• Latest
  • Trending
  • All
  • Movie Review
  • Box Office
  • Trailer
  • Action
  • Romantic
  • Comedy
  • Horror
  • Serial Movie
  • Genre
DIMENSI TERLARANG

DIMENSI TERLARANG

January 26, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025
JEJAK DI PINTU TERLARANG

JEJAK DI PINTU TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

May 17, 2025
TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

May 17, 2025
PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

May 12, 2025
HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

May 12, 2025
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

May 10, 2025
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

LUKISAN YANG MENANGIS

May 10, 2025
  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
No Result
View All Result
Novel Story
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah
Novel Story
DIMENSI TERLARANG

Oplus_131072

DIMENSI TERLARANG

by FASA KEDJA
January 26, 2025
in Fiksi Ilmiah
Reading Time: 29 mins read

 

Bab 1: Pintu yang Tertutup

Dr. Adrian Kallor berdiri di depan papan tulis besar di ruang kerjanya yang gelap, hanya diterangi oleh cahaya redup dari layar komputer yang penuh dengan data dan grafik. Suara ketikan jari-jarinya di atas keyboard menghiasi kesunyian malam yang mulai meresap ke dalam laboratoriumnya. Di luar, hujan rintik-rintik jatuh, namun di dalam, dia terfokus pada satu hal yang lebih besar dari sekadar cuaca. Di matanya, ada misteri yang lebih besar, lebih mendalam, dan lebih memikat dibandingkan apa pun yang telah ia temui selama bertahun-tahun menjalani karier ilmiah yang cemerlang.

Penemuan itu berawal dari sebuah eksperimen kecil yang dilaksanakan di laboratorium yang terpencil ini. Tidak ada pengawasan dari pihak universitas, tidak ada anggaran yang besar, hanya dirinya dan sebuah tujuan yang jelas: mengungkap dimensi lain yang selama ini dianggap hanya ada dalam teori dan mitos. Semuanya berawal ketika Dr. Kallor menemukan pola aneh dalam data gelombang elektromagnetik yang diterima oleh peralatan canggih miliknya. Pola ini tidak pernah terdeteksi sebelumnya dalam penelitian dimensi teori fisika yang melibatkan ruang-waktu.

Sejak saat itu, obsesi Dr. Kallor terhadap dimensi lain tumbuh semakin mendalam. Ia percaya bahwa dunia yang kita kenal, dengan segala hukum fisikanya, hanyalah salah satu lapisan dari banyak lapisan realitas yang lebih luas. Ia mempelajari teori-teori fisika kuantum, teori string, dan multiverse dengan penuh semangat. Namun, semakin dalam ia menggali, semakin banyak pertanyaan yang muncul. Jika ada dimensi lain, mengapa kita tidak bisa mengaksesnya? Apa yang tersembunyi di baliknya? Dan yang paling penting—apa yang akan terjadi jika kita berhasil membukanya?

“Satu langkah lagi,” gumamnya kepada dirinya sendiri, sambil menggeser kacamata yang kini menempel di hidungnya. “Satu langkah lagi untuk menjawab pertanyaan yang telah menghantuiku selama bertahun-tahun.”

Dia kembali menatap layar yang memantulkan grafik yang berisi data yang telah dikumpulkan selama berbulan-bulan. Angka-angka itu berputar, membentuk pola-pola tertentu yang menunjukkan lonjakan energi yang seharusnya tidak mungkin terjadi di dunia nyata. Terkadang, data tersebut memancar dengan intensitas yang tidak bisa dijelaskan oleh hukum fisika yang dikenal saat ini.

“Ini adalah gerbang,” bisiknya, seolah-olah berbicara dengan dirinya sendiri. “Gerbang ke dunia lain. Ke dimensi yang terpisah dari kita.”

Namun, kegembiraan yang melanda dirinya tidak sejalan dengan kesadaran bahwa eksperimen ini, meskipun telah memberikan petunjuk yang mencengangkan, juga sangat berbahaya. Tidak ada yang bisa memprediksi apa yang akan terjadi jika dimensi lain benar-benar dapat diakses. Bagaimana jika dunia itu bukan tempat yang aman? Bagaimana jika entitas lain dari dimensi itu datang ke dunia mereka, membawa malapetaka?

“Satu langkah lagi,” katanya dengan tekad, meyakinkan diri bahwa penemuan ini akan membawa kemajuan bagi umat manusia, atau bahkan lebih—pemahaman baru tentang alam semesta.

Dr. Kallor menatap perangkat di atas meja kerjanya: sebuah mesin besar yang terdiri dari serangkaian kawat, elektroda, dan alat pemancar energi yang dirancang untuk membuka pintu ke dimensi lain. Mesin itu telah disiapkan dengan sangat teliti, dan malam ini, dia yakin akan berhasil. Hanya dengan sedikit sentuhan, semuanya bisa berubah—terbuka, atau tertutup, selamanya.

Ia memasukkan kode akses ke dalam mesin. Layar komputer menunjukkan detik-detik terakhir dari persiapan. Momen itu terasa seperti detik-detik penentu, ketika dia bisa merasakan denyut jantungnya berdetak lebih cepat. Aliran energi semakin meningkat, dan alat di depan mata mulai bergetar. Dia bisa merasakan atmosfer laboratorium itu berubah, seolah-olah ruang-waktu di sekitarnya mulai melengkung, menciptakan ketegangan yang tak terlihat.

Tiba-tiba, layar komputer berkedip dan menunjukkan pola yang sama dengan yang terlihat pada percobaan pertama—sebuah lonjakan energi yang meledak di luar perkiraan. Mesin yang diciptakan untuk membuka gerbang ke dimensi lain mulai mengeluarkan suara berdengung yang semakin keras. Secara perlahan, ruang di depan Dr. Kallor mulai bergetar. Ada sesuatu yang mulai muncul—sesuatu yang tampaknya berasal dari tempat yang tak terjangkau.

Namun, sebelum ia sempat menyaksikan lebih banyak, layar komputer tiba-tiba mati. Seluruh laboratorium menjadi gelap gulita, kecuali cahaya dari perangkat mesin yang mulai meredup. Seolah-olah, dunia itu sendiri menahan napas.

Frustrasi dan rasa takut mulai merayapi dirinya. Apa yang baru saja terjadi? Apakah gerbang itu benar-benar terbuka? Ataukah ia hanya mengalami ilusi akibat lonjakan energi yang begitu besar?

Dr. Kallor cepat-cepat memeriksa kembali sistem cadangan daya. Semua tampaknya baik-baik saja, tetapi mesin itu tampak berhenti secara tiba-tiba, tanpa penjelasan. Seperti pintu yang tertutup rapat. Tidak ada petunjuk lebih lanjut. Tidak ada jejak dimensi lain yang bisa diakses. Semua informasi yang ia butuhkan tiba-tiba hilang begitu saja.

“Apa yang terjadi?” gumamnya dengan bingung, matanya terbeliak memandangi mesin yang kini kembali dalam keadaan mati. Tidak ada lagi suara berdengung, hanya kesunyian yang memekakkan telinga.

Tiba-tiba, layar komputer menyala kembali dengan sendirinya, menampilkan pola yang sama—tetapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Ada simbol-simbol aneh yang muncul di layar, simbol yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Pola itu tidak bisa dijelaskan dengan algoritma yang ada. Sebuah kode yang sangat tua, mungkin berasal dari luar dunia ini, muncul dengan jelas di hadapannya.

Dr. Kallor menatap simbol-simbol tersebut dengan cemas. Ini bukan hanya masalah teknologi atau eksperimen ilmiah. Ini adalah sesuatu yang lebih besar—sebuah penemuan yang tak terbayangkan, yang bisa membuka jalan ke dunia yang tidak pernah diketahui manusia.

Namun, ada satu hal yang lebih menakutkan daripada ketidakpastian tentang apa yang akan ia temui—pintu ini tidak akan bisa tertutup lagi. Apa pun yang terjadi setelah ini, ia tidak bisa mengembalikan semuanya seperti semula.

“Sebuah gerbang yang tertutup,” kata Dr. Kallor dengan suara rendah, menatap simbol yang terus berputar di layar. “Namun, pintu ini sudah terbuka. Dunia ini tidak akan pernah sama lagi.”

Pintu yang tertutup kini terbuka lebar, dan semua yang ada di baliknya sedang menunggu. Apa yang akan terjadi selanjutnya? Dr. Kallor tahu satu hal pasti—kini, tidak ada jalan mundur.*

Bab 2: Menyusuri Batas Realitas

Adrian Kallor duduk di kursinya, wajahnya tertunduk di depan meja. Tangannya menggenggam secangkir kopi yang hampir dingin, tetapi rasa pahitnya seakan tidak bisa menyadarkannya dari kebingungannya. Setiap inci ruang di laboratorium itu seolah bergetar, mengingatkan dirinya pada efek yang ditimbulkan oleh eksperimen malam sebelumnya. Mesin yang telah ia bangun, seharusnya dapat membuka akses ke dimensi lain—tetapi tidak seperti yang ia harapkan. Alih-alih menjawab, eksperimen itu hanya menambah satu pertanyaan baru: apa yang sebenarnya telah ia panggil?

