Bab 1: Makan Malam yang Tersesat
Lara mengecek jam tangannya untuk yang kesekian kali, merasa tidak sabar. Acara makan malam yang diadakan oleh temannya, Rina, akan dimulai dalam beberapa menit lagi. Semua tamu diundang untuk hadir di restoran mewah tempat Lara bekerja, dan ini seharusnya menjadi kesempatan bagus untuk menunjukkan sisi lain dari dirinya—sisi yang lebih santai, lebih terbuka, lebih… manusiawi. Namun, entah kenapa, perasaan cemas terus menggelayuti.
Lara bukan tipe orang yang suka bergaul. Bekerja sebagai manajer restoran dengan standar tinggi berarti bahwa waktunya lebih sering dihabiskan untuk memastikan segala sesuatu berjalan dengan sempurna, bukan berbincang-bincang santai dengan orang-orang baru. Ia lebih nyaman di dapur, mengatur alur pelayanan, atau memastikan piring-piring berkilau sempurna. Malam ini, ia berusaha meyakinkan dirinya bahwa ia bisa menikmati makan malam tanpa terlalu banyak khawatir.
Dengan sedikit keringat yang menetes di pelipisnya, Lara keluar dari ruang kerjanya dan berjalan menuju ruang makan utama. Ia mengenakan gaun biru tua yang simpel, namun tetap memancarkan kesan elegan. Rambutnya diikat rapi, dan make-up-nya sengaja dibuat minimalis. Ia ingin terlihat kasual, tetapi tetap menunjukkan bahwa ia adalah seorang profesional.
Setibanya di ruang makan restoran, Lara langsung melihat beberapa wajah familiar. Teman-teman sekelasnya semasa kuliah tampak sibuk berbicara dengan satu sama lain, tertawa, dan menikmati suasana. Lara menghela napas lega. Setidaknya, ini bukan acara yang sepenuhnya asing baginya.
Tapi kemudian, pandangannya teralihkan pada seorang pria yang tampak asing di tengah keramaian—seorang lelaki dengan rambut cokelat gelap, mengenakan jas abu-abu yang cukup kasual namun tetap terlihat rapi. Pria itu sedang berbicara dengan Rina, tampak akrab dan menikmati percakapan. Rina yang melihat Lara langsung mendekat dengan senyum lebar di wajahnya.
“Lara! Aku kenalkan kamu dengan Ari, teman baikku. Dia baru saja pindah ke sini,” ujar Rina dengan semangat, memperkenalkan pria itu.
Lara terkejut. “Ari?” ucapnya dengan agak canggung. Tak pernah sekalipun mendengar nama itu sebelumnya. Mungkin karena terlalu sibuk dengan pekerjaan di restoran, ia sering melewatkan banyak hal di luar sana.
Ari mengulurkan tangan dengan senyum yang ramah. “Senang bertemu denganmu, Lara.”
Lara membalas jabat tangan itu dengan sedikit ragu, merasa canggung. Ia tahu ini adalah kesempatan untuk berbincang dengan seseorang yang mungkin bisa memperkenalkan perspektif baru tentang kehidupan. Tetapi otaknya malah berpikir tentang segala detail yang harus diperhatikan di restoran—bagaimana makanan disajikan, bagaimana para pelayan menyapa pelanggan, dan apakah semuanya berjalan dengan lancar. Ia mulai merasa bahwa makan malam ini mungkin bukan keputusan yang bijak.
“Jadi, kamu bekerja di sini?” tanya Ari sambil menyandarkan tubuhnya pada meja.
Lara mengangguk, berusaha memberikan jawaban yang terlihat santai. “Iya, aku manajer di restoran ini. Cukup sibuk, tapi menyenangkan.”
Ari tersenyum, tampak tertarik, tetapi tidak seperti kebanyakan orang yang menganggap pekerjaannya terlalu serius. “Menyenangkan, ya? Aku sebenarnya lebih suka makan di tempat yang sederhana. Enggak terlalu suka restoran mewah. Aku lebih senang yang kayak… tempat makan kaki lima atau street food.”
Lara tersenyum kecil. Kalimat itu langsung mengingatkannya pada kenyataan bahwa tidak semua orang mengutamakan standar tinggi seperti dirinya. Mungkin Ari, dengan pendapatnya yang begitu sederhana tentang makanan, akan merasa tersinggung dengan restoran mewah tempat mereka berada malam ini.
Namun, Lara mencoba tetap tenang. “Mungkin kamu akan suka menu hari ini. Kami memang menawarkan banyak pilihan,” jawabnya sambil memandang ke arah menu yang ada di meja.
Mereka duduk di sekitar meja besar bersama tamu lainnya, dan makan malam dimulai dengan berbagai hidangan pembuka. Lara, yang sudah terbiasa dengan cara penyajian makanan yang rapi dan terorganisir, merasa sedikit khawatir saat Ari mengambil hidangan pertama tanpa banyak berpikir. Ia melihat dengan mata terbelalak saat Ari mengambil sepotong roti panggang dan menambahkannya dengan selai truffle yang cukup mahal.
“Ari, itu bukan selai biasa. Itu selai truffle,” katanya dengan canggung, mencoba memberi tahu dengan nada yang lebih formal. “Mungkin lebih baik kalau kamu coba dengan… ya, dengan yang lebih sederhana.”
Ari hanya tertawa kecil dan mengangkat bahu. “Selama rasanya enak, kenapa enggak?” jawabnya sambil melanjutkan memotong roti dan mencicipinya. “Hmm, ini enak banget!”
Lara merasa sedikit kikuk. Ia sudah berusaha memberi informasi, tetapi Ari tampaknya tidak terlalu mempermasalahkan apa yang ia katakan. Mereka pun melanjutkan makan malam dengan obrolan ringan tentang pekerjaan dan kehidupan. Lara merasa semakin aneh dan terperangkap dalam dunia yang tampaknya tidak ada habisnya. Dia bekerja di dunia yang penuh detail, tetapi saat berbicara dengan Ari, ia merasa dirinya terlalu terbebani oleh hal-hal yang seharusnya tidak perlu dipikirkan.
Ari yang tidak terlalu mempedulikan detail malah sepertinya menikmati makanan dan percakapan dengan mudah. Sesekali ia melontarkan lelucon yang membuat suasana semakin santai. Lara tak bisa menahan tawa, meskipun ia merasa sedikit malu karena tidak bisa menjaga kesan profesional seperti yang biasanya ia lakukan di restoran.
Sampai akhirnya, datanglah hidangan utama—sebuah steak wagyu yang dimasak dengan sempurna. Lara berharap bahwa hidangan ini akan menyelamatkan situasi. Namun, apa yang terjadi selanjutnya membuatnya terbelalak.
Ari, yang terlihat begitu menikmati roti panggang dengan selai truffle sebelumnya, kini mulai memotong steak tersebut dengan cara yang sangat tidak lazim. Ia mengunyah dengan tenang dan berkata, “Wah, steak ini… enak, tapi kenapa terlalu berlebihan dengan sausnya? Kayaknya, lebih enak kalau langsung aja tanpa saus.”
Lara hampir menelan makanan yang sedang ia kunyah. Bagaimana bisa seseorang tidak menyukai saus yang begitu sempurna? Itu adalah saus yang telah dipersiapkan selama berjam-jam di dapur, hasil dari proses yang begitu rumit.
“Ya, mungkin lebih enak kalau seperti itu… tapi kami biasanya melayani steak seperti ini,” jawab Lara dengan setengah hati.
Namun, Ari justru tersenyum lebar dan menatap Lara dengan penuh rasa ingin tahu. “Kamu bekerja di sini, kan? Aku yakin makanan di sini pasti lebih dari sekadar rasa. Ada cerita di balik setiap hidangan, bukan?”
Lara terdiam. Ia tidak tahu apa yang harus dikatakan. Sejujurnya, ia hanya ingin membuat makanan yang sempurna, bukan mengajarkan orang tentang cerita-cerita makanan. Tetapi mungkin, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia menyadari bahwa cerita itu penting. Makanan bukan hanya soal bagaimana rasanya, tetapi juga tentang siapa yang ada di balik hidangan itu, siapa yang menikmatinya, dan apa yang terjadi di meja itu.
