuatu di dasar kotak itu menarik perhatiannya.

Ia menemukan sepucuk surat yang terselip di antara lembaran buku. Kertasnya sudah menguning, namun tulisan tangan di atasnya masih terlihat jelas. Dengan hati-hati, ia membuka surat itu.

Isi Surat:

Aulia tersayang,
Saat kamu membaca surat ini, mungkin aku sudah jauh dari rumah. Jangan cari aku, karena aku tidak ingin menyakitimu lebih dari ini. Aku tahu kamu menyayangiku, tetapi ada hal yang tak bisa aku jelaskan saat ini. Aku hanya ingin kamu tahu, aku melakukan ini demi kebaikan kita semua.
Maafkan aku, Aulia. Maafkan aku karena menjadi kakak yang egois.
Kakakmu,
Rani.

Tangan Aulia gemetar saat membaca kalimat terakhir surat itu. Napasnya tersengal, dan air matanya mulai mengalir tanpa bisa ia tahan. Surat itu jelas ditulis oleh Rani, kakak yang selama ini ia pikir sudah meninggal dalam sebuah kecelakaan kapal saat perjalanan keluar kota.

Namun, surat ini seolah menegaskan bahwa Rani tidak meninggal seperti yang selama ini diyakini keluarganya. Rani pergi meninggalkan rumah dengan sengaja.

“Apa maksud semua ini?” gumam Aulia lirih.

Surat itu menciptakan kekacauan dalam pikirannya. Selama bertahun-tahun, Aulia selalu mengenang Rani dengan rasa kehilangan yang mendalam. Ia bahkan sering menyalahkan dirinya sendiri karena tidak bisa mencegah kakaknya untuk pergi malam itu. Tapi kenyataan yang baru ia temukan justru membuatnya bertanya-tanya: Apa yang sebenarnya terjadi pada Rani?

Kilas Balik tentang Rani

Aulia dan Rani selalu memiliki hubungan yang sangat dekat. Sebagai kakak, Rani adalah sosok yang melindungi Aulia dalam segala hal. Ia cerdas, tegas, dan selalu tahu bagaimana cara membuat Aulia merasa aman. Namun, ada sisi dari Rani yang jarang ia tunjukkan kepada siapa pun: sisi rapuhnya.

Malam sebelum Rani pergi, Aulia ingat bagaimana kakaknya terlihat gelisah. Rani duduk di ruang tamu dengan tatapan kosong, sementara tangan mungil Aulia mencoba menggenggam tangannya.

“Kak, kenapa kamu kelihatan sedih?” tanya Aulia waktu itu.

Rani hanya tersenyum kecil. “Tidak apa-apa, Aul. Kakak cuma… lelah.”

Rani tidak pernah menjelaskan lebih jauh, dan malam itu menjadi malam terakhir mereka berbicara. Esok paginya, Rani menghilang tanpa kabar.

Kembali ke Masa Kini

Aulia mengamati surat itu lagi, kali ini dengan lebih teliti. Di bagian bawah surat, ada sebuah alamat yang tertulis dengan tinta samar. Tulisan itu sepertinya berasal dari pena yang berbeda, tetapi masih bisa terbaca: Desa Cendana, Blok 5.

“Desa Cendana?” Aulia bergumam, mencoba mengingat apakah ia pernah mendengar nama tempat itu sebelumnya. Tidak ada yang terasa familiar. Namun, naluri Aulia mengatakan bahwa tempat itu adalah kunci untuk menemukan jawaban.

Hatinya bergejolak. Ia ingin segera pergi ke tempat itu, tetapi di sisi lain, ia takut pada apa yang mungkin ia temukan. Bagaimana jika Rani sudah tiada? Bagaimana jika surat ini hanya petunjuk yang tidak relevan lagi setelah bertahun-tahun?

Saat pikirannya diliputi keraguan, suara pintu diketuk dari bawah. Reza muncul, membawa sekantong makanan dan senyuman tipis di wajahnya.

“Sudah kubilang jangan terlalu sering sendirian di sini,” kata Reza sambil meletakkan kantong itu di meja. “Kamu makan dulu. Kamu kelihatan lelah.”

Namun, Aulia terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri untuk merespons. Ia menunjukkan surat itu pada Reza.

“Ini… aku menemukannya tadi,” katanya pelan. “Ini dari Rani.”

Reza mengerutkan kening. Ia membaca surat itu dengan seksama, lalu menatap Aulia dengan ekspresi tak percaya. “Jadi… Rani mungkin masih hidup?”

“Itu yang aku pikirkan,” jawab Aulia, suaranya bergetar. “Aku harus ke Desa Cendana. Aku harus tahu kebenarannya.”

Reza menggeleng pelan. “Aulia, tempat itu jauh. Dan surat ini sudah bertahun-tahun usianya. Bagaimana kalau Rani tidak ada di sana?”

“Aku harus mencoba,” jawab Aulia tegas. “Aku tidak bisa terus hidup dengan pertanyaan ini. Jika dia benar-benar masih hidup, aku harus menemukannya. Jika tidak… setidaknya aku tahu aku sudah berusaha.”

Reza menghela napas panjang. Ia tahu betapa keras kepala Aulia jika sudah memutuskan sesuatu. “Kalau begitu, aku akan ikut. Kamu tidak akan pergi sendiri.”

Aulia menatap sahabatnya dengan mata berkaca-kaca. Untuk pertama kalinya hari itu, ia merasa sedikit lebih ringan. Ia tahu perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi setidaknya ia tidak perlu menjalaninya sendirian.

Dan dengan itu, langkah pertama Aulia menuju Desa Cendana dimulai—sebuah perjalanan yang akan membuka rahasia besar tentang keluarga dan dirinya sendiri*

Bab 3: Sahabat di Tengah Sepi

Hujan sudah berhenti sejak pagi, tetapi udara dingin masih menyelimuti kota kecil itu. Aulia duduk di bangku kayu kecil di sudut kafe favoritnya, menatap kosong ke luar jendela. Kafe ini adalah satu-satunya tempat yang memberinya ketenangan sejak kehilangan orang tuanya. Di meja, secangkir kopi hitam yang mulai dingin hanya disentuh setengah.

Pikirannya masih berkutat pada surat Rani. Nama Desa Cendana terus berputar-putar dalam benaknya, seperti sebuah teka-teki yang menuntut untuk segera dipecahkan. Tapi, di tengah gelombang kegelisahannya, suara yang sudah tak asing lagi memecah lamunannya.

“Masih larut dalam pikiranmu, ya?”

Reza muncul di depannya, membawa secangkir kopi dan setumpuk senyuman yang selalu ia gunakan untuk menghibur Aulia. Tanpa menunggu undangan, ia langsung duduk di kursi di seberang Aulia.

“Aku butuh waktu,” jawab Aulia singkat tanpa menatap Reza.

“Kamu tahu, kamu selalu bilang itu. Tapi, sampai kapan? Sampai kamu lupa bagaimana caranya hidup?” Reza menyodorkan kue kecil ke arah Aulia. “Setidaknya makanlah sesuatu. Wajahmu kelihatan lebih pucat dari biasanya.”

Aulia mendesah pelan, lalu akhirnya mengambil kue itu dan menggigitnya sedikit. Rasanya manis, tetapi tetap tidak bisa mengusir kekosongan yang bersarang di dadanya.

“Aku menemukan sesuatu tentang Rani,” kata Aulia akhirnya, suaranya hampir seperti bisikan.

Reza menatapnya dengan serius. “Surat itu, kan? Jadi, kamu benar-benar mau pergi ke Desa Cendana?”

Aulia mengangguk pelan. “Aku harus tahu kebenarannya. Aku tidak bisa diam di sini dan terus bertanya-tanya.”

