BAB 1: Diari yang Tertinggal
Delia berdiri di depan rumah tua yang baru saja ia dan keluarganya pindahkan ke dalamnya. Rumah itu terlihat suram, dengan cat yang mengelupas dan jendela-jendela yang sudah lama tidak dibersihkan. Di sekitar rumah, pepohonan rimbun berdiri seperti penjaga setia yang tak pernah goyah. Udara di sekitarnya terasa dingin, meskipun hari masih siang. Rasanya ada sesuatu yang aneh di sekitar rumah ini, sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan dengan kata-kata.
“Ini akan menjadi rumah kita yang baru,” kata ayah Delia dengan nada penuh semangat, mencoba meyakinkan diri sendiri dan keluarganya. Namun, Delia bisa melihat di matanya, ia tidak begitu yakin dengan keputusan itu.
Delia mengangguk pelan, namun pikirannya melayang. Bagaimana bisa mereka memilih rumah seperti ini? Rumah yang jauh dari hiruk-pikuk kota, yang terisolasi, yang tampaknya tak pernah disentuh tangan manusia selama bertahun-tahun. Tak ada tetangga di sekitar, hanya hutan lebat yang mengelilinginya.
Seperti biasa, Delia tidak suka pindah. Dia merasa terpisah dari kehidupan yang ia kenal sebelumnya. Di sekolah baru nanti, dia harus beradaptasi dengan teman-teman baru, guru-guru baru, dan suasana yang sama sekali asing. Pikirannya tentang rumah itu semakin membuatnya tidak nyaman. Ia merasakan sesuatu yang gelap, sesuatu yang tak terlihat, namun sangat nyata di sana.
Malam pertama di rumah itu terasa lebih lama dari yang ia bayangkan. Delia berbaring di tempat tidur yang terasa asing, memeluk selimut yang masih baru. Suara-suara yang biasa ia dengar di rumah sebelumnya, suara kota yang ramai, kini digantikan oleh hening yang menekan. Hanya ada suara gesekan ranting pohon yang terbawa angin di luar jendela. Seiring waktu, ia mulai merasa aneh, seperti ada mata yang mengawasinya dari dalam kegelapan.
Pagi berikutnya, saat Delia sedang membereskan barang-barangnya di kamar, ia menemukan sebuah benda yang tersembunyi di sudut ruangan. Di balik tumpukan kotak-kotak lama yang tertutup debu, sebuah diari kulit berwarna cokelat tergeletak. Buku itu tampak tua, hampir usang, dengan beberapa bagian yang sudah mulai rusak. Diari tersebut seolah menjadi bagian dari rumah itu, tertinggal begitu saja, menunggu untuk ditemukan.
Delia merasa tertarik. Ia selalu menyukai buku, terutama yang misterius. Dengan hati-hati, ia membuka diari itu. Halaman pertama dipenuhi dengan tulisan yang rapi, seakan pemilik sebelumnya sangat berhati-hati menulis setiap kata. Nama yang tertera di halaman depan adalah “Arinda”. Nama yang asing bagi Delia.
Tanggal 15 Februari 1983
Hari-hari di rumah ini semakin aneh. Aku tidak tahu apakah hanya imajinasiku ataukah memang ada sesuatu yang salah dengan tempat ini. Semakin lama, aku semakin merasa ada yang mengawasi, sesuatu yang tidak bisa kulihat dengan jelas, namun bisa kurasakan keberadaannya. Di malam hari, aku sering mendengar suara langkah-langkah kaki di lantai atas. Namun, ketika aku memeriksanya, tidak ada siapa pun di sana.
Delia membaca dengan seksama. Apa yang ditulis oleh Arinda itu cukup mengganggu. Ia bisa merasakan ketegangan yang ada dalam tulisan itu, seperti ada rasa takut yang begitu mendalam. Delia melanjutkan membaca, penasaran dengan apa yang akan terungkap selanjutnya.
Tanggal 20 Februari 1983
Suara-suara itu semakin keras. Aku tidak bisa tidur lagi. Kadang-kadang, aku merasa ada seseorang yang berdiri di samping tempat tidurku, namun saat kubuka mata, tidak ada siapa-siapa. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Semua orang di sekitarku mengatakan aku hanya lelah, namun aku yakin ini bukan hal yang biasa. Aku merasa ada sesuatu yang sangat buruk akan terjadi jika aku tidak menemukan cara untuk menghadapinya.
Delia merasakan ketegangan dalam tulisan itu semakin meningkat. Apa yang sebenarnya terjadi di rumah ini? Siapa Arinda, dan mengapa dia menulis hal-hal seperti ini? Delia mulai merasa seolah ia memasuki dunia yang gelap, dunia yang penuh dengan rahasia yang lebih dalam dari yang ia duga.
Tanggal 25 Februari 1983
Hari ini aku menemukan sesuatu yang mengerikan di ruang bawah tanah. Di balik dinding yang tampaknya rapat, ada sebuah pintu kecil yang tersembunyi. Aku memutuskan untuk membuka pintu itu, meskipun aku merasa ketakutan. Di dalamnya, aku menemukan sebuah ruang yang sangat gelap, penuh dengan benda-benda aneh. Ada buku-buku tua, lilin yang sudah terbakar, dan gambar-gambar yang tampak seperti simbol-simbol gaib. Aku merasa ada yang mengintip dari kegelapan itu. Sesuatu yang sangat jahat.
Diari itu berhenti di sana, dengan halaman-halaman berikutnya kosong. Delia menutup buku itu dengan tangan gemetar. Apa yang baru saja ia baca? Rumah ini ternyata menyimpan sesuatu yang jauh lebih gelap dari yang ia bayangkan. Sesuatu yang tidak hanya mengganggu Arinda, tapi mungkin juga sedang mengganggu dirinya sekarang.
Saat Delia meletakkan diari itu, sebuah suara keras terdengar dari arah lantai atas, membuat hatinya berdegup kencang. Suara itu seperti langkah kaki yang berat, berpindah-pindah. Delia menatap tangga yang gelap, seolah menunggu seseorang untuk muncul di sana.
Namun, tak ada siapa-siapa. Yang ada hanya keheningan, yang semakin dalam dan menghimpit. Sesuatu di rumah itu sedang menunggu, menunggu untuk mengungkapkan rahasia yang lebih mengerikan dari sekadar bayangan di malam hari. Delia tahu, ia belum selesai dengan apa yang baru saja ia temukan. Diari itu, mungkin, adalah kunci untuk mengungkapkan misteri yang menunggunya di dalam rumah ini.
Satu hal yang pasti, keanehan yang dimulai dengan sebuah diari tua ini hanya akan semakin dalam, membawa Delia ke dalam kegelapan yang tak terbayangkan.
BAB 2: Si Pemilik Diari
Setelah menemukan diari milik Arinda, Delia tidak bisa berhenti memikirkannya. Setiap kali dia berusaha tidur, bayangan-bayangan tulisan itu terus mengusik pikirannya. Siapakah Arinda? Mengapa dia begitu terobsesi dengan suara-suara aneh dan kejadian-kejadian menakutkan di rumah ini? Delia merasa ada yang tak beres dengan Arinda, dan dia merasa ada sebuah ikatan tak kasat mata yang menghubungkannya dengan wanita itu, meski mereka terpisah oleh waktu yang sangat lama.
