• Latest
  • Trending
  • All
  • Movie Review
  • Box Office
  • Trailer
  • Action
  • Romantic
  • Comedy
  • Horror
  • Serial Movie
  • Genre
GEMA LANGKAH DI TENGAH MALAM

GEMA LANGKAH DI TENGAH MALAM

May 1, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025
JEJAK DI PINTU TERLARANG

JEJAK DI PINTU TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

May 17, 2025
TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

May 17, 2025
PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

May 12, 2025
HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

May 12, 2025
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

May 10, 2025
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

LUKISAN YANG MENANGIS

May 10, 2025
  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
No Result
View All Result
Novel Story
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah
Novel Story
GEMA LANGKAH DI TENGAH MALAM

GEMA LANGKAH DI TENGAH MALAM

by SAME KADE
May 1, 2025
in Misteri & Thriller
Reading Time: 29 mins read

Bab 1: Langkah Pertama

Hujan turun perlahan, mengirimkan irama lembut di atas genting tua yang mulai berlumut. Udara malam membawa hawa lembap bercampur dingin, meresap hingga ke tulang. Di bawah cahaya temaram lampu jalan yang berkedip-kedip, sebuah mobil berhenti di depan rumah bercat abu-abu pudar yang berdiri di ujung jalan kecil tanpa nama. Di sanalah Alya berdiri, menatap bangunan tua yang kini menjadi miliknya—warisan dari nenek yang baru saja meninggal tiga minggu lalu.

Rumah itu tampak sunyi. Terlalu sunyi.

Alya menarik napas panjang. Tas selempangnya disampirkan di bahu, dan sebuah koper besar ia seret menaiki tiga anak tangga yang retak di bagian pinggirnya. Kunci yang diberikan oleh notaris terasa dingin di tangannya, seolah enggan untuk memutar lubang kunci yang berkarat. Setelah beberapa usaha, pintu tua itu terbuka dengan derit pelan yang memecah keheningan seperti rintihan kesakitan.

“Akhirnya sampai juga…” gumam Alya sambil melangkah masuk.

Ruangan dalam rumah dipenuhi aroma kayu tua dan debu. Beberapa lemari tua masih berdiri di tempatnya, meja makan bundar di tengah ruang keluarga masih lengkap dengan taplak renda yang telah menguning. Di dinding tergantung foto neneknya, tersenyum lembut seperti menyambut kedatangannya.

Tapi Alya merasakan sesuatu yang ganjil sejak langkah pertamanya memasuki rumah itu. Ada kesunyian yang bukan sekadar kosong—melainkan kesunyian yang mengamati.

Malam menjelang cepat. Usai membongkar sebagian isi koper dan mengganti pakaian, Alya berbaring di kamar utama lantai bawah. Lampu meja menyala redup, dan suara hujan masih setia menemani. Belum sempat matanya terpejam, ia mendengar suara… langkah kaki.

Tap… tap… tap…

Langkah pelan, seperti seseorang berjalan tanpa ingin diketahui. Alya menahan napas, tubuhnya menegang. Ia yakin—sangat yakin—tidak ada siapa pun di rumah itu selain dirinya.

Langkah itu terdengar lagi, kali ini lebih jelas. Dari atas. Dari lantai dua. Alya belum sempat membersihkan area tersebut, bahkan belum menyentuh tangga yang mengarah ke atas. Rumah itu seharusnya kosong.

Ia duduk perlahan, menajamkan telinga. Langkah itu berhenti.

Sunyi.

Alya menelan ludah. Matanya terpaku ke langit-langit kayu yang mengeluarkan bunyi berderit samar, seolah masih menyimpan jejak kaki seseorang… atau sesuatu.

Ia bangkit, mengambil senter kecil dari tasnya, dan melangkah ke arah tangga. Tapi langkahnya terhenti ketika suara itu terdengar lagi. Kali ini sangat dekat. Seolah berada tepat di atasnya.

Tap… tap…

Lalu—hening. Hanya detak jantungnya yang berdetak kencang, bersaing dengan suara hujan yang mulai mereda di luar.

Malam itu, Alya tidak naik ke lantai dua. Ia memilih kembali ke kamarnya, berusaha mengabaikan semua logika yang menjerit di kepalanya. Tapi satu hal pasti: sejak langkah pertama di rumah itu, ia tahu… ia tidak sendiri.

Bab 2: Surat Tak Bernama

Pagi datang dengan enggan, seakan langit pun masih belum siap menghapus bayang-bayang malam yang penuh kegelisahan. Sinar matahari menembus tirai kamar dengan lemah, nyaris tak mampu menghangatkan dinginnya udara yang menyelimuti rumah tua itu. Alya terbangun dengan tubuh pegal dan mata sembab. Ia menghabiskan malam dalam kegelisahan, terus mendengar suara langkah samar yang entah berasal dari mana.

Dengan langkah lesu, ia menuju dapur, berharap secangkir kopi bisa sedikit meredakan rasa tegang di dadanya. Aroma kopi perlahan memenuhi udara, membawa sedikit kenyamanan. Namun kenyamanan itu sirna seketika ketika matanya menangkap sesuatu yang aneh di sela tumpukan buku tua di meja ruang tengah.

Sebuah amplop kusam, usang, dengan noda kecokelatan di sudutnya. Tak ada nama penerima. Tak ada pengirim. Hanya selembar kertas kuning tua yang terlipat rapi di dalamnya.

Alya membuka amplop itu perlahan. Kertas di dalamnya mulai rapuh, tapi tulisannya masih jelas terbaca. Tulis tangan yang tergesa, seperti ditulis dalam keadaan panik.

“Jika kau membaca ini, berarti kau telah melangkah terlalu jauh. Jangan percaya suara itu. Ia bukan hanya gema. Ia adalah bayangan yang tak pernah pergi, menunggu untuk ditemukan kembali.”

Alya terdiam. Jantungnya berdetak cepat, telapak tangannya mulai berkeringat. Ia membaca ulang tulisan itu, mencoba memahami maksud dari setiap kalimat.

“Ia bukan hanya gema?” gumamnya pelan.

Pikiran Alya langsung melayang pada suara langkah yang ia dengar semalam. Suara itu memang seperti gema—berulang, tak memiliki sumber yang jelas. Namun ada ketidakwajaran dalam gema itu, seolah memiliki nyawa sendiri. Apakah surat ini ditulis oleh seseorang yang pernah tinggal di rumah ini? Atau… oleh seseorang yang tidak pernah keluar dari rumah ini?

Alya memeriksa kembali amplop tersebut. Di balik lipatan dalam, ada secarik kecil kertas tambahan, kali ini hanya tertulis satu kalimat:

“Jangan pernah buka loteng, kecuali kau siap kehilangan dirimu.”

Ia menelan ludah. Loteng. Tempat yang belum ia jamah sejak kedatangannya. Pintu loteng itu bahkan terkunci rapat, dan kuncinya entah di mana.

Surat itu membuat pikirannya kacau. Ia berusaha tetap rasional, mencoba meyakinkan diri bahwa ini hanyalah permainan pikiran yang dipicu rasa lelah dan suasana rumah tua. Namun bagian dalam dirinya tahu—ada sesuatu yang tidak beres. Sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan logika.

Hari itu, Alya menghabiskan waktu membersihkan ruang tengah, berharap kegiatan itu bisa mengalihkan pikirannya. Namun surat itu tetap terpatri dalam benaknya. Kalimat demi kalimat bergema di kepalanya, lebih nyaring daripada suara langkah yang ia dengar malam tadi.

Dan saat malam menjelang, tepat pukul satu lewat tiga belas menit—jam antik di ruang tamu berhenti berdetak. Lagi.

Sejurus kemudian, suara langkah itu terdengar lagi.

Tap… tap… tap…

Tapi kini Alya tidak hanya mendengarnya. Ia merasa langkah itu mengarah ke bawah, mendekati tempatnya berada.

Ia menatap langit-langit dengan mata membulat.

Di luar, angin malam mulai berhembus pelan, membawa bisikan samar yang menyerupai suara… tangisan.

Bab 3: Suara dari Loteng

Malam datang tanpa aba-aba, menyelimuti langit dengan awan kelabu yang menutupi cahaya bulan. Rumah itu kembali sunyi, seperti menahan napas menjelang sesuatu yang tak terelakkan. Alya duduk di ruang tamu, memeluk lututnya sendiri. Ia menatap jam antik di dinding—jarum panjangnya terus mendekati angka dua belas, dan jarum pendek sudah bersiap menjemput waktu yang sama seperti malam sebelumnya.

Pukul 01.13.

Seolah ada pola yang tak kasatmata, waktu itu selalu datang membawa pertanda.