Masa Lalu Aulia dan Reza

Percakapan itu membuat Reza teringat pada masa lalu mereka. Aulia selalu menjadi gadis yang penuh semangat, seseorang yang tidak pernah takut mengejar apa yang diinginkannya. Mereka tumbuh bersama di lingkungan yang sama, bermain di gang-gang kecil, berbagi cerita tentang cita-cita mereka.

Namun, tragedi bertubi-tubi yang menimpa Aulia mengubah semuanya. Ia yang dulunya ceria kini lebih banyak diam, lebih sering menyendiri, dan menutup diri dari dunia. Reza mencoba berada di sisinya, tetapi ia tahu kehadirannya sering kali hanya menjadi penonton dari kesedihan yang tak bisa ia hapuskan.

“Aku tahu kamu ingin mencari Rani, dan aku tidak akan menghentikanmu. Tapi, jujur saja, aku khawatir,” kata Reza, memecah keheningan.

“Khawatir tentang apa?”

Reza menghela napas panjang. “Bagaimana kalau kamu tidak menemukan apa-apa? Bagaimana kalau Rani memang sudah tiada, atau lebih buruk lagi, dia tidak mau ditemukan?”

Kata-kata itu membuat Aulia terdiam. Itu adalah ketakutan yang sebenarnya juga menghantui dirinya. Bagaimana jika pencariannya hanya akan membawa lebih banyak luka? Tapi, ia merasa tidak punya pilihan lain.

Percakapan yang Menguatkan

“Reza,” kata Aulia setelah beberapa saat. “Aku tahu aku mungkin tidak akan menemukan apa-apa. Tapi, aku harus mencoba. Jika tidak, aku tidak akan pernah memaafkan diriku sendiri. Aku tidak bisa terus hidup dengan semua pertanyaan ini.”

Reza menatapnya dalam-dalam. Ia ingin melindungi Aulia dari rasa sakit, tetapi ia juga tahu Aulia adalah seseorang yang tidak mudah menyerah. “Kalau begitu, aku akan ikut bersamamu,” katanya tegas.

“Kamu tidak perlu, Reza,” balas Aulia cepat.

“Tapi aku mau. Lagipula, kamu tidak bisa ke tempat asing sendirian. Kalau ada sesuatu yang buruk terjadi, siapa yang akan menjagamu?”

Aulia ingin menolak, tetapi ia tahu Reza benar. Dalam diam, ia merasa lega memiliki seseorang yang peduli padanya.

Keakraban yang Menghangatkan

Setelah percakapan serius itu, suasana mulai mencair. Reza kembali dengan caranya yang khas, membuat lelucon kecil untuk mencoba menghibur Aulia.

“Kamu ingat nggak waktu kita kecil dulu? Kita pernah main hujan-hujanan di depan rumah sampai dimarahi Ibumu,” kata Reza sambil terkekeh.

Aulia tersenyum tipis, ingatan itu terasa seperti dari kehidupan yang berbeda. “Dan kamu yang malah sembunyi di dapur, meninggalkan aku sendirian untuk dimarahi.”

“Hei, aku waktu itu masih kecil! Aku takut, oke?” Reza pura-pura membela diri.

Percakapan itu, meski sederhana, memberi Aulia sedikit kehangatan di tengah dinginnya perasaan. Ia tidak ingat kapan terakhir kali ia benar-benar tertawa, meski hanya sedikit.

Janji untuk Berjuang Bersama

Saat mereka keluar dari kafe, langit mulai berangsur cerah. Matahari yang samar-samar muncul di balik awan terasa seperti simbol kecil bahwa ada harapan, meski tidak selalu terlihat jelas.

“Aku akan menemanimu,” kata Reza lagi sambil menatap Aulia. “Apa pun yang terjadi di Desa Cendana, kita akan hadapi bersama. Kamu tidak perlu sendirian.”

Aulia terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Terima kasih, Reza.”

Langkah mereka meninggalkan kafe terasa seperti langkah awal menuju perjalanan yang panjang dan penuh tantangan. Aulia tahu, dengan Reza di sisinya, ia memiliki kekuatan untuk menghadapi apa pun yang menantinya*

Bab 4: Kembalinya Mantan

Langit sore itu mulai berwarna oranye, memancarkan cahaya lembut yang menyelimuti kota kecil tempat Aulia tinggal. Setelah seharian mempersiapkan keberangkatannya ke Desa Cendana bersama Reza, ia memutuskan untuk duduk sejenak di teras rumah. Pikiran tentang perjalanan esok hari memenuhi benaknya, bercampur dengan berbagai kemungkinan yang akan ia hadapi.

Namun, ketenangan itu mendadak pecah ketika suara deru motor terdengar dari kejauhan. Aulia menoleh, dan jantungnya seolah berhenti sejenak ketika melihat sosok yang tidak pernah ia sangka akan muncul lagi di hadapannya.

Pria itu turun dari motornya dengan gerakan penuh percaya diri. Rambut hitamnya yang sedikit acak-acakan tertiup angin, sementara matanya yang tajam langsung tertuju pada Aulia. Dimas, mantan kekasihnya, kini berdiri di depan pagar rumahnya.

“Aulia,” panggilnya pelan, tetapi cukup untuk membuat Aulia terkejut.

Aulia hanya bisa terpaku di tempatnya, seolah tak percaya dengan apa yang ia lihat. Dimas, pria yang pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya, kini kembali setelah menghilang begitu saja tanpa penjelasan beberapa tahun lalu.

Kilas Balik tentang Dimas

Dimas adalah cinta pertama Aulia. Mereka bertemu saat kuliah dan menjalin hubungan yang penuh gairah, meski sering diwarnai perbedaan pendapat. Dimas adalah sosok yang berani dan ambisius, selalu punya mimpi besar untuk dirinya sendiri.

Namun, mimpi itu pula yang memisahkan mereka. Ketika Dimas mendapat tawaran pekerjaan di luar negeri, ia memilih pergi tanpa berpikir panjang, meninggalkan Aulia yang saat itu masih membutuhkan kehadirannya. Kepergiannya terasa seperti pengkhianatan bagi Aulia, terlebih karena ia pergi tanpa memberi kejelasan kapan akan kembali.

Pertemuan yang Canggung

“Apa yang kamu lakukan di sini, Dimas?” tanya Aulia dengan nada dingin, berusaha menyembunyikan keterkejutannya.

Dimas menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian untuk menjawab. “Aku tahu aku tidak punya hak untuk ada di sini. Tapi aku… aku perlu bicara denganmu.”

“Apa yang perlu kita bicarakan? Bukankah semuanya sudah selesai bertahun-tahun lalu?” balas Aulia, suaranya mulai bergetar.

Dimas menundukkan kepalanya sejenak, lalu menatap Aulia dengan tatapan penuh penyesalan. “Aku tahu aku salah, Aul. Aku pergi tanpa penjelasan, dan aku tidak pernah memberi kabar. Tapi aku kembali sekarang karena aku ingin memperbaiki semuanya.”

Aulia tertawa kecil, tetapi tidak ada kebahagiaan di balik tawa itu. “Memperbaiki? Kamu pikir semuanya bisa diperbaiki begitu saja setelah bertahun-tahun kamu menghilang? Kamu bahkan tidak pernah berpikir untuk menghubungiku selama ini.”

Dimas mendekat ke pagar, mencoba mendekati Aulia, tetapi ia tetap menjaga jarak. “Aku tidak tahu harus berkata apa waktu itu. Aku takut, Aul. Takut kalau aku gagal. Aku ingin kamu bangga padaku, tapi aku malah memilih cara yang salah.”

Aulia memalingkan wajahnya, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang di matanya. Ia ingin terlihat kuat di hadapan pria ini, meski di dalam hatinya ada rasa yang masih menggantung.