Hari berikutnya, saat sore mulai menggelap, Delia kembali mengunjungi ruang bawah tanah, tempat dia menemukan diari itu. Udara di sana terasa lebih dingin dari biasanya. Bahkan saat ia menuruni anak tangga, ia bisa merasakan bulu kuduknya berdiri. Rumah itu memang sudah tua, namun ada sesuatu yang lebih dari sekedar usia yang mengganggu. Rumah ini terasa seakan menyimpan kenangan buruk, dan sepertinya, kenangan itu tidak ingin terlupakan.
Di ruang bawah tanah yang sempit, Delia duduk di lantai dengan diari terbuka di hadapannya. Ia mulai membaca lagi halaman-halaman yang ditulis Arinda dengan hati-hati. Setiap kalimat yang dibaca membuat rasa penasaran Delia semakin menjadi-jadi. Apa yang sebenarnya terjadi pada wanita ini? Mengapa dia begitu takut dengan rumah ini, dan lebih mengherankan lagi, apa yang dia temui di ruang bawah tanah itu?
Tanggal 28 Februari 1983
Hari ini aku merasa semakin terjebak. Pintu kecil di ruang bawah tanah itu terus mengganggu pikiranku. Aku sudah memutuskan untuk tidak pergi ke sana lagi, namun entah mengapa, aku merasa terdorong untuk melakukannya. Semakin aku mencoba untuk menghindarinya, semakin besar dorongan untuk masuk dan mengetahui apa yang ada di balik pintu itu. Namun, aku juga tahu bahwa ada sesuatu yang tidak seharusnya aku ketahui. Sesuatu yang sangat jahat menunggu di balik sana.
Tulisannya semakin tidak teratur, dan setiap kalimatnya semakin menambah rasa takut yang menggelayuti hati Delia. Diari itu bukan hanya berisi keluhan atau catatan pribadi biasa. Ini adalah cerita tentang ketakutan, tentang rasa terperangkap yang perlahan-lahan menguasai Arinda. Delia mulai merasa seolah-olah ia sedang berada di tempat yang sama dengan Arinda, merasakan hal yang sama, meski ratusan hari terpisah. Seperti ada sesuatu yang menghubungkan mereka berdua, meskipun waktu telah memisahkan mereka begitu jauh.
Tanpa berpikir panjang, Delia memutuskan untuk mencari tahu lebih lanjut. Ia ingin menemukan siapa Arinda sebenarnya. Ia ingin mengetahui lebih banyak tentang wanita itu, terutama tentang apa yang terjadi pada malam-malam terakhir Arinda di rumah ini. Delia tahu, untuk melanjutkan penyelidikannya, ia harus menggali lebih dalam ke dalam sejarah rumah ini. Rumah yang ternyata menyimpan begitu banyak rahasia yang tak terungkap.
Delia melangkah ke perpustakaan kecil yang ada di rumah itu. Penuh dengan buku-buku tua yang tampaknya sudah sangat lama tidak dibaca. Beberapa buku berselimut debu tebal, dan lampu di sudut ruangan itu berkelip-kelip seakan hidup dengan keinginan untuk menceritakan kisah-kisah lama. Dia mulai mencari-cari di antara tumpukan buku tua itu, berharap menemukan petunjuk lebih lanjut tentang Arinda.
Setelah beberapa lama mencari, Delia menemukan sebuah buku kecil yang tampaknya lebih baru dari yang lain. Di dalamnya, ia menemukan artikel tentang sejarah rumah tempat mereka tinggal. Artikel itu tidak mencantumkan banyak hal, hanya beberapa kalimat singkat yang menyebutkan bahwa rumah itu pernah dimiliki oleh keluarga Arinda, yang dikenal sebagai keluarga terhormat di kota ini. Namun, tak ada yang menjelaskan lebih jauh mengenai kehidupan pribadi Arinda atau peristiwa-peristiwa aneh yang terjadi di rumah tersebut.
Frustrasi, Delia kembali ke ruang bawah tanah. Di sana, ia mulai mencari lebih teliti. Di balik rak-rak buku yang sudah berdebu, dia menemukan sebuah kotak kayu kecil yang terkunci. Kotak itu tampaknya sudah sangat tua, seperti barang yang sudah lama terlupakan. Delia tidak tahu mengapa, tetapi hatinya berdebar-debar saat memegang kotak itu. Rasanya seperti ada yang mengingatkannya untuk tidak membuka kotak itu, tapi rasa ingin tahunya jauh lebih besar.
Dengan hati-hati, Delia membuka kotak itu. Di dalamnya, terdapat sebuah setengah potong gambar foto tua yang terlihat sangat buram. Delia mengamatinya lebih dekat. Di foto itu, tampak seorang wanita muda dengan rambut panjang dan wajah yang cantik. Namun, yang membuatnya merinding adalah ekspresi di wajah wanita tersebut. Ada sesuatu yang kelam, sesuatu yang tidak biasa, seolah-olah wanita itu tahu sesuatu yang mengerikan akan terjadi. Delia merasa cemas, dan ia hampir melepaskan foto itu begitu saja. Tetapi, saat ia melihat lebih jauh, dia terkejut. Di belakang foto tersebut terdapat tulisan kecil, hampir tak terbaca: “Arinda, 1 Desember 1984.”
Tanggal itu membuat Delia terhenyak. Itu adalah tahun yang sama ketika diari itu berhenti menulis. Tahun yang sama ketika Arinda sepertinya menghilang dari rumah ini. Ada sesuatu yang janggal dengan tanggal ini. Kenapa dia berhenti menulis begitu mendalam dan mendadak? Apa yang terjadi pada Arinda pada tahun itu?
Delia mencoba menenangkan diri. Ia tahu ini lebih dari sekadar rumah tua yang dihantui. Ada cerita yang harus terungkap, dan Arinda, dengan segala rahasianya, adalah kunci untuk membuka misteri ini. Tanpa disadari, hari sudah berganti malam, dan Delia merasa bahwa meskipun ia belum menemukan jawaban yang pasti, dia tahu bahwa perjalanan ini baru saja dimulai.
Sesaat sebelum Delia menutup kotak kayu itu, sesuatu yang aneh terjadi. Suara berderit terdengar dari lantai atas, seolah-olah ada langkah-langkah berat yang perlahan mendekat. Suara itu tidak hanya mengganggu, tetapi juga terasa mengancam. Delia merasakan getaran di tubuhnya, dan secara insting ia memegang erat diari Arinda. Sesuatu mengawasi, dan ia merasa tidak sendirian lagi di rumah ini.
Dengan perasaan cemas yang membuncah, Delia berjanji pada dirinya sendiri untuk menggali lebih dalam. Dia tidak akan berhenti sampai dia menemukan seluruh kebenaran yang tersembunyi di balik rumah ini dan diari milik Arinda yang tertinggal.