Alya tak bisa tidur. Bukan karena kopi yang diminumnya sore tadi, melainkan karena isi kepalanya dipenuhi teka-teki: suara langkah, surat tanpa nama, dan loteng yang dikunci rapat. Loteng yang perlahan menjadi pusat segala misteri.

Dan malam ini, suara itu datang lebih cepat.

Tap… tap… tap…

Langkah itu terdengar dari atas kepalanya. Dari loteng.

Alya memejamkan mata sejenak, berharap suara itu hanya bayangan pikirannya. Tapi tidak. Suara itu benar-benar nyata. Bahkan terdengar lebih jelas dari malam sebelumnya. Tidak hanya langkah, tapi seperti suara seseorang menyeret sesuatu—pelan, berat, menekan setiap kayu lantai hingga berderit panjang.

Dengan napas tertahan, Alya bangkit. Ia mengambil senter dan ponselnya, lalu berjalan perlahan ke arah tangga kayu yang menuju lantai dua. Tangga itu sudah lama tak digunakan, penuh debu dan sarang laba-laba. Setiap injakan kakinya menghasilkan suara berderak yang mengganggu kesunyian malam.

Sesampainya di lantai dua, Alya berdiri tepat di depan pintu loteng. Pintu kayu tua itu terlihat rapuh namun misterius. Gagang pintunya berkarat, dan gembok kecil menggantung di sana—masih terkunci.

Namun, dari balik celah pintu itu, terdengar jelas… suara bisikan.

Bisikan yang nyaris tak terdengar kata-katanya, namun cukup jelas untuk membuat bulu kuduk Alya meremang. Suara itu seperti berasal dari dua arah—dari dalam dan dari pikirannya sendiri.

Tiba-tiba, pintu bergetar pelan. Seolah seseorang—atau sesuatu—berada di balik sana, mencoba keluar.

Alya mundur satu langkah. Tangannya gemetar, senter di genggamannya hampir terjatuh.

Kemudian—diam.

Suara menghilang begitu saja, meninggalkan keheningan yang lebih menusuk daripada suara langkah itu sendiri.

Alya menunduk. Di bawah pintu loteng, ia melihat bayangan. Bayangan kaki. Tapi saat ia menyorotkan senter, tak ada apa pun di sana.

Ia menahan napas dan menatap gembok dengan lebih teliti. Di sana, tergores sesuatu—tulisan kecil nyaris tak terbaca. Dengan susah payah, ia mengeja:

“Kau yang mendengar, kau yang akan membuka.”

Alya mundur perlahan, napasnya terengah. Ia tahu, cepat atau lambat, ia akan membuka pintu itu. Bukan karena keberanian, tapi karena satu hal:

Penasaran adalah ketakutan yang berubah wujud.

Dan malam itu, saat Alya turun kembali ke bawah, suara dari loteng terdengar sekali lagi.

Tapi kini, suara itu tertawa.

Bab 4: Tetangga yang Terlalu Diam

Pagi itu, matahari menyinari rumah tua dengan cahaya pucat. Alya duduk di beranda depan sambil menyesap teh hangat, mencoba mengusir rasa dingin yang masih tertinggal dari malam mencekam sebelumnya. Matanya menatap lurus ke seberang jalan, ke arah rumah tetangga yang letaknya persis di hadapan rumah warisan neneknya.

Rumah itu terlihat rapi, pagar putih bersih, dan taman kecil yang terawat. Namun ada yang aneh—terlalu sepi. Sejak hari pertama Alya pindah, ia belum sekalipun melihat penghuni rumah itu keluar. Bahkan tak ada tanda-tanda kehidupan—tidak ada suara televisi, tidak ada suara pintu, tidak ada tawa, atau bahkan sekadar lampu yang menyala malam hari.

Alya menggigit bibir bawahnya, ragu. Tapi rasa ingin tahunya lebih kuat. Ia meletakkan cangkir teh di meja kecil dan melangkah keluar pagar.

Rumah tetangga itu tampak tenang. Terlalu tenang.

Saat ia mengetuk pintu pagar, tak ada respons. Ia mencoba lagi, kali ini sedikit lebih keras. Masih diam. Ia melirik ke jendela samping—tirai tertutup rapat. Ia hampir menyerah, hingga suara berat terdengar dari balik pintu:

“Ada apa, Nona?”

Alya tersentak. Seorang pria paruh baya berdiri di balik pintu besi, mengenakan sweater kusam dan celana panjang berwarna gelap. Wajahnya datar, nyaris tanpa ekspresi.

Alya mencoba tersenyum.

“Maaf, saya baru pindah ke rumah seberang. Saya hanya ingin menyapa.”

Pria itu mengangguk pelan, tapi tatapannya tajam, mengamati Alya dari ujung kepala hingga kaki.

“Rumah itu… kosong cukup lama,” gumamnya. “Tak banyak orang betah tinggal di sana.”

Alya mengerutkan kening. “Kenapa begitu?”

Pria itu terdiam cukup lama sebelum menjawab, “Banyak yang bilang… mereka mendengar suara dari loteng. Tapi biasanya mereka pergi sebelum sempat tahu siapa yang membuat suara itu.”

Alya menahan napas. Ia ingin bertanya lebih jauh, namun pria itu sudah melangkah mundur dan menutup pintu perlahan.

“Jangan terlalu dalam, Nona. Rumah itu tidak suka diperhatikan.”

Klik.

Pintu tertutup rapat.

Alya berdiri terpaku beberapa detik sebelum akhirnya kembali ke rumahnya. Kata-kata pria itu terus terngiang di kepalanya. “Rumah itu tidak suka diperhatikan.”

Apa maksudnya?

Setelah makan siang, Alya memutuskan membuka lemari tua di ruang kerja milik neneknya. Di dalamnya, ia menemukan setumpuk buku, surat-surat, dan… sebuah kotak kayu kecil dengan kunci tergantung di sampingnya. Kunci itu berkarat, namun masih bisa digunakan.

Dengan hati-hati, ia membuka kotak tersebut.

Isinya: foto-foto tua. Beberapa di antaranya menunjukkan rumah itu di masa lampau—masih terawat, dengan halaman yang penuh bunga. Namun di balik salah satu foto, tertulis dengan tinta merah yang mulai luntur:

“Jangan pernah bertanya pada tetangga. Mereka lebih tahu dari yang mereka akui.”

Alya membeku. Ia memandangi tulisan itu cukup lama. Pria tadi… apa ia sedang memperingatkan atau menyembunyikan sesuatu?

Saat malam kembali datang, suara dari loteng tak lagi terdengar seperti langkah kaki.

Kini… terdengar seperti bisikan orang-orang yang mengenalnya.

Bab 5: Catatan Harian Tersembunyi

Hujan turun sejak siang, membasahi setiap sudut rumah tua itu dan membuat suasana kian muram. Petir sesekali menyambar, disusul gemuruh yang menggema di langit mendung. Alya duduk di lantai kayu ruang belakang, di antara tumpukan buku dan barang-barang peninggalan neneknya yang belum sempat dibongkar sejak kedatangannya.

Ia merasa ada sesuatu yang belum ditemukannya. Sesuatu yang tersembunyi, seolah memanggil, menunggu untuk digali dari balik debu masa lalu.

Perhatiannya tertuju pada lemari kayu tua di pojok ruangan, tertutup debu tebal dan sarang laba-laba. Dengan langkah pelan dan hati-hati, ia membuka lemari tersebut. Di dalamnya, hanya ada satu rak berisi tumpukan kain lusuh dan satu kotak kecil berwarna hitam. Kotak itu tampak biasa, namun ketika ia mengangkatnya, terasa ada rongga di bawahnya.

Dengan rasa penasaran yang semakin membuncah, Alya mengangkat semua isi rak dan menyentuh bagian dasar lemari. Kayunya terasa aneh. Setelah mengetuk-ngetuk ringan, ia menyadari: ada bagian yang bisa dibuka.

Perlahan, ia mencongkel sisi papan dengan pisau kecil yang ia ambil dari dapur. Dan benar saja—papan itu terangkat, memperlihatkan ruang sempit tempat sebuah buku usang tersembunyi.

Sebuah catatan harian.

Sampulnya dari kulit cokelat tua yang sudah mulai mengelupas. Tanpa nama, tanpa tanggal. Hanya terdapat satu simbol kecil di pojok kanan bawah: lukisan mata tertutup.

Alya membuka halaman pertama. Tulisan tangan yang rapi namun sedikit bergelombang memenuhi lembar demi lembar.

