• Latest
  • Trending
  • All
  • Movie Review
  • Box Office
  • Trailer
  • Action
  • Romantic
  • Comedy
  • Horror
  • Serial Movie
  • Genre
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025
JEJAK DI PINTU TERLARANG

JEJAK DI PINTU TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

May 17, 2025
TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

May 17, 2025
PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

May 12, 2025
HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

May 12, 2025
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

May 10, 2025
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

LUKISAN YANG MENANGIS

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

RAHASIA DI BALIK TOPENG

May 10, 2025
  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
No Result
View All Result
Novel Story
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah
Novel Story
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

by SAME KADE
May 17, 2025
in Fantasi
Reading Time: 34 mins read

Bab 1 – Panggilan Takdir

Di sebuah desa kecil yang tersembunyi di antara pegunungan dan hutan lebat, hiduplah seorang pemuda bernama Arka. Ia dikenal sebagai anak biasa, yang menjalani hari-harinya dengan sederhana. Setiap pagi, Arka bangun lebih awal untuk membantu keluarganya bercocok tanam dan merawat hewan peliharaan. Meski kehidupannya sederhana, Arka selalu memendam rasa penasaran yang besar terhadap dunia di luar desa.

Suatu hari, ketika matahari mulai terbenam dan langit berubah menjadi warna jingga yang mempesona, Arka berjalan menuju tepi hutan. Ada sesuatu yang menarik hatinya, sebuah perasaan aneh yang tak bisa ia jelaskan. Di antara pepohonan, ia menemukan sebuah batu besar dengan ukiran-ukiran kuno yang hampir pudar oleh waktu. Batu itu tampak berbeda dari benda-benda biasa di desanya. Tangan Arka menyentuh permukaan batu itu, dan seketika udara di sekelilingnya berubah menjadi dingin, meski udara sore hari masih hangat.

Saat itulah ia mendengar suara samar yang berbisik, seolah memanggil namanya. “Arka… Arka…” Suara itu datang dari arah batu tersebut, membuat bulu kuduknya berdiri. Namun, rasa penasaran yang mengalahkan ketakutannya, Arka memutuskan untuk menggali lebih dalam tentang batu misterius itu.

Keesokan harinya, Arka menemui tetua desa, seorang pria tua bijaksana yang dihormati semua orang. Ia bertanya tentang batu yang ia temukan. Dengan mata yang penuh wibawa, sang tetua mulai menceritakan legenda lama yang pernah diceritakan oleh leluhur mereka. Konon, di balik batu besar itu tersembunyi sebuah gerbang menuju dunia lain, sebuah dunia yang penuh dengan keajaiban sekaligus bahaya yang tak terbayangkan.

Menurut cerita, gerbang itu hanya akan terbuka bagi mereka yang memiliki jiwa pemberani dan hati yang tulus. Banyak yang mencoba mencari gerbang tersebut, tapi tak seorang pun yang kembali untuk menceritakan apa yang mereka temui. Arka mendengar cerita itu dengan penuh rasa kagum sekaligus gelisah. Sebuah panggilan misterius seakan memanggilnya untuk menapaki jalan yang belum pernah dijelajahi.

Hari-hari berikutnya, Arka terus merasakan getaran aneh di dalam dirinya. Malam-malamnya penuh dengan mimpi tentang dunia lain—hutan lebat dengan cahaya berwarna-warni, makhluk-makhluk aneh yang berbicara dengan bahasa tak dikenal, dan suara-suara lembut yang mengajak dia melangkah lebih jauh. Mimpi itu begitu nyata hingga membuatnya bertanya-tanya, apakah semua itu hanya khayalan atau sebuah pertanda.

Pada suatu malam yang sunyi, saat bulan purnama menggantung tinggi di langit, Arka kembali ke tempat batu itu. Ia membawa sebuah lentera kecil dan berdiri di depan batu besar yang kini tampak lebih megah dan misterius dalam cahaya bulan. Dengan tangan gemetar, ia menyentuh ukiran batu itu sekali lagi. Tiba-tiba, sebuah cahaya berpendar lembut muncul dari celah-celah batu, membentuk sebuah pintu bercahaya yang terbuka perlahan.

Arka merasa jantungnya berdegup kencang. Inilah saat yang selama ini ia tunggu—panggilan takdir yang mengubah hidupnya selamanya. Dengan napas dalam dan penuh tekad, ia melangkah memasuki gerbang bercahaya itu, meninggalkan dunia yang selama ini ia kenal, dan memulai petualangan yang akan membawanya ke dalam dunia terlarang penuh misteri.

Langkah Arka dalam dunia baru itu terasa asing dan menantang. Namun, ia yakin bahwa di balik gerbang ini ada jawab atas segala rasa penasarannya dan mungkin juga masa depan yang harus ia raih. Kisahnya baru saja dimulai, dan setiap detik di dunia baru ini akan menguji keberanian, kekuatan, dan hati nuraninya.

Dengan begitu, panggilan takdir itu bukan hanya sebuah bisikan di malam sunyi, tapi sebuah awal perjalanan luar biasa yang akan menuntun Arka pada sebuah takdir besar yang telah lama tersembunyi.

Bab 2 – Rahasia Gerbang

Setelah melangkah melewati gerbang bercahaya itu, Arka merasa tubuhnya seperti melayang dalam sebuah lorong waktu dan ruang yang tak berujung. Cahaya putih yang menyilaukan mengelilinginya, mengaburkan segala bentuk dan bayangan. Hatinya berdebar bukan karena ketakutan, melainkan rasa penasaran yang semakin membuncah. Ia tahu, takdir membawanya ke tempat yang jauh dari kehidupan sehari-hari, sebuah dunia yang penuh misteri dan keajaiban.

Ketika cahaya perlahan memudar, Arka menemukan dirinya berdiri di sebuah hutan yang berbeda dari hutan di desanya. Pohon-pohon di sini menjulang tinggi, dengan daun berwarna ungu dan emas yang berkilauan. Udara terasa segar dan bercampur aroma bunga yang belum pernah ia hirup sebelumnya. Namun, di balik keindahan itu, ada suasana sunyi yang mencekam, seolah-olah dunia ini menyimpan rahasia yang sangat dalam.

Arka melangkah hati-hati, mencoba memahami tempat barunya. Ia menyadari bahwa setiap langkahnya meninggalkan jejak bercahaya yang perlahan memudar. Jejak-jejak itu seperti menuntunnya menuju sebuah tujuan. Tak lama kemudian, ia tiba di sebuah bangunan kuno yang berdiri kokoh di tengah hutan. Bangunan itu tampak seperti kuil atau benteng, dengan arsitektur yang aneh dan ornamen-ornamen yang menghiasi dindingnya.

Rasa ingin tahu Arka semakin kuat. Ia mendekati pintu utama yang terbuat dari kayu tua, namun saat disentuh, pintu itu perlahan terbuka dengan sendirinya, menampakkan lorong gelap yang dipenuhi ukiran-ukiran kuno di dindingnya. Ukiran tersebut menggambarkan kisah tentang para penjaga gerbang, makhluk-makhluk yang bertugas melindungi dunia ini dari ancaman yang datang dari luar.

Arka melangkah masuk, jantungnya berdegup kencang. Setiap sudut lorong itu seolah berbicara padanya, mengisahkan legenda dan sejarah yang terlupakan. Ia berhenti di depan sebuah relief besar yang menggambarkan seorang pahlawan dengan pedang bercahaya, sedang menutup gerbang magis dengan sebuah kunci misterius. Di bawah relief itu terdapat sebuah prasasti yang bertuliskan dalam bahasa kuno. Arka mencoba membacanya, dan meski sulit, ia mulai mengerti maksudnya: “Hanya yang berani dan suci hatinya dapat menutup gerbang yang terbuka, menjaga dunia dari kehancuran.”

Tiba-tiba, sebuah suara halus bergema di dalam ruangan. “Arka…” suara itu terdengar begitu dekat namun juga mengawang, seperti berasal dari dimensi lain. Arka berbalik dan melihat sosok samar seorang wanita berbusana putih bercahaya. Wanita itu memperkenalkan dirinya sebagai penjaga gerbang, roh yang diutus untuk menjaga keseimbangan dunia ini.

“Gerbang ini bukan sembarang pintu, Arka. Ia adalah penghubung antara dunia nyata dan dunia lain yang penuh bahaya dan keajaiban. Jika gerbang ini tetap terbuka, maka kekacauan bisa merambat ke dunia manusia,” ujar sang roh dengan suara lembut namun tegas.

Arka merasa beban besar menimpanya. Ia yang tadinya hanya seorang pemuda biasa, kini dihadapkan pada tanggung jawab yang luar biasa. Roh itu melanjutkan, “Kamu dipilih bukan tanpa alasan. Hati dan jiwa yang tulus menjadi kunci utama untuk menutup gerbang ini. Namun, perjalananmu belum mudah. Banyak ujian dan bahaya yang akan kamu hadapi.”

Dengan sikap tegas, roh itu memberikan sebuah benda kecil yang berkilauan—sebuah liontin berbentuk kunci. “Ini adalah kunci untuk menutup gerbang. Namun, kunci ini hanya akan bekerja jika kamu memahami rahasia gerbang dan menyelesaikan misi yang telah ditetapkan.”

Arka menerima liontin itu dengan penuh rasa hormat dan tekad. Ia tahu, perjuangan sebenarnya baru dimulai. Sebelum bisa menutup gerbang, ia harus menggali lebih dalam tentang rahasia yang menyelubungi dunia ini. Setiap langkah harus dipenuhi kewaspadaan, karena ancaman bisa datang dari mana saja, bahkan dari mereka yang pernah ia percaya.

Hari berganti hari, Arka mulai mempelajari kitab-kitab kuno yang ada di dalam kuil itu. Ia membaca tentang makhluk-makhluk misterius yang pernah mencoba menembus gerbang, tentang legenda para pahlawan yang pernah berjuang untuk menutupnya, dan tentang kekuatan magis yang mengalir di balik setiap ukiran dan simbol.

Selain itu, Arka juga mulai merasakan perubahan dalam dirinya. Kekuatan baru yang tak pernah ia sadari mulai tumbuh, memperkuat tubuh dan pikirannya. Namun, kekuatan itu juga membawa beban emosional yang tak mudah dihadapi. Arka mulai merasakan keraguan dan ketakutan, tapi juga semangat yang membara untuk melanjutkan perjuangan.

Suatu malam, ketika Arka sedang beristirahat di dalam kuil, ia bermimpi tentang seorang pria berjubah gelap yang tersenyum sinis. Pria itu berkata, “Gerbang tidak boleh tertutup. Dunia yang kita jaga harus tetap terbuka, agar kegelapan bisa merajalela.”