BAB 3: Tanda-Tanda Kegilaan
Malam semakin larut, namun Delia tidak bisa memejamkan mata. Suara-suara aneh di sekitar rumah, yang tadinya ia kira hanya ilusi atau sekadar bunyi dari rumah tua yang lapuk, kini terasa nyata. Setiap kali angin berhembus, daun-daun di luar jendela berdesir seakan berbisik. Namun, suara itu bukanlah yang membuatnya gelisah. Ada suara lain—suara langkah kaki, terdengar jelas dan berat, seperti seseorang berjalan di lantai atas. Namun, ketika Delia memeriksa, tidak ada siapa-siapa di sana.
Pikiran Delia melayang kembali ke diari Arinda. Setiap kata dalam diari itu tampaknya menjadi kenyataan yang mulai menimpa dirinya. Seperti apa yang ditulis Arinda tentang suara-suara aneh, bayangan yang bergerak tanpa sebab, dan perasaan diawasi setiap saat. Semua itu kini mulai ia alami sendiri. Mungkin Arinda benar—ada sesuatu yang mengintai di dalam rumah ini, sesuatu yang tidak bisa dilihat dengan mata biasa, tetapi sangat terasa keberadaannya.
Di hari berikutnya, Delia merasa ada perubahan yang aneh dalam dirinya. Matanya yang tadinya cerah kini tampak lelah. Dia merasa semakin sulit untuk tidur dan, ketika bisa tidur, mimpi buruk menghantui setiap malam. Mimpi-mimpi itu begitu nyata, seolah-olah dia benar-benar berada di dalamnya. Ia melihat sosok perempuan dengan rambut panjang, wajahnya tampak kabur, namun ia bisa merasakan ketakutan yang mendalam dari wajah itu. Perempuan itu seperti ingin memberinya pesan, tetapi setiap kali Delia mencoba mendekat, wajah itu justru menghilang dalam kegelapan.
Setelah beberapa hari, Delia mulai merasa tubuhnya lemas. Rasa kantuk yang tak tertahankan membuatnya sering tidur di siang hari, dan ketika terbangun, ada perasaan tercekik yang datang begitu saja. Suara-suara aneh dari rumah itu mulai sering terdengar di malam hari. Terkadang suara pintu yang terbuka dengan sendirinya, kadang suara langkah kaki yang tak bisa dijelaskan, dan terkadang, ada bisikan yang terdengar pelan namun jelas, seolah-olah datang dari sudut ruangan yang gelap.
Namun yang paling mengganggu adalah bayangan yang kadang-kadang melintas di ujung pandangannya. Bayangan itu bukan milik siapa pun yang ada di rumah. Ia sering melihat sosok gelap bergerak cepat di sudut matanya, hanya untuk menghilang saat ia menoleh langsung. Pada malam hari, Delia merasakan perasaan diawasi semakin kuat. Ia merasa seperti ada sesuatu yang mengamatinya tanpa henti. Mungkin ini adalah gejala stres akibat pindah ke rumah baru, pikir Delia. Namun, ketakutannya semakin mendalam.
Suatu malam, saat ia sedang duduk di ruang tamu, terdengar suara ketukan di pintu depan. Delia terkejut. Tak ada orang yang tampak di luar. Ia ragu-ragu, kemudian dengan perlahan membuka pintu. Di luar hanya ada kegelapan, dan angin yang berhembus keras membawa suara-suara dari hutan. Namun, yang membuat Delia merinding adalah sebuah benda yang tergeletak di lantai depan pintu: sebuah batu hitam berkilau, seakan baru saja dilemparkan.
Batu itu terlihat sangat aneh, berbeda dengan batu-batu biasa yang ditemukan di sekitar rumah. Rasanya seperti ada pesan yang ingin disampaikan melalui benda itu. Delia mengambil batu itu dengan tangan gemetar. Saat ia memegangnya, sejenak ia merasa sebuah energi yang dingin merambat ke tubuhnya, membuatnya merasa mual dan pusing. Batu itu terasa berat, seperti ada kekuatan jahat yang tertanam di dalamnya.
Delia memutuskan untuk meletakkan batu itu di meja makan, mencoba untuk melupakan apa yang baru saja terjadi. Namun, semakin ia mencoba untuk melupakan, semakin kuat perasaan aneh yang menghinggapi dirinya. Ketika ia menoleh ke arah batu itu beberapa menit kemudian, batu itu sudah menghilang. Tidak ada jejak sama sekali, seolah batu itu tidak pernah ada.
Panik mulai melanda. Apakah itu hanya halusinasi? Ataukah batu itu memang memiliki kekuatan tertentu yang bisa menghilang dengan sendirinya? Delia merasa seperti sedang terperangkap dalam sebuah mimpi buruk yang tidak pernah berakhir. Setiap kali ia mencoba untuk mencari penjelasan logis, kejadian-kejadian aneh itu justru semakin meningkat. Ia semakin yakin, bahwa rumah ini bukan sekadar rumah tua yang ditinggalkan begitu saja.
Di sekolah, teman-temannya mulai memperhatikan perubahan pada dirinya. Mereka merasa ada yang aneh dengan Delia, seperti ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan. Delia menjadi sangat pendiam, jarang berbicara, dan sering terlihat melamun. Bahkan, teman-temannya mulai mengingatkan Delia untuk istirahat dan tidak terlalu fokus pada hal-hal yang tidak masuk akal.
Namun, Delia merasa ada yang penting yang harus dia ungkapkan. Ia mencoba untuk bercerita kepada ibunya tentang kejadian-kejadian yang ia alami di rumah, namun ibunya hanya menganggapnya sebagai efek dari stres karena pindah rumah. “Semua orang butuh waktu untuk beradaptasi, Delia,” kata ibunya dengan tenang. “Mungkin kamu terlalu banyak berpikir tentang rumah ini. Jangan terlalu khawatir.”
Tapi Delia tahu bahwa itu bukan hanya soal stres. Kejadian-kejadian aneh ini terasa begitu nyata, dan semakin hari semakin menakutkan. Malam itu, saat Delia kembali ke rumah, perasaan tercekik datang lagi. Ada sesuatu yang sangat dekat, seperti sesuatu yang berusaha untuk masuk ke dalam dirinya, mempengaruhi pikirannya. Ia merasa perasaan takut yang sama dengan yang ditulis oleh Arinda dalam diari itu.
“Jika kamu merasa takut, jangan biarkan itu menguasaimu,” Delia berbisik pada dirinya sendiri. Namun, kata-kata itu terasa hampa. Ketakutannya semakin menguasai dirinya. Dia tahu sesuatu yang mengerikan sedang menunggu untuk mengambil alih dirinya.
Malam itu, saat ia duduk di ruang tamu, Delia melihat bayangan gelap yang melintas cepat di balik jendela. Suara langkah kaki terdengar lebih keras, seperti mendekat ke arahnya. Perasaan ketakutan yang mendalam kembali melanda tubuhnya. Tiba-tiba, lampu di ruang tamu mati, dan dalam kegelapan itu, Delia merasa ada tangan yang menyentuh pundaknya, dingin dan kasar.