“Hari ke-17. Suara itu kembali, mengetuk di atas saat jam menunjukkan pukul satu lewat tiga belas. Aku sudah menuliskan semua jadwalnya, dan suara itu selalu datang tepat waktu. Ia seperti menyadari keberadaanku. Seperti sedang menunggu aku membuka pintu loteng.”

Alya menelan ludah. Pukul satu lewat tiga belas—jam yang sama dengan suara yang didengarnya selama ini.

Ia terus membaca.

“Hari ke-23. Aku melihat bayangan di cermin ruang belakang. Padahal aku sedang sendiri. Ia berdiri di belakangku, tidak bergerak, tidak bicara, hanya… menatap.”

“Hari ke-29. Aku mencoba bertanya pada tetangga. Mereka hanya diam. Mereka tahu, tapi tak pernah bicara. Mereka semua menyembunyikan sesuatu. Termasuk aku. Termasuk kau yang membaca ini sekarang.”

Alya terhenti. Dadanya sesak. Kata-kata terakhir itu terasa seperti ditulis untuknya. Seolah penulis catatan ini tahu akan ada seseorang yang membacanya, bertahun-tahun kemudian.

Ia membalik ke halaman terakhir. Hanya ada satu kalimat, ditulis dengan goresan tinta yang tergesa-gesa dan sedikit menumpuk darah kering.

“Jangan biarkan mereka tahu bahwa kau sudah membaca ini. Jangan tunjukkan ketakutanmu.”

Tiba-tiba, terdengar bunyi ketukan dari arah jendela.

Alya tersentak. Ia menoleh cepat, tapi tak ada siapa pun di luar sana. Hanya tirai putih yang bergerak pelan diterpa angin malam.

Ia memeluk buku harian itu erat-erat. Hujan di luar makin deras. Namun di dalam rumah, suara itu kembali terdengar.

Suara langkah dari loteng.

Bab 6: Jam yang Berhenti

Angin malam menembus celah-celah jendela, membawa suara-suara samar dari luar yang bercampur dengan desir hujan yang belum juga reda sejak sore. Di tengah rumah yang remang-remang, hanya suara detik jam tua di ruang tengah yang terdengar, mengisi kekosongan dengan ritme waktu yang konsisten.

Tik. Tik. Tik.

Alya duduk di kursi goyang, memeluk catatan harian yang semalam ia temukan. Tatapannya tertuju pada jam antik besar yang menempel di dinding, tepat di atas rak buku neneknya. Jam itu sudah ada sejak ia masih kecil. Ia bahkan ingat, jarum jam itu tak pernah berhenti meskipun rumah ini kosong bertahun-tahun lamanya.

Namun malam itu berbeda.

Tik. Tik. Tik…

Lalu—diam.

Jarum jam berhenti pada pukul 01.13.

Alya membeku.

Bukan hanya karena waktu yang berhenti di angka yang sama dengan waktu munculnya suara langkah di loteng, tetapi juga karena suasana di sekelilingnya berubah.

Udara menjadi lebih dingin. Sunyi menjadi terlalu pekat. Dan dinding-dinding rumah seperti bergeming, seolah menahan napas bersama Alya.

Ia berdiri perlahan, mendekati jam tua itu. Jarum detik tak bergerak. Tidak ada suara dari mesinnya. Ia mencoba menyentuh permukaannya—dingin, lebih dingin dari logam biasa. Seolah jam itu menyimpan sesuatu… atau menyembunyikan sesuatu.

Dalam kegelisahannya, Alya mengambil bangku kecil dan membuka bagian belakang jam. Ada ruang sempit di dalamnya, tempat mesin jam biasa dipasang. Namun, sesuatu menarik perhatiannya—sepotong kertas tua yang dilipat rapi, diselipkan di balik mesin jam.

Tangannya gemetar saat ia menarik kertas itu keluar.

Tulisannya hampir pudar, namun masih bisa dibaca:

“Jika waktu berhenti, itu tandanya ia datang. Jangan bergerak. Jangan bersuara. Dengarkan saja napasnya.”

Alya membalikkan tubuhnya refleks. Matanya menyapu ruangan. Tidak ada siapa pun. Tapi perasaannya berkata lain—ia tidak sendiri.

Lalu ia mendengarnya.

Napas.

Panjang, berat, dan dalam. Sangat dekat. Seperti berdiri tepat di belakangnya. Ia tak berani menoleh. Tangan kanannya mencengkeram lembaran kertas, sementara tangan kirinya berusaha meraih senter kecil di atas meja.

Dalam diam yang memekakkan, suara langkah kembali terdengar.

Satu langkah… dua langkah…

Tapi kali ini bukan dari loteng.

Langkah itu datang dari dalam rumah. Dari belakangnya.

Alya menggigit bibir, menahan desakan untuk berteriak. Ia memejamkan mata, berharap suara itu hanya ilusi. Namun ketika ia membuka mata kembali, jam tua itu berdetak lagi.

Tik. Tik. Tik.

Tapi jarumnya tetap di angka 01.13.

Waktu bergerak, tapi tak berubah.

Dan dalam bayangannya yang mulai kabur, Alya tahu—jam itu tidak berhenti karena rusak. Ia berhenti karena sesuatu telah bangkit.

Bab 7: Jejak Tanpa Wujud

Fajar baru saja menyingsing, namun langit masih kelabu. Kabut tipis menyelimuti halaman rumah, menciptakan bayang-bayang samar di antara pepohonan yang meranggas. Alya belum tidur sejak semalam. Jam tua di ruang tengah masih menunjuk pukul 01.13, seakan waktu benar-benar terhenti sejak kejadian itu.

Namun ada sesuatu yang lebih mengusik pagi itu.

Saat membuka pintu depan, Alya menemukan jejak kaki di halaman.

Jejak berlumpur itu memanjang dari pagar menuju pintu rumahnya, padahal hujan telah reda sejak malam dan tanah seharusnya telah mengering. Anehnya, jejak itu tidak menunjukkan pola manusia biasa—ukuran kaki terlalu panjang, terlalu sempit, dan tidak beraturan.

Yang lebih aneh lagi—jejak itu hanya satu arah. Masuk. Tidak ada jejak keluar.

Alya mengikuti jejak itu dengan napas tertahan. Ia membuka pintu lebih lebar dan menyadari bahwa jejak berlumpur itu berlanjut ke dalam rumah.

Jejak itu melewati ruang tamu, menelusuri lorong sempit, lalu berhenti tepat di depan tangga menuju loteng.

Tangga itu sudah lama tak digunakan. Debunya tebal. Tapi jejak itu terlihat jelas di atasnya, mengarah ke atas, ke tempat di mana suara langkah selalu terdengar.

Dengan tangan gemetar, Alya menyalakan senter kecil dan memulai langkahnya menaiki tangga. Setiap anak tangga berderit pelan di bawah kakinya, seolah mengeluh karena disentuh kembali setelah sekian lama.

Setibanya di loteng, ia terkejut melihat pintunya terbuka sedikit, seakan menyambutnya. Aroma apek dan dingin menyambut begitu ia mendorong daun pintu perlahan.

Ruangan itu kosong, hanya berisi barang-barang lama: koper usang, cermin pecah, dan boneka kayu yang kehilangan satu matanya.

Tapi lantai kayu di sana menyimpan rahasia.

Di antara tumpukan debu, jejak kaki itu masih terlihat jelas. Namun ketika Alya menyorotkan senter ke arah jejak terakhir—jejak itu berhenti di tengah ruangan. Tidak ada siapa pun. Tidak ada apa pun.

Hanya lantai kosong. Tidak ada dinding, tidak ada pintu, tidak ada jendela di sekitarnya.

Dan jejak itu… hilang begitu saja.

Seolah makhluk itu menghilang di udara. Atau lebih buruk lagi—menyatu dengan kegelapan.

Tiba-tiba, senter Alya berkedip. Cahaya menari-nari di dinding kayu yang lapuk. Dalam sekejap, ia menangkap bayangan di salah satu sisi ruangan—bayangan dirinya sendiri.

Namun, bayangan itu tersenyum.

Alya menjerit dan berlari menuruni tangga tanpa berpikir. Ia terjatuh di dua anak tangga terakhir, namun segera bangkit dan menutup pintu loteng dengan keras. Napasnya memburu, jantungnya berdetak begitu cepat seolah hendak melompat keluar dari dadanya.

Saat ia bersandar di dinding, mencoba mengumpulkan keberanian, terdengar suara berbisik dari balik pintu loteng.

“Kau sudah melihat jejakku. Sekarang aku melihatmu.”

Bab 8: Misteri Keluarga Sendiri

Sejak kejadian di loteng, Alya mulai menyadari satu hal—apa pun yang tengah ia hadapi bukan sekadar gangguan biasa. Ini bukan hanya tentang suara langkah di malam hari, atau jejak kaki tanpa wujud. Semua ini terasa terlalu personal. Terlalu dekat.