Simbol-simbol aneh di layar komputer itu terus terngiang di pikirannya. Setiap kali ia mencoba memahami makna di baliknya, semakin banyak kemungkinan yang muncul, namun tidak satu pun yang dapat ia buktikan dengan sains yang ia kenal. Ada kekuatan yang jauh melampaui apa yang bisa dijelaskan oleh hukum alam semesta. Dan itu terletak di depan matanya, dalam bentuk pola yang tidak bisa dipahami oleh pemikiran manusia.

“Sebuah gerbang,” pikirnya, “tetapi gerbang untuk apa?”

Tiba-tiba, suara detik jam di dinding laboratorium membuyarkan lamunannya. Adrian menatap layar komputer yang masih menunjukkan pola simbol yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Ada perasaan ganjil yang muncul, seakan sesuatu mengawasi dari balik dimensi itu. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa seperti seorang penyusup, seseorang yang seharusnya tidak ada di sini, di ambang batas yang sangat berbahaya.

Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri, dan mulai mengetik kode baru untuk mengakses lebih jauh ke dalam data tersebut. Mesin di hadapannya kembali hidup, menyala dengan lebih terang. Pencahayaan yang semula redup kini berubah menjadi cemerlang, membentuk bayangan misterius yang bergerak di sekitar ruangan. Seperti ada sesuatu yang mulai bangkit, sesuatu yang menunggu untuk keluar.

“Ini adalah batas-batas realitas,” katanya pelan, hampir tidak percaya pada kata-kata yang baru saja keluar dari mulutnya. “Batas yang seharusnya tidak pernah dilalui.”

Namun, meskipun ada rasa takut yang membelit dirinya, rasa ingin tahu lebih kuat. Ia tahu bahwa ia telah melangkah ke wilayah yang tak terjamah, dan meskipun ada ancaman yang jelas di hadapannya, ia tidak bisa mundur. Penemuan ini—ini lebih dari sekadar eksperimen ilmiah. Ini adalah pengetahuan yang bisa mengubah segalanya.

Dengan tangan yang sedikit gemetar, Adrian melangkah menuju mesin dan menekan tombol yang akan mengaktifkan pemancar energi. Dalam sekejap, ruang di sekitarnya terasa semakin sempit, seakan dunia ini menyusut dan dunia lain mulai merayap masuk. Suara dengungan semakin keras, dan dalam beberapa detik, gelombang energi itu melesat ke luar, menembus batas-batas ruang-waktu.

Adrian menutup matanya sejenak, merasakan getaran energi yang datang dari segala arah. Ada sensasi aneh, seperti berhadapan dengan sesuatu yang lebih besar dari sekadar ruang dan waktu yang dia kenal. Ada gelombang kehadiran yang begitu kuat, seakan ada kekuatan lain yang sedang mengamati gerakannya.

Ketika ia membuka matanya kembali, semua berubah. Ruangan laboratorium itu sudah tidak terlihat lagi. Ia tidak lagi berada di tempat yang sama. Seketika, dunia yang dikenal tiba-tiba hilang dari pandangannya. Di depan Adrian terbentang sebuah pemandangan yang sama sekali berbeda.

Langit yang sebelumnya gelap kini terbelah oleh cahaya biru kehijauan yang memancar dari suatu sumber yang tidak terlihat. Tanah di bawah kaki Adrian tampak terbuat dari kristal yang berkilauan, memantulkan cahaya yang menari-nari dengan cara yang tidak alami. Udara terasa lebih tipis, namun anehnya tidak membuatnya sesak. Justru, ada sensasi kesegaran yang luar biasa, seperti tubuhnya menghirup udara murni untuk pertama kalinya.

Adrian melangkah maju, tubuhnya terasa ringan, seolah-olah gravitasi di tempat ini berbeda. Setiap langkahnya terasa seperti melayang di atas permukaan tanah yang tidak stabil. Suasana di sekitar sangat sunyi, namun tidak menakutkan. Ada kedamaian yang luar biasa, meskipun rasa penasaran dan kegelisahan menyelimuti pikirannya.

“Dimensi lain,” bisiknya, “aku… aku berada di dalamnya.”

Namun, seiring dengan kagum yang dirasakannya, ada perasaan lain yang muncul: ketidaknyamanan yang samar. Rasanya seperti dia sedang diamati. Adrian merasakan tatapan dari entitas yang tidak tampak, seolah-olah setiap gerakan dan pikirannya tercatat dalam dimensi ini. Ia tahu bahwa ia telah melewati batas yang tidak bisa ia pahami.

Ia mengangkat tangannya, dan seketika, sebuah kilatan cahaya muncul di ujung jarinya. Sebuah energi yang tidak pernah ia kenal, seolah-olah dimensi ini memberikan respons terhadap kehadirannya. Adrian mencoba mengendalikan energi itu, dan beberapa kali ia berhasil membentuk bola cahaya kecil yang berputar di sekitar tangannya. Namun, setiap kali energi itu semakin kuat, rasa kontrol yang ia rasakan mulai menghilang. Seperti ada kekuatan yang lebih besar yang berusaha menguasainya.

Tiba-tiba, tanah di bawahnya bergetar. Adrian terhuyung, hampir jatuh, tetapi dengan cepat ia menstabilkan diri. Dari kejauhan, ia melihat bentuk-bentuk gelap yang melayang, bergerak menuju ke arahnya. Tidak bisa dipastikan apakah itu makhluk atau hanya bayangan, namun sesuatu di dalam dirinya mengatakan bahwa ini bukan pertanda baik. Adrian berusaha untuk mundur, tetapi semakin banyak bentuk-bentuk itu yang muncul, semakin mendekat.

“Sesuatu sedang datang,” pikirnya dengan ngeri. “Ini tidak bisa terjadi. Aku harus kembali.”

Namun, ketika ia berbalik untuk mencari jalan keluar, pintu gerbang yang sebelumnya terbuka lebar kini telah tertutup. Tidak ada jejak lagi dari laboratorium, tidak ada cara untuk kembali ke dunia yang ia kenal. Adrian terjebak. Pintu yang membawanya ke dimensi ini telah tertutup rapat, dan sekarang, ia harus menghadapi apa pun yang datang dari dunia ini.

Dengan jantung berdebar, Adrian menatap ke depan. Tidak ada pilihan lain selain maju. Ia harus menyusuri batas realitas ini dan mencari cara untuk membuka jalan pulang—atau jika tidak, menemukan jawaban tentang dunia yang tersembunyi ini.*

Bab 3: Gerbang yang Tak Kembali

Adrian berdiri kaku di tengah-tengah dunia yang asing ini, matanya tak lepas dari pintu gerbang yang kini telah menghilang. Setiap helaan napasnya terasa terputus, tubuhnya tegang, otaknya berusaha mencerna kenyataan yang dihadapinya. Dunia yang ia pijak kini bukanlah dunia yang dikenalnya—tidak ada meja, tidak ada komputer, tidak ada alat-alat laboratorium yang dulu begitu akrab di tangannya. Yang ada hanyalah medan luas penuh cahaya biru kehijauan, di mana tanah terbuat dari kristal yang berkilauan, dan langit yang seolah tak pernah berhenti memancarkan cahaya yang mempesona. Semua tampak indah, tapi entah mengapa, ketenangan ini terasa begitu menekan.

“Bagaimana… ini bisa terjadi?” gumam Adrian pada dirinya sendiri, mulutnya terasa kering. Di dalam pikirannya, pertanyaan-pertanyaan terus berputar tanpa henti, namun tidak ada jawaban yang memadai. Semua yang ia tahu adalah bahwa ia telah melangkah jauh melewati batas yang tak bisa kembali.

Mata Adrian menatap ke sekelilingnya, memperhatikan setiap inci dari dimensi baru ini. Ada perasaan yang sangat kuat dalam dirinya, seolah ruang dan waktu tidak berlaku seperti yang ia pahami selama ini. Setiap langkahnya terasa seperti melangkah di dalam dunia yang melampaui segala yang telah ia pelajari. Ini adalah dunia di luar pengertian fisika, geometri, bahkan eksistensi itu sendiri.

Di kejauhan, Adrian bisa melihat bayangan-bayangan yang bergerak. Mereka bukan makhluk hidup, tetapi lebih seperti formasi gelap yang mengambang di udara. Setiap kali bayangan itu bergerak, langit di atasnya seolah bergelombang, memantulkan cahaya yang terus berubah. Semakin lama, semakin banyak bayangan yang muncul, seakan dunia ini tidak hanya diam, tetapi bergerak dalam ritme yang tidak pernah ia pahami.

“Apa ini? Dimensi ini, apa yang ada di baliknya?” pikir Adrian, menahan rasa takut yang menggerogoti dirinya. Apakah ia telah membuka sesuatu yang seharusnya tetap tersembunyi?