Dengan gemetar, Delia menoleh, namun tidak ada siapa pun di sana. Namun, saat ia menoleh ke arah meja, ia melihat diari Arinda terbuka, halaman-halaman yang sebelumnya kosong kini tertulis dengan tulisan tangan yang berbeda. Tulisan itu menulis satu kalimat yang membuat darah Delia terasa membeku:
“Kamu tidak bisa keluar dari sini.”
Seperti ada sesuatu yang telah menunggu, menunggunya untuk mengambil langkah berikutnya.
BAB 4: Teror Meningkat
Malam itu, Delia tidak bisa tidur sama sekali. Perasaan tercekik yang menyelubungi tubuhnya semakin parah, dan jantungnya berdegup kencang seakan-akan ingin melompat keluar dari dadanya. Kalimat yang ditulis di diari Arinda—”Kamu tidak bisa keluar dari sini.”—terus berputar-putar di kepalanya. Kata-kata itu terasa begitu nyata, seolah ada suara bisikan yang mengucapkannya langsung di telinganya.
Delia mencoba menenangkan diri. Ia berbaring di tempat tidurnya, berusaha untuk tidak membiarkan ketakutan menguasainya. Namun, meskipun matanya terpejam, suara-suara aneh terus terdengar. Suara langkah kaki yang berdecit, suara pintu yang terbuka perlahan, dan bisikan-bisikan samar yang tidak bisa ia pahami. Setiap kali ia membuka mata, kegelapan yang mengelilinginya tampak semakin pekat.
Pagi datang dengan cepat, namun perasaan cemas yang menghinggapi Delia tidak juga menghilang. Ketika ia turun ke ruang makan, ia mendapati ibunya sedang menyiapkan sarapan. Namun, ibu Delia tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Wajahnya tampak lelah, seperti baru saja terbangun dari mimpi buruk yang panjang.
“Delia, kamu baik-baik saja? Kamu terlihat sangat pucat,” tanya ibunya, melihat betapa raut wajah anaknya terlihat murung dan cemas.
Delia hanya mengangguk, mencoba menyembunyikan perasaan takut yang masih menggelayuti dirinya. “Aku hanya butuh istirahat,” jawabnya dengan suara pelan. “Mungkin hanya kurang tidur.”
Ibunya tampak tidak sepenuhnya yakin, tetapi ia tidak menanyakannya lebih jauh. Delia tahu ibunya sedang berusaha untuk tidak terlalu khawatir. Namun, di dalam dirinya, Delia tahu bahwa ada sesuatu yang sangat salah dengan rumah ini, dan dia harus mencari tahu lebih banyak tentang apa yang terjadi.
Hari itu, Delia memutuskan untuk kembali ke ruang bawah tanah. Dia merasa bahwa ada jawaban yang tersembunyi di sana, dan jika ia terus mencari, mungkin ia bisa menemukan sesuatu yang bisa menjelaskan semua kejadian aneh yang terjadi. Namun, setiap langkahnya terasa semakin berat. Ia merasakan beban yang semakin menekan di dadanya, seperti ada tangan tak terlihat yang terus mengikutinya.
Saat ia membuka pintu ruang bawah tanah, sebuah angin dingin menyambutnya. Delia menahan napas dan menatap ruang gelap itu. Meskipun dia tahu bahwa ada bahaya di dalamnya, ia merasa seolah-olah rumah ini tidak akan membiarkannya pergi tanpa menemukan jawaban. Ia menyalakan lampu di ruang bawah tanah, dan cahaya kuning itu memberikan sedikit kenyamanan.
Namun, saat Delia melangkah masuk, dia merasakan sesuatu yang aneh. Udara di ruang bawah tanah terasa lebih berat, lebih tebal. Seperti ada sesuatu yang menekan, sesuatu yang tidak tampak oleh mata, namun sangat jelas terasa oleh tubuhnya. Sesaat, ia merasa seperti ada yang mengawasinya. Matanya berkeliling, mencari-cari tanda-tanda bahaya. Dan akhirnya, ia melihatnya. Di dinding yang sebelumnya tampak biasa saja, ada goresan-goresan misterius, seakan-akan seseorang telah mencorat-coret dinding dengan kuku tajam.
Goresan itu membentuk simbol-simbol aneh yang Delia tidak mengerti. Setiap goresannya membentuk pola yang menyerupai simbol-simbol kuno, tetapi entah apa artinya. Ada satu simbol yang lebih besar dari yang lain, sebuah lingkaran dengan garis-garis melingkar yang menutupi seluruh permukaan dinding.
Delia merasa terperangkap, seolah-olah ada kekuatan yang mengendalikan dirinya. Tiba-tiba, ia mendengar suara berderak dari arah belakangnya. Perlahan, ia menoleh dan melihat pintu ruang bawah tanah perlahan menutup dengan sendirinya. Suara berderak itu semakin keras, seperti sesuatu yang berusaha memaksa pintu tersebut untuk menutup. Delia berlari ke arah pintu, berusaha membukanya, namun terasa berat dan terkunci. Keringat dingin mulai membasahi tubuhnya. Ada sesuatu yang tidak beres, dan Delia tahu bahwa ia tidak boleh berada di sana lebih lama lagi.
Namun, sebelum ia bisa melakukan apa pun, suara langkah kaki terdengar lagi, kali ini sangat jelas. Langkah-langkah berat, seakan-akan seseorang sedang mendekat. Delia membekap mulutnya dengan tangan, berusaha untuk tidak membuat suara. Suara itu semakin mendekat, dan perasaan takut yang luar biasa memenuhi dirinya. Ia bisa merasakan kehadiran yang mendekat dengan sangat dekat, begitu dekat, seolah-olah seseorang ada tepat di belakangnya.
Sekonyong-konyong, suara itu berhenti. Semua menjadi hening.
Delia tidak berani bergerak. Ia hanya bisa mendengar detak jantungnya yang keras, berdebar-debar di telinganya. Ia perlahan-lahan berbalik, namun tidak ada siapa pun di sana. Hanya kegelapan yang memenuhi ruang bawah tanah itu. Delia hampir tidak bisa bernapas, takut jika ia mengalihkan pandangannya, sesuatu yang mengerikan akan muncul dari kegelapan. Namun, saat ia menoleh ke depan, ia melihat sesuatu yang sangat mengerikan.
Di dinding, di dekat simbol yang besar, ada sebuah bayangan. Bayangan itu bergerak, seolah-olah mengamati Delia dengan tatapan kosong. Tanpa berpikir panjang, Delia berlari keluar dari ruang bawah tanah. Pintu yang tadi tertutup dengan sendirinya kini terbuka lebar, seakan memberinya jalan keluar.
Namun, begitu ia keluar, udara yang dingin menyambutnya dengan keras. Delia melihat ke sekitar, berharap menemukan sesuatu yang familiar, namun semua yang ada hanyalah kegelapan yang semakin menebal. Ia merasa seperti terjebak dalam dunia yang tidak dikenalnya, di mana ia hanya bisa melawan ketakutan yang semakin mencekam.
