Bab 1: Pertemuan di Ujung Senja
Ayla mendesah panjang, memandangi layar laptopnya yang kosong. Sudah dua minggu ia tinggal di desa pesisir ini, berharap suasana tenang bisa memulihkan gairah menulisnya. Namun, hasilnya tetap nihil. Ia menutup laptopnya dengan kasar, lalu melangkah keluar rumah sewaannya. Udara sore terasa sejuk, aroma asin laut menyapa indra penciumannya.
“Setidaknya aku harus jalan-jalan,” gumamnya, mencoba meyakinkan diri bahwa menghirup udara segar bisa membantu.
Ia memilih berjalan menyusuri pantai, menikmati warna jingga senja yang mulai menghiasi cakrawala. Tapi langkahnya tiba-tiba terhenti ketika ia melihat sebuah jalan setapak kecil yang tampak jarang dilalui orang. Penasaran, Ayla memutuskan untuk mengikuti jalan itu.
Setelah beberapa menit berjalan, ia tiba di hutan bakau yang lebat. Suasana hening, hanya ada suara gemerisik daun dan deburan ombak dari kejauhan. Ayla tersesat dalam keindahan alam di sekitarnya, sampai ia menyadari bahwa ia kehilangan arah.
“Hebat. Tersesat di tengah hutan. Ini jelas bukan ide bagus,” ia bergumam sambil mencoba mencari jalan keluar.
Tiba-tiba, ia mendengar bunyi ketukan—seperti seseorang sedang memahat sesuatu. Suara itu memandu langkahnya menuju sebuah gubuk kecil di tengah hutan. Di depan gubuk itu, seorang pria sedang duduk, memahat sepotong kayu dengan serius. Pria itu berpenampilan sederhana, mengenakan kaus abu-abu lusuh dan celana jeans pudar, dengan rambut hitam acak-acakan.
“Maaf, saya… tersesat,” kata Ayla ragu-ragu.
Pria itu mendongak. Mata hitamnya menatap tajam, membuat Ayla merasa canggung. Ia hanya mengangguk pelan, lalu kembali fokus pada kayu di tangannya.
“Err… apakah ada jalan keluar dari sini?” tanya Ayla, mencoba mengusir keheningan yang canggung.
“Kembali ke arah yang tadi kau lewati. Lurus saja,” jawab pria itu singkat tanpa mengalihkan perhatian dari ukirannya.
Ayla tertegun, merasa aneh dengan sikap pria itu. Namun, matanya tertarik pada patung kayu di dekat pria tersebut. Patung itu berbentuk wanita dengan ekspresi melankolis, begitu detail hingga terasa hidup.
“Patung itu… indah sekali,” ucap Ayla spontan.
Pria itu menghentikan gerakannya, menatap Ayla untuk pertama kalinya dengan lebih intens. Ada sesuatu di matanya—kesedihan yang dalam, namun juga ketidakpercayaan.
“Terima kasih,” jawabnya singkat, lalu kembali bekerja.
Ayla merasa tersinggung sekaligus penasaran. Tapi sebelum ia bisa bertanya lebih jauh, pria itu berdiri, membawa kayunya masuk ke dalam gubuk.
“Jalan keluar ada di sana,” katanya sambil menunjuk tanpa menoleh lagi.
Ayla mendengus, lalu pergi sesuai petunjuknya. Namun, sepanjang perjalanan pulang, pikirannya dipenuhi oleh patung itu—dan pria misterius yang tak memberinya kesempatan bicara lebih banyak.
“Aneh sekali,” pikir Ayla sambil tersenyum kecil. Entah kenapa, pertemuan itu membuat hatinya berdebar
Bab 2: Rahasia di Balik Ukiran
Selama beberapa hari setelah pertemuan singkat itu, Ayla merasa penasaran dengan pria pemahat kayu yang ditemuinya di hutan bakau. Setiap kali ia berjalan di sepanjang pantai atau duduk di teras rumahnya, matanya selalu terarah ke arah gubuk kecil yang kini tampak lebih misterius dari sebelumnya. Sesuatu tentang pria itu—sikapnya yang dingin, kesunyian di sekelilingnya—membuatnya terus berpikir. Apalagi, patung kayu wanita yang ia lihat hari itu terus terbayang dalam benaknya.
Hari berikutnya, Ayla memutuskan untuk kembali ke gubuk itu. Ia berharap bisa melihat lebih banyak ukiran dari kayu yang dibuat oleh pria itu, mungkin bisa memberinya ide untuk novel yang sedang ia tulis. Kali ini, Ayla membawa notebook kecil dan pena, berniat untuk mencatat atau menggambar apa yang ia lihat.
Setibanya di sana, ia mendapati pria itu sedang asyik memahat sebuah potongan kayu besar. Namun kali ini, ia tidak duduk diam, melainkan terlihat sibuk menggerakkan alat ukirnya dengan teliti. Begitu mendekat, Ayla tersentak melihat sebuah ukiran yang hampir selesai: patung wanita yang hampir sama dengan yang dilihatnya beberapa hari lalu.
Namun, kali ini patung itu memiliki ekspresi yang lebih jelas. Wajahnya tampak sedih, seolah ada beban besar yang harus dipikul. Patung itu tidak hanya memancarkan keindahan, tetapi juga kesedihan yang mendalam, membuat Ayla merasa terhubung dengan kisah yang tersembunyi di balik ukiran itu.
Ayla tidak bisa menahan diri. “Patung itu… saya merasa ada cerita di baliknya,” kata Ayla, berusaha memulai percakapan.
Pria itu menoleh perlahan, matanya mengerutkan alis seolah tidak menyangka Ayla kembali. “Cerita?” katanya datar. “Tidak ada cerita.”
Namun, Ayla bisa melihat bahwa ada lebih dari sekadar kata-kata dalam jawaban itu. Ia bisa merasakan bahwa pria itu menyembunyikan sesuatu, bahwa ada luka yang tersembunyi dalam dirinya. Ayla tidak bisa mengabaikan rasa ingin tahunya.
“Saya bisa membantu, jika kamu mau bercerita,” kata Ayla dengan lembut.
Pria itu terdiam lama. Ia menatap Ayla, seakan mempertimbangkan apakah ia bisa mempercayainya. Akhirnya, ia meletakkan pahatnya dan duduk di bangku kayu yang ada di depan gubuk.
“Aku tidak tahu apakah ada yang bisa membantu,” kata pria itu dengan suara serak, seolah baru pertama kali ia mengungkapkan kata-kata itu. “Namaku Arga. Beberapa tahun lalu, aku memiliki seorang wanita yang sangat aku cintai. Ia adalah inspirasi dari semua patung ini.”
Ayla terkejut mendengar pengakuan itu. “Apa yang terjadi padanya?” tanyanya pelan.
Arga menarik napas panjang, matanya kosong menatap tanah. “Dia meninggal dalam sebuah kecelakaan. Tak ada yang bisa menyelamatkannya. Patung-patung ini adalah cara aku mengingatnya. Cara aku mempertahankan ingatan tentangnya. Tapi semakin lama, aku merasa semakin kesulitan untuk melanjutkan. Seperti ada bagian dari diriku yang hilang bersamanya.”
Ayla bisa merasakan kesedihan yang dalam dalam kata-kata Arga. Ada luka yang belum sembuh, sebuah kehilangan yang membekas begitu dalam di hatinya. Ia bisa melihat bahwa patung wanita yang ia lihat sebelumnya adalah cerminan dari wanita itu—dan setiap ukiran adalah sebuah bentuk penghormatan.
“Tapi kenapa harus dengan patung? Kenapa kayu?” tanya Ayla, penasaran.
Arga mengangkat wajahnya, dan kali ini, ada senyum tipis yang muncul di bibirnya. “Karena kayu adalah material yang paling hidup. Seiring berjalannya waktu, ia akan bertransformasi, mengering, dan berubah. Sama seperti perasaan yang terus berkembang, meskipun akhirnya tetap hilang. Setiap ukiran ini seperti sebuah kisah yang tak akan pernah selesai.”
Ayla terdiam. Kata-kata Arga seolah mengalir dalam dirinya, menyentuh kedalaman yang tak pernah ia ketahui sebelumnya. Ia merasakan hubungan yang tak terucapkan antara dirinya dan pria ini. Meskipun mereka berasal dari dunia yang berbeda, keduanya sama-sama diliputi rasa kehilangan yang tak terungkapkan.
“Aku tidak tahu apakah aku akan pernah bisa melepaskan patung-patung ini,” kata Arga dengan suara berat. “Mungkin aku akan terus mengukirnya selamanya.”
Ayla menunduk sejenak, merenung. Lalu, dengan hati-hati, ia berkata, “Kadang, melepaskan adalah cara kita untuk menyembuhkan. Mungkin kamu bisa menemukan cara untuk melanjutkan, untuk merayakan hidupnya, bukan hanya mengenangnya dalam kesedihan.”
Arga menatap Ayla lama sekali. Di matanya, Ayla melihat ada secercah harapan yang perlahan muncul, meskipun masih samar. “Aku tidak tahu apakah aku bisa. Tapi… terima kasih, Ayla.”
Itulah pertama kalinya Arga menyebutkan nama Ayla dengan suara yang lebih lembut. Mungkin, hanya mungkin, ada pintu yang mulai terbuka di dalam hati pria itu.
Bab 3: Surat yang Tak Pernah Sampai
Ayla kembali ke gubuk Arga beberapa hari setelah percakapan mereka yang berat. Meskipun ia merasa ada sebuah keterikatan emosional yang tumbuh, ia tetap ingin menjaga jarak. Bagaimanapun, ia datang ke desa ini untuk menulis, bukan untuk terperangkap dalam kisah orang lain. Namun, hatinya tak bisa sepenuhnya mengabaikan apa yang telah ia dengar dan rasakan.
Setibanya di sana, Arga tampak sedang membersihkan bengkel kayunya, menyusun potongan-potongan kayu yang berserakan. Ketika Ayla mendekat, ia tidak bisa menahan rasa ingin tahu yang semakin besar. Ia ingat percakapan mereka sebelumnya—tentang patung dan kehilangan, tentang kenangan yang belum sepenuhnya ia lepaskan.
“Arga,” Ayla memulai, suaranya lembut. “Apakah kamu pernah mencoba menulis tentangnya? Tentang wanita itu?”
Arga menoleh, sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. Matanya yang biasanya tampak keras dan tertutup, kini terlihat lebih terbuka, meskipun ada kesan kesulitan di dalamnya.
“Aku… tidak pernah berpikir untuk menulis,” jawabnya pelan, tangannya masih memegang pahat kayu. “Aku lebih suka mengukir, karena kata-kata tidak pernah cukup menggambarkan perasaan.”
Ayla tersenyum, memahami perasaan Arga. “Tapi kadang, menulis bisa menjadi cara untuk menuntaskan sesuatu yang tidak bisa diungkapkan lewat patung. Mungkin dengan menulis, kamu bisa melepaskan beban itu.”
Arga terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. Ia tidak mengatakan apa-apa lagi, tetapi Ayla merasakan ada sesuatu yang berubah dalam sikapnya. Mungkin dia mulai membuka sedikit celah di hatinya. Ayla memutuskan untuk kembali ke rumah, namun sebelum pergi, ia meninggalkan sebuah buku catatan kecil untuk Arga.
*
Beberapa hari berlalu, dan Ayla mulai terbiasa dengan rutinitasnya di desa. Ia menulis lebih lancar, seolah ada bagian dari dirinya yang terinspirasi oleh alam sekitarnya dan—secara tak langsung—oleh Arga. Suatu sore, setelah ia kembali dari berjalan-jalan di pantai, ia mendapati sebuah amplop putih tergeletak di depan pintu rumah sewaannya.
Tanpa berpikir panjang, Ayla membuka amplop itu. Di dalamnya, terdapat sebuah surat yang ditulis dengan tangan yang terburu-buru, dengan tinta hitam yang sedikit berantakan. Itu adalah surat dari Arga.
Ayla duduk di kursi kayu dekat meja, membacanya dengan hati-hati. Surat itu berisi kata-kata yang tak pernah terucap sebelumnya:
_”Ayla,
Aku ingin berterima kasih atas kata-kata yang kau ucapkan beberapa hari lalu. Aku tidak pernah berpikir untuk menulis, tapi setelah berbicara denganmu, aku merasa ada sesuatu yang hilang dalam diriku. Mungkin ini bukan tentang patung atau ukiran, tapi tentang melepaskan perasaan yang selama ini terpendam. Aku menulis surat ini, meskipun aku tahu mungkin aku tidak akan pernah memberikannya padamu.
Wanita yang aku cintai—Rina—adalah segalanya bagiku. Dia mengajarkan aku banyak hal, termasuk tentang cinta yang tak terucapkan. Ketika dia pergi, aku merasa seperti tidak ada lagi yang tersisa. Ukiran-ukiran ini adalah cara aku mengenangnya, cara aku menjaga dia tetap hidup di dalam diriku. Tapi sekarang, aku mulai berpikir, mungkin aku harus belajar untuk memberi ruang bagi hidup yang baru, untuk menerima kenyataan bahwa aku harus melanjutkan hidup tanpa dia. Mungkin aku terlalu takut melepaskannya.
Aku tidak tahu mengapa aku menulis surat ini, Ayla. Aku hanya merasa ingin kau tahu bahwa terkadang, kita takut untuk membiarkan kenangan pergi. Tapi mungkin, kita harus.
Terima kasih, Arga.”_
Ayla terdiam lama setelah membaca surat itu. Hatinya terasa penuh, campuran antara haru dan perasaan yang sulit dijelaskan. Ia tahu, surat ini adalah langkah besar bagi Arga—langkah pertama untuk menerima kehilangan yang begitu mendalam. Ayla pun menyadari sesuatu yang selama ini ia tak sadari: ia ikut terikat dengan cerita ini, dengan Arga, dan dengan kenangan yang masih membebani pria itu.
*
Beberapa hari setelah menerima surat itu, Ayla memutuskan untuk kembali mengunjungi Arga. Kali ini, ia tidak membawa buku catatan atau pena, hanya niat untuk berbicara lebih lanjut dengan pria itu. Ketika ia tiba, Arga tampak sedang duduk di bangku kayu, memandangi pantai yang terlihat jauh di kejauhan.
Ayla duduk di sampingnya, memberikan jarak namun tetap dekat. Ia tahu bahwa Arga sedang berjuang dengan perasaannya sendiri, dan ia tidak ingin mengganggu. Setelah beberapa menit hening, Ayla akhirnya membuka mulut.
“Kamu sudah mulai menulis, ya?” tanya Ayla lembut.
Arga mengangguk tanpa menoleh, lalu menjawab dengan suara serak, “Iya. Surat itu… adalah cara aku untuk melepaskan. Mungkin, dengan menulis, aku bisa mengubah kenangan menjadi sesuatu yang lebih mudah diterima.”
Ayla tersenyum, merasakan perasaan lega yang sedikit terasa pada diri Arga. “Kadang, surat yang tak pernah sampai pun bisa membawa perubahan, Arga. Mungkin itulah cara kamu untuk melepaskan apa yang terpendam.”
Arga menoleh, dan kali ini senyum tipis muncul di wajahnya. “Mungkin kamu benar. Terima kasih, Ayla. Tanpa kamu, aku mungkin masih terperangkap dalam kesedihan ini.”
Ayla merasa hangat di dalam hatinya. Mereka berdua masih berada dalam perjalanan yang panjang, namun kali ini, perasaan itu tidak lagi terasa begitu berat. Mungkin, mereka memang tak pernah tahu bagaimana cerita ini akan berakhir. Namun, setidaknya, mereka mulai menemukan jalan untuk melanjutkannya.
Bab 4: Luka yang Terpendam
Malam itu, desa terasa sepi. Hanya angin laut yang terdengar membisikkan cerita-cerita lama di antara pepohonan, dan suara ombak yang tak pernah berhenti. Ayla duduk di depan perapian kecil di dalam rumah sewaannya. Api yang menyala memberikan kehangatan, tapi pikirannya terasa jauh. Ia memandangi secangkir teh yang sudah hampir dingin di tangannya, tetapi itu tidak mampu menenangkan kegelisahan yang merayap di dalam hati.
Seminggu terakhir, hubungan Ayla dengan Arga semakin mendalam. Mereka mulai berbicara lebih banyak, berbagi cerita yang selama ini tertahan dalam diri mereka masing-masing. Ayla tidak bisa lagi mengabaikan kenyataan bahwa dirinya terhubung dengan kisah Arga, dengan setiap luka yang ia sembunyikan begitu rapat. Arga mungkin belum sepenuhnya membuka dirinya, namun Ayla bisa merasakan ada sesuatu yang belum sepenuhnya terungkap—sebuah luka yang terpendam dalam dirinya.
Pagi itu, Ayla memutuskan untuk berjalan menuju gubuk Arga. Ia merasa bahwa inilah saat yang tepat untuk bertanya lebih jauh, mencoba memahami lebih dalam perasaan pria itu yang selama ini hanya ia lihat melalui ukiran kayu. Ia berjalan dengan langkah pasti, meskipun hatinya sedikit gamang. Kali ini, ia tidak datang hanya sebagai seorang penulis yang mencari inspirasi, tetapi juga sebagai seseorang yang peduli.
Saat ia tiba di gubuk Arga, suasana tampak lebih sunyi dari biasanya. Tak ada suara pahat kayu yang biasa terdengar. Ayla merasa cemas, ada sesuatu yang berbeda. Ia mendekati pintu gubuk dan mengetuk perlahan.
“Arga?” Ayla memanggil lembut.
Dari dalam, terdengar langkah berat, lalu pintu dibuka. Arga berdiri di sana, mengenakan kaus lusuh dan celana panjang yang sedikit kumal, dengan wajah yang terlihat lebih lelah daripada biasanya. Matanya yang biasanya tajam kini tampak buram, seolah ada beban yang menekan di dalamnya.
“Ayla…” suaranya terdengar serak, hampir tidak seperti biasanya. “Ada apa?”
Ayla memandang Arga dengan hati-hati. Ada sesuatu dalam tatapannya yang membuatnya merasa khawatir. “Aku hanya ingin… berbicara. Jika kamu tidak keberatan,” kata Ayla pelan, mencoba memberi ruang bagi Arga untuk menolak.
Arga mengangguk, lalu melangkah mundur memberi jalan. “Masuklah.”
Di dalam, suasana gubuk terasa lebih sunyi dari biasanya. Beberapa ukiran kayu tergeletak di meja, namun tidak ada aktivitas yang sedang berlangsung. Arga duduk di bangku kayu yang sudah terlihat usang, dan Ayla duduk di hadapannya. Ruangan itu hanya diterangi oleh cahaya redup dari jendela kecil di sisi kanan.
“Ada yang salah, Arga?” Ayla bertanya, suaranya lembut namun penuh perhatian. “Kamu tampak berbeda dari biasanya.”
Arga terdiam, pandangannya teralihkan ke jendela yang menghadap ke laut. “Kadang, luka itu tak terlihat,” katanya pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri. “Aku merasa… aku terlalu lama menyimpannya, Ayla. Dan mungkin sekarang, aku tak tahu harus berbuat apa lagi.”
Ayla menunduk, merasakan ketegangan yang mengalir di antara mereka. Ia tahu bahwa ini adalah saat yang paling tepat untuk mendalami lebih jauh, untuk memahami lebih banyak tentang pria yang begitu tertutup ini.
“Apa yang kamu rasakan?” Ayla bertanya dengan hati-hati. “Apa yang sebenarnya terjadi, Arga? Aku tahu ada sesuatu yang belum kamu ceritakan.”
Arga menutup matanya sejenak, menarik napas dalam-dalam. Setelah beberapa detik yang terasa lama, ia membuka mata dan menatap Ayla. Ada kelembutan yang tak biasa dalam pandangannya.
“Aku… pernah mencintai seseorang dengan segenap jiwa,” Arga memulai, suara rendah namun jelas. “Dia adalah hidupku, Ayla. Rina adalah segala-galanya—bukan hanya sekadar cinta, tetapi juga sahabat, teman, dan seseorang yang membuatku merasa lengkap. Aku merasa tak ada yang bisa menggantikan dia.”
Ayla mendengarkan dengan seksama, mencoba memahami setiap kata yang keluar dari bibir Arga. Namun, ia tahu bahwa cerita ini belum selesai, karena ada rasa sakit yang tersembunyi di dalamnya.
“Tapi suatu hari, kecelakaan itu terjadi. Rina pergi begitu saja, meninggalkan aku dalam keadaan yang tak bisa kuterima. Aku merasa kehilangan bagian diriku yang paling penting. Sejak saat itu, aku terperangkap dalam kenangan, mencoba untuk menyatukan kembali bagian-bagian yang hilang dengan ukiran-ukiran ini.” Arga menunduk, seolah tidak sanggup melanjutkan ceritanya.
Ayla bisa merasakan betapa dalamnya luka yang disembunyikan Arga. Rasa kehilangan itu bukan hanya sekadar kehilangan fisik, tetapi juga kehilangan dirinya sendiri. Dia telah hidup dalam bayang-bayang kenangan yang tak pernah benar-benar bisa ia lepaskan.
“Aku tahu ini tidak sehat,” lanjut Arga, dengan suara hampir berbisik. “Aku tahu aku harus melepaskannya. Tapi terkadang, melepaskan seseorang yang telah menjadi bagian dari hidupmu itu lebih sulit daripada apa pun.”
Ayla menatap Arga dengan penuh empati. Ia tidak tahu harus berkata apa untuk menghibur pria yang selama ini begitu tertutup dan menghindari percakapan tentang perasaannya. Tetapi, ia tahu satu hal: Arga tidak sendirian. Meskipun ia telah kehilangan seseorang yang begitu berarti dalam hidupnya, ia masih punya orang-orang yang peduli padanya, dan Ayla adalah salah satunya.
“Aku tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya, Arga,” kata Ayla dengan lembut. “Tapi… mungkin kamu bisa mulai dengan memberi ruang untuk dirimu sendiri. Tidak ada salahnya untuk merasakan kesedihan itu, tapi kamu juga berhak untuk melanjutkan hidupmu, untuk menemukan kembali kebahagiaan. Rina tidak ingin kamu terjebak dalam rasa sakit selamanya.”
Arga menatapnya, matanya berkaca-kaca. Sepertinya, ada beban yang mulai terangkat sedikit demi sedikit. “Aku tidak tahu bagaimana caranya,” katanya, suaranya penuh keraguan.
Ayla mengulurkan tangannya, menyentuh tangan Arga dengan lembut. “Mulailah dengan langkah kecil. Aku di sini, Arga. Aku akan ada di sini, jika kamu ingin berbicara lebih banyak.”
Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Arga membiarkan dirinya terbuka. Ia tidak perlu lagi mengukir kayu untuk menyembunyikan perasaannya. Mungkin, dengan berbicara, ia bisa mulai menyembuhkan luka yang terpendam begitu lama*
Bab 5: Di Antara Dua Pilihan
Pagi itu, Ayla terbangun dengan perasaan yang lebih berat dari biasanya. Seperti ada sesuatu yang mengendap dalam pikirannya, sebuah pertanyaan yang belum bisa ia jawab meskipun sudah beberapa hari berlalu. Ia duduk di tepi tempat tidurnya, memandang keluar jendela yang terbuka, dan melihat sinar matahari yang mulai menyelimuti desa dengan hangat. Namun, di dalam dirinya, ada ketegangan yang sulit diungkapkan.
Hari-hari terakhir bersama Arga telah mengubah banyak hal. Ia merasa semakin dekat dengan pria itu, semakin terhubung dengan perasaannya. Namun, semakin dekat ia dengannya, semakin ia merasa terperangkap dalam dilema yang tak terucapkan. Ada ikatan yang tumbuh di antara mereka—sesuatu yang tidak hanya berkaitan dengan rasa kasihan atau simpati terhadap kesedihan Arga, tetapi juga sebuah perasaan yang lebih dalam, yang perlahan mulai mengisi ruang-ruang kosong dalam dirinya.
Namun, Ayla sadar, dia datang ke desa ini bukan untuk mencari hubungan baru, bukan untuk terjebak dalam kisah seseorang yang masih terluka. Dia datang untuk menemukan kembali dirinya sendiri, untuk menyelesaikan bukunya, untuk mengejar mimpinya. Tapi semakin sering ia berbicara dengan Arga, semakin ia merasa bahwa kehadirannya di sana bukan hanya karena buku yang ia tulis, melainkan karena Arga.
Hari itu, Ayla memutuskan untuk mengunjungi gubuk Arga lagi. Ia ingin berbicara lebih jauh, mencari jawaban atas perasaan yang kini membelitnya. Namun, di sisi lain, ada suara dalam dirinya yang mengatakan bahwa ia harus pergi. Pergi dari desa ini, pergi dari Arga, pergi dari ikatan yang semakin kuat. Ia tahu bahwa untuk bisa melanjutkan hidupnya dengan tenang, ia harus membuat pilihan.
Setelah beberapa saat, Ayla tiba di gubuk Arga. Ia melihat pria itu sedang duduk di bawah pohon besar yang tumbuh di dekat gubuk, memandangi laut dengan tatapan kosong. Ada sesuatu yang berbeda hari itu—sesuatu yang terasa lebih gelap di balik mata Arga, yang lebih banyak berbicara daripada kata-kata itu sendiri.
“Ayla,” Arga menyapa pelan begitu melihatnya datang.
Ayla berjalan mendekat dan duduk di sampingnya. Ia merasakan kehangatan yang datang dari kedekatannya dengan pria itu, namun di balik itu, ada kekhawatiran yang terus menggelisahkan hatinya.
“Ada apa, Arga?” tanya Ayla dengan lembut, mencoba membuka percakapan. “Kamu terlihat seperti sedang berpikir keras.”
Arga menarik napas panjang, lalu menoleh ke Ayla. “Aku… aku tidak tahu apa yang harus kulakukan lagi. Ada banyak hal yang berputar dalam pikiranku.”
Ayla menunduk, merasa perasaan yang terpendam di dalam dirinya semakin menguat. Ia tahu bahwa ada sebuah keputusan besar yang harus diambil, tetapi tidak tahu apakah dirinya sudah siap untuk itu.
“Ayla, aku tahu aku sudah banyak bercerita padamu tentang Rina, tentang masa lalu yang sulit. Tapi…” Arga berhenti sejenak, lalu melanjutkan dengan suara yang lebih lembut. “Aku tidak ingin mengulang kesalahan yang sama. Aku tidak ingin mengikatmu dengan kenangan yang belum aku lepaskan. Jika kamu ingin pergi, aku tidak akan menghentikanmu.”
Ayla terdiam. Kata-kata Arga menggema dalam pikirannya, menekan perasaan yang sudah lama ia coba tahan. Seiring dengan setiap kata yang keluar dari bibir Arga, Ayla merasa semakin bingung. Di satu sisi, ia ingin tetap berada di sana, mendampinginya, memberi dukungan. Namun, di sisi lain, ia merasa seperti sedang kehilangan dirinya sendiri dalam proses itu. Ia datang ke desa ini untuk menemukan jalan hidupnya, bukan untuk terjebak dalam kisah orang lain.
“Aku tidak tahu apakah aku bisa pergi, Arga,” kata Ayla akhirnya, suaranya hampir berbisik. “Aku merasa terikat pada semua ini. Aku merasa… kita memiliki koneksi yang tidak bisa aku jelaskan.”
Arga menatap Ayla, ada kesedihan yang jelas terlihat di wajahnya. “Tapi kamu datang ke sini dengan tujuan lain, bukan? Untuk menulis, untuk menemukan dirimu sendiri. Aku… aku tidak ingin menjadi alasan kamu kehilangan jalan itu.”
Ayla menunduk, merasakan perasaan yang penuh dilema. “Aku ingin membantu kamu, Arga. Aku ingin tetap ada di sini, tapi aku juga merasa seperti ada bagian dari diriku yang hilang. Aku takut, jika aku terus berada di sini, aku akan kehilangan arahku sendiri.”
Arga terdiam, seolah mempertimbangkan kata-kata Ayla dengan hati-hati. Ada keheningan yang mencekam, keduanya hanya duduk bersama, merenungkan pilihan yang ada di depan mereka.
Ayla akhirnya berbicara lagi, dengan suara yang penuh keraguan, “Apa yang seharusnya aku lakukan, Arga? Apa yang benar? Aku… aku merasa seolah ada dua jalan di depanku, dan aku tidak tahu mana yang harus kuambil.”
Arga menatap Ayla, matanya penuh pengertian. “Mungkin tidak ada jawaban yang mudah, Ayla. Kadang, kita harus memilih dengan hati, meski itu berarti harus melepaskan sesuatu yang kita inginkan. Aku tidak bisa memberi tahu kamu apa yang harus dilakukan. Tapi apa pun pilihanmu, aku akan memahami.”
Ayla merasakan beban itu semakin berat. Keputusan ini bukan hanya tentang Arga, tetapi tentang dirinya juga. Apakah ia akan terus berada di sana, mendampingi Arga dalam perjalanannya menuju penyembuhan, ataukah ia harus melepaskan ikatan itu dan kembali mengejar tujuannya sendiri?
Perasaan yang ia rasakan begitu kompleks—cinta, simpati, kebingungan—semua tercampur aduk dalam dirinya. Ia tahu bahwa setiap pilihan yang ia ambil akan membawa konsekuensinya sendiri. Di antara dua jalan ini, Ayla harus memilih: apakah ia akan memilih untuk tinggal dan memberikan hatinya kepada Arga, ataukah ia akan memilih untuk melepaskan segala sesuatu yang telah ia bangun dan kembali pada tujuannya sendiri?
Ayla menatap laut yang luas di depan mereka, seolah mencari jawaban dari gelombang yang datang dan pergi. Ia tahu, keputusan ini akan menentukan jalan hidupnya ke depan. Namun, saat ini, satu-satunya hal yang bisa ia lakukan adalah memilih dengan hati yang penuh kebingungan dan ketakutan.
Bab 6: Senja yang Abadi
Senja itu datang seperti biasanya, dengan warna oranye keemasan yang memancar perlahan di langit, memecah keheningan sore yang mendalam. Tapi bagi Nina dan Dimas, senja kali ini terasa berbeda. Mereka duduk berdampingan di tepi pantai, tepat di tempat pertama kali mereka bertemu, tempat di mana mereka mulai menemukan satu sama lain dengan cara yang tak terduga.
Nina memandang langit yang mulai merona, berusaha mengingat kembali setiap momen yang telah mereka lewati bersama. Dari percakapan ringan yang kemudian berkembang menjadi pembicaraan lebih dalam, tentang kenangan yang mulai terungkap, hingga perasaan yang semakin tumbuh tanpa mereka sadari. Perjalanan bersama Dimas selama ini membawa mereka pada titik ini: sebuah perasaan yang tidak lagi bisa dijelaskan hanya dengan kata-kata. Perasaan yang seakan sudah tumbuh begitu dalam, begitu akrab, dan begitu nyata.
“Senja ini indah,” kata Dimas, suaranya penuh ketenangan, namun ada nada yang berbeda kali ini. Ada semacam keheningan yang menyelimuti kata-katanya, seperti ia sedang berbicara tentang sesuatu yang lebih dari sekadar pemandangan.
Nina menoleh padanya dan tersenyum tipis. “Ya, ini salah satu senja terbaik yang pernah aku lihat. Mungkin karena aku bisa menikmatinya bersama seseorang.”
Dimas tersenyum, pandangannya kembali terarah ke langit. “Aku juga merasa begitu. Meskipun aku sudah sering datang ke sini, hari ini rasanya berbeda. Seperti senja ini, kita juga tumbuh bersama—perlahan, tak terburu-buru, tetapi selalu ada.”
Ada ketenangan dalam kata-kata Dimas, dan Nina merasa perasaan itu begitu menggugah. Mereka telah menjalani perjalanan bersama—melalui percakapan panjang, tawa, dan kadang juga kesunyian—dan sekarang, di sini, mereka berdiri di ambang sesuatu yang lebih besar dari sekadar hubungan biasa. Mereka telah saling memberi ruang untuk tumbuh, dan entah kenapa, senja yang indah ini terasa seperti lambang perjalanan mereka yang telah dimulai sejak pertemuan pertama di kafe kecil itu.
“Kita sudah berjalan sejauh ini, Dimas,” kata Nina, suara itu lembut dan penuh rasa. “Dari hujan yang membuat kita berbicara, hingga perasaan yang mulai tumbuh, dari rindu yang menghubungkan kita, hingga perjalanan panjang yang telah kita lewati. Aku merasa… ini bukan hanya perjalanan biasa.”
Dimas menatapnya, mata mereka saling bertemu. Ada kehangatan dalam tatapan itu, seolah dunia di sekitar mereka sejenak berhenti. “Aku tahu apa yang kamu rasakan, Nina. Aku merasakannya juga. Kita bukan hanya berjalan bersama, kita telah membangun sesuatu yang lebih dari sekadar perjalanan—kita telah membangun kenangan yang akan bertahan.”
Senja itu memancarkan cahaya lembut yang menyelimuti tubuh mereka, menambah kehangatan yang sudah ada di antara keduanya. Nina merasakan sesuatu yang sangat kuat—perasaan yang begitu tenang namun dalam. Sesuatu yang membuatnya merasa tidak perlu lagi takut pada masa depan, pada segala ketidakpastian yang sebelumnya membuatnya ragu. Bersama Dimas, perasaan itu menjadi lebih jelas: mereka tidak perlu tahu semua jawaban, karena mereka sudah memiliki satu sama lain. Itu sudah cukup.
“Mungkin kita tidak tahu ke mana kita akan pergi selanjutnya,” lanjut Nina, matanya tak lepas dari senja yang kini mulai meredup, “tapi aku tahu, aku ingin terus berjalan bersama kamu, menikmati setiap momen yang ada, seperti senja ini. Karena, senja ini… adalah milik kita.”
Dimas terdiam, kemudian meraih tangan Nina, memegangnya dengan lembut. “Aku juga merasa begitu, Nina. Mungkin senja ini tidak akan abadi, tapi kenangan kita, perasaan kita, itu akan tetap ada. Seperti senja yang selalu kembali, begitu juga dengan kita—kita akan selalu kembali satu sama lain, meskipun waktu terus berjalan.”
Mereka terdiam sejenak, saling berbagi rasa yang sulit untuk diungkapkan. Semua kata-kata itu mungkin tidak diperlukan, karena di dalam hati mereka sudah ada pemahaman yang mendalam. Senja yang mengakhiri hari ini bukanlah sebuah perpisahan, melainkan sebuah permulaan dari sesuatu yang abadi, sesuatu yang mereka berdua percayai.
Dengan tangan yang masih terhubung, mereka duduk bersama, memandangi senja yang perlahan menghilang di cakrawala. Dan meskipun senja itu akan berlalu, perasaan mereka akan tetap ada—seperti kenangan indah yang tak akan pernah pudar, seperti cinta yang tumbuh di tengah perjalanan yang penuh warna.
“Senja ini memang indah,” kata Nina akhirnya, dengan suara yang lebih tenang dari sebelumnya. “Tapi aku rasa, senja yang kita miliki bersama ini… jauh lebih indah.”
Dimas tersenyum, dan dengan lembut menjawab, “Aku setuju. Senja kita, adalah senja yang abadi.
Bab 6: Jejak yang Tertinggal Pengembangan
Salsabila berdiri terpaku di depan pintu rumah yang sudah lama tak ia singgahi. Setiap jengkalnya mengingatkan pada masa lalu—pada jejak-jejak yang tak kunjung terhapus meski waktu terus bergulir. Ketika pintu itu terbuka, rasa hangat dan dingin yang bercampur muncul begitu saja. Ada rasa yang tidak bisa dia hindari. Kehadiran Raka, yang entah bagaimana, tetap memiliki kekuatan untuk mengubah segala sesuatu yang ia rasakan.
Raka duduk dengan tenang di kursi ruang tamu, tampak tak terganggu oleh hujan yang semakin lebat di luar. Suasana dalam ruangan itu terasa sunyi, seakan dunia di luar sana sedang tidur, sementara keduanya terjebak dalam waktu yang belum selesai.
Salsabila menyapu pandangannya ke sekitar, memperhatikan ruang yang dulunya penuh dengan tawa mereka, yang kini terlihat sepi dan kosong. Semua tampak tak berubah—kecuali hatinya yang berdebar lebih cepat daripada biasanya.
“Apa yang kamu lakukan di sini, Raka?” Salsabila akhirnya bisa mengucapkan kata-kata itu, meskipun dengan suara yang sedikit gemetar. Suara itu datang dari mulutnya tanpa bisa dicegah, membawa segala perasaan yang telah terpendam lama. Raka masih sama. Matanya masih tajam, namun lembut. Senyumnya masih bisa membuat Salsabila merasa seperti kembali ke masa itu, masa ketika semuanya terasa lebih sederhana, sebelum mereka berdua berpisah.
Raka menatapnya, matanya menunjukkan campuran rasa yang sulit dibaca. “Aku tahu kamu akan kembali,” jawabnya pelan, hampir seperti sebuah pernyataan yang sudah lama terpendam. Ia tidak menjelaskan lebih jauh, tetapi cukup dengan tatapan itu, Salsabila tahu bahwa Raka telah menunggu jawaban dari sesuatu yang sudah lama hilang antara mereka.
Salsabila menggigit bibirnya, merasa seakan-akan seluruh waktu yang telah berlalu terasa begitu sia-sia. Lima tahun. Lima tahun penuh dengan kenangan yang tak bisa dia lupakan. Namun, mengapa perasaan itu masih ada? Mengapa, meskipun dia berusaha untuk pergi, hati ini tetap tak bisa lepas dari Raka?
“Apa kamu benar-benar yakin bisa memulai lagi?” Salsabila bertanya, suaranya hampir tidak terdengar, tetapi ada keteguhan dalam setiap kata yang terucap.
Raka menghela napas panjang. Ia berdiri dari kursi dan mendekat, tidak terburu-buru, tetapi dengan langkah yang pasti, seolah setiap gerakan itu dihitung dengan penuh perasaan. “Salsabila,” katanya, menyebut namanya dengan lembut, “aku tidak tahu apakah kita bisa memulai lagi. Tapi aku tahu satu hal—aku tidak pernah benar-benar melupakanmu. Mungkin itu sebabnya aku di sini sekarang.”
Salsabila menunduk, mencoba mengatur perasaannya yang mulai kacau. Ada ribuan pertanyaan yang terpendam dalam dirinya, ribuan perasaan yang ia coba simpan rapat-rapat. Bagaimana bisa? Lima tahun, dan dia masih berdiri di hadapannya. Lima tahun lamanya mereka hidup di dunia yang berbeda, namun setiap malam, Salsabila selalu terjaga, teringat akan Raka, teringat pada masa lalu yang tidak pernah tuntas.
“Tapi kenapa, Raka? Kenapa kamu tidak mencoba menghubungiku setelah itu?” suara Salsabila hampir terdengar putus asa, pertanyaan yang selalu menggelayuti pikirannya selama ini. Ia ingin tahu mengapa Raka membiarkannya pergi begitu saja, mengapa dia membiarkan segala sesuatu berakhir tanpa kata-kata yang cukup.
Raka menundukkan kepala, matanya penuh dengan penyesalan. “Aku pikir aku harus memberi kamu ruang. Aku pikir kamu butuh waktu untuk menemukan dirimu sendiri, untuk melupakan aku… untuk melupakan kita.” Ia berhenti sejenak, seolah berusaha menahan semua perasaan yang ingin ia keluarkan. “Tapi aku salah, Salsabila. Aku tidak pernah benar-benar siap untuk melepaskanmu. Dan ketika kamu pergi, aku hanya diam. Aku menganggap bahwa jika aku menunggu cukup lama, semuanya akan sembuh, termasuk hati kita.”
Salsabila terdiam, hatinya dipenuhi dengan rasa campur aduk yang sulit dijelaskan. Rasa sakit, penyesalan, dan kebingungan bercampur menjadi satu. Apakah dia bisa menerima penjelasan itu? Apakah dia bisa menerima kembali hati yang pernah ia tinggalkan begitu saja? Salsabila ingin bertanya lebih banyak, ingin mengorek lebih dalam, namun ada sesuatu yang menahan bibirnya untuk berkata lebih jauh.
Di luar, hujan semakin lebat, dan Salsabila merasakan dingin yang menusuk, meski ruangan itu hangat. Dia ingin melarikan diri lagi, tetapi kali ini, rasanya berbeda. Hatinya terlalu penuh dengan kenangan dan perasaan yang tak selesai. Ia tahu, apapun yang terjadi, Raka akan selalu menjadi bagian dari dirinya—baik sebagai luka atau sebagai cinta yang tertunda.
“Aku tidak tahu harus bagaimana, Raka.” Suara Salsabila terdengar hampir tak berbentuk. “Aku kembali ke sini bukan untukmu. Tapi aku tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa aku masih merasa sesuatu… entah itu cinta, entah itu penyesalan.”
Raka mendekat, kini hanya beberapa inci dari Salsabila. “Mungkin kita tidak bisa menyelesaikan semuanya dalam satu malam. Tapi aku ingin mencoba, jika kamu mau.”
Saat itu, Salsabila merasa seolah dunia berhenti sejenak. Ia merasa terjebak di antara dua pilihan—untuk melupakan semuanya atau memberi kesempatan pada sesuatu yang belum selesai. Hujan di luar semakin deras, dan di dalam hatinya, ada banyak pertanyaan yang belum terjawab.
Di ujung malam yang penuh hujan, Salsabila hanya bisa menatap Raka dengan hati yang penuh kebimbangan. “Aku tidak tahu, Raka… Aku tidak tahu apakah hati ini bisa disatukan lagi.”
Raka hanya tersenyum tipis, senyuman yang penuh harapan, meski di dalamnya ada luka yang sama besar. “Kita tidak akan tahu, Salsabila, jika kita tidak mencobanya.”
Dan di bawah derasnya hujan malam itu, keduanya tahu satu hal—hati yang tak selesai memang sulit untuk dilupakan, tetapi mungkin, itulah awal dari cerita mereka yang belum selesai.***
——————THE END —————-