Tertawa kecil, Lara mulai merasa sedikit lebih nyaman dengan Ari, meskipun pertemuan ini tidak berjalan sesuai rencananya. Namun, malam ini, ia merasa sedikit lebih terbuka terhadap kemungkinan—bahwa tidak semuanya harus selalu sempurna.*
Bab 2: Makanan yang Salah
Maya menghela napas panjang dan melihat sekeliling ruang makan restoran yang penuh dengan tamu. Restoran yang berkelas dan bergengsi ini sudah menjadi rumah kedua baginya, tempat ia merasa paling nyaman meski seharusnya bisa menikmati momen bersama orang-orang terdekat. Namun malam ini, segalanya terasa berbeda. Hari ini, dia dihadapkan pada pertemuan yang tak terduga dengan seseorang yang tidak ia kenal sebelumnya—Ari, teman lama dari teman lamanya, yang juga hadir di makan malam ini.
Sebagai manajer restoran, Maya sudah terbiasa dengan segala jenis pelanggan, dari yang santai hingga yang sangat menuntut. Namun, pertemuan dengan Ari menambah daftar pengalaman yang cukup unik. Ada sesuatu tentang pria itu yang membuat Maya merasa agak canggung, meskipun mereka sudah berbincang beberapa kali sebelumnya. Sifat Ari yang begitu santai dan tidak terlalu memikirkan hal-hal kecil membuat Maya merasa sedikit tidak nyaman. Ari tampaknya menikmati setiap suapan makanan tanpa harus peduli dengan tata cara penyajian atau apakah makanan itu sudah sesuai dengan standar restoran mewah ini.
Sambil memeriksa catatan di ponselnya, Maya memperhatikan bahwa menu utama untuk malam ini adalah steak wagyu dengan saus truffle yang sudah disiapkan dengan penuh perhatian oleh tim dapur. Menu ini adalah hidangan spesial yang dibuat untuk menciptakan kesan mendalam bagi para tamu. Namun, untuk kesekian kalinya, Maya merasa cemas. Hari ini, dia lebih fokus pada satu hal: memastikan semuanya berjalan sempurna—termasuk makanan yang akan dihidangkan.
Namun, sepertinya takdir berkata lain.
“Lara, tolong pastikan semuanya siap untuk hidangan utama,” kata Maya kepada salah satu staf dapur, sedikit terburu-buru. Lara, salah satu staf muda di restoran, mengangguk dan segera pergi ke dapur. Maya kembali fokus pada menu dan menilai apakah ada hal lain yang perlu ia lakukan. Namun, pikiran tentang Ari tak bisa hilang begitu saja. Kenapa rasanya ia tak bisa menikmati malam ini sepenuhnya?
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar di belakangnya, dan Lara kembali mendekat dengan wajah yang agak panik. “Maya, aku rasa ada kesalahan. Makanan untuk meja tujuh—itu, Ari—terpaksa aku salah kirim. Aku salah kirim wagyu untuk dua orang ke meja sebelah, sementara mereka memesan ayam panggang. Aku sudah berusaha perbaiki, tapi makanan yang baru belum siap.”
Maya terdiam beberapa detik, merasakan dada yang berdebar kencang. Bagaimana bisa? Pikiran pertama yang muncul di kepala Maya adalah bahwa kesalahan ini bisa menjadi bencana besar. Restoran ini terkenal dengan standar kualitas makanannya, dan ada harapan yang besar dari setiap hidangan yang keluar. Kepercayaan para pelanggan sangat tergantung pada hal-hal kecil seperti ini.
“Lara, kamu serius? Bagaimana bisa salah kirim wagyu ke meja lain? Itu bukan makanan murah, kamu tahu kan?” ujar Maya, hampir tidak bisa menahan kecewanya. Ia tahu Lara baru beberapa bulan bekerja di restoran ini, tapi kesalahan semacam ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Setiap langkah harus dihitung dengan teliti.
“Aku tahu, aku akan segera mengoreksi semuanya. Tapi Ari sudah mulai makan ayam panggangnya,” jawab Lara gugup, melirik ke meja tempat Ari duduk. Maya menoleh dan melihat Ari tampak santai, menikmati ayam panggang yang seharusnya untuk meja sebelah. Sementara itu, meja tujuh—tempat Ari duduk—tampaknya kosong. Tamu lain juga menatap mereka dengan tatapan penuh rasa ingin tahu.
Maya merasa dadanya semakin sesak. Apa yang harus kulakukan? pikirnya. Sebagai manajer, ia harus memastikan semuanya berjalan lancar, tapi di saat yang bersamaan, dia tidak bisa mengabaikan fakta bahwa makanan yang dimaksudkan untuk Ari malah terjebak di meja yang salah.
“Maya, tenang saja. Aku akan keluar dan bicara dengan Ari. Jangan khawatir, semuanya akan baik-baik saja,” kata Lara, mencoba meyakinkan. “Aku minta maaf sekali.”
Maya hanya mengangguk, meskipun hatinya masih terasa berat. Ini adalah malam yang ia harapkan bisa berjalan mulus, namun kenyataan berkata lain. Ia mengatur napasnya dan mencoba berpikir jernih. Ada satu cara untuk menyelesaikan ini.
Dengan langkah cepat, Maya melangkah menuju meja tempat Ari duduk. Saat ia sampai di sana, Ari sedang asyik menikmati ayam panggang yang disajikan dengan saus lemon. Wajahnya terlihat begitu puas, seolah menikmati makanan itu seperti makanan paling istimewa yang pernah ada.
Ari menoleh ke arahnya, dan Maya tersenyum dengan sedikit terpaksa. “Ari, ada sedikit kebingungannya. Kami salah mengirimkan hidangan untukmu. Sebenarnya, kami mempersiapkan steak wagyu untuk meja tujuh, dan itu sudah dimasak dengan hati-hati. Kalau kamu tidak keberatan, bisakah kamu coba itu?”
Ari menatapnya dengan ekspresi agak bingung, kemudian tertawa kecil. “Oh, jadi ini semacam kejutan ya? Hmmm, steak wagyu ya? Kenapa tidak! Sepertinya aku bisa saja makan keduanya.” Ari berkata dengan nada santai, seolah semua ini hanyalah bagian dari pengalaman makan malam yang biasa-biasa saja.
Maya merasa terkejut dengan tanggapan Ari. Sejujurnya, dia mengharapkan reaksi yang lebih formal atau setidaknya, sedikit lebih canggung—tapi Ari justru santai, bahkan cenderung menikmati momen kekacauan ini. “Tapi kamu tahu, itu makanan mahal,” tambah Maya, berusaha memberikan penjelasan lebih lanjut, meskipun ia merasa sedikit bingung dengan respons Ari yang terlalu santai.
“Yah, kalau begitu aku akan coba wagyu-nya. Tapi, kalau kamu pikir makanan ayam ini sudah cukup, mungkin aku akan lebih suka jika kamu juga menikmati makanannya, Maya. Kita bisa tukar cerita sambil makan,” kata Ari sambil tersenyum.
Maya tertawa kecil, merasa sedikit lebih lega meski masih ada rasa gugup yang mengendap. “Oke, oke. Aku akan pastikan steak kamu sampai dalam keadaan terbaik. Maafkan kami sekali lagi, Ari.”
Ari mengangguk dengan senyuman lebar. “Tidak masalah. Kalau makanan enak, semuanya baik-baik saja, kan?”
Maya kembali ke dapur dengan rasa campur aduk. Meski kesalahan ini masih terasa sangat besar baginya, dia menyadari bahwa Ari tak memandangnya dengan pandangan yang sama. Di dunia tempat Lara bekerja, yang penuh standar tinggi dan tekanan, itu adalah sebuah pelajaran besar: terkadang, kita terlalu keras pada diri sendiri.
Beberapa menit kemudian, steak wagyu yang sempurna datang dan disajikan di depan Ari. Makanan yang disajikan dengan rapi dan cermat. Sementara itu, Ari mulai melanjutkan makannya tanpa banyak berpikir. Maya hanya bisa menggelengkan kepala.
Hari ini telah mengajarinya sesuatu yang baru—bahwa hidup tidak selalu harus sesuai rencana, dan kadang-kadang, kesalahan kecil bisa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dan lebih menyenangkan.*
Bab 3: Menu Spesial dan Kegagalan
Maya berdiri di belakang bar, memeriksa menu spesial malam ini dengan tatapan serius. Dapur telah bekerja keras untuk menyiapkan hidangan utama yang sempurna: steak wagyu yang dibumbui dengan saus truffle, dihidangkan dengan kentang tumbuk yang lembut dan sayuran musiman yang ditumis dengan rempah-rempah pilihan. Ini adalah menu andalan yang selalu berhasil memukau para tamu. Tapi malam ini, perasaan cemas yang mendalam menghantui Maya, dan kegagalan kecil sebelumnya masih terbayang di benaknya.