Dengan langkah ragu, ia melangkah maju. Setiap langkah yang ia ambil terasa semakin berat, seolah gravitasi dunia ini berfungsi dengan cara yang berbeda. Setiap desahan angin, setiap suara alam, menggetarkan realitas di sekitarnya. Semakin lama ia berjalan, semakin jelas bahwa dirinya tidak sendiri. Ada sesuatu yang hadir di sini—sesuatu yang jauh lebih besar, jauh lebih tua, dan jauh lebih kuat dari dirinya.

Tiba-tiba, dari kegelapan yang semakin mendekat, suara gemuruh terdengar, mengguncang udara di sekitarnya. Adrian membeku. Ia berusaha mencari sumber suara itu, namun tidak ada yang tampak. Hanya bayangan-bayangan yang bergerak tak beraturan, seolah mereka mengawasi, mengikutinya dengan penuh perhatian. Suara gemuruh itu terdengar semakin keras, dan dalam sekejap, sebuah kilatan cahaya menyambar, dan sebuah entitas besar muncul dari bayangan.

Makhluk itu bukan makhluk hidup dalam pengertian yang biasa. Tubuhnya terdiri dari energi yang bercahaya, bergerak seperti ribuan partikel yang menyatu, membentuk sebuah bentuk humanoid yang besar dan mengerikan. Tubuhnya bersinar terang, dengan semburat cahaya biru yang memancar dari inti yang tak terlihat. Adrian merasakan sensasi sejuk yang merayapi kulitnya, namun rasa takut yang begitu mendalam mulai merayap ke dalam dirinya.

“Siapa… siapa kamu?” suara Adrian bergetar, meski ia berusaha untuk tetap tenang.

Makhluk itu bergerak mendekat, meski tidak ada suara langkahnya. Di hadapan Adrian, entitas itu berhenti dan mengamati dengan tatapan yang sulit dijelaskan—sebuah pandangan yang seolah melihat langsung ke dalam jiwanya. Rasanya seperti seluruh keberadaannya sedang dihakimi, dicoba, dan ditimbang oleh makhluk ini. Adrian mencoba untuk mengalihkan pandangannya, tetapi tak bisa. Ada kekuatan yang menahan matanya untuk tetap terkunci pada entitas itu.

“Manusia,” suara entitas itu mengalir dalam pikiran Adrian, bukan dalam bentuk suara biasa, melainkan seolah-olah sebuah pemahaman langsung. “Kamu telah melangkah melewati batas yang seharusnya tidak kamu lewati. Gerbang ini… bukan untukmu.”

Adrian terperangah. Kalimat itu menggetarkan dirinya hingga ke dasar kesadarannya. “Gerbang ini bukan untukku?” ulangnya, merasa bingung. “Apakah… apakah kamu yang menjaga dunia ini?”

Entitas itu tidak menjawab dengan kata-kata lagi, tetapi gerakannya menunjukkan sesuatu yang lebih dalam. Di atas tubuhnya yang bercahaya, sebuah simbol mulai muncul. Sebuah lingkaran yang terbuat dari energi murni, bersinar dalam pola yang aneh dan tidak dapat dijelaskan. Pola itu berputar dengan kecepatan yang semakin cepat, seperti mekanisme dari dunia yang tidak ia kenal.

“Gerbang yang kamu buka,” suara itu terdengar kembali di dalam pikirannya, “adalah kunci bagi dunia ini untuk berinteraksi dengan dunia-mu. Tetapi untuk itu, keseimbangan harus dipertahankan.”

Adrian mulai merasakan getaran yang semakin kuat, seolah-olah dimensi itu sedang bergejolak. Setiap langkahnya kini terasa berat, tubuhnya mulai terasa lelah, dan perasaan takut semakin membesar. Ia tidak mengerti sepenuhnya apa yang terjadi, namun ia tahu satu hal—makhluk itu bukanlah penjaga biasa. Entitas ini adalah bagian dari dunia yang jauh lebih besar, yang bisa menghancurkan apa pun yang ada di sekitarnya jika terjadi ketidakseimbangan.

“Apa yang harus aku lakukan?” Adrian berusaha berbicara dalam pikirannya, berharap bisa menjangkau entitas ini dengan cara yang lebih baik.

Makhluk itu mengamati sejenak sebelum akhirnya berkata, “Tinggalkan dunia ini, atau hadapi konsekuensinya. Gerbang yang kamu buka… akan membawa kehancuran jika dibiarkan terbuka.”

Adrian merasa seperti seluruh tubuhnya terhimpit oleh kata-kata itu. Ada rasa takut yang mendalam, rasa terjebak di dalam dimensi yang tidak ia pahami. Namun, kata-kata makhluk itu mengganggu pikirannya. Kehancuran? Apa yang dimaksud dengan kehancuran?

Adrian tahu bahwa ia tidak bisa kembali begitu saja. Pintu gerbang yang telah ia buka tidak akan bisa tertutup begitu mudah. Dunia ini sudah mengikatnya, dan apa pun yang terjadi, ia harus mencari cara untuk mengatasi ketegangan antara dunia ini dan dunia tempatnya berasal.

Saat itu, makhluk itu bergerak menjauh, membiarkan Adrian merenung. Sebelum menghilang ke dalam bayangan, entitas itu mengucapkan satu kalimat lagi yang akan menghantui pikiran Adrian selama perjalanan yang tak pasti ini.

“Gerbang yang terbuka tidak pernah kembali.”*

Bab 4: Dunia yang Tidak Dikenal

Adrian berdiri diam, mata terpejam sejenak, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Kata-kata entitas itu—“Gerbang yang terbuka tidak pernah kembali.”—berputar-putar di pikirannya, seperti sebuah mantra yang menolak untuk pergi. Ia merasa terperangkap dalam dunia yang tidak ia pahami, dunia yang tidak seharusnya ia masuki. Namun, di balik rasa takut yang menggelayuti hatinya, ada sesuatu yang lebih kuat: rasa ingin tahu yang menggelora.

Dengan langkah pelan, Adrian melangkah lebih jauh ke dalam dimensi yang tak dikenal ini. Tanah kristal yang ia pijak berkilauan dengan cahaya biru kehijauan, memantulkan cahaya yang berasal entah dari mana. Udara di sekitarnya terasa tipis, namun segar, dan bau tanah yang basah mengingatkannya pada dunia yang jauh berbeda. Meskipun ada perasaan asing yang menyelimuti, tidak ada tanda-tanda kehidupan yang nyata di sekitar. Hanya kesunyian yang terasa begitu tebal, seolah seluruh dunia ini sedang menunggu sesuatu.

Adrian mencoba mencari petunjuk, tanda, atau bahkan jejak yang dapat membawanya untuk memahami lebih jauh tentang tempat ini. Namun, semakin ia berjalan, semakin jelas bahwa dunia ini tidak seperti yang ia kenal. Tanah di bawahnya terasa tidak stabil, seolah-olah tidak ada hukum fisika yang berlaku. Ia menoleh ke belakang, berharap bisa melihat jalan yang ia tempuh, tetapi jalan itu menghilang begitu saja, tersapu oleh kabut tipis yang tiba-tiba muncul.

Dalam kebingungannya, Adrian mencoba membuka perangkat komunikasi yang ia bawa. Hanya ada suara statis, tidak ada sinyal, tidak ada cara untuk menghubungi siapa pun. Semua teknologi yang ada padanya tampaknya tak berguna di dunia ini, seperti tidak memiliki tempat atau tujuan di sini.

“Dimensi ini… bukan hanya asing. Ini tidak mengikuti aturan yang aku tahu,” gumamnya, merasa semakin terasing dari kenyataan. “Aku harus menemukan cara untuk memahami ini, atau aku akan terjebak di sini selamanya.”

Adrian melangkah lebih jauh, berusaha untuk tetap tenang, meskipun rasa takut semakin menekan. Tidak ada suara makhluk hidup, tidak ada angin yang berhembus, tidak ada suara alam yang biasa ditemukan di dunia yang ia kenal. Semuanya begitu hening, seperti dunia yang sekarat, atau mungkin dunia yang sedang menunggu sesuatu untuk menghidupkannya kembali.

Tiba-tiba, dari kejauhan, ia melihat sesuatu yang mencuri perhatian. Sebuah cahaya lembut memancar dari balik kabut, seperti obor yang dipasang di kegelapan. Tanpa ragu, Adrian mendekat, berharap bisa menemukan sesuatu yang bisa memberinya jawaban. Saat ia semakin dekat, cahaya itu membentuk sebuah pola yang teratur—sebuah portal. Lebih mirip gerbang besar, dengan bingkai yang terbuat dari energi yang berputar perlahan. Di dalamnya, ada gambaran bayangan samar yang bergerak. Seperti sebuah ruangan yang tidak ada di dimensi ini, sebuah tempat yang seolah diluar jangkauan, tetapi bisa dilihat melalui gerbang itu.

“Apakah ini… pintu keluar?” pikir Adrian. Rasa harapan muncul sejenak, namun segera disusul oleh pertanyaan lain. Keluar ke mana? Ke dunia yang ia kenal? Atau, apakah ini hanya cara lain untuk menjebaknya?