“Kenapa sekarang, Dimas? Kenapa setelah aku sudah cukup terluka?”

Dimas terdiam, tak mampu menjawab. Keheningan itu membuat suasana semakin tegang.

Kehadiran Reza

Saat percakapan itu semakin memanas, suara langkah kaki dari dalam rumah terdengar. Reza muncul, membawa tas kecil di tangannya. Ia langsung menyadari kehadiran Dimas, dan tatapannya langsung berubah dingin.

“Dimas? Apa yang kamu lakukan di sini?” tanyanya dengan nada tegas.

Dimas menoleh dan terlihat sedikit terkejut. “Reza? Kamu… masih ada di sini, ya?”

“Tentu saja aku masih di sini. Tidak seperti kamu yang pergi begitu saja,” balas Reza tanpa basa-basi.

Aulia menatap keduanya dengan bingung. Ia tahu hubungan Dimas dan Reza tidak pernah benar-benar akrab, tetapi ia tidak menyangka ketegangan di antara mereka masih terasa hingga sekarang.

“Aku tidak datang untuk berdebat,” kata Dimas akhirnya. “Aku hanya ingin bicara dengan Aulia.”

“Dan aku rasa Aulia sudah cukup banyak mendengar,” balas Reza sambil melangkah maju, berdiri di samping Aulia seolah ingin melindunginya. “Kalau kamu punya niat baik, seharusnya kamu datang bertahun-tahun lalu, bukan sekarang.”

Aulia merasa harus mengambil alih situasi. Ia mengangkat tangannya, memberi isyarat agar Reza mundur. “Reza, aku bisa mengurus ini sendiri.”

Reza tampak ragu, tetapi akhirnya mengangguk pelan. “Aku ada di dalam kalau kamu butuh sesuatu,” katanya sebelum kembali masuk ke rumah, meninggalkan Aulia dan Dimas.

Keputusan Aulia

“Apa yang sebenarnya kamu inginkan, Dimas?” tanya Aulia dengan nada tegas.

Dimas menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. “Aku ingin kesempatan kedua, Aul. Aku tahu aku tidak pantas memintanya, tapi aku ingin memperbaiki semuanya. Aku masih mencintaimu.”

Kata-kata itu membuat hati Aulia bergetar, tetapi ia tahu ia tidak bisa membiarkan perasaannya menguasai dirinya kali ini.

“Dimas, aku sudah terlalu lama hidup dalam bayangan kehilangan. Kehilangan Rani, kehilangan orang tuaku, dan kehilangan kamu. Aku tidak tahu apakah aku bisa mempercayaimu lagi.”

Dimas terdiam, tetapi ia tidak menyerah. “Aku tidak akan memaksamu untuk mempercayai aku sekarang. Tapi aku akan membuktikan bahwa aku benar-benar ingin memperbaiki semuanya.”

Aulia tidak menjawab. Ia hanya mengangguk kecil sebelum berbalik masuk ke rumah. Ia tahu ia membutuhkan waktu untuk memproses semuanya.

Di dalam rumah, Reza menatapnya dengan penuh tanya, tetapi ia tidak mengatakan apa-apa. Aulia hanya memberi isyarat agar mereka melanjutkan persiapan untuk perjalanan esok hari. Namun, di dalam hati Aulia, kehadiran Dimas kembali membawa kebingungan baru—antara memaafkan masa lalu atau melanjutkan hidup tanpa menoleh ke belakang.*

Bab 5: Rahasia di Balik Kecelakaan

Pagi itu, Aulia dan Reza memulai perjalanan mereka menuju Desa Cendana. Udara dingin pagi hari menyelimuti mereka saat mobil yang dikemudikan Reza melaju meninggalkan kota. Jalanan lengang dan dihiasi pemandangan hijau yang memanjakan mata. Namun, di dalam mobil, suasana terasa berat. Aulia memandangi peta kecil di tangannya, mencoba mengalihkan pikiran dari kegelisahan yang semakin menghantui.

“Sudah pasti tempatnya?” tanya Reza sambil melirik ke arah Aulia.

Aulia mengangguk pelan. “Iya. Alamat itu tertulis jelas di surat Rani. Desa Cendana, Blok 5.”

Reza mengangguk, tetapi ia tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Ia tahu perjalanan ini bukan hanya tentang menemukan keberadaan Rani, tetapi juga menggali kembali luka lama yang selama ini berusaha Aulia sembunyikan.

Kilas Balik Kecelakaan Rani

Delapan tahun lalu, kecelakaan tragis yang menimpa Rani mengguncang keluarga mereka. Saat itu, semua orang percaya bahwa Rani meninggal dalam kecelakaan kapal yang menuju ke kota lain. Berita itu datang tanpa peringatan, meninggalkan kehancuran bagi keluarga mereka, terutama Aulia.

Namun, keanehan mulai muncul ketika jasad Rani tidak pernah ditemukan. Pihak keluarga diberi tahu bahwa kemungkinan tubuhnya tenggelam ke dasar laut atau terseret arus. Aulia yang saat itu masih remaja, hanya bisa menangis, menerima kenyataan pahit bahwa ia kehilangan kakak yang sangat ia sayangi.

Namun, surat yang baru-baru ini ia temukan mengubah segalanya. Jika Rani benar-benar meninggal dalam kecelakaan, bagaimana mungkin surat itu ada? Lebih dari itu, mengapa Rani menulis surat dengan nada seperti sedang melarikan diri?

Penemuan di Desa Cendana

Perjalanan menuju Desa Cendana memakan waktu hampir lima jam. Ketika mereka tiba, suasana desa yang tenang dan asri menyambut mereka. Desa itu terletak di kaki bukit, dengan rumah-rumah sederhana yang berjajar rapi di sepanjang jalan tanah.

“Blok 5 seharusnya ada di arah timur,” kata Reza sambil melihat petunjuk arah yang dipasang di tepi jalan.

Mereka berhenti di depan sebuah rumah kecil dengan pekarangan yang ditumbuhi bunga-bunga liar. Rumah itu terlihat sederhana tetapi terawat. Dengan hati-hati, Aulia melangkah menuju pintu, lalu mengetuknya pelan.

Pintu terbuka, dan seorang wanita paruh baya dengan wajah ramah menyambut mereka. “Selamat siang. Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya.

“Permisi, Bu,” kata Aulia sambil mencoba menyusun kata-kata. “Apakah Anda mengenal seseorang bernama Rani? Dia mungkin pernah tinggal di sini beberapa tahun lalu.”

Wanita itu terlihat berpikir sejenak, lalu wajahnya berubah serius. “Rani? Kalau yang saya tahu, ada seorang wanita bernama Rani yang pernah tinggal di sini, tetapi dia jarang keluar rumah. Anda siapa, ya?”

“Saya adiknya,” jawab Aulia cepat. “Saya sedang mencarinya.”

Wanita itu mengangguk pelan. “Kalau begitu, Anda sebaiknya bicara dengan Pak Herman. Dia yang paling tahu tentang Rani. Rumahnya ada di ujung jalan ini.”

Pertemuan dengan Pak Herman

Pak Herman adalah seorang pria tua yang ramah tetapi penuh teka-teki. Ketika Aulia dan Reza menjelaskan maksud kedatangan mereka, wajah Pak Herman tampak berubah serius.

“Jadi, Anda adiknya Rani,” katanya perlahan. “Saya tahu Rani, dia pernah tinggal di sini selama beberapa bulan. Tapi saya tidak tahu dia punya adik.”

“Kenapa dia tinggal di sini, Pak?” tanya Aulia penasaran.

Pak Herman terdiam sejenak sebelum menjawab. “Rani datang ke sini beberapa hari setelah kecelakaan itu. Dia dalam keadaan sangat terpukul, seperti sedang melarikan diri dari sesuatu.”