Seakan rumah ini menyimpan rahasia yang berakar jauh ke dalam darahnya sendiri.

Ia duduk di ruang kerja neneknya, ruangan yang selama ini tak ia sentuh karena dipenuhi tumpukan dokumen tua dan buku-buku yang berdebu. Tapi kini, ia merasa terpanggil ke sana. Seolah ada sesuatu yang menunggu untuk ditemukan.

Di balik tumpukan surat kabar lama, Alya menemukan sebuah album foto keluarga. Sampulnya berwarna biru tua dengan lambang bunga lili emas di sudutnya. Ia membuka perlahan, dan melihat potret-potret lawas: neneknya, kakeknya, ibunya saat kecil, dan beberapa wajah asing yang tidak ia kenal.

Namun yang paling mengejutkan—sebuah foto tua tanpa tanggal, menampilkan seorang anak perempuan yang sangat mirip dirinya.

Wajah, postur, bahkan tatapan matanya… nyaris identik. Tapi itu bukan dirinya. Di sudut foto, tertulis dengan tinta hitam yang hampir pudar:

“Raina. 1987.”

Alya menggigit bibir. Siapa Raina? Kenapa wajahnya seperti cermin dari dirinya sendiri?

Ia segera mencari-cari di antara dokumen tua, hingga menemukan sebuah map berwarna cokelat dengan nama Sari Wulandari—nama ibunya. Di dalamnya, terdapat surat-surat lama, termasuk sebuah surat dari seseorang bernama Arman, yang ditujukan untuk ibunya.

Isi surat itu mengungkap sesuatu yang mengejutkan:

“Sari, kau tidak bisa terus menyembunyikannya. Anak itu berbeda. Ia membawa sesuatu yang lebih dari sekadar darah kita. Jika kau tetap membiarkannya tumbuh di rumah itu, maka sejarah akan terulang. Rumah itu bukan sekadar rumah, dan keluarga kita bukan sekadar keluarga biasa.”

Alya terdiam.

“Anak itu”? Siapa yang dimaksud? Raina? Atau… dirinya?

Surat itu diakhiri dengan kalimat yang menusuk:

“Kalau kau membaca ini, artinya semuanya sudah terlambat. Rumah itu akan memanggil pewarisnya kembali. Dan tidak semua pewaris ditakdirkan untuk hidup.”

Alya menggigil.

Ia menatap cermin kecil di sudut meja. Sekilas, ia merasa bayangan dirinya menoleh lebih lambat dari tubuhnya. Seolah sosok di dalam cermin bukan benar-benar dirinya.

Dan untuk pertama kalinya, Alya bertanya dengan serius—

Siapa aku sebenarnya?

Bab 9: Penelusuran ke Arsip Kota

Pagi itu, langit kota diliputi mendung kelabu, seakan ikut menyimpan rahasia yang tertanam dalam-dalam bersama debu waktu. Alya melangkah menyusuri trotoar menuju Gedung Arsip Kota, bangunan tua bergaya kolonial yang berdiri angkuh di tengah deretan kantor pemerintahan. Ia menggenggam erat catatan dan foto-foto yang ditemukannya semalam—foto Raina, surat dari Arman, serta secarik kertas bertuliskan nama-nama asing yang tertulis dalam catatan harian neneknya.

Saat memasuki ruangan utama, bau kertas tua dan udara pengap langsung menyergap. Pustakawan tua yang berjaga menatapnya sejenak, lalu mengangguk saat Alya menyebutkan niatnya.

“Apa Anda punya arsip penduduk dari tahun 1980-an?” tanya Alya pelan.

Pria itu mengangguk lambat. “Lantai dua, rak keempat dari jendela. Tapi… tidak semua nama masih tercatat dengan lengkap. Ada yang dihapus. Ada yang sengaja dikaburkan.”

Alya mengerutkan kening. “Dihapus? Kenapa?”

Pustakawan itu tak menjawab. Ia hanya tersenyum kecil—senyum yang terlalu datar untuk disebut ramah.

Di lantai dua, Alya mulai menyusuri rak demi rak. Jemarinya bergerak cepat, menyusuri daftar nama dari lembar demi lembar buku arsip. Ia menemukan nama ibunya, Sari Wulandari, lengkap dengan alamat lama dan catatan kependudukan. Namun yang membuatnya tercekat adalah catatan tambahan di bagian bawah halaman:

“Laporan kehilangan anak, tanggal 7 Juni 1987. Nama anak: Raina. Usia: 7 tahun. Status: Tidak ditemukan.”

Raina memang pernah ada.

Alya menelan ludah. Ia melanjutkan pencarian dan menemukan satu folder tipis bertuliskan “Peristiwa Rumah Anggrek – Kasus Tidak Terpecahkan.” Judul itu menggema di kepalanya—Rumah Anggrek adalah julukan lama rumah peninggalan neneknya.

Di dalam folder itu, ada laporan kepolisian, wawancara saksi, dan potongan koran kuno.

“Anak perempuan hilang secara misterius dari kediaman keluarga Wulandari. Tidak ditemukan tanda perlawanan. Namun warga sekitar mengaku mendengar suara langkah dan tawa anak kecil di malam hari, bahkan setelah rumah dikosongkan.”

Alya merasa lututnya lemas. Ia membayangkan suara-suara langkah di loteng… tawa samar di malam sepi… dan cermin yang tak pernah menampilkan bayangan yang sepenuhnya sama.

Ada bagian yang hilang dari sejarah keluarganya—bagian yang tak pernah diceritakan ibunya, atau mungkin sengaja dilupakan.

Tiba-tiba, matanya menangkap potongan koran yang menguning, tertanggal 8 Juni 1987. Judulnya tebal:

“Raina Kembali… Tapi Bukan Anak yang Sama.”

Alya menatap potongan itu lama, sebelum membacanya hingga habis. Tubuhnya menggigil. Jantungnya berdegup kencang.

Apa yang terjadi pada Raina?

Dan yang lebih penting—apa hubungannya dengan dirinya sendiri?

Ketika ia melangkah keluar dari gedung arsip, langit mulai gelap meskipun baru siang. Angin bertiup kencang, membawa bisikan samar yang seakan mengejarnya.

Kini, Alya tahu satu hal pasti:

Masa lalu keluarganya tak hanya terkubur—ia menunggu untuk bangkit kembali.

Bab 10: Kenangan yang Terhapus

Alya duduk terdiam di ruang tamu, matanya terfokus pada foto lama yang ditemukan di arsip kota. Foto yang menunjukkan wajah seorang gadis kecil dengan mata yang persis seperti miliknya—Raina. Namun yang lebih menakutkan adalah perasaan yang datang bersamaan dengan penemuan itu. Seolah ada sesuatu yang ingin ia ingat, tapi tidak bisa. Seolah kenangan itu sengaja terhapus dari ingatannya.

Ponselnya berdering, mengganggu kesunyian yang menghampiri ruang itu. Nama yang muncul di layar membuat hatinya terlonjak.

Ibu.

Dengan tangan gemetar, ia menjawab telepon tersebut.

“Halo?” suaranya terdengar cemas.

“Yla… kamu baik-baik saja?” suara ibunya terdengar serak, seperti ada kekhawatiran yang tersembunyi.

Alya menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. “Ibu, ada yang ingin aku tanyakan. Tentang… Raina.”

Terdengar keheningan sejenak dari seberang sana. Kemudian suara ibunya terdengar semakin berat, penuh dengan kesedihan.

“Jangan lagi bicara tentang Raina. Sudah lama, Yla. Itu semua sudah selesai.” Suara ibu terdengar seperti perintah, namun di baliknya, ada ketakutan yang tak bisa disembunyikan.

Namun, Alya tidak bisa berhenti. “Tapi Ibu, aku merasa ada sesuatu yang hilang. Kenapa semuanya terasa begitu kabur? Kenapa aku merasa seperti—seperti ada bagian dari hidupku yang tidak pernah ada?”

“Alya…” suara ibunya mulai gemetar. “Jangan lanjutkan. Itu bukan sesuatu yang seharusnya kau tahu. Beberapa kenangan memang harus terhapus, demi keselamatanmu.”

Alya terdiam. Ada rasa cemas yang tumbuh dalam dadanya. Apa yang ibu sembunyikan? Apa yang terjadi pada keluarga mereka? Mengapa ia merasa seperti bagian dari dirinya telah dicuri begitu saja?

Ia menggenggam foto Raina dengan erat, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang. Ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar kenangan—ada sebuah kebenaran yang ia rasa begitu dekat, namun tak pernah bisa ia sentuh.