Keesokan harinya, Delia mulai merasa semakin terasingkan. Setiap langkah yang diambilnya terasa seperti berada di bawah pengaruh sesuatu yang kuat. Ia merasa perasaannya semakin tumpul, pikirannya semakin kacau. Ia mulai melihat hal-hal yang tidak bisa dijelaskan. Pintu-pintu yang terbuka tanpa alasan, bayangan yang muncul dan menghilang begitu cepat, dan suara-suara aneh yang semakin sering terdengar.
Delia merasa bahwa rumah ini telah menjadi penjara, sebuah tempat yang penuh dengan teror dan ketakutan. Semua yang ia alami kini terasa semakin nyata. Tidak ada yang bisa menjelaskan kejadian-kejadian itu, kecuali satu kemungkinan: ada sesuatu yang sangat jahat yang sedang mengendalikan rumah ini, dan kini, ia sudah berada dalam cengkeramannya.
“Apakah aku bisa keluar?” Delia bertanya pada dirinya sendiri, namun jawabannya datang dalam bisikan samar yang terdengar begitu jelas.
“Tidak ada jalan keluar, Delia. Kamu sudah terlambat.”
Kegilaan yang semakin dalam menguasai dirinya, dan Delia tahu, apa pun yang mengintai di dalam rumah ini, ia tidak akan berhenti sampai semuanya terungkap. Namun, satu hal yang pasti—teror ini baru saja dimulai.
BAB 5: Rahasia Terungkap
Hari-hari semakin berat bagi Delia. Ketakutannya yang semakin mendalam menyelimuti setiap ruang pikirannya. Setiap kali ia menutup mata, wajah Arinda yang terbayang di dalam diari itu selalu hadir dalam mimpinya, seakan menyampaikan pesan-pesan yang lebih mengerikan dari sebelumnya. Ketika terjaga, suara langkah kaki, bisikan halus, dan bayangan-bayangan yang melintas di sudut matanya semakin sulit untuk diabaikan. Rumah ini, yang dulu tampak seperti tempat yang penuh potensi untuk menjadi rumah yang hangat, kini terasa seperti penjara yang penuh dengan rahasia gelap yang siap menelan siapa saja yang mencobanya untuk keluar.
Malam itu, Delia memutuskan untuk menghadapi semuanya. Ia tak bisa lagi bersembunyi di balik ketakutannya. Semua petunjuk yang ia kumpulkan, dari diari Arinda hingga simbol-simbol aneh yang ditemukan di ruang bawah tanah, menyarankan bahwa sesuatu yang jahat benar-benar bersembunyi di dalam rumah ini. Delia tahu, jika ia ingin mengungkap kebenaran, ia harus pergi lebih dalam lagi.
Dengan tekad yang bulat, Delia kembali ke ruang bawah tanah. Kali ini, ia membawa sebuah senter dan beberapa alat tulis. Di dalam pikirannya, ada gambaran yang jelas: ia harus menemukan apa yang tersembunyi di balik simbol-simbol aneh yang ada di dinding itu. Ia merasa bahwa simbol-simbol tersebut bukan hanya sekadar goresan tanpa arti, tetapi merupakan petunjuk penting yang akan membawanya pada jawaban yang ia cari.
Saat ia memasuki ruang bawah tanah, perasaan yang menekan kembali datang. Udara terasa dingin dan lembap, seakan-akan ada sesuatu yang sangat berat menggantung di dalam ruangan itu. Namun, kali ini, Delia sudah mempersiapkan dirinya. Ia memegang senter dengan erat, menerangi setiap sudut yang gelap, dan melangkah perlahan ke arah dinding yang telah menjadi pusat perhatiannya.
Simbol-simbol itu kembali tampak jelas. Lingkaran besar dengan garis-garis melingkar, dan ada juga goresan lain yang membentuk pola-pola yang tidak bisa ia pahami sepenuhnya. Namun, ada sesuatu yang baru. Di bawah simbol terbesar, Delia menemukan sebuah tulisan yang hampir tersembunyi di balik lapisan debu tebal. Tulisan itu samar, hampir tidak bisa dibaca, tetapi setelah beberapa saat mengamatinya, ia akhirnya bisa memahaminya.
“Satu jiwa harus memberi, agar lainnya bisa bebas.”
Kalimat itu membuat Delia tersentak. Apa maksudnya? Apakah ada hubungan antara Arinda dan rumah ini? Dan siapa yang harus “memberi” jiwa? Delia merasa ada sesuatu yang sangat gelap dan jahat yang menyelimuti tempat ini. Ia merasa tubuhnya semakin tercekik, seperti ada yang menahan napasnya, tetapi rasa penasarannya lebih besar. Ia harus tahu lebih banyak.
Tiba-tiba, suara berderak terdengar lagi dari belakangnya. Delia berbalik dengan cepat, dan kali ini, yang ia lihat membuat darahnya membeku. Di sudut ruang bawah tanah, di tempat yang tadi tampak kosong, berdiri sebuah sosok yang sangat familiar. Wajah wanita itu tertutup oleh rambut panjang yang kusut dan kotor. Namun, Delia mengenalinya—itu adalah Arinda.
Arinda berdiri diam, tidak bergerak sedikit pun. Wajahnya tampak pucat, seperti orang yang terperangkap dalam dunia lain. Matanya, meskipun kosong, menatap Delia dengan tajam, seakan-akan mencoba memberi peringatan. Delia ingin berlari, namun kakinya seakan tak bisa digerakkan. Ia merasa terikat pada sosok itu, seperti ada kekuatan yang mengikatnya di tempat itu, tak membiarkannya pergi.
“Arinda,” Delia berbisik, suaranya hampir tenggelam dalam ketakutan. “Apa yang terjadi padamu? Apa yang kau alami di sini?”
Sosok Arinda tiba-tiba bergerak, dan suara berderak itu terdengar semakin keras. Dengan gerakan yang sangat lambat, Arinda mulai melangkah mendekat. Matanya yang kosong tetap menatap tajam ke arah Delia. Namun, bukan hanya itu yang membuat Delia terperangah. Dari tubuh Arinda, perlahan-lahan keluar kabut hitam yang tebal, melingkupi ruang bawah tanah, menambah ketakutan yang semakin menyelubungi ruangan itu.
“Jangan!” Delia berteriak, mundur beberapa langkah. “Apa yang kau lakukan?”
Namun, Arinda tidak menjawab. Sosok itu terus mendekat, dan kabut hitam semakin menebal. Delia merasakan sesuatu yang sangat jahat mengalir dari kabut itu, mengalir ke dalam tubuhnya, membuatnya merasa semakin lemah. Suara langkah kaki yang berderak semakin nyaring, seolah datang dari segala arah.
Akhirnya, Arinda berhenti tepat di depan Delia. Delia merasa kegelapan itu semakin menyelimuti dirinya. Ia tahu saat itu bahwa ia tidak akan bisa melarikan diri. “Apa yang harus aku lakukan?” Delia bergumam, matanya penuh ketakutan.
Sosok Arinda menatapnya dengan penuh amarah. Lalu, dengan suara yang serak, ia berbisik, “Aku… terperangkap di sini, Delia. Kamu… kamu adalah satu-satunya yang bisa membebaskanku.”
Delia merasa terkejut. “Bagaimana aku bisa membebaskanmu? Apa yang harus aku lakukan?”
Arinda tidak menjawab, namun tiba-tiba, sebuah gambar kabur muncul di benak Delia. Gambar itu menunjukkan sebuah ruangan kecil yang sangat gelap, dengan sebuah altar batu di tengahnya. Di atas altar itu, terdapat sesuatu yang sangat mengerikan—sebuah patung hitam yang mengerikan, dengan mata merah yang menatap kosong. Patung itu tampak seperti sebuah perwujudan dari sesuatu yang jahat, sesuatu yang seharusnya tidak ada di dunia ini.
Delia merasa sangat terhimpit, seakan-akan gambaran itu menguasai pikirannya. Dalam kepalanya, Arinda berbicara lagi, “Patung itu adalah kunci. Kunci untuk membebaskanku. Tapi kamu harus mengorbankan sesuatu, Delia. Sesuatu yang sangat berharga. Sesuatu yang bisa membuatmu bebas dari kutukan ini.”
Delia merasa dunia sekelilingnya berputar. Apa yang harus dia korbankan? Apakah itu hidupnya? Atau ada sesuatu yang lebih dalam lagi yang harus dia lepaskan? Semua perasaan takut dan kebingungannya berpuncak pada satu pertanyaan yang tidak bisa ia jawab.
Namun, sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, kabut hitam itu semakin pekat, menutupi pandangannya. Tiba-tiba, Delia merasakan sebuah dorongan yang sangat kuat, seolah-olah ada sesuatu yang menarik tubuhnya menuju patung yang ia lihat dalam visinya. Langkah demi langkah, ia melangkah ke arah kegelapan, menuju altar yang tampaknya menunggunya.
Malam itu, rahasia besar rumah itu akhirnya mulai terungkap. Teror yang menghantui Arinda, teror yang sekarang menghantui Delia, semuanya bermuara pada satu titik: sebuah kutukan yang tak bisa dihentikan kecuali dengan pengorbanan yang tak terbayangkan.
BAB 6: Perang Melawan Makhluk Gaib
Delia merasa dirinya terperangkap dalam dunia yang tak lagi memiliki batas antara kenyataan dan mimpi. Kegelapan yang semakin mendalam menyelimuti ruang bawah tanah itu, dan kabut hitam yang mengelilinginya semakin tebal, membuat setiap napas terasa lebih sulit. Ia merasakan dorongan yang tak terlihat menariknya menuju altar yang ada di dalam visinya—patung hitam yang menakutkan, dengan mata merah yang menatapnya penuh kebencian. Semakin dekat ia mendekati patung itu, semakin kuat rasa cemas yang menggerogoti hatinya.
“Jangan, Delia… jangan lakukan itu,” suara Arinda kembali menggema di dalam pikirannya. Namun, suara itu terasa semakin jauh, seakan tersedot oleh kekuatan gelap yang menguasai ruang bawah tanah ini.
“Harus ada sesuatu yang bisa aku lakukan,” gumam Delia pada dirinya sendiri. Ia tahu, jika ia hanya pasif, maka kegelapan ini akan menelannya hidup-hidup, sama seperti yang terjadi pada Arinda. Namun, pertanyaannya adalah: bagaimana cara melawan sesuatu yang tak kasat mata, yang jauh lebih kuat dari apapun yang bisa ia pahami?
Delia berlari ke arah altar dengan langkah terburu-buru. Setiap langkah terasa semakin berat, seolah ada sesuatu yang menahan tubuhnya, menariknya kembali ke tempat asalnya. Namun, tekadnya lebih kuat. Ia tidak bisa menyerah begitu saja. Ia harus menemukan jalan keluar dari neraka ini.
Sesampainya di altar, Delia berhenti sejenak. Patung hitam itu menatapnya dengan mata merah yang menyala. Kegelapan yang memancar dari patung itu begitu kuat, membuatnya merasa seolah tubuhnya telah dibekukan oleh kekuatan yang ada di hadapannya. Suasana di ruang bawah tanah menjadi semakin mencekam, dan Delia merasa bahwa saat-saat terakhir dalam hidupnya sudah sangat dekat.
Lalu, sebuah suara dalam pikirannya berbisik dengan lembut, namun jelas: “Untuk menghancurkan patung ini, kamu harus menghadapinya dengan keberanian. Tidak dengan senjata, tetapi dengan jiwa yang tak tergoyahkan.”
Delia terkejut. Itu bukan suara Arinda, bukan pula suara apapun yang pernah ia dengar sebelumnya. Suara itu berasal dari dalam dirinya sendiri, seakan sebuah kekuatan yang terbangun dalam dirinya. Tanpa pikir panjang, Delia menggenggam diari Arinda yang kini ada di dalam tasnya. Ia tahu bahwa buku itu mengandung lebih dari sekadar kata-kata—itu adalah kunci, kunci untuk menghancurkan kegelapan ini.
Dengan gemetar, Delia membuka diari itu lagi. Halaman-halaman yang sebelumnya tampak biasa, kini terlihat memancarkan cahaya samar. Tulisan-tulisan itu, yang semula hanya terasa seperti pengakuan dan cerita Arinda, kini mulai berbicara kepadanya. Kata-kata yang muncul di halaman itu berkilau, seakan memberi petunjuk pada langkah selanjutnya. Satu kalimat muncul yang membuat Delia terdiam.
“Hanya dengan cinta yang murni dan keberanian yang tak goyah, kamu dapat mengalahkan kegelapan yang telah lama menguasai.”
Cinta. Keberanian. Delia tahu apa yang harus dia lakukan.
Ia mendekati patung hitam itu dengan langkah mantap, meskipun tubuhnya gemetar karena ketakutan. Ia memandang patung itu dalam-dalam, mencoba untuk tidak membiarkan mata merah yang menyala itu menguasai dirinya. Perlahan, Delia menyentuh patung itu dengan kedua tangan. Rasanya dingin dan keras, tetapi di balik kerasnya permukaan patung, ia bisa merasakan sesuatu yang hidup, sesuatu yang sangat gelap dan jahat.
“Arinda,” bisiknya, “aku akan membebaskanmu.”
Tiba-tiba, suara gemuruh terdengar di sekitar ruangan, dan cahaya yang kuat memancar dari patung itu. Delia merasakan tubuhnya terangkat, seolah ada kekuatan besar yang menariknya. Sesaat, ia merasa dirinya hampir terlempar dari bumi, dan seketika itu pula seluruh ruangan dipenuhi dengan suara yang sangat keras—suara jeritan yang mengerikan, penuh dengan rasa sakit dan kebencian.
“Jangan biarkan dirimu ditarik, Delia! Kamu harus kuat!” teriak suara Arinda dalam pikirannya.
Semua menjadi gelap.
Dalam kegelapan itu, Delia merasakan dirinya seperti terperangkap dalam sebuah kekosongan. Semua inderanya hilang, tidak ada yang bisa ia rasakan atau dengar. Tetapi, di tengah kegelapan itu, ia tiba-tiba mendengar sebuah suara—suara yang penuh dengan keputusasaan dan rasa sakit. Itu adalah suara Arinda.
“Aku tidak bisa keluar… aku terperangkap di sini selamanya…,” suara Arinda terdengar sangat jauh, tetapi sangat jelas.
Delia merasa hatinya dipenuhi rasa sakit yang mendalam. Arinda benar-benar terjebak dalam kekuatan jahat ini. Tetapi di sisi lain, Delia juga merasakan keberanian yang luar biasa mengalir dalam dirinya. Ia tidak bisa menyerah. Ia harus melakukan sesuatu. Sesuatu untuk mengakhiri semua ini.
Keberanian… cinta…
Dalam kegelapan itu, Delia merasa sebuah dorongan besar mengalir dari dalam dirinya. Ia ingat kata-kata yang pernah dibaca dalam diari Arinda—tentang cinta yang murni dan keberanian yang tak tergoyahkan. Selama ini, Delia berfokus pada ketakutannya, pada kegelapan yang mengintainya. Namun, sekarang ia sadar. Satu-satunya cara untuk mengalahkan kekuatan ini adalah dengan menghadapinya dengan hati yang penuh cinta—bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Arinda, dan untuk semua jiwa yang terperangkap di rumah ini.
Dengan segenap keberanian, Delia berteriak keras, “Aku mencintaimu, Arinda! Aku tidak akan membiarkanmu terjebak di sini selamanya!”
Tiba-tiba, seluruh ruangan dipenuhi cahaya yang sangat terang. Kekuatan gelap yang menguasai ruang bawah tanah itu mulai bergetar hebat, seolah-olah ada sesuatu yang meruntuhkan fondasi kekuatannya. Patung hitam itu mulai retak, dan mata merah yang sebelumnya menyala penuh kebencian kini memudar. Segera setelah itu, kabut hitam yang mengelilingi ruangan mulai menghilang, seperti ditarik oleh sebuah kekuatan yang sangat besar.
Delia merasakan tubuhnya terjatuh ke tanah, dan ketika ia membuka mata, kegelapan itu sudah menghilang. Ruang bawah tanah yang sebelumnya penuh dengan kabut dan aura jahat kini terasa kosong, tenang, dan sepi. Patung hitam itu hancur berkeping-keping, seakan dihancurkan oleh kekuatan yang lebih besar daripada dirinya.
Di atas altar yang kini hancur itu, Delia melihat sosok Arinda—bukan lagi sosok yang penuh dengan kegelapan dan ketakutan, tetapi sosok yang penuh dengan kedamaian. Arinda tersenyum padanya, wajahnya kini terlihat damai.
“Kamu berhasil, Delia,” suara Arinda terdengar lembut. “Aku sudah bebas.”
Dengan perlahan, tubuh Arinda menghilang, dan Delia tahu bahwa jiwanya akhirnya telah terlepas dari kutukan itu. Meskipun pertempuran ini telah berakhir, Delia tahu bahwa ia telah menjalani sebuah perjalanan yang akan mengubah hidupnya selamanya. Rumah ini, yang dulu penuh dengan teror, kini terasa lebih tenang. Tetapi Delia juga sadar bahwa, meskipun kegelapan ini telah pergi, ia akan selalu membawa kenangan tentang perjuangan yang tak terduga ini—perjuangan untuk membebaskan diri dan orang yang ia cintai dari cengkeraman kegelapan.
BAB 7: Keputusan Terakhir
Hari itu, setelah pertempuran yang melelahkan melawan kegelapan yang hampir menghapus segalanya, Delia berdiri di depan pintu rumah tua itu. Cahaya matahari yang mulai merembes melalui celah-celah jendela membuat ruangan di sekitar terasa lebih hidup, tetapi ada sesuatu yang aneh. Sebuah perasaan tak terungkap yang menyelimuti setiap sudut ruangan, seakan rumah itu sendiri masih menyimpan sebuah rahasia besar yang belum sepenuhnya terungkap. Meskipun kegelapan yang menguasai ruang bawah tanah itu telah lenyap, Delia merasakan ada bagian dari dirinya yang tetap terluka, ada sesuatu yang belum selesai.
Arinda telah pergi. Sosok yang dulu terperangkap dalam rumah ini, yang dipenuhi dengan kegelapan dan teror, akhirnya berhasil dibebaskan. Delia bisa merasakan kehadirannya, meskipun sangat halus. Sosok Arinda kini tidak lagi terperangkap dalam kutukan, tetapi keberadaan itu meninggalkan kesan mendalam. Meskipun kegelapan yang menguasai rumah ini sudah hilang, Delia tahu bahwa dia tidak bisa langsung melupakan apa yang telah dia alami. Perang melawan makhluk gaib itu bukan hanya sebuah pertempuran fisik, tetapi juga sebuah perjalanan spiritual yang membawa perubahan besar dalam dirinya.
Kini, Delia berdiri di tengah-tengah ruang tamu rumah tua yang dulu penuh dengan ketegangan dan misteri. Semua hantu dari masa lalu telah pergi, namun ada sesuatu yang mengganjal dalam pikirannya. Apa yang harus ia lakukan selanjutnya? Apa langkah berikutnya setelah teror berakhir dan semuanya tampak kembali normal? Rumah ini masih terasa asing, seolah ia telah kehilangan sebagian dari dirinya sendiri dalam perjuangan ini.
Sebuah suara tiba-tiba memecah kesunyian.
“Delia.”
Suara itu, meskipun samar dan lembut, jelas terdengar di telinganya. Delia menoleh ke arah sumber suara, namun tak ada siapa-siapa. Hanya bayangan dari perabotan rumah yang terpantul di dinding. Ia menghela napas, merasa aneh. Mungkin itu hanya perasaannya yang masih terperangkap dalam dunia antara hidup dan mati.
“Delia,” suara itu kembali terdengar, kali ini lebih jelas. Delia menyadari bahwa suara itu berasal dari dalam dirinya—bukan dari luar.
Dengan tangan yang gemetar, Delia membuka diari Arinda yang masih ada di tangannya. Halaman-halaman diari itu kini tampak lebih terang, seolah ada kehidupan yang terbangun dari dalamnya. Tertulis dengan jelas di salah satu halaman yang pernah ia lewati:
“Keputusan terakhir adalah milikmu, Delia. Hati-hatilah, karena setiap pilihan yang diambil bisa mengubah takdirmu selamanya. Pilihlah dengan bijak.”
Kalimat itu terasa menyesakkan dada Delia. Apa yang dimaksud dengan keputusan terakhir? Dan mengapa kata-kata itu begitu kuat, seakan ada beban yang harus ia tanggung setelah pertempuran ini?
Saat itu, sebuah bayangan muncul di pikirannya. Delia teringat akan percakapan terakhirnya dengan Arinda sebelum semua ini berakhir. Sosok Arinda, yang kini terlepas dari kutukan, menyarankan untuk mencari sebuah tempat yang aman, jauh dari semua kejahatan yang pernah menghantui rumah itu. Tetapi, ada sesuatu dalam diri Delia yang bertanya-tanya: Apakah rumah ini benar-benar aman? Apakah semuanya telah berakhir?
Delia berbalik dan melangkah ke arah jendela. Dari sana, ia bisa melihat halaman depan yang luas, tertutup oleh tanaman yang mulai merambat liar. Tidak ada lagi yang tampak mencurigakan, hanya kesunyian dan ketenangan yang kini menggantikan kegelisahan yang sebelumnya melingkupi rumah ini. Namun, ia masih merasakan sesuatu yang tak beres.
Di dalam hatinya, Delia merasa harus membuat sebuah keputusan. Rumah ini, meskipun sekarang tampak tenang, telah mengubahnya selamanya. Ia telah melihat terlalu banyak hal yang tidak dapat dijelaskan dengan akal sehat, dan kegelapan yang sempat menguasai tempat ini bukan hanya mengancam jiwa Arinda, tetapi juga merasuki dirinya. Maka, pertanyaannya kini adalah: apakah ia bisa benar-benar melupakan semuanya dan melanjutkan hidup seperti biasa? Atau akankah ia terus terikat pada rumah ini, pada kisah yang belum sepenuhnya terungkap?
Dengan langkah mantap, Delia keluar dari ruang tamu dan menuju ke pintu depan rumah. Matahari yang hangat menyinari wajahnya, namun bayangan masa lalu seakan mengikutinya. Ia melangkah keluar, namun sebelum melangkah lebih jauh, ia berhenti sejenak di depan halaman rumah.
“Hanya dengan meninggalkan masa lalu ini aku bisa benar-benar bebas,” Delia berbisik pada dirinya sendiri.
Tiba-tiba, dari balik bayang-bayang pohon yang tumbuh di dekat rumah, Delia melihat sosok yang tidak asing baginya—seorang pria yang tampak datang dari masa lalu. Wajahnya tampak biasa, tetapi ada sesuatu yang berbeda di matanya. Matanya yang penuh dengan rahasia dan kepedihan menatap Delia dengan serius.
“Delia,” pria itu berkata dengan suara rendah. “Kau tidak bisa meninggalkan tempat ini.”
Delia terkejut dan mundur beberapa langkah. “Siapa kamu?” tanyanya, mencoba menenangkan jantung yang mulai berdegup cepat.
Pria itu tersenyum pahit. “Aku adalah bagian dari rumah ini, bagian dari kisah yang telah berakhir. Tetapi kau… kau belum selesai, Delia.”
“Kenapa? Apa yang belum selesai?” suara Delia hampir pecah, cemas dan bingung.
Pria itu mendekat sedikit, matanya menatap dengan tajam, seolah menelusuri jiwanya. “Ada sesuatu yang lebih besar yang harus kau ketahui. Sesuatu yang lebih gelap dari apapun yang kau bayangkan. Ketika kau membebaskan Arinda, kau membuka jalan bagi sesuatu yang lebih jahat. Rumah ini bukan sekadar tempat tinggal, Delia. Ini adalah pintu ke dunia lain. Dan jika kau memilih untuk meninggalkannya, dunia ini akan mencari cara untuk kembali.”
Delia merasa kakinya lemas, seolah ada sesuatu yang menarik dirinya kembali ke dalam rumah itu. “Apa maksudmu?” ia bertanya, hampir tidak percaya.
Pria itu menggelengkan kepala, ekspresinya penuh dengan kesedihan. “Keputusan yang kau buat tidak akan semudah itu. Ada yang harus dikorbankan, Delia. Jika kau ingin meninggalkan tempat ini, kau harus memilih. Pilih dengan bijak, karena pilihanmu akan menentukan jalan yang akan kau tempuh.”
Delia terdiam, mencoba mencerna kata-kata pria itu. Apa yang harus ia pilih? Meninggalkan rumah ini, atau tetap tinggal dan menghadapi konsekuensinya? Namun, ia juga tahu bahwa ia tidak bisa tinggal selamanya di tempat yang penuh dengan kegelapan ini.
Dengan hati yang berat, Delia menatap pria itu dan berkata, “Aku memilih untuk pergi. Aku memilih untuk bebas.”
Pria itu hanya mengangguk dengan perlahan. “Keputusanmu telah dibuat. Tapi ingat, Delia… bebas bukan berarti tanpa konsekuensi.”
Delia mengangguk dan melangkah maju, meninggalkan rumah itu dan segala kenangan yang menyertainya. Namun, saat ia menoleh untuk terakhir kalinya, ia menyadari bahwa meskipun ia telah membuat keputusan, dunia ini tidak pernah benar-benar bebas dari bayang-bayang masa lalu.
Keputusan terakhir memang telah diambil, tetapi Delia tahu bahwa perjalanan hidupnya masih jauh dari selesai.
BAB 8: Akhir dari Semua
Delia menatap rumah tua itu untuk terakhir kalinya. Rumah yang telah menjadi saksi bisu dari begitu banyak peristiwa kelam—pertempuran antara kehidupan dan kematian, antara manusia dan kegelapan. Matahari yang perlahan tenggelam di ufuk barat menyinari dinding-dinding yang mulai retak, memberi kesan seakan rumah itu juga sedang mengucapkan selamat tinggal. Delia tahu, meskipun ia telah memilih untuk meninggalkan tempat ini, bayang-bayang dari apa yang telah terjadi akan terus mengikutinya.
Perlahan, ia berbalik dan melangkah jauh dari rumah itu, memasuki jalan setapak yang menuju keluar dari kawasan tersebut. Langkahnya mantap, meskipun hatinya masih penuh dengan pertanyaan. Adakah ia benar-benar bebas? Apakah rumah itu benar-benar tidak akan pernah lagi mengganggunya? Ia tidak tahu pasti, tetapi satu hal yang ia yakini: hidupnya tidak akan pernah sama lagi.
Ketika Delia keluar dari hutan kecil yang mengelilingi rumah, ia mendapati jalan raya di depannya masih sepi. Ia merasakan angin yang bertiup lembut, menyentuh kulitnya, memberi sedikit kenyamanan di tengah kegelisahan yang masih menggerogoti dirinya. Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri, dan mulai berjalan menuju kehidupan yang baru, jauh dari bayang-bayang kegelapan yang pernah menghantuinya.
Namun, meskipun langkahnya terasa lebih ringan, ada sebuah ketidakpastian yang menyelimuti setiap jengkal perjalanan yang ditempuhnya. Delia merasa seperti seseorang yang baru saja bangkit dari dunia mimpi buruk, tetapi dunia nyata yang kini ia hadapi tidak jauh lebih baik. Ketakutannya mungkin telah pergi, tetapi rasa kehilangan itu tetap ada. Ia telah kehilangan Arinda, seorang sahabat yang begitu dekat, yang kini hanya ada dalam kenangan. Dan meskipun ia berhasil mengalahkan kekuatan gelap yang menghