thestoryofday– Ibu-ibu yang sedang memilih belanjaan sayur sibuk membicarakan kematian Bangpuluh. Sebab, mereka masih belum yakin kalau lelaki yang kerap sewenang-wenang kepada warga Kampung itu mati bunuh diri.
Tepat sekali, firasat para warga tidak salah. Pasalnya sebelum Bangpuluh ditemukan tewas dan dalam rumahnya, warga juga menemukan Kadir tergeletak di pinggir sungai. Ditambah, saban malam ada saja warga yang diteror suara dan sosok perempuan menangis.
“Eh mba, ini sih enggak salah lagi. Pasti kematian Puluh ada kaitannya dengan kepergian Laksmi,” kata bu Endang kepada para tetangga.
“Emang iya sih, coba sih pikir, sebelum Laksmi menghilang kan kampung kita enggak pernah ada yang aneh-aneh seperti ini,” nyinyir Bu Paridah.
“Emang neng Laksmi yang penari itu ya bu? Kemana emang dia?” ujar tukang sayur.
“Ya mas, betul. Sudah hampir satu bulan dia menghilang. Katanya sih pergi ke luar kota mengejar cita-cita. Tapi masak enggak ninggalkan surat atau apalah gitu,” Bu Paridah menjawab.
Semua hening seiring angin sepoy mengayunkan kembang. Awan putih berangsur membuka tirai hari. Ibu-ibu itu kembali ke rumah masing-masing. Dan terasa, pagi telah berganti siang hingga sore berganti malam.
Bu Paridah merupakan warga yang juga merasakan teror Kuntilanak di Kampung Penari. Ceritanya bermula ketika kopi di rumahnya habis sedangkan subuh dia sudah mesti menyajikan minuman itu kepada sang suami. Ingin menyuruh anaknya, tapi masih kecil.
Bu Paridah terpaksa memberanikan diri setelah menggerutu karena tahu teror tangis minta tolong. Saat ia keluar pintu dan maju beberapa langkah meninggalkan pekarangan rumah, hawa tak enak dirasa hingga merasakan tengkuk yang agak merinding.
Sampai pada ia berjalan kembali setelah dari warung, terdengar olehnya suara perempuan yang sedang berbicara. Tapi tak jelas membicarakan apa.
Karena merasa curiga dan sama sekali tidak merasakan keanehan, Bu Paridah mencari-cari sumber suara. Ia tak menyadari bahwa itu adalah awal mula gangguan kuntilanak. Sampai pada tanah kosong yang tertanam beberapa pohon pisang, ia menemukan seorang perempuan yang memunggunginya.
“Sedang apa di situ sendirian malam-malam begini,” tanya Bu Paridah. Perlahan perempuan itu menoleh. Diketahuilah oleh Bu Paridah, perempuan itu sedang menangis.
Tak banyak bicara, perempuan itu hanya menundukan kepala ketika Bu Paridah banyak menanyakan sesuatu. Sampai pada pertanyaan alamat rumah dari Bu Paridah, perempuan itu pun hanya mengarahkan yang menunjuk sungai.
Bu Paridah berpikir dia ponakan atau saudara dari tetanggganya yang bertempat tinggal di dekat hutan sebelum sungai. Karena merasa kasian dan yang ada dipikiran Bu Paridah perempuan ini sedang tersesat, maka dia berkenan mengantar perempuan itu.
Sepanjang jalan yang masih tanah merah serta rumah warga yang berjarak-jarak serta pintu dan jendelanya telah tertutup, Bu Paridah berusaha mengajak perempuan itu berbincang. Tapi sama sekali tidak ada jawaban. Malah, rambut panjang perempuan itu menutupi wajahnya.
Lirih terdengar perempuan itu meminta tolong. Meski mulai merinding tapi Bu Paridah masih percaya bahwa perempuan itu adalah saudara dari tetangganya yang sedang tersesat.
Bu Paridah berusaha menggenggam tangan perempuan yang sedang menangis itu. Bu Paridah langsung menghentikan langkahnya karena merasakan dingin yang sangat dari jari-jari perempuan itu.
Karena itu, sosok perempuan itu langsung menengok dan melotok ke arah Bu Paridah. Beruntung malam itu Bu Paridah ditemukan oleh beberapa peronda.
“BU, sedang apa malam-malam gini jalan sendirian sampai perbatasan hutan,” kata mereka.
“Hah? Ini nganterin ini,” kata Bu Parida seraya menunjuk ke sampingnya. Tapi dia pun kaget karena sudah berada di pinggir hutan dekat sungai dan di sana sama sekali tidak ada rumah. Padahal tadi yang dilihatnya masih berada di jalam pemukiman.
Bu Paridah juga sangat syok karena melihat di sampingnya tidak ada siapa pun. Dari situ, tiga orang peronda dan Bu Paridah mendengar cekikik kuntilanak.
Bu Paridah tak sanggup menahan rasa takut yang menyerang jantungnya. Ia pingsan ketika melihat sosok putih berambut panjang terbang ke dalam hutan.
Karena panik dan juga ketakutan, tiga peronda itu langsung membopong Bu Paridah ke pos ronda. Padahal rumah Bu Paridah melalui tempat mereka berjaga itu.
Mau tak mau, dua orang yang sedari tadi stand by di pos ronda mendatangi rumah Bu Paridah untuk memanggil suaminya.
Karena belum begitu malam, Bu Paridah oleh suaminya dibawa ke ustads Kampung Penari hingga dia siuman dan dapat berjalan pulang.
Bu Paridah yang sangat trauma karena kejadian itu, mengajak suaminya pergi meninggalkan kampung tersebut menyusul beberapa warga yang telah lebih dulu meninggalkan rumahnya.
Kepergian Bu Paridah pun disusul oleh Bu Endang yang juga diteror kuntilanak Kampung Penari.***
Part IV