Aulia terkejut mendengar pengakuan itu. “Jadi, dia tidak meninggal dalam kecelakaan itu?”

Pak Herman menggeleng. “Tidak. Dia selamat. Tapi dia tidak mau kembali ke keluarganya. Dia hanya bilang, ‘Semua orang akan lebih baik jika saya pergi.’ Saya tidak pernah tahu apa maksudnya.”

“Kenapa dia merasa seperti itu?” tanya Aulia, air matanya mulai menggenang.

Pak Herman menghela napas panjang. “Dia tidak pernah bercerita banyak. Tapi ada satu malam ketika dia tidak sengaja bicara. Dia bilang ada seseorang yang mencoba mencelakainya di kapal. Dia tidak menyebut nama, tetapi dia yakin kecelakaan itu bukan kecelakaan biasa. Itu sebabnya dia memutuskan untuk menghilang.”

Aulia merasakan tubuhnya melemah. Ia tidak pernah membayangkan bahwa ada kemungkinan kecelakaan itu dirancang oleh seseorang.

“Siapa yang mungkin ingin mencelakainya?” tanya Reza, mencoba mengumpulkan informasi.

Pak Herman menggeleng. “Itu yang tidak saya tahu. Tapi Rani sangat takut waktu itu. Dia bilang dia tidak ingin keluarganya ikut terlibat.”

Petunjuk Baru

Aulia merasa dunianya terbalik. Jika apa yang dikatakan Pak Herman benar, maka seluruh hidupnya selama ini adalah kebohongan besar. Ia memikirkan siapa yang mungkin ingin mencelakai Rani dan mengapa.

“Apakah Anda tahu di mana Rani sekarang?” tanya Aulia dengan suara bergetar.

Pak Herman menggeleng sedih. “Dia pergi tanpa memberitahu siapa pun. Tapi sebelum dia pergi, dia menitipkan sesuatu untuk saya. Dia bilang, jika suatu hari ada keluarganya yang datang mencarinya, saya harus memberikan ini.”

Pak Herman masuk ke dalam rumah dan kembali dengan sebuah amplop cokelat. Aulia membuka amplop itu dengan tangan gemetar. Di dalamnya, ia menemukan sebuah foto lama mereka berdua, selembar catatan kecil, dan sebuah kunci dengan ukiran angka “17”.

Catatan itu hanya berisi satu kalimat:
“Jika kamu menemukanku, tolong jangan menoleh ke belakang.”

Aulia menatap kunci itu dengan bingung, mencoba memahami maknanya. Apakah itu petunjuk lain, atau hanya sesuatu yang ditinggalkan untuk membuatnya berhenti mencari?

“Rani… apa yang sebenarnya terjadi padamu?” bisik Aulia, air matanya mulai jatuh tanpa henti.*

 

Bab 6: Pertemuan dengan Rani

Aulia dan Reza memutuskan untuk mengikuti petunjuk yang ditinggalkan oleh Rani: kunci dengan angka “17”. Mereka tidak tahu apa yang akan mereka temui, tetapi tekad Aulia semakin menguat. Pikirannya dipenuhi dengan berbagai pertanyaan—mengapa Rani menulis pesan itu, dan apa yang tersembunyi di balik angka yang terukir di kunci tersebut?

Setelah meninggalkan rumah Pak Herman, mereka kembali ke jalan utama Desa Cendana. Aulia memandangi kunci itu dengan penuh perhatian, berharap sesuatu akan terang benderang. Mereka berdua kembali ke mobil dan melaju mengikuti arah yang ditunjukkan oleh peta kecil yang ditemukan di rumah Pak Herman. Aulia tidak bisa menahan rasa cemasnya, tetapi dia tahu bahwa ini adalah kesempatan terakhir untuk menemukan jawaban.

“Blok 17… Apakah kita harus mencari rumah dengan nomor 17?” tanya Reza, yang tampaknya sama bingungnya.

Aulia mengangguk. “Itulah yang saya pikirkan. Kita harus mencari tempat dengan angka itu.”

Jalanan semakin sempit, dan hutan lebat mulai menyelimuti sisi kanan kiri mereka. Beberapa kilometer lebih jauh, mereka tiba di sebuah tempat yang terasa lebih sunyi daripada sebelumnya. Di ujung jalan yang buntu, mereka menemukan sebuah rumah tua yang terletak di tepi jurang. Rumah itu terlihat seperti sudah lama ditinggalkan, dengan jendela-jendela yang tertutup rapat dan atap yang sedikit runtuh di beberapa bagian. Di pintu gerbang rumah itu, tertulis angka “17” dengan cat yang sudah pudar.

Aulia merasakan jantungnya berdegup lebih kencang. Mereka keluar dari mobil, dan langkah Aulia terasa semakin berat seiring mereka mendekati pintu rumah itu. Reza melihat ke sekeliling, mencermati setiap sudut dengan curiga. Namun, dia juga merasakan ada sesuatu yang aneh di tempat ini—sebuah aura yang tak bisa dijelaskan, yang membuatnya merasa seperti mereka sedang menginjak tanah yang terlarang.

Dengan tangan yang sedikit gemetar, Aulia mengetuk pintu kayu itu. Terdengar suara langkah kaki dari dalam rumah, semakin mendekat. Pintu akhirnya terbuka, dan di depan mereka berdiri seorang wanita dengan wajah yang sangat dikenali Aulia. Wanita itu memandang mereka dengan tatapan kosong, seolah-olah dia tidak yakin apakah mereka benar-benar ada di sana.

“Rani?” Aulia akhirnya bisa mengeluarkan suara, suaranya hampir tercekat oleh emosi yang menghimpit dadanya.

Wanita itu mengangguk pelan. Wajahnya terlihat lebih tua dari yang Aulia ingat, dengan mata yang tampak lelah dan penuh rahasia. Namun, ada sesuatu yang tidak bisa disembunyikan—dia masih sama, kakak yang dulu Aulia kenal.

“Kenapa kamu… di sini?” tanya Aulia, suaranya hampir tak terdengar.

Rani menatap Aulia untuk beberapa saat sebelum akhirnya berkata, “Aku… aku harus pergi. Aku tidak bisa kembali ke rumah kita.”

Aulia merasa hatinya hancur mendengar kata-kata itu. “Tapi kamu… kamu selamat dari kecelakaan itu. Kenapa tidak memberitahu kami? Kenapa kamu menghilang?”

Rani menarik napas dalam-dalam, seperti sedang berjuang untuk menemukan kata-kata yang tepat. “Itu bukan kecelakaan, Aulia. Itu direncanakan. Seseorang ingin aku mati di kapal itu. Aku hampir tidak selamat, tapi aku melarikan diri ke sini. Aku tahu mereka akan mencariku jika aku kembali. Aku takut, Aulia. Takut sekali.”

Aulia terpaku. Semua yang ia ketahui tentang kecelakaan itu, semua kenangan yang membentuk hidupnya, mulai runtuh. “Siapa yang melakukannya, Rani? Siapa yang ingin mencelakaimu?”

Rani menggelengkan kepala. “Aku tidak tahu. Mereka sangat hati-hati. Aku hanya tahu mereka sudah memantauku sejak lama. Ada seseorang dalam keluarga kita yang terlibat, tapi aku tidak bisa memastikan siapa. Aku tidak ingin kamu ikut terlibat, Aulia. Itulah mengapa aku pergi.”

Reza yang sejak tadi diam mendengarkan, akhirnya ikut berbicara. “Rani, jika kamu tahu siapa pelakunya, kamu harus memberitahu kita. Jangan biarkan mereka bebas begitu saja.”

