Bab 1: Kota Grayscale
Di sebuah kota kecil yang terletak di antara lembah dan pegunungan, ada sebuah tempat yang dikenal oleh penduduknya sebagai Grayscale. Kota ini berbeda dari kota-kota lain yang pernah ada. Grayscale bukan hanya nama kota, tetapi juga cara hidup. Semua yang ada di sini berwarna abu-abu. Langit, tanah, rumah-rumah, bahkan manusia—semuanya hanya terdiri dari berbagai gradasi hitam, putih, dan abu-abu. Tidak ada yang tahu bagaimana hal itu dimulai atau mengapa dunia mereka dipenuhi warna yang begitu suram. Mereka tidak tahu ada dunia lain yang lebih cerah, dunia dengan langit biru dan rumput hijau, karena mereka tidak pernah melihatnya.
Lila, seorang gadis berusia 17 tahun, lahir dan dibesarkan di kota Grayscale. Sejak kecil, ia sudah terbiasa dengan dunia yang suram dan tanpa warna. Ia selalu mendengar cerita dari orang tuanya tentang betapa damainya hidup di Grayscale. Meskipun terkadang ada perasaan kosong yang sulit dijelaskan, Lila tidak pernah merasa aneh tentang keadaan itu. Baginya, kota ini adalah satu-satunya dunia yang ada, dan semua orang hidup dengan cara yang sama: dalam ketidakpastian warna.
Setiap pagi, Lila berjalan ke sekolah bersama teman-temannya, Salim dan Mara. Mereka berdua adalah teman dekatnya, dan seperti Lila, mereka juga tumbuh besar dengan dunia yang tanpa warna. Sekolah mereka berada di tengah kota, sebuah bangunan besar dengan dinding-dinding kelabu yang sudah pudar. Semua orang mengenakan pakaian seragam yang juga abu-abu, dan suasana di dalamnya selalu terasa hening, seolah-olah segala sesuatu hanya berjalan tanpa tujuan.
Meskipun hidup di dunia tanpa warna, Lila merasa ada sesuatu yang hilang dalam dirinya, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan. Kadang-kadang, di tengah keramaian kota yang monoton, Lila merasa seperti ada ruang kosong dalam hatinya yang tak terisi. Ia sering mengamati benda-benda di sekitarnya—sebuah bunga di kebun, sebatang pohon yang berdiri kokoh di sudut jalan, bahkan langit yang tampak selalu tertutup awan tebal—dan meskipun ia tahu bahwa itu semua terlihat sama seperti yang lain, ia merasa ada yang berbeda, sesuatu yang ia tidak bisa pahami.
“Semuanya begitu… biasa, ya?” kata Mara suatu hari saat mereka sedang duduk di bangku taman sekolah, memandang langit yang kelabu. “Kadang aku berpikir, jika ada lebih dari ini, kita akan tahu, kan?”
Lila hanya mengangguk pelan. “Aku rasa kita sudah tahu semua yang ada di sini.”
Namun, di dalam hati, Lila merasa tidak begitu yakin. Ada perasaan yang aneh, sebuah keinginan yang terpendam dalam dirinya untuk mencari sesuatu yang lebih. Sesuatu yang bisa mengisi kekosongan itu. Ia tidak tahu apa itu, tetapi ia merasa ada sesuatu yang tersembunyi di luar sana, sesuatu yang lebih dari sekadar dunia kelabu yang sudah lama mereka kenal.
Sejak kecil, Lila sering mendengar cerita dari orang tua dan guru-gurunya tentang sejarah Grayscale. Mereka selalu mengatakan bahwa Grayscale adalah tempat yang damai, tempat yang bebas dari segala perbedaan dan kekacauan. Dunia yang serba sederhana ini, mereka katakan, adalah hasil dari pilihan yang bijaksana, suatu keputusan untuk menghindari konflik dan kebingungannya dunia yang penuh warna. Semua orang setuju bahwa kehidupan lebih tenang tanpa warna yang bisa membingungkan.
Lila tidak sepenuhnya percaya dengan cerita-cerita itu. Ia tidak mengerti mengapa orang-orang memilih untuk hidup tanpa warna, atau mengapa tidak ada seorang pun yang mencoba untuk mencari tahu lebih banyak tentang dunia ini. Tidakkah mereka ingin tahu ada hal lain di luar sana, selain dunia yang tampak mati?
Pagi itu, saat matahari mulai terbit dengan semburat kelabu di langit, Lila merasakan sesuatu yang aneh di udara. Suasana di sekitar kota terasa lebih sepi dari biasanya. Tidak ada suara burung berkicau atau angin yang berdesir melalui pepohonan. Bahkan udara terasa lebih berat dari biasanya. Lila berjalan perlahan, merasakan langkahnya yang berat, seakan ada sesuatu yang menghalangi pergerakannya. Ia menatap langit kelabu yang tampak tak berujung, merasakan beratnya suasana yang selalu sama, yang sudah dikenalnya sejak kecil. Ia merindukan sesuatu yang lebih, meski ia tidak tahu apa itu.
Di tengah pikirannya yang mengambang, tiba-tiba ia melihat sesuatu yang berbeda. Sebuah kilatan merah, seperti percikan cahaya, melintas di depan matanya. Lila terperanjat dan berhenti berjalan. Untuk sesaat, ia merasa dunia sekitarnya berhenti, seperti waktu membeku. Kilatan merah itu muncul begitu cepat dan menghilang begitu saja, meninggalkan tanda tanya besar di benaknya.
“Apa itu?” Lila bergumam pada dirinya sendiri, mencoba mencari tahu dari mana kilatan itu berasal.