Setelah menutup telepon, Alya memutuskan untuk kembali ke rumah. Ia harus mencari tahu lebih banyak, dan kali ini, ia tidak akan berhenti sebelum mendapatkan semua jawaban.

Sesampainya di rumah, ia menuju loteng lagi, tempat yang kini terasa lebih menakutkan dari sebelumnya. Setiap langkahnya terasa semakin berat, seolah ada sesuatu yang menariknya ke dalam kegelapan itu. Ia membuka pintu loteng dengan hati-hati, dan dengan senter yang masih ia genggam, ia mulai menyisir ruang sempit itu.

Namun kali ini, sesuatu berbeda. Di sudut loteng, di belakang tumpukan kardus usang, Alya menemukan sebuah kotak kayu kecil yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Kotak itu tertutup rapat, dan di atasnya terukir tulisan dengan tinta pudar:

“Kenangan yang hilang.”

Alya membuka kotak itu dengan hati-hati, dan di dalamnya—tersimpan beberapa potret lama, serta sebuah buku catatan kecil. Buku itu tampak sangat tua, sampulnya sudah mengelupas, namun tulisan di dalamnya masih bisa dibaca dengan jelas.

Catatan itu dimulai dengan kalimat yang mengerikan:

“Ketika kenyataan mulai kabur, dan kenangan tak lagi bisa diingat, itu adalah awal dari kebangkitan yang tak terhindarkan. Kami tidak bisa menghindar. Rumah itu memilih siapa yang harus ingat, dan siapa yang harus dilupakan.”

Alya merasakan keringat dingin mengalir di punggungnya. Ini lebih dari sekadar kehilangan kenangan biasa. Ini adalah proses yang disengaja. Proses yang sudah direncanakan dengan matang.

Di dalam buku itu juga terdapat nama-nama yang tidak ia kenal. Nama-nama yang terkait dengan keluarga Wulandari, termasuk beberapa anggota keluarga yang telah lama meninggal. Namun ada satu nama yang menarik perhatian Alya—Arman. Nama yang muncul berulang kali, seakan dia adalah kunci dari semua ini.

Tiba-tiba, sebuah suara keras terdengar dari bawah—seperti pintu yang terbanting. Alya bergegas turun, namun sebelum ia mencapai lantai bawah, sesuatu yang tak terduga terjadi.

Cermin di ruang tamu itu mulai retak.

Suara pecahan kaca memenuhi ruangan. Alya berdiri terpaku, tidak bisa bergerak. Cermin itu… tidak menampilkan bayangannya.

Dan yang paling menakutkan—ada wajah lain di dalamnya.

Bab 11: Rahasia di Balik Loteng

Alya merasa seluruh tubuhnya membeku ketika cermin di ruang tamu pecah. Wajah yang seharusnya hanya memantulkan dirinya sendiri kini menunjukkan wajah lain—wajah yang penuh dengan kepedihan, seolah hidup dalam bayang-bayang kelam. Ia mencoba untuk bergerak, namun kakinya seperti tertanam di lantai.

Suara berderak di dalam cermin itu semakin jelas. Seperti ada sesuatu yang berusaha keluar dari balik kaca. Alya menatap tajam, napasnya terengah-engah. Ini bukan lagi soal suara langkah malam atau jejak kaki tak terlihat. Ini lebih dari itu—ini adalah peringatan.

Perlahan, ia mundur ke belakang, menjauh dari cermin yang semakin mengancam. Ketika akhirnya ia memalingkan wajah, bayangan itu—wajah asing yang muncul di cermin—mengikuti gerakannya, dengan tatapan yang penuh makna. Tatapan yang seolah mengenalnya.

Tanpa sadar, ia berjalan menuju loteng. Rumah itu seakan memanggilnya, menariknya untuk membuka pintu yang telah lama terkunci rapat. Pintu loteng yang semula begitu menakutkan kini terasa seperti satu-satunya tempat yang bisa memberikan jawaban.

Langkahnya menuju loteng kali ini tidak lagi penuh ketakutan, namun lebih pada rasa penasaran yang membara. Apa yang selama ini tersembunyi di balik pintu itu? Apa yang keluarga Wulandari sembunyikan?

Saat ia mencapai pintu loteng, Alya merasakan udara dingin yang berbeda—lebih pekat dan lebih menyesakkan. Dengan tangan gemetar, ia memutar kunci pintu yang sudah berdebu, dan suara berderak keras mengisi ruangan. Pintu terbuka perlahan, dan Alya melangkah masuk.

Di dalam, senyap menyelimuti. Hanya ada bayang-bayang benda-benda tua yang tersebar, serta tumpukan kotak dan kardus yang sudah tak terhitung jumlahnya. Namun, di sudut ruangan, sesuatu yang tidak biasa menarik perhatiannya—sebuah peti besar, tertutup rapat dan terkunci dengan gembok yang sudah berkarat.

Alya mendekat dengan hati-hati, matanya terpaku pada peti itu. Ada rasa takut yang menggeliat di dalam dirinya, namun rasa penasaran mengalahkan semuanya. Ia merogoh saku, mencari kunci yang ia temukan sebelumnya di dalam kotak kayu kecil. Tangan Alya terasa dingin saat ia membuka kunci itu. Dengan suara berderak, peti itu akhirnya terbuka.

Di dalam peti, terhampar sebuah lembaran kain putih yang tampak seperti balutan jenazah. Alya membuka kain itu dengan cemas, dan yang ia temukan membuatnya terhenyak.

Sebuah boneka tua, dengan mata yang kosong, duduk di tengah peti. Boneka itu terlihat sangat mirip dengan Raina, dengan gaun putih yang kotor dan robek di sana-sini. Namun yang paling menakutkan adalah matanya—matanya yang seolah hidup, menyembunyikan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar hiasan anak-anak.

Alya memegang boneka itu dengan gemetar. Di bagian belakang boneka, tertulis nama yang sangat ia kenal:

“Raina Wulandari”

Seketika, semua ingatan tentang Raina muncul kembali dalam kepalanya. Ia ingat wajah gadis kecil itu yang ia temui di foto, namun kali ini, ingatannya terasa lebih jelas, lebih nyata. Raina bukan hanya nama yang terhapus dalam sejarah keluarganya. Raina adalah bagian dari cerita yang lebih besar—cerita yang bahkan tak ingin dikenang oleh siapa pun.

Tiba-tiba, suara ketukan pelan terdengar dari balik dinding loteng. Alya terkejut, dan ia menoleh cepat. Ketukan itu semakin jelas, seperti ada seseorang yang mencoba menghubunginya dari balik dinding.

Tanpa ragu, Alya mulai menggeser beberapa tumpukan kardus dan perabotan tua yang menghalangi jalan. Ia menemukan sebuah pintu kecil di dinding, tersembunyi di balik barang-barang yang tampak tidak penting. Dengan hati-hati, Alya membuka pintu itu, dan sebuah ruangan tersembunyi muncul di depannya—ruangan yang gelap dan lembab, dengan bau apek yang menyengat.

Di dalam ruangan itu, sebuah meja kayu tua berdiri kokoh. Di atas meja itu, ada tumpukan dokumen lama yang sepertinya sudah lama terlupakan. Alya mengambil beberapa lembaran pertama, dan membaca dengan cepat. Sebagian besar adalah catatan yang tidak dapat dipahami, namun ada satu kalimat yang mencuri perhatiannya:

“Dia adalah kunci. Tanpa dia, tidak ada yang bisa terjadi. Kembalikan Raina.”

Alya menelan ludah. Apa yang dimaksud dengan “kembalikan Raina”? Apa yang sebenarnya terjadi pada gadis itu?

Ia merasa dunia di sekitarnya semakin terdistorsi, dan kenyataan semakin kabur. Rumah ini bukan hanya tempat tinggal. Rumah ini adalah penjara bagi kenangan yang hilang, bagi sesuatu yang lebih gelap, yang tak ingin diketahui siapa pun—termasuk dirinya.

Dengan perasaan cemas dan bingung, Alya berdiri di tengah ruangan, memegang boneka Raina di tangannya. Suara ketukan itu semakin keras, dan kali ini, terdengar sangat dekat.

Bab 12: Teror yang Nyata

Alya berdiri tegak di depan pintu kecil di dinding loteng. Suara ketukan yang semakin keras membuat jantungnya berdegup lebih cepat. Ada sesuatu—seseorang—di balik pintu itu. Sesuatu yang telah lama tersembunyi, dan kini terungkap begitu tiba-tiba, seolah untuk menguji keberaniannya.