Rani menatap Reza dengan tatapan yang penuh keputusasaan. “Aku tidak bisa. Mereka akan membunuhku kalau aku berbicara. Dan kalian semua akan terlibat, Aulia. Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi.”

Aulia menggenggam tangan Rani, mencoba memberi kekuatan. “Kita akan membantu kamu. Kita akan menemukannya bersama-sama.”

Namun, Rani hanya tersenyum pahit. “Aku sudah terlalu jauh untuk kembali, Aulia. Aku sudah terlalu lama bersembunyi. Jika aku terus tinggal di sini, mereka akan menemukanku. Aku tidak bisa hidup seperti ini selamanya.”

Aulia merasa hatinya remuk. Ia ingin menangis, tapi ia tahu tidak ada waktu lagi. Jika mereka tidak menemukan siapa yang bertanggung jawab, semuanya akan sia-sia. “Rani, tolong jangan pergi lagi. Kita bisa menyelesaikan ini bersama-sama.”

Rani menatap Aulia untuk terakhir kalinya. “Aku ingin kembali, Aulia. Tapi aku tidak bisa. Aku harus pergi lagi. Ini adalah jalan yang harus kutempuh untuk melindungi kalian semua.”

Dengan itu, Rani mengalihkan pandangannya dan berjalan mundur menuju pintu rumah. Sebelum pintu itu tertutup, Aulia sempat mendengar suara lembut dari dalam rumah, “Jangan biarkan mereka menang, Aulia.”

Pintu tertutup rapat, dan Aulia serta Reza hanya bisa berdiri terpaku di depan rumah yang kosong itu. Sebuah perasaan kosong menyelimuti mereka. Misi mereka baru saja dimulai, dan kenyataan yang harus mereka hadapi semakin membingungkan dan menakutkan.

“Rani… tunggu kami. Kami akan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi,” bisik Aulia, meskipun hatinya masih penuh dengan keraguan dan ketakutan.*

Bab 7: Pengakuan yang Menghancurkan

Perjalanan Aulia dan Reza semakin memuncak menuju kenyataan yang tak terbayangkan. Kunci yang mereka temukan di Desa Cendana telah membawa mereka pada pertanyaan yang lebih besar, dan meskipun hati Aulia dipenuhi oleh keinginan untuk menemukan Rani, ada bagian dari dirinya yang takut akan apa yang akan mereka ungkapkan. Saat mereka kembali ke kota, Aulia merasa ada sesuatu yang tak beres, seolah bayangan masa lalu mulai menghantui langkah mereka.

Hari itu, Aulia duduk di ruang tamu rumah mereka, menatap foto-foto lama bersama Rani. Beberapa gambar itu menunjukkan mereka berdua dalam momen bahagia, tetapi banyak juga yang terkesan kabur, buram oleh waktu yang berlalu begitu cepat. Aulia meremas foto terakhir yang ia temukan, foto yang mengingatkannya pada Rani yang begitu penuh misteri. Foto itu menunjukkan Rani tersenyum tipis di sebuah tempat yang tak ia kenali, tempat yang sepertinya jauh dari kehidupan mereka yang dulu.

Reza memasuki ruang tamu dengan ekspresi wajah serius. “Aulia, ada sesuatu yang perlu kita bicarakan,” katanya pelan, duduk di sampingnya. “Aku rasa ini waktunya.”

Aulia menoleh, merasakan beban di dadanya semakin berat. “Apa maksudmu?”

“Ini tentang kunci itu,” kata Reza, menarik napas dalam-dalam. “Aku tahu itu bukan hanya kunci biasa. Aku sudah mencari-cari informasi. Ada tempat di luar kota, di sebuah gudang yang tertutup rapat, tempat yang sepertinya terkait dengan angka itu.”

Aulia terdiam, jantungnya berdetak lebih cepat. Angka 17 yang terukir pada kunci itu seolah menjadi pintu gerbang menuju sesuatu yang lebih besar. “Apakah kamu yakin?” tanyanya dengan suara bergetar.

Reza mengangguk. “Aku sudah mendengar desas-desus tentang tempat itu. Dan aku rasa itu bukan kebetulan. Aku merasa kita harus pergi ke sana.”

Aulia merasa ada sesuatu yang berat di hatinya. Sesuatu yang menahan dirinya untuk melangkah lebih jauh. Tetapi, dorongan untuk mengetahui kebenaran tentang kecelakaan yang menimpa Rani mengalahkan segalanya. Dengan keputusan bulat, mereka memutuskan untuk pergi ke tempat yang disebut Reza.

Petunjuk yang Menghantui

Setelah beberapa jam perjalanan, mereka akhirnya tiba di sebuah area terpencil yang terasa sangat sunyi. Gudang itu terletak di pinggiran hutan, di belakang sebuah lahan kosong yang luas. Gudang tua itu terlihat terlantar, dengan pintu besar yang terkunci rapat. Aulia menggenggam kunci itu dengan erat, tangan gemetar saat ia mendekati pintu gudang.

“Apakah kamu siap?” tanya Reza, matanya penuh kecemasan.

Aulia mengangguk, meskipun hatinya dipenuhi keraguan. Ia menyisipkan kunci ke dalam gembok, memutarnya perlahan. Suara gembok yang terbuka menggelegar di udara yang hening, menambah ketegangan yang semakin mencekam. Pintu gudang terbuka perlahan, dan mereka memasuki ruangan yang gelap.

Di dalam gudang, suasana terasa kaku dan dingin. Debu tebal menutupi segala sesuatu, dan bau lama menyelimuti udara. Tetapi di sudut ruang, mereka menemukan sesuatu yang membuat Aulia hampir terjatuh. Sebuah meja besar dengan beberapa tumpukan dokumen. Dan di atasnya, ada sebuah buku catatan tua yang tampaknya telah lama tidak dibuka.

Aulia segera membuka buku itu, dengan harapan bisa menemukan sesuatu yang menjelaskan semuanya. Halaman-halaman pertama hanya berisi tulisan yang tak terstruktur, seolah-olah ditulis dalam keadaan terburu-buru. Namun, pada halaman terakhir, Aulia berhenti. Kata-kata itu begitu jelas, begitu menghancurkan.

“Rani tahu siapa yang menyebabkan kecelakaan itu. Dan dia akan membocorkannya ke keluarga jika dia merasa nyawanya terancam.”

Aulia terpaku, membaca kalimat itu berulang kali, seolah tidak percaya dengan apa yang tertulis di depan matanya. “Jika dia merasa nyawanya terancam…” Aulia membacanya keras-keras, tetapi kalimat itu seolah menggema dalam benaknya.

“Reza,” Aulia berbisik, “ini tentang lebih dari sekadar kecelakaan.”

Reza mengangkat wajahnya, gelisah. “Apa maksudmu?”

“Rani… dia tahu siapa yang berusaha membunuhnya,” kata Aulia, suaranya bergetar.

Pengakuan yang Membuka Kebenaran

Tiba-tiba, mereka mendengar suara langkah kaki dari belakang. Aulia dan Reza berbalik, dan dari kegelapan muncul sosok yang sangat familiar—Pak Herman. Wajahnya yang penuh kerutan tampak lebih tua dari yang Aulia ingat.

“Pak Herman?” suara Aulia hampir tak terdengar, terkejut melihatnya.

Pak Herman tersenyum pahit, matanya penuh penyesalan. “Aku harus mengakui semuanya,” katanya pelan, suaranya serak. “Aku yang membiarkan Rani pergi tanpa memberitahu siapa pun.”

Aulia terdiam, tak mengerti. “Apa maksudnya, Pak?”

Pak Herman menghela napas dalam-dalam. “Aku tahu siapa yang menyebabkan kecelakaan itu. Aku tahu orang yang berusaha mencelakai Rani. Dan aku yang menyarankan dia untuk pergi dan menghilang.”