“Aku harus memastikan semuanya berjalan mulus,” gumam Maya pada dirinya sendiri. Ia merasa tertekan, tidak hanya karena kesalahan yang terjadi tadi dengan pengiriman makanan yang salah, tetapi juga karena ia harus memastikan bahwa malam ini akan berjalan dengan sempurna. Sejak awal, Maya memang selalu menuntut kesempurnaan, dan sekarang, malam ini terasa seperti ujian yang lebih berat dari biasanya.
Beberapa langkah dari Maya, Ari tampak sedang berbincang dengan Rina, tertawa dengan lepas. Tampaknya, dia sama sekali tidak memikirkan kejadian tadi malam atau bahkan kesalahan yang terjadi dengan makanannya. Tidak seperti Maya yang merasa terbebani oleh setiap langkah, Ari hanya menikmati momen-momen yang hadir, tidak terlalu memikirkan rincian, dan lebih fokus pada apa yang ada di depan matanya. Maya merasa kesal dan bingung. Kenapa ia bisa begitu santai? Bukankah makan malam ini adalah kesempatan besar?
Sementara itu, para staf restoran terus bergerak cepat di dapur, menyiapkan hidangan-hidangan lainnya. Maya melirik ke dapur, menyaksikan Lara yang sedang mengatur piring-piring dengan hati-hati. Di satu sisi, Maya merasa lega karena Lara mulai menunjukkan peningkatan, namun di sisi lain, ia juga merasa bahwa ia tidak bisa sepenuhnya mengandalkan staf muda ini untuk memecahkan setiap masalah.
“Maya, hidangan utama sudah siap!” seru salah satu staf dapur, memberi tahu bahwa steak wagyu yang menjadi bintang malam ini sudah siap disajikan.
Maya mengangguk dan segera berjalan menuju dapur. “Pastikan semuanya sempurna, ya. Ini adalah menu yang sangat penting malam ini,” katanya dengan nada tegas, meskipun sebenarnya hatinya masih berdebar. Apa yang akan terjadi jika lagi-lagi terjadi kesalahan?
Maya kembali ke ruang makan dan mulai membagikan hidangan-hidangan kepada tamu. Meja tujuh, tempat Ari duduk, adalah salah satu meja yang paling diperhatikan malam ini. Maya merasakan sedikit ketegangan di antara tamu lainnya, beberapa di antaranya tampak menunggu dengan penuh harap. Jika semuanya berjalan lancar, makan malam ini akan menjadi kesempatan besar untuk menunjukkan kualitas restoran mereka.
Namun, saat Maya mulai menyajikan steak wagyu untuk meja tujuh, masalah baru muncul. Lara, yang seharusnya bertanggung jawab atas pengaturan hidangan di meja tersebut, tampak gugup. Dengan tangan sedikit bergetar, Lara mengangkat piring steak wagyu yang sempurna, namun—secara tidak sengaja—piring itu tergeser sedikit saat ia meletakkannya di atas meja. Saus truffle yang melimpah itu tiba-tiba tumpah, membanjiri sebagian steak dan merusak penampilan hidangan.
“Aduh…” Lara bergumam, terlihat panik. Maya yang melihat kejadian itu langsung merasakan jantungnya berdegup lebih kencang. “Lara, kenapa bisa begini? Itu wagyu, tahu kan betapa pentingnya sajian ini!” seru Maya, berusaha menjaga suaranya tetap tenang meskipun hatinya kesal.
Maya menatap steak wagyu yang sudah sedikit tercampur dengan saus, dan seketika rasa kecewa menyelimutinya. Betapa buruknya ini? Sudah dua kali berturut-turut kesalahan besar terjadi, dan ini bisa membuat malam yang tadinya penuh harapan menjadi mimpi buruk.
Dengan cemas, Maya memutuskan untuk berbicara langsung kepada Ari, memastikan dia tidak kecewa dengan apa yang terjadi. Dia berjalan mendekati meja tujuh dengan langkah yang lebih pelan dari biasanya. Ketika sampai, ia melihat Ari tengah menikmati ayam panggang dari makanannya dengan ekspresi santai.
“Ari, aku minta maaf banget tentang hidangan wagyu itu,” kata Maya, mencoba tetap terlihat profesional. “Tapi kami akan segera menggantinya dengan hidangan yang baru. Kami akan pastikan steakmu benar-benar sempurna.”
Ari menatapnya sebentar, lalu tertawa pelan. “Maya, tenang saja, aku malah penasaran dengan apa yang terjadi. Dulu, aku enggak pernah makan wagyu seumur hidup. Jadi, kalau ada sedikit tumpahan, enggak masalah kok. Mungkin ini lebih cocok dengan gaya makanku yang lebih santai, ya?”
Maya terkejut mendengar jawaban Ari. Dia mengira Ari akan protes atau bahkan merasa kecewa, tetapi sebaliknya, ia tampak malah menikmati situasi tersebut. “Serius? Kamu enggak keberatan?” tanya Maya dengan sedikit bingung.
“Tidak kok,” jawab Ari sambil tersenyum. “Makan itu kan soal menikmati. Kalau steaknya agak tumpah sedikit, yang penting tetap enak. Lagipula, aku juga enggak pernah terlalu peduli soal penampilan. Yang penting rasanya kan?”
Maya mendengar perkataan Ari dengan tatapan terdiam. Dalam hati, dia merasa sedikit cemas, namun juga mulai merasa lega. Mungkin dia terlalu terobsesi dengan kesempurnaan, dan baru kali ini ia menyadari bahwa mungkin ada cara lain untuk menikmati hidup—bahkan ketika ada sedikit kekacauan.
Namun, kegagalan itu belum selesai. Saat Maya kembali ke dapur, rasa khawatirnya tak kunjung hilang. Tamu-tamu yang duduk di meja sebelah tampak memperhatikan dengan curiga, dan Maya bisa merasakan mata-mata mereka tertuju pada restoran mereka. Apa yang akan mereka pikirkan tentang makanan yang disajikan begitu saja tanpa perhatian pada detail?
Maya memutuskan untuk segera mengonfirmasi keadaan di dapur. “Lara, kita harus segera mengganti steak wagyu di meja tujuh. Pastikan semuanya sempurna. Ini kesempatan kita untuk memperbaiki keadaan.”
Lara segera bekerja dengan cepat, dan Maya mulai menenangkan dirinya. Meskipun malam ini penuh dengan kegagalan dan kesalahan, ia merasa ada pelajaran berharga di balik semuanya. Bahkan dalam dunia yang penuh dengan tekanan seperti restoran mewah ini, hal-hal yang tak terduga sering kali justru membawa warna baru.
Setelah beberapa saat, steak yang baru dan lebih sempurna tiba di meja tujuh, dan Maya dengan hati-hati menyerahkannya kepada Ari. Saat Ari mencicipi steak tersebut, ekspresinya berubah menjadi lebih puas.
“Ini baru enak,” kata Ari sambil mengangguk, seolah menikmati setiap suapan. “Kamu tahu, Maya, ternyata makan malam yang penuh kejadian ini malah jadi pengalaman yang lebih seru.”
Maya tersenyum, meskipun hatinya masih sedikit berdebar. Mungkin dia belum bisa melepaskan obsesi pada kesempurnaan, tapi satu hal yang pasti—malam ini telah mengajarkan Maya bahwa tidak ada yang bisa memprediksi jalan hidup, dan terkadang, kegagalan adalah bagian dari perjalanan menuju kesuksesan.*
Bab 4: Cinta dalam Setiap Suapan
Maya mengelap keringat yang menetes di dahinya. Ruang dapur tampak seperti medan pertempuran yang penuh dengan aktivitas: staf berlari ke sana kemari, piring-piring berserakan, dan aroma masakan yang menggoda memenuhi udara. Namun, untuk Maya, malam ini terasa lebih dari sekadar malam kerja biasa. Malam ini adalah titik balik, sebuah momen yang akan menguji batas-batas yang telah ia tetapkan dalam hidupnya. Keputusan yang telah dibuat sepertinya akan menentukan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Salah satu hidangan yang ia amati dengan cermat adalah dessert yang sedang disiapkan di meja persiapan. Chef Hugo, kepala koki yang terkenal dengan ketelitiannya, sedang menyiapkan “Tiramisu Cinta”, hidangan penutup yang penuh dengan kejutan rasa dan keindahan. Maya sendiri sering menganggapnya sebagai karya seni—sesuatu yang lebih dari sekadar makanan. Setiap lapisan yang disusun dengan hati-hati, setiap taburan cokelat parut yang halus, seolah mengandung perasaan yang tak terucapkan.
Maya tersenyum kecil. Tentu saja, bagi banyak orang, makanan hanya soal rasa. Tapi baginya, makanan adalah cara untuk mengungkapkan perasaan. Setiap hidangan yang disiapkan adalah bentuk ungkapan kasih sayang dari para koki kepada pelanggan. Itulah mengapa ia merasa begitu terhubung dengan apa yang ada di dapur ini, dan juga dengan apa yang ada di meja makan.
Sementara itu, di ruang makan, Ari tengah duduk di meja tujuh dengan penuh antusiasme. Tadi malam, setelah sedikit kegagalan dan kegelisahan, ia akhirnya merasa lebih rileks. Cinta dalam setiap suapan, seperti yang dikatakan Maya sebelumnya, seolah menjadi mantra yang membimbingnya melewati malam yang penuh dengan kekacauan kecil. Ari tidak tahu apakah Maya sengaja merencanakan semua kejadian ini sebagai bagian dari pengalaman, tapi baginya, ini adalah petualangan kuliner yang menyenangkan.
Tadi, setelah menikmati hidangan utama, Ari sempat melihat Maya berjalan ke meja dengan wajah serius. Ia merasa seperti sedang menjadi bagian dari cerita yang lebih besar—cerita yang dibumbui dengan ketegangan, tetapi pada akhirnya selalu berujung pada kehangatan. Maya, dengan segala keahliannya dalam dunia kuliner, terlihat seperti seseorang yang tak hanya menghidangkan makanan, tapi juga menghidangkan hati. Ari memandangnya, mencoba menangkap setiap ekspresi kecil yang tercipta di wajahnya. Ada sesuatu yang menarik dari wanita ini, dan ia mulai merasa lebih tertarik dari sebelumnya.
“Ini dia, Tiramisu Cinta,” kata seorang pelayan, mengantarkan dessert istimewa itu ke meja Ari.
Maya yang kebetulan berada di dekat meja itu menatap dessert yang baru disajikan. Tiramisu ini, dengan lapisan mascarpone yang lembut, sedikit taburan kakao, dan irisan cokelat hitam yang elegan, terlihat seperti karya seni yang dirancang untuk memikat mata dan lidah. Ia berharap kali ini tidak ada kesalahan, karena hidangan penutup ini adalah simbol dari segala yang dia percayai dalam dunia kuliner—cinta, dedikasi, dan perhatian terhadap setiap detail. Tidak ada tempat untuk kegagalan kali ini.
Ari mengamati tiramisu tersebut dengan penuh perhatian. “Wah, ini kelihatannya luar biasa. Sepertinya kamu benar-benar memikirkan segalanya dengan sangat hati-hati, Maya.”
Maya tersenyum tipis. “Makanan bukan hanya soal rasa, Ari. Tapi juga soal cerita yang ingin kita sampaikan melalui setiap suapan. Seperti halnya hidup, kadang kita harus menyelami lapisan demi lapisan untuk bisa benar-benar memahami esensinya.”
Ari menatap Maya sejenak, merasakan kehangatan dari kata-kata itu. Ia tidak tahu mengapa, tetapi tiba-tiba ia merasa lebih terhubung dengan Maya. Mungkin itu karena kepercayaan Maya terhadap makanannya, atau mungkin karena cara Maya berbicara tentang makanan seolah makanan itu lebih dari sekadar bahan-bahan yang dicampur menjadi hidangan. Ada emosi yang tertuang dalam setiap kalimatnya, dan Ari merasa ingin tahu lebih banyak.
Tanpa ragu, Ari mengambil sendok dan mencicipi tiramisu itu. Sesaat setelah ia merasakan rasa manis dan lembut mascarpone, disusul dengan rasa cokelat yang hangat di ujung lidahnya, senyuman kecil muncul di wajahnya. “Ini… ini luar biasa, Maya. Benar-benar luar biasa. Ada sesuatu yang berbeda tentang rasa ini—seolah-olah ada kehangatan yang langsung menyentuh hati.”
Maya merasa jantungnya berdegup kencang mendengar pujian Ari. Ini adalah bagian dari pekerjaannya yang paling ia nikmati—melihat reaksi orang-orang saat mereka pertama kali merasakan hidangan yang penuh cinta. Makanan, bagi Maya, adalah cara ia berbicara tanpa kata-kata. Itu adalah cara dia mengekspresikan perasaan, sebuah bentuk komunikasi yang lebih dalam daripada yang bisa dilakukan kata-kata.
“Terima kasih,” kata Maya dengan suara pelan. “Sebenarnya, tiramisu ini bukan hanya soal rasa. Ini adalah bentuk pengungkapan dari apa yang ada di dalam hati kami. Setiap lapisannya melambangkan perjalanan, dan setiap rasa yang tercipta adalah bagian dari cerita yang terus berkembang.”
Ari mengangguk, merasa terhanyut dalam pembicaraan itu. “Aku bisa merasakannya. Setiap suapan seperti membawa kita lebih dekat ke sesuatu yang lebih dalam. Ini bukan sekadar makan malam, Maya. Ini adalah pengalaman.”
Maya tersenyum mendengar perkataan Ari. Baginya, itu adalah pujian yang lebih berharga daripada sekadar komentar tentang rasa makanan. Ari memang tidak tahu, tapi dia telah berhasil menangkap apa yang selama ini Maya coba sampaikan lewat setiap hidangan yang disajikan. Cinta yang terkandung dalam setiap suapan, itu adalah inti dari segala yang dilakukan Maya—dalam pekerjaannya, dalam hubungan, bahkan dalam hidup.
Saat malam semakin larut dan pelanggan mulai beranjak pulang, Maya duduk sejenak di meja belakang, melepaskan penat setelah seharian bekerja keras. Restoran yang penuh dengan aktivitas dan suara-suara riuh kini mulai sepi. Di luar, langit malam yang gelap tampak memantulkan cahaya lampu dari jalanan, menciptakan kesan yang tenang dan damai.
Ari masih duduk di meja tujuh, menikmati sisa tiramisunya dengan penuh kesenangan. Maya menatapnya dari kejauhan, merasa bahwa malam ini bukan sekadar tentang hidangan yang sempurna, tetapi tentang hubungan yang terbentuk tanpa diduga, dalam cara yang sangat sederhana. Setiap hidangan yang ia sajikan, seolah membawa mereka lebih dekat, membawa mereka berbagi lebih dari sekadar makanan. Cinta itu ada di dalam setiap suapan, di dalam setiap detil yang diperhatikan, dan Maya menyadari bahwa mungkin ini adalah cara hidup yang ingin ia teruskan.
Dan mungkin, hanya mungkin, Ari juga mulai merasakan hal yang sama. Mungkin, cinta yang tersembunyi dalam setiap suapan ini akan berkembang menjadi lebih banyak lagi, lebih dari sekadar hidangan atau cerita, tapi sebuah kisah yang akan mereka tulis bersama—secara perlahan, penuh makna, dan tentu saja, penuh dengan rasa.*
Bab 5: Makanan Pembuka Cinta
Maya berjalan melintasi ruang makan yang kini mulai sepi. Restoran yang biasanya penuh dengan tawa dan obrolan kini tampak sunyi. Ia berhenti sejenak di dekat pintu dapur, mendengarkan suara panci-panci yang masih berdenting, dan melihat para koki yang terus bekerja untuk membersihkan dapur setelah kesibukan malam tadi. Sisa-sisa makanan yang belum dihidangkan teronggok di meja, namun tidak ada satu pun yang menyadarkan Maya bahwa malam ini sudah hampir berakhir. Pikirannya melayang pada sesuatu yang lebih penting.
Ari.
Lelaki yang baru saja mengenalnya beberapa minggu lalu. Sejak pertama kali berjumpa di meja makan, Maya merasakan sesuatu yang berbeda. Tidak hanya karena Ari tampak begitu santai dan tidak terlalu peduli dengan kesempurnaan makanan yang ia sajikan, tetapi juga karena cara Ari berbicara tentang makanan. Ia bisa merasakan bahwa Ari memahami esensi dari apa yang Maya lakukan, meskipun hanya dengan satu suapan tiramisu. Di balik senyumannya yang cerah, Maya merasakan ada potensi hubungan yang lebih dalam—hubungan yang melibatkan lebih dari sekadar makanan. Sesuatu yang terasa lebih personal dan, mungkin, lebih manis daripada hidangan penutup yang mereka nikmati bersama.
Namun, Maya tidak tahu harus bagaimana. Menyatakan perasaan yang mulai tumbuh bukanlah hal yang mudah, terutama bagi seseorang yang begitu terikat pada pekerjaan dan kesempurnaan seperti dirinya. Tetapi, sebuah ide muncul di benaknya. Jika makanan bisa mengungkapkan perasaan, mengapa tidak mencoba untuk menyampaikan sesuatu melalui makanan pembuka? Makanan pembuka—hidangan yang pertama kali menciptakan kesan, yang sering kali menjadi pemikat utama dalam sebuah makan malam. Mungkin, dengan cara itu, ia bisa menunjukkan perasaannya tanpa harus mengatakannya langsung.
Maya mendekati dapur dan mencari Lara, koki muda yang kini bertugas di bagian hidangan pembuka. “Lara,” kata Maya, dengan nada serius namun lembut, “aku ingin kalian menyiapkan hidangan pembuka spesial malam ini. Sesuatu yang berbeda dari biasanya, yang bisa menggugah rasa tapi juga memberikan kesan. Pikirkan sesuatu yang bisa menjadi perkenalan yang sempurna untuk malam ini.”
Lara yang mendengarnya mengangguk, matanya bersinar dengan semangat. “Tentu, Maya. Apa yang kamu pikirkan?”
Maya berpikir sejenak. “Aku ingin sesuatu yang ringan, tetapi memikat. Tidak terlalu berat, tapi cukup menggoda untuk membangkitkan rasa penasaran. Mungkin sesuatu yang berbahan dasar keju, tetapi dengan rasa yang kompleks—kita bisa buat sesuatu yang elegan.”
Lara tersenyum lebar. “Baik, kita bisa membuat salad keju kambing dengan dressing madu dan kacang panggang. Tentu saja, kita akan menambahkan sedikit sentuhan truffle agar lebih istimewa. Itu bisa jadi makanan pembuka yang ringan, tetapi penuh rasa.”
Maya mengangguk. “Itu sempurna. Pastikan setiap detailnya sesuai dengan keinginan kita.”
Lara segera melangkah menuju meja persiapan, mulai mengatur bahan-bahan yang akan digunakan. Maya menatapnya sejenak, lalu berjalan menuju ruang makan. Ia berharap hidangan pembuka ini tidak hanya akan memberikan kesan pertama yang baik bagi tamu-tamu yang datang malam ini, tetapi juga membuka ruang bagi sesuatu yang lebih dalam. Sebuah pintu kecil yang bisa membawa mereka lebih dekat.
Namun, sesaat setelah itu, Maya menyadari bahwa apa yang ia coba lakukan bukan hanya untuk tamu-tamu restoran. Ia juga melakukannya untuk Ari. Jika makanan bisa mengungkapkan rasa, apakah mungkin ini adalah cara untuk berbicara tanpa kata-kata? Sesuatu yang sudah lama ia hindari, sesuatu yang jarang ia izinkan masuk ke dalam hidupnya. Cinta.
Maya menarik napas dalam-dalam dan mulai berjalan kembali ke ruang makan. Tamu-tamu sudah mulai memasuki restoran, dan ia bisa melihat beberapa wajah yang sudah familiar, serta beberapa yang baru. Seperti biasa, Maya berjalan dengan langkah tegap, matanya tajam memeriksa setiap detail, memastikan semuanya dalam kondisi terbaik. Namun, pikirannya masih melayang pada ide makanan pembuka itu. Apa yang akan terjadi jika Ari merasakan perasaan yang sama?
Maya mencoba untuk menenangkan diri. Semua yang bisa ia lakukan sekarang adalah memberikan yang terbaik melalui makanan, dan berharap bahwa jika ada sesuatu yang perlu terjadi, itu akan terjadi dengan sendirinya.
Sementara itu, Ari baru saja tiba di restoran, kali ini bersama beberapa teman lama yang sengaja diajak makan untuk merayakan kesuksesan bisnis mereka. Seperti biasa, Ari tampak santai dan penuh percaya diri. Tidak ada yang terlalu rumit baginya. Hidup terasa mudah ketika Anda tahu bagaimana cara menikmatinya. Namun, kali ini, ada yang berbeda.
Ari menyadari bahwa ada sesuatu yang mengganggunya, meskipun ia tidak tahu apa itu. Entah kenapa, ia merasa begitu tertarik dengan Maya, dengan cara dia bekerja, dengan cara dia memandang dunia. Ada sesuatu dalam diri Maya yang terasa kuat, namun lembut. Dia tidak hanya seorang manajer restoran yang cekatan, tetapi seseorang yang punya kedalaman, sesuatu yang Ari jarang temui.
Saat ia duduk di meja bersama teman-temannya, Ari tidak bisa tidak memikirkan Maya. Beberapa kali, ia menangkap Maya sedang berbicara dengan staf atau memeriksa persiapan makanan di dapur, namun ia merasa bahwa ada lebih dari sekadar profesionalisme yang ia lihat pada Maya. Ada kehangatan yang terasa begitu alami, dan Ari merasa tertarik untuk mengetahuinya lebih dalam.
Tiba-tiba, seorang pelayan membawa hidangan pembuka yang telah disiapkan oleh Lara dan tim dapur. Salad keju kambing dengan madu dan kacang panggang, disajikan dengan sangat rapi di atas piring putih yang bersih. Beberapa tetes truffle oil melengkapi keindahan hidangan itu, dan aroma yang dihasilkan langsung menggugah selera.
Ari memandangnya sejenak, lalu menatap pelayan yang membawanya. “Ini untuk saya?” tanya Ari, sambil tersenyum.
Pelayan itu mengangguk. “Ya, ini makanan pembuka spesial malam ini, dari Chef Maya.”
Ari merasa ada yang aneh mendengar nama Maya disebutkan. Ada semacam getaran kecil di dalam dirinya, sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan. Ia menyendok sejumput salad dan mencicipinya. Begitu keju kambing yang lembut berpadu dengan madu manis dan kacang panggang yang renyah, ia langsung merasakan rasa yang begitu kompleks namun seimbang. Ada rasa manis, gurih, dan sedikit sentuhan truffle yang memberikan kedalaman.
Ari menelan suapan pertama dengan perlahan, meresapi setiap rasa yang terjalin dalam setiap gigitan. “Ini luar biasa,” kata Ari dengan terkesima. “Benar-benar luar biasa. Aku merasa seperti ada cerita di balik setiap rasa.”
Pelayan yang berdiri di dekat meja itu tersenyum. “Chef Maya memang selalu percaya bahwa setiap hidangan memiliki cerita. Makanan pembuka ini dirancang untuk memberikan kesan pertama yang tak terlupakan.”
Ari tersenyum kecil. “Aku bisa merasakannya.”
Sesaat, ia melihat Maya yang sedang berjalan melewati ruang makan, menyusuri meja demi meja dengan matanya yang tajam, memastikan semuanya berjalan lancar. Dalam hati, Ari tahu bahwa Maya adalah bagian dari cerita ini—sebuah cerita yang belum sepenuhnya ia pahami, tapi satu hal yang ia yakini, ia ingin melanjutkannya.
Maya memandangnya dari kejauhan dan memberikan senyuman kecil. Senyuman itu, meskipun sederhana, terasa seperti kata-kata yang tak terucapkan. Ari merasa seperti sedang membaca bab pertama dari sebuah kisah yang baru saja dimulai—kisah tentang makanan, tentang hidup, dan mungkin, tentang cinta.*
Bab 6: Hidangan Penutup yang Manis
Malam itu, restoran kembali dipenuhi dengan suara obrolan riuh tamu-tamu yang menikmati hidangan mereka. Maya berdiri di sudut dapur, matanya fokus mengamati para koki yang tengah bekerja, memastikan bahwa setiap hidangan yang keluar dari dapur tetap sempurna. Namun, pikirannya jauh dari fokus pada piring-piring yang sedang disiapkan. Ia tidak bisa menahan diri untuk terus memikirkan Ari, dan juga semua yang terjadi antara mereka dalam beberapa minggu terakhir.
Hari-hari di restoran sudah menjadi rutinitas yang melelahkan, namun ada sesuatu yang berbeda tentang malam ini. Maya merasa seperti ada semacam ketegangan yang menggantung di udara—sebuah ketegangan yang sudah lama ia rasakan, namun kali ini terasa lebih kuat. Apa yang terjadi? Kenapa ia merasa seperti ada sesuatu yang tak terucapkan antara dia dan Ari?