Arka terbangun dengan napas terengah-engah, menyadari bahwa ia bukan hanya berhadapan dengan dunia magis yang indah, tapi juga dengan ancaman yang nyata dan mengerikan. Pertempuran sesungguhnya akan segera dimulai, dan semua tergantung pada keberanian dan kebijaksanaan Arka.

Di luar kuil, angin malam berhembus membawa bisikan-bisikan yang membuat suasana semakin mencekam. Gerbang yang dulu terlihat indah dan penuh harapan kini berubah menjadi simbol pertarungan antara terang dan gelap, antara harapan dan kehancuran.

Dengan tekad yang semakin kuat, Arka mengikat kunci di lehernya dan bersiap melangkah ke babak berikutnya dari takdir yang telah menantinya. Rahasia gerbang telah terbuka, dan kini saatnya dia menulis jejaknya sendiri dalam dunia yang penuh misteri dan bahaya ini.

Bab 3 – Pembukaan Gerbang

Malam itu, kabut tebal menyelimuti seluruh hutan yang mengelilingi kuil tua itu. Suasana menjadi sunyi dan menekan, seolah alam sendiri menahan napas, menunggu sesuatu yang penting terjadi. Arka berdiri di depan pintu gerbang besar kuil, menggenggam erat liontin kunci yang diberikan roh penjaga. Jantungnya berdetak kencang, membaur dengan desiran angin dingin yang berhembus dari pepohonan.

Hari-hari terakhir ini terasa bagai ujian batin yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Setiap malam, mimpi-mimpi aneh datang silih berganti, memanggilnya untuk segera membuka gerbang yang selama ini terkunci rapat oleh waktu dan rahasia. Namun, di balik panggilan itu, ada peringatan keras bahwa membuka gerbang tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Ada kekuatan besar yang menunggu di baliknya, dan konsekuensinya bisa sangat mengerikan.

Arka menatap ke dalam lorong gelap kuil. Lampu-lampu kristal di dinding mulai berpendar, mengeluarkan cahaya temaram yang menari-nari di sekeliling. Ukiran-ukiran kuno yang sebelumnya hanya menjadi hiasan kini seolah hidup, menggambarkan sosok-sosok mistis dan cerita lama tentang pertempuran abadi antara cahaya dan kegelapan. Suara-suara lirih terdengar samar, mengalun seperti nyanyian mantra yang terlupakan.

Dengan napas teratur, Arka memasukkan liontin kunci ke dalam lubang kecil di pusat pintu kayu yang berukir rumit. Seketika, getaran halus menyebar ke seluruh tubuhnya, dan pintu gerbang mulai bergetar. Suara gemeretak kayu tua pecah memecah kesunyian malam, sementara sinar keemasan keluar dari celah pintu, perlahan membelah gelap.

Pintu kuil terbuka, memperlihatkan sebuah ruang luas yang dipenuhi aura mistis. Di dalamnya, terdapat sebuah lingkaran cahaya bercahaya yang mengambang di udara, dikelilingi oleh simbol-simbol magis yang berputar lambat. Arka tahu, itulah gerbang yang selama ini disembunyikan dari pandangan dunia, sebuah pintu antara dunia nyata dan alam gaib.

Namun, sebelum melangkah lebih jauh, ia merasakan hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Bayangan-bayangan gelap mulai muncul di sudut ruangan, melayang tanpa bentuk yang jelas, seperti roh-roh penasaran yang terperangkap dalam ruang waktu. Mereka berbisik-bisik dengan suara serak, mencoba menghalangi langkah Arka.

“Apa yang kau cari di sini, manusia?” suara dingin bergema, membuat bulu kuduk Arka berdiri. Ia tahu, ini adalah ujian pertama dari banyak hal yang akan dihadapinya.

Dengan tekad bulat, Arka menjawab, “Aku datang untuk menutup gerbang ini. Dunia kita tidak boleh dikuasai oleh kegelapan.”

Suara itu tertawa pelan, seperti angin yang menerpa pepohonan. “Kau masih muda dan penuh naif. Banyak yang telah mencoba, tapi tak seorang pun berhasil.”

Arka menghirup napas dalam-dalam dan melangkah ke tengah lingkaran cahaya. Segera, ia merasakan energi magis yang mengalir dari lantai ke seluruh tubuhnya. Kekuatan itu bukan hanya menguatkan fisiknya, tetapi juga menembus kedalaman jiwanya. Ia melihat bayangan masa lalu, kenangan yang terkubur, dan rahasia-rahasia yang selama ini tersembunyi.

Dalam sekejap, pikiran Arka dipenuhi gambaran tentang dunia lain yang penuh keajaiban sekaligus bahaya. Makhluk-makhluk gaib berperang untuk menguasai gerbang, mencoba membuka jalan menuju dunia manusia untuk melancarkan ambisi mereka. Gerbang itu bukan hanya pintu, melainkan kunci penentu keseimbangan antara kebaikan dan kehancuran.

Tiba-tiba, sebuah bayangan hitam menyergap dari kegelapan, menyerang Arka dengan cepat dan liar. Arka yang sudah siap bertarung menghindar dengan lincah, namun serangan itu meninggalkan bekas luka di lengannya. Luka itu terasa panas dan menyakitkan, menandakan bahwa musuh yang dihadapinya bukan makhluk biasa.

Arka tahu, ini adalah tanda bahwa kekuatan jahat benar-benar mengawasi gerbang itu. Jika ia lengah, bukan hanya dirinya yang akan terancam, tetapi seluruh dunia bisa jatuh ke dalam kegelapan.

Dengan keberanian yang terasah oleh pengalaman dan pelajaran dari roh penjaga, Arka mengeluarkan energi dari dalam dirinya, memusatkan kekuatan ke dalam liontin kunci yang tergantung di lehernya. Sinar terang menyembur keluar, menyapu bayangan gelap yang mencoba mengusiknya.

Pertarungan antara terang dan gelap pun terjadi di ruang suci itu. Suara dentingan magis dan gemuruh angin memenuhi udara, sementara Arka berusaha menahan serangan demi serangan bayangan hitam. Dalam hatinya, ia berjanji tidak akan mundur sampai tugasnya selesai.

Setelah beberapa saat yang terasa seperti berabad-abad, bayangan itu akhirnya menghilang, lenyap dalam kepulan asap hitam. Ruangan menjadi tenang kembali, namun kini Arka tahu, ancaman yang sesungguhnya baru saja dimulai. Pembukaan gerbang bukanlah akhir, melainkan awal dari perjalanan panjang yang akan menguji setiap keberanian dan keteguhan hatinya.

Sebelum meninggalkan kuil, Arka menatap kembali ke arah gerbang yang kini terbuka lebar. Ia menyadari bahwa dunia di balik gerbang itu bukan hanya sebuah tempat, melainkan sebuah dunia yang penuh teka-teki, misteri, dan bahaya. Untuk bisa menjaga keseimbangan, ia harus terus menggali rahasia dan menghadapi segala tantangan yang menanti.

Malam semakin larut ketika Arka melangkah keluar, membawa serta keberanian dan tekad yang semakin membara. Gerbang yang terbuka kini menjadi saksi bisu perjuangan seorang pemuda yang siap menantang takdir demi keselamatan dunia.

Bab 4 – Dunia yang Berbeda

Arka menghembuskan napas panjang saat melangkah melewati gerbang yang baru saja ia buka. Cahaya keemasan yang menyelimuti gerbang itu berubah menjadi kabut tipis yang berputar perlahan, membawanya masuk ke dunia lain—dunia yang selama ini hanya terdengar dalam cerita-cerita dongeng dan legenda. Kini, ia berdiri di ambang realita yang berbeda, sebuah dunia yang jauh dari apa yang ia kenal.

Pandangan Arka terfokus pada pemandangan di hadapannya. Hamparan padang rumput luas membentang, berkilauan oleh sinar matahari yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Langit di atas sana berwarna ungu tua dengan semburat merah jambu di ufuk timur, sementara dua matahari kecil bergantung seperti lentera yang menenangkan. Pohon-pohon raksasa berdiri kokoh, daunnya berwarna hijau kebiruan dengan kilauan cahaya seperti permata. Suara gemerisik dedaunan dan nyanyian burung-burung asing menciptakan melodi alam yang belum pernah didengar Arka.

Ia melangkah lebih jauh, merasakan tanah yang lembut di bawah kakinya. Namun, setiap langkah membawanya pada rasa asing sekaligus keheranan yang mendalam. Dunia ini berbeda, bukan hanya dari segi visual, tetapi juga dari getaran energi yang mengalir di udara. Seolah dunia itu hidup, dan setiap elemen di dalamnya memiliki jiwa.

Arka mencoba mengingat ajaran roh penjaga kuil. Dunia di balik gerbang adalah dunia yang terhubung dengan alam magis yang kuat. Di sinilah sumber kekuatan yang menjaga keseimbangan antara kebaikan dan kegelapan. Namun, dunia itu juga penuh dengan bahaya yang tersembunyi dan makhluk-makhluk yang tak bisa diprediksi.

Tak lama kemudian, dari balik pepohonan muncul sosok kecil dengan tubuh mungil berbalut pakaian bercahaya. Matanya yang besar berwarna perak menatap Arka dengan penuh rasa ingin tahu. “Kau bukan dari sini,” suara kecil itu terdengar seperti desiran angin lembut. “Apa yang membawamu ke dunia kami?”

Arka terkejut tapi segera menguasai diri. “Aku Arka. Aku datang dari dunia lain untuk menjaga keseimbangan. Aku harus memastikan kegelapan tidak menyebar ke duniamu maupun duniaku.”

Sosok kecil itu tersenyum, wajahnya penuh kehangatan. “Namaku Lira. Aku adalah penjaga salah satu bagian dari dunia ini. Kami tahu tentang gerbang dan kehadiranmu di sini. Tapi tidak semua makhluk di sini menyambut kedatanganmu dengan baik.”

Arka mengangguk, merasakan getaran gelisah di dalam dada. Lira melanjutkan, “Kamu harus berhati-hati. Dunia ini memiliki aturan yang berbeda. Kekuatan di sini bisa membantumu, tapi juga bisa menjadi ancaman jika disalahgunakan.”

Mereka berjalan bersama melewati hutan ajaib yang dipenuhi tanaman berwarna-warni dan bunga-bunga bercahaya. Setiap langkah Arka semakin membuka matanya tentang keajaiban dunia ini, tapi juga bahaya yang mengintai. Dari jauh, suara gemuruh dan sorakan menggelegar. Lira berhenti dan menatap ke arah suara itu.

“Kami harus cepat. Itu pasukan kegelapan yang ingin menguasai dunia ini. Jika mereka berhasil, tidak hanya dunia ini yang akan runtuh, tetapi juga dunia di luar gerbang,” kata Lira dengan suara tegas.

Arka merasa beban di pundaknya semakin berat. Ia sadar, tugasnya bukan hanya melindungi dunia asalnya, tapi juga dunia baru yang kini menjadi tanggung jawabnya. Ia harus belajar mengenal dunia ini, memahami aturan-aturannya, dan menghadapi musuh yang bahkan tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Saat mereka berlari menuju pusat kota magis yang penuh dengan bangunan berarsitektur unik dan makhluk-makhluk fantastis yang hidup berdampingan, Arka mulai merasakan kekuatan baru mengalir dalam dirinya. Kekuatan yang berasal dari dunia ini, yang dapat memperkuat misinya, asalkan ia bisa mengendalikannya.

Di tengah keramaian, sosok-sosok berwajah gelap dan mata merah menyala muncul, mengancam kedamaian dunia tersebut. Pertarungan tak terelakkan, dan Arka harus mengerahkan segala kemampuan yang ia miliki. Pedang yang dulu hanya simbol kini menjadi senjata nyata, mengiris udara dan membelah kegelapan.

Pertarungan itu berlangsung sengit, menegangkan, namun juga membuktikan bahwa Arka tidak sendiri. Lira dan makhluk-makhluk lain dari dunia itu ikut membantu, membentuk barisan pertahanan yang kuat. Arka belajar bahwa dalam dunia ini, kekuatan tidak hanya soal fisik, tapi juga soal kepercayaan dan persatuan.

Setelah pertarungan usai, Arka duduk di tepi sungai kristal, mencoba mencerna semua yang ia alami. Dunia ini memang berbeda. Dunia yang bukan hanya soal sihir dan makhluk gaib, tapi juga tentang tanggung jawab besar yang harus ia pikul. Gerbang yang terbuka bukanlah akhir, melainkan permulaan dari sebuah perjalanan yang penuh liku, tantangan, dan juga harapan.

Arka menatap langit ungu yang mulai gelap, dan di balik awan, dua matahari kecil itu perlahan menghilang. Ia tahu, malam di dunia ini pun tidak kalah misterius dan penuh rahasia. Dengan tekad yang semakin bulat, ia bersiap menyambut hari-hari yang akan datang — hari-hari di mana ia harus menjadi penjaga keseimbangan, bukan hanya untuk dunianya sendiri, tapi juga untuk dunia yang baru ini.

Bab 5 – Sekutu Tak Terduga

Arka masih terhanyut dalam keheningan malam dunia baru itu ketika sebuah suara lembut tiba-tiba memecah kesunyian. “Kau tampaknya tidak sendiri dalam perjalananku.” Suara itu datang dari balik rerimbunan pohon bercahaya, dan perlahan seorang sosok muncul ke hadapannya. Wajahnya asing, namun tatapannya penuh keyakinan dan kekuatan yang sulit diabaikan.

“Siapa kau?” tanya Arka waspada, menggenggam erat pedangnya yang masih berkilau karena pertarungan sebelumnya.

“Aku Lyra, penjaga hutan bagian utara. Aku datang bukan untuk menyerang, tapi untuk membantu,” jawab wanita itu dengan nada tenang namun tegas. Ia memegang busur kayu yang dihiasi ukiran magis dan beberapa anak panah yang ujungnya berkilauan seperti kristal.

Arka menatap Lyra dengan rasa penasaran dan sedikit keraguan. Dunia ini penuh dengan makhluk yang tidak bisa dia percaya begitu saja. Namun, sesuatu dalam diri Lyra mengisyaratkan kejujuran dan niat baik yang tulus. “Kenapa kau mau membantuku? Aku orang asing di sini,” katanya.

Lyra tersenyum tipis. “Setiap ancaman yang datang ke dunia ini sama bahayanya bagi kami semua. Kegelapan yang kau lawan juga mengancam wilayahku. Jika kita bersatu, peluang kita untuk bertahan jauh lebih besar.”

Arka mulai merasa lega. Meski dunia ini penuh misteri dan bahaya, setidaknya ia menemukan sekutu yang bisa diandalkan. Mereka pun berjalan bersama melewati jalan setapak yang dikelilingi oleh bunga bercahaya dan pepohonan yang berbisik pelan.

“Cerita tentang gerbang dan dunia kita sudah lama ada di legenda,” kata Lyra sambil menunjuk ke langit yang kini dipenuhi bintang berwarna biru. “Hanya orang-orang terpilih yang bisa melewati gerbang itu. Dan kau, Arka, adalah salah satu dari mereka.”

Arka mendengarkan dengan seksama. Selama ini, ia merasa dipanggil oleh takdir, tapi semua menjadi nyata sekarang. Dunia ini bukan hanya tempat asing yang harus ia taklukkan, tapi juga dunia yang membutuhkan keberanian dan kebijaksanaannya.

Malam itu, Lyra mengajaknya ke sebuah desa kecil yang tersembunyi di balik bukit hijau. Desa itu penuh dengan makhluk-makhluk aneh tapi ramah, yang hidup berdampingan dalam damai. Suasana hangat menyambut kedatangan Arka, dan untuk pertama kalinya sejak tiba di dunia baru ini, ia merasa ada tempat yang bisa ia sebut rumah sementara.

Di tengah perbincangan mereka, Lyra bercerita tentang musuh bersama mereka—kelompok bayangan yang dipimpin oleh sosok gelap bernama Morvak. “Morvak ingin menguasai gerbang dan semua dunia yang terhubung dengannya. Jika dia berhasil, tidak ada yang bisa menyelamatkan kita,” ujar Lyra dengan nada tegas.

Arka merasa berat mendengar ancaman itu. Namun, ia juga tahu bahwa tanpa bantuan seperti Lyra dan penduduk desa, perjuangannya akan jauh lebih sulit. Ia pun mulai merencanakan langkah-langkah berikutnya.

“Kita harus mencari lebih banyak sekutu,” kata Arka sambil menatap api unggun yang berpendar hangat. “Tidak hanya di sini, tapi juga di dunia lain yang terhubung dengan gerbang.”

Lyra mengangguk setuju. “Aku mengenal beberapa penjaga lain yang tersebar di berbagai penjuru dunia ini. Mereka mungkin ragu pada awalnya, tapi jika kita bersatu, kita bisa mengalahkan Morvak.”

Rasa optimisme mulai tumbuh dalam diri Arka. Perjalanan yang sebelumnya terasa menakutkan berubah menjadi misi bersama dengan sekutu yang bisa dipercaya. Malam itu, di bawah langit penuh bintang, Arka dan Lyra bersumpah untuk melindungi dunia ini, apapun yang terjadi.

Namun, di balik api unggun yang hangat dan percakapan penuh harapan, bayangan gelap Morvak terus mengintai. Ia tidak akan membiarkan para penjaga dunia itu hidup dengan damai. Sebuah badai besar sedang mendekat, dan Arka harus siap menghadapi gelombang kegelapan yang tak terelakkan.

Bab 6 – Ancaman dari Kegelapan

Dunia yang baru saja mulai dikenali Arka kini berubah menjadi medan pertempuran yang kelam dan menakutkan. Setelah malam penuh harapan bersama Lyra dan para penduduk desa, bayangan kegelapan perlahan merayap memasuki relung-relung kehidupan yang tenteram. Suara bisikan angin malam tak lagi membawa ketenangan, melainkan pertanda bahwa bahaya semakin dekat.

Arka berdiri di atas bukit kecil, menatap cakrawala yang mulai menghitam pekat. Awan gelap menggulung seperti ombak yang siap menelan semua cahaya. “Ini bukan badai biasa,” gumamnya pelan sambil mengeratkan genggaman pada pedangnya. “Ini ancaman yang lebih besar dari apa pun yang pernah kukenal.”

Lyra muncul dari balik semak, langkahnya tenang tapi wajahnya menyiratkan kekhawatiran. “Morvak sudah bergerak. Dia mengirim pasukan bayangannya untuk menguasai desa ini. Kita harus segera bersiap.” Suaranya penuh tekad, namun mata beningnya tak bisa menyembunyikan rasa takut yang sama dirasakan Arka.

Keduanya segera kembali ke desa, tempat para penduduk yang ramah dan damai kini mulai mempersiapkan diri menghadapi kegelapan yang datang. Warga desa, yang selama ini hidup dalam damai, mulai melatih diri menggunakan senjata dan sihir pelindung. Anak-anak yang dulu bermain riang, kini bersembunyi di balik pintu rumah mereka, mendengar bisik ketakutan dari orang dewasa.

Arka bertemu dengan kepala desa, seorang pria tua bernama Eldrin, yang menatapnya dengan tatapan penuh harap dan beban. “Arka, kami percaya padamu. Kau dan Lyra adalah harapan kami untuk mengusir Morvak dan pasukannya.” Kata-kata itu seperti beban sekaligus penguat di pundaknya. “Apa yang harus kita lakukan?”

Eldrin mengajak mereka ke ruang pertemuan rahasia di bawah tanah desa. Di sana, peta-peta dunia dan rencana perlawanan tergambar jelas di atas meja kayu besar. “Pasukan bayangan Morvak sangat kuat dan licik. Mereka bisa menyerang dari mana saja, bahkan dari tempat yang tak terduga. Tapi kita punya satu keunggulan — pengetahuan tentang medan dan sihir kuno yang bisa kita gunakan sebagai jebakan.”

Arka dan Lyra saling bertukar pandang. Mereka tahu ini bukanlah pertempuran biasa. Kegelapan yang datang membawa ancaman yang tak hanya fisik, tapi juga mental dan jiwa. “Kita harus tetap waspada dan bersatu. Satu kesalahan saja bisa berarti kehancuran bagi kita semua,” tegas Arka.

Malam itu, mereka melakukan patroli bersama para penduduk desa. Suasana mencekam menyelimuti setiap langkah mereka. Dari kejauhan, bayangan-bayangan hitam tampak bergerak cepat di antara pepohonan, mengintai, mencari celah untuk menyerang. Angin dingin membawa aroma kematian yang tajam.

“Tuan Arka, lihat!” Lyra tiba-tiba berhenti dan menunjuk ke arah semak-semak. Sebuah sosok bayangan besar muncul, bentuknya kabur dan sulit dikenali, tapi aura kejahatannya membuat bulu kuduk meremang. “Mereka mulai menyerang!” seru Lyra dengan suara tegang.

Pertempuran sengit pun tak terelakkan. Pedang Arka beradu dengan bayangan hitam yang berkelebat cepat. Serangan demi serangan dilancarkan, namun musuh tak mudah ditaklukkan. Bayangan itu bisa berubah bentuk, menghilang lalu muncul kembali dari sisi yang berbeda. Arka harus mengandalkan insting dan keberanian untuk bertahan.

Di tengah pertempuran, sebuah cahaya biru memancar dari busur Lyra. Anak panah yang melesat melintasi kegelapan, menembus tubuh bayangan itu dan membuatnya mengerang kesakitan sebelum menghilang menjadi debu. “Cahaya sihir kuno ini satu-satunya yang bisa melukai mereka,” kata Lyra sambil mengatur nafas.

Namun, jumlah musuh yang datang semakin banyak. Pasukan bayangan Morvak tidak hanya kuat secara fisik, tapi juga mampu menyebarkan rasa takut yang mendalam. “Jangan biarkan ketakutan menguasaimu,” teriak Arka, mencoba menguatkan semangat para pejuang. “Kita berjuang demi masa depan dunia ini!”

Perlahan, desa yang dulu tenang berubah menjadi benteng terakhir pertahanan. Arka, Lyra, dan para penduduk berjuang mati-matian untuk menahan serangan gelap yang terus menerus menghantam. Tubuh mereka lelah, namun semangat mereka tetap menyala.

Saat fajar mulai menyingsing, bayangan-bayangan itu mundur secara tiba-tiba, seolah perintah Morvak untuk mundur terdengar dari kejauhan. Arka menatap langit yang mulai terang dengan campuran rasa lega dan waspada. “Ini belum selesai,” ucapnya lirih. “Morvak pasti akan kembali dengan kekuatan yang lebih besar.”

Lyra mengangguk, wajahnya serius. “Kita harus menemukan cara untuk menghentikannya sebelum semuanya terlambat.”

Bab 7 – Misi Penyelamatan

Pagi yang kelabu menyelimuti desa yang masih berdiri meski terluka oleh serangan bayangan kegelapan. Udara dingin menusuk tulang, membuat setiap helaan napas tampak beruap. Arka berdiri di depan tenda pertemuan, matanya penuh tekad dan kecemasan yang mendalam. Kali ini, bukan sekadar pertarungan biasa. Misi yang harus dijalani jauh lebih berat: menyelamatkan para penduduk yang diculik oleh Morvak, sang penguasa bayangan, yang kini tersembunyi di bentengnya yang terlarang.

“Lyra, apa kita benar-benar siap?” tanya Arka, suaranya mengandung keraguan sekaligus harapan.

Lyra menatapnya dengan mata yang berkilat penuh semangat. “Tidak ada pilihan lain, Arka. Mereka yang diculik adalah keluarga kita, teman-teman kita. Jika kita tidak bertindak sekarang, mereka bisa menjadi korban kegelapan selamanya.”

Perencanaan pun segera dimulai. Para pemimpin desa dan pejuang berkumpul dalam ruang bawah tanah yang remang. Peta benteng Morvak terhampar di meja, dipenuhi tanda-tanda rute dan jebakan. “Benteng itu sangat dijaga ketat,” jelas Eldrin, kepala desa. “Selain pasukan bayangan, dia juga memasang perangkap sihir yang mematikan. Kita harus berhati-hati.”

Arka mengangguk, mempelajari peta dengan seksama. “Kita akan membagi tim. Aku akan memimpin kelompok penyusup yang langsung menuju ruang tahanan. Lyra, kau beserta kelompokmu harus mengalihkan perhatian pasukan bayangan agar mereka tidak berkonsentrasi di satu titik.”

Lyra mengangguk, wajahnya penuh keyakinan. “Kita akan buat mereka lengah.”

Ketika malam turun, misi penyelamatan dimulai. Arka dan kelompoknya menyelinap melewati hutan lebat, menggunakan sihir pelindung agar tidak terdeteksi. Suasana mencekam, setiap suara kecil di antara dedaunan membuat jantung mereka berdegup kencang. Bayangan gelap terus mengintai, mengawasi setiap langkah mereka.

“Diam dan tetap fokus,” bisik Arka kepada rekan-rekannya. “Ingat, satu kesalahan bisa berakibat fatal.”

Sementara itu, di sisi lain benteng, Lyra memimpin kelompok pengalih perhatian. Mereka menciptakan serangkaian ledakan kecil dan suara gaduh yang menggema di antara batu-batu hitam benteng. Pasukan bayangan yang berjaga terpecah, berlari ke arah sumber suara, meninggalkan beberapa titik pertahanan yang terbuka.

“Kita berhasil membuat mereka lengah,” kata Lyra penuh semangat. “Tugasmu, Arka, kini jauh lebih mudah.”

Di lorong gelap benteng, Arka dan tim menghadapi serangkaian rintangan berat. Perangkap sihir melayang dengan cahaya berbahaya, menunggu untuk mengenai siapa saja yang ceroboh. Dengan sigap, Arka memimpin teman-temannya menghindar dan menonaktifkan beberapa perangkap menggunakan mantra kuno yang dipelajarinya dari para tetua desa.

“Tahan! Ada sesuatu di depan!” salah satu anggota tim berbisik.

Mereka berhenti sejenak, dan dari kegelapan muncul sesosok makhluk bayangan yang mengerikan, dengan mata merah menyala penuh dendam. Bentrokan sengit pun terjadi, pedang beradu dengan cakar kegelapan, sihir bercahaya melawan energi hitam yang merayap.

Arka merasa adrenalin memuncak. Ia melompat menghindari serangan mematikan, lalu membalas dengan tebasan tajam yang membuat makhluk itu berteriak dan akhirnya menghilang dalam asap kelam.

Setelah pertempuran itu, mereka melanjutkan perjalanan hingga tiba di ruang tahanan. Di balik pintu besi yang berkarat, terdengar suara gemuruh dan tangisan yang memecah keheningan malam. “Kita hampir sampai,” bisik Arka penuh haru.

Dengan cepat, mereka membuka kunci pintu satu per satu, membebaskan penduduk yang kelelahan dan ketakutan. Wajah-wajah lelah berubah menjadi senyum haru ketika menyadari ada yang datang menyelamatkan mereka.

“Terima kasih, Arka! Kami tidak tahu berapa lama kami bisa bertahan di sini,” ucap seorang ibu sambil memeluk anaknya erat-erat.

Namun, misi belum selesai. Mereka harus keluar dari benteng tanpa terdeteksi dan membawa para tahanan kembali ke desa. Jalan keluar tidaklah mudah. Pasukan bayangan yang mulai menyadari keberadaan Arka dan kelompoknya berusaha mengepung mereka.

“Bersiaplah!” teriak Arka. “Lindungi yang lemah, kita harus bertahan!”

Pertempuran hebat kembali meletus di lorong-lorong sempit benteng. Suara benturan senjata, teriakan, dan mantra sihir memenuhi udara. Lyra dan kelompok pengalih perhatian kini bergabung, memperkuat pertahanan. Bersama, mereka berjuang melawan gelombang pasukan bayangan yang terus mendesak.

Di tengah kekacauan itu, Arka melihat bayangan Morvak muncul di atas dinding benteng, tertawa dingin dan penuh kemenangan. “Kalian pikir bisa melawanku? Ini baru permulaan!” suaranya menggema menggetarkan jiwa.

Semangat para pejuang tak luntur. Dengan tekad bulat, mereka melangkah maju, mengusir kegelapan sedikit demi sedikit. Akhirnya, setelah perjuangan panjang, mereka berhasil keluar dari benteng, membawa semua tahanan dengan selamat.

Saat fajar mulai menyingsing, Arka dan kelompoknya tiba kembali di desa. Penduduk yang selamat disambut dengan pelukan dan air mata kebahagiaan. Namun, di balik sukacita itu, Arka menyadari bahwa ancaman Morvak belum benar-benar hilang.

“Ini hanya permulaan, kita harus bersiap untuk apa pun,” kata Arka kepada Lyra. “Kegelapan masih mengintai, dan aku yakin Morvak akan kembali.”

Bab 8 – Kekuatan Tersembunyi

Di bawah langit malam yang dipenuhi bintang, Arka duduk termenung di pinggir sungai kecil yang mengalir tenang di balik desa mereka. Hening malam menyelimuti, hanya terdengar gemericik air dan desiran angin yang menyapu dedaunan. Namun, dalam ketenangan itu, hatinya bergolak. Perjalanan panjang yang baru saja mereka jalani meninggalkan bekas yang dalam, bukan hanya secara fisik, tapi juga batin.

Arka menyadari bahwa kekuatan yang selama ini ia kira cukup, ternyata masih jauh dari yang dibutuhkan untuk melawan Morvak dan pasukan bayangannya. Rasa ragu mulai menggerogoti, namun ia tahu, putus asa bukanlah pilihan. Ada sesuatu di dalam dirinya yang belum terungkap — kekuatan tersembunyi yang selama ini terpendam.

“Kau harus menemukannya, Arka,” bisik suara lembut di dalam hati. Suara itu tidak asing, seperti gema dari masa lalu yang ingin memanggilnya kembali.

Keesokan harinya, Arka memutuskan untuk menemui seorang tetua desa bernama Sari. Wanita tua itu dikenal sebagai penjaga pengetahuan kuno, pemilik rahasia yang diwariskan secara turun-temurun. Saat Arka memasuki rumah kayu sederhana di ujung desa, Sari menyambutnya dengan senyum hangat tapi penuh arti.

“Aku tahu kau datang mencari jawaban,” ucap Sari, tanpa perlu banyak basa-basi. “Kekuatanmu bukan hanya berasal dari sihir atau keberanian, tapi juga dari hati dan jiwa yang mampu menerima kegelapan dan cahaya dalam diri.”

Arka mendengarkan dengan seksama saat Sari mulai bercerita tentang legenda lama yang terlupakan. Dulu, di dunia ini, terdapat makhluk yang disebut ‘Penjaga Cahaya’. Mereka memiliki kemampuan mengendalikan energi alam, mampu menyerap kekuatan kegelapan sekaligus mengubahnya menjadi cahaya yang menyembuhkan. Namun, kekuatan itu tidak bisa digunakan oleh siapa saja. Hanya mereka yang memiliki keberanian untuk menghadapi ketakutan terdalam yang bisa memilikinya.

“Ini bukan hanya soal kekuatan fisik, Arka. Ini tentang keberanian menerima bagian terdalam dirimu yang mungkin kau sendiri belum sadari,” ujar Sari dengan suara lembut penuh keyakinan.

Setelah mendengar itu, Arka merasa ada sesuatu yang membangkit dalam dirinya. Ia tahu, untuk menemukan kekuatan itu, ia harus melakukan perjalanan batin yang berat, menghadapai bayangan-bayangan masa lalunya yang selama ini ia hindari.

Malam harinya, Arka melakukan meditasi dalam keheningan penuh. Ia menutup mata dan membiarkan pikirannya melayang ke masa-masa kelam yang penuh luka dan kehilangan. Sosok ayahnya yang hilang, pengkhianatan sahabat dekat, serta rasa bersalah yang selama ini dipendam semuanya muncul dalam pikirannya.

