Bab 1: Pengantar Dunia
Hari-hari di kota kecil itu selalu tampak begitu sama bagi Rian. Di luar, hujan gerimis turun perlahan, menyapu jalanan yang kosong. Tak ada yang istimewa, tak ada yang menonjol. Seperti biasa, dia duduk di kafe kecil tempat ia bekerja, menatap ke luar jendela, memperhatikan kehidupan yang terus berjalan sementara dirinya terjebak dalam rutinitas yang monoton. Suara mesin kopi berdengung, bercampur dengan obrolan ringan para pengunjung. Semua orang sibuk menjalani kehidupan mereka, sementara Rian merasa seperti sosok asing dalam kehidupannya sendiri.
Sebagai seorang pria berusia dua puluh lima tahun, Rian merasa seperti ia telah kehilangan banyak hal. Beberapa tahun yang lalu, ia memiliki harapan besar, mimpi-mimpi yang indah, namun satu keputusan buruk telah mengubah segalanya. Ia meninggalkan pendidikan yang tengah ia tempuh untuk mengejar karir yang tampaknya lebih menjanjikan, tetapi kenyataan berbicara lain. Kegagalannya dalam dunia kerja, hubungan yang hancur, dan peluang yang terlewat membuat Rian kini hanya menatap hari-hari berlalu tanpa arah.
Pada suatu pagi yang cerah, ketika ia hendak membuka pintu kafe, seorang pria tua memasuki ruangan. Pria itu tampak tak biasa. Wajahnya penuh keriput, tetapi matanya tajam dan penuh rahasia, seperti seseorang yang telah menyaksikan lebih banyak hal daripada yang bisa dibayangkan. Ia duduk di sudut kafe, mengamati sekitar seolah tidak terpengaruh dengan keramaian.
Rian merasa ada yang aneh dengan pria itu. Tanpa bisa menjelaskan mengapa, ia merasa pria ini memiliki sesuatu yang menarik perhatian, sesuatu yang mungkin bisa membawa perubahan dalam hidupnya yang stagnan ini.
Masalah Utama
Setiap hari, Rian merasa semakin terpuruk dalam kesendirian dan penyesalan. Ia tidak tahu bagaimana harus melanjutkan hidup, dan yang lebih buruk lagi, ia merasa telah mengecewakan banyak orang—terutama ayahnya yang dulu sangat mendukung cita-citanya. Ayahnya selalu berharap Rian akan menjadi seorang pengacara, seperti yang sudah direncanakan sejak kecil. Namun Rian merasa terlalu terjebak dalam keinginan orang lain, dan akhirnya ia memilih jalan yang lebih bebas—menjadi seorang pengusaha muda.
Namun keputusan itu justru membuatnya terjerumus. Bisnis yang ia bangun gagal total. Sahabat-sahabatnya menjauh, dan hubungan dengan kekasih yang dulu ia cintai kini hanya tinggal kenangan pahit. Semua yang ia lakukan seolah sia-sia. Setiap malam, Rian terbangun dari tidur dengan perasaan hampa. Ia merasa waktu telah menghilang begitu saja, tanpa memberi kesempatan untuk memperbaiki kesalahan yang ia buat.
Setiap kali menatap wajah di cermin, Rian bertanya-tanya apa yang akan terjadi jika ia membuat pilihan yang berbeda. Bagaimana jika ia menyelesaikan kuliah dan mengikuti jejak ayahnya? Bagaimana jika ia tidak meninggalkan cintanya dulu? Apa yang akan terjadi jika ia bisa kembali dan memperbaiki segalanya?
Suatu sore yang biasa, Rian pulang ke apartemennya dengan perasaan yang lebih berat dari biasanya. Hujan masih turun dengan lebat, menambah kesuraman suasana hatinya. Di tengah perjalanan pulang, ia melewati toko barang antik yang tidak pernah ia perhatikan sebelumnya. Pintu kaca toko itu terbuka, dan entah kenapa, ia merasa terdorong untuk masuk.
Di dalam toko, bau kayu dan logam yang tua menyatu dalam udara yang berat. Berbagai barang kuno diletakkan di rak-rak kayu, dan di tengah ruangan, terdapat sebuah meja kecil dengan jam tangan tua yang tampak usang. Jam itu berbeda dari jam biasa, dengan desain rumit dan jarum yang bergerak aneh. Rian merasa ada sesuatu yang menariknya untuk mendekat.
Di belakang meja, sang pemilik toko—pria yang sama yang ia temui di kafe—tersenyum misterius. “Kau tertarik pada jam ini, nak?” tanya pria itu, suaranya serak namun penuh makna.
Rian mengangguk pelan, masih tidak mengerti mengapa jam itu begitu memikatnya. “Apa keistimewaannya?” tanya Rian.
Pria itu menatapnya dengan mata tajam, seolah bisa melihat melalui dirinya. “Jam ini memiliki kekuatan, kekuatan untuk mengulang waktu,” katanya perlahan. “Namun, setiap pilihan memiliki harga.”
Rian terdiam, tidak tahu apakah pria itu sedang bercanda atau tidak. Namun, ada sesuatu dalam cara pria itu berbicara yang membuat hatinya berdegup lebih cepat. “Mengulang waktu?” tanya Rian dengan nada skeptis.
“Ya. Kamu bisa mengulang waktu, kembali ke titik tertentu dalam hidupmu, dan memperbaiki keputusan yang telah kamu buat. Tapi ingat, tidak ada yang gratis dalam hidup. Setiap perubahan membawa konsekuensi,” jawab pria itu.
Misteri Waktu
Rian merasa bingung, tetapi rasa penasaran menguasai dirinya. Ia tidak tahu mengapa, tetapi kata-kata pria itu membuatnya berpikir tentang semua kesalahannya, tentang semua yang bisa ia perbaiki jika diberi kesempatan kedua. Apa yang akan terjadi jika ia bisa kembali dan mengambil keputusan yang berbeda? Apa yang akan terjadi jika ia bisa mengubah hidupnya?
“Apakah ini nyata?” tanya Rian, mencoba memahami apa yang sedang terjadi. “Bagaimana caranya agar saya bisa mengulang waktu?”
Pria itu tersenyum lagi. “Cobalah dan rasakan sendiri.” Dengan gerakan cepat, ia menyodorkan jam itu kepada Rian. “Namun, kau harus siap menerima harga yang harus dibayar.”
Rian merasa cemas. Harga yang harus dibayar? Apa maksudnya? Ia ingin menanyakan lebih banyak lagi, tetapi pria itu sudah menghilang begitu saja, seolah ditelan oleh bayang-bayang toko yang sempit itu.
Tanpa berpikir panjang, Rian memutuskan untuk membeli jam tersebut. Ia merasa ada sesuatu yang aneh dan memikat dalam dirinya yang mendorongnya untuk melakukannya. Mungkin inilah kesempatan yang ia tunggu-tunggu.
Konflik Awal
Di rumah, Rian memandangi jam itu dengan penuh rasa bingung dan takut. Apakah ia benar-benar siap untuk mengubah hidupnya? Bagaimana jika semuanya justru menjadi lebih buruk? Namun, rasa penyesalan yang terus menggerogoti hatinya membuatnya tak bisa berhenti berpikir. Ia menatap jam itu dan, tanpa sadar, memutar salah satu bagian dari jam tersebut.
Seketika, dunia di sekelilingnya mulai berputar, dan Rian merasa tubuhnya terangkat. Ketika ia membuka mata, ia sudah berada di sebuah tempat yang familiar—kampusnya, beberapa tahun lalu. Semua tampak seperti kenangan yang baru saja ia tinggalkan. Dengan hati berdebar, Rian sadar bahwa ia telah mengulang waktu, kembali ke masa lalu.
Namun, meskipun ia memiliki kesempatan untuk memperbaiki kesalahan, Rian mulai merasakan kegelisahan yang semakin besar. Bagaimana jika keputusan yang ia buat kali ini malah membawa hasil yang lebih buruk? Dan apakah ia benar-benar siap dengan konsekuensi yang akan datang?
Teka-teki waktu baru saja dimulai.*
Bab 2: Keputusan dan Konsekuensi
Mencoba Mengulang Waktu
Rian berdiri di tengah kampus, mata menatap langit biru yang tampak sama seperti dulu, dengan rintik hujan ringan yang mulai turun. Ini adalah hari pertama kuliah tahun terakhir, saat ia pertama kali meragukan pilihan hidupnya untuk berhenti dari pendidikan demi mengejar impian yang keliru. Saat itu, ia merasa dunia terbuka luas di hadapannya, penuh dengan potensi dan kebebasan. Namun kini, setelah mengalami kegagalan demi kegagalan, ia mulai menyesali keputusan yang ia buat.
Jam tua yang ia pegang di tangan terasa berat, seolah memberi tekanan lebih pada pundaknya. “Ini kesempatan kedua,” pikirnya. “Ini adalah kesempatan untuk memperbaiki semuanya.”
Dengan hati yang berdebar, Rian memutuskan untuk mengubah satu hal yang paling ia sesali: memilih untuk tetap di universitas dan menyelesaikan pendidikannya. Ia tahu bahwa jika bisa mengubah keputusan itu, mungkin ia bisa mencegah kegagalannya di dunia usaha dan menghindari semua kehancuran yang mengikuti. Ia melangkah menuju gedung kuliah dengan tekad yang bulat, tetapi seiring ia berjalan, keraguan mulai muncul dalam dirinya. Apakah benar ini yang terbaik? Apakah ia benar-benar siap menerima perubahan besar ini?
Namun, niatnya sudah bulat. Begitu ia memasuki ruang kuliah, ia melihat semua hal yang dulu ia tinggalkan—dosen yang menyapa dengan senyuman hangat, teman-teman lama yang belum menyadari apa yang akan ia lakukan. Tanpa ragu, Rian mendekati meja pendaftaran dan mengisi formulir untuk kembali melanjutkan kuliahnya. Ia merasa keputusan itu tepat, meski dalam hatinya masih ada rasa takut akan perubahan yang akan datang.
Beberapa hari berlalu, dan kehidupan kampus mulai kembali berjalan seperti yang ia ingat. Rian mulai merasa nyaman. Ia bisa merasakan kembali semangat yang dulu membuatnya begitu bersemangat. Bahkan, ia mulai bertemu dengan teman-temannya yang dulu sempat menjauh, dan mereka tampaknya lebih menerima kehadirannya.
Yang paling mengejutkan, Rian mendapat kesempatan untuk berbicara dengan Sarah, kekasih lamanya yang dulu ia tinggalkan tanpa penjelasan. Sarah masih tampak seperti dulu—ramah, penuh senyuman, dan menyimpan kehangatan yang membuat Rian merasa bersalah atas keputusannya. Mereka mulai berbicara, dan meskipun ada jarak yang sempat tercipta, ada sesuatu yang mulai tumbuh kembali antara mereka. Rian merasa bahwa ia mulai mendapatkan kembali sesuatu yang berharga dari masa lalunya, dan mungkin, hanya mungkin, ia bisa memperbaiki semuanya.
Pengalaman dan Kekecewaan
Namun, meskipun perubahan itu tampak positif pada awalnya, Rian segera menyadari bahwa tidak semua hal berjalan sesuai rencana. Sarah, meskipun tampak bahagia dengan kehadirannya, menunjukkan tanda-tanda ketidakpastian. Rian berusaha untuk lebih mendekat, lebih mendengarkan, dan lebih berusaha memperbaiki kesalahan yang dulu ia buat. Namun, ada sesuatu yang berubah dalam diri Sarah. Ia tidak lagi mempercayai Rian sepenuhnya. Rian merasa hubungan mereka tidak bisa kembali seperti dulu, meskipun ia telah mencoba yang terbaik.
Rian juga mulai menyadari bahwa beberapa hal lainnya juga tidak berjalan seperti yang ia harapkan. Beberapa keputusan yang ia buat di kampus—memilih mata kuliah yang lebih berat, mencoba memperbaiki hubungan dengan teman-teman lama—hanya membawa lebih banyak stres. Tugas semakin menumpuk, dan ia mulai merasa kesulitan untuk mengatur waktunya. Ia bahkan mulai merasa terasingkan lagi dari teman-teman sekelasnya, yang tidak mengerti apa yang sedang ia alami. Ia merasa seolah ia terlalu jauh dari dunia yang dulu ia tinggalkan.
Sementara itu, di sisi lain, usaha kecil yang ia bangun beberapa tahun lalu—usaha yang ia tinggalkan demi kembali ke kampus—tampaknya sekarang mulai menunjukkan tanda-tanda kebangkitan. Namun, hal itu datang dengan risiko. Teman-temannya yang dulu pernah bekerja sama dengan Rian mulai merasa bahwa mereka telah dilupakan. Ada kecemburuan, perselisihan, dan kesalahpahaman yang terjadi karena Rian mencoba mengatur ulang prioritas hidupnya. Ia merasa terjebak antara dua dunia: dunia kuliah yang penuh tekanan dan dunia bisnis yang terus mengingatkan bahwa ia masih memiliki tanggung jawab besar yang belum selesai.
Setiap kali Rian mencoba untuk menyelesaikan satu masalah, masalah baru muncul. Bahkan saat ia merasa berhasil memperbaiki satu hubungan, hubungan lainnya mulai retak. Ia semakin sadar bahwa meskipun ia bisa mengubah beberapa hal, ia tidak bisa mengontrol semuanya. Perubahan kecil yang ia lakukan di masa lalu mulai mengarah pada konsekuensi yang tak terduga, dan ia merasa semakin kesulitan untuk menemukan keseimbangan.
Konsekuensi Tak Terduga
Hari demi hari, Rian semakin terjebak dalam siklus perubahan yang tak pernah berakhir. Setiap kali ia merasa telah menemukan solusi, keputusan berikutnya malah menambah kebingungannya. Suatu malam, saat ia sedang bekerja di kafe untuk menambah penghasilan, ia menerima pesan dari Sarah yang mengejutkannya. “Mungkin kita perlu berhenti sejenak,” tulis Sarah. “Aku merasa ada yang hilang antara kita.”
Rian merasa cemas. Ia tahu bahwa ini adalah akibat dari keputusan-keputusan yang telah ia buat. Setiap kali ia mencoba memperbaiki kesalahan masa lalu, ia semakin jauh dari apa yang sebenarnya ia inginkan. Bahkan ketika ia mencoba untuk menjaga usahanya tetap berjalan, ia menyadari bahwa banyak orang yang terlibat dalam kegagalannya merasa tertipu oleh tindakannya. Mereka merasa bahwa Rian mengabaikan mereka demi mengejar tujuan yang mungkin tidak pernah terwujud.
Ia mulai merasa terperangkap. Jika ia terus mengulang waktu, apa yang akan terjadi pada orang-orang di sekitarnya? Apakah mereka akan tetap berada dalam hidupnya, atau justru semakin menjauh? Rian merasa semakin terjerat dalam permainan waktu yang tidak pernah ia pahami sepenuhnya. Bagaimana jika ia tidak bisa kembali ke titik awal? Bagaimana jika waktu sudah terlanjur mempermainkannya?
Pertanyaan Moral
Setiap langkah yang Rian ambil semakin memperjelas satu hal: meskipun ia bisa mengubah masa lalu, setiap keputusan membawa dampaknya masing-masing. Ia mulai mempertanyakan apakah benar-benar mungkin untuk memperbaiki hidup hanya dengan mengubah pilihan-pilihan di masa lalu. Apakah perubahan kecil di masa lalu benar-benar bisa memperbaiki segalanya, atau justru memperburuk keadaan?
Rian menyadari bahwa meskipun ia memiliki kesempatan untuk memperbaiki kesalahan, ia tidak bisa mengubah esensi dari siapa dirinya. Semua kesalahan yang ia buat, semua pilihan yang ia ambil, adalah bagian dari dirinya yang membentuknya menjadi orang yang sekarang. Ia tidak bisa hanya menghapus masa lalu dan berharap semuanya akan menjadi sempurna. Setiap langkah yang ia ambil mengarah pada suatu titik, dan titik itu membawa dampak yang tak terhindarkan.
Kini, Rian berada di persimpangan. Apakah ia akan terus berusaha mengubah masa lalu, atau apakah ia akan menerima kenyataan bahwa hidup adalah serangkaian pilihan yang tak selalu bisa diubah? Ia mulai menyadari bahwa meskipun ia memiliki kekuatan untuk mengulang waktu, kekuatan itu bukanlah solusi untuk segala masalah. Mungkin, justru yang dibutuhkan adalah keberanian untuk menerima dan belajar dari kesalahan-kesalahan yang telah terjadi.*
Bab 3: Memahami Harga Waktu
Penyelidikan Lebih Dalam
Rian merasa terjebak dalam sebuah lingkaran waktu yang tak berujung. Setiap kali ia mencoba untuk memperbaiki masa lalu, sesuatu yang lebih buruk muncul di hadapannya. Ia mulai menyadari bahwa tidak ada yang benar-benar bisa diperbaiki, dan semakin ia mencoba untuk mengubah hal-hal kecil, semakin besar konsekuensinya. Rasa cemas yang mencekam semakin memburuk, dan kini ia tahu bahwa ia harus menemukan jawaban yang lebih dalam tentang bagaimana kekuatan ini bekerja—dan, yang lebih penting, apa harga yang harus dibayar untuk mengubah waktu.
Rian memutuskan untuk kembali ke toko antik tempat ia pertama kali membeli jam tua itu. Meskipun ia tahu bahwa toko itu tampaknya hanya berfungsi sebagai tempat pertemuan yang kebetulan, ada rasa tidak nyaman dalam dirinya yang membuatnya merasa perlu mencari penjelasan lebih lanjut. Ketika ia tiba, toko itu tampak lebih sepi daripada sebelumnya, dan tidak ada tanda-tanda pria tua yang dulu ia temui. Hanya ada beberapa barang antik di sekitar, yang tampaknya tidak berubah.
Rian melangkah masuk, mencoba mengingat setiap detil yang ia lihat sebelumnya. Ia melintasi rak-rak penuh barang antik hingga akhirnya menemukan meja kecil yang dikelilingi oleh berbagai benda berdebu. Di meja itu, jam tua yang ia bawa masih ada. Tanpa berpikir panjang, ia memegang jam tersebut dan tiba-tiba mendengar suara langkah kaki yang familiar.
Dari belakang rak, muncul seorang pria berusia paruh baya dengan jubah hitam yang tampak seperti seorang pendeta atau dukun. Wajahnya serius, tetapi ada ketenangan di dalamnya. “Aku tahu kenapa kau kembali,” kata pria itu dengan suara dalam yang penuh misteri. “Kau sedang mencari jawaban, bukan?”
Rian terkejut, tetapi segera mencoba untuk mengendalikan dirinya. “Apa yang sebenarnya terjadi dengan waktu ini? Apa yang harus saya bayar untuk mengubahnya?”
Pria itu mengangguk pelan, seolah memahami kebingungannya. “Jam itu bukan hanya benda biasa. Itu adalah pintu yang menghubungkan dua dunia—dunia yang sudah terjadi dan dunia yang bisa terjadi. Tetapi setiap kali kau mengubah sesuatu di masa lalu, kau juga mengubah alur hidup orang-orang di sekitarmu, dan kadang, dirimu sendiri. Kamu pikir kau bisa mengubah dunia dengan mengubah sedikit hal, tapi ada harga yang harus dibayar.”
Rian merasa gugup. “Harga? Apa maksudnya? Apa yang akan terjadi jika saya terus mengulang waktu?”
Pria itu menarik napas panjang, seakan-akan sedang memikirkan kata-katanya dengan sangat hati-hati. “Setiap perubahan kecil membawa perubahan besar. Setiap kali kau mengulang waktu, kau memengaruhi banyak hal—bukan hanya orang lain, tetapi dirimu sendiri. Waktu itu seperti sungai. Jika kau mengalihkan alirannya, seluruh ekosistem bisa hancur. Begitu juga dengan dirimu. Kamu mungkin merasa bisa memperbaiki satu hal, tapi ada konsekuensi yang akan datang, dan mungkin kau tidak akan pernah bisa kembali lagi.”
Rian merasa hatinya berdegup kencang. “Apa yang harus saya lakukan?” tanyanya, hampir putus asa.
Pria itu menatapnya dengan tajam. “Terkadang, untuk memahami harga waktu, kau harus siap untuk kehilangan sesuatu yang sangat berharga. Dan kau harus bertanya pada dirimu sendiri—apakah itu sebanding dengan apa yang akan kau dapatkan?”
Rian keluar dari toko itu dengan pikiran yang bergejolak. Semakin dalam ia menyelami misteri waktu ini, semakin ia menyadari bahwa setiap pilihan membawa harga yang harus dibayar. Perubahan-perubahan yang ia lakukan, meskipun tampaknya memperbaiki masalahnya, mulai membawa dampak yang lebih besar dan lebih mengerikan. Ia mulai merasakan adanya perubahan pada dirinya sendiri—perubahan yang tidak ia inginkan.
Malam itu, Rian pulang ke apartemennya dan mencoba menghubungi Sarah. Selama ini, ia merasa bahwa hubungan mereka adalah satu-satunya hal yang mungkin bisa ia selamatkan dari semua kegagalan yang ia alami. Namun, ketika ia berbicara dengan Sarah, ada sesuatu yang berbeda. Suaranya terasa datar, tidak seperti dulu. Sarah berkata, “Rian, aku sudah berubah. Aku tidak bisa lagi seperti dulu. Aku tidak tahu siapa kita sekarang.”
Rian terdiam. Ia merasa seperti ada yang hilang, seperti bagian dari dirinya yang sudah terkikis. Mungkin inilah harga yang harus ia bayar—kesempatan untuk memperbaiki hubungan dengan Sarah, tetapi pada saat yang sama, ia harus kehilangan bagian dari masa lalu yang sangat berarti baginya. Ia tidak bisa mengembalikan Sarah yang dulu. Keputusan-keputusan yang ia buat untuk mengubah waktu telah mengubah cara mereka berinteraksi, dan ia tidak bisa memundurkan waktu untuk memperbaikinya.
Di sisi lain, keluarga Rian juga mulai menunjukkan perubahan yang mencolok. Ayahnya, yang dulu selalu mendukung keputusan-keputusan besar dalam hidupnya, kini tampak semakin menjauh. Ketika Rian mencoba berbicara dengan ayahnya tentang masa depan, ayahnya hanya tersenyum sinis dan berkata, “Terkadang, waktu bukan untuk diubah. Kamu sudah memilih jalannya, Rian. Mungkin saatnya untuk belajar menerima kenyataan.”
Rian merasa seolah ia telah kehilangan pijakan dalam hidupnya. Semua orang yang dulu ia harapkan bisa mengerti, sekarang mulai menjauh. Dan yang lebih buruk, ia mulai merasakan perubahan dalam dirinya sendiri. Waktu yang ia ubah tidak hanya mengubah dunia sekitar, tetapi juga dirinya. Ia menjadi semakin terasingkan, tidak lagi mengenali siapa dirinya yang sebenarnya. Kekuatan untuk mengubah masa lalu mulai merenggut bagian dari jiwanya—bagian yang dulu penuh dengan harapan dan keyakinan.
Saat ia merenung, Rian mulai merasa terperangkap dalam dilema moral yang semakin besar. Apakah benar ia bisa terus mengulang waktu untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan yang ia buat? Apakah hidupnya bisa kembali seperti dulu jika ia terus mengubah masa lalu? Dan jika ia berhenti, apakah ia bisa menerima kenyataan dan melanjutkan hidup dengan kesalahan yang telah ia buat?
Rian mulai bertanya-tanya, apakah ada kebahagiaan sejati jika ia terus berusaha untuk mengubah waktu? Apakah mungkin untuk benar-benar bahagia jika kita tidak menerima ketidaksempurnaan hidup kita? Setiap perubahan yang ia buat tampaknya hanya membawa lebih banyak penderitaan, baik bagi dirinya maupun bagi orang-orang yang ia cintai.
Ia menyadari bahwa meskipun ia bisa kembali ke masa lalu dan mengubah keputusan-keputusan besar, ia tidak bisa mengubah esensi dari kehidupannya. Setiap langkah yang ia ambil membawa dampaknya sendiri, dan meskipun ia bisa memperbaiki satu hal, ia tidak bisa menghindari konsekuensi lainnya. Rian merasa semakin bingung—apakah ia bisa berhenti mengubah waktu dan menerima apa adanya, atau apakah ia akan terus terjebak dalam siklus yang tak berujung ini?
Ketika ia merenung lebih dalam, sebuah pemahaman mulai muncul di benaknya. Mungkin, kebahagiaan sejati tidak datang dari mengubah masa lalu, tetapi dari menerima kenyataan dan tumbuh dari pengalaman yang telah terjadi. Mungkin hidup bukan tentang mencari cara untuk memperbaiki setiap kesalahan, tetapi tentang belajar untuk menerima ketidaksempurnaan dan menemukan kedamaian dalam diri sendiri.
Dengan hati yang berat, Rian akhirnya menyadari bahwa waktunya untuk berhenti mengubah masa lalu telah tiba. Ia tidak bisa terus melarikan diri dari kenyataan. Harga yang harus ia bayar sudah terlalu mahal, dan kini, yang ia butuhkan adalah keberanian untuk menerima hidup dengan segala ketidaksempurnaannya.
Mungkin, hanya dengan begitu, ia bisa menemukan kedamaian dan kebahagiaan yang selama ini ia cari.*
Bab 4: Akhir dari Waktu
Puncak Konflik
Rian merasa tenggelam dalam lautan waktu yang tak berujung. Setiap kali ia mencoba untuk mengubah masa lalu, sesuatu yang lebih buruk muncul, dan semakin lama, ia merasa seolah dunia semakin jauh dari kendalinya. Perubahan-perubahan kecil yang dulu ia harapkan bisa membawa perbaikan, kini justru memperburuk segalanya. Keputusan-keputusan yang ia buat, meskipun berdasarkan niat baik, mengarah pada kehancuran yang lebih besar.
Pagi itu, setelah kembali mengulang waktu untuk kali keempat, Rian duduk termenung di depan cermin, menatap wajahnya yang mulai lelah. Matanya yang dulu cerah kini tampak kosong, seolah tak ada harapan lagi. Ia sudah kembali ke titik yang sama berulang kali—mengejar kebahagiaan dan perbaikan, tetapi selalu terjebak dalam lingkaran waktu yang tak pernah memberi ruang untuk keluar.
Meskipun ia telah mencoba memperbaiki hubungannya dengan Sarah, mereka selalu berakhir pada titik yang sama. Setiap kali ia mengulang waktu, Sarah merasa semakin jauh, seolah ia tidak lagi bisa mengingat siapa Rian yang dulu. Rian mulai merasakan bahwa, meskipun ia berhasil memperbaiki hubungan yang retak dengan orang-orang di sekitarnya, ia justru kehilangan dirinya sendiri dalam proses tersebut. Ia merasa bahwa semua perubahan yang ia lakukan bukanlah untuk kebaikan, melainkan sebuah upaya untuk menghindari kenyataan yang sulit diterima.
Hari itu, saat ia kembali ke toko antik tempat ia pertama kali menemui pria misterius, Rian merasakan beban yang lebih berat dari sebelumnya. Toko itu kini tampak lebih suram, seolah mencerminkan keadaan hatinya yang tengah terpuruk. Di dalam, pria tua itu yang dulu memberinya jam tua tampak duduk dengan tenang, menatap Rian dengan tatapan penuh makna.
“Sudah cukup, nak?” tanya pria itu dengan lembut, suaranya seolah menyelami kedalaman jiwa Rian.
Rian tidak bisa menjawab. Ia hanya menggelengkan kepala, merasa putus asa. “Saya sudah mencoba untuk mengubah semuanya… tapi semakin saya mengubah, semakin saya merasa kehilangan.”
Pria itu mengangguk, seakan memahami penderitaan yang tengah dialami Rian. “Setiap perubahan ada harga yang harus dibayar, anak muda. Kau mencoba mengubah segalanya, tetapi kadang, perubahan itu malah membawa lebih banyak penderitaan. Apa yang kau coba perbaiki, malah membuatmu semakin jauh dari kedamaian.”
Rian merasa semakin terhimpit. “Apa yang harus saya lakukan? Saya tidak tahu harus berbuat apa lagi.”
Pria itu tersenyum tipis, lalu berkata dengan tenang, “Kau tidak bisa memperbaiki segalanya, nak. Waktu itu seperti sungai yang terus mengalir. Apa yang sudah terjadi, biarkanlah mengalir. Ketika kau berhenti berusaha mengubahnya, kau akan menemukan jalan untuk melangkah maju.”
Rian meninggalkan toko itu dengan langkah yang berat, tetapi ada sesuatu dalam dirinya yang mulai berubah. Kata-kata pria itu terus terngiang dalam pikirannya. Sejak hari itu, Rian mulai berpikir tentang waktu dengan cara yang berbeda. Ia menyadari bahwa meskipun ia memiliki kekuatan untuk mengulang waktu, ia tidak bisa mengubah esensi dari apa yang sudah terjadi. Setiap kesalahan, setiap kegagalan, adalah bagian dari siapa dirinya dan siapa orang-orang di sekitarnya. Waktu yang berlalu tidak bisa diputar kembali, dan tidak ada yang bisa menghapus jejak-jejak masa lalu.
Rian memutuskan untuk berhenti mencoba mengubah masa lalu dan menerima kenyataan yang ada. Ia menyadari bahwa jika ia terus terjebak dalam siklus waktu yang berulang, ia tidak akan pernah menemukan kedamaian. Keputusan-keputusan yang ia buat, meskipun penuh penyesalan, telah membentuknya menjadi orang yang lebih kuat, lebih bijaksana, dan lebih sadar akan kekuatan pilihan yang ia buat.
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Rian merasa sedikit lebih ringan. Ia tidak lagi berusaha membenahi setiap hal yang salah dalam hidupnya. Sebaliknya, ia mulai belajar untuk menerima ketidaksempurnaan, baik dalam dirinya maupun dalam orang lain. Ia menyadari bahwa hidup adalah tentang perjalanan, bukan sekadar tujuan. Setiap langkah yang ia ambil adalah bagian dari sebuah cerita yang lebih besar, dan meskipun tidak semuanya sempurna, itulah yang membuat hidup ini berharga.
Rian mulai menghubungi orang-orang yang selama ini ia abaikan—teman-teman lama, anggota keluarga, dan bahkan Sarah. Namun kali ini, ia tidak datang dengan niat untuk memperbaiki segala hal. Ia hanya ingin berbicara, mendengarkan, dan membuka hatinya untuk menerima apa adanya. Ia ingin memperbaiki hubungan, bukan dengan mengubah masa lalu, tetapi dengan menerima kesalahan yang pernah terjadi dan belajar dari pengalaman itu.
Sarah, meskipun masih merasakan ketegangan, mulai menunjukkan tanda-tanda keterbukaan. Mereka berbicara lebih banyak, mengungkapkan perasaan yang selama ini terpendam, dan perlahan-lahan, mereka mulai menemukan kembali kenyamanan dalam pertemuan mereka. Meskipun hubungan mereka tidak kembali seperti dulu, mereka belajar untuk saling menghargai dan menerima perubahan yang terjadi.
Rian mulai bekerja dengan lebih fokus, tanpa lagi terjebak dalam ilusi bahwa ia harus mengubah masa lalu untuk mencapai kebahagiaan. Ia memilih untuk melanjutkan studinya dengan semangat baru, berkomitmen untuk menyelesaikan pendidikan yang sempat ia tinggalkan. Meskipun tantangan yang dihadapi tidak mudah, ia merasa lebih siap untuk menghadapinya.
Hari demi hari, ia merasakan perubahan dalam dirinya. Tidak ada lagi perasaan bersalah yang menghantui dirinya seperti dulu. Tidak ada lagi rasa cemas tentang masa depan atau penyesalan tentang masa lalu. Ia menerima bahwa hidup adalah serangkaian pilihan, dan meskipun tidak semua pilihan itu sempurna, mereka adalah bagian dari siapa dirinya. Rian mulai melihat bahwa setiap kegagalan, setiap keputusan yang buruk, adalah batu loncatan menuju pertumbuhan dan pemahaman yang lebih dalam tentang diri sendiri.
Ketika ia kembali ke toko antik untuk terakhir kalinya, ia tidak lagi mencari jawaban. Ia hanya ingin mengucapkan terima kasih. Pria tua itu, meskipun tidak ada di sana, meninggalkan jejak yang dalam dalam dirinya. Rian menyadari bahwa kebijaksanaan sejati bukanlah tentang menghindari kesalahan atau mencoba mengubah masa lalu, tetapi tentang menerima hidup dengan segala kekurangannya dan terus bergerak maju.
Rian akhirnya menemukan kedamaian yang selama ini ia cari. Meskipun waktu tidak bisa diulang, ia menyadari bahwa kesempatan baru selalu ada jika kita berani bergerak maju. Ia kini lebih bijaksana, lebih terbuka terhadap kemungkinan-kemungkinan yang ada di depan, dan lebih menerima kenyataan hidup. Ia tidak lagi terjebak dalam penyesalan atau harapan kosong untuk mengubah masa lalu. Sebaliknya, ia mulai melihat masa depan dengan mata yang lebih jelas, tanpa takut menghadapi ketidaksempurnaan yang akan datang.
Di tempat kerja, Rian mulai mendapatkan penghargaan atas usahanya yang tak kenal lelah. Ia merasa lebih dihargai, dan semakin yakin bahwa segala hal yang telah ia alami, baik itu kegagalan atau keberhasilan, adalah bagian dari proses yang membentuk dirinya. Ia tidak lagi merasa terjebak dalam dunia yang penuh dengan kesalahan masa lalu, tetapi lebih fokus pada perjalanan yang sedang ia jalani.
Hubungannya dengan Sarah juga menjadi lebih sehat, meskipun tidak seperti dulu. Mereka belajar untuk menjadi teman, saling mendukung meskipun tidak lagi bersama seperti sebelumnya. Mereka berbagi kenangan manis, tetapi juga menerima bahwa perubahan adalah bagian dari hidup.
Rian tahu bahwa hidup ini bukan tentang mencari kesempurnaan atau mengubah setiap kesalahan, tetapi tentang menerima segala kekurangan dan terus tumbuh dari pengalaman yang telah dilalui. Dengan hati yang lebih ringan, ia melangkah ke masa depan, siap untuk menghadapi apa pun yang akan datang, tanpa takut akan waktu yang tidak bisa diulang.
Akhirnya, ia belajar bahwa hidup bukan untuk diubah, tetapi untuk dijalani—dengan penuh kesadaran, keberanian, dan kebijaksanaan yang datang dari menerima perjalanan yang tidak sempurna.*
Epilog: Harga Dari Waktu
Rian duduk di tepi jendela, matanya menerawang jauh ke luar. Malam itu, langit gelap di luar tampak seperti kanvas kosong yang tak berujung, menutupi segala yang mungkin tersembunyi di baliknya. Sebuah dunia yang terbuat dari kenangan dan perasaan yang telah berlalu. Dunia yang tak pernah bisa dia sentuh lagi. Waktu telah memisahkannya dari kehidupan yang dulu ia kenal—dari masa lalu yang indah namun penuh penyesalan.
Beberapa tahun telah berlalu sejak Rian melakukan pilihan besar dalam hidupnya. Sebuah pilihan yang mengubah segalanya—memilih untuk melangkah ke dunia yang lebih besar, lebih jauh dari apa yang bisa dia bayangkan. Waktu telah menguji dirinya, menghancurkan impian dan harapan yang ia bangun, namun pada saat yang sama, memberi pemahaman baru yang sulit dijelaskan. Dia tahu, seperti yang dijelaskan dalam banyak kisah, bahwa setiap pilihan memiliki harga. Dan harga itu terkadang jauh lebih tinggi dari yang bisa kita bayangkan.
“Apakah kamu menyesal?” Suara lembut itu muncul di belakangnya, memecah kesunyian malam.
Rian menoleh. Itu adalah suara Sarah, wanita yang telah menemani hari-harinya sejak perjalanan panjang mereka dimulai. Meski kehadirannya adalah sumber ketenangan, Rian tetap merasa ada jarak yang menghalangi mereka untuk sepenuhnya menyatu. Waktu yang telah berlalu, dengan segala peristiwa dan keputusan yang mengubahnya, menciptakan celah-celah tak terlihat di antara mereka.
Rian tidak segera menjawab. Pandangannya kembali terfokus pada langit yang gelap. “Terkadang aku berpikir, jika aku bisa memutar waktu, mungkin aku bisa kembali ke masa itu. Kembali ke saat aku pertama kali memilih jalan ini.”
“Rian,” Sarah mendekat, duduk di sampingnya. “Kita tidak bisa mengubah masa lalu. Waktu yang telah kita jalani adalah bagian dari siapa kita sekarang. Mungkin kamu tidak tahu, tapi pilihanmu itu membawa kita ke sini. Kita berada di tempat yang kita tuju, meskipun itu bukan tempat yang kita harapkan.”
Rian menghela napas panjang, matanya mulai terasa berat. Selama bertahun-tahun, dia mencari arti dari keputusan yang telah dia buat—keputusan untuk mengorbankan segalanya demi mengejar sesuatu yang tak bisa dia definisikan. Keputusan yang melibatkan waktu itu sendiri. Dia telah menghabiskan banyak malam untuk berpikir, untuk meragukan, apakah harga yang dia bayar itu sebanding dengan apa yang dia dapatkan.
Dia merasakan penyesalan yang dalam. Bukan hanya penyesalan karena melepaskan hal-hal yang dulu ia cintai, tetapi juga penyesalan karena tak pernah benar-benar mengerti apa yang ia kejar. Apakah itu kebahagiaan? Kesuksesan? Atau hanya ilusi yang dia buat sendiri?
“Tapi aku tidak tahu apakah aku bisa menerima semua ini, Sarah,” ujar Rian akhirnya, suaranya hampir berbisik. “Aku merasa seperti aku kehilangan bagian dari diriku dalam perjalanan ini. Waktu itu… terlalu cepat. Aku tidak bisa mengikuti iramanya.”
Sarah menatapnya dalam-dalam, wajahnya penuh pengertian. “Terkadang, hidup memang terasa seperti itu. Kita berlari mengejar sesuatu yang tidak kita pahami, dan waktu berjalan tanpa memberi kita kesempatan untuk berhenti dan berpikir. Tetapi tidak ada yang bisa mengubah apa yang sudah terjadi. Yang bisa kita lakukan adalah menerima perjalanan itu, dengan segala keputusan dan hasilnya.”
Rian menundukkan kepalanya, merenung. Semua pilihan yang telah dia buat, semua keputusan yang pernah ia anggap benar, sekarang terasa seperti bayangan yang semakin kabur. Waktu tidak memberi ampun. Sekalipun ada kesempatan untuk kembali, dia tahu bahwa dirinya sudah jauh berubah. Waktu itu seperti pedang bermata dua—ia memberi dan mengambil, namun pada akhirnya, ia selalu menuntut harga yang harus dibayar.
Sarah meraih tangan Rian, memberi kekuatan pada saat-saat penuh keraguan itu. “Kamu telah banyak mengorbankan, Rian. Tapi bukan berarti kamu tidak bisa menemukan kembali kebahagiaan. Mungkin kamu hanya perlu menerima kenyataan bahwa tidak ada yang sempurna. Kita hanya bisa belajar dari waktu yang telah berlalu dan memilih untuk melangkah maju.”
Rian menatap tangan Sarah yang menggenggamnya erat. Dia merasakan kehangatan dan dukungan yang tulus. Meskipun ia tidak bisa mengembalikan apa yang telah hilang, setidaknya ada satu hal yang masih tersisa—keberanian untuk melangkah, untuk memulai kembali.
“Jadi, apakah kamu akan terus mencari?” tanya Sarah pelan.
Rian memandangnya, senyum kecil mulai terukir di wajahnya. “Aku tidak tahu, Sarah. Aku tidak tahu apa yang aku cari. Tapi aku tahu satu hal—aku tidak akan pernah berhenti mencari arti dari waktu yang telah berlalu. Mungkin itu bukan hanya tentang apa yang hilang, tetapi tentang apa yang bisa kita temukan di jalan yang belum kita jelajahi.”
Di luar jendela, bintang-bintang mulai muncul satu per satu, menerangi langit yang gelap. Rian melihatnya, menyadari bahwa meskipun kegelapan meliputi sebagian besar malam, selalu ada cahaya yang siap muncul. Seperti dirinya, yang meskipun diliputi keraguan dan penyesalan, tetap memiliki harapan yang tersembunyi di dalamnya. Waktu itu memang kejam, tetapi seperti halnya malam yang selalu diikuti pagi, setiap akhir membawa kemungkinan baru.
Rian menoleh lagi kepada Sarah. “Aku tahu aku telah membayar harga yang tinggi, tapi aku juga tahu bahwa setiap detik yang berlalu membawa aku lebih dekat dengan pemahaman tentang diriku sendiri. Aku mungkin belum sepenuhnya siap, tetapi aku ingin melanjutkan. Melangkah ke depan, tanpa menoleh lagi ke belakang.”
Sarah tersenyum, dan mereka duduk bersama dalam diam, saling mendukung satu sama lain. Tidak ada kata-kata yang diperlukan, karena mereka tahu bahwa perjalanan hidup ini—meskipun penuh dengan ketidakpastian dan harga yang harus dibayar—adalah perjalanan yang layak untuk dijalani.***
——-THE END——