Tanpa tahu pasti apa yang harus dilakukan, Adrian memutuskan untuk mendekat lebih dekat ke gerbang itu. Begitu ia melangkah mendekat, tubuhnya merasakan perubahan yang tiba-tiba. Suhu udara di sekitar gerbang itu sangat dingin, hampir beku, dan energi yang terpancar dari gerbang tersebut terasa seperti listrik yang mengalir ke seluruh tubuhnya. Adrian merasakan kulitnya bergetar, seakan dunia itu mencoba meresap ke dalam dirinya. Namun, ia tidak mundur.

Dengan hati-hati, Adrian mengulurkan tangannya, mencoba menyentuh energi yang memancar dari gerbang itu. Begitu jarinya menyentuh permukaan energi itu, tubuhnya disergap dengan kilatan cahaya yang membutakan mata. Ia merasa seperti dikelilingi oleh lautan energi yang tak terlihat, yang menariknya lebih dekat ke dalam gerbang itu. Sebuah suara besar menggema di kepalanya, menggetarkan setiap inci tubuhnya, meskipun tidak ada suara yang keluar dari gerbang itu sendiri.

“Kau tidak bisa kembali. Gerbang ini adalah akhir, bukan awal.” Suara itu kembali terdengar, jauh lebih kuat dan jelas daripada sebelumnya. Suara itu menggetarkan segala sesuatu yang ada di dalam dirinya, menantangnya untuk melangkah lebih jauh, untuk menerima kenyataan bahwa dunia yang ia kenal telah hilang, dan dunia baru ini adalah rumah barunya.

Adrian merasa tercekik oleh kata-kata itu. Ia sudah melewati batas yang seharusnya tidak ia lewati. Tidak ada cara untuk kembali ke dunia yang biasa ia kenal. Di hadapannya sekarang, ada sebuah dunia yang lebih besar, lebih kompleks, dan penuh dengan kemungkinan yang tidak terbatas—tapi juga penuh dengan ancaman yang tidak bisa ia pahami.

Namun, di balik ketakutan yang menguasai dirinya, ada dorongan yang tak terelakkan. Ia tahu bahwa ia tidak bisa mundur. Ini bukan hanya tentang dirinya lagi. Ini adalah tentang penemuan besar yang bisa mengubah peradaban manusia. Jika ia bisa memahami dunia ini, mungkin ada cara untuk kembali dan memberi tahu dunia apa yang telah ia temukan. Tetapi jika ia gagal—jika ia tidak bisa menemukan cara untuk bertahan—maka ia akan menjadi bagian dari dunia ini, hilang dan terlupakan.

“Apakah aku siap untuk ini?” pikir Adrian, matanya tertuju pada gerbang yang bersinar terang di hadapannya. “Apakah aku siap untuk melangkah lebih jauh?”

Tanpa jawaban pasti, ia mengumpulkan keberaniannya dan melangkah melalui gerbang itu, memasuki dunia yang lebih luas dan lebih tidak pasti daripada apa pun yang pernah ia bayangkan. Begitu kakinya menjejakkan tanah di sisi lain, segala sesuatu berubah. Ia merasa seperti memasuki ruang yang sama sekali berbeda—bukan hanya dimensi yang berbeda, tetapi sesuatu yang lebih dalam, lebih dasar, lebih nyata dan sekaligus lebih tidak nyata.

Adrian berdiri di tengah dunia yang tampaknya tak berujung. Di sekelilingnya, ruang itu terus berputar, ruang dan waktu melengkung dalam cara yang tidak pernah ia pelajari. Angin tak terlihat mengelilinginya, membawa serta perasaan bahwa ada sesuatu yang jauh lebih besar yang sedang mengawasinya, sesuatu yang telah menunggu kedatangannya. Dunia ini, penuh dengan cahaya yang menyilaukan dan bayangan yang bergerak, bukanlah tempat untuk manusia.

Ia harus mencari cara untuk memahami tempat ini, dan mungkin, menemukan jawaban atas pertanyaan yang telah menggelayuti pikirannya sejak awal: Apa yang sebenarnya ada di balik gerbang ini? Dunia ini adalah tempat yang penuh dengan potensi, tetapi juga penuh dengan bahaya yang tak terbayangkan.

Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Adrian menyadari satu hal yang sangat jelas: Ia tidak hanya sedang berada di tempat yang tidak dikenal—ia berada dalam sebuah perjalanan yang akan mengubahnya selamanya.*

Bab 5: Penghancuran dan Pengkhianatan

Adrian merasakan dunia itu berputar lebih cepat dari sebelumnya. Begitu ia melangkah lebih jauh ke dalam dimensi yang tak dikenal ini, setiap langkahnya seakan membawa lebih banyak ketegangan ke dalam dirinya. Tanpa memperhatikan sekeliling, ia melangkah dengan hati-hati, berharap bisa menemukan sesuatu yang familiar, sesuatu yang bisa memberi petunjuk tentang dunia ini. Namun, tidak ada yang lebih familiar dari yang ia kira. Apa yang ia hadapi sekarang adalah dunia yang jauh lebih berbahaya dan penuh misteri.

Langit di atas kepalanya tak tampak seperti langit yang ia kenal. Hanya ada warna keunguan yang bercampur dengan semburat merah jambu, menciptakan pemandangan yang menakutkan namun menakjubkan. Tanah yang ia pijak terlihat seperti batu besar yang tak terhubung dengan tanah lainnya, menggantung di udara seolah-olah gravitasinya berfungsi dengan cara yang sangat berbeda. Suara angin berdesir lembut, namun itu tidak memberi ketenangan—hanya menambah ketegangan dalam dirinya.

Perasaan terisolasi semakin mencekam, dan ia mulai merasa bahwa dunia ini tidak hanya menantangnya untuk bertahan hidup, tetapi juga mencoba menghancurkannya. Sesaat, ia merasa seolah-olah ada sesuatu yang bergerak dalam kegelapan, sesuatu yang tidak bisa ia lihat, namun jelas bisa merasakannya.

Tak lama, ia mendengar suara langkah kaki yang terdengar sangat dekat. Dengan refleks, Adrian berbalik dan mengangkat tangan, seolah mencoba menahan serangan yang datang. Namun, yang ia lihat bukanlah musuh, melainkan teman—atau lebih tepatnya, seseorang yang pernah ia anggap teman.

“Ava?” teriak Adrian, terkejut melihat sosok wanita itu. Ava, seorang ilmuwan muda yang sempat bekerja bersama Adrian di laboratorium, muncul dari balik kabut yang gelap. Wajahnya tampak lebih tegas dari sebelumnya, namun ada sesuatu yang berbeda—sesuatu yang sangat tidak biasa dari caranya berjalan, dari sorot matanya yang tajam dan penuh kebencian.

“Apa yang terjadi padamu?” tanya Adrian dengan cemas, melangkah maju untuk mendekatinya. Namun, Ava tidak menjawab. Ia hanya menatapnya dengan pandangan kosong yang seolah mengandung kebingungan dan kebencian yang dalam.

“Aku tidak lagi berada di pihak yang sama denganmu, Adrian,” jawab Ava, suaranya terasa datar, seolah datang dari tempat yang sangat jauh. “Dunia ini tidak bisa diselamatkan. Dan kamu… kamu adalah bagian dari masalah.”

Adrian terkejut mendengar kata-kata itu. Ava, yang dulu selalu berbicara tentang perubahan besar dan harapan baru, kini tampak begitu berubah. Tidak ada lagi semangat atau keyakinan dalam dirinya—hanya kekecewaan dan kebencian yang begitu jelas.

“Ava, apa yang kamu bicarakan? Ini bukan kamu!” teriak Adrian, mencoba menyentuh bahunya. Namun, Ava menghindar dengan cepat, mundur beberapa langkah, dan tatapannya semakin tajam.

“Kamu tidak mengerti, Adrian. Kamu belum melihat gambaran besar. Kamu masih terjebak dalam ilusi, mencoba bertahan pada sesuatu yang sudah tidak bisa dipertahankan lagi. Dunia ini sudah terkutuk. Ini bukan dunia kita lagi!” kata Ava, suara semakin meninggi, seolah tidak bisa mengendalikan emosi yang terpendam begitu lama.

Adrian merasakan ketegangan yang semakin meningkat. Apa yang terjadi pada Ava? Bagaimana bisa dia berubah begitu cepat? Sebuah pemikiran muncul di benaknya, dan ia merasa mual saat menyadari kemungkinan yang paling buruk: bahwa Ava bukan lagi dirinya yang dulu. Dia mungkin sudah terpengaruh oleh kekuatan yang jauh lebih besar dari yang bisa ia pahami. Dan jika Ava telah berubah, siapa lagi yang akan berubah?

Sebelum Adrian sempat berkata lebih banyak, Ava melangkah mundur lebih jauh dan mengangkat tangannya. Sesaat kemudian, sebuah ledakan energi besar menggelegar dari tubuhnya. Energi itu membentuk gelombang kekuatan yang meluluhlantakkan tanah di sekitar mereka. Adrian terlempar ke belakang oleh kekuatan itu, tubuhnya terhempas keras ke permukaan batu. Dalam sekejap, ia merasakan sakit yang tajam, namun ia masih bisa melihat—melihat Ava yang kini berubah menjadi sosok yang hampir tak dikenali.

“Ava, apa yang kamu lakukan?” teriak Adrian, sambil berusaha bangkit, menahan rasa sakit yang semakin menyengat di tubuhnya. Ia menyadari, saat itu, bahwa ini bukanlah sekadar pertarungan fisik. Ini adalah pertarungan untuk jiwa. Ava telah beralih ke sisi yang gelap, dan dia telah memilih untuk menghancurkan apa yang tersisa dari dunia yang ia kenal.

Ava menyeringai sinis, dan tatapan matanya penuh dengan kebencian. “Aku tidak memilih untuk menghancurkan dunia ini, Adrian. Aku hanya memilih untuk menerima kenyataan yang ada. Dunia ini sudah tak ada gunanya lagi. Ini adalah kejatuhan yang sudah seharusnya terjadi, dan kamu hanya tidak mau melihatnya.”

Adrian berjuang untuk berdiri, matanya tidak pernah lepas dari Ava, yang kini berdiri dengan kekuatan yang sangat mengerikan. Namun, ada sesuatu dalam diri Adrian yang masih berusaha melawan. Dalam keputusasaannya, ia merasakan kekuatan dalam dirinya mulai bangkit—bukan karena alat atau teknologi, tetapi karena tekadnya untuk bertahan, untuk memperbaiki apa yang telah hancur.

Dengan langkah yang berat, Adrian maju ke depan, mengabaikan rasa sakitnya. “Kamu mungkin sudah berubah, Ava. Tapi aku masih percaya ada harapan. Aku akan menghentikanmu.”

Ava tertawa, namun tawa itu terdengar pahit dan penuh kebencian. “Harapan? Kamu masih berpikir seperti itu? Tidak ada yang bisa menyelamatkan dunia ini lagi, Adrian. Dan kamu sudah terlambat untuk menyadarinya.”

Sebuah ledakan energi lainnya meluncur dari tubuh Ava, langsung menghantam Adrian dengan kekuatan luar biasa. Ia terlempar ke belakang dan jatuh ke tanah yang pecah. Tubuhnya terasa seolah-olah akan hancur berkeping-keping, namun ia masih bertahan.

“Ini adalah penghancuran yang tak terhindarkan, Adrian. Dunia ini sudah mati,” Ava berujar, suaranya kini penuh dengan rasa puas dan kemenangan.

Namun, di saat yang sama, sesuatu dalam diri Adrian bangkit. Ia tidak bisa membiarkan Ava menang. Tidak seperti ini. Dunia yang mereka coba bangun bersama, dunia yang mereka impikan bersama, tidak boleh dihancurkan oleh tangan orang yang sudah ia anggap sebagai sahabat.

Adrian bangkit, meski tubuhnya masih gemetar oleh rasa sakit. Dalam hatinya, ada keputusan yang bulat: ia harus menghentikan Ava, dan segala ancaman yang akan menghancurkan dunia ini. Ia mungkin tidak tahu bagaimana, tetapi ia tahu satu hal yang pasti—pengkhianatan yang dilakukan Ava tidak akan membuatnya mundur.

Ini adalah saatnya untuk menghadapi kenyataan dan bertarung, tidak hanya untuk dirinya, tetapi untuk semua orang yang masih berharap dunia ini bisa diselamatkan.*

Bab 6: Melawan Kekuatan yang Terlarang

Adrian merasakan gelombang kekuatan gelap yang menyelimuti tubuhnya. Ava, dengan segala kehebatannya yang baru ditemukan, kini berdiri di hadapannya, sosok yang pernah ia anggap sebagai teman—sekarang menjadi musuh yang harus dihentikan. Energi yang dimiliki Ava kini bukan lagi sekadar kekuatan biasa. Itu adalah kekuatan yang berasal dari dimensi yang terlarang, kekuatan yang bisa merobek kenyataan itu sendiri, mengubah segala yang ada menjadi kepingan yang hancur. Adrian tahu, ia harus berjuang dengan cara yang belum pernah ia bayangkan sebelumnya.

Dengan nafas tersengal, Adrian berdiri di hadapan Ava. Tubuhnya terasa berat, terhimpit oleh rasa sakit yang terus datang dan pergi. Namun, di balik semua itu, ada satu tekad yang membara—ia tidak akan membiarkan dunia ini jatuh ke tangan seseorang yang telah terkorupsi oleh kekuatan gelap. Tidak, tidak seperti ini.

Ava, yang kini terlihat jauh lebih kuat dan berbahaya, tersenyum tipis. Senyum itu bukan lagi senyum yang penuh keyakinan, melainkan senyum yang penuh dengan kebencian dan penghinaan. “Kamu tidak mengerti, Adrian,” katanya dengan suara rendah yang penuh makna. “Kekuatan ini lebih dari sekadar kekuatan fisik. Ini adalah kekuatan yang berasal dari inti segala hal. Dimensi yang kita coba lewati, yang selama ini terlarang, telah memberi kami kekuatan untuk mengubah dunia ini sesuai keinginan kita.”

Adrian menggertakkan gigi. “Kamu telah dibutakan, Ava. Kekuatan itu bukan untuk dipergunakan semena-mena. Itu bukan sesuatu yang bisa kita kontrol tanpa ada harga yang harus dibayar.”

Ava tertawa, namun tawa itu terdengar kosong, seolah-olah ia sudah tidak peduli lagi dengan peringatan-peringatan itu. “Harga? Semua hal ada harganya, Adrian. Bahkan hidupmu sendiri.”

Tanpa peringatan, Ava mengangkat tangannya, dan sebuah gelombang energi hitam menghantam udara di sekitar mereka, menciptakan distorsi yang mengganggu realitas itu sendiri. Tanah di bawah kaki Adrian mulai retak, dan udara terasa semakin sesak, seolah ada kekuatan yang menarik seluruh dunia ke dalam kekosongan.

Adrian tidak punya waktu untuk ragu. Ia berlari, melompat ke samping untuk menghindari serangan gelombang energi yang meluncur deras ke arahnya. Dengan cepat ia menyadari bahwa berlari hanya akan memperlambatnya. Ia harus bertindak lebih cepat, dan lebih cerdas. Ava sudah menguasai kekuatan yang berasal dari dimensi terlarang itu, dan dunia di sekitarnya mulai berubah menjadi sesuatu yang asing—sesuatu yang tidak bisa ia kenali.

Ia memutar pikirannya, mencari cara untuk melawan. Di dalam dirinya, ada pengetahuan yang sempat ia pelajari di laboratorium. Pengetahuan yang sebenarnya sangat berbahaya jika diterapkan, tetapi dalam situasi seperti ini, ia tidak memiliki pilihan lain. Ia harus mencoba mengakses kekuatan itu, meskipun ada risiko yang sangat besar.

Adrian menutup matanya sejenak, fokus pada inti yang ada dalam dirinya—sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Tanpa sadar, ia mulai mengingat kembali riset-riset yang ia lakukan bersama Ava. Tentang dimensi terlarang, tentang bagaimana realitas bisa digoyahkan oleh energi yang berasal dari luar batas pemahaman manusia. Kekuatan itu… ia merasa bisa merasakannya. Dalam tubuhnya, sesuatu yang besar mulai bergerak. Ada energi yang terpendam, yang hanya bisa digunakan dalam keadaan darurat.

Saat ia membuka matanya, ada kilatan cahaya biru yang menyelimuti tubuhnya. Kekuatan itu mengalir, mengubah segalanya. Seketika, tubuh Adrian terasa lebih ringan, lebih cepat, dan lebih kuat dari sebelumnya. Tangan kanannya terangkat, dan energi biru yang melingkupi tubuhnya mengalir keluar, membentuk pelindung yang memantulkan serangan-serangan Ava.

Ava tampak terkejut. “Apa yang kamu lakukan, Adrian?” tanyanya, suaranya penuh dengan keheranan. “Kekuatan itu… itu tidak seharusnya bisa kamu kendalikan.”

Adrian tersenyum tipis. “Ini adalah kekuatan yang kamu buat, Ava. Ini adalah kekuatan yang terlahir dari dimensi terlarang itu. Aku hanya mengambil kesempatan untuk menggunakannya dengan cara yang benar.”

Ava menggeram marah. “Kamu pikir kamu bisa mengalahkanku dengan kekuatan itu? Kamu tidak tahu apa yang sedang kamu hadapi, Adrian! Aku sudah berada di ambang kekuasaan yang tak terbatas.”

Kali ini, Ava tidak hanya mengandalkan gelombang energi. Ia mulai mengubah bentuk realitas di sekitarnya, menciptakan ilusi yang begitu nyata, sehingga membuat Adrian merasa seolah-olah ia terperangkap dalam dunia yang berubah-ubah. Tanah di bawahnya mulai terpecah menjadi potongan-potongan yang melayang, dan angin yang berputar membawa suara-suara aneh yang membingungkan inderanya.

Namun, Adrian tidak terperdaya. Ia telah melihat cukup banyak hal aneh selama petualangannya untuk tahu bahwa ini hanyalah ilusi—realitas yang diciptakan oleh kekuatan Ava. Dengan fokus yang semakin tajam, Adrian mengarahkan energi biru yang ada dalam dirinya, memfokuskan semuanya pada satu titik di hadapannya. Ia melontarkan serangan energi yang cukup kuat untuk menembus ilusi dan menghancurkan kekuatan Ava.

Ava berusaha menghindar, namun energi itu terlalu kuat. Ia merasa seolah-olah tubuhnya terkoyak oleh gelombang kekuatan itu. Sementara Adrian, dengan tekad yang semakin menguat, terus bergerak maju, mendekati Ava yang terlempar jauh ke belakang.

“Ava… ini tidak seharusnya berakhir seperti ini,” kata Adrian, suaranya penuh dengan penyesalan. “Kekuatan ini—itu bukan jalanmu.”

Ava terbaring di tanah, tubuhnya terhuyung dan terhentak oleh energi yang baru saja diciptakan Adrian. Namun, matanya tetap terbuka, dan meskipun ia terluka, ada kebencian yang masih menyala di dalamnya.

“Kamu tidak akan pernah memahami, Adrian,” jawab Ava dengan suara yang penuh dengan kepahitan. “Dunia ini sudah mati. Kekuatan ini—adalah jalan menuju kebebasan yang sejati.”

Adrian hanya menggelengkan kepala, menatap Ava dengan tatapan penuh simpati. “Tidak, Ava. Jalan kebebasan yang sejati adalah jalan yang membawa kita pada kedamaian, bukan kehancuran.”

Dengan langkah pasti, Adrian melangkah maju, siap untuk mengakhiri konflik ini. Kekuatan yang telah dibangkitkan dari dimensi terlarang itu mungkin telah memberinya keuntungan, tetapi ia tahu bahwa itu bukan hanya sekadar kekuatan fisik yang bisa memenangkan pertarungan. Yang ia butuhkan adalah hati yang kuat, tekad yang tak tergoyahkan, dan keyakinan bahwa dunia ini masih layak untuk diselamatkan.

Dan kali ini, Adrian akan berjuang untuk itu—meskipun harus menghadapi kegelapan yang terlahir dari pengkhianatan yang paling dalam.*

Bab 7: Kekuatan yang Membangun dan Menghancurkan

Keheningan menyelimuti medan pertempuran yang hancur lebur. Seluruh tanah di sekitar mereka masih bergetar akibat energi yang baru saja dilepaskan. Ada kepulan debu yang perlahan jatuh, dan suara gemuruh yang memudar, meninggalkan rasa kosong di udara. Adrian berdiri di tengah reruntuhan, mengamati tubuh Ava yang tergeletak di tanah. Perasaannya campur aduk. Meskipun ia berhasil mengalahkan Ava, kemenangan itu terasa pahit. Ava tidak mati, namun ia terluka parah, tubuhnya terkulai lemah, dan matanya yang dulu penuh dengan ambisi kini hanya menyisakan kekosongan.

Namun, pertempuran ini belum berakhir. Di dalam dirinya, Adrian merasakan dampak besar dari kekuatan yang baru saja ia gunakan. Itu bukan hanya energi yang mengalir melalui tubuhnya—ini adalah sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang lebih kuat, namun sekaligus lebih berbahaya. Kekuatan yang berasal dari dimensi terlarang itu bukanlah kekuatan yang bisa dianggap enteng. Setiap kali ia menggunakan kekuatan tersebut, ada harga yang harus dibayar. Bukan hanya tubuhnya yang terkuras, tetapi juga jiwanya, dan bahkan realitas di sekitarnya.

Ava perlahan membuka matanya yang suram, menatap Adrian dengan tatapan tajam. “Kau… kau tak mengerti,” kata Ava dengan suara yang terengah-engah. “Kekuatan ini… tidak bisa dibendung. Itulah mengapa kita perlu menggunakannya. Dunia ini—semua ini—terlalu lemah untuk kita biarkan bertahan seperti sekarang.”

Adrian mendekat, memandang Ava dengan hati yang penuh penyesalan. “Kekuatan itu tidak akan membawa dunia ini ke tempat yang lebih baik, Ava. Ini hanya akan menghancurkannya lebih cepat,” jawabnya, suaranya tenang, meskipun ada keletihan yang menyelinap ke dalam setiap kata-katanya. “Kita tidak bisa membangun dunia dengan kehancuran. Itu bukan cara yang benar.”

Ava tersenyum sinis, darah mengalir dari bibirnya. “Dunia ini sudah hancur, Adrian. Kita hanya tinggal membersihkan sisa-sisa puing-puingnya. Hanya dengan cara itu, kita bisa membangun sesuatu yang lebih besar, lebih kuat.”

Mendengar kata-kata Ava, Adrian merasa ada sesuatu yang sangat mendalam dan mengerikan dalam apa yang sedang terjadi. Kekuatan yang dipakai Ava bukanlah kekuatan yang bisa dicapai dengan mudah. Itu adalah kekuatan yang berasal dari suatu tempat yang lebih tua dan lebih gelap, yang tak bisa dipahami oleh banyak orang. Dan yang lebih menakutkan, ia merasakannya mengalir dalam dirinya sendiri. Ada perasaan tak terkontrol yang mulai muncul setiap kali ia menggunakan kekuatan itu—keinginan untuk mengubah segalanya, untuk menghancurkan dan membangun kembali dunia sesuai dengan kehendaknya sendiri.

Adrian menggenggam erat tangannya, mencoba untuk menahan dorongan itu. Setiap kali kekuatan itu mengalir dalam dirinya, ada bagian dari dirinya yang ingin melepaskan semuanya—menggunakan kekuatan itu untuk mengubah dunia, untuk memperbaiki segala yang rusak. Namun, Adrian tahu bahwa itu adalah ilusi. Kekuatan yang luar biasa itu dapat membangun, tetapi ia juga dapat menghancurkan.

Di kejauhan, langit mulai gelap, seolah merespon ketegangan yang tengah berlangsung. Kilat menyambar, dan angin yang menggigit menyapu tanah. Suara gemuruh menggelegar, seolah dunia itu sendiri sedang menunggu untuk meledak. Adrian menyadari, ini bukan hanya pertarungan fisik—ini adalah pertarungan untuk mempertahankan keseimbangan dunia yang ada, agar tidak terperosok lebih jauh ke dalam kehancuran.

“Ava,” kata Adrian, suaranya berubah penuh tekad, “Aku tidak bisa membiarkanmu menghancurkan semuanya untuk ambisimu sendiri. Aku tahu kita bisa menemukan cara yang lebih baik.”

Ava mencoba untuk bangkit, meskipun tubuhnya gemetar. “Cara yang lebih baik?” Ia tertawa, meskipun suaranya terdengar sangat lemah. “Kamu masih tidak mengerti, Adrian. Kekuatan ini… kekuatan ini adalah jawaban untuk semua masalah kita. Dunia ini… segala sesuatu yang kita lihat, yang kita alami—semuanya hanya ilusi. Hanya dengan mengakses dimensi ini kita bisa menciptakan dunia baru, dunia yang lebih sempurna.”

Namun, ada sesuatu yang mulai terwujud dalam pikiran Adrian. Dalam pandangannya, Ava yang pernah ia anggap sebagai sahabat kini terlihat seperti seseorang yang telah tersesat dalam kegelapan, tergoda oleh kekuatan yang seharusnya tidak dimiliki oleh siapa pun. Kekuatan itu seharusnya digunakan untuk membangun, bukan untuk menghancurkan. Dan jika Ava tidak bisa melihat kebenaran itu, maka Adrianlah yang harus menghentikannya.

Tanpa memberi waktu untuk berdebat lebih lanjut, Adrian mengangkat tangannya, mencoba mengumpulkan kekuatan dalam dirinya. Namun kali ini, ia melakukannya dengan cara yang berbeda. Alih-alih membiarkan energi itu meledak dengan kekuatan destruktif, ia mencoba untuk memusatkannya, mengendalikan aliran energi tersebut agar dapat digunakan untuk menciptakan sesuatu yang lebih baik, bukan untuk menghancurkan. Ia ingin mengubah energi itu menjadi alat yang bisa memperbaiki kerusakan yang telah terjadi, mengembalikan keseimbangan yang telah hilang.

Namun, saat energi itu mulai terkumpul di tangannya, Adrian merasakan perlawanan yang hebat. Kekuatan itu—kekuatan yang berasal dari dimensi terlarang—menolak untuk dikendalikan. Ia merasakan betapa kuatnya dorongan untuk menggunakan energi tersebut untuk menghancurkan, untuk menghapus segala sesuatu yang tidak sesuai dengan kehendaknya. Jika ia tidak hati-hati, kekuatan itu bisa menghancurkan dirinya sendiri.