Reza tersentak. “Kenapa, Pak? Kenapa tidak memberitahu kami?”

Pak Herman menunduk, tampak ragu. “Karena saya terlibat dalam kejadian itu. Saya tahu bahwa Rani terlibat dalam sesuatu yang lebih besar—sesuatu yang melibatkan keluarga kita. Saya tidak bisa membiarkan semuanya terbongkar.”

Aulia merasa dunianya runtuh. Semua yang ia percayai selama ini—bahwa kecelakaan itu hanyalah sebuah kecelakaan—ternyata adalah kebohongan besar. “Jadi, siapa yang mencoba mencelakai Rani? Apa yang sebenarnya terjadi?” tanyanya dengan suara penuh air mata.

Pak Herman menatap Aulia dengan penuh penyesalan. “Semuanya berawal dari perselisihan yang melibatkan bisnis keluarga. Rani menemukan sesuatu yang sangat berbahaya, sesuatu yang bisa merusak segalanya. Dan karena itu, dia menjadi sasaran.”

Aulia merasakan jantungnya berhenti sejenak. “Dan kenapa kamu tidak memberi tahu kami?” tanyanya, suara penuh luka.

Pak Herman menunduk. “Karena saya takut, Aulia. Saya takut jika kebenaran itu terbongkar, lebih banyak orang yang akan terluka.”*

Bab 8: Hujan dan Kata Maaf

Hujan turun dengan derasnya, seolah mencuci kota yang sudah terlalu lama dilanda debu dan kesedihan. Aulia berdiri di depan jendela, memandangi hujan yang mengguyur tanpa henti. Suara gemericik air yang jatuh di atap rumah terasa menenangkan, namun perasaan di dalam hatinya justru semakin kacau. Sejak pagi tadi, ia merasa ada yang ganjil. Sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Sesuatu yang datang setelah ia menemukan kunci dengan angka “17” dan catatan yang ditinggalkan Rani.

Aulia berbalik, melihat ke arah Reza yang sedang duduk di meja makan, memandangi foto lama mereka berdua dengan wajah yang penuh pertanyaan. Reza tak mengucapkan sepatah kata pun sejak mereka meninggalkan Desa Cendana. Keheningan antara mereka sudah menjadi rutinitas, namun kali ini, ada yang berbeda. Aulia bisa merasakan betapa dalamnya kegelisahan di mata Reza.

“Aulia,” suara Reza terdengar pelan, memecah keheningan. “Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang kamu rasa sekarang?”

Aulia menghela napas, menundukkan kepala. Ia ingin sekali melepaskan semua perasaan yang selama ini dipendam. Namun, setiap kali ia mencoba, kata-kata itu seperti tertahan di tenggorokan. Ia tidak bisa menyampaikan betapa terluka dan bingungnya dirinya. Bagaimana ia bisa menjelaskan perasaan yang begitu kompleks, yang sudah begitu lama terpendam?

“Aku… Aku merasa seperti kehilangan arah,” kata Aulia akhirnya, suaranya bergetar. “Aku sudah mencurigai banyak hal sejak kecelakaan Rani, tapi sekarang aku merasa semua yang kuketahui selama ini adalah kebohongan. Rani tidak mati… dan kini, aku tahu dia meninggalkan petunjuk untukku. Tapi aku tak tahu harus bagaimana.”

Reza diam sejenak, seakan mencerna setiap kata yang diucapkan Aulia. Lalu, ia berdiri dan mendekat. “Aulia, aku tahu ini berat. Aku tahu kamu merasa dihantui oleh kebenaran yang belum sepenuhnya kamu temukan. Tapi kamu harus ingat satu hal: kamu tidak sendirian. Aku akan selalu ada di sini, untuk mendengarkanmu, untuk mendukungmu. Apa pun yang terjadi, kita akan menghadapinya bersama-sama.”

Aulia menatap Reza dengan penuh haru. Kata-kata itu, meski sederhana, memberi sedikit ketenangan. Namun, ia tahu bahwa perjalanan ini tidak hanya melibatkan dirinya dan Reza. Ini adalah perjalanan mencari kebenaran tentang Rani—tentang sebuah kecelakaan yang mungkin lebih dari sekadar sebuah kecelakaan.

Lalu, tiba-tiba Aulia merasakan gemetar di tubuhnya. Hujan semakin deras, dan ketukan di pintu yang terdengar begitu pelan itu mengganggu konsentrasi Aulia. Siapa yang datang di tengah hujan seperti ini? Dengan hati yang berdebar, Aulia membuka pintu.

Di luar, berdiri seorang pria yang tampak basah kuyup. Wajahnya penuh kelelahan, namun di matanya ada keteguhan yang luar biasa. Aulia terkejut ketika mengenali siapa dia.

“Pak Herman?” suara Aulia tertahan.

Pak Herman berdiri di depan pintu dengan wajah penuh kecemasan. “Aulia, ada sesuatu yang penting yang harus kubicarakan denganmu. Ini bukan hanya tentang Rani, tetapi tentang apa yang terjadi setelah dia pergi.”

Aulia membiarkan Pak Herman masuk ke dalam rumah. Reza yang berada di ruang tamu hanya bisa mengamati dengan penuh tanda tanya. Setelah Pak Herman duduk, ia mengeluarkan sebuah amplop tebal dari tasnya. Amplop itu sudah tampak usang, namun ada sesuatu yang sangat penting tersimpan di dalamnya.

“Aulia,” kata Pak Herman dengan suara serak, “sebelum Rani pergi, dia sempat memberi tahu saya sesuatu yang sangat penting. Dia bilang, jika suatu hari kamu datang mencarikannya, aku harus memberitahumu semuanya. Tapi, aku tidak bisa melakukannya saat itu. Aku takut… Aku takut akan akibatnya. Namun sekarang, aku tahu waktunya telah tiba.”

Aulia menerima amplop itu dengan tangan gemetar. “Apa yang ada di dalamnya, Pak Herman?”

Pak Herman menghela napas dalam-dalam sebelum membuka suara. “Rani… dia tidak hanya melarikan diri dari kecelakaan. Dia melarikan diri karena seseorang yang sangat dekat dengannya mencoba membunuhnya. Seseorang dari keluarganya.”

Hati Aulia berdegup kencang. Kata-kata Pak Herman seperti petir yang menyambar. “Siapa? Siapa yang mencoba membunuh Rani?” tanya Aulia, hampir tidak percaya.

Pak Herman menunduk, seolah tak berani menatap Aulia. “Aku… aku tidak tahu pasti, Aulia. Tapi Rani bilang seseorang yang sangat dekat dengannya ingin menghapus jejaknya. Ada yang takut kalau Rani hidup dan mengungkapkan kebenaran.”

Aulia terdiam, menatap amplop di tangannya. Di dalam amplop itu, ia menemukan sebuah surat dari Rani, yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Tulisannya penuh dengan rasa takut dan penyesalan.

“Aulia, jika kamu membaca surat ini, berarti aku sudah pergi lebih jauh dari yang kamu bayangkan. Aku mohon, maafkan aku. Aku terpaksa melakukan ini untuk keselamatan kita semua. Tapi ingat, aku tidak pernah meninggalkanmu dengan sengaja. Aku mencintaimu, adikku. Jaga dirimu baik-baik, dan jangan pernah menoleh ke belakang.”

Air mata Aulia mengalir tanpa bisa dibendung lagi. Kata-kata itu menyayat hati, mengingatkan Aulia akan segala pengorbanan yang dilakukan Rani untuk melindunginya. Dalam sekejap, semua perasaan yang selama ini terpendam meledak. Aulia menangis, tidak hanya untuk Rani, tetapi juga untuk dirinya sendiri.