Sambil merenung, Maya teringat akan percakapan mereka beberapa malam lalu, setelah mereka menikmati hidangan pembuka yang Maya ciptakan. Saat itu, Ari menyebutkan bahwa makanan bisa mengungkapkan banyak hal, dan Maya merasa seperti itu adalah momen yang mengungkapkan lebih dari sekadar rasa. Sesuatu dalam diri Ari yang membuat Maya merasa tidak bisa lagi menghindar dari perasaan yang semakin tumbuh di dalam hatinya. Apakah ini yang disebut cinta? Ataukah hanya perasaan sesaat yang akan menghilang begitu saja?
Pikiran Maya dihentikan oleh suara Lara yang memanggilnya. “Maya, hidangan penutup siap disajikan. Tiramisu yang kamu buat dengan sentuhan spesial, seperti yang kamu inginkan.”
Maya tersenyum kecil, mencoba mengalihkan perhatiannya dari kegelisahan dalam hatinya. “Terima kasih, Lara. Pastikan semuanya disajikan dengan sempurna.”
Dengan langkah cepat, Maya meninggalkan sudut dapur dan menuju ke ruang makan, tempat Ari duduk bersama beberapa temannya. Ia merasa sedikit gugup. Hidangan penutup ini adalah sesuatu yang spesial—sesuatu yang ingin ia sajikan bukan hanya karena rasa, tetapi juga karena ada perasaan yang tersembunyi di baliknya. Tiramisu dengan lapisan-lapisan lembut, dipenuhi dengan sentuhan cokelat dan taburan halus dari bubuk kopi. Ada sedikit sentuhan personal yang ditambahkan pada hidangan ini, sebuah rahasia kecil yang Maya harap bisa membuat Ari merasa terhubung dengan apa yang ada di hatinya.
Saat Maya tiba di meja Ari, ia bisa melihat ekspresi wajah pria itu yang tampak lelah namun tetap santai. Ia duduk di sana, menikmati obrolan dengan teman-temannya, tetapi ada sesuatu yang berbeda di matanya. Ketika melihat Maya datang mendekat, matanya bertemu dengan mata Maya sejenak. Ada keheningan yang tiba-tiba terjadi, seperti ada yang tak terucapkan antara mereka, namun juga penuh dengan harapan.
Pelayan membawa tiramisu dan meletakkannya dengan hati-hati di atas meja. Maya menyaksikan Ari yang memandang hidangan tersebut dengan penasaran. “Ini tiramisu spesial malam ini,” kata Maya dengan suara lembut, “dengan sentuhan pribadi dari saya.”
Ari tersenyum, matanya tetap fokus pada tiramisu yang disajikan. “Aku penasaran. Sepertinya ada sesuatu yang berbeda.”
“Cobalah,” kata Maya, sedikit tersenyum, “Dan beri tahu aku apa yang kamu rasakan.”
Ari mengambil sendok dan mulai mencicipi sepotong kecil tiramisu. Maya menunggu dengan cemas, berharap bahwa hidangan ini bisa menyampaikan perasaan yang sulit ia ungkapkan. Tiramisu itu bukan hanya sekadar dessert, tetapi juga simbol dari segala hal yang belum ia katakan.
Beberapa detik berlalu, dan akhirnya Ari menatap Maya dengan ekspresi yang lebih serius. “Ini… luar biasa, Maya,” katanya pelan. “Ada sesuatu dalam rasa ini yang membuatnya lebih dari sekadar makanan. Rasanya lembut, namun ada kedalaman yang mengejutkan. Seperti… ada cerita di baliknya.”
Maya merasa jantungnya berdebar mendengar kata-kata itu. Ada sesuatu dalam cara Ari berbicara yang membuatnya merasa dihargai, seolah-olah ia memahami makna lebih dari sekadar hidangan itu. Namun, Maya tahu bahwa ini belum cukup. Tiramisu ini, seperti yang ia buat, memang penuh dengan rasa—namun apakah itu cukup untuk menyampaikan perasaan yang lebih dalam?
“Setiap lapisan tiramisu ini mewakili perjalanan yang kita tempuh,” kata Maya, suara agak tergetar. “Lapisan pertama adalah rasa manis yang muncul dari pertama kali bertemu, lapisan kedua adalah rasa yang lebih dalam, saat kita mulai mengenal satu sama lain lebih jauh. Dan lapisan ketiga adalah sesuatu yang lebih kuat—sesuatu yang tak terungkapkan, yang lebih dalam dari yang kita sadari.”
Ari menatap Maya dengan lebih intens, dan untuk pertama kalinya, ada keheningan di antara mereka. Hanya ada suara sendok yang sesekali menempel pada piring. Ari terlihat memikirkan kata-kata Maya dengan penuh perhatian, seolah-olah mencoba menafsirkan maksud dari kalimat-kalimat itu.
“Apakah ini cara kamu berbicara, Maya?” tanya Ari, suara penuh rasa ingin tahu. “Apakah ini cara kamu mengungkapkan perasaan?”
Maya menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Ia tahu ini adalah saat yang penting. Ia tahu bahwa jika tidak berbicara sekarang, kesempatan itu mungkin akan hilang begitu saja. “Aku tidak bisa mengungkapkan semuanya dengan kata-kata, Ari,” kata Maya perlahan. “Kadang, rasa itu lebih jujur daripada yang bisa aku katakan. Kadang, makanan—terutama tiramisu ini—lebih bisa menceritakan perasaan yang aku rasakan daripada sekadar percakapan.”
Ari menatapnya, seolah mencoba mencerna semuanya. Wajahnya yang biasanya penuh canda kini tampak lebih serius. “Aku mengerti,” katanya pelan. “Tiramisu ini memang lebih dari sekadar hidangan penutup. Itu seperti sebuah pernyataan—sesuatu yang bisa kau rasakan lebih dalam daripada yang bisa aku lihat.”
Maya merasakan sesuatu yang bergetar dalam dirinya, sebuah perasaan yang tidak bisa ia ungkapkan dengan mudah. Ada sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata di antara mereka. Sebuah pemahaman, sebuah koneksi, yang semakin terasa kuat seiring waktu.
Setelah beberapa saat, Ari tersenyum lagi, kali ini senyum yang lebih hangat dan lebih tulus. “Maya,” katanya dengan lembut, “terima kasih. Tidak hanya untuk tiramisunya, tetapi juga untuk cara kamu mengungkapkan perasaanmu. Aku bisa merasakannya, bahwa ada lebih banyak hal di balik ini daripada yang aku duga.”
Maya merasa hatinya bergetar, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu, ia merasa lega. Mungkin, hanya mungkin, ini adalah saat yang tepat untuk membuka hati, bukan hanya kepada makanan, tetapi juga kepada perasaan yang telah lama ia sembunyikan. Makanan, pada akhirnya, memang hanya sebuah pengantar—tetapi perasaan yang ada di baliknya, itu yang sesungguhnya penting.
Ari menatap tiramisu sekali lagi, senyuman yang lembut tetap terukir di wajahnya. “Aku pikir… aku ingin tahu lebih banyak tentang kamu, Maya. Tidak hanya tentang masakanmu, tetapi juga tentang kamu sebagai pribadi.”
Maya tersenyum, merasa hatinya dipenuhi dengan kehangatan. “Aku akan senang memberitahumu lebih banyak, Ari.”
Dan malam itu, di meja yang dipenuhi sisa-sisa hidangan yang hampir habis, Maya merasa untuk pertama kalinya bahwa sebuah hidangan penutup tidak hanya sekadar rasa manis, tetapi juga sebagai simbol dari langkah pertama menuju sesuatu yang lebih besar—sesuatu yang penuh dengan kemungkinan dan harapan.*
Bab 7: Masakan dan Cinta yang Sempurna
Maya berdiri di balik dapur, menyaksikan segala sesuatunya berlari dengan irama yang sudah sangat familiar baginya. Wajahnya tampak serius, matanya tetap fokus pada setiap detail yang terjadi di sekitar ruang dapur yang penuh dengan aktivitas. Para koki dan staf restoran bergerak cepat, menyiapkan bahan-bahan untuk menu malam ini. Namun, dalam hatinya, ada hal yang lebih besar yang mengganggu pikirannya. Kali ini, bukan hanya tentang rasa atau presentasi makanan, tetapi tentang perasaan yang terus berkembang dalam dirinya—perasaan terhadap Ari.