Adrian berusaha untuk bertahan, menyadari bahwa ini adalah ujian sejati. Kekuatan itu, meskipun bisa digunakan untuk membangun, juga bisa menghancurkan. Itu adalah kekuatan yang bisa menciptakan dunia baru, tetapi dengan harga yang sangat tinggi. Apa yang terjadi selanjutnya bergantung pada keputusan yang ia ambil sekarang—apakah ia akan menggunakan kekuatan ini untuk membangun, ataukah ia akan jatuh ke dalam godaan untuk menghancurkan?

Dengan sekuat tenaga, Adrian menahan dorongan destruktif itu, berfokus pada niatnya untuk melawan gelombang kekuatan yang membanjiri tubuhnya. “Aku akan membangun dunia ini,” gumamnya, berusaha untuk memfokuskan pikirannya, “bukan menghancurkannya.”

Ava, yang masih tergeletak di tanah, mengangkat kepala, matanya yang penuh kebencian kini tampak kebingungan. “Kamu… tidak bisa. Kekuatan itu tidak bisa diubah begitu saja.”

Adrian tidak menjawab. Ia tahu apa yang harus dilakukan. Dalam satu ledakan energi terakhir yang penuh dengan tekad dan pengorbanan, ia membalikkan aliran energi itu, membiarkannya mengalir ke tanah, ke udara, ke dunia di sekitarnya. Ia menyatu dengan kekuatan itu, membangun kembali apa yang telah hancur—bukan dengan menghancurkan lebih banyak lagi, tetapi dengan menyatukan dunia ini dalam keseimbangan baru.

Kekuatan itu mereda, dan langit yang tadinya gelap kembali cerah. Namun, Adrian tahu, ini hanyalah awal dari perjalanan panjang yang harus ia jalani. Dunia ini telah terombang-ambing, dan banyak hal yang perlu diperbaiki. Tetapi ia kini memahami satu hal dengan pasti: Kekuatan yang membangun juga bisa menghancurkan, dan hanya dengan kesadaran dan hati yang bijak, ia bisa mengarahkan kekuatan itu untuk kebaikan, untuk masa depan yang lebih baik.

Namun, perjalanannya masih jauh dari selesai.*

Bab 8: Penutupan Dimensi

Adrian berdiri di tengah ruangan yang sunyi, matanya terpaku pada celah besar yang terbuka di hadapannya. Celah itu adalah gerbang menuju dimensi terlarang yang telah mereka coba tutup beberapa kali. Di baliknya, seluruh dunia terbalik, dan realitas itu sendiri terancam terkoyak. Namun, meski sudah begitu banyak upaya, celah itu tetap terbuka, seakan-akan ada kekuatan yang lebih besar yang menahannya tetap terbuka.

Setelah pertempuran besar dengan Ava, ia dan para sahabatnya—Kara dan Darien—terpaksa mengasingkan diri untuk merencanakan langkah berikutnya. Mereka tahu bahwa dimensi ini tak bisa dibiarkan terus terbuka. Setiap detik yang berlalu, lebih banyak gangguan terjadi pada dunia yang mereka kenal. Keadaan semakin memburuk, dan semakin banyak dimensi lain yang mulai mengalir masuk ke dunia ini, merusak tatanan alam semesta.

Adrian merasakan panas yang terbangun di telapak tangannya, tanda bahwa kekuatan dari dimensi itu masih mengalir di dalam dirinya. Semakin lama, kekuatan itu semakin tidak terkendali. Keinginan untuk menutup celah itu menjadi lebih kuat, tapi begitu juga dengan dorongan untuk menggunakannya—untuk mengubah dunia sesuai dengan apa yang ia inginkan. Itu adalah godaan besar, yang tidak bisa ia abaikan begitu saja.

“Adrian,” suara Kara memecah lamunannya, lembut namun penuh dengan urgensi. “Kita tidak punya banyak waktu lagi. Dimensi ini semakin melebar. Kalau kita tidak segera menutupnya, akan terlalu terlambat.”

Adrian menoleh, melihat Kara dan Darien yang telah siap di sampingnya. Mereka bertiga sudah berlatih selama berhari-hari untuk mempersiapkan diri menghadapi momen ini. Mereka tahu bahwa satu langkah salah, dan dunia yang mereka kenal akan hancur. Mereka juga sadar bahwa ini adalah ujian terbesar dalam hidup mereka. Apa yang mereka lakukan sekarang akan menentukan tak hanya nasib dunia, tetapi juga nasib seluruh alam semesta.

Kara mengulurkan tangannya kepada Adrian. “Kita harus bekerja sama. Ini bukan sesuatu yang bisa kamu lakukan sendirian.”

Adrian mengangguk, merasakan kekuatan dari dimensi itu bergetar semakin kuat di dalam dirinya. Ia bisa merasakannya, kekuatan itu menyatu dengan dirinya. Seperti sebatang api yang terbakar, panasnya mendorongnya untuk menggunakan kekuatan itu dengan cara yang lebih destruktif. Namun, seperti yang Kara katakan, ia tidak bisa melakukannya sendiri. Kekuatan itu harus dibagi, harus dikendalikan bersama-sama, atau semuanya akan hancur.

Dengan satu tarikan napas dalam, Adrian menatap celah di depannya. Di dalam celah itu, ia bisa melihat bayangan samar-samar dari dunia lain—dimensi yang sama sekali tidak dikenal. Dinding-dinding waktu dan ruang sepertinya tidak ada artinya di sini. Celah itu adalah bukti dari semua yang telah mereka lakukan, dan dari semua yang belum mereka pahami.

Darien menggenggam pedangnya dengan erat, matanya tidak berkedip. “Kita tidak punya pilihan. Kalau kita gagal, dunia ini akan lenyap begitu saja. Semuanya yang kita tahu akan hilang.”

Adrian merasakan beratnya kata-kata itu. Ia sudah begitu dekat dengan kekuatan yang tidak bisa ia kendalikan. Dimensi terlarang ini telah menawarkan segala macam godaan—kekuasaan tanpa batas, kemampuan untuk mengubah segala sesuatu sesuai keinginan. Namun, dengan godaan itu datanglah risiko yang sangat besar. Dunia ini, dunia yang ia cintai, bisa hancur hanya dengan satu keputusan salah.

“Semua tergantung pada kita,” kata Adrian dengan suara tegas. “Kita harus menutupnya sekali dan untuk selamanya.”

Mereka bergerak maju, mendekati celah yang semakin besar, lebih nyata, dan lebih berbahaya. Udara di sekitar mereka semakin berat, seolah-olah dimensi itu mulai menarik kekuatan dari dunia mereka. Langit yang tadinya cerah kini gelap, dengan awan gelap yang bergerak cepat, memuntahkan kilat yang menyambar. Alam semesta ini, yang sebelumnya stabil, kini berada di ambang kehancuran.

Kara melangkah maju, melibatkan diri dalam lingkaran energi yang mengelilingi mereka. “Kita harus menghubungkan kekuatan kita dengan cara yang tepat. Jika kita ingin menutupnya, kita harus menjadi satu. Jangan biarkan apapun mengalihkan perhatianmu.”

Adrian menatap Kara, lalu Darien. Mereka bertiga saling berpandangan, tahu bahwa keputusan ini akan menentukan segalanya. Tanpa kata-kata lebih lanjut, mereka menyatukan kekuatan mereka. Adrian menutup matanya sejenak, merasakan energi dari dunia sekitarnya bersatu dengan dirinya. Setiap denyut energi dimensi terlarang itu kini terasa lebih nyata—lebih hidup. Ia tahu ini adalah momen yang tak bisa diulang.

Dengan hati-hati, Adrian mengangkat tangannya, mengalirkan energi yang kuat melalui tubuhnya. Kekuatan itu mengalir, bergetar, melawan segala usaha untuk mengendalikannya. Namun kali ini, ia berusaha menyalurkannya ke dalam bentuk yang lebih konstruktif. Di sampingnya, Kara dan Darien melakukan hal yang sama, bergandengan tangan dan saling mendukung, membentuk lingkaran kekuatan yang akan menjadi penentu nasib dimensi ini.

Celah itu semakin melebar, tetapi kali ini, Adrian merasakannya. Ia dapat merasakan batas-batas dimensi yang mulai lemah. Semua yang telah mereka pelajari, semua yang telah mereka lakukan, kini diuji. Ketiga sahabat itu saling menguatkan satu sama lain, membentuk satu kesatuan kekuatan yang tidak bisa dihentikan.

“Ayo,” kata Kara dengan tekad yang kuat. “Jangan biarkan apa pun menghentikan kita!”

Mereka bersatu, kekuatan yang mengalir di antara mereka menumpuk menjadi energi yang sangat besar. Celah itu semakin kecil, semakin rapat, sementara udara di sekitar mereka bergemuruh. Namun, meskipun kekuatan itu besar, ada perasaan luar biasa yang mengalir di dalam diri Adrian—keberanian yang tumbuh dari dalam dirinya, kekuatan yang sejati, yang bukan hanya untuk menghancurkan, tetapi juga untuk melindungi.