“Aku… aku terlalu lama menahan semuanya,” bisik Aulia dengan suara terbata-bata. “Rani, maafkan aku. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku terlalu lama berpikir kamu pergi begitu saja. Tapi sekarang aku tahu, kamu pergi karena kau ingin aku hidup. Maafkan aku.”

Reza berdiri di samping Aulia, menggenggam tangannya. Dalam hujan yang tak kunjung reda, Aulia merasa seolah-olah beban yang selama ini ia pikul mulai sedikit terangkat. Mungkin, perjalanan mereka masih panjang. Tetapi sekarang, ia tahu apa yang harus dilakukan. Ia tidak boleh lagi menoleh ke belakang.*

Bab 9: Perasaan yang Tersimpan

Aulia berjalan perlahan di sepanjang jalan desa yang sepi, diiringi langkah Reza yang tak jauh di belakangnya. Setelah kejadian di rumah Pak Herman, pikirannya semakin berat. Setiap kata yang diucapkan oleh Pak Herman, tentang kecelakaan yang mungkin direncanakan dan tentang Rani yang melarikan diri, terngiang dalam benaknya. Namun, ada satu hal yang lebih membebani hatinya—perasaan yang tak pernah ia ungkapkan kepada siapapun.

Saat mereka tiba di sebuah pondok kecil, tempat mereka akan menginap semalam sebelum melanjutkan perjalanan, Aulia duduk di tepi jendela, menatap ke luar dengan tatapan kosong. Udara malam yang dingin membuatnya sedikit menggigil, namun itu tak cukup untuk membekukan perasaan yang mulai menguasai hatinya. Ia mengingat kembali hari-hari penuh kebahagiaan bersama Rani sebelum kecelakaan itu. Semua kenangan indah yang kini terasa seperti mimpi, jauh dan tak terjangkau.

“Kenapa kamu harus pergi, Rani?” Aulia bergumam pada dirinya sendiri, merasa seolah-olah kakaknya masih ada di sana, menunggunya untuk mencari tahu kebenaran yang terkubur selama bertahun-tahun.

Reza duduk di kursi dekat meja, memandangi Aulia yang tampak begitu terbenam dalam pikirannya. “Aulia, kita akan menemukan jawabannya. Kita sudah berada di jalur yang benar,” katanya dengan suara yang mencoba menenangkan.

Aulia menoleh, memandang Reza dengan mata yang basah. “Aku tahu, Reza, tapi semakin aku mencari tahu, semakin aku merasa seperti aku tak mengenal Rani lagi. Kenapa dia tidak memberitahuku apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa dia memilih untuk menghilang begitu saja?” air matanya mulai menetes, namun ia cepat mengusapnya.

Reza mendekat dan duduk di sampingnya, memberi ruang bagi Aulia untuk melepaskan perasaannya. “Terkadang, orang yang kita cintai melakukan hal-hal yang sulit untuk kita mengerti. Mungkin ada alasan besar di balik keputusan Rani. Kita harus percaya, suatu saat kita akan tahu semuanya.”

Aulia menatap Reza dengan penuh pertanyaan. Meskipun Reza berusaha memberi penghiburan, Aulia merasakan ketidakpastian yang mendalam. Rani, kakak yang selama ini ia anggap selalu ada untuknya, kini terasa seperti seorang asing. Begitu banyak yang belum terungkap, begitu banyak perasaan yang terkubur dalam-dalam.

“Apakah kamu pikir Rani melarikan diri karena dia merasa tidak aman?” tanya Aulia dengan suara yang gemetar.

Reza menghela napas. “Itu kemungkinan yang sangat besar. Ada sesuatu yang dia coba hindari, sesuatu yang mungkin sangat menakutkan baginya. Kita mungkin belum menemukan bagian dari cerita yang benar-benar membuatnya melarikan diri.”

Aulia kembali menatap ke luar jendela, mengamati langit yang gelap dengan bintang-bintang yang hanya samar-samar terlihat. Hatinya terasa hampa. Semua perasaan yang pernah ia simpan—cinta, kebingungan, dan rasa kehilangan—kini membanjirinya. Ada saat-saat di mana ia merasa seakan Rani berada di dekatnya, seperti saat mereka masih kecil, bermain bersama di halaman rumah. Tetapi sekarang, kenangan itu terasa seperti bayangan yang semakin menghilang.

Pikirannya berlarian ke masa lalu. Ia teringat bagaimana Rani selalu menjadi sosok pelindung baginya, selalu ada saat ia membutuhkan dukungan. Rani adalah kakak yang selalu mengerti, selalu memberi nasihat. Kini, Aulia merasa terjebak dalam perasaan kehilangan yang mendalam, dan seiring berjalannya waktu, rasa sakit itu semakin membesar.

“Apakah aku sudah cukup baik untukmu, Rani?” Aulia bertanya pada dirinya sendiri, suara hatinya penuh keraguan. Ia selalu merasa bahwa ada yang kurang dalam hubungannya dengan Rani. Mungkin ia terlalu sibuk dengan kehidupannya sendiri, terlalu jarang memberi perhatian. Mungkin itulah sebabnya Rani merasa harus pergi, melarikan diri dari semua yang membuatnya takut.

Sebuah perasaan berat mengendap di dada Aulia. Ia merasa bersalah, meskipun ia tahu itu bukan kesalahannya sepenuhnya. Namun, perasaan itu tidak bisa disangkal. Dalam pencariannya yang berlarut-larut ini, ia juga mencari bagian dirinya yang hilang, yang selama ini ia abaikan.

“Kenapa aku tidak bisa melihat bahwa Rani sedang terluka?” Aulia berbisik. Air matanya kini mengalir deras, tak terbendung lagi. Ia merasa seperti seorang adik yang gagal melindungi kakaknya, yang seharusnya bisa melihat rasa sakit yang tersembunyi di balik senyum Rani.

Reza diam sejenak, memberikan ruang bagi Aulia untuk meluapkan emosinya. Ia tahu bahwa Aulia tengah menghadapi pertanyaan-pertanyaan besar tentang dirinya dan hubungannya dengan Rani. “Terkadang, kita terlalu fokus pada diri kita sendiri sampai kita tidak menyadari apa yang dialami orang lain. Tapi itu bukan salahmu, Aulia. Kita tidak selalu bisa mengetahui apa yang ada di hati orang lain, bahkan orang yang paling kita cintai.”

Aulia terdiam, mencerna kata-kata Reza. Ada benarnya, tetapi rasa bersalah itu tetap ada. Ia merasa terjebak dalam perasaan yang tak bisa ia jelaskan, perasaan yang mungkin hanya bisa ditemukan jika ia bisa menemukan Rani. Jika ia bisa menemukan jawabannya.

“Perasaan yang tersimpan begitu dalam, Reza… mungkin inilah alasan kenapa Rani memilih untuk pergi. Mungkin dia merasa tidak ada lagi tempat bagi dirinya di dunia ini,” Aulia berbisik, suaranya penuh dengan kesedihan yang tak terungkapkan.

Reza menggenggam tangan Aulia dengan lembut, memberikan dukungan yang ia butuhkan. “Apapun yang terjadi, kamu tidak sendirian, Aulia. Kita akan temukan Rani. Kita akan cari tahu kebenarannya.”

Aulia menatap Reza, untuk pertama kalinya merasa sedikit lebih tenang. Meski masih banyak pertanyaan yang belum terjawab, satu hal yang pasti—dia tidak akan berhenti mencari Rani, untuk menemukan jawaban atas semua perasaan yang tersimpan di dalam hatinya.*

Bab 10: Langkah Baru di Bawah Langit Cerah

Pagi itu, Aulia dan Reza berdiri di atas sebuah bukit, memandangi hamparan luas Desa Cendana yang terhampar di bawah mereka. Langit biru cerah tanpa awan seolah menjadi pertanda bahwa hari ini adalah hari yang penuh harapan. Setelah semua yang mereka lewati—perjalanan yang penuh kebohongan, rahasia, dan misteri—akhirnya mereka merasa berada di titik balik yang akan menentukan langkah selanjutnya.