Namun, saat ia menoleh ke sekelilingnya, semuanya kembali seperti biasa. Langit tetap kelabu, dan kota Grayscale tampak tidak berubah. Lila merasakan kebingungannya yang mendalam. Apa yang baru saja ia lihat? Apakah itu hanya halusinasi? Ataukah ada sesuatu yang lebih di luar dunia kelabu ini, sesuatu yang tak terjangkau oleh mata orang-orang di sekitarnya?
Lila menggenggam tangannya erat-erat, mencoba menenangkan diri. “Aku pasti hanya lelah,” pikirnya. Tetapi hatinya tidak bisa mengabaikan apa yang baru saja ia lihat. Sebuah kilatan merah, sesuatu yang bukan bagian dari dunia kelabu yang selama ini ia kenal.
Dunia Grayscale yang selama ini begitu familiar mulai terasa berbeda di matanya. Sesuatu yang aneh mulai tumbuh dalam pikirannya—sesuatu yang membuatnya penasaran dan ingin tahu lebih banyak. Mungkin, hanya mungkin, ada sesuatu yang lebih di dunia ini daripada yang selama ini orang-orang katakan. Sesuatu yang lebih dari sekadar kelabu.*
Bab 2: Kilatan Merah
Hari-hari setelah kilatan merah yang Lila lihat di tepi sungai terasa penuh dengan kebingungan dan kegelisahan. Lila tidak bisa mengabaikan kejadian itu. Setiap kali ia menutup mata, gambar kilatan merah itu kembali muncul dalam pikirannya. Seperti sebuah simbol yang menyiratkan bahwa ada sesuatu yang lebih dari apa yang ada di dunia kelabu ini. Sesuatu yang tidak bisa dijelaskan oleh siapapun, bahkan oleh orang-orang yang sudah hidup bertahun-tahun di Grayscale.
Pada hari berikutnya, Lila memutuskan untuk kembali ke tempat itu, ke tepi sungai di mana ia pertama kali melihat kilatan merah tersebut. Ia merasa bahwa hanya di sana ia bisa mendapatkan jawaban atas rasa penasaran yang mendera hatinya. Tidak ada yang tahu, dan bahkan tidak ada yang pernah peduli untuk mencari tahu lebih dalam tentang dunia mereka yang tampaknya begitu sederhana dan statis.
Saat Lila tiba di pinggir sungai, ia melihat pemandangan yang sama seperti hari sebelumnya: air yang mengalir dengan tenang, bebatuan yang tersebar di sepanjang aliran sungai, dan pohon-pohon yang berdiri tegak dengan daun-daun yang hanya memiliki gradasi abu-abu. Semua tampak begitu biasa. Namun, Lila tahu bahwa sesuatu yang luar biasa telah terjadi di sini, dan ia tidak bisa mengabaikannya begitu saja.
Lila berjalan perlahan ke arah tempat di mana ia melihat kilatan merah itu. Matanya mencari-cari, berharap menemukan petunjuk atau sesuatu yang bisa menjelaskan apa yang telah dilihatnya. Ia tidak tahu mengapa kilatan itu muncul, atau apa maknanya. Semua yang ia tahu adalah bahwa dunia ini terlalu suram, terlalu terjebak dalam rutinitas, dan ia merasakan bahwa sesuatu yang berbeda sedang menunggunya.
Tiba-tiba, saat ia mendekati semak-semak kecil di tepi sungai, Lila melihatnya lagi—bunga merah kecil yang tumbuh di antara rumput-rumput kelabu. Bunga itu terlihat begitu mencolok*
Bab 3: Mimpi Berwarna
Setelah kejadian yang tak dapat ia jelaskan di tepi sungai, dunia Lila seolah berubah seketika. Setiap hari ia merasa seperti ada sesuatu yang baru mengisi ruang-ruang kosong dalam hidupnya. Namun, meskipun dunia sekelilingnya masih tampak kelabu, perasaan yang ia alami jauh lebih hidup dan penuh warna. Semuanya terasa lebih berarti, lebih terasa. Lila tidak bisa mengabaikan pengalaman yang baru saja ia alami, dan semakin hari, ia semakin terobsesi untuk memahami apa yang telah terjadi.
Malam setelah ia melihat warna pertama kali, Lila tidur dengan perasaan yang campur aduk. Matanya terpejam, tapi pikirannya terus berputar, terjebak dalam kilatan warna yang masih membayang di benaknya. Ia berharap bisa tidur nyenyak, melupakan semua yang terjadi, tetapi ternyata tidur malam itu justru membawa perubahan lain yang lebih aneh.
Di dalam tidurnya, Lila dibawa ke dunia yang sama sekali berbeda. Dunia yang tidak seperti Grayscale yang ia kenal. Dunia yang penuh dengan cahaya dan warna yang mencolok. Langit berwarna biru cerah, rumput hijau menggeliat di tanah, bunga-bunga mekar dengan segala macam warna yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Semua yang ada di sekitar Lila terasa hidup, seolah-olah alam semesta ini bernafas bersamanya.
Ia berjalan menyusuri padang rumput yang luas, dengan angin lembut yang menyapu wajahnya. Bunga-bunga di sekelilingnya berwarna merah, kuning, dan ungu. Langit yang terbentang di atasnya begitu biru, seakan mengundang Lila untuk melangkah lebih jauh. Ia melihat matahari bersinar cerah di atas, memancarkan cahaya keemasan yang membuat segala sesuatu tampak begitu indah. Ini adalah dunia yang tidak pernah ia bayangkan, dunia yang begitu penuh warna, begitu hidup.
Namun, semakin lama ia berjalan, semakin ia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Dunia yang indah ini terasa terlalu sempurna, seakan segala sesuatu yang ada di sini hanya sebuah mimpi. Lila mulai merasakan ketegangan, seperti ada sesuatu yang mengawasi setiap gerak-geriknya. Ketika ia melangkah lebih jauh, ia melihat sebuah pohon besar di kejauhan, pohon yang tampak lebih terang daripada yang lain. Pohon itu memiliki daun yang berkilauan dengan warna emas, dan batangnya seolah terbuat dari cahaya.
Dengan rasa penasaran yang tak tertahankan, Lila mendekati pohon itu. Setiap langkahnya terasa seperti berjalan dalam waktu yang berbeda, dunia sekitar seolah melambat. Lila merasakan adanya kekuatan yang memancar dari pohon tersebut, seolah pohon itu tidak hanya hidup, tetapi juga mengetahui segala hal tentang dirinya. Ketika Lila semakin dekat, ia bisa merasakan sebuah energi yang sangat kuat, yang membuatnya ragu untuk melangkah lebih jauh. Namun, rasa penasaran akhirnya mengalahkan ketakutannya, dan ia terus maju.
Pohon itu, yang tampaknya merupakan pusat dari dunia yang penuh warna ini, berdiri dengan angkuh dan misterius. Lila bisa merasakan jantungnya berdegup lebih cepat, seperti ada sesuatu yang menunggu untuk terungkap. Dengan hati-hati, ia mendekatkan tangannya ke batang pohon yang bersinar, merasakan kehangatan yang tidak wajar, namun mengundang. Ketika jarinya menyentuh permukaan pohon, sebuah suara yang lembut namun dalam bergema di sekelilingnya. Suara itu mengalir ke dalam dirinya, seperti sebuah bisikan yang langsung masuk ke dalam jiwanya.
“Lila, kamu telah melihat apa yang tidak bisa dilihat oleh banyak orang,” suara itu berkata, seakan berasal dari dalam pohon. “Namun, dengan pengetahuan ini, datanglah tanggung jawab yang besar. Kamu akan mulai melihat dunia dengan cara yang berbeda. Dunia yang dulu tampak kelabu akan terbuka dalam warna yang belum pernah kamu bayangkan.”
Lila terkejut, namun tidak merasa takut. Alih-alih, perasaan yang datang bersamanya adalah rasa penasaran yang lebih dalam. Apakah ini semua hanya mimpi? Ataukah ini kenyataan yang tidak pernah ia sadari sebelumnya? Pohon itu seakan tahu lebih banyak tentang dirinya, dan entah kenapa, Lila merasa ini adalah awal dari sebuah perjalanan besar dalam hidupnya.
Suara itu melanjutkan, “Di dunia ini, kamu akan bertemu dengan banyak warna. Warna yang bukan hanya mata bisa lihat, tetapi juga yang bisa dirasakan oleh hati. Namun, kamu harus hati-hati, karena ada warna yang bisa membawa kebahagiaan, dan ada pula yang bisa membawa kehancuran. Pilihan ada di tanganmu, Lila.”
Lila merasa seolah-olah dunia yang ia kenal berubah dalam sekejap. Ia telah mengetahui sebuah rahasia yang luar biasa, dan entah bagaimana, dunia sekelilingnya yang kelabu kini memiliki dimensi yang jauh lebih kompleks. Apa yang tadinya tampak biasa dan tanpa arti kini terasa begitu mendalam, penuh dengan misteri yang menunggu untuk dipecahkan.
Setelah bisikan itu menghilang, Lila berdiri di depan pohon itu, merenungkan kata-kata yang baru saja ia dengar. Dunia di sekitarnya masih penuh dengan warna, tetapi kali ini, ia bisa merasakan setiap warna dengan cara yang berbeda. Warna biru langit kini terasa lebih dalam, lebih luas, dan lebih menenangkan. Warna hijau rumput di bawah kakinya terasa hidup, seolah menyambut setiap langkahnya. Semua ini bukan hanya tentang apa yang ia lihat, tetapi tentang apa yang ia rasakan.
Ketika ia membuka mata, dunia di sekitarnya kembali menjadi kelabu, seperti dunia yang ia kenal. Namun, kali ini, perasaan yang datang bersamanya jauh berbeda. Ada perasaan penuh harapan, dan juga rasa tanggung jawab yang tiba-tiba muncul di hatinya. Ia tahu bahwa ia tidak bisa kembali ke dunia yang lama, dunia yang tidak pernah mempertanyakan apa yang ada di balik permukaan. Lila kini memiliki pengetahuan yang lebih dalam, dan dengan itu, dunia yang ia kenal tidak akan pernah sama lagi.
Setiap hari setelah kejadian itu, Lila mulai melihat dunia dengan cara yang berbeda. Ia bisa melihat warna yang lebih dari sekadar apa yang ada di luar dirinya. Semua yang terjadi di sekitarnya, bahkan hal-hal kecil sekalipun, mulai membawa makna yang lebih dalam. Namun, meskipun warna-warni kehidupan ini begitu memikat, Lila tahu bahwa ada harga yang harus dibayar. Mimpi-mimpi yang penuh warna ini akan mengubahnya, dan dengan perubahan itu, akan datang tantangan yang harus ia hadapi.
Suatu sore, ketika Lila sedang berjalan sendirian di taman, ia melihat seorang pria tua duduk di bangku. Pria itu menatapnya dengan tatapan yang dalam, seperti ada sesuatu yang ia tahu tentang Lila yang belum ia ketahui. Tiba-tiba, pria itu tersenyum dan berkata, “Kamu mulai melihatnya, bukan? Dunia yang penuh dengan warna. Tapi ingat, tidak semua warna itu datang dengan cara yang indah. Beberapa warna akan membuatmu terguncang. Kamu harus siap.”
Lila hanya bisa diam, meresapi kata-kata pria itu. Ia merasa ada sesuatu yang lebih besar yang sedang menunggunya, sebuah perjalanan yang tidak hanya akan menguji penglihatannya, tetapi juga jiwanya. Dunia yang penuh warna ini adalah sebuah teka-teki, dan ia harus mencari petunjuk-petunjuk yang tersembunyi untuk memahaminya lebih dalam.
Semakin hari, semakin Lila merasa bahwa perjalanannya baru saja dimulai. Dunia ini bukan hanya tentang melihat warna yang tampak di permukaan, tetapi juga tentang memahami setiap makna yang ada di balik warna-warna itu. Dan semakin dalam ia memasuki dunia ini, semakin ia menyadari bahwa ia harus berani menghadapi kenyataan yang mungkin akan mengubah segalanya dalam hidupnya.
Dengan langkah yang mantap, Lila melanjutkan perjalanannya, siap untuk menghadapi semua warna kehidupan yang akan datang.*
Bab 4: Rahasia di Balik Warna
Kejadian malam itu—mimpi yang begitu hidup, begitu nyata—membuat Lila terjaga dengan perasaan cemas yang tak terdefinisikan. Pagi harinya, meskipun dunia di sekitarnya masih tampak kelabu, perasaan Lila berubah. Ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya, sesuatu yang membuatnya merasa bahwa dunia ini tidak seperti yang ia ketahui. Semuanya terasa lebih nyata, lebih hidup. Namun, pada saat yang sama, ia merasa semakin terjebak dalam kebingungannya. Apa yang ia lihat dalam mimpi itu? Apakah itu hanya gambaran dunia yang pernah ada, atau mungkin dunia yang akan datang?
Lila tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa mimpi itu terasa begitu nyata. Ia merasa bahwa mimpi tersebut bukan sekadar bunga tidur semata, melainkan semacam pesan atau peringatan. Ada sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang terhubung dengan kilatan merah yang pertama kali ia lihat di tepi sungai. Sesuatu yang mungkin telah lama tersembunyi, yang kini mulai muncul kembali.
Hari itu, setelah kelas berakhir, Lila memutuskan untuk pergi mencari tahu lebih banyak. Ia tidak ingin hanya terjebak dalam kebingungannya tanpa jawaban. Perasaan ingin tahu yang semakin menggebu membuatnya berjalan menuju bagian kota yang jarang dikunjungi—sebuah sudut yang dipenuhi reruntuhan bangunan tua dan jalanan yang sudah lama tidak dijamah. Tempat ini, meskipun terlihat kumuh dan terlupakan, selalu terasa berbeda bagi Lila. Ada semacam keheningan yang aneh, seolah-olah ada sesuatu yang terkubur di sana.
Lila berjalan menyusuri jalan yang dipenuhi debu dan rumput liar. Semua di sekitarnya tampak sama, tetapi matanya mulai mencari petunjuk—sesuatu yang mungkin akan menjawab semua pertanyaannya. Di ujung jalan, di balik tumpukan batu besar, ia melihat sebuah pintu kecil yang terbuat dari kayu tua. Pintu itu tampak seperti sudah lama tidak digunakan, terkubur di dalam kegelapan, seperti menunggu untuk ditemukan. Penasaran, Lila mendekatinya, merasakan kegelisahan yang semakin memuncak dalam dirinya.
Dengan hati-hati, ia membuka pintu itu. Pintu yang terasa berat dan berderit saat dibuka itu membawa Lila masuk ke dalam sebuah ruangan kecil yang penuh dengan buku-buku tebal dan tumpukan kertas-kertas kuno. Bau debu dan kertas tua menyambutnya. Semua di ruangan itu terlihat seperti milik seseorang yang telah lama pergi, namun tidak ada yang tampak terurus. Lila merasa seperti baru saja menemukan sebuah dunia yang tersembunyi, tempat yang tidak diketahui oleh siapapun di kota ini. Ruangan itu penuh dengan keheningan yang memanggil untuk ditemukan.
Lila melangkah masuk dan mulai memeriksa buku-buku yang ada di sekitarnya. Beberapa buku berjudul aneh, penuh dengan simbol-simbol yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Salah satu buku menarik perhatiannya—sebuah buku besar dengan sampul kulit berwarna gelap, seolah-olah menyembunyikan rahasia yang sangat dalam. Lila membuka buku itu dengan hati-hati, dan seiring dengan halaman yang ia buka, ia mulai membaca kalimat-kalimat yang semakin membuatnya bingung.
Tertulis di sana: “Dunia ini adalah ilusi yang diciptakan untuk menjaga keseimbangan. Warna telah lama disembunyikan, karena kekuatan yang terkandung di dalamnya mampu mengubah dunia.”
Lila membaca kalimat itu berulang kali, mencoba mencerna maknanya. Dunia ini adalah ilusi? Warna disembunyikan? Apa yang sebenarnya terjadi pada dunia mereka? Semakin dalam ia membaca, semakin ia merasa bahwa ini bukanlah sekadar sejarah atau mitos. Buku ini sepertinya berisi petunjuk tentang bagaimana dunia Grayscale terbentuk, dan mengapa segala sesuatu yang ada di sana terlihat begitu kelabu.
Lalu, ia menemukan sebuah halaman yang menggambarkan sebuah simbol yang mirip dengan kilatan merah yang ia lihat di sungai. Itu adalah simbol yang tampaknya menggambarkan sebuah kekuatan yang tersembunyi—sebuah kekuatan yang, jika dibangkitkan, dapat mengubah segala sesuatu. Di bawah simbol itu tertulis sebuah kalimat lain yang membuat darah Lila berdesir.
“Hanya mereka yang terpilih yang dapat membuka tirai warna. Tetapi setiap langkah yang diambil akan membawa konsekuensi yang besar.”
Lila merasa mulutnya kering. Apa yang dimaksud dengan “terpilih”? Apakah ia adalah orang yang dimaksud dalam tulisan ini? Dan yang lebih penting lagi, apa yang akan terjadi jika ia benar-benar membuka tirai warna itu?
Lila menutup buku itu dengan tergesa-gesa, merasakan ketakutan yang tiba-tiba menguasai dirinya. Semua ini terlalu besar, terlalu rumit untuk dipahami. Namun, dalam hatinya, ia tahu bahwa ia tidak bisa mundur. Kilatan merah, mimpi yang penuh warna, dan buku ini—semuanya mengarah pada satu hal: ada sesuatu yang lebih besar yang sedang menunggunya. Sesuatu yang harus ia pahami, meskipun itu berarti ia harus mengorbankan rasa aman yang selama ini ia rasakan.
Ketika Lila kembali ke jalanan kota, ia merasa berat. Perasaan bingung dan cemas menyelimutinya. Dunia yang selama ini ia kenal seolah terbalik. Ia bukan hanya mencari jawaban tentang kilatan merah, tetapi ia juga mulai merasakan beban besar yang datang bersamanya. Ada kekuatan yang tersembunyi, dan ia kini berada di ambang untuk menemukannya—meskipun konsekuensinya bisa jauh lebih besar dari yang ia bayangkan.*
Bab 5: Di Ambang Kebenaran
Lila berjalan cepat melewati jalanan yang mulai gelap, perasaan bingung dan cemas masih menguasai dirinya. Buku yang baru saja ia temukan di ruang tua itu, dengan semua tulisan dan simbolnya, terus terbayang di benaknya. Kata-kata dalam buku itu jelas, dan semakin jelas juga bahwa dunia yang ia kenal selama ini bukanlah dunia yang sesungguhnya. Ada sesuatu yang tersembunyi, dan ia tahu bahwa ia harus mengungkapnya. Namun, setiap langkah yang ia ambil terasa lebih berat, seakan ada sesuatu yang menghalangi jalannya.
Hari itu, Lila merasa seolah-olah ia sedang berhadapan dengan dua dunia—dunia kelabu yang selama ini ia kenal, dan dunia baru yang penuh warna dan misteri yang kini terbuka di depan matanya. Meskipun dunia kelabu masih mengelilinginya, ia merasa semakin terpisah darinya. Sesuatu yang jauh lebih besar telah menyentuh hidupnya, dan itu membuatnya merasa tidak lagi bisa menjadi bagian dari Grayscale yang penuh rutinitas dan kedamaian semu.
Sesampainya di rumah, Lila langsung menuju kamarnya. Ia menutup pintu dengan hati-hati, memastikan tidak ada yang bisa mengganggu pikirannya. Ia duduk di tempat tidurnya dan membuka kembali buku yang ia temukan di ruang tua itu. Sekali lagi, ia membaca kalimat-kalimat yang membuat hatinya semakin berdebar. Kalimat-kalimat itu seperti menuntunnya menuju pemahaman yang lebih dalam, tetapi juga membawa ketakutan yang tak terungkapkan.
Di halaman yang lain, ia menemukan lebih banyak petunjuk—deskripsi tentang “tirai warna” yang tersembunyi. Buku itu menyebutkan bahwa tirai warna adalah lapisan tipis yang membatasi dunia kelabu dan dunia penuh warna. Warna, yang selama ini tersembunyi, adalah kekuatan yang bisa mengubah segalanya—baik untuk kebaikan maupun keburukan. “Tirai warna” itu sendiri adalah penghalang yang dibuat untuk menjaga keseimbangan dunia, agar tidak jatuh ke dalam kekacauan.
Lila mulai menyadari sesuatu yang mengerikan. Jika tirai warna itu benar-benar ada, apakah ia sedang berada di ambang untuk membukanya? Dan apa yang akan terjadi jika tirai itu benar-benar terbuka? Akankah dunia mereka berubah selamanya? Apakah ia siap dengan konsekuensi dari segala yang mungkin terjadi?
Dengan tangan yang gemetar, Lila menutup buku itu dan menyandarkan dirinya pada dinding kamar. Matanya menatap kosong ke luar jendela, menyadari bahwa hidupnya tidak akan pernah sama lagi. Jika apa yang ia baca itu benar, jika ia adalah orang yang terpilih untuk membuka tirai warna, maka hidupnya akan berubah selamanya. Tak hanya hidupnya, tetapi juga kehidupan seluruh kota Grayscale.
Malam itu, Lila tidak bisa tidur. Pikiran-pikirannya terus berputar, dan ia merasa semakin gelisah. Ia tahu bahwa ia tidak bisa mengabaikan pengetahuan ini. Sesuatu di dalam dirinya, sebuah dorongan yang kuat, mengatakan bahwa ia harus melanjutkan pencariannya. Namun, di sisi lain, rasa takut itu juga semakin mendalam. Setiap kali ia membayangkan apa yang bisa terjadi jika ia membuka tirai warna itu, ia merasa terombang-ambing antara keinginan untuk tahu lebih banyak dan ketakutan akan apa yang mungkin ia temui.
Keesokan harinya, Lila memutuskan untuk berbicara dengan Salim dan Mara. Mereka berdua adalah teman terbaiknya, dan meskipun mereka hidup di dunia yang sama kelabunya, Lila merasa mereka bisa mengerti kebingungannya. Mereka selalu menjadi tempat ia bercerita, dan meskipun mereka tidak tahu banyak tentang rahasia Grayscale, Lila merasa ada kenyamanan ketika berada bersama mereka.
Salim dan Mara duduk bersamanya di taman sekolah saat Lila memutuskan untuk membuka pembicaraan.
“Salim, Mara… ada sesuatu yang harus kalian ketahui,” kata Lila dengan suara rendah. Mereka berdua menatapnya dengan perhatian penuh. “Aku menemukan sesuatu yang… sulit untuk dijelaskan.”
Salim mengernyit, sementara Mara hanya menatapnya dengan penasaran. Lila menceritakan apa yang ia temukan di ruang tua itu—tentang buku, tentang tirai warna, dan tentang kekuatan tersembunyi yang bisa mengubah dunia mereka. Ia tidak tahu apa yang diharapkan dari mereka, tetapi ia merasa bahwa berbicara dengan teman-temannya adalah satu-satunya cara untuk mengurangi beban yang ia rasakan.
Setelah mendengarkan dengan seksama, Mara yang pertama kali berbicara. “Jadi, kamu benar-benar berpikir kalau ada dunia lain di luar Grayscale? Dunia dengan warna?”
Lila mengangguk. “Aku tahu ini terdengar gila, tetapi aku merasa ada sesuatu yang lebih besar di balik semuanya. Sesuatu yang harus kita ketahui.”
Salim terlihat ragu, tetapi akhirnya ia menghela napas. “Kita tidak bisa hanya duduk diam, kan? Kalau memang ada sesuatu yang tersembunyi, kita harus mencari tahu.”
Lila merasa sedikit lega mendengar dukungan dari teman-temannya. Meskipun mereka tidak sepenuhnya memahami semua yang terjadi, mereka bersedia untuk menemani Lila dalam pencariannya. Sebuah perasaan hangat menyelimuti dirinya—bahwa ia tidak sendirian dalam perjalanan ini.
Namun, meskipun Lila merasa lebih baik setelah berbicara dengan Salim dan Mara, hatinya masih dipenuhi rasa takut. Ia tahu bahwa membuka tirai warna bukanlah hal yang bisa dianggap enteng. Setiap langkah yang ia ambil kini terasa lebih berat, dan seiring berjalannya waktu, ia semakin sadar bahwa hidupnya akan segera berubah, terlepas dari apakah ia siap atau tidak.
Hari itu berakhir dengan perasaan yang terombang-ambing—antara harapan dan ketakutan. Lila tahu, satu hal yang pasti: perjalanan ini baru saja dimulai.*
Bab 6: Gerbang yang Terbuka
Hari-hari setelah pertemuannya dengan Salim dan Mara semakin terasa penuh dengan ketegangan. Lila merasa seolah-olah dunia di sekitarnya mulai menekan, seolah ia sedang berjalan di atas garis tipis yang bisa robek kapan saja. Setiap langkahnya terasa lebih berat, setiap keputusan yang ia buat memiliki konsekuensi yang semakin besar. Pikirannya terus berputar tentang tirai warna yang ia baca dalam buku itu, tentang apa yang mungkin akan terjadi jika ia memutuskan untuk membuka gerbang yang selama ini tersembunyi.
Namun, satu hal yang semakin jelas bagi Lila adalah bahwa ia tidak bisa kembali. Pengetahuan yang ia miliki tentang dunia Grayscale dan rahasia yang tersembunyi di dalamnya telah merubah cara pandangnya. Ia tidak bisa hanya duduk diam dan terus hidup dalam kebohongan. Ia harus mencari tahu lebih banyak, harus mengungkapkan apa yang tersembunyi di balik tirai warna itu.
Suatu sore, saat Lila duduk di bangku taman sekolah, Salim dan Mara datang menghampirinya dengan ekspresi serius. Mereka berdua terlihat lebih cemas daripada sebelumnya, dan Lila bisa merasakan adanya sesuatu yang mereka bicarakan di belakangnya. Sebelum Lila sempat bertanya, Mara membuka mulut.
“Lila,” suara Mara penuh dengan keprihatinan. “Kami telah mencari tahu lebih banyak tentang apa yang kamu temukan di buku itu. Ada yang harus kamu tahu.”
Lila menatap mereka dengan mata yang waspada. “Apa yang kalian temukan?”
Salim menarik napas panjang. “Kami pergi ke tempat yang sama, tempat kamu menemukan buku itu. Kami mencoba untuk mencari informasi lebih lanjut, tetapi ada sesuatu yang lebih mencurigakan di sana. Kami menemukan jejak kaki, tanda-tanda bahwa ada orang lain yang juga mencari hal yang sama.”
Lila terkejut. “Kalian bilang ada orang lain? Siapa?”
“Tidak tahu,” jawab Salim. “Tapi ada sesuatu yang lebih mengkhawatirkan. Kami menemukan petunjuk tentang satu tempat, tempat yang disebut ‘Gerbang Kebenaran’. Dalam buku itu, ada sebuah bagian yang menceritakan tentang tempat itu. Gerbang yang menghubungkan dunia ini dengan dunia lain—dunia yang penuh warna.”
Lila merasa darahnya berdesir mendengar kata-kata itu. “Gerbang Kebenaran? Apa itu?”
Mara menggigit bibirnya, tampak ragu. “Tidak ada yang tahu pasti. Tapi menurut buku itu, Gerbang Kebenaran adalah tempat yang bisa membuka tirai warna. Tapi itu bukan tanpa risiko. Membuka gerbang itu bisa membuat dunia kita berubah, dan kita tidak tahu apakah itu perubahan yang baik atau buruk.”
Lila terdiam, memikirkan kata-kata itu. Gerbang Kebenaran. Tempat yang bisa membuka tirai warna. Apa yang akan terjadi jika mereka benar-benar menemukannya? Apa yang akan mereka temui di dunia yang selama ini tersembunyi itu?
“Apa yang kita lakukan sekarang?” tanya Lila, suaranya lebih rendah dari biasanya. “Jika kita menemukan tempat itu, apakah kita siap untuk apa yang ada di baliknya?”
Salim dan Mara saling pandang, seolah saling menguatkan satu sama lain sebelum menjawab.
“Kita harus mencari tahu lebih banyak,” jawab Salim tegas. “Tidak ada cara untuk mundur. Kalau kita benar-benar ingin tahu apa yang terjadi dengan dunia ini, kita harus membuka Gerbang Kebenaran.”
Lila merasa sebuah rasa berat menyelimuti dirinya. Sebuah pilihan besar ada di hadapannya, dan ia tahu bahwa perjalanan ini akan membawa mereka lebih jauh ke dalam kegelapan. Namun, entah kenapa, hatinya tetap terdorong untuk melangkah maju. Dunia ini, dunia yang kelabu dan penuh kebosanan, tidak bisa lagi menjadi tempat yang ia kenal. Ada sesuatu yang lebih, sesuatu yang lebih indah dan penuh kemungkinan. Dan meskipun ia takut, ia juga merasa bahwa ini adalah kesempatan yang tidak bisa dilewatkan.
Dengan tekad yang bulat, Lila berdiri dan menatap Salim dan Mara. “Jika kita memutuskan untuk melakukan ini, kita harus melakukannya bersama-sama. Tidak ada yang boleh mundur, tidak ada yang boleh takut.”
Mara dan Salim mengangguk, menunjukkan kesepakatan mereka. Mereka tahu bahwa ini bukanlah perjalanan yang mudah, tetapi tidak ada jalan lain. Pencarian mereka untuk membuka tirai warna telah dimulai, dan mereka tidak bisa lagi berpaling.
Beberapa hari setelah itu, Lila, Salim, dan Mara melakukan perjalanan menuju tempat yang mereka yakini sebagai Gerbang Kebenaran. Letaknya tersembunyi di suatu bagian kota yang jauh dari keramaian, sebuah area yang jarang dikunjungi orang. Meskipun mereka sudah berusaha mencari petunjuk dari buku yang ditemukan Lila, jalan menuju gerbang itu tetap kabur, penuh dengan teka-teki dan rahasia.
Malam itu, saat mereka tiba di sebuah kuil tua yang sudah lama ditinggalkan, suasana di sekitar mereka terasa mencekam. Bangunan itu tampak seperti sebuah struktur kuno, dengan dinding-dindingnya yang sudah lapuk dimakan waktu. Namun, ada sesuatu yang menarik perhatian Lila—sebuah pintu batu besar yang terukir dengan simbol-simbol yang hampir mirip dengan yang ada dalam buku. Di atas pintu itu, terlukis sebuah gambar kilatan merah.
“Kita sudah sampai,” bisik Lila, suaranya bergetar.
Salim dan Mara hanya bisa menatap pintu itu dengan cemas. Mereka tahu bahwa mereka berada di ambang sesuatu yang besar. Mereka hanya bisa berharap bahwa mereka siap untuk apa yang akan datang.
Dengan hati yang berdebar, Lila melangkah maju, meletakkan tangannya di atas pintu batu itu. Ketika ia menyentuhnya, sebuah getaran terasa di dalam tubuhnya, dan seketika pintu itu perlahan mulai terbuka. Cahaya yang terang mulai menyelinap keluar dari celah pintu yang terbuka, mengungkapkan sebuah dunia yang jauh lebih cerah dan penuh warna daripada dunia kelabu yang mereka kenal.
Di depan mereka, dunia baru terbentang—dunia yang selama ini hanya ada dalam mimpi. Namun, di balik cahaya dan warna yang memukau, Lila tahu bahwa mereka telah melangkah ke dalam sesuatu yang lebih besar dari yang bisa mereka bayangkan.*
Bab 7: Dunia yang Terungkap
Begitu pintu batu terbuka sepenuhnya, cahaya yang memancar keluar terasa sangat terang, seakan dunia di seberang pintu itu telah menunggu terlalu lama untuk bisa dilihat. Lila, Salim, dan Mara berdiri terpaku, matanya terbuka lebar, tak percaya dengan apa yang mereka lihat. Dunia yang terbentang di depan mereka penuh dengan warna—merah, biru, hijau, kuning—semua warna yang tidak pernah mereka rasakan atau lihat sebelumnya. Mereka menginjakkan kaki di tanah yang lembut, namun terasa berbeda dari tanah di dunia kelabu mereka. Tanah ini terasa hidup, seolah-olah seluruh dunia di sini berdenyut dengan energi yang tak terungkapkan.
Lila menghela napas dalam-dalam. Udara di sini terasa lebih segar, lebih bersih, dan meskipun rasanya seperti berada di dunia yang jauh lebih indah, ada sesuatu yang aneh, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan. Ada perasaan cemas yang menyelimutinya, seolah-olah dunia yang tampak begitu sempurna ini menyimpan rahasia besar.
“Apa ini?” Salim bertanya dengan suara gemetar. “Ini… ini nyata?”
Mara menggenggam tangan Lila, merasakan kekhawatiran yang sama. “Ini dunia yang kita cari,” jawabnya, suara penuh keheranan. “Tapi… ada sesuatu yang tidak beres. Ini terlalu indah, terlalu sempurna.”
Lila merasakan getaran yang sama. Sesuatu di dalam dirinya berkata bahwa mereka berada di tempat yang sangat berbeda, dan dunia ini, meskipun penuh warna dan keindahan, memiliki rahasia yang lebih gelap yang tersembunyi di balik permukaan. Mereka berjalan perlahan, menjelajahi dunia baru ini, berharap menemukan petunjuk tentang apa yang harus mereka lakukan selanjutnya.
Di sekitar mereka, pohon-pohon yang tak pernah mereka lihat sebelumnya menjulang tinggi dengan daun yang berkilau berwarna-warni. Tanaman yang tumbuh di sepanjang jalan tampak hidup, bergetar seolah-olah mereka bisa berbicara. Suara air yang mengalir terdengar lembut di kejauhan, dan bunga-bunga berwarna cerah bermekaran di sekeliling mereka. Semua ini, bagi Lila, terasa seperti mimpi yang tidak pernah terbayangkan. Dunia ini, yang selama ini hanya ada dalam cerita dan mitos, kini ada di depan mata mereka.
Namun, semakin dalam mereka melangkah, semakin jelas bahwa dunia ini bukan hanya tentang keindahan. Ada rasa hampa yang menyelubungi tempat ini. Seolah ada sesuatu yang hilang. Lila tidak tahu mengapa, tetapi ia merasa seperti mereka sedang berjalan di atas garis tipis antara dunia ini dan sesuatu yang jauh lebih gelap. Sesuatu yang mengintai di balik keindahan ini, menunggu untuk terungkap.
“Apa yang sebenarnya terjadi di sini?” Lila berbisik. “Kenapa dunia ini terasa seperti… terperangkap?”
Mara menatapnya, wajahnya cemas. “Apa maksudmu, Lila?”
“Seperti ada sesuatu yang hilang,” jawab Lila, matanya memindai sekitar mereka. “Seperti dunia ini sempurna, tapi sepertinya tidak lengkap. Ada yang menyembunyikan sesuatu.”
Salim berhenti sejenak, merasakan getaran yang sama. “Lila benar. Ada semacam… kekosongan di sini. Tapi apa itu?”
Mereka melanjutkan perjalanan mereka lebih jauh, dan semakin dalam mereka masuk ke dalam dunia ini, semakin aneh suasananya. Mereka melihat sekumpulan makhluk yang tampak seperti manusia, tetapi dengan mata yang kosong dan wajah tanpa ekspresi. Mereka berjalan tanpa tujuan, seakan mengikuti gerakan yang tak bisa dihentikan, seakan-akan hidup mereka dikendalikan oleh sesuatu yang lebih besar. Setiap kali Lila dan teman-temannya mencoba berbicara dengan mereka, makhluk-makhluk itu tidak merespon—mereka hanya melanjutkan perjalanan mereka, seolah-olah berada dalam semacam rutinitas yang tak bisa mereka hindari.
“Apakah mereka seperti kita?” Salim bertanya dengan suara pelan. “Kenapa mereka tidak bereaksi?”
Lila merasakan ketakutan yang semakin dalam. Ada sesuatu yang sangat aneh dengan makhluk-makhluk itu. Mereka seperti terjebak dalam kehidupan yang monoton, tanpa kesadaran atau tujuan yang jelas. Lila merasa seperti mereka adalah gambaran dari apa yang bisa terjadi jika dunia ini benar-benar terbuka, jika tirai warna benar-benar dipindahkan.
Akhirnya, mereka tiba di sebuah tempat terbuka yang luas, sebuah dataran yang dikelilingi oleh tebing-tebing tinggi. Di tengah dataran itu, ada sebuah struktur besar yang tampak seperti sebuah kuil. Kuil itu terbuat dari batu putih yang bersinar, dengan pintu utama yang terbuka lebar, seolah mengundang mereka untuk masuk. Di sekitar pintu itu, ada ukiran-ukiran yang terlihat sangat kuno, tetapi begitu detail dan indah. Ukiran itu menggambarkan sebuah sosok yang memegang bola cahaya, dengan kilatan warna yang membentuk lingkaran di sekitarnya.
“Apakah ini… Gerbang Kebenaran?” Mara bertanya, matanya penuh harapan.
Lila mendekat ke pintu kuil itu, merasakan dorongan yang kuat untuk melangkah masuk. Seolah-olah sesuatu yang lebih besar menginginkannya untuk melakukannya. Sesaat sebelum ia menginjakkan kaki di dalam kuil, sebuah suara dalam dirinya berhenti.
“Jangan,” suara itu berbisik, seolah datang dari kedalaman jiwanya. “Jangan buka gerbang ini.”
Lila berhenti. Suara itu—suara yang datang entah dari mana—membuat darahnya beku. Apa itu? Kenapa suara itu memperingatkannya untuk tidak melangkah lebih jauh?
“Lila?” suara Salim memanggilnya, terkejut melihat Lila berdiri kaku. “Ada apa?”
Lila menoleh, matanya kosong, penuh keraguan. “Ada sesuatu yang salah di sini,” jawabnya dengan suara yang hampir tak terdengar. “Dunia ini… mungkin tidak seindah yang kita kira.”
Mereka semua merasa ketegangan itu semakin meningkat, tapi mereka sudah sampai sejauh ini. Gerbang itu menunggu. Lila tahu bahwa tak ada lagi jalan mundur. Mereka harus melangkah lebih dalam, meskipun apa yang ada di baliknya bisa jadi lebih berbahaya dari yang mereka bayangkan.***
———————–THE END——————–