Dengan tangan yang mulai terasa lemas, ia memutar gagang pintu. Bunyi berderak mengisi udara gelap yang semakin menebal di sekelilingnya. Pintu itu terbuka perlahan, memperlihatkan ruang yang sempit dan gelap. Di dalamnya, hanya ada sebuah kursi tua yang menghadap ke dinding, serta meja kayu besar yang penuh dengan kertas-kertas berserakan.

Namun yang paling mencolok adalah bayangan hitam yang berdiri di tengah-tengah ruangan itu. Alya terperanjat, matanya terbeliak, namun ia tak bisa bergerak. Sosok itu—hanya terlihat samar dalam kegelapan—terlalu nyata untuk disebut sebagai imajinasi.

“Siapa… siapa di sana?” suara Alya terdengar cemas, bahkan dirinya sendiri merasa asing dengan ketakutan yang mulai menguasai dirinya.

Tiba-tiba, sosok itu berbalik. Alya menatap wajah yang tidak asing—wajah ibunya. Namun ada yang berbeda. Wajah itu tampak terdistorsi, dengan mata yang kosong dan bibir yang membeku dalam senyum yang tidak wajar. Suasana di ruangan itu terasa semakin berat, seolah ada kekuatan yang mengendalikan setiap inci udara.

“Ibu… apa yang—” Alya mencoba melangkah maju, namun kakinya terasa seperti tertanam di tanah.

Sosok itu mengangkat tangan, dan suara serak terdengar seperti bisikan. “Alya, ini semua sudah terlambat. Kamu tidak bisa melarikan diri lagi.”

Dengan gerakan yang cepat dan tak terduga, sosok itu mendekat, dan Alya merasa seolah ada tangan yang menjalar ke tengkuknya, membuatnya terhuyung mundur. Rasa sesak tiba-tiba menguasai dadanya. Ini bukan lagi tentang misteri, ini adalah teror yang nyata.

Alya memejamkan mata, berusaha untuk mengusir ketakutan yang mencekam. Ketika ia membuka mata, sosok itu sudah menghilang. Hanya ada kekosongan yang mencekam. Tidak ada wajah ibu, tidak ada lagi senyum yang mengerikan. Yang ada hanyalah keheningan yang semakin menyelubungi ruangan itu.

Namun, perasaan tak enak itu tidak hilang. Rasa terancam semakin besar, dan Alya menyadari satu hal yang sangat jelas: ini bukan hanya tentang rumah tua ini. Teror yang ia alami, sosok yang mengancam, semua ini berhubungan dengan sesuatu yang lebih dalam. Sesuatu yang lebih berbahaya dari sekadar hantu atau bayangan.

Seketika, Alya merasakan bahwa rumah itu sendiri menjadi makhluk hidup yang sedang mengawasi setiap langkahnya. Dinding-dindingnya seolah bergerak, menghalangi jalan keluar. Bahkan udara di sekitarnya terasa lebih berat, lebih menekan. Ada sesuatu yang mengawasi dirinya, dan ia mulai merasakannya dengan jelas.

Alya berlari keluar dari ruangan tersembunyi itu, kembali ke lorong loteng yang sempit. Namun, ketika ia melangkah keluar, sesuatu yang aneh terjadi. Pintu loteng yang tadinya terbuka lebar kini tertutup rapat. Alya mencoba mendorongnya, namun seakan ada kekuatan yang menghalangi.

“Sial!” teriak Alya, panik. Ia berlari menuju tangga, berharap bisa keluar dari rumah itu secepatnya.

Namun, ketika ia menuruni tangga, perasaan aneh itu kembali datang. Di setiap sudut rumah, ia merasa pasang mata yang terus mengawasi. Seperti ada jejak yang mengikutinya, menempel di setiap langkahnya.

Alya berhenti di tengah-tengah tangga, mengambil napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Ia tahu ia harus menghadapi ini—teror yang nyata, yang tak bisa dijelaskan oleh logika. Ini bukan lagi soal misteri atau kenangan yang hilang. Ini adalah ancaman yang langsung menyerang, dengan wajah yang dikenalnya.

Dengan tekad bulat, Alya kembali menuju ruang tamu, di mana ia menemukan boneka Raina yang masih berada di atas meja. Ia menatap boneka itu dengan cemas, merasa bahwa benda itu adalah kunci dari semua yang terjadi.

Tiba-tiba, suara langkah kaki berat terdengar dari arah belakang rumah. Alya terkejut dan berbalik. Di ambang pintu, berdiri seorang pria—Arman. Pria yang selama ini ia cari, sosok yang namanya muncul dalam setiap catatan dan petunjuk yang ditemukan.

“Alya, kamu akhirnya sampai di sini.” Suara Arman rendah, namun mengandung ancaman. “Tapi, kamu harus tahu satu hal—kamu tidak bisa keluar dari sini hidup-hidup.”

Alya merasakan ketakutan yang mendalam. Sosok Arman bukanlah orang yang ia harapkan. Ini bukan lagi tentang kebenaran yang ingin ia ungkap, ini adalah permainan yang lebih gelap—permainan yang sudah direncanakan jauh sebelum ia lahir.

“Kenapa? Kenapa semua ini terjadi?” Alya berteriak, namun suaranya terasa hampa di ruang yang semakin sempit itu.

Arman hanya tersenyum, senyum yang mengerikan. “Karena rumah ini memilih siapa yang harus mengingat, dan siapa yang harus dilupakan. Dan kamu, Alya… sudah terlambat.”

Langkah-langkah teror itu semakin mendekat, dan rumah itu semakin terasa seperti penjara yang tak bisa melarikan diri darinya. Alya tahu satu hal: teror ini baru saja dimulai.

Bab 13: Konfrontasi Masa Lalu

Alya terdiam, terperangkap dalam ruang yang semakin sempit. Arman berdiri di hadapannya, matanya mengandung teka-teki yang dalam dan misteri yang tak bisa dipecahkan. Sosok itu yang sejak awal ia cari, kini berdiri dengan senyuman dingin, seolah tahu bahwa saat ini adalah saat yang paling ditunggu-tunggu.

“Alya,” suara Arman terdengar tenang, namun penuh tekanan. “Sudah saatnya kamu tahu semuanya.”

Alya menatap Arman dengan cemas, jantungnya berdegup kencang. Kenapa ia merasa bahwa seluruh hidupnya tidak lebih dari permainan yang tak pernah ia pahami? Kenapa semuanya seolah direncanakan jauh sebelum ia mulai mencari kebenaran ini? Sesuatu yang mengerikan merayap dalam dirinya, dan pertanyaan-pertanyaan itu kembali memenuhi kepalanya.

“Apa maksudmu?” tanya Alya, suaranya gemetar, berusaha menahan ketakutannya.

Arman mendekat, langkahnya tenang namun pasti, seolah setiap gerakan penuh dengan perhitungan. “Maksudku, kamu bukan hanya sekadar pewaris rumah ini. Kamu adalah kunci dari semua yang terjadi. Kamu adalah penghubung antara masa lalu yang terlupakan dan masa depan yang penuh dengan kegelapan.”

Alya mundur beberapa langkah, tidak bisa menyembunyikan kebingungannya. “Apa yang kau katakan? Aku tidak mengerti! Apa yang terjadi dengan rumah ini? Apa yang kau inginkan dariku?”

Arman menghela napas panjang, seolah menimbang apakah akan melanjutkan cerita yang begitu lama terkubur. “Keluarga Wulandari… bukanlah keluarga biasa. Mereka terlibat dalam sesuatu yang lebih besar, lebih gelap dari yang kamu bayangkan. Dan kamu, Alya, adalah satu-satunya yang bisa membuka segalanya. Kau tidak ingat, bukan? Kau tidak ingat apa yang sebenarnya terjadi.”

Alya merasa dunianya berputar. Kenangan yang terpendam dalam pikirannya tiba-tiba terbangun, seperti gambar-gambar kabur yang muncul kembali. Sesuatu yang ia coba lupakan bertahun-tahun. “Tidak… tidak mungkin,” gumamnya. “Aku tidak ingin mengingatnya.”

Arman tersenyum tipis, namun senyum itu bukanlah senyuman yang menghibur. “Itulah masalahnya, Alya. Kamu ingin melupakan semuanya, tetapi kenyataannya, kamu tidak bisa.”

Alya mundur lebih jauh, menuju pintu keluar rumah yang kini terasa semakin jauh. Ia merasakan ketegangan yang semakin menekan dada, seolah ada sesuatu yang sangat berat menggantung di atas kepalanya. “Apa yang sebenarnya terjadi pada Raina? Kenapa kau menyebut namanya dalam setiap catatan itu?” tanyanya dengan suara penuh kebingungan.