Aulia memandang ke arah puncak gunung yang jauh di horizon. Seperti biasa, pikirannya kembali terlempar ke Rani. Kakaknya, yang dulu hilang begitu saja, kini menjadi bayangan yang terus menghantui setiap detik hidupnya. Surat yang ia temukan, foto lama mereka berdua, dan kunci nomor 17 yang masih berada di tangannya membuat Aulia semakin yakin bahwa ada sesuatu yang jauh lebih besar yang harus mereka ungkap.

“Reza,” kata Aulia, memecah keheningan di antara mereka. “Aku harus menemukan jawaban. Kita harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Rani. Kenapa dia tidak memberitahu siapa pun tentang apa yang terjadi di kapal itu?”

Reza menoleh ke arah Aulia. Matanya yang penuh kepedulian menunjukkan bahwa ia mengerti apa yang dirasakan Aulia. Meski mereka telah melalui banyak rintangan, perasaan Aulia tentang pencarian ini tidak pernah pudar. Reza tahu bahwa hari ini adalah titik balik dalam hidup mereka.

“Aulia, kamu sudah melalui banyak hal. Tapi ingat, ini bukan hanya tentang mencari jawaban, kan? Ini juga tentang kamu sendiri, dan apa yang kamu inginkan setelah semuanya terungkap,” jawab Reza dengan suara lembut.

Aulia terdiam. Apa yang sebenarnya ia inginkan? Apakah menemukan Rani akan memberi jawaban yang ia harapkan? Atau justru akan membuka luka lama yang tak bisa ia tutup lagi? Dalam pikirannya, Aulia menyadari bahwa ia telah begitu lama hidup dalam bayang-bayang masa lalu, tetapi kini ia merasa, untuk pertama kalinya, bahwa ia siap melangkah ke depan.

“Reza, aku tak tahu apakah jawaban yang kita cari akan membuat semuanya lebih baik atau justru lebih buruk. Tapi satu hal yang aku tahu, aku tak bisa terus hidup seperti ini—dalam kebingungan, dalam ketidakpastian,” kata Aulia dengan penuh tekad.

Reza mengangguk dan memandang ke depan, seperti merasakan beban yang sama. “Jika ini yang kamu inginkan, aku akan mendukungmu, Aulia. Kita akan menemukan kebenaran bersama.”

Mereka turun dari bukit, langkah kaki mereka terarah menuju pusat desa. Pagi itu, suasana Desa Cendana sangat tenang, seolah memberi mereka ruang untuk bernafas. Setiap langkah Aulia dan Reza membawa mereka lebih dekat kepada jawaban yang selama ini dicari.

Namun, hari itu bukanlah hanya tentang perjalanan fisik. Bagi Aulia, setiap langkah adalah langkah menuju pembebasan. Pembebasan dari masa lalu yang selama ini membelenggu, pembebasan dari ketakutan yang telah lama ia simpan dalam hatinya. Ia tahu bahwa mencari Rani bukan hanya untuk menemukan kakaknya, tetapi juga untuk menemukan dirinya sendiri.

Sesampainya di rumah Pak Herman, mereka disambut dengan keramahtamahan seperti biasa. Namun, suasana kali ini berbeda. Ada ketegangan yang tergantung di udara, seperti sesuatu yang sedang menunggu untuk diungkapkan. Pak Herman menyadari bahwa Aulia dan Reza telah kembali dengan tekad yang lebih kuat dari sebelumnya.

“Jadi, kalian benar-benar ingin mencari tahu lebih lanjut, ya?” Pak Herman bertanya dengan nada yang sedikit ragu. Ia tahu bahwa setiap informasi yang ia berikan bisa mengubah segalanya.

Aulia mengangguk. “Pak Herman, kami butuh jawaban. Apa yang sebenarnya terjadi pada Rani? Apa yang dia sembunyikan?”

Pak Herman terdiam, kemudian menghela napas panjang. “Ada hal yang aku belum ceritakan padamu, Aulia,” ujarnya pelan. “Beberapa minggu sebelum kecelakaan itu, Rani tampak sangat cemas. Dia mulai sering keluar malam, berjalan sendirian di sekitar desa. Aku tahu ada yang mengganggunya, tapi dia tidak pernah mau bercerita.”

Aulia menatap Pak Herman dengan penuh perhatian. “Lalu apa yang terjadi pada malam itu? Apa yang sebenarnya dia lihat?”

Pak Herman tampak ragu sejenak, kemudian melanjutkan. “Ada yang aneh dengan kapal itu, Aulia. Rani mengatakan bahwa dia merasa ada yang tidak beres sejak pertama kali naik kapal itu. Dia tidak tahu siapa, tapi dia merasa ada yang mengawasinya. Mungkin itu sebabnya dia melarikan diri setelah kecelakaan itu—dia takut akan sesuatu yang lebih besar.”

Reza menatap Pak Herman dengan cemas. “Jadi, kecelakaan itu bukan kebetulan?”

Pak Herman menggelengkan kepalanya. “Aku tidak tahu pasti, tapi aku yakin ada yang mencoba untuk mencelakai Rani. Tapi siapa, dan kenapa, itu masih menjadi misteri.”

Aulia menggenggam kunci yang masih ada di tangannya. Kunci itu terasa semakin berat, seperti membawa beban yang sangat besar. “Pak Herman, apakah ada tempat di desa ini yang mungkin memiliki hubungan dengan kunci ini? Tempat yang mungkin Rani pernah singgahi?”

Pak Herman berpikir sejenak, kemudian matanya terbuka. “Ada sebuah gudang tua di ujung desa. Sudah lama tidak ada yang mengunjunginya. Tapi mungkin, Rani pernah ke sana. Mungkin itu tempat yang dia cari selama ini.”

Aulia merasa hatinya berdebar. Inilah petunjuk yang selama ini ia cari. Dengan langkah mantap, ia berkata, “Kalau begitu, kita harus ke sana. Ini langkah pertama kita untuk mengetahui kebenarannya.”

Di bawah langit cerah yang kini semakin menyinari jalan mereka, Aulia merasa bahwa perjalanan ini tidak hanya mengarah pada menemukan Rani. Tetapi juga untuk menemukan dirinya sendiri, untuk menerima kenyataan, dan untuk melangkah maju ke masa depan yang tak pasti, namun penuh dengan harapan.***

 

——————THE END ——————

 

Source: Gustian Bintang
Tags: keberaniankecelakaankeluargamisteripecarian kebenaranpencarian raniperjalanan emosionalrahasia tersembunyisurat rahasianya
Previous Post

MIMPI DI BALIK HUJAN

Next Post

SAAT HUJAN MEMBAWAMU

Next Post

SAAT HUJAN MEMBAWAMU

JEJAK TAKDIR DI LEMBAH HUJAN

JEJAK TAKDIR DI LEMBAH HUJAN

JEJAK TAKDIR DI DUNIA

JEJAK TAKDIR DI DUNIA

MOVIE REVIEW

No Content Available

RECENT MOVIE

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025

Tentang Kami

NovelStory.id adalah platform media online yang menghadirkan beragam cerita menarik seperti dalam novel dan drama, dirancang untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan yang berkualitas dan penuh imajinasi. Kami percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh hati, menginspirasi, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh keajaiban.

Recent News

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025

Follow Us

  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 https://novelstory.id

No Result
View All Result
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah

© 2025 https://novelstory.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In