Bab 1: Pertemuan Tak Terduga
Ariana melangkah keluar dari taksi yang baru saja membawanya ke galeri seni tempat ia bekerja. Langit sore yang suram menambah kesan sepi di kota yang mulai sibuk dengan aktivitas akhir pekan. Langkah kakinya terasa berat, seolah setiap jejak yang ia tinggalkan membawa kenangan akan masa lalu yang masih terus mengganggu pikirannya. Ia menatap ke arah pintu masuk galeri, merasakan ketegangan di dadanya. Hari-hari di galeri selalu dipenuhi dengan karya seni dan ekspresi, namun baginya, itu semua terasa hampa belakangan ini.
Sebagai seorang kurator seni, Ariana terbiasa berinteraksi dengan seniman, kolektor, dan pengunjung galeri. Namun, meski dikelilingi banyak orang, hatinya tetap terasa kosong. Perasaan itu datang seiring berjalannya waktu, akibat kegagalan hubungannya di masa lalu. Kini, ia hanya berfokus pada pekerjaan, mencoba melupakan luka yang masih menganga. Namun, terkadang luka itu datang tanpa diundang, mencuat di tengah malam atau dalam sekejap mata yang tak sengaja tertumbuk pada foto-foto lama yang tersembunyi di ponselnya.
Setibanya di dalam galeri, Ariana langsung disambut oleh suara bising dan langkah cepat dari para staf yang sedang mempersiapkan pameran seni yang akan dibuka malam itu. Beberapa dari mereka sedang mendiskusikan penataan karya seni terbaru, sementara yang lainnya sibuk dengan urusan administrasi. Ariana menganggukkan kepala, memberikan salam singkat pada rekan-rekannya, dan melanjutkan langkahnya menuju ruang kerjanya. Meskipun ia selalu terlihat tenang, Ariana tak bisa menahan rasa cemas yang menggelayuti pikirannya.
Saat itulah ia mendengar suara yang cukup keras dari belakang. Seorang pria, tampaknya baru saja keluar dari ruang pameran utama, sedang berbicara dengan salah satu kolega seniornya. Tanpa sengaja, Ariana menoleh, dan matanya bertemu dengan sepasang mata yang tajam dan penuh rasa ingin tahu. Pria itu, dengan rambut hitam yang sedikit berantakan, mengenakan jas hitam yang pas dengan tubuhnya. Ia terlihat seperti seseorang yang datang dari dunia yang sangat berbeda, bukan dari dunia seni yang selama ini Ariana kenal.
“Maaf, saya sedang mencari seseorang,” pria itu berkata dengan suara rendah namun penuh keyakinan, mengalihkan perhatian Ariana dari lamunannya.
Ariana tertegun, mencoba mencerna kalimat itu. “Siapa yang Anda cari?” tanyanya pelan, meskipun dia merasa ada yang aneh dengan kedatangan pria ini.
Pria itu menatap sejenak sebelum akhirnya berkata, “Saya Rafael, arsitek yang diminta untuk mendesain beberapa perubahan di galeri ini. Sepertinya saya akan bekerja sama dengan Anda.”
Ariana terkejut mendengar nama Rafael, karena baru saja ia mendengar bahwa galeri tempatnya bekerja baru saja menunjuk seorang arsitek ternama untuk merancang renovasi. Ia mengira pertemuan ini hanya bagian dari rutinitas pekerjaannya, tetapi sesuatu dalam diri pria itu membuatnya merasa sedikit tertekan. Mungkin karena ketajaman pandangannya atau caranya berbicara yang terasa berbeda dengan yang biasa ia hadapi di dunia seni.
“Oh, tentu,” jawab Ariana cepat. “Saya Ariana, kurator di sini. Senang bertemu dengan Anda, Rafael. Mari, saya akan menunjukkan kepada Anda area yang perlu direnovasi.”
Rafael menganggukkan kepala dan mengikuti Ariana dengan langkah panjang yang tenang. Ariana memperhatikan setiap gerakannya, bagaimana pria itu tampak begitu terfokus dan penuh perhitungan. Di balik sikapnya yang profesional, Ariana merasakan ada sesuatu yang lebih dalam pada pria ini—sesuatu yang sulit untuk dijelaskan.
Selama tur singkat di galeri, mereka berbicara tentang visi Rafael untuk desain baru galeri. Namun, Ariana tidak bisa sepenuhnya fokus pada percakapan itu. Sebagian besar pikirannya teralihkan pada keberadaan Rafael yang tampaknya begitu menarik, namun juga misterius. Ia merasa sedikit canggung, tetapi berusaha tetap profesional. Ketegangan antara mereka terasa kental meskipun mereka hanya berbicara tentang hal-hal teknis.
Rafael sesekali menatapnya dengan pandangan yang tajam, seakan mencari tahu lebih banyak tentang siapa Ariana sebenarnya. Ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan di balik sikap Ariana yang tampak dingin dan terjaga. Tetapi Rafael juga tahu, bukanlah hal yang mudah untuk membuka seseorang yang tertutup seperti Ariana. Ia hanya bisa berharap bahwa melalui kerja sama mereka, ia bisa lebih mengenal wanita ini, meskipun ia tahu hal itu tidak akan mudah.
“Jadi, bagaimana menurut Anda tentang desain ini?” tanya Rafael sambil menunjuk ke salah satu sudut ruang pameran yang akan direnovasi.
Ariana terhenti sejenak, melihat gambar rancangan desain yang ditunjukkan Rafael. Dia menatapnya dengan penuh perhatian, mencoba menilai apakah desain itu sesuai dengan visi galeri. Namun, pikirannya malah kembali melayang ke masa lalu, ke kegagalan hubungannya yang menyakitkan, yang membuatnya enggan membuka hatinya lagi.
“Ariana?” Rafael memanggilnya pelan, melihat ekspresi wanita itu yang tiba-tiba berubah menjadi sendu.
Ariana tersentak dari lamunannya dan tersenyum tipis. “Maaf, saya… hanya sedikit berpikir,” jawabnya, berusaha menutupi kegelisahannya.
Rafael menatapnya dengan penuh pengertian, seolah mengetahui bahwa ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar desain yang sedang dibahas. Namun, ia memilih untuk tidak mendesaknya lebih jauh. Mungkin ini saatnya untuk membiarkan Ariana membuka diri dengan caranya sendiri.
Mereka melanjutkan percakapan, tetapi ada sebuah perasaan yang mengendap di antara mereka berdua. Perasaan yang tak bisa dijelaskan, namun jelas terasa. Sebuah ketertarikan yang terpendam, meskipun kedua belah pihak belum siap untuk menghadapinya.
Setelah beberapa saat, mereka selesai berkeliling dan kembali ke ruang utama galeri. Rafael mengucapkan terima kasih, dan Ariana membalas dengan senyuman tipis. Namun, sebelum Rafael pergi, ia berhenti sejenak dan berbalik menghadap Ariana.
“Ariana, terima kasih telah meluangkan waktu untuk menunjukkan semuanya. Saya berharap kita bisa bekerja sama dengan baik,” katanya dengan suara yang lebih lembut, namun masih penuh kepercayaan diri.
Ariana hanya mengangguk, merasa ada sesuatu yang berbeda dalam diri Rafael, sesuatu yang membuatnya merasa bahwa pertemuan mereka bukan hanya kebetulan belaka.
Rafael menghilang di balik pintu keluar galeri, meninggalkan Ariana dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Seperti ada pintu yang baru saja terbuka di dalam dirinya, namun ia tak tahu apakah ia siap untuk memasuki dunia itu. Sebuah dunia yang mungkin akan mengubah hidupnya selamanya.
Perjalanan baru antara Ariana dan Rafael baru saja dimulai, dan mereka masing-masing tahu bahwa pintu yang tertutup rapat selama ini mungkin akan mulai terbuka sedikit demi sedikit. Namun, apakah mereka siap untuk menghadapinya? Itu adalah pertanyaan yang hanya waktu yang bisa menjawab.*
Bab 2: Bayangan Masa Lalu
Pagi itu, langit terlihat lebih cerah daripada biasanya. Namun, bagi Ariana, sinar matahari yang hangat pun tak bisa mengusir bayangan yang masih menghantui dirinya. Pekerjaan di galeri seni telah menjadi pelarian yang cukup efektif, namun tetap ada saat-saat ketika masa lalu datang mengetuk pintu hatinya, membangkitkan kenangan yang tak bisa dia lupakan.
Ariana duduk di meja kerjanya, memeriksa beberapa proposal acara yang akan datang, tetapi pikirannya terbang kembali ke pertemuan kemarin dengan Rafael. Di luar kesan profesional yang ditunjukkan Rafael, ada sesuatu tentang pria itu yang membuat Ariana merasa sedikit terganggu. Sebuah perasaan yang muncul begitu saja, tak terduga. Wajahnya yang tampan, cara bicaranya yang tenang namun penuh perhatian, serta pandangannya yang terkadang menatapnya terlalu dalam, semuanya seakan-akan membangkitkan perasaan yang sudah lama terkubur di dalam hatinya.
Ariana menghela napas panjang, mencoba mengusir semua pikiran itu. Namun, itu tak mudah. Saat ia berusaha untuk kembali berkonsentrasi pada pekerjaannya, bayangan masa lalu justru muncul dengan jelas dalam pikirannya. Bayangan wajah lelaki itu—Leonardo, pria yang pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya—kembali menghantui.
Beberapa tahun lalu, Ariana dan Leonardo adalah pasangan yang sempurna di mata banyak orang. Mereka bertemu di universitas, dan sejak awal, hubungan mereka terasa begitu alami, seperti dua potongan puzzle yang saling melengkapi. Ariana yang pendiam dan introvert, sementara Leonardo adalah pria yang penuh semangat, ceria, dan sangat terbuka. Mereka saling mengisi, mendukung, dan tampaknya siap untuk menempuh hidup bersama. Setiap momen bersama Leonardo terasa seperti sebuah petualangan baru, penuh kebahagiaan.
Namun, kehidupan kadang tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Meskipun hubungan mereka tampak sempurna di luar, ada ketegangan yang perlahan tumbuh di dalamnya. Ariana yang semakin fokus pada kariernya di dunia seni, mulai merasa bahwa dirinya kehilangan arah dalam hubungan itu. Ia terlalu sibuk mengejar cita-citanya, sementara Leonardo merasa semakin terabaikan. Kejadian-kejadian kecil yang awalnya tak terlalu berarti mulai menjadi masalah besar. Perbedaan visi tentang masa depan mereka semakin terasa, hingga akhirnya, satu malam, segala sesuatunya hancur begitu saja.
Malam itu, mereka bertengkar hebat. Kata-kata yang terlontar begitu tajam, menyayat hati, dan saling menyakiti. Leonardo mengatakan bahwa Ariana lebih mencintai pekerjaannya daripada dirinya, dan Ariana merasa bahwa Leonardo tak memahami betapa besar ambisinya untuk berkembang di dunia seni. Perpisahan itu terjadi begitu mendalam dan penuh luka, meninggalkan bekas yang tak bisa hilang begitu saja.
Ariana merasa seolah-olah dirinya baru saja keluar dari dunia yang penuh kebahagiaan, hanya untuk menemukan diri terjebak dalam dunia yang kelam dan sepi. Setelah perpisahan itu, ia berusaha untuk kembali bangkit, tapi bayangan Leonardo selalu mengikuti. Setiap kali ia membuka hatinya untuk seseorang, ia selalu teringat pada luka itu, yang membuatnya enggan untuk memberikan kesempatan lagi. Sejak saat itu, Ariana memilih untuk menutup dirinya, menjaga jarak, dan lebih fokus pada pekerjaannya.
Sekarang, setelah beberapa tahun berlalu, bayangan masa lalu itu muncul lagi, kali ini dalam bentuk pertemuan dengan Rafael. Apa yang dia rasakan saat melihat pria itu kemarin, rasa canggung yang muncul tiba-tiba, ketertarikan yang aneh—semua itu seperti membuka kembali luka lama yang belum sepenuhnya sembuh.
Ariana menatap dirinya di cermin meja kerjanya, melihat wajahnya yang terlihat begitu lelah, meskipun ia selalu berusaha menjaga penampilannya tetap profesional. Wajahnya kini lebih matang, lebih dewasa, tetapi matanya masih memancarkan keraguan dan ketakutan yang sulit diungkapkan. Ia tahu, ia belum sepenuhnya siap untuk membuka hati lagi. Namun, kenapa pertemuan dengan Rafael terasa begitu berbeda? Mengapa perasaan itu begitu kuat? Bukankah ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak jatuh cinta lagi?
Ariana mengusap wajahnya dengan tangan, mencoba mengusir kebingungannya. Tiba-tiba, pintu ruang kerjanya terbuka, dan rekan kerjanya, Rina, masuk dengan wajah ceria.
“Ariana, kamu lagi-lagi melamun, ya?” tanya Rina sambil duduk di kursi depan meja Ariana. “Ada yang mengganggu pikiranmu?”
Ariana tersenyum tipis. “Ah, tidak. Hanya sedikit memikirkan pekerjaan saja,” jawabnya dengan nada yang sedikit menghindar.
Rina mengangkat alisnya. “Kamu tidak percaya dengan dirimu sendiri, ya? Aku tahu kamu sedang berpikir tentang pria yang kemarin itu. Rafael, kan?”
Ariana terkejut. “Kamu tahu?”
“Tentu saja. Aku melihat kalian berdua tadi. Ada chemistry antara kalian,” ujar Rina sambil tersenyum lebar.
Ariana merasa sedikit canggung mendengarnya. “Rina, jangan terlalu berlebihan. Itu hanya pekerjaan saja,” katanya dengan hati-hati. “Dia arsitek yang ditugaskan untuk renovasi galeri. Tidak lebih.”
Rina tertawa. “Ariana, kamu selalu begini. Suka menutupi perasaanmu. Tapi aku bisa merasakannya, ada sesuatu yang berbeda antara kalian. Kamu tahu, kan?”
Ariana menghela napas. “Aku hanya merasa aneh. Setelah apa yang terjadi di masa lalu, aku rasa aku tidak bisa membuka hati lagi untuk siapa pun,” ujarnya pelan, seakan berbicara lebih pada dirinya sendiri.
Rina terdiam sejenak, lalu menatap Ariana dengan penuh pengertian. “Aku tahu, Ariana. Kamu terluka. Tapi bukan berarti kamu harus menutup diri selamanya. Cinta itu tidak selalu datang dengan cara yang mudah, tapi terkadang, kita harus memberi kesempatan pada diri kita sendiri untuk merasakannya lagi.”
Ariana terdiam. Kata-kata Rina menyentuh hatinya, namun ia tahu bahwa ia belum siap. Ia belum siap untuk melupakan masa lalu, dan ia belum siap untuk menghadapi kenyataan bahwa mungkin, hanya mungkin, ia masih bisa jatuh cinta lagi.
Rina tersenyum lembut, seolah memahami perasaan Ariana. “Aku tidak akan memaksamu. Tapi ingat, kadang-kadang, yang kita butuhkan adalah sedikit keberanian untuk membuka hati lagi.”
Ariana hanya mengangguk pelan, namun hatinya masih diliputi keraguan. Ia tahu, bayangan masa lalu tidak akan pernah hilang begitu saja. Namun, pertemuan dengan Rafael yang tak terduga ini sepertinya telah menumbuhkan sebuah pertanyaan baru dalam dirinya. Mungkinkah ia siap untuk membuka lembaran baru dalam hidupnya? Mungkinkah ia siap untuk mengakhiri masa lalu dan melangkah menuju masa depan yang penuh dengan kemungkinan baru? Hanya waktu yang akan menjawab.*
Bab 3: Pintu yang Tertutup
Ariana berjalan melewati lorong panjang galeri seni tempat ia bekerja. Cahaya lembut dari lampu-lampu langit-langit menciptakan suasana tenang, namun hatinya tidak bisa sesenyap suasana di sekitarnya. Setiap langkahnya terasa berat, seolah ada sesuatu yang menahan. Ia teringat akan pertemuan dengan Rafael beberapa hari yang lalu. Pintu yang tadinya terbuka lebar, kini terasa begitu tertutup rapat. Perasaan yang sempat tumbuh dengan cepat kini tergantikan oleh rasa cemas yang tak bisa ia pungkiri.
Rafael. Nama itu kini menjadi bayangan yang terus menghantui pikirannya. Mereka berdua hanya bertemu beberapa kali, namun entah mengapa, setiap kali ia berpikir tentangnya, ada sesuatu yang menggugah, sesuatu yang membuat hatinya berdebar lebih cepat dari biasanya. Namun, kenapa perasaan itu begitu mengganggu? Bukankah ia telah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak membuka pintu hati lagi setelah apa yang terjadi di masa lalu?
Ariana menghentikan langkahnya di depan pintu ruang kerjanya. Ia menyentuh gagang pintu, namun tangannya ragu untuk memutarnya. Sesuatu dalam dirinya menahan. Pintu itu bukan hanya pintu ruangannya; lebih dari itu, pintu ini juga melambangkan pilihan yang harus ia buat, sebuah keputusan yang harus ia ambil. Setelah berbulan-bulan berusaha menutup diri, apakah ia benar-benar siap untuk membuka pintu itu lagi? Apakah ia siap untuk memberi kesempatan pada seseorang, terutama pada Rafael, seorang pria yang datang begitu tiba-tiba, membawa kebingungannya yang baru?
Dengan napas berat, Ariana membuka pintu dan melangkah masuk. Pemandangan di dalam ruangannya sama seperti biasanya, namun kali ini ada ketegangan yang jelas terasa. Pintu yang terbuka seharusnya membawa kedamaian, namun bagi Ariana, pintu itu terasa seperti batasan, seperti penghalang antara dirinya dan dunia luar.
Sambil duduk di kursi kerjanya, Ariana menatap layar komputer yang kosong. Pekerjaan menumpuk, tetapi pikirannya terus-menerus kembali pada Rafael. Ia tahu, perasaan yang ia rasakan tak bisa disangkal, namun ia tidak bisa mengabaikan luka lama yang belum sepenuhnya sembuh. Setiap kali ia merasa ada kemungkinan untuk membuka hati, bayangan masa lalu kembali menghalangi.
Ariana menutup matanya sejenak, mencoba untuk memusatkan perhatian. Lalu, bayangan masa lalu itu datang begitu saja, jelas dan tak terbantahkan. Wajah Leonardo, pria yang pernah begitu ia cintai, muncul dalam pikirannya. Wajah itu yang dulu selalu membuat hatinya berdebar, kini terasa seperti kenangan yang menyakitkan.
Mereka pernah merencanakan masa depan bersama, membangun mimpi yang indah. Namun, perbedaan yang semakin besar di antara mereka, ketegangan yang muncul perlahan, akhirnya membawa mereka pada sebuah titik tanpa kembali. Perpisahan itu terasa seperti dunia yang runtuh di sekitarnya. Waktu yang terasa begitu singkat di antara mereka, yang seharusnya dipenuhi dengan kebahagiaan, kini berubah menjadi kenangan yang menggoreskan luka dalam hati.
Setelah perpisahan itu, Ariana mencoba untuk terus maju, menutup pintu hatinya, dan berfokus pada kariernya. Ia memilih untuk hidup dengan cara yang lebih rasional, lebih terkontrol, tanpa mengizinkan perasaan menguasainya. Namun, pertemuan dengan Rafael membuka kembali pintu yang selama ini ia rapatkan.
Rafael, dengan senyumnya yang hangat dan tatapan matanya yang dalam, mengingatkan Ariana pada sebuah kemungkinan yang dulu ia anggap mustahil. Mungkin, hanya mungkin, ia bisa mencintai lagi. Tetapi, bukankah itu terlalu cepat? Bukankah luka lama masih terlalu besar untuk dilupakan? Bagaimana jika ia akhirnya terluka lagi? Bagaimana jika sejarah mengulang dirinya?
Ariana menggigit bibir bawahnya, merasakan perasaan yang bergejolak di dalam dada. Semua perasaan ini datang begitu mendalam, begitu mendesak, namun ia merasa tidak siap untuk merasakannya lagi. Ia ingin menutup pintu itu, mengunci hati, dan melanjutkan hidup seperti biasa. Tapi, saat bayangan Rafael muncul, pintu yang ia tutup terasa semakin rapat, semakin sulit untuk dipertahankan.
Ariana berdiri dari kursinya dan berjalan menuju jendela besar yang menghadap ke taman di luar. Di sana, dedaunan bergoyang tertiup angin sepoi-sepoi, memberi rasa tenang yang tidak bisa ia temukan di dalam hatinya. Pemandangan itu membuatnya merasa lebih dekat dengan dirinya sendiri, meskipun hatinya masih terombang-ambing.
Ia menyandarkan tangan di ambang jendela, menatap jauh ke depan. “Apakah aku siap untuk membuka pintu hatiku lagi?” tanyanya dalam hati. Pertanyaan yang tak memiliki jawaban pasti, namun semakin sulit untuk diabaikan. Setiap kali ia berpikir untuk menutupnya, ada perasaan yang berkata bahwa mungkin inilah saatnya untuk bergerak maju. Tetapi, untuk melangkah, ia harus melewati ketakutan yang ada di dalam dirinya. Ketakutan untuk kembali terluka, ketakutan untuk memberi cinta pada seseorang yang mungkin tidak bisa menghargainya.
Ariana kembali ke mejanya, duduk dengan tubuh yang terasa lebih lelah dari sebelumnya. Ia menatap layar komputer, tetapi pikirannya jauh dari pekerjaan yang ada di depannya. Pintu yang tertutup rapat kini terasa semakin berat, seperti beban yang terus mengikutinya.
Keesokan harinya, Rafael kembali datang ke galeri untuk melanjutkan pekerjaan renovasi yang mereka bahas sebelumnya. Ariana tidak bisa menghindari pertemuan itu, meskipun setiap detik yang berlalu terasa semakin canggung. Rafael menatapnya dengan senyum yang sama, namun kali ini ada sesuatu yang berbeda dalam pandangannya. Sesuatu yang mengingatkan Ariana pada kenyataan bahwa perasaan ini tidak bisa diabaikan begitu saja.
Ariana merasa dadanya berdebar lebih cepat. Ia tahu, ia sedang berada di persimpangan jalan. Satu langkah ke depan mungkin berarti membuka pintu yang selama ini ia kunci rapat-rapat. Satu langkah ke belakang bisa berarti melanjutkan hidup dengan beban masa lalu yang tidak pernah selesai.
Namun, Ariana tidak tahu apakah ia bisa terus menghindari perasaan ini. Pintu yang tertutup dalam dirinya perlahan mulai terbuka, dan ia tahu, ada konsekuensi dari setiap keputusan yang ia buat. Apakah ia akan memilih untuk membuka pintu itu dan memberi kesempatan pada cinta yang baru, atau tetap bertahan dengan pintu yang terkunci, menjaga jarak dari perasaan yang bisa mengubah hidupnya? Waktu akan memberi jawabannya, tetapi untuk saat ini, Ariana hanya bisa berusaha menghadapi perasaan yang datang begitu tak terduga.*
Bab 4: Terjebak dalam Rasa
Pagi itu, udara kota terasa lebih hangat dari biasanya, meskipun angin yang bertiup tetap membawa aroma segar. Ariana menatap secangkir kopi yang diletakkan di mejanya. Ia duduk di kursi ruang kerjanya, namun pikirannya jauh dari pekerjaan yang menunggu. Matanya kosong, menatap layar komputer yang penuh dengan dokumen, tetapi benaknya tidak bisa fokus pada apa yang ada di hadapannya. Hanya ada satu hal yang menguasai pikirannya: Rafael.
Setiap kali ia berusaha untuk menepis bayangan pria itu, semakin kuat rasa itu mencengkram hatinya. Rafael bukanlah seseorang yang mudah diabaikan, bukan juga orang yang bisa keluar begitu saja dari hidupnya, meskipun ia mencoba untuk menutup diri. Kejutan pertama datang saat pertemuan mereka yang tak terduga beberapa minggu yang lalu. Senyumannya yang tulus, cara dia mendengarkan dengan penuh perhatian, membuat Ariana merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sejak perpisahan dengan Leonardo. Sesuatu yang hangat, sesuatu yang menggelitik bagian terdalam di hatinya, yang selama ini ia pendam.
Ariana menatap foto-foto yang tergantung di dinding galeri seni itu, namun pandangannya kosong. Setiap sudut ruang itu membawa kenangan yang memaksanya untuk teringat pada Rafael. Ia berusaha keras untuk tetap rasional. Namun, rasa itu semakin sulit untuk disangkal. Perasaan yang perlahan mulai tumbuh, meskipun ia tahu bahwa membuka hati lagi bukanlah hal yang mudah.
Di luar ruang kerjanya, terdengar suara langkah kaki. Pintu terbuka perlahan, dan Rafael muncul di ambang pintu dengan senyum khasnya yang selalu membuat perasaan Ariana bergejolak. “Ariana, sudah siap?” tanya Rafael sambil menatapnya, mata mereka bertemu sejenak. Senyuman itu membuat Ariana merasakan ketegangan yang sulit dihindari.
“Ya, sebentar lagi,” jawab Ariana, mencoba menenangkan dirinya.
Rafael melangkah lebih dekat, berdiri di sisi meja Ariana. Ada rasa hangat yang terpancar dari kehadirannya, dan itu membuat Ariana semakin terjebak dalam perasaannya. Pria ini, yang dulunya hanyalah seseorang yang ia anggap sekadar rekan kerja, kini mengisi ruang hatinya dengan begitu cepat. Ariana tahu bahwa perasaan itu bisa membahayakan, tetapi semakin ia berusaha untuk menolaknya, semakin ia merasa terjerat dalam rasa yang tak bisa ia kontrol.
“Apa yang sedang kamu pikirkan?” tanya Rafael, memecah keheningan yang mulai menggelayuti mereka.
Ariana sedikit terkejut. Seolah-olah Rafael bisa membaca pikirannya. Ia tersenyum, meskipun rasa cemas mulai merayapi hatinya. “Tidak ada, hanya sedikit memikirkan pekerjaan,” jawabnya, mencoba untuk menyembunyikan kegelisahannya.
Rafael hanya tertawa kecil, namun ada tatapan yang dalam di matanya. “Ariana, jangan menipu dirimu sendiri. Aku tahu ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu.”
Ariana menelan ludah, merasa tidak nyaman dengan kenyataan bahwa Rafael bisa melihat lebih dari yang ia tunjukkan. Tetapi, ia tidak bisa berkata apa-apa. Kata-kata terasa begitu sulit untuk keluar dari bibirnya, seperti ada sesuatu yang menahan. Akhirnya, setelah beberapa detik yang terasa lama, ia hanya mengangguk pelan. Tidak ada yang bisa ia katakan. Rafael sudah cukup tahu bahwa ia sedang terjebak dalam perasaan yang sulit untuk ia atasi.
Hari itu, mereka melanjutkan pekerjaan di galeri seni, namun atmosfer di antara mereka semakin terasa tegang. Ariana berusaha sebaik mungkin untuk menjaga jarak, tetapi setiap kali ia melihat Rafael, hati dan pikirannya kembali berputar. Rasa yang sudah mulai ia simpan itu kini datang kembali dengan begitu kuat. Setiap tatapan, setiap senyuman, setiap kalimat yang diucapkan Rafael seakan menambah beban dalam dirinya. Ia merasa terperangkap, tidak tahu harus bagaimana menghadapi perasaan yang semakin berkembang.
Rafael, di sisi lain, tidak tampak mengerti dengan kebingungannya. Ia begitu alami, begitu tulus, dan seolah tidak terbebani oleh apa pun. Ariana merasa dirinya semakin terjebak. Apakah ia harus membiarkan perasaan ini tumbuh? Atau ia harus menahan diri dan melanjutkan hidup seperti sebelumnya, tanpa melibatkan hati lagi?
Di malam harinya, setelah hari yang panjang dan melelahkan, Ariana duduk di balkon apartemennya. Kota yang terang benderang di bawahnya terasa jauh, seperti dunia lain yang tak dapat dijangkau. Ia menatap bintang-bintang di langit malam, mencoba mencari jawaban. Namun, semakin ia berpikir, semakin ia merasa bingung. Apakah ia hanya terjebak dalam kesendirian dan rasa takutnya sendiri? Apakah ia terlalu cepat menilai perasaan yang muncul di hatinya?
Perasaan ini begitu kuat, begitu mencekam, hingga Ariana merasa seperti ada tembok besar yang menghalanginya. Di satu sisi, ia ingin membuka hatinya, merasakan cinta lagi. Namun, di sisi lain, ketakutannya untuk terluka kembali membuatnya ragu. Ia masih ingat betul bagaimana perpisahan dengan Leonardo menggoreskan luka yang tak mudah sembuh. Luka itu mengajarinya untuk berhati-hati, untuk tidak mudah mempercayai perasaan, dan untuk menjaga jarak dengan siapa pun.
Namun, apakah mungkin untuk terus hidup dengan rasa takut? Apakah mungkin untuk menutup hatinya selamanya hanya karena satu pengalaman pahit? Ariana merasa terjebak dalam dilema yang tidak bisa ia jawab. Ia tahu bahwa hidup adalah tentang mengambil risiko, tetapi apakah ia sudah siap untuk membuka pintu hatinya lagi?
Tiba-tiba, suara ketukan di pintu apartemennya membuyarkan lamunannya. Ariana terkejut, tetapi kemudian ia membuka pintu. Di sana, berdiri Rafael, dengan tatapan yang penuh arti. Tanpa berkata apa-apa, ia hanya memandang Ariana dengan intens.
“Ariana,” suara Rafael lembut namun penuh makna, “apakah kamu benar-benar siap untuk menutup hati ini selamanya? Aku tidak ingin kamu merasa terjebak, tapi aku tidak bisa berpura-pura bahwa aku tidak merasakan apa-apa.”
Ariana terdiam, terjebak dalam tatapan itu. Saat itu juga, ia tahu bahwa ia tidak bisa lagi menutup perasaannya. Rafael telah membukakan pintu yang selama ini ia kunci rapat-rapat. Namun, apakah ia akan cukup berani untuk melangkah ke dalam?*
Bab 5: Menghadapi Ketakutan
Ariana duduk termenung di tepi jendela apartemennya, memandang malam yang gelap di luar sana. Kota yang ramai dengan aktivitas terasa jauh, tak lebih dari sekadar bayangan yang buram. Hatinya dipenuhi dengan keraguan dan kegelisahan yang terus menguasai pikirannya. Setiap detik berlalu terasa berat, seolah waktu bergerak lebih lambat karena ketakutannya sendiri. Ketakutan akan perasaan yang ia coba hindari, ketakutan akan luka yang mungkin akan datang, ketakutan akan kehilangan.
Rafael, pria yang telah membuatnya merasa hidup kembali, kini menjadi bayang-bayang yang menghantui setiap langkahnya. Ia tidak bisa menepis perasaan yang tumbuh dalam hatinya. Setiap senyuman, setiap perhatian, bahkan setiap kata yang diucapkan Rafael terasa begitu nyata dan dekat. Namun, justru itulah yang membuatnya takut. Ariana tahu, ketakutannya bukan hanya tentang mencintai lagi, tetapi lebih pada ketakutannya untuk terluka. Luka yang ia rasakan saat berpisah dengan Leonardo beberapa tahun yang lalu masih terlalu membekas di hatinya. Luka itu seolah membekukan perasaan yang ada, membiarkannya menahan diri dari perasaan baru yang datang.
Di meja kerjanya, tergeletak foto-foto lama dari masa-masa bersama Leonardo. Semua kenangan itu datang kembali dalam sekejap, mengguncang ketenangan yang Ariana coba bangun. Senyum Leonardo yang selalu menghiasi hari-harinya, kebahagiaan yang mereka rasakan bersama, dan akhirnya, kesedihan yang datang begitu mendalam ketika hubungan mereka harus berakhir. Ariana menyentuh foto itu, merasakan kenangan itu melingkupi dirinya. Apakah ia siap untuk membuka hatinya lagi? Apakah ia benar-benar siap untuk menerima Rafael dan segala perasaan yang datang bersamanya?
Suara ketukan di pintu membuat Ariana terkejut. Ia menoleh, menatap pintu yang terdiam, seakan menunggu kehadiran seseorang. Dengan ragu, ia berjalan ke pintu dan membuka. Di sana, berdiri Rafael dengan ekspresi yang tak bisa ia artikan. Wajahnya yang selalu penuh dengan kehangatan kini terjaga oleh sebuah ketegangan yang tak biasa. Mungkin dia juga merasakan hal yang sama—ketakutan yang menghalangi langkahnya.
“Ariana, kita perlu bicara,” suara Rafael terdengar tenang namun tegas, seakan mengandung banyak arti yang tersembunyi.
Ariana mengangguk, meskipun hatinya berdebar. Apa yang akan Rafael katakan? Mengapa tiba-tiba ada perasaan bahwa segala sesuatu yang selama ini mereka hindari, akan terungkap begitu saja malam ini? Sebuah ketakutan merayapi Ariana, tetapi ia tahu, ini adalah momen yang tak bisa dihindari. Sebuah percakapan yang mungkin akan membuka jalan baru, atau justru menutup semuanya.
Mereka duduk di ruang tamu, terdiam beberapa saat. Suasana di sekitar mereka terasa hening, hanya terdengar suara detak jam yang menambah ketegangan dalam ruangan itu. Ariana bisa merasakan udara yang terasa lebih padat, penuh dengan perasaan yang tak terucapkan. Wajah Rafael menatapnya, mencari-cari kata yang tepat.
“Ariana,” katanya akhirnya, suaranya lebih rendah dari biasanya. “Aku tahu kita berdua memiliki banyak ketakutan. Aku juga merasa seperti itu, tapi aku tidak ingin kita terus terjebak dalam rasa ragu dan ketakutan ini. Aku tidak bisa berpura-pura bahwa aku tidak merasa apa-apa saat bersamamu.”
Ariana menggigit bibirnya, berusaha menahan air mata yang mendesak keluar. Rafael berbicara dengan begitu tulus, begitu jujur, dan itu justru membuatnya semakin sulit untuk menjaga jarak. Namun, kata-kata Rafael juga menyentuh bagian terdalam di hatinya, bagian yang sudah lama ia tutup rapat-rapat karena ketakutannya untuk terluka lagi.
“Aku tahu kamu juga merasakannya, Ariana. Aku bisa melihat itu dari matamu, dari cara kamu melihatku, meskipun kamu mencoba untuk menutupi semuanya. Aku hanya ingin kita berhenti berpura-pura dan menghadapi kenyataan ini. Apa yang kita rasakan itu nyata. Aku tak ingin menunggu lagi,” lanjut Rafael dengan penuh keyakinan.
Ariana menundukkan kepalanya, berusaha mengatur napasnya yang mulai terengah. Ia tahu bahwa ia tidak bisa terus bersembunyi dari perasaan ini. Ketakutannya yang selama ini menahan dirinya untuk tidak melangkah lebih jauh bersama Rafael, kini terasa seperti beban yang terlalu berat untuk dipikul sendirian. Ketakutannya akan kehilangan, ketakutannya untuk tidak cukup baik, ketakutannya untuk membuka hati lagi, semuanya menjadi satu benang kusut dalam dirinya.
Rafael diam sejenak, memberi Ariana waktu untuk meresapi kata-katanya. Ia tidak menekan, tidak menginginkan jawaban instan. Namun, ia tahu bahwa Ariana perlu memilih. Memilih untuk membuka hatinya atau terus hidup dengan rasa takut yang menghalangi kebahagiaannya sendiri.
“Ariana, aku tidak bisa menjanjikan semuanya akan sempurna. Aku juga tidak bisa menjanjikan kita tidak akan terluka. Tetapi, aku percaya kita bisa menghadapinya bersama. Aku hanya ingin kita mencoba. Jika tidak sekarang, kapan lagi?”
Air mata Ariana akhirnya jatuh, perlahan. Semua ketakutannya, semua kebingungannya, dan semua keraguannya terlepas begitu saja. Ia ingin menangis, melepaskan semua yang selama ini ia tahan. Namun, ada rasa lega yang datang setelahnya. Seolah, ia baru saja membuka pintu yang selama ini terkunci rapat.
“Aku takut,” kata Ariana dengan suara yang bergetar. “Aku takut akan kehilangan lagi. Aku takut untuk mencintai lagi dan akhirnya hancur. Aku tidak tahu apakah aku bisa melaluinya.”
Rafael mendekat, meraih tangannya dengan lembut, memberikan kenyamanan yang belum pernah dirasakannya sebelumnya. “Aku tahu, Ariana. Tapi aku tidak akan membuatmu merasa sendiri. Kita akan melalui ini bersama. Apapun yang terjadi.”
Ariana menatap mata Rafael, yang penuh dengan keyakinan dan kasih sayang. Ketakutannya mulai menguap perlahan, tergantikan oleh rasa harapan yang mulai tumbuh. Mungkin, memang benar, cinta itu bukan tanpa risiko. Tetapi, apakah hidup ini akan lebih berarti jika ia hanya terus terjebak dalam rasa takut tanpa mencoba untuk merasakannya lagi?
Dalam sekejap, Ariana merasakan sesuatu yang hangat dan menenangkan mengalir dalam dirinya. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa siap untuk membuka hatinya lagi, untuk merasakan cinta tanpa rasa takut yang menghantui.*
Bab 6: Cinta yang Tertunda
Ariana memandangi dirinya di depan cermin, mencoba untuk menenangkan pikiran yang berlarian. Cinta yang ia rasakan terhadap Rafael sudah cukup jelas, namun ada sesuatu yang menahan dirinya untuk melangkah lebih jauh. Ada rasa khawatir yang muncul kembali, seolah-olah ada bayangan dari masa lalu yang tak pernah benar-benar pergi. Mungkin, itu bukan hanya ketakutan akan luka yang mengintai, tetapi juga ketidakpastian apakah ia benar-benar siap menerima sebuah hubungan lagi.
Sudah hampir satu minggu sejak percakapan dengan Rafael yang membuatnya terombang-ambing antara keraguan dan harapan. Mereka telah melangkah lebih dekat, tetapi ada satu hal yang masih tertunda: komitmen. Ariana tak bisa menutupi kenyataan bahwa perasaannya terhadap Rafael semakin kuat, namun ada ruang dalam hatinya yang seolah tertutup rapat, menahan segala bentuk kedekatan yang lebih dalam.
Pernahkah ia merasa cukup untuk membuka pintu hatinya dan menerima seseorang kembali setelah begitu banyak luka? Apakah itu benar-benar mungkin? Ataukah ia hanya berlarian dari kenyataan bahwa ia takut mengulangi kesalahan yang sama? Pikiran-pikiran ini mengisi setiap ruang yang ada, menahan dirinya dari langkah yang lebih pasti.
Rafael, di sisi lain, tak pernah berhenti menunjukkan bahwa ia siap menunggu. Meskipun ada tanda-tanda bahwa dirinya juga takut, ketakutan yang sama yang mungkin dimiliki Ariana, ia tetap tegar. Setiap kali mereka bersama, Rafael memberi perhatian yang tulus, tapi dalam setiap tatapan matanya, Ariana merasakan harapan yang begitu besar. Apa yang membuatnya begitu yakin pada mereka? Apa yang membuatnya percaya bahwa mereka bisa melewati semuanya?
Pagi itu, Rafael mengajak Ariana untuk bertemu di kafe kecil yang mereka kunjungi beberapa kali sebelumnya. Ariana sebenarnya ingin menunda pertemuan itu, takut perasaan yang tertahan akan semakin sulit dikendalikan. Namun, entah mengapa, hatinya merasa tidak enak jika menolak. Ia pun memutuskan untuk pergi, meskipun dengan perasaan yang tak pasti.
Di kafe itu, suasana terasa lebih tenang dari biasanya. Hanya ada beberapa pengunjung yang sedang duduk menikmati kopi mereka, sementara Ariana dan Rafael memilih meja di dekat jendela. Meskipun mereka berbicara dengan santai, ada sesuatu yang terasa berbeda. Mereka berdua merasa terjebak dalam keheningan yang penuh dengan kata-kata yang belum terucapkan.
“Ariana,” Rafael memulai, suara lembutnya mengalun di udara yang tenang. “Aku tahu ada banyak yang belum kamu katakan. Aku tahu kamu punya banyak alasan untuk ragu, dan aku mengerti. Tapi aku ingin kau tahu, aku tidak akan terburu-buru. Aku ingin kita berjalan bersama, pelan-pelan, tanpa tekanan. Aku hanya ingin kita saling percaya, satu sama lain.”
Ariana menatap Rafael dengan tatapan yang penuh perasaan. Bagaimana bisa ia tidak percaya? Rafael sudah menunjukkan begitu banyak ketulusan, tapi rasa takutnya masih mengikat. Ia menunduk, berusaha mencari kata-kata yang tepat. Ia ingin mengatakan sesuatu yang jujur, tetapi kata-kata itu terasa sulit keluar.
“Rafael,” akhirnya ia berkata, “Aku merasa aku belum benar-benar siap untuk ini. Aku sudah terlalu terluka di masa lalu. Aku takut… Aku takut jika aku membuka hati aku lagi, aku akan terluka lebih dalam.”
Rafael terdiam sejenak, menatap Ariana dengan tatapan yang penuh pengertian. “Aku tahu, Ariana. Aku tahu kamu takut. Aku juga merasakannya. Tapi tidak ada jalan yang pasti dalam hidup. Kita hanya bisa memilih untuk mencoba dan berjuang bersama.”
Ariana merasa dadanya sesak. Bagaimana bisa ia melangkah lebih jauh jika ketakutannya masih begitu kuat? Namun, ada sesuatu dalam diri Rafael yang membuatnya merasa aman. Ia tahu bahwa ia bisa mengandalkan Rafael, bahwa pria itu benar-benar peduli padanya. Tapi apakah itu cukup? Apakah cinta saja bisa mengatasi segala ketakutan yang ia rasakan?
“Aku ingin percaya padamu,” Ariana mengakui dengan suara lirih. “Tapi aku takut kalau ini hanya akan menjadi cinta yang tertunda. Aku takut aku akan menyesal jika akhirnya aku memilih untuk menghindari cinta ini.”
Rafael menggenggam tangan Ariana dengan lembut, memberikan rasa hangat yang seolah memberi kenyamanan dalam ketidakpastian. “Ariana, aku tidak akan memaksamu. Aku hanya ingin kamu tahu, aku akan menunggumu, apa pun yang terjadi. Aku percaya cinta ini akan datang pada waktunya.”
Ariana memejamkan matanya, merasakan kehangatan dari genggaman tangan Rafael yang mengalir ke dalam hatinya. Sungguh, ia ingin merasakan cinta itu sepenuhnya. Tetapi bagaimana bisa ia melepaskan ketakutannya yang begitu dalam? Bagaimana bisa ia percaya bahwa cinta itu tidak akan berakhir dengan kesedihan seperti yang ia alami sebelumnya?
Waktu berlalu, dan meskipun mereka menghabiskan beberapa jam bersama, Ariana merasa seakan perasaan yang tertunda itu semakin menggerogoti hatinya. Ia ingin mengatakan sesuatu yang lebih, tetapi kata-kata itu tetap terhenti di ujung bibir. Mungkin inilah yang disebut sebagai cinta yang tertunda, sebuah perasaan yang begitu dekat namun tidak bisa dirasakan sepenuhnya karena ketakutan yang menghalangi.
Ariana tahu, saat ini, ia harus menghadapi dirinya sendiri terlebih dahulu. Ia harus memahami bahwa untuk bisa mencintai, ia perlu melepaskan rasa takutnya. Ia harus membuka pintu hatinya, meskipun itu akan berarti ia harus menghadapi kemungkinan terluka lagi. Tapi apakah ia bisa terus hidup dengan ketakutan yang mengikatnya?
Ketika pertemuan mereka berakhir, Rafael mencium puncak kepala Ariana dengan lembut, sebuah tanda kasih sayang yang tulus. “Aku akan menunggumu, Ariana. Tidak ada yang perlu terburu-buru.”
Ariana hanya mengangguk, namun hatinya tidak bisa menepis perasaan haru yang muncul. Mungkin cinta ini memang tertunda, tapi ia tahu, waktu akan mengungkapkan jawabannya. Cinta itu tidak akan pernah datang dengan cara yang mudah, dan terkadang, kita harus belajar untuk menunggu, untuk memberi diri kita kesempatan untuk tumbuh, dan untuk akhirnya percaya bahwa cinta yang sejati tidak akan pernah terlambat.*
Bab 7: Pintu yang Terbuka
Ariana berdiri di depan pintu rumah, matanya terfokus pada pintu yang sepertinya menantinya untuk dibuka. Itu adalah pintu yang sama yang telah berbulan-bulan ia hindari, pintu yang selama ini menjadi simbol dari ketakutannya dan keraguan yang selalu mengikat hatinya. Tapi hari ini, sepertinya ada sesuatu yang berbeda. Ada keberanian yang tumbuh di dalam dirinya, sebuah dorongan untuk akhirnya membuka pintu itu dan menghadapi apa yang ada di baliknya.
Sebelumnya, setiap kali ia berdiri di depan pintu ini, hati Ariana dipenuhi dengan kegelisahan. Pintu ini bukan hanya sekadar pintu rumah; ia adalah pengingat akan luka masa lalu yang belum sepenuhnya sembuh. Di balik pintu ini ada kenangan yang menyakitkan, yang selalu datang kembali setiap kali ia mencoba melangkah maju. Namun, saat itu, setelah percakapan yang begitu membuka hatinya dengan Rafael beberapa hari yang lalu, Ariana merasa bahwa waktunya telah tiba. Waktunya untuk menghadapi ketakutan itu dan melangkah ke depan.
Ia menarik napas dalam-dalam dan meraih gagang pintu, merasakan kehangatan yang perlahan menyebar melalui tangannya. Pintu itu terbuka perlahan, seiring dengan suara berderak yang seolah menyambut langkahnya. Begitu pintu itu terbuka sepenuhnya, dunia luar seakan menyambutnya dengan segala kemungkinan yang ada.
Rafael berdiri di luar, matanya penuh dengan perhatian, tapi kali ini, tidak ada keraguan atau ketakutan di sana. Hanya ada kesabaran dan pengertian. Mungkin ini adalah salah satu alasan mengapa Ariana merasa lebih kuat dari sebelumnya. Rafael tidak pernah memaksanya untuk melangkah lebih cepat dari yang ia mampu. Ia memberikan ruang yang dibutuhkan untuk menyembuhkan luka-luka yang ada, dan ia selalu ada, menunggu dengan sabar.
“Rafael…” suara Ariana terdengar ragu, namun matanya tak lepas dari pria itu. “Aku merasa seperti aku baru saja membuka pintu yang sangat besar, dan aku tidak tahu apa yang akan aku temui di baliknya.”
Rafael tersenyum, senyum yang begitu lembut, penuh dengan pengertian. “Aku tahu, Ariana. Kadang kita perlu waktu untuk memutuskan apakah kita siap melangkah. Dan tidak ada salahnya untuk ragu. Tapi apa yang aku tahu, aku akan selalu ada untukmu, tidak peduli apa yang terjadi di balik pintu itu.”
Ariana merasa hatinya berdebar. Kata-kata Rafael mengingatkannya bahwa mereka sudah melalui banyak hal bersama. Mereka telah saling membuka hati, meskipun pelan-pelan, dan sekarang, ia merasa seakan ada kesempatan untuk memulai sebuah perjalanan baru. Tapi perasaan itu belum sepenuhnya terjawab. Cinta itu, yang semula terasa begitu jauh dan terhalang, kini sepertinya mulai terbuka perlahan-lahan, seperti pintu yang baru saja Ariana buka.
Mereka berjalan bersama menyusuri jalan kecil di depan rumah. Langit sore itu terlihat indah, dengan warna-warna keemasan yang tercampur dengan semburat oranye, seolah dunia mengiringi langkah mereka. Selama berbulan-bulan, Ariana merasa dirinya terjebak di antara masa lalu dan masa depan, terperangkap dalam ketakutan yang begitu dalam. Namun, saat ini, ia merasa ada angin perubahan yang datang. Seperti halnya pintu yang terbuka, dunia di luar sana menyajikan banyak kemungkinan yang selama ini ia hindari.
“Ariana, aku tahu kamu takut,” kata Rafael dengan suara lembut, “Aku tahu kamu merasa ada bagian dari dirimu yang masih terikat dengan masa lalu. Tapi aku percaya, bahwa apa yang kita punya sekarang lebih dari cukup untuk membangun sesuatu yang baru. Aku ingin kita melangkah maju bersama, dengan semua yang ada di dalam kita, tanpa perlu menyembunyikan apapun.”
Ariana menatapnya, mata mereka bertemu, dan untuk pertama kalinya, ia merasa yakin. Mungkin ia tidak bisa sepenuhnya menghapus kenangan-kenangan pahit dari masa lalu, namun ia bisa memilih untuk melangkah ke depan. Untuk pertama kalinya, Ariana merasa bahwa ia tidak perlu menghadapinya sendirian. Rafael ada di sini, dan ia ingin berada di sampingnya.
“Mungkin aku tidak tahu bagaimana melupakan semua rasa takut ini,” kata Ariana pelan, “Tapi aku tahu, aku ingin mencoba. Aku ingin membuka hatiku untukmu, Rafael. Aku ingin mulai membangun sesuatu yang baru bersama kamu.”
Rafael tersenyum, senyum yang tulus. “Aku di sini, Ariana. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan. Aku akan menemanimu, langkah demi langkah.”
Mereka terus berjalan, menyusuri jalan yang semakin sepi seiring matahari yang mulai tenggelam di balik cakrawala. Dalam diam, mereka berbagi kebersamaan yang terasa lebih bermakna. Ariana merasa seperti sedang berjalan di jalan yang belum pernah ia lewati sebelumnya, namun kali ini ia merasa lebih kuat, lebih siap.
Ia menyadari, bahwa pintu yang terbuka bukan hanya tentang langkah fisik yang diambil untuk melangkah keluar, tetapi juga tentang membuka hati untuk menerima segala kemungkinan yang ada. Pintu itu bukan hanya sebuah simbol dari masa lalu, tetapi juga tentang masa depan yang tak lagi menakutkan. Pintu itu adalah kesempatan yang harus diambil, tanpa ragu.
Seiring langkah mereka yang semakin jauh, Ariana merasa beban di hatinya perlahan menghilang. Rasa takut itu mungkin tidak akan pernah sepenuhnya hilang, tapi ia tahu, dengan Rafael di sisinya, ia bisa menghadapi apapun yang datang. Pintu yang terbuka itu adalah awal dari segala hal baru yang menanti mereka. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Ariana merasa bahwa ia bisa menghadapinya dengan penuh keberanian.
Di balik pintu itu, ada banyak hal yang belum ia ketahui. Tetapi yang pasti, pintu itu sekarang terbuka lebar, siap untuk menunjukkan arah yang baru.*
Bab 8: Di Balik Pintu yang Terbuka
Pagi itu, udara segar menyelimuti kota, memberi kesan seperti baru memulai perjalanan yang panjang. Ariana berdiri di depan pintu rumahnya, merasa dunia seperti berhenti sejenak. Sebelum ia bisa melangkah keluar, rasa cemas kembali merayapi hatinya. Pintu yang terbuka semalam, yang telah memberikan harapan baru, kini menjadi pintu yang harus dihadapi sepenuhnya.
Rafael telah pergi bekerja pagi itu, meninggalkan Ariana dengan pikirannya sendiri. Semalam, mereka berdua telah berbicara lebih lama dari biasanya. Tentang masa lalu, tentang segala yang belum sempat mereka utarakan. Namun, ada satu hal yang tertinggal, dan itu adalah sebuah keputusan yang harus diambil. Bagaimana mereka akan melangkah setelah membuka pintu itu bersama-sama? Apakah mereka siap dengan segala konsekuensinya?
Ariana menatap jalan setapak di depan rumahnya, tempat yang biasa dilalui, tapi hari ini terasa berbeda. Setiap langkah terasa penuh arti, seolah membawanya ke tempat yang belum pernah ia kenal. Pintu yang terbuka kemarin tidak hanya mengarah pada perubahan di luar sana, tetapi juga di dalam dirinya. Sebuah ruang baru yang terbentuk dalam dirinya, yang kini menunggu untuk dijelajahi.
Ia berjalan ke ruang tengah, mengambil cangkir kopi yang sudah disiapkan oleh Rafael sebelumnya. Pagi itu, seperti banyak pagi lainnya, terasa sepi, namun kehadiran Rafael, meskipun tidak ada di sana, masih menghangatkan ruangan. Ariana duduk di kursi dekat jendela besar, menatap keluar, mencoba menenangkan pikirannya.
Sebelumnya, ia selalu menghindari untuk berpikir tentang masa depan. Pintu yang terbuka semalam bukan hanya pintu fisik di depan rumah, tetapi pintu yang mengarah pada kemungkinan yang lebih besar. Ia harus memutuskan apakah ia akan terus terjebak dalam bayang-bayang masa lalu atau melangkah ke depan dengan segala keraguan dan ketakutannya.
Ariana memejamkan mata, berusaha mengingat kembali percakapan semalam. Rafael, dengan lembut, mengingatkannya bahwa mereka tidak perlu terburu-buru. Ia tidak menginginkan segala sesuatunya terburu-buru, dan itu membuat Ariana merasa sedikit lebih lega. Namun, di dalam hatinya, ada perasaan yang tak bisa disangkal. Keinginan untuk melangkah maju, untuk menerima segala kemungkinan yang datang, itu semakin kuat.
Di luar jendela, angin bertiup dengan tenang, membawa bau tanah yang segar. Ariana mengatur napasnya, mencoba menenangkan kegelisahannya. Ia tahu bahwa meski pintu itu telah terbuka, itu tidak berarti jalan yang akan ditempuh akan selalu mulus. Ada banyak rintangan yang harus dihadapi. Tetapi, ada satu hal yang pasti—ia tidak lagi takut untuk menghadapi kenyataan yang ada di depan mata.
Ariana mengingat kembali pertemuannya dengan Rafael. Saat pertama kali mereka bertemu, hidupnya tidak jauh berbeda dengan sekarang. Mereka adalah dua orang yang saling bertemu dalam situasi yang tidak terduga, saling mengenal dengan cara yang berbeda dari apa yang mereka bayangkan. Rafael tidak pernah memaksanya untuk membuka hati, ia hanya ada, dengan segala kesabarannya. Tidak ada yang terburu-buru, dan itu yang membuat Ariana merasa nyaman.
Ketika mereka pertama kali berbicara, semuanya terasa begitu baru dan menakutkan. Tetapi, kini, setelah berbulan-bulan, Ariana mulai menyadari bahwa ia sudah berubah. Rafael, dengan kehadirannya yang tenang, telah memberikan ruang baginya untuk mengenali dirinya lebih dalam. Tanpa sadar, ia mulai membiarkan diri untuk membuka pintu hatinya sedikit demi sedikit.
Hari itu, setelah menghabiskan beberapa waktu untuk menenangkan pikirannya, Ariana akhirnya memutuskan untuk menemui Rafael di kantor. Ia merasa sudah waktunya untuk berbicara lebih serius. Ia ingin tahu bagaimana mereka akan melangkah ke depan. Apa yang akan terjadi setelah mereka memutuskan untuk membuka pintu itu dan mulai melangkah bersama?
Saat tiba di kantor Rafael, Ariana merasa sedikit gugup. Namun, saat matanya bertemu dengan mata Rafael, semua kekhawatirannya seakan menguap. Rafael tersenyum padanya, senyum yang selalu membuat hatinya merasa hangat. “Ariana, ada yang ingin kamu bicarakan?” tanya Rafael, suara lembut namun penuh perhatian.
Ariana menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. “Rafael, aku merasa kita sudah melewati banyak hal bersama. Aku tahu kita masih punya banyak yang harus kita hadapi, tapi aku ingin tahu, apakah kita siap untuk membuka babak baru ini bersama?”
Rafael mendekat, menatapnya dengan penuh pengertian. “Ariana, aku sudah siap sejak kita pertama kali memutuskan untuk membuka pintu itu. Aku tahu perjalanan kita tidak akan mudah, tapi aku ingin berjalan bersamamu. Dengan segala kelebihannya dan kekurangannya.”
Ariana tersenyum, merasa ada rasa tenang yang datang. Mereka memang belum tahu sepenuhnya apa yang akan terjadi, tetapi satu hal yang pasti—mereka siap untuk menghadapinya bersama. Seperti pintu yang terbuka, dunia mereka kini lebih luas, penuh dengan kemungkinan yang menunggu untuk dijelajahi.
Saat mereka berjalan keluar dari kantor, Ariana merasakan kehangatan yang datang dari Rafael. Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, namun mereka tahu bahwa mereka tidak akan lagi terjebak dalam keraguan. Pintu itu telah terbuka, dan dunia di luar sana menunggu untuk mereka jelajahi, bersama-sama.
Di balik pintu yang terbuka itu, ada dunia baru yang menanti mereka. Pintu itu bukan hanya simbol dari masa lalu yang telah mereka tinggalkan, tetapi juga tentang masa depan yang penuh dengan harapan dan peluang. Kini, mereka siap untuk melangkah, satu langkah demi satu langkah, bersama-sama.***
———-THE END——-