Arman berhenti sejenak, wajahnya tiba-tiba berubah menjadi serius, penuh dengan kenangan yang kelam. “Raina… adalah kunci dari semuanya. Raina adalah penghubung. Dan dia menghilang begitu saja, di saat yang sangat tepat. Tanpa dia, keluarga ini tidak akan pernah terjerat dalam kekelaman ini.”

Alya merasa tenggorokannya kering, lidahnya terkatup rapat. “Kau bilang, ‘tanpa dia’… jadi Raina bukan hanya seorang anak kecil yang hilang? Apa yang terjadi dengan dia? Apa yang sebenarnya terjadi di rumah ini?”

Arman menatap Alya dalam-dalam, matanya seolah menembus dirinya. “Raina… adalah bagian dari ritual yang harus dijalankan. Keluarga Wulandari terlibat dalam sesuatu yang tidak bisa diterima akal sehat. Kamu akan mengerti, Alya, ketika saatnya tiba. Tapi ingat satu hal—kamu tak bisa lari dari takdirmu. Kamu sudah terikat dengan semua ini sejak lahir.”

Kata-kata itu menghantam Alya seperti petir. Rasanya seolah dunia di sekitarnya berhenti bergerak. Ritual. Takdir. Ini bukan hanya tentang rumah tua atau bayangan yang menghantuinya. Ini jauh lebih besar dari itu. Ini tentang seseorang yang sudah lama hilang, dan sesuatu yang telah ditunggu oleh banyak pihak.

Alya menatap Arman dengan kebingungan yang mendalam. “Apa maksudmu dengan semua ini? Siapa yang mengendalikan semua ini? Siapa yang menyuruhmu datang ke sini?”

Arman tidak langsung menjawab. Ia menarik napas panjang, dan untuk sesaat, tatapannya menjadi lebih lembut. “Aku bukan musuhmu, Alya. Aku hanya… pion dalam permainan yang jauh lebih besar. Tapi kau… kau adalah pemimpin dari permainan ini. Kau akan memutuskan apakah keluarga ini bisa bebas, atau terus terjebak dalam kegelapan.”

Alya menggigit bibirnya, berusaha menahan emosi yang mulai meluap. Kenapa semua ini terasa seperti mimpi buruk yang tak berujung? Kenapa rumah ini, orang-orang di sekitar rumah ini, dan semua yang terjadi di dalamnya, seolah berpusat pada dirinya? Dan yang lebih menakutkan, mengapa Raina selalu muncul dalam setiap langkahnya?

Tiba-tiba, suara dentuman keras terdengar dari bawah lantai. Keduanya menoleh, dan seketika udara menjadi berat. Alya merasa ada sesuatu yang salah, sangat salah. Seolah ada sesuatu yang mengancam dari bawah tanah—dari kedalaman rumah ini.

Arman berlari menuju pintu, memandang Alya dengan ekspresi yang penuh ketegangan. “Alya, waktu kita sudah hampir habis. Kau harus memilih sekarang. Pergilah ke ruang bawah tanah, dan temui apa yang telah lama tersembunyi. Di sanalah jawabanmu, dan jawaban dari semua yang telah terjadi.”

Alya merasakan ketegangan yang menyelimutinya. Ruang bawah tanah. Tempat yang selama ini ia hindari, tempat yang penuh dengan misteri dan cerita yang tak ingin ia dengar. Tapi kini, tak ada pilihan lain. Ia harus mengetahui kebenaran, dan menghadapinya, meskipun itu berarti membuka pintu menuju kegelapan yang belum pernah ia bayangkan.

Dengan langkah penuh tekad, Alya bergerak menuju pintu yang mengarah ke ruang bawah tanah. Setiap langkahnya terasa semakin berat, namun juga semakin dekat dengan jawaban yang ia cari—jawaban yang akan mengungkapkan semuanya, termasuk siapa dirinya sebenarnya.

Bab 14: Gema Terakhir

Langkah Alya terasa berat saat ia menuruni tangga menuju ruang bawah tanah. Setiap injakan kakinya seperti membawanya lebih dalam ke dalam perut rumah yang gelap dan penuh misteri. Udara di sekitar semakin terasa pekat, seolah ruangan itu memuntahkan segala kegelapan yang terkubur di dalamnya. Setiap detik berlalu, terasa semakin mendekati sesuatu yang tak bisa lagi dihindari—sebuah kenyataan yang akan mengubah segalanya.

Pintu ruang bawah tanah terbuka dengan sendirinya, dan Alya menatap ke dalam. Di sana, di dalam kegelapan yang dalam, hanya ada seberkas cahaya redup dari lilin yang terpasang di dinding. Namun, cahaya itu tak cukup untuk menghilangkan bayangan yang mengintai. Seperti ada sesuatu yang sedang menunggunya, menyiapkan dirinya untuk menghadapi kenyataan yang jauh lebih buruk daripada yang bisa ia bayangkan.

Alya melangkah masuk, matanya mencari-cari sesuatu yang bisa memberikan petunjuk. Di atas meja kayu yang terletak di tengah ruangan, ada sebuah buku tebal yang terbuka. Halaman-halamannya dipenuhi dengan tulisan tangan yang teratur, namun ada sesuatu yang sangat mencolok—tulisan itu bukan milik seseorang yang sudah lama meninggal. Itu adalah tulisan milik seseorang yang masih hidup, yang mungkin berada di dalam rumah ini.

Dengan tangan yang gemetar, Alya membuka buku itu. Setiap kata yang terbaca seperti menghubungkan kepingan-kepingan misteri yang sudah lama membingungkan dirinya. Ritual, kegelapan, dan peristiwa yang terlupakan—semua terungkap dengan jelas di sana. Tapi satu nama muncul berulang kali, lebih dari yang lainnya: Raina.

Alya merasa jantungnya berhenti sejenak. Raina—nama yang selama ini terikat erat dengan kesedihan dan kehilangan—ternyata bukan hanya sekadar kenangan dari masa lalu. Raina adalah bagian dari ritual yang jauh lebih besar, ritual yang dirancang untuk mengubah takdir, untuk membuka gerbang kegelapan yang selama ini terjaga rapat.

“Alya,” suara Arman terdengar di belakangnya, tiba-tiba memecah keheningan. Alya menoleh, dan melihat pria itu berdiri di ambang pintu dengan ekspresi yang serius. “Kamu sudah menemukannya, bukan?”

Alya hanya bisa menatapnya, matanya penuh kebingungan dan ketakutan. “Apa ini semua? Kenapa Raina… kenapa semuanya terjadi seperti ini?”

Arman melangkah mendekat, menatap buku di tangannya dengan ekspresi yang penuh penyesalan. “Semua ini karena keputusan yang salah. Keputusan yang dibuat oleh keluargamu, oleh orang-orang yang menganggap kekuasaan dan pengetahuan lebih penting daripada kehidupan itu sendiri.”

“Apa maksudmu?” tanya Alya dengan suara tercekat.

“Raina,” jawab Arman dengan suara yang semakin dalam, “adalah bagian dari kekuatan yang lebih besar, lebih kuno. Keluargamu terjebak dalam aliran itu, dalam upaya untuk mengendalikan sesuatu yang tidak seharusnya mereka coba kendalikan. Mereka berpikir bahwa dengan mengorbankan Raina, mereka bisa mengendalikan kekuatan yang lebih gelap, yang bisa memberikan mereka segala sesuatu yang mereka inginkan.”

Alya merasakan perasaan tercekik, seolah seluruh dunia tiba-tiba runtuh di sekelilingnya. Pengorbanan. Semua ini ternyata tentang pengorbanan, dan Raina, adiknya, adalah korban yang tidak bisa ia selamatkan. Perasaan bersalah memenuhi hatinya, meskipun ia tidak tahu apakah ia bisa benar-benar mengubah apa yang telah terjadi.

“Tapi kenapa aku?” tanyanya dengan suara lirih. “Kenapa aku harus terlibat dalam semua ini?”

Arman menghela napas panjang, matanya penuh dengan penyesalan. “Karena kamu adalah keturunan yang paling terakhir. Kamu adalah yang paling dekat dengan kekuatan itu, dan sayangnya, kamu juga yang terakhir yang bisa menghentikannya. Kamu adalah satu-satunya yang bisa mengakhiri semuanya, Alya.”

Alya merasa seperti terjebak dalam pusaran yang tak ada habisnya. Semua yang ia lakukan, semua pencariannya, ternyata hanya mempersiapkan dirinya untuk satu peran besar—menghentikan kekuatan yang sudah lama terbangun. Ia melihat ke dalam mata Arman, mencoba mencari sedikit kejelasan dari kekacauan ini, namun yang ia temui hanya kegelapan yang semakin dalam.