Namun, berbeda dengan biasanya, kali ini ia tidak menolak atau menghindar. Ia menerima semua bayangan itu sebagai bagian dari dirinya. Dan perlahan, sebuah cahaya hangat mulai muncul dari dalam dirinya, mengusir gelap yang selama ini membelenggunya.

“Ini dia,” bisik Arka pada dirinya sendiri. “Kekuatan yang sebenarnya.”

Keesokan harinya, Arka menguji kekuatan barunya. Di hutan dekat desa, ia mencoba menyatukan energi alam dengan kekuatan batinnya. Ia merasakan aliran energi yang kuat mengalir dari akar pohon, udara, hingga sinar matahari yang menembus dedaunan. Dengan fokus, ia berhasil mengubah energi itu menjadi cahaya yang menyinari sekelilingnya.

Namun, tidak lama kemudian, kegelapan datang menyerang. Makhluk bayangan dari Morvak muncul, mencoba memadamkan cahaya yang baru ditemukan itu. Arka berdiri tegap, tidak gentar. Dengan kekuatan barunya, ia menangkis serangan gelap itu, dan secara perlahan, mengubah bayangan menjadi cahaya yang lembut dan hangat.

Pertarungan itu bukan hanya pertempuran fisik, tetapi juga ujian atas kekuatan batin dan keyakinannya. Arka belajar bahwa kekuatan tersembunyi bukan hanya soal mengalahkan musuh, tapi juga menerima segala aspek dirinya, termasuk kegelapan dan ketakutan.

Setelah pertarungan itu, Arka kembali ke desa dengan hati yang lebih ringan dan penuh harapan. Ia tahu perjuangan melawan Morvak masih panjang, tapi kini ia membawa senjata baru: kekuatan yang lahir dari dalam dirinya sendiri.

Sari menyambutnya dengan senyum bangga. “Kau sudah menemukan jalanmu, Arka. Ingat, kekuatan ini adalah anugerah sekaligus tanggung jawab besar. Gunakan dengan bijak.”

Bab 9 – Pengkhianatan dalam Bayangan

Senja mulai turun perlahan, mewarnai langit Dunia Terlarang dengan semburat jingga yang temaram. Angin yang berhembus lembut menyapu reranting pohon-pohon asing berwarna biru keunguan, namun keindahan itu tak sanggup menenangkan kegelisahan Arka dan rombongannya. Mereka baru saja kembali dari pertempuran kecil melawan makhluk kegelapan di Lembah Ral’ven, dan rasa curiga mulai menyelinap di antara mereka — sebuah kecurigaan yang tak bisa diabaikan lebih lama lagi.

Sudah dua kali rencana mereka bocor, dan setiap kali itu terjadi, musuh selalu tahu arah gerak mereka secara tepat. Tidak mungkin itu kebetulan. Arka, yang kini mulai matang dalam pengambilan keputusan, mulai mempertanyakan satu hal: mungkinkah ada pengkhianat di antara mereka?

Malam itu, mereka berkumpul di dalam gua batu yang tersembunyi. Api unggun di tengah-tengah mereka memantulkan cahaya redup pada wajah-wajah yang lelah dan diam. Sekutu baru mereka, seorang pembaca bintang bernama Elvanna, menatap langit melalui celah gua dengan mata penuh kehati-hatian.

“Aku merasakan getaran yang tidak seharusnya,” bisik Elvanna. “Langit malam ini menyimpan rahasia, dan salah satunya ada di antara kita.”

Semua mata beralih. Ketegangan mengental seperti kabut yang tak mau menghilang. Tidak ada yang bicara, namun pandangan mereka saling bertubrukan, masing-masing mencari celah pada wajah satu sama lain. Arka meneguk ludahnya. Ia tahu, ini saatnya menyingkap tabir kebenaran, meski mungkin menyakitkan.

“Aku akan bicara terus terang,” ucap Arka dengan suara tegas. “Seseorang telah membocorkan informasi kepada musuh. Jika kita tidak mencari tahu siapa, maka kita semua dalam bahaya.”

Beberapa orang mulai saling tuding dalam hati, namun tidak ada yang berani bersuara terlebih dahulu. Sampai akhirnya, Revan — salah satu pejuang bayangan yang sudah lama mengikuti perjalanan Arka — berdiri perlahan.

“Aku tahu siapa yang kalian curigai,” katanya datar. “Kalian semua menganggapku terlalu tertutup. Tapi biar aku jelaskan sesuatu…”

Semua mendengarkan dengan waspada.

Revan menghela napas dalam. “Aku memang pernah bekerja untuk Morvak. Tapi aku membelot. Aku memilih untuk membantu kalian karena aku tahu ke mana arahnya dunia jika Morvak menguasai semuanya. Tapi jika kalian tak percaya, aku akan pergi.”

Sontak, suara ramai menggema di gua itu. Ada yang menyarankan Revan diikat, ada yang meminta ia diberi kesempatan. Arka mengangkat tangannya, meminta diam.

“Kalau benar kau mengkhianati Morvak, buktikan malam ini,” katanya dingin. “Bawa kami ke jalur rahasia yang pernah kau gunakan untuk masuk ke Benteng Aether.”

Revan menatap Arka tajam. Sejenak keheningan menelan semuanya, sebelum akhirnya ia mengangguk.

“Baik. Tapi jika ada jebakan… kalian bebas menebas kepalaku.”

Keesokan harinya, perjalanan dimulai. Mereka bergerak dalam senyap melalui hutan kabut, mengikuti jalur sempit yang Revan tunjukkan. Namun ketika mereka mendekati tebing yang mengarah ke terowongan tersembunyi, sesuatu yang tak terduga terjadi. Sebuah ledakan dahsyat mengguncang tanah — jebakan telah menanti mereka.

Beberapa anggota jatuh, dan kekacauan terjadi. Arka segera menarik pedangnya, matanya menatap Revan dengan amarah.

“Kau jebak kami?!”

Namun, Revan terlihat sama terkejutnya. “Bukan aku! Ini bukan jalur yang kupakai dulu! Seseorang telah mengubahnya!”

Dalam kekacauan itu, Elvanna tiba-tiba menoleh tajam pada satu sosok — seorang anggota baru yang beberapa hari lalu mereka selamatkan dari reruntuhan kota tua. Namanya Valen, dan selama ini ia bertingkah seolah hanya korban selamat. Namun malam itu, di tengah bayang ledakan, wajah Valen berubah. Senyum licik muncul dari bibirnya.

“Kalian terlalu mudah percaya,” ujarnya sinis.

Valen adalah mata-mata Morvak yang menyusup, mempermainkan kepercayaan mereka sejak awal. Ia melarikan diri di tengah kekacauan, namun tidak sempat jauh. Arka mengejarnya dan setelah duel singkat penuh ketegangan, Valen berhasil ditaklukkan.

Sebelum pingsan, Valen sempat berbisik, “Kalian pikir ini pengkhianatan terakhir? Masih banyak yang akan menghancurkan kalian… dari dalam.”

Dengan tubuh berkeringat dan napas tersengal, Arka kembali ke kelompok. Luka fisik mungkin bisa disembuhkan, tapi luka kepercayaan membutuhkan waktu yang lebih panjang. Ia memandang Revan, yang berdiri dengan luka di lengannya namun tetap tenang.

“Maafkan aku,” ucap Arka lirih.

Revan hanya mengangguk. “Pengkhianat sejati adalah mereka yang menyamar sebagai korban. Aku tahu itu lebih menyakitkan dari apa pun.”

Bab 10 – Pertempuran Besar

Langit Dunia Terlarang berubah muram. Awan gelap berarak cepat, menggulung seperti lautan hitam yang bersiap menerjang daratan. Suara petir sesekali menggema, namun tak sekeras suara genderang perang yang dipukul tanpa henti di jantung Benteng Aether — tempat di mana pertempuran besar akan dimulai.

Arka berdiri di atas tebing batu, memandangi lembah luas yang terbentang di hadapannya. Di sana, pasukan kegelapan yang dipimpin oleh Morvak telah berkemah, bersiap menyerbu dunia cahaya dan menaklukkan segalanya. Barisan makhluk-makhluk mengerikan terlihat sejauh mata memandang — dari gerombolan bayangan bersayap hingga naga berkulit hitam yang melayang rendah, siap menebar kehancuran.

Di belakang Arka, para sekutu telah bersiap. Elvanna, sang pembaca bintang, memegang kristal sihir di kedua tangannya, berdoa dalam bahasa kuno. Revan berdiri dengan tombaknya, wajahnya dingin dan tak gentar. Sementara itu, Lyra, pemanah dari kaum hutan, memeriksa anak panah satu per satu dengan ketelitian luar biasa.

“Ini bukan lagi tentang siapa yang menang atau kalah,” gumam Arka pelan. “Ini tentang apa yang akan kita tinggalkan setelah ini—harapan atau kehancuran.”

Teriakan perintah terdengar dari sisi timur. Pasukan gabungan Dunia Terlarang mulai bergerak. Kaum hutan, manusia dari desa tersembunyi, penyihir cahaya, hingga makhluk-makhluk netral yang memilih berpihak pada kebaikan — semuanya telah bersatu. Mereka tak sempurna, tak sekuat pasukan musuh, namun keberanian mereka adalah benteng terakhir.

Tiba-tiba, sebuah terompet perang berbunyi nyaring dari pihak musuh. Morvak muncul dari balik kabut — tinggi, kekar, berbalut jubah hitam pekat, dengan mata merah menyala penuh kebencian. Di tangannya tergenggam pedang bayangan yang mampu membelah sihir dan tubuh dalam satu ayunan. Ia menatap ke arah Arka seolah berkata: “Mari akhiri semuanya di sini.”

Pertempuran pun dimulai.

Lembah yang semula hening mendadak berubah menjadi neraka. Panah melesat dari kedua sisi, sihir menyambar seperti kilat, dan jeritan terdengar dari segala penjuru. Arka melompat ke dalam kancah pertempuran bersama Revan, menebas makhluk-makhluk bayangan dengan pedangnya yang telah diberkati sihir kuno.

Lyra melompat dari satu batu ke batu lain, menembakkan panah berapi ke arah naga hitam yang menyerbu dari udara. Sementara itu, Elvanna melantunkan mantra pelindung untuk menjaga garis pertahanan mereka tetap utuh.

Namun musuh terlalu banyak. Mereka seperti gelombang tak berkesudahan. Setiap kali satu gugur, dua makhluk lagi muncul menggantikannya. Pasukan Arka mulai terdesak. Morvak, dengan kekuatan gelapnya, berhasil menerobos barisan depan dan maju langsung ke arah Arka.

“Sudah cukup kau menghalangiku, pewaris cahaya!” teriak Morvak dengan suara menggelegar.

Arka menghadapinya tanpa ragu. Mereka bertarung dengan dahsyat — pedang melawan pedang, cahaya melawan kegelapan. Setiap benturan menggetarkan tanah. Di sela pertarungan, Morvak mencoba menggoda Arka dengan kata-kata penuh tipu daya.

“Kau bisa menjadi lebih dari ini, Arka. Bergabunglah denganku! Dunia ini sudah rusak! Kita bangun yang baru!”

Arka menatap musuh bebuyutannya itu dengan mata penuh keyakinan. “Kau salah. Dunia ini rusak karena orang sepertimu. Tapi masih ada yang layak diperjuangkan!”

Dengan teriakan penuh amarah, Arka melepaskan seluruh kekuatan dalam dirinya. Pedangnya bersinar terang, membelah bayangan pekat yang menyelimuti lembah. Ledakan cahaya memancar kuat, membuat banyak pasukan musuh terpental dan binasa dalam sekejap.

Morvak terdorong mundur, terluka untuk pertama kalinya.

Namun, kemenangan belum ada di tangan.

Melihat keadaan mulai berbalik, Morvak memanggil kekuatan terlarangnya. Langit terbelah, dan dari sana turun makhluk raksasa dari zaman purba — penghuni dunia kegelapan yang pernah disegel ribuan tahun lalu.

Sekutu Arka gemetar. Tapi Arka, dengan luka dan peluh yang menetes di wajahnya, berdiri tegak. Ia menoleh ke Elvanna, yang hanya mengangguk pelan. “Kita masih punya satu pilihan.”

Arka mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Dari gelang yang ia warisi dari ayahnya, cahaya suci memancar, membuka gerbang kecil menuju sumber kekuatan murni. Saat energi itu mengalir ke dalam dirinya, tubuh Arka bersinar — seolah ia adalah perwujudan harapan terakhir umat manusia.

Dengan teriakan yang menggetarkan langit dan bumi, ia menerjang makhluk purba itu, diikuti oleh Revan, Lyra, dan sekutu lainnya. Pertempuran berubah menjadi pertarungan klimaks antara kehendak untuk hidup dan hasrat untuk menghancurkan.

Darah, sihir, dan keberanian tercampur menjadi satu.

Dan di tengah kehancuran itu, satu hal tetap hidup — harapan.

Pertempuran besar itu bukan hanya ujian kekuatan, tetapi ujian kepercayaan, keberanian, dan pengorbanan. Meskipun banyak yang gugur, mereka tidak mati sia-sia. Karena setiap langkah mereka, setiap tebasan dan mantra yang mereka lepaskan, adalah bagian dari kisah yang akan dikenang sepanjang zaman.

Bab 11 – Pengorbanan

Kabut tipis menyelimuti lembah tempat pertempuran besar baru saja usai. Asap membubung dari reruntuhan dan ladang yang hangus, sementara tubuh-tubuh yang gugur berserakan—baik kawan maupun lawan. Aroma darah dan debu masih terasa kuat di udara. Namun di balik semua kehancuran itu, ada satu hal yang tetap hidup: harapan.

Arka terduduk lemas di samping reruntuhan pilar batu, nafasnya tersengal, tubuhnya penuh luka dan debu. Di sekelilingnya, para prajurit yang tersisa bergerak pelan, membantu korban yang selamat dan mencari yang hilang. Langit telah mulai cerah, namun beban di dalam hati mereka masih berat.

“Berapa banyak yang kita kehilangan?” tanya Arka pelan, nyaris tak terdengar.

Revan, dengan tombak yang patah di punggungnya dan mata sayu, hanya menggeleng. “Terlalu banyak,” jawabnya pendek.

Sementara itu, Lyra berjalan pelan membawa tubuh seorang pemuda yang dulu adalah muridnya. Ia meletakkannya di bawah pohon, menutup matanya dengan lembut, lalu berjongkok, menatap kosong ke kejauhan.

Di sisi lain, Elvanna duduk bersila, kedua tangannya bergetar hebat saat mencoba menstabilkan kristal sihirnya yang retak. Di wajahnya tampak jelas bahwa kekuatan mereka mulai menipis. Dan di balik semua itu, tersisa satu ancaman terakhir: Morvak, yang terluka namun belum kalah.

Malam kembali turun dengan sunyi yang mencekam. Arka dikumpulkan bersama para pemimpin pasukan sekutu di ruang bawah tanah benteng. Peta Dunia Terlarang terbentang di meja batu, dan di atasnya ditandai posisi terakhir Morvak bersembunyi—di reruntuhan kuil kuno Drazhul, tempat kekuatan kegelapan terpusat.

“Kita tak bisa menunggu lebih lama,” ujar Revan. “Jika Morvak pulih, kita takkan mampu menghentikannya lagi.”

“Tapi jika kita serang sekarang, kita kehilangan kesempatan menyusun kekuatan kembali,” sanggah Lyra. “Pasukan kita lemah, semangat hampir habis. Kita bisa binasa semuanya.”

“Lalu apa yang harus kita lakukan?” tanya Arka, matanya tajam. “Duduk dan berharap keajaiban datang?”

Hening menyelimuti ruangan itu, hingga akhirnya Elvanna angkat bicara, suaranya pelan namun pasti. “Mungkin… pengorbanan diperlukan.”

Semua menoleh padanya.

“Ada satu cara untuk menghentikan Morvak sekarang juga,” lanjut Elvanna. “Ritual Penyegelan Jiwa. Mantra kuno yang dapat mengurung kekuatan kegelapan, tetapi membutuhkan energi jiwa… dari seseorang yang rela menyerahkan dirinya sepenuhnya.”

Arka terdiam. Ia tahu apa maksud Elvanna. Dan yang lebih ia pahami: hanya dirinya yang memenuhi syarat untuk melakukan ritual itu—sebagai pewaris Cahaya dan pemegang kunci Gerbang Dunia Terlarang.

“Tidak,” tegas Revan. “Kita tidak berjuang sejauh ini hanya untuk kehilangan dirimu, Arka.”

Namun Arka hanya tersenyum tipis. “Kita berjuang sejauh ini karena sesuatu yang lebih besar dari diri kita. Jika aku harus menyerahkan hidupku agar dunia ini bisa kembali bernapas, maka itu harga yang patut dibayar.”

Malam itu, Arka diam-diam meninggalkan perkemahan. Ia ditemani hanya oleh Elvanna, yang akan membantunya menyelesaikan ritual. Mereka menunggang kuda melalui jalur tersembunyi, melintasi hutan kelam dan danau beku, hingga tiba di kuil Drazhul sebelum fajar menyingsing.

Morvak sudah menunggu di sana, tubuhnya terbungkus bayangan hitam pekat, namun matanya tampak lelah. “Jadi, kau datang untuk mati, Arka?” ujarnya dengan nada mengejek.

“Aku datang untuk mengakhiri semuanya,” jawab Arka tenang.

Pertarungan terakhir pun meletus. Namun kali ini, Arka tidak berniat menang. Ia hanya berniat bertahan cukup lama untuk memulai ritual. Sementara Elvanna melantunkan mantra, Arka bertarung dengan segenap sisa tenaga, melawan amukan Morvak yang semakin gila.

Tubuhnya terpental, luka menganga di dadanya, namun ia terus berdiri. Setiap tetes darah yang menetes hanya mempercepat proses penyegelan. Hingga akhirnya, lingkaran cahaya raksasa terbentuk, mengurung Morvak dalam pusaran sihir yang tak bisa ditembus.

“AR—KA!” teriak Morvak saat bayangan terakhirnya ditarik ke dalam pusaran.

Dengan senyuman terakhir, Arka memejamkan mata. Cahaya meledak dari tubuhnya, menyelimuti kuil dan seluruh lembah, menghapus kegelapan yang tersisa.

Beberapa hari kemudian, langit Dunia Terlarang kembali biru. Reruntuhan kuil Drazhul kini menjadi tempat ziarah para penyintas. Di tengah-tengahnya berdiri batu peringatan dengan ukiran nama Arka, Pembawa Cahaya.

Revan, Lyra, dan Elvanna berdiri di sana dalam hening. Tak ada kata yang cukup untuk menggambarkan rasa kehilangan, namun juga tak ada kebanggaan yang lebih besar daripada menyaksikan seseorang menyerahkan segalanya demi kebaikan semua.

“Dia telah menyelamatkan kita,” bisik Elvanna.

“Bukan hanya kita,” tambah Revan. “Tapi masa depan.”

Dan dari kejauhan, angin berhembus pelan, seolah membisikkan nama Arka… sang pahlawan yang tak pernah meminta dikenang, tapi akan terus hidup dalam kisah dunia yang ia selamatkan.

Bab 12 – Kebenaran Terungkap

Tiga hari telah berlalu sejak pengorbanan Arka. Dunia Terlarang perlahan mulai kembali ke wujud alaminya. Langit yang dulu diselimuti bayangan kini tampak lebih cerah, dan hembusan angin membawa aroma dedaunan basah dan udara segar yang telah lama hilang. Namun, bagi mereka yang kehilangan, waktu seakan berjalan lambat, dibebani oleh rasa duka dan pertanyaan yang belum terjawab.

Revan berdiri di tepi tebing Kordrial, memandangi reruntuhan kuil Drazhul dari kejauhan. Di tangannya tergenggam liontin milik Arka, yang ditemukan di dasar altar penyegelan. Ia merasakan ada sesuatu yang aneh dari liontin itu, seolah menyimpan rahasia yang belum terungkap.

Tak lama kemudian, Lyra datang menghampiri, membawa sehelai naskah tua yang telah pudar oleh waktu. “Ini ditemukan di perpustakaan bawah tanah kuil,” katanya. “Aku yakin ini milik kaum Penjaga Cahaya.”

Revan membuka naskah itu dengan hati-hati. Di halaman pertama tertulis: Catatan Perjalanan Cahaya — Tentang Pewaris dan Takdir Tersembunyi. Dalam lembaran-lembaran berikutnya, mereka menemukan sesuatu yang mengguncang keyakinan mereka: Arka bukan hanya seorang pahlawan yang dipilih oleh takdir, melainkan bagian dari garis keturunan kuno yang terhubung langsung dengan pencipta Gerbang Dunia Terlarang.

“Dia… bukan anak dari dunia kita,” gumam Lyra, suaranya bergetar.

Menurut catatan itu, ribuan tahun lalu, dunia ini diciptakan sebagai tempat pengasingan bagi kekuatan-kekuatan yang tak terkendali—baik terang maupun gelap. Gerbang Dunia Terlarang adalah batas tipis antara realitas dan kekacauan. Para penjaga awal memutuskan untuk menyegel kekuatan itu dengan satu syarat: harus ada jiwa suci yang menjadi ‘penjaga reinkarnasi’, seseorang yang akan lahir kembali di waktu yang tepat untuk menjaga keseimbangan.

Arka adalah reinkarnasi terakhir dari jiwa itu.

Revan terdiam lama. Kini ia memahami mengapa Arka begitu cepat menguasai kekuatan Cahaya, mengapa ia memiliki kemampuan membaca simbol kuno, bahkan mengapa dirinya selalu merasa ‘berbeda’. Semua pertanda sudah ada sejak awal.

Namun, penemuan itu tak berhenti di sana. Di bagian akhir naskah, mereka menemukan catatan tentang keberadaan satu lagi Gerbang—yang lebih besar, tersembunyi di bawah lapisan dunia, dan disebut sebagai Gerbang Awal. Konon, jika gerbang itu terbuka, semua kekuatan—termasuk yang telah tersegel oleh Arka—akan terbebas.

“Kita kira semua sudah selesai,” bisik Lyra. “Tapi ini… baru permulaan.”

Sementara itu, Elvanna berada di ruang meditasi, memandangi bayangan Arka dalam kristal memori. Sebagai seorang penyihir, ia tahu bahwa tidak semua pengorbanan benar-benar menghilangkan keberadaan seseorang. Energi jiwa Arka mungkin telah tersegel, tetapi jejaknya tetap ada.

Tiba-tiba, kristal itu berpendar cahaya. Elvanna terkejut, dan di dalam pantulan kristal muncul bayangan wajah Arka—bukan utuh, melainkan potongan memori yang tertinggal.

“Jika kau membaca ini, maka aku sudah pergi,” suara Arka menggema dalam ruang itu. “Tapi jangan bersedih. Aku tahu kalian akan menemukan kebenaran. Dunia ini belum sepenuhnya selamat. Ada lapisan yang belum kalian lihat… dan hanya kalian yang bisa menjaganya.”

Air mata menetes di pipi Elvanna. Arka telah meramalkan segalanya, bahkan hingga ke kemungkinan mereka akan menemukan Gerbang Awal.

Dengan tergesa, Elvanna menuju ke ruang rapat persekutuan. Ia membawa kristal itu dan meletakkannya di tengah meja batu, memperlihatkan semuanya kepada Revan, Lyra, dan para pemimpin suku yang tersisa.

“Dia meninggalkan pesan,” ujar Elvanna lirih. “Dan kebenaran yang kita tahu selama ini… hanya bagian kecil dari misteri besar dunia ini.”

Semua terdiam. Atmosfer berubah. Tak lagi hanya berduka, kini mereka menatap masa depan yang masih diselimuti ketidakpastian.

Revan mengepalkan tangan. “Kalau begitu, perjuangan belum selesai. Kita harus temukan Gerbang Awal… dan pastikan tidak seorang pun bisa membukanya.”

Lyra mengangguk. “Kita tak bisa membiarkan pengorbanan Arka menjadi sia-sia.”

Dan malam itu, cahaya baru mulai menyala di ruang bawah tanah benteng. Cahaya yang bukan hanya menyinari jalan di depan mereka, tapi juga menggugah kesadaran bahwa kebenaran sejati tidak selalu datang dalam satu waktu. Kadang, kebenaran adalah serpihan yang harus digali, dirangkai, dan akhirnya dihidupi.

Pengorbanan Arka telah membuka jalan. Namun kini, giliran mereka yang harus melangkah—menuju rahasia terakhir dunia yang terlarang.

Bab 13 – Jalan Pulang

Langit Dunia Terlarang mulai berubah warna. Setelah sekian lama dibalut kelabu dan bayangan, kini rona jingga lembut menyelimuti cakrawala, seolah alam sedang menyampaikan pesan bahwa harapan belum benar-benar sirna. Namun di balik ketenangan itu, hati Revan masih bergemuruh.

Ia menatap peta tua yang terbuka di meja batu di hadapannya. Di titik paling bawah, tertera simbol pusaran bercahaya—lambang kuno dari Gerbang Awal, pintu menuju batas terdalam dunia ini, sekaligus harapan satu-satunya untuk kembali ke dunia asal.

“Ini adalah satu-satunya jalan pulang,” ujar Elvanna dengan suara rendah namun mantap. “Tapi juga bisa menjadi akhir segalanya jika kita salah melangkah.”

Lyra, yang duduk tak jauh dari Revan, menundukkan kepalanya. Luka pengkhianatan dan kehilangan Arka masih membekas kuat, namun waktu terus berjalan. Tak ada ruang untuk tenggelam dalam duka. Misi mereka belum selesai.

Perjalanan menuju Gerbang Awal bukan sekadar perjalanan fisik, tapi juga perjalanan batin. Mereka harus melewati tiga rintangan: Labirin Ingatan, Sungai Kehilangan, dan Menara Penyesalan. Ketiganya bukan hanya rintangan nyata, melainkan ujian terhadap keberanian, kesetiaan, dan keteguhan hati.

Mereka berangkat saat fajar pertama menembus langit. Udara dingin menyelimuti langkah-langkah mereka yang pelan namun pasti. Di hadapan mereka terbentang Labirin Ingatan—dinding batu hidup yang berubah-ubah sesuai dengan kenangan terdalam para pelintas.

Begitu mereka melangkah masuk, Revan langsung terperangkap dalam kenangan masa kecilnya. Ia melihat ibunya, sosok yang selama ini hanya ada dalam mimpinya. Ia ingin mendekat, ingin memeluk, namun suara Elvanna memecah lamunannya, “Revan! Itu bukan nyata! Ingatan hanya umpan!”

Dengan kekuatan penuh, ia menolak ilusi itu dan memaksa dirinya keluar dari jerat masa lalu. Begitu pula Lyra yang melihat sosok kakaknya, dan Elvanna yang berhadapan dengan wajah gurunya yang dulu mengkhianatinya.

Mereka bertiga berhasil keluar dari labirin, meski dengan napas terengah dan mata yang merah oleh air mata.

Berikutnya adalah Sungai Kehilangan. Airnya tenang, namun setiap tetes mengandung memori-memori sedih yang membuat hati seakan terkoyak. Untuk melintasinya, mereka harus menyeberang menggunakan rakit yang hanya akan bergerak jika pikiran mereka bersih dari beban.

Revan duduk paling depan, mencoba menenangkan pikirannya. Bayangan Arka kembali muncul. Kali ini bukan dalam bentuk duka, tapi sebagai dorongan. “Kau harus terus berjalan,” seolah kata-kata itu disampaikan langsung oleh sahabatnya.

Rakit itu pun perlahan bergerak, membelah sungai kenangan yang mengusik jiwa. Lyra menutup matanya, mengucap mantra perlindungan, sementara Elvanna memusatkan pikirannya pada cahaya yang masih menyala di liontin peninggalan Arka.

Sesampainya di seberang, mereka hanya punya satu tantangan terakhir: Menara Penyesalan. Menara ini tinggi menjulang, dikelilingi awan kelabu yang memancarkan energi berat. Di dalamnya, tiap orang akan dihadapkan pada kesalahan terbesarnya, dan hanya yang mampu memaafkan diri sendiri yang bisa melangkah ke puncak.

Revan menghadapi sosok dirinya sendiri—versi dirinya yang ragu, pengecut, dan pernah ingin menyerah. Mereka bertarung dalam bayangan dan kata-kata. Tapi akhirnya Revan berdiri tegak, menatap dirinya dan berkata, “Aku memang pernah gagal, tapi aku memilih untuk bangkit.”

Lyra bertemu dengan wajah anak-anak yang pernah ia tinggalkan demi bergabung dengan pasukan Penjaga Cahaya. Ia menangis, tapi akhirnya berlutut dan berkata lirih, “Maafkan aku… Aku akan menebus semuanya.”

Elvanna, yang terakhir, menghadapi wajah kakaknya sendiri—sosok yang dulu ia biarkan mati dalam sebuah ritual kuno demi ilmu sihir. Ia menjerit, tubuhnya gemetar. Namun perlahan, ia membisikkan mantra pengampunan, membiarkan luka itu sembuh perlahan.

Ketika mereka tiba di puncak menara, Gerbang Awal terbuka perlahan. Di dalamnya, pusaran cahaya biru dan emas bersinar lembut, membentuk lingkaran besar yang tampak seperti langit malam yang hidup.

Namun sebelum melangkah, Revan menoleh ke belakang. Dunia Terlarang yang dulu kelam, kini tampak mulai pulih. Hutan-hutan kembali hijau, dan langit tak lagi muram.

“Jika kita kembali… siapa yang akan menjaga dunia ini?” tanyanya pelan.

Lyra menjawab, “Mungkin suatu saat nanti, kita harus kembali. Tapi untuk sekarang, kita pulang… dan membawa kisah ini pada dunia kita.”

Mereka bergandengan tangan dan melangkah masuk ke dalam gerbang. Cahaya menyelimuti mereka. Dunia Terlarang perlahan menghilang dari pandangan… namun jejaknya tetap abadi di hati mereka.

Dan di kejauhan, pada reruntuhan kuil tempat Arka berkorban, cahaya kecil menyala kembali. Seakan semesta ingin berkata: kisah belum berakhir.

Bab 14 – Pertemuan Kembali

Udara di dunia asal terasa berbeda bagi Revan, Lyra, dan Elvanna. Terik matahari yang hangat, aroma tanah yang akrab, dan gemuruh kehidupan kota yang dulu mereka anggap biasa, kini menyambut mereka bak simfoni yang telah lama dirindukan. Mereka berdiri di atas reruntuhan kuil tua di pinggiran hutan, tempat di mana semuanya bermula—tempat di mana portal menuju Dunia Terlarang dahulu terbuka.

Langit biru membentang luas di atas kepala mereka, kontras dengan kelamnya perjalanan yang baru saja mereka lalui. Namun, dalam kedamaian ini, ada pertanyaan yang menggantung di benak mereka: apakah dunia ini masih sama seperti yang mereka tinggalkan?

Revan menatap sekeliling dengan pandangan bingung. “Kita hanya pergi beberapa minggu, tapi rasanya seperti bertahun-tahun…”

Lyra mengangguk pelan. “Karena kita telah berubah. Dunia di sana mengubah kita.”

Elvanna tidak banyak bicara. Sorot matanya tetap tajam, tetapi ada kelembutan baru di balik tatapan itu—kelembutan yang tumbuh dari rasa kehilangan, pengampunan, dan pengorbanan.

Mereka berjalan menuju desa terdekat, tempat keluarga Revan tinggal. Langkah-langkah mereka terasa berat oleh rasa rindu, namun juga diiringi ketegangan akan reaksi dunia yang mereka tinggalkan. Apakah mereka masih dianggap hilang? Ataukah dunia telah melupakan mereka?

Setibanya di desa, suasana berubah. Anak-anak berhenti bermain, para petani menghentikan pekerjaan mereka, dan bisik-bisik mulai terdengar. Mereka mengenali Revan—anak muda yang menghilang secara misterius. Dan kini, ia kembali… bersama dua sosok asing yang auranya menggetarkan.