Seminggu telah berlalu sejak malam itu, malam ketika mereka duduk bersama menikmati tiramisu, dan Maya mulai membuka sedikit demi sedikit perasaannya yang selama ini terkubur dalam-dalam. Ari, dengan sikapnya yang hangat dan penuh perhatian, seolah membawa Maya lebih dekat ke dalam dunia yang selama ini ia hindari—dunia cinta. Tetapi, masih ada ketakutan yang menghinggapi hatinya. Apa yang sesungguhnya ia rasakan? Apakah cinta ini benar-benar tumbuh atau hanya sekadar perasaan sesaat yang akan berlalu begitu saja?
Maya menarik napas dalam-dalam, mencoba mengusir kegelisahan yang mulai menghantuinya. Ia selalu tahu bahwa makanan memiliki kekuatan untuk menghubungkan orang, tapi kali ini, ia merasa seperti makanan tidak lagi cukup untuk menyampaikan perasaannya. Ia perlu lebih dari sekadar rasa manis dalam tiramisu atau kelezatan dalam hidangan pembuka. Ia perlu keberanian untuk mengungkapkan apa yang sesungguhnya ada di hatinya.
“Chef Maya!” panggil Lara, suara riang Lara memecah lamunan Maya. “Semua hidangan untuk malam ini sudah siap, dan tamu-tamu kita sudah mulai datang. Bagaimana kalau kamu keluar sejenak, beri sedikit waktu untuk dirimu sendiri?”
Maya tersenyum, meskipun senyum itu sedikit dipaksakan. “Terima kasih, Lara. Aku akan segera ke ruang makan.”
Maya melangkah keluar dari dapur, menghela napas panjang saat merasakan udara restoran yang segar dan penuh kehidupan. Di meja-meja yang tersebar di ruang makan, tamu-tamu duduk menikmati makanan mereka dengan riang, seakan tidak ada yang mengganggu keharmonisan suasana. Namun, hatinya kembali berdebar ketika ia melintasi meja tempat Ari duduk. Ari terlihat sedang berbincang dengan beberapa temannya, namun matanya sepertinya tidak bisa terlepas dari Maya.
Saat Maya melangkah lebih dekat, Ari menyadari kedatangannya dan segera tersenyum lebar, membuat Maya merasa sedikit canggung. Ia merasa seperti ada yang berbeda kali ini, meskipun mereka sudah beberapa kali bertemu setelah malam itu. “Maya, aku sudah menunggu,” kata Ari dengan suara yang santai namun penuh kehangatan.
Maya merasakan kegelisahan yang datang dengan senyum Ari. Ada sesuatu dalam diri Ari yang membuat Maya merasa seperti dunia ini bisa berubah hanya dengan satu tatapan. Ia memberanikan diri untuk duduk di meja itu bersama Ari dan teman-temannya. “Aku harap makananmu enak, Ari,” kata Maya, mencoba untuk sedikit mengalihkan perhatian dari kegugupannya.
“Denganmu yang menyiapkannya, aku yakin ini pasti luar biasa,” jawab Ari, matanya tetap mengarah pada Maya, memberi isyarat bahwa pembicaraan mereka tidak hanya tentang makanan. Maya merasa sepertinya ini adalah momen yang penting—momentum yang harusnya diambil untuk berbicara lebih banyak, tetapi ia merasa takut. Apakah dia siap untuk itu?
Lara datang menghampiri mereka, membawa hidangan utama yang telah disiapkan. Maya berusaha tersenyum, mencoba menenangkan hatinya. Hidangan utama malam ini adalah pasta dengan saus tomat yang kaya rasa, disertai dengan daging sapi yang dimasak dengan sempurna. Ini adalah salah satu hidangan favorit Maya, dan ia ingin menunjukkan kepada Ari betapa banyak hal yang bisa ia sampaikan melalui makanan.
“Ini untukmu, Ari,” kata Maya dengan percaya diri, meskipun hatinya berdegup kencang. “Cobalah, dan beri tahu aku apa yang kamu rasakan.”
Ari menyendok sebagian pasta, kemudian menatap Maya sejenak, seolah mencoba mencari tahu lebih dalam. Setelah beberapa detik, ia mencicipinya, dan ekspresinya berubah. “Ini luar biasa, Maya. Rasanya sangat kaya. Seperti… ada banyak lapisan yang menyatu dengan sempurna. Kamu selalu bisa membuat makanan yang bukan hanya mengenyangkan, tapi juga menghangatkan hati.”
Maya menatap Ari, merasa kata-kata itu menyentuh lebih dalam daripada yang ia bayangkan. “Makanan memang seperti itu, kan?” jawab Maya, sedikit ragu. “Dia bisa jadi lebih dari sekadar rasa. Bisa jadi cerminan dari perasaan yang sulit diungkapkan.”
Ari tersenyum. “Aku mulai mengerti maksudmu. Makanan ini, dan mungkin lebih banyak lagi hal dalam hidup kita, memiliki cara untuk berbicara lebih dari yang bisa kita katakan dengan kata-kata.”
Maya merasakan jantungnya semakin berdebar. Kata-kata Ari itu terasa begitu dalam, seperti ada perasaan yang lebih tersirat dari sekadar pujian tentang masakan. Apakah Ari juga merasakan hal yang sama? Apakah ada perasaan yang lebih dari sekadar kekaguman terhadap masakan yang ia buat?
Malam itu, seperti biasa, Maya sibuk melayani para tamu. Namun, setiap kali ia melirik ke meja tempat Ari duduk, ia merasa seolah dunia berhenti berputar. Tidak ada yang lebih penting saat itu selain perasaan yang muncul di antara mereka. Mungkin, Ari adalah jawabannya—jawaban untuk pertanyaan yang selama ini berputar di kepalanya. Mungkin, makanan yang mereka nikmati bersama adalah simbol dari sesuatu yang lebih besar—sebuah hubungan yang tumbuh dengan perlahan namun pasti.
Ketika malam semakin larut, tamu-tamu mulai meninggalkan restoran, dan hanya tinggal beberapa orang lagi yang menikmati sisa hidangan mereka. Maya akhirnya mengambil kesempatan untuk berbicara lebih lama dengan Ari, tanpa gangguan. Mereka berjalan keluar menuju teras belakang restoran, tempat mereka bisa duduk dan berbincang dengan lebih santai.
“Maya,” kata Ari pelan, saat mereka duduk di bangku teras yang dikelilingi tanaman hijau. “Aku harus mengaku, aku merasa lebih nyaman denganmu daripada yang pernah aku rasakan sebelumnya. Seperti ada sesuatu yang lebih dalam yang aku rasakan setiap kali kita berbicara, setiap kali kita bersama. Aku tidak tahu apakah ini terlalu cepat untuk dikatakan, tetapi aku ingin jujur padamu.”
Maya menatapnya, merasa hatinya berdebar hebat. “Aku juga merasakannya, Ari. Ini… lebih dari sekadar makanan, bukan? Ini tentang kita, tentang bagaimana kita bisa saling memahami tanpa kata-kata.”
Ari tersenyum, kali ini senyuman yang penuh makna. “Iya, Maya. Sepertinya makanan ini bukan hanya mengisi perut kita, tapi juga hati kita. Kita berbicara melalui masakan, dan aku merasa kita semakin dekat. Mungkin, kita sedang menemukan sesuatu yang lebih dari yang kita kira.”
Maya menarik napas dalam-dalam, akhirnya merasa lega. Mungkin, ini adalah saat yang tepat—momen yang ia tunggu selama ini, di mana masakan dan cinta akhirnya bertemu dalam harmoni yang sempurna. Mereka tidak hanya berbicara melalui makanan, tetapi juga tentang perasaan yang sudah lama tumbuh di hati mereka.
“Ya, Ari,” kata Maya dengan penuh keyakinan. “Makanan memang bisa menjadi pembuka, tetapi perasaan yang kita bagi adalah yang paling penting. Dan aku ingin membagikan itu denganmu.”
Di malam yang penuh dengan kata-kata yang tak terucapkan dan masakan yang luar biasa, Maya tahu bahwa mereka baru saja memulai perjalanan yang jauh lebih besar daripada sekadar rasa. Sebuah hubungan yang akan terus berkembang, bumbu demi bumbu, hingga menjadi masakan cinta yang sempurna.*
Bab 8: Cinta yang Mengisi Perut
Maya berdiri di dapur, dikelilingi oleh bau harum yang memenuhi ruangan. Setiap sudut dapur terasa seperti rumahnya sendiri. Dinding-dindingnya, dengan berbagai alat masak yang teratur rapi, memberi kenyamanan baginya, tetapi hari ini ada sedikit perasaan yang mengganggu. Tangannya sibuk mempersiapkan hidangan pembuka untuk malam ini—sebuah hidangan yang ia buat dengan penuh cinta, karena baginya, memasak bukan hanya soal bahan dan resep, melainkan juga soal perasaan yang dituangkan dalam setiap langkahnya.
Namun, Maya tahu, bahwa meskipun ia bisa menciptakan keajaiban di dapur, ada satu hal yang lebih sulit ia kuasai: perasaannya sendiri. Sebuah perasaan yang tumbuh perlahan, seperti ragi yang mengembang, di antara dirinya dan Ari. Mungkin sudah saatnya untuk ia berbicara lebih terbuka tentang apa yang sebenarnya ia rasakan, tentang perasaan yang mengisi setiap ruang di hatinya, bahkan ruang-ruang yang selama ini ia tutup rapat-rapat.
“Chef Maya, semuanya sudah siap!” teriak Lara dari luar dapur, membuat Maya terjaga dari lamunannya. “Hidangan utama hampir selesai! Kamu tinggal mengatur pencuci mulut.”
Maya menghela napas, mencoba meredakan kegelisahan yang masih menyelubungi hatinya. “Terima kasih, Lara. Aku akan segera keluar.”
Sebelum meninggalkan dapur, Maya melihat sekelilingnya, memeriksa setiap hidangan yang sudah siap untuk disajikan. Hari ini terasa lebih istimewa, tidak hanya karena menu yang disiapkan dengan teliti, tetapi juga karena ada Ari, yang entah kenapa selalu membuat hatinya berdebar. Seperti ada dorongan yang tak bisa ditahan, meskipun Maya mencoba sekuat tenaga untuk menghindar dari perasaan itu.
Maya melangkah menuju ruang makan, dengan hati yang berdebar lebih cepat daripada biasanya. Ari sudah duduk di salah satu meja dengan beberapa teman-temannya, tertawa riang, tapi Maya tahu, ketika Ari melihatnya, segalanya berubah. Mata Ari selalu memiliki cara untuk menembus ke dalam dirinya, membuatnya merasa seperti dunia ini hanya ada mereka berdua.
“Hei, Maya!” sapa Ari dengan senyum lebar ketika Maya mendekat. Senyum itu, seperti selalu, membuat Maya merasa sedikit canggung. “Aku sudah menunggu hidangan spesial malam ini. Apa yang kamu siapkan untuk kami?”
Maya merasa wajahnya sedikit memanas. “Hidangan pembuka spesial malam ini adalah salad dengan vinaigrette jeruk dan alpukat. Untuk hidangan utama, ada pasta dengan saus krim lemon dan ayam panggang. Dan, tentu saja, untuk penutup, ada puding cokelat dengan saus karamel.”
Ari mengangguk, ekspresinya penuh antusiasme. “Aku tidak sabar untuk mencobanya. Setiap kali kamu membuat sesuatu, selalu ada kejutan.”
Maya tersenyum tipis, merasa sedikit lega meskipun ada perasaan yang terus menggelayuti dirinya. Tamu-tamu mulai menyantap hidangan mereka, sementara Maya sibuk memastikan semuanya berjalan lancar. Ketika ia melihat Ari menyantap salad yang ia buat, ia merasa sedikit gugup. Reaksi pertama Ari terhadap makanan selalu membuatnya penasaran.
“Ini luar biasa, Maya,” kata Ari setelah mencicipi saladnya, matanya menyipit sedikit saat menikmati rasa vinaigrette yang segar. “Ada rasa jeruk yang menyegarkan, dan alpukatnya memberikan kelembutan yang pas. Salad ini… terasa ringan, tapi sangat memuaskan.”
Maya merasa senyum bangga mengembang di wajahnya, tetapi di sisi lain, hatinya juga semakin berdebar. Ari tidak hanya memuji masakannya, tetapi ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kata-kata itu. Maya merasa seperti setiap pujian Ari adalah cerminan dari hubungan mereka yang semakin dalam. Setiap kali Ari berbicara tentang masakan yang ia buat, rasanya seperti dia sedang mengungkapkan lebih dari sekadar penghargaan terhadap makanan. Ada sebuah kedekatan yang tumbuh dalam setiap kata.
Maya melangkah mundur sedikit, memberi ruang bagi para tamu untuk menikmati hidangan mereka. Namun, pikirannya tidak bisa berhenti mengembara pada kata-kata Ari. Cinta—apakah itu yang sedang terjadi? Mungkin saja. Ada sesuatu dalam cara mereka berbicara, dalam cara mereka berbagi waktu bersama, yang membuat Maya merasa bahwa apa yang mereka rasakan bukan hanya sekadar hubungan biasa. Setiap tatapan, setiap senyuman, setiap percakapan tentang makanan seolah membawa mereka lebih dekat ke perasaan yang lebih dalam.
Beberapa saat kemudian, hidangan utama disajikan. Pasta dengan saus krim lemon dan ayam panggang yang mengeluarkan aroma harum. Maya mengawasi dari jauh, memandangi setiap tamu yang mulai mencicipi hidangan. Ketika giliran Ari tiba, ia tersenyum dan mencicipi pasta yang disajikan di hadapannya.
“Amazing, Maya,” kata Ari sambil menyuap satu sendok pasta. “Pasta ini lembut, saus krim lemonnya memberikan rasa segar yang pas. Kamu tahu, aku merasa seperti makanan ini menggambarkan suasana hati kita—penuh rasa, tapi tetap ringan dan menyenangkan.”
Maya menelan ludah, merasa jantungnya berdetak semakin kencang. Apa yang baru saja dikatakan Ari? Ada sesuatu yang lebih dari sekadar pujian terhadap makanan. Ari tidak hanya memuji masakan, tetapi sepertinya dia sedang menyampaikan sesuatu yang lebih dalam. Seperti ada pesan tersembunyi di balik kata-katanya.
“Apa maksudmu dengan suasana hati kita?” tanya Maya, mencoba untuk tetap tenang meskipun hatinya berdebar.
Ari mengangguk, matanya menatap Maya dengan intens. “Aku rasa, kita sudah mulai saling mengenal lebih dalam. Makanan ini, seperti perasaan kita, terasa semakin mendalam seiring waktu. Ada rasa yang berkembang, dan aku merasa semakin terhubung denganmu.”
Maya merasa tubuhnya sedikit terkejut mendengar kata-kata itu. Selama ini, ia selalu merasa ragu, takut bahwa perasaan ini hanyalah perasaan sesaat. Tetapi, apa yang baru saja dikatakan Ari membuatnya merasa seolah-olah ada sesuatu yang lebih nyata, lebih pasti. Cinta itu mungkin tidak bisa dilihat dengan mata telanjang, tapi ia bisa dirasakan dalam setiap suapan, dalam setiap kata yang terucap.
Malam itu berlanjut dengan hidangan penutup yang manis—puding cokelat dengan saus karamel yang kaya rasa. Maya memperhatikan Ari dengan cermat saat ia mencicipi puding itu. Ari menutup matanya sejenak, menikmati rasa yang menggoyang lidah.
“Ini… luar biasa,” kata Ari, dan kali ini suaranya terdengar lebih dalam, lebih serius. “Rasa manisnya pas, dan karamel yang melumuri puding ini seperti rasa yang mengisi setiap ruang hati kita. Maya, aku rasa kita sedang berada di tempat yang tepat.”
Maya menatap Ari, perasaan yang tak bisa dijelaskan mengalir di dalam dirinya. Untuk pertama kalinya, Maya merasa bahwa apa yang mereka rasakan bukan hanya tentang makanan atau masakan. Cinta mereka, seperti hidangan yang mereka nikmati bersama, berkembang seiring waktu, dengan setiap bahan, setiap rasa, dan setiap langkah yang mereka jalani bersama.
Maya tersenyum, merasa bahwa segala hal yang mereka alami—baik itu di dapur maupun di luar—adalah sebuah perjalanan yang penuh rasa. “Mungkin, Ari,” kata Maya pelan, “Cinta itu memang seperti makanan. Kadang, ia membutuhkan waktu untuk memasak dengan sempurna. Tapi ketika itu terjadi, rasanya lebih indah daripada yang kita bayangkan.”
Ari menatap Maya dengan penuh arti. “Aku setuju, Maya. Cinta, seperti makanan, membutuhkan kesabaran, waktu, dan perasaan yang tulus. Dan aku merasa, kita sudah berada di jalan yang tepat.”
Maya tersenyum, merasa hatinya penuh. Seperti hidangan yang telah mereka nikmati bersama, cinta mereka sudah mulai mengisi setiap ruang—penuh dengan rasa, penuh dengan makna, dan penuh dengan kemungkinan yang belum terungkap.***
——-THE END——-