“Tapi bagaimana aku bisa menghentikannya?” Alya bertanya dengan penuh tekad. “Apa yang harus aku lakukan?”

Arman berjalan mendekat, dan menyentuh buku itu. “Ada sebuah tempat di dalam rumah ini, di bawah tanah yang lebih dalam lagi. Tempat yang belum pernah kamu temukan. Di sana, kamu akan menemukan jawabannya. Itulah tempat di mana ritual itu dimulai, dan di mana semuanya bisa diakhiri.”

Alya menatapnya dengan penuh kebingungan. “Apakah aku harus pergi ke sana?”

Arman mengangguk. “Kamu tidak punya pilihan lain. Jika kamu ingin mengakhiri teror ini, kamu harus menghentikan ritual itu. Pergilah ke sana, dan jangan pernah ragu. Karena jika kamu gagal, bukan hanya keluargamu yang akan jatuh, tapi dunia ini juga.”

Alya merasa berat hati. Namun, dengan tekad yang semakin kuat, ia tahu bahwa ini adalah satu-satunya jalan yang bisa ia ambil. Ia harus menghadapi masa lalu yang selama ini tersembunyi, dan memutuskan takdir yang sudah ditentukan untuknya.

Dengan langkah yang pasti, Alya berbalik, meninggalkan ruang bawah tanah dan menuju ke tempat yang paling gelap dari rumah ini—tempat di mana semuanya akan berakhir.

Namun, saat ia menuju ruang yang lebih dalam, sebuah suara gemuruh terdengar dari kedalaman rumah. Gema itu begitu keras, menggema di seluruh rumah, seolah menandakan bahwa semuanya akan segera berakhir.

Bab 15: Malam yang Sunyi

Malam itu, rumah tua yang selama ini dihantui oleh gema langkah, kini sunyi. Tidak ada lagi suara desis angin yang menggerakkan daun-daun di luar, tidak ada lagi suara samar dari loteng atau lantai kayu yang berderit. Semua terasa sepi, begitu sepi hingga setiap helaan napas Alya terdengar seperti denting lonceng di tengah keheningan.

Alya berdiri di depan pintu besar yang menutup rapat. Pintu yang menandakan batas antara dunia yang ia kenal dan dunia yang penuh dengan kegelapan. Ia tahu, begitu ia melangkah melewati pintu ini, tidak ada jalan kembali. Tidak ada lagi waktu untuk ragu, untuk takut. Semua yang ia lakukan, semua yang ia hadapi, akan menuju titik ini. Titik terakhir di mana kebenaran akan terungkap dan nasibnya, serta takdir keluarganya, akan diputuskan.

Di tangan Alya, sebuah kunci kecil tergenggam erat. Kunci yang selama ini menjadi simbol dari rahasia yang tersembunyi dalam rumah ini. Kunci yang akan membawanya pada jawaban atas semua pertanyaan yang menghantuinya selama ini.

Dengan napas yang dalam, Alya membuka pintu itu. Ruangan yang terbentang di depannya begitu gelap, hanya diterangi oleh cahaya samar yang memantul dari dinding batu yang dingin. Di ujung ruangan, ada sebuah altar tua yang tampaknya sudah lama terlupakan. Di atasnya, benda-benda aneh tersusun rapi—sebuah cermin hitam, sebuah lilin merah yang sudah hampir habis, dan buku besar yang tampaknya berisi rahasia-rahasia gelap yang tak pernah dimaksudkan untuk diketahui.

Alya melangkah maju, setiap langkahnya semakin terasa berat, namun tekad dalam dirinya semakin kuat. Ia tidak bisa mundur. Ritual ini harus dihentikan, apapun yang terjadi. Ini adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan keluarganya, untuk mengakhiri teror yang telah berlangsung selama bertahun-tahun.

Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari belakangnya, memecah keheningan malam yang tegang. Alya menoleh, dan di sana, berdiri sosok yang telah ia kenal sejak lama—Arman. Namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda pada dirinya. Matanya tampak lebih gelap, lebih dalam, seolah menyimpan rahasia yang lebih kelam dari sebelumnya.

“Apakah kamu siap?” tanya Arman dengan suara yang dalam dan serius.

Alya mengangguk, meskipun hatinya masih berdegup kencang. “Aku tidak punya pilihan lain. Aku harus mengakhiri ini.”

Arman melangkah mendekat, tangannya menjangkau buku yang tergeletak di atas altar. “Keluarga Wulandari telah terikat pada kekuatan ini selama berabad-abad. Tapi hanya satu orang yang bisa memutuskan ikatan ini—dan itu adalah kamu, Alya.”

Alya menatap buku itu dengan penuh kekhawatiran. Kekuatan yang dimaksud Arman bukanlah sesuatu yang bisa ia bayangkan. Tetapi, di sisi lain, ia juga tahu bahwa dunia tidak akan pernah bisa kembali seperti semula jika ia tidak melakukan ini. Semua yang telah terjadi, semua yang hilang, harus dihentikan.

Dengan perlahan, ia meraih buku itu, membuka halaman demi halaman. Tulisan di dalamnya tampak seperti simbol-simbol kuno yang tidak bisa ia pahami. Namun, di halaman terakhir, ada sebuah gambar yang membuatnya terperangah. Sebuah lingkaran—tanda dari kekuatan yang selama ini terikat pada dirinya. Tanda yang menghubungkannya langsung dengan ritual yang telah dilaksanakan oleh keluarganya bertahun-tahun silam.

Alya merasakan sebuah kekuatan yang besar mengalir dalam dirinya, seolah-olah dia terhubung langsung dengan sesuatu yang jauh lebih besar dari dirinya. Ia tahu, saat ini, ia berada di persimpangan antara kegelapan dan cahaya—antara menyelesaikan kebenaran atau membiarkan semuanya kembali ke jalur yang tak terhingga.

Dengan hati yang penuh keyakinan, ia meletakkan tangan kanannya di atas lingkaran simbol yang tercetak di halaman itu. Seketika, sebuah ledakan energi terasa melesat melalui tubuhnya, dan seluruh ruangan itu tampak bergetar. Cahaya gelap menyelimuti sekitarnya, sementara suara langkah kaki yang dulu pernah terdengar di malam-malam sebelumnya kini kembali bergema, semakin keras dan semakin dekat.

Alya menutup mata, berusaha tetap fokus. “Ini adalah akhir dari segalanya,” bisiknya. “Aku akan menghentikannya.”

Saat ia membuka matanya kembali, Arman sudah tidak ada di sana. Yang ada hanyalah sebuah bayangan yang mulai menghilang, lenyap di dalam kegelapan yang menyelubungi. Ia tidak tahu apakah itu Arman yang sebenarnya, atau apakah itu hanya bagian dari ritual yang tidak bisa dijelaskan dengan akal sehat.

Namun, yang ia tahu pasti adalah, bahwa segala sesuatu yang ia lakukan malam ini akan menentukan nasibnya, nasib keluarga Wulandari, dan nasib seluruh dunia. Alya menarik napas dalam-dalam, dan dengan hati yang penuh harapan, ia berkata pada dirinya sendiri, “Ini adalah malam yang akan mengubah segalanya.”

Dengan satu keputusan besar, Alya melangkah maju, menuju pusat kekuatan yang telah lama terpendam. Ia tahu, apa pun yang terjadi, malam ini, ia akan mengakhiri semuanya. Ketika ia mencapai pusat lingkaran itu, satu suara terakhir bergema dalam dirinya.

“Gema langkahmu akan terhenti malam ini.”***

———————–THE END———————-

Source: Shifa Yuhananda
Tags: #Kegelapan#ThrillerAkhirPerjalananKekuatanGaibKeluargaWulandariKeputusanTakdirmisteriRitualGelap
Previous Post

OPERASI HANTU MALAM

Next Post

MALAM TANPA BULAN

Next Post
MALAM TANPA BULAN

MALAM TANPA BULAN

RUMAH YANG TAK LAGI SAMA

RUMAH YANG TAK LAGI SAMA

PEDANG CAHAYA ASTRAL

PEDANG CAHAYA ASTRAL

MOVIE REVIEW

No Content Available

RECENT MOVIE

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025

Tentang Kami

NovelStory.id adalah platform media online yang menghadirkan beragam cerita menarik seperti dalam novel dan drama, dirancang untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan yang berkualitas dan penuh imajinasi. Kami percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh hati, menginspirasi, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh keajaiban.

Recent News

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025

Follow Us

  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 https://novelstory.id

No Result
View All Result
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah

© 2025 https://novelstory.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In