Seseorang berlari mendekat. Seorang wanita tua, dengan mata berkaca-kaca, merangkul Revan erat. “Anakku… Revan… Kau kembali… Aku pikir kau sudah mati…”

Revan memeluk ibunya erat, air matanya menetes tanpa ditahan. Tak ada kata-kata yang bisa menggambarkan betapa dalam rasa rindunya.

“Aku kembali, Bu… Aku kembali…”

Penduduk desa mulai mengelilingi mereka, sebagian penuh haru, sebagian lagi diliputi rasa penasaran dan takut. Elvanna dan Lyra berdiri dengan tenang, membiarkan Revan meresapi momen itu.

Beberapa jam kemudian, di rumah Revan yang sederhana, suasana menjadi lebih tenang. Mereka bertiga duduk di hadapan Kepala Desa, yang mendengarkan dengan seksama cerita Revan tentang dunia yang mereka jelajahi. Tentu, tidak semua bisa diceritakan secara gamblang. Mereka menyederhanakan kisah itu: tentang dunia lain yang penuh bahaya, tentang pertarungan dan kehilangan, dan tentang sebuah kekuatan yang nyaris menghancurkan segalanya.

“Aku tahu ini sulit dipercaya,” ujar Revan, “tapi kami harus memberitahu dunia bahwa ancaman dari sana belum benar-benar berakhir. Suatu saat, gerbang itu bisa terbuka kembali.”

Kepala Desa mengangguk pelan. “Aku tidak tahu apakah dunia akan percaya… Tapi jika apa yang kau katakan benar, maka kalian harus bersiap. Dunia akan membutuhkan orang-orang seperti kalian.”

Lyra menoleh ke Revan dan Elvanna. “Mungkin ini belum akhir perjalanan kita. Mungkin, ini justru awal dari peran kita sebagai penjaga dua dunia.”

Malam itu, mereka bertiga duduk di luar rumah, menatap bintang-bintang yang berkelip di langit. Suasana hening, namun hati mereka penuh makna. Dunia ini, yang dulu terasa sempit, kini terbentang lebih luas dengan makna dan tanggung jawab.

“Arka pasti bangga pada kita,” ujar Lyra pelan.

Revan mengangguk. “Aku akan pastikan pengorbanannya tidak sia-sia.”

Elvanna memejamkan mata. Di balik tatapannya yang dingin, ada janji yang ia bisikkan pada dirinya sendiri. Bahwa ia tak lagi akan menjadi bayangan dari masa lalunya. Bahwa ia kini punya tujuan baru.

Tiba-tiba, dari arah hutan, terdengar suara langkah kaki cepat. Seorang pria muda berlari dengan wajah panik. “Ada yang aneh di kuil! Cahaya biru muncul lagi!”

Mereka bertiga langsung bangkit. Meskipun mereka telah kembali, dunia belum selesai berbicara kepada mereka.

“Sepertinya kita belum selesai,” kata Revan, setengah tersenyum.

Lyra mencabut pedang kecilnya. “Maka kita hadapi bersama.”

Dan Elvanna, dengan mata tajamnya yang kembali menyala, menambahkan, “Karena sekarang, kita bukan hanya penyintas. Kita adalah penjaga batas antara dua dunia.”

Mereka berlari menuju kuil, diiringi semilir angin malam yang mengusik dedaunan. Cahaya biru yang dulu menjadi awal petualangan mereka kini kembali bersinar. Mungkin bukan untuk membuka jalan kembali, tetapi untuk mengingatkan: bahwa dunia terlarang itu tak pernah benar-benar tertutup.

Dan dengan langkah pasti, mereka menyambut cahaya itu—bukan sebagai pelarian, tetapi sebagai para pejuang yang telah menemukan kembali siapa diri mereka sebenarnya.

Bab 15 – Gerbang Baru

Cahaya biru itu menyala dengan intensitas yang lebih besar daripada sebelumnya. Getarannya terasa hingga ke dasar tanah, seperti gemuruh jantung dunia yang perlahan bangkit dari tidur panjangnya. Di tengah reruntuhan kuil tua, Revan, Lyra, dan Elvanna berdiri berjajar. Tatapan mereka tertuju pada celah energi yang mulai terbuka—gerbang yang selama ini mereka kira telah tertutup untuk selamanya.

Namun kali ini, cahaya itu berbeda. Bukan liar dan mencekam seperti saat pertama kali mereka menyeberang. Ada ritme dalam sinarnya, seperti denyut kehidupan yang mencoba menyampaikan pesan: dunia di seberang sana belum selesai berbicara.

“Ini bukan hanya kebetulan,” ujar Lyra, pelan namun tegas. “Gerbang itu… memanggil kita lagi.”

Revan merasakan bulu kuduknya meremang. “Tapi untuk apa? Kita sudah menyelamatkan mereka. Kita sudah kembali.”

Elvanna, yang sejak tadi diam, perlahan melangkah mendekat. Aura dinginnya seolah berpadu dengan pancaran cahaya biru dari gerbang. “Atau mungkin bukan hanya untuk kita. Dunia di sana dan di sini… mulai saling terhubung.”

Mereka terdiam. Ucapan Elvanna mengandung kebenaran yang menakutkan. Jika kedua dunia benar-benar mulai terhubung secara permanen, maka batas antara keduanya bisa menghilang. Dan jika begitu, apa yang pernah mengancam dunia terlarang bisa mengalir ke dunia manusia—dan sebaliknya.

Suara dentuman keras terdengar dari dalam cahaya. Sebuah bayangan muncul, samar dan goyah, namun perlahan membentuk siluet yang familier. Sosok tinggi, berjubah panjang, dengan mata menyala lembut warna emas. Revan menyipitkan mata, mencoba mengenali sosok itu.

“Tidak mungkin…” bisiknya.

Sosok itu melangkah keluar dari cahaya, dan semua mata membelalak.

“Arka,” gumam Lyra, matanya berkaca-kaca.

Arka berdiri di hadapan mereka, meski tubuhnya tampak seperti ilusi cahaya. Suaranya terdengar lembut, namun jelas.

“Aku bukan lagi manusia seperti kalian kenal. Tubuhku hancur dalam pertempuran terakhir… tapi jiwaku tetap tinggal di antara dimensi. Aku menjaga gerbang ini… menanti waktu yang tepat.”

Revan maju satu langkah. “Mengapa gerbang ini terbuka lagi? Apa yang sedang terjadi?”

“Dunia kita mulai retak,” jawab Arka. “Keseimbangan antara terang dan gelap terganggu. Apa yang kalian lakukan telah menyelamatkan banyak jiwa… tapi juga membangkitkan sesuatu yang lebih tua, lebih purba dari kegelapan yang pernah kalian hadapi.”

Lyra menggertakkan giginya. “Apa yang harus kami lakukan, Arka?”

“Bersiaplah… Dunia kalian akan membutuhkan lebih dari sekadar penjaga. Akan butuh pemimpin, penyatu, dan penjaga batas baru. Gerbang ini bukan lagi jalan satu arah. Ini adalah jembatan. Dan kalian, adalah jembatannya.”

Gerbang mulai bergetar, dan cahaya kian menyilaukan. Arka tersenyum, meski senyumnya diliputi aura kesedihan. “Aku tidak bisa lama di sini. Tapi ingat, kalian tidak sendiri. Banyak yang akan bangkit dari kedua dunia untuk bergandengan. Jangan takut akan yang tidak kalian mengerti. Peluklah kekuatan kalian, dan jagalah harapan.”

Dalam sekejap, cahaya Arka memudar, menyatu dengan pusaran energi. Gerbang kembali stabil, kini menyisakan lingkaran berkilauan di udara, menggantung seperti cermin yang menghubungkan dua dunia.

Elvanna menatap lingkaran itu dengan pandangan dalam. “Jika gerbang ini adalah awal baru, maka kita harus memastikan tidak ada yang salah langkah.”

Revan mengangguk. “Kita bangun penjagaan. Kita ajarkan pada orang-orang bahwa dunia ini… tidak berdiri sendiri.”

Mereka bertiga sepakat. Dalam beberapa pekan ke depan, kuil tua itu direnovasi dan dijadikan tempat penelitian serta penjagaan. Para ahli dipanggil, ilmuwan dan sejarawan berdatangan, mencoba memahami dan menjaga apa yang kini disebut sebagai Gerbang Baru.

Namun mereka tahu, bukan hanya ilmu yang dibutuhkan. Diperlukan jiwa-jiwa pemberani, yang telah melihat apa yang ada di balik cahaya, untuk menjadi pelindung sejati.

Di malam hari, Revan berdiri di tepi bukit, memandang ke arah kuil yang kini diterangi lentera dan sinar dari gerbang yang terus menyala. Langit berbintang, seolah menyaksikan langkah baru yang akan ia ambil.

Lyra datang menghampiri, membawa dua cangkir teh panas. “Kau yakin siap?”

Revan tersenyum menerima cangkirnya. “Bukan soal siap atau tidak. Tapi soal apakah ini benar. Dan rasanya, kali ini, ini adalah takdir kita.”

Elvanna menyusul, berdiri di samping mereka. “Aku tidak percaya pada takdir. Tapi aku percaya pada pilihan. Dan aku memilih untuk tetap di sini… menjaga gerbang ini bersama kalian.”

Tiga sahabat, tiga pejuang, tiga jiwa yang terikat oleh petualangan melintasi dunia, kini bersatu kembali—bukan untuk berperang, tetapi untuk menjaga damai. Sebab mereka tahu, dunia tidak lagi berdiri sendiri. Ada jalan di antara bintang-bintang dan kegelapan, dan mereka adalah penjaganya.

Dan dari balik gerbang yang terus bersinar, sesuatu memandang mereka kembali. Bukan sebagai musuh, melainkan sebagai awal dari era baru: masa depan di mana dua dunia tak lagi terpisah… tapi berjalan berdampingan.***

——————————-THE END————————

Source: Shifa Yuhananda
Tags: #Duniaparalel#FantasiEpik#RahasiaMasaLaluGerbangMisteriusPahlawanTerpilihPengorbananDanPersahabatanPertempuranAntaraTerangDanGelapPetualanganLintasDimensi
Previous Post

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

Next Post

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

Next Post
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

MOVIE REVIEW

No Content Available

RECENT MOVIE

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025

Tentang Kami

NovelStory.id adalah platform media online yang menghadirkan beragam cerita menarik seperti dalam novel dan drama, dirancang untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan yang berkualitas dan penuh imajinasi. Kami percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh hati, menginspirasi, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh keajaiban.

Recent News

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025

Follow Us

  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 https://novelstory.id

No Result
View All Result
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah

© 2025 https://novelstory.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In