Dengan satu ledakan besar yang memecah keheningan, celah itu akhirnya tertutup. Energi yang mengalir dalam diri mereka mencapai titik puncaknya dan, dalam sekejap, dunia kembali tenang. Langit yang gelap perlahan menghilang, dan cahaya kembali menyinari tanah yang pernah diliputi kegelapan. Dunia yang hampir hancur itu kini aman kembali—setidaknya untuk sekarang.

Namun, meskipun mereka berhasil menutup dimensi itu, Adrian tahu bahwa ini belum berakhir. Apa yang telah mereka lakukan hanya menunda kehancuran yang lebih besar. Dimensi terlarang itu mungkin sudah tertutup, tetapi dunia ini—dan dimensi lain yang saling terhubung—akan terus berubah. Adrian menatap langit yang mulai cerah, mengetahui bahwa perjalanan mereka masih jauh dari selesai.

“Kita baru saja memulai,” gumamnya, “Tapi kita sudah membuat perbedaan.”*

Bab 9: Jejak yang Tertinggal

Dunia kembali tenang setelah penutupan dimensi terlarang itu. Meskipun langit kini kembali cerah dan udara terasa lebih segar, ada rasa hampa yang menggelayuti hati Adrian. Dia berdiri di atas tebing, menatap horizon yang terbentang luas di depannya. Keheningan yang menyelimuti dunia seakan menegaskan kenyataan bahwa mereka baru saja menghindari kehancuran besar—tapi juga menyadarkan mereka bahwa pertarungan sebenarnya baru saja dimulai.

Para sahabatnya, Kara dan Darien, berdiri di sisi kanan dan kiri, ikut merenung. Mereka semua tahu bahwa meskipun dimensi terlarang telah ditutup, konsekuensi dari apa yang mereka alami akan terus terasa. Dimensi yang terbuka itu adalah cerminan dari kelemahan yang ada dalam struktur alam semesta. Sebuah celah yang, meskipun telah mereka tutup dengan penuh pengorbanan, meninggalkan dampak yang tak bisa begitu saja dihilangkan.

“Ini belum selesai,” kata Kara, memecah keheningan dengan suara lembut namun tegas. “Kita berhasil menutup dimensi terlarang, tapi kita tahu ada sesuatu yang lebih besar yang mengintai.”

Adrian mengangguk, mengalihkan pandangannya kepada Kara. “Kita tahu. Ini baru langkah pertama, tapi kita sudah mengubah sesuatu yang sangat mendalam. Apa yang kita temui—dimensi yang tak diketahui, energi yang tak terukur—itu semua bukan hanya soal kita menutup celah. Kita telah membuka jalan bagi dunia ini untuk melihat kenyataan yang lebih besar, dan itu tak akan bisa dibalikkan.”

Darien, yang biasanya lebih pragmatis, tampak lebih cemas dari biasanya. “Kita sudah menghadapi begitu banyak hal tak terduga. Siapa yang tahu apakah ini hanya bagian dari rencana yang lebih besar? Jika ada entitas lain yang menguasai dimensi itu, apakah kita benar-benar aman?”

Pertanyaan Darien menggantung di udara, dan Adrian merasakannya. Dimensi yang mereka tutup bukanlah satu-satunya pintu ke dunia yang berbeda. Ada kemungkinan bahwa dimensi lain, bahkan yang lebih berbahaya, bisa saja mengintai. Keputusan mereka untuk menutup celah itu mungkin hanya menunda bencana yang lebih besar. Namun, dalam hati Adrian, ada satu hal yang pasti—mereka telah memberikan kesempatan untuk memperbaiki dunia ini.

Kara menatap matahari yang perlahan tenggelam di balik bukit. “Mungkin kita tidak bisa mengubah semua yang terjadi,” katanya, suara itu penuh dengan kebijaksanaan yang telah diperoleh dari pertempuran panjang. “Tapi kita bisa memilih untuk berjuang. Dan itu adalah hal yang paling penting.”

Mereka semua terdiam sejenak, merenungi kata-kata Kara. Adrian tahu bahwa dia harus terus bergerak maju, meskipun dunia mereka telah berubah dan penuh dengan ketidakpastian. Penutupan dimensi terlarang mungkin telah mengakhiri babak pertama dalam perjalanan mereka, tapi setiap langkah ke depan adalah jejak yang tertinggal, jejak yang akan mengarah pada pemahaman yang lebih besar tentang alam semesta ini.

Setelah beberapa saat, Darien mengeluarkan kompas dari sakunya dan memandangnya dengan serius. “Semuanya telah berubah,” katanya. “Tapi kita harus tetap menuju tujuan kita. Apa yang kita temukan di sini bukan hanya tentang menutup pintu. Kita harus tahu lebih banyak—lebih dalam. Tentang apa yang ada di baliknya, dan apa yang akan terjadi pada dunia kita setelahnya.”

Adrian mengangguk, merasakan dorongan untuk terus mencari. Tidak hanya untuk menjawab rasa ingin tahunya, tetapi juga untuk memahami kekuatan yang lebih besar yang telah mereka lepaskan. Dimensi terlarang bukanlah akhir dari perjalanan mereka; ia adalah sebuah awal yang membuka jalan untuk pertanyaan yang lebih besar.

“Apa yang kita lakukan selanjutnya?” tanya Kara, wajahnya menunjukkan tekad yang baru. “Bagaimana kita tahu apa yang akan terjadi setelah ini?”

Adrian menatap matahari terbenam, merasakan beban yang datang dengan tanggung jawab mereka. Dunia ini memang telah dibawa ke tepi kehancuran, tetapi di saat yang sama, mereka juga telah menunjukkan bahwa harapan tidak pernah padam. Dalam pertempuran yang begitu besar dan tak terbayangkan, mereka menemukan sesuatu yang lebih dalam—sesuatu yang melampaui dimensi, melampaui ruang dan waktu. Itu adalah pemahaman bahwa, meskipun dunia ini rapuh dan penuh ancaman, manusia masih memiliki kekuatan untuk memilih.

“Kita harus kembali ke tempat kita memulai,” kata Adrian, dengan suara yang penuh keputusan. “Kita harus menemukan cara untuk memahami lebih banyak tentang dimensi lain dan apa yang sebenarnya terjadi. Dunia ini telah menunjukkan kepada kita bahwa ada lebih banyak yang harus dipelajari. Mungkin jawabannya ada di luar sana—di balik gerbang-gerbang yang masih tersembunyi.”

Kara dan Darien terdiam sejenak, tetapi mereka tahu apa yang harus dilakukan. Ini bukan lagi soal mereka bertiga, tapi soal keseluruhan dunia. Setiap langkah mereka akan meninggalkan jejak yang tak hanya akan mempengaruhi kehidupan mereka, tetapi juga kehidupan setiap makhluk di alam semesta. Mereka adalah penjaga, bukan hanya dari dunia ini, tetapi juga dari dunia yang lebih luas, yang lebih misterius, yang selalu ada di luar jangkauan mereka.

Dengan tekad yang baru, mereka berbalik arah. Jalan di depan mereka penuh dengan ketidakpastian, namun mereka tahu satu hal—meskipun dimensi terlarang telah ditutup, jejak yang mereka tinggalkan akan membimbing mereka menuju pengetahuan yang lebih dalam. Pengetahuan yang tidak hanya menyelamatkan dunia mereka, tetapi juga memberi mereka kemampuan untuk melawan ancaman yang lebih besar yang mungkin akan datang.

Dan meskipun perjalanan ini belum berakhir, mereka tahu bahwa setiap jejak yang tertinggal akan membawa mereka lebih dekat pada kebenaran yang lebih besar, dan mungkin, pada masa depan yang penuh dengan harapan dan keberanian.

Di antara gemuruh angin dan langit yang berubah, Adrian merasa satu hal yang pasti—mereka akan terus berjuang. Karena setiap jejak yang mereka tinggalkan bukan hanya tentang menghindari kehancuran, tetapi tentang menciptakan dunia yang lebih baik, yang tidak hanya aman, tetapi juga lebih sadar akan kekuatan yang mereka pegang.

Dan di sinilah perjalanan mereka benar-benar dimulai.***

——–THE END——-

 

Source: Jasmine Malika
Tags: #PembangunanKembali #EraBaru #PerubahanDimensiDimensiParalel #TeknologiMasaDepan #KehidupanAlien #PeradabanTertua
Previous Post

GELOMBANG MISTERI KEGELAPAN

Next Post

SAYAP PHOENIX TERAKHIR

Next Post
SAYAP PHOENIX TERAKHIR

SAYAP PHOENIX TERAKHIR

DIMENSI KATALIS

DIMENSI KATALIS

RAHASIA BUMI YANG TERLUPAKAN

RAHASIA BUMI YANG TERLUPAKAN

MOVIE REVIEW

No Content Available

RECENT MOVIE

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025

Tentang Kami

NovelStory.id adalah platform media online yang menghadirkan beragam cerita menarik seperti dalam novel dan drama, dirancang untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan yang berkualitas dan penuh imajinasi. Kami percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh hati, menginspirasi, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh keajaiban.

Recent News

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025

Follow Us

  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 https://novelstory.id

No Result
View All Result
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah

© 2025 https://novelstory.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In