• Latest
  • Trending
  • All
  • Movie Review
  • Box Office
  • Trailer
  • Action
  • Romantic
  • Comedy
  • Horror
  • Serial Movie
  • Genre

HILANG DI TENGAH HUJAN

April 17, 2025
Desa yang Menghilang Saat Hujan

Desa yang Menghilang Saat Hujan

July 19, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025
JEJAK DI PINTU TERLARANG

JEJAK DI PINTU TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

May 17, 2025
TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

May 17, 2025
PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

May 12, 2025
HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

May 12, 2025
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

May 10, 2025
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

May 10, 2025
  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
No Result
View All Result
Novel Story
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah
Novel Story

HILANG DI TENGAH HUJAN

HILANG DI TENGAH HUJAN

by FASA KEDJA
April 17, 2025
in Misteri & Thriller
Reading Time: 16 mins read

Bab 1: Hujan Pertama

Langit sore itu tampak seperti tumpahan tinta kelabu yang enggan mengering. Awan menggantung berat di atas kota kecil bernama Karangjati, dan angin mulai membawa bisikan hujan yang segera datang. Di sela-sela kesibukan para pejalan kaki yang bergegas mencari tempat berteduh, seorang pemuda bernama Raka melangkah dengan tenang menyusuri trotoar yang mulai basah oleh gerimis.

Raka, mahasiswa tingkat akhir jurusan sejarah di Universitas Karangjati, baru saja keluar dari perpustakaan kampus. Di tangannya tergenggam sebuah buku tua tentang legenda lokal yang baru ia pinjam. Ia selalu tertarik pada cerita-cerita lama, terutama yang berbau misteri. Tapi hari itu, bukan buku itu yang mengubah hidupnya—melainkan sesuatu yang jauh lebih nyata.

Hujan turun deras saat ia sampai di tikungan jalan menuju kosannya. Di sanalah ia melihatnya untuk pertama kali.

Seorang gadis kecil, mungkin berumur delapan tahun, berdiri sendirian di seberang jalan. Ia mengenakan gaun merah menyala yang kontras dengan suasana kelabu di sekeliling. Rambutnya basah kuyup, menempel di wajahnya, tapi ia hanya berdiri diam menatap lurus ke arah Raka.

Raka berhenti. Hujan makin deras, dan suara rintiknya memekakkan telinga. Tapi entah mengapa, dunia terasa hening seketika. Hanya suara napasnya sendiri yang terdengar.

“Apa dia tersesat?” gumam Raka.

Ia menoleh ke kiri dan kanan, mencari orang dewasa yang mungkin bersamanya. Tak ada siapa-siapa. Jalanan mulai sepi, semua orang sudah menghindar dari hujan. Hanya dia dan gadis kecil itu.

Raka melangkah menyeberang, berniat menghampirinya. Tapi saat ia sampai di seberang jalan, gadis itu sudah tidak ada. Ia melihat sekeliling, berlari sedikit ke ujung jalan, lalu ke arah gang kecil di sampingnya. Kosong. Tak ada jejak langkah, tak ada suara.

“Aneh,” katanya sambil mengacak rambutnya yang basah.

Ia kembali berdiri di tempat semula gadis itu tadi berdiri. Tanpa sadar, ia menunduk dan melihat sesuatu di bawah kakinya. Sebuah pita merah kecil, tampak seperti pita rambut anak-anak. Ia memungutnya dan memandanginya lama.

Malam itu, hujan masih mengguyur kota. Raka duduk di kamarnya yang kecil, menatap pita itu di meja belajarnya. Ia masih mencoba memproses apa yang ia lihat. Apa mungkin itu hanya halusinasinya saja? Efek kelelahan dan cuaca yang dingin?

Tapi mimpinya malam itu menjawab keraguannya.

Ia berada di tengah hujan, berdiri di jalan yang sama. Namun suasananya berbeda—lebih gelap, lebih sunyi. Dari kejauhan, terdengar suara tawa kecil. Raka menoleh dan melihat gadis itu, berdiri tidak jauh darinya. Kali ini, ia tersenyum. Tapi senyum itu membuat bulu kuduknya merinding. Senyum yang terlalu… kosong.

“Temukan aku,” bisik si gadis.

Raka terbangun dengan napas tersengal. Jantungnya berdebar kencang, dan keringat dingin membasahi lehernya. Di luar, hujan masih turun deras. Ia menatap ke meja—pita itu masih di sana.

Keesokan paginya, ia menceritakan semuanya kepada sahabatnya, Sinta, yang juga kuliah di jurusan yang sama. Sinta mendengarkan dengan ekspresi setengah percaya, setengah khawatir.

“Kamu yakin kamu nggak cuma kecapekan, Rak?”

“Aku tahu ini kedengarannya gila. Tapi aku benar-benar melihatnya. Dan sekarang dia muncul di mimpi.”

“Dan bilang ‘temukan aku’?” ulang Sinta sambil menyilangkan tangan. “Kalau itu benar, kita cari tahu. Kamu bilang kamu lihat dia di Jalan Kertanegara, kan?”

Raka mengangguk.

“Besok kita ke sana bareng,” kata Sinta mantap. “Kalau memang ada sesuatu yang aneh, kita pasti bisa temukan.”

Raka mengangguk perlahan, merasa sedikit lega. Tapi jauh di dalam hatinya, ia tahu… ini bukan sekadar pencarian biasa. Sesuatu sedang membawanya ke arah yang belum ia pahami. Dan semuanya dimulai dari hujan pertama itu.

Bab 2: Gadis Berbaju Merah

Pagi itu, langit masih kelabu, seolah enggan menghapus sisa hujan semalam. Raka dan Sinta berdiri di trotoar Jalan Kertanegara, tepat di tempat Raka mengaku melihat gadis kecil berbaju merah itu. Trotoar masih basah, dan udara pagi membawa dingin yang menembus jaket tipis mereka.

“Di sini?” tanya Sinta, memandang sekeliling.

“Ya,” jawab Raka sambil menunjuk trotoar seberang. “Dia berdiri tepat di sana. Lalu menghilang begitu saja.”

Sinta menyeberang, berdiri di tempat yang dimaksud. Ia menyapu pandangannya, lalu berjongkok dan memperhatikan celah-celah paving block. Tak ada apa-apa. Tak ada pita lain, tak ada jejak kaki.

“Rasanya mustahil kalau dia cuma ilusi, Rak,” gumam Sinta. “Kamu bahkan bawa pulang pitanya. Itu nyata.”

Mereka memutuskan berjalan menyusuri gang kecil di samping jalan itu. Gang itu sempit, dengan tembok tinggi di kanan-kiri, dipenuhi coretan mural pudar dan tetesan air dari talang rumah. Aroma lembap dan tanah basah menyeruak.

Saat hendak berbalik arah, Sinta berhenti. “Eh, bentar.” Ia menunjuk ke dinding gang. “Lihat itu.”

Raka mengikuti arah jarinya. Di tembok, terdapat gambar tangan kecil dicat merah—mungkin hasil coretan anak-anak, atau sesuatu yang lebih… tua. Di bawahnya, tertulis dengan cat yang mulai luntur:

“Aku belum pulang.”

Sinta menatap Raka. “Ini makin aneh.”

Malam itu, Raka kembali bermimpi. Hujan turun lebih deras dalam mimpinya, mengguyur kota yang kini terlihat lebih kelam dari biasanya. Di ujung gang sempit yang sama, gadis itu muncul lagi. Kali ini lebih dekat. Wajahnya pucat, matanya gelap, dan rambutnya menutupi sebagian wajah.

Ia tidak tersenyum kali ini. Ia menangis.

“Aku kedinginan…” bisiknya.

Raka ingin mendekat, tapi tubuhnya terasa berat, seakan kakinya menancap di tanah. Gadis itu menatapnya penuh harap, lalu perlahan berbalik dan berjalan menjauh ke dalam hujan. Suaranya terdengar lirih, terbawa angin:

“Aku belum ditemukan…”

Raka terbangun dengan tubuh menggigil. Di luar, hujan turun kembali. Di mejanya, pita merah itu masih ada, tapi kini terlihat lebih kusut dari sebelumnya, seperti telah terendam air.

Ia mengambil buku yang ia pinjam dari perpustakaan, yang berisi legenda dan kisah-kisah rakyat Karangjati. Ia membuka bab tentang “Anak yang Hilang” — kisah misterius yang pernah disebutkan oleh dosennya, meskipun tak banyak yang mempercayainya.

Dari halaman tua itu, ia membaca:

“Pada suatu musim hujan yang panjang, seorang anak perempuan hilang dari rumahnya. Ia terakhir terlihat mengenakan gaun merah dan berdiri di tepi jalan. Hujan turun sangat deras, dan sejak hari itu, langit tak pernah benar-benar cerah. Konon, rohnya masih mencari jalan pulang…”

Raka menelan ludah. Ini bukan kebetulan.

Keesokan harinya, ia kembali bertemu Sinta di kampus.

“Aku rasa dia bukan anak hilang biasa,” kata Raka. “Aku mimpi lagi. Dan aku temukan kisahnya di buku perpustakaan.”

Sinta menatapnya dengan serius. “Berarti dia… roh?”

“Atau entah apa. Tapi dia belum tenang.”

Mereka sepakat untuk menggali lebih dalam. Sinta punya ide: mengunjungi kantor kelurahan dan melihat arsip lama. Jika memang ada anak hilang yang tak pernah ditemukan, nama dan wajahnya pasti tercatat di sana.

Saat petugas kelurahan membolak-balik map usang berisi data penduduk, mereka menemukan sebuah laporan dari lima belas tahun lalu.

Nama: Ayu Nirmala. Usia: 8 tahun.
Keterangan: Menghilang saat hujan deras. Terakhir terlihat mengenakan gaun merah.

Sinta menutup mulutnya. Raka mematung.

“Ini dia…” bisik Raka. “Namanya Ayu.”

Petugas berkata bahwa kasus Ayu tak pernah terpecahkan. Tak ada jasad, tak ada saksi, tak ada jejak. Seolah ia lenyap begitu saja—ditelan hujan.

Saat mereka berjalan pulang, langit kembali menggelap. Dan ketika hujan mulai turun pelan, Raka menengadah.

“Aku rasa dia ingin ditemukan bukan cuma secara nama. Tapi secara utuh. Dan aku takut… kita baru saja membukakan jalan .

Bab 3: Jejak yang Terhapus

Hujan kembali turun sore itu, seperti langit Karangjati memang menyimpan duka yang tak kunjung reda. Raka dan Sinta berdiri di depan sebuah rumah tua di ujung Jalan Mawar, alamat terakhir yang tercatat dalam laporan hilangnya Ayu Nirmala. Rumah itu tampak kosong, terkurung pagar besi berkarat dan tanaman liar yang menjalar ke mana-mana. Jendela-jendelanya tertutup rapat, kusennya lapuk dimakan usia. Sinta menelan ludah.

“Ini rumah Ayu?” bisiknya.

Raka mengangguk. “Kita harus masuk.”

Dengan sedikit usaha, mereka berhasil mendorong pintu pagar yang terkunci setengah. Suaranya berderit panjang, nyaring menembus suara hujan. Mereka melangkah hati-hati, menyibak rerumputan dan daun kering yang menutupi jalan setapak menuju teras.

Raka menyentuh kenop pintu utama. Tidak terkunci.

Begitu pintu terbuka, udara lembap dan bau kayu tua langsung menyeruak. Ruangan gelap, hanya diterangi cahaya kelabu dari luar. Dindingnya kusam, beberapa bagian sudah mengelupas. Di dalam, sisa-sisa masa lalu masih tertinggal—meja kecil, sofa reyot, dan sebuah foto keluarga yang nyaris tak bisa dikenali karena warnanya memudar.

“Seperti ditinggalkan begitu saja,” gumam Sinta, menyapu ruangan dengan pandangannya.

Mereka menyusuri lorong menuju kamar-kamar di dalam. Di ujung lorong itu, Raka berhenti di depan sebuah pintu kecil berwarna merah muda pudar. Di atasnya tertempel huruf-huruf kayu: “A-Y-U”.

Mereka saling pandang. Raka membuka pintu itu perlahan.

Di dalamnya, kamar anak perempuan yang membeku dalam waktu. Ada boneka-boneka berdebu, rak buku kecil, dan dinding yang dipenuhi gambar-gambar tangan kecil—mirip dengan yang mereka lihat di tembok gang. Di meja belajarnya, tergeletak sebuah buku harian kecil. Raka memungutnya.

Buku itu basah sebagian, seolah terkena tetesan air. Tapi sebagian tulisan masih terbaca:

“Hari ini hujan lagi. Ibu belum pulang. Ayah juga tidak di rumah. Aku sendiri. Tapi aku tidak takut. Aku punya teman. Dia suka menemaniku saat hujan turun…”

Sinta bergidik. “Teman?”

Raka membalik beberapa halaman. Di salah satu halaman terakhir, tulisan berubah menjadi tergesa-gesa dan tidak rapi:

“Aku tidak bisa keluar. Pintu dikunci. Aku dengar suara tangisan di luar jendela. Dia bilang aku harus ikut. Tapi aku tidak mau. Aku takut. Aku…”

Halaman itu sobek, seolah dicabik paksa.

Tiba-tiba, terdengar suara langkah kecil di atas mereka.

Tap… tap… tap…

Sinta mencengkeram lengan Raka. “Kamu denger itu?”

Raka mengangguk. Mereka menatap langit-langit, lalu perlahan berjalan ke arah tangga kayu menuju loteng. Setiap langkah mereka menimbulkan suara nyaring di keheningan rumah tua itu.

Loteng tidak terkunci. Saat pintu dibuka, bau tanah basah langsung menyeruak. Ruangan itu sempit, dipenuhi tumpukan barang-barang lama. Tapi yang paling menarik perhatian mereka adalah… bekas jejak kaki kecil di lantai berdebu. Baru. Segar.

Raka mendekat, menyusuri jejak itu. Ia berhenti di sudut loteng, di mana berdiri sebuah kursi kecil kayu dan sebuah jendela bulat yang menghadap ke jalan.

Di bawah jendela, ada lukisan anak-anak di dinding kayu—seorang gadis dengan gaun merah, berdiri di bawah hujan, dan bayangan hitam besar di belakangnya. Di sampingnya tertulis dengan kapur:

“Aku tidak pulang. Tapi aku juga tidak pergi.”

Sinta membisik, “Ini… bukan cuma tentang Ayu. Ada sesuatu yang lain.”

Raka berdiri membatu. Di telinganya, suara tawa kecil terdengar lagi. Ia menoleh cepat, tapi tak ada siapa-siapa.

Tiba-tiba, semua jejak kaki di lantai lenyap—tersapu begitu saja, seperti tertiup angin yang tak mungkin masuk dari jendela tertutup rapat.

“Jejaknya… hilang,” ujar Raka pelan.

Sinta mundur satu langkah. “Rak, tempat ini… nggak wajar.”

Mereka turun dengan tergesa, keluar dari rumah tua itu tanpa banyak bicara. Begitu menginjak jalan, hujan kembali mengguyur, lebih deras dari sebelumnya, seolah kota ikut menyembunyikan sesuatu.

Di dalam kantong jaket Raka, pita merah yang ia simpan tiba-tiba basah.

Bab 4: Arsip yang Terkubur

Sejak kunjungan ke rumah Ayu, suasana hati Raka tak pernah benar-benar tenang. Ia merasa diawasi, bahkan saat sendirian di kamarnya. Setiap malam, suara langkah kecil atau ketukan di jendela mengganggu tidurnya. Anehnya, setiap kali ia membuka tirai, tidak ada siapa-siapa—hanya tetesan air hujan yang membasahi kaca.

Sinta, meski tidak mengalami hal-hal serupa, tetap percaya bahwa apa yang mereka temui bukanlah ilusi semata. Ia yakin ada sesuatu—sesuatu yang lebih tua, lebih kelam dari sekadar cerita anak hilang.

Hari itu, mereka pergi ke Perpustakaan Kota Karangjati. Bukan untuk meminjam buku, melainkan untuk mengakses arsip koran lama dan catatan sejarah kota yang jarang dibuka umum. Dengan bantuan pustakawan senior yang ramah namun tampak enggan, mereka diberikan izin masuk ke ruang arsip bawah tanah—sebuah ruang lembap dengan rak-rak logam dan lampu kuning redup.

“Arsip tahun 2010 ke bawah ada di rak belakang. Tapi hati-hati, banyak yang udah rapuh,” ujar pustakawan itu sebelum meninggalkan mereka.

Rak-rak itu penuh debu. Kertas-kertas menguning menumpuk dalam map-map kusam. Raka menyusuri rak berdasarkan tahun, hingga ia menemukan sebuah map tipis bertuliskan “Kehilangan Anak – 2010”.

Mereka duduk di meja kayu tua dan membuka map itu. Di dalamnya, potongan artikel dari koran lokal:

“Gadis Kecil Menghilang di Tengah Hujan”
Karangjati, 14 Januari 2010 — Seorang anak perempuan bernama Ayu Nirmala, 8 tahun, dilaporkan hilang oleh ayahnya setelah tidak ditemukan di rumahnya pasca hujan deras yang melanda kawasan Jalan Mawar. Ayu terakhir terlihat oleh tetangganya sekitar pukul lima sore, berdiri di depan rumah mengenakan gaun merah. Hingga kini, polisi belum menemukan petunjuk yang mengarah pada keberadaan Ayu.

Di bagian bawah kliping, ada foto kabur dari wajah kecil Ayu. Raka menatapnya lama. Itu wajah yang sama dengan yang ia lihat dalam mimpi. Tak ada keraguan lagi.

Sinta mengalihkan perhatiannya ke artikel lain. Tapi sebuah berita berbeda membuatnya menggigil:

“Kehilangan Serupa Terjadi Tahun 1985”
Tercatat dalam arsip lama, seorang anak perempuan bernama Dewi Kartika, usia 7 tahun, juga menghilang saat hujan deras di wilayah yang sama. Ciri-cirinya mirip: gaun merah, terakhir terlihat sendirian, dan hilang tanpa jejak.

Mereka saling tatap.

“Ini… bukan kejadian satu kali,” gumam Sinta. “Ada pola.”

Raka menarik laci di meja arsip. Di dalamnya, ia menemukan catatan tulisan tangan lama, berjudul: “Catatan Penjaga Malam Kelurahan Karangjati”.

Salah satu catatan berbunyi:

“13 Januari 1985 — Malam hujan deras. Dengar suara anak menangis di Jalan Mawar. Tidak temukan siapa-siapa. Sama seperti dulu. Rasanya… dia belum benar-benar pergi.”

Catatan lain, tahun 1997, menyebut suara ketukan dari rumah kosong di malam hujan, dan sosok kecil berdiri di bawah lampu jalan—dengan gaun merah.

“Ada yang mengulang ini,” kata Raka. “Atau… sesuatu.”

“Apa yang kamu maksud?”

Raka menarik napas panjang. “Bisa jadi ini bukan hanya tentang Ayu. Mungkin ada… sesuatu di balik setiap kehilangan. Sesuatu yang memilih anak-anak. Saat hujan turun.”

Sinta mencoba bersikap rasional, tapi suara di dalam hatinya berkata lain. Semua bukti mengarah pada satu hal: misteri ini sudah ada jauh sebelum Ayu, dan mungkin akan terus berlanjut.

Tiba-tiba, lampu ruang arsip berkedip.

Suara rak bergemerincing pelan.

Raka berdiri. “Kita nggak sendiri.”

Sinta meraih senter dari ponselnya. Di ujung ruangan, samar-samar terlihat jejak kaki kecil basah di lantai beton. Tapi tak ada air hujan. Ruangan itu tertutup rapat.

Jejak itu mengarah ke dinding tua yang retak. Di dinding itu, ada lukisan pudar, hampir tak terlihat. Tapi di bawah cahaya senter, perlahan-lahan tergambar jelas: seorang anak kecil berbaju merah berdiri di depan pohon besar, dengan tangan hitam besar menjulur dari dalam tanah, meraih kakinya.

Raka mundur selangkah.

“Ada yang dikubur… bukan hanya tubuh. Tapi cerita. Kebenaran,” katanya pelan.

Dan malam itu, mereka tahu: jika ingin menemukan Ayu—atau apapun yang menahannya—mereka harus menggali lebih dalam. Bukan hanya arsip. Tapi ingatan kota ini yang sudah lama dikubur bersama hujan.

Bab 5: Rumah di Ujung Jalan

Langit Karangjati belum pernah secerah ini selama beberapa pekan terakhir. Tapi Raka dan Sinta tahu—itu hanya jeda. Hujan akan turun lagi. Seperti biasa.

Pagi itu, mereka kembali ke rumah kos Raka untuk menyusun semua temuan yang mereka punya. Di meja, mereka bentangkan kertas-kertas berisi salinan arsip lama, foto-foto potongan koran, dan buku harian Ayu yang masih setengah basah. Di tengah semua itu, terpajang lukisan pudar dari ruang arsip: gadis berbaju merah dan tangan hitam dari tanah.

“Kita harus cari tempat di gambar ini,” kata Sinta. “Pohon besar. Tanah terbuka. Mungkin… itu lokasi terakhir.”

Raka teringat sesuatu. Ia bangkit, mengambil peta tua Karangjati yang pernah ia pinjam dari dosen sejarahnya. Ia menggelar peta itu, mengamati setiap detil.

“Ini,” katanya menunjuk ke sudut barat Karangjati. “Dulu daerah sini masih hutan dan ladang. Tapi sekarang udah jadi perumahan tua. Lihat, ada tanda di sini—‘Kebun Belakang Jalan Cemara’. Di situlah tempatnya.”

Sore itu, mereka menuju Jalan Cemara, sebuah jalan kecil di pinggir kota, dikelilingi rumah-rumah yang sudah tampak usang dan jarang dihuni. Di ujung jalan itu berdiri sebuah rumah tua, berbeda dari rumah-rumah lainnya. Tidak ada pagar. Tidak ada tanaman. Hanya tanah lapang dan satu pohon besar menjulang di belakangnya, persis seperti di gambar.

Raka menatap rumah itu lama. “Aku mimpi tentang rumah ini,” katanya. “Tapi waktu itu hujan deras, dan… aku tidak sendirian.”

Sinta menelan ludah. “Kita masuk.”

Pintu rumah itu tidak terkunci. Seperti menunggu. Begitu mereka masuk, aroma apek dan debu menyesakkan dada. Dindingnya penuh dengan bercak hitam dan bekas lumut. Tapi anehnya, tidak satu pun debu menempel di lantai—seolah ada yang sering berjalan di dalam.

Ruang tamu kosong. Tapi di lantai, mereka melihat kertas-kertas gambar berserakan. Gambar tangan, wajah anak-anak menangis, dan… satu gambar menyeramkan: seorang anak tertanam di bawah pohon, hanya tangannya yang terlihat mencuat ke permukaan.

Sinta mulai gemetar. “Ini bukan rumah biasa. Ini tempat… korban sebelumnya.”

Raka mengangguk pelan. “Mungkin ini… tempat ‘itu’ muncul.”

Mereka melangkah ke belakang rumah. Di sana, pohon besar berdiri kokoh, akarnya menyembul ke mana-mana seperti tangan mencengkeram bumi. Di bawahnya, tanah tampak berbeda—lebih hitam, lebih basah. Seolah baru digali… atau pernah dikubur sesuatu.

Tiba-tiba, hujan turun. Deras. Mendadak. Seolah hanya memilih tempat itu saja.

Petir menyambar di kejauhan. Dan saat cahaya kilat menyapu halaman, mereka melihat sosok berdiri di antara akar pohon. Gadis kecil dengan gaun merah. Rambut basah menutupi wajahnya. Tangannya terjulur… menunjuk ke arah mereka.

Sinta mundur. “Itu dia…”

Raka melangkah maju perlahan. “Ayu?”

Gadis itu tidak menjawab. Ia hanya berdiri diam, dan kemudian berbalik perlahan, berjalan menuju batang pohon. Tubuhnya perlahan menghilang di antara akar dan bayangan, seperti larut ke dalam tanah.

Raka terdiam. Tapi tiba-tiba, suara bisikan lirih menyelinap masuk ke telinganya—terlalu nyata untuk sekadar angin:

“Aku tidak sendiri di sini…”

Tanah di sekitar pohon mulai berguncang ringan. Lumpur membentuk pusaran kecil, seolah ada sesuatu yang mencoba muncul ke permukaan.

“Rak! Ayo keluar dari sini!” teriak Sinta.

Raka tersentak dan berlari keluar bersama Sinta. Begitu mereka menjejak aspal jalanan, hujan berhenti. Tanah di bawah pohon kembali diam. Tapi sesuatu telah berubah.

“Aku yakin… tempat itu bukan hanya lokasi Ayu hilang,” kata Raka sambil terengah. “Itu tempat… semua anak yang hilang berakhir.”

Sinta menatap Raka dengan wajah pucat. “Kalau begitu… siapa yang membawa mereka ke sana?”

Raka menunduk, menatap tanah basah. Lalu menjawab lirih:

“Sesuatu yang hidup di bawah tanah itu. Dan Ayu… hanya salah satu korbannya.”

Mereka tahu, ini belum selesai.

Ini baru awal dari kebenaran yang selama ini terkubur di balik setiap tetes hujan.

Bab 6: Hujan yang Tak Berhenti

Sejak malam mereka mengunjungi rumah di Ujung Jalan Cemara, sesuatu berubah di Karangjati.

Hujan turun setiap hari, tanpa jeda. Tak peduli pagi atau malam, langit selalu kelabu dan berat. Orang-orang mulai resah. Beberapa mengira ini hanya musim pancaroba yang panjang, tapi bagi Raka dan Sinta, ini pertanda.

Kota ini sedang menangis.

Hari keempat hujan tak berhenti.

Raka duduk di warung kopi dekat kampus, menatap layar laptop yang dipenuhi catatan dan foto-foto rumah tua, arsip kehilangan anak-anak, dan lukisan-lukisan aneh yang terus muncul di berbagai lokasi—semuanya sama: gadis kecil berbaju merah dan bayangan hitam.

Sinta datang tergesa, wajahnya pucat.

“Ada yang aneh di kampus,” katanya tanpa basa-basi. “Tadi malam ada mahasiswa lihat anak kecil main di taman kampus… jam dua pagi. Pas didekati, hilang.”

Raka menatapnya tajam. “Dia bilang anak perempuan?”

Sinta mengangguk. “Bergaun merah.”

Hari keenam hujan.

Seluruh Karangjati diselimuti kabut. Sekolah mulai diliburkan karena jalanan licin dan banjir kecil. Tapi bukan hanya itu. Di forum komunitas lokal, orang-orang mulai membagikan foto dan cerita: suara anak tertawa di loteng, bayangan kecil berdiri di tepi jalan, ketukan di jendela padahal rumah dua lantai.

Semuanya terdengar seperti cerita horor… sampai menjadi kenyataan.

Raka dan Sinta mengumpulkan laporan itu, menyusun peta—dan semua kejadian aneh berpusat di sekitar rumah pohon besar, tempat mereka melihat Ayu terakhir kali. Seolah… sesuatu sedang menyebar dari sana.

Dan yang lebih mengganggu: setiap malam, jumlah jejak kaki kecil bertambah di halaman belakang rumah kosong itu.

Hari ketujuh hujan.

Raka bermimpi lagi.

Ia berada di tengah kota, tapi kota itu kosong. Semua jalan digenangi air. Di kejauhan, suara tawa anak-anak terdengar ramai, seperti sedang bermain. Ia berjalan, mengikuti suara itu, hingga tiba di lapangan tempat pohon besar itu berdiri.

Dan di sana—mereka berdiri.

Bukan hanya Ayu.

Ada lima, tujuh… mungkin lebih dari sepuluh anak kecil. Semuanya mengenakan pakaian lama, lusuh, dan kotor oleh lumpur. Wajah mereka pucat, mata kosong. Tapi semua menatap ke arah Raka.

Mereka tidak bicara. Tidak bergerak.

Lalu, dari tanah di bawah pohon, sesuatu mulai muncul.

Tangan hitam, besar, kasar seperti akar tua. Keluar dari dalam tanah dan merayap ke arah anak-anak. Dan anak-anak itu hanya diam, seolah mereka sudah pasrah. Seolah mereka… milik tanah itu.

Raka terbangun dengan tubuh basah oleh keringat. Tapi bukan hanya itu—kamarnya bau tanah. Tanah basah.

Esok harinya, mereka memutuskan kembali ke rumah pohon besar itu. Tapi kali ini, mereka membawa seseorang—Pak Wirya, pensiunan juru kunci kelurahan yang sudah lama tinggal di Karangjati.

Saat mereka menyebut rumah di Ujung Jalan Cemara, wajah Pak Wirya langsung berubah tegang.

“Itu tempat yang gak pernah bisa dijual,” katanya. “Udah puluhan tahun kosong. Pemilik terakhirnya hilang. Katanya sih bunuh diri, tapi gak pernah ditemukan mayatnya.”

“Kenapa?” tanya Sinta.

Pak Wirya menatap mereka, serius.

“Karena di bawah rumah itu… ada sumur tua. Sudah ditutup lama. Tapi orang tua-tua bilang, itu bukan sumur biasa. Itu ‘mulut’ Karangjati. Tempat arwah yang tak tenang tinggal.”

Raka dan Sinta saling pandang.

“Mungkin… anak-anak itu tidak dibunuh,” kata Raka pelan. “Mereka ditelan. Oleh sesuatu yang tinggal di sana.”

Pak Wirya mengangguk. “Kalau benar begitu, kalian harus hati-hati. Hujan yang nggak berhenti itu… bukan kebetulan. Mungkin mereka—anak-anak itu—sedang mencoba keluar.”

Dan mereka tahu, jika mereka tidak bertindak, Karangjati akan menjadi kota yang seluruhnya terkubur dalam tangisan hujan. 

Bab 7: Menghilang

Hari itu, hujan turun lebih deras dari biasanya. Jalan-jalan di Karangjati mulai tergenang. Udara terasa lebih berat, seolah awan hitam menggantung tepat di atas kepala. Kota mulai terasa seperti mimpi buruk yang tidak kunjung bangun.

Raka dan Sinta bersiap kembali ke rumah di Ujung Jalan Cemara—kali ini dengan tujuan yang jelas: menemukan sumur tua yang disebut Pak Wirya. Mereka yakin itu pusat dari semua keanehan yang terjadi.

“Kalau memang ada sesuatu di bawah rumah itu yang menahan arwah anak-anak… kita harus buka jalannya,” kata Raka sambil mengenakan jaket tahan air.

Sinta memegang senter dan kantong berisi garam, dupa, dan kain kafan kecil yang mereka beli dari toko spiritual di pasar lama. “Kalau ini memang urusannya bukan manusia lagi,” katanya, “kita butuh semua perlindungan.”

Mereka tiba di rumah tua saat senja. Hujan turun tanpa ampun. Langkah kaki mereka tenggelam dalam lumpur halaman. Pohon besar di belakang rumah berdiri seperti raksasa tua yang sedang mengawasi.

Begitu mereka masuk ke dalam rumah, suasana langsung berubah. Udara dingin, sunyi, dan terasa… berisi. Seolah ada mata-mata kecil mengintai dari setiap sudut gelap.

“Sumur tua itu… pasti di bawah,” kata Raka.

Mereka mencari-cari dan akhirnya menemukan penutup lantai dari papan kayu di ruang tengah. Papan itu berdebu dan terpaku rapat, tapi bagian tengahnya sudah retak. Dengan susah payah, mereka membongkarnya. Di bawahnya, ada lubang gelap menganga—dikelilingi batu tua yang ditumbuhi lumut dan simbol-simbol yang sudah hampir hilang.

Itulah sumur tua itu.

“Aku turun duluan,” kata Raka.

“Jangan sendiri!” Sinta menahan lengan Raka, matanya gugup.

Raka menatapnya, lalu tersenyum singkat. “Aku harus tahu apa yang ada di bawah sana. Mungkin… Ayu sedang menunggu.”

Dengan tali pengaman seadanya, Raka perlahan menuruni sumur. Bau tanah, lembap, dan sesuatu yang lebih dalam dari itu—bau kematian lama—menyambutnya. Cahaya senter menyorot dinding batu yang sempit dan basah. Suara hujan terdengar seperti bisikan jauh di atas.

Saat Raka sampai ke dasar, ia menemukan lorong kecil yang seolah terowongan tua. Dindingnya dipenuhi coretan-coretan tangan anak-anak, dan di ujungnya… sebuah pintu batu, tertutup rapat.

Di pintu itu, tertulis dengan huruf merah:

“Kami ingin pulang.”

Tiba-tiba, suara tawa anak-anak menggema dari balik pintu. Lalu jeritan. Teriakan kecil-kecil, memanggil satu nama yang sama:

“Ayu… Ayu… AYU!”

Senter Raka berkedip.

Lalu mati.


Di atas, Sinta mulai panik. Tali yang mereka gunakan untuk mengamankan Raka mulai tegang, lalu mengendur… seperti ditarik paksa dari bawah.

“Raka!” teriaknya. Tak ada jawaban.

Ia menyorot ke dalam sumur. Gelap. Kosong.

Lalu… tali itu terputus.

Sinta terduduk di lantai. Dadanya naik turun, tangannya gemetar. Di sekelilingnya, suara hujan berubah jadi suara tangisan. Bukan satu, bukan dua—belasan.

Anak-anak.

Ia menoleh, dan melihat jejak kaki kecil basah mulai muncul di lantai kayu. Dari arah dapur. Dari lorong. Dari balik jendela. Semua mengarah padanya.

Sinta tahu ia tidak bisa tinggal di sana. Ia lari keluar dari rumah, menembus hujan dan lumpur, menangis dan berteriak memanggil nama Raka.

Tapi rumah itu tetap diam.

Dan Raka tidak pernah keluar.


Malam itu, hujan turun lebih deras dari sebelumnya. Dan untuk pertama kalinya, rumah itu mengeluarkan cahaya dari jendelanya. Bukan cahaya lampu, tapi nyala redup seperti lilin tua—dan suara tawa anak-anak bergema sepanjang malam.

Keesokan harinya, masyarakat melaporkan satu lagi kehilangan: seorang mahasiswa bernama Raka, terakhir terlihat menuju rumah kosong di Ujung Jalan Cemara.

Polisi datang, tapi tak menemukan apa-apa. Rumah itu kosong. Tanpa sumur. Tanpa bekas tali. Tanpa jejak apa pun.

Seolah Raka… tidak pernah

Bab 8: Hujan Terakhir

Sudah tiga hari sejak Raka menghilang.

Dan selama itu pula, hujan belum berhenti sekali pun. Air mulai meluap ke jalan-jalan kota, menenggelamkan trotoar dan halaman rumah. Banyak yang mulai mengungsi ke dataran tinggi. Tapi Sinta tetap tinggal. Ia tidak bisa pergi.

Tidak sebelum ia membawa Raka kembali.

Ia habiskan hari-harinya menelusuri ulang semua catatan mereka, mencari jejak baru di balik peta, artikel lama, bahkan mimpi. Dan setiap malam, Ayu datang dalam tidurnya.

Bukan lagi sebagai sosok kecil menangis. Tapi kini berdiri tegak, diam, memandangnya dari kejauhan. Di sekeliling Ayu, anak-anak lain berdiri—semua dengan wajah kosong dan mata gelap. Hujan turun tiada henti di mimpi itu.

“Apa yang kalian tunggu?” tanya Sinta suatu malam dalam mimpi.

Ayu mengangkat tangannya dan menunjuk pada dada Sinta.

“Kamu.”

Sinta terbangun dengan nafas memburu. Ia tahu, jika ia tidak mengakhiri ini, tidak akan ada yang bisa.


Malam itu, Sinta kembali ke rumah di Ujung Jalan Cemara. Kali ini sendiri. Tanpa tali. Tanpa jaminan.

Ia membawa satu hal saja: keberanian.

Rumah itu masih sama. Basah. Sunyi. Tapi kini terasa… menunggu.

Ia masuk tanpa ragu, menuju ruang tengah, lalu menarik papan penutup sumur dengan tangan kosong. Lubang itu kini lebih lebar. Dalam. Seolah menganga, menyambut.

Sinta turun.

Tangga kayu tua di dalam sumur terasa rapuh, namun cukup kuat untuk menopangnya. Saat sampai di dasar, ia melihat terowongan yang sama seperti yang Raka ceritakan padanya—gelap dan sempit. Dindingnya masih penuh coretan tangan anak-anak.

Ia berjalan menyusuri lorong.

Udara makin dingin. Dan di ujungnya, pintu batu itu terbuka.

Sinta melangkah masuk.

Ruang di balik pintu itu adalah gua kecil, dan di dalamnya berdiri anak-anak. Puluhan. Mereka berdiri dalam lingkaran, mematung. Di tengah lingkaran itu… Raka.

Ia duduk diam. Mata terbuka, tapi kosong. Seolah sedang bermimpi dengan mata terbuka.

“Aku datang,” kata Sinta. Suaranya bergetar.

Ayu berdiri di samping Raka. Wajahnya bersih, pucat, dan penuh kesedihan. Ia mendekat perlahan, lalu meraih tangan Sinta dan menempelkannya ke dada Raka.

“Bicara padanya,” bisik Ayu.

Sinta menggenggam tangan Raka. “Raka… ini aku. Dengarkan. Kamu harus kembali. Kita belum selesai. Aku nggak bisa tanpa kamu…”

Air mata Sinta jatuh ke tangan Raka.

Dan tiba-tiba… matanya bergerak.

Raka menarik napas tajam, seperti baru diselamatkan dari tenggelam.

Anak-anak di sekitar mereka mulai berbisik.

“Dia kembali.”
“Akhirnya.”
“Kita bisa pulang…”

Ayu menatap mereka berdua. Untuk pertama kalinya, ia tersenyum.

“Terima kasih,” katanya pelan.

Lalu perlahan, tubuh Ayu mulai memudar. Diikuti anak-anak lainnya. Seperti kabut yang larut dalam cahaya. Dalam hitungan detik, gua itu kosong. Hanya Raka dan Sinta yang tersisa.

Dan di atas mereka, hujan berhenti.


Pagi menyambut Karangjati dengan sinar matahari yang hangat untuk pertama kalinya setelah dua minggu. Warga keluar dari rumah dan menatap langit cerah dengan heran, dan… harapan.

Rumah di Ujung Jalan Cemara kini tinggal puing. Pagi itu, seolah roboh dengan sendirinya. Dan di bawah pohon besar di belakang rumah, ditemukan puluhan tulang kecil. Polisi menyebutnya penggalian paling misterius sepanjang sejarah kota.

Tak ada yang benar-benar bisa menjelaskan.

Tapi Raka dan Sinta tahu.

Arwah anak-anak itu akhirnya pulang.

Dan Ayu—gadis kecil berbaju merah—tidak lagi berdiri di bawah hujan.

Hujan terakhir

TAMAT….

Source: DELA SAYAPA
Tags: #horo anak #mistrie#HororFuturistik
Previous Post

BAYANG-BAYANG KERATON

Next Post

RAHASIA RUMAH DI UJUNG KOTA

Next Post
RAHASIA RUMAH DI UJUNG KOTA

RAHASIA RUMAH DI UJUNG KOTA

REFLEKSI YANG MENATAP BALIK

Wajah Fans Manchester United Berlumur Tahi Kucing Basah Pasca-Imbang Lawan Everton

Tetangga Kost Heran Fans Manchester United Mengambil Tahi Kucing Basah

MOVIE REVIEW

No Content Available

RECENT MOVIE

Desa yang Menghilang Saat Hujan

Desa yang Menghilang Saat Hujan

July 19, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025

Tentang Kami

NovelStory.id adalah platform media online yang menghadirkan beragam cerita menarik seperti dalam novel dan drama, dirancang untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan yang berkualitas dan penuh imajinasi. Kami percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh hati, menginspirasi, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh keajaiban.

Recent News

Desa yang Menghilang Saat Hujan

Desa yang Menghilang Saat Hujan

July 19, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025

Follow Us

  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 https://novelstory.id

No Result
View All Result
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah

© 2025 https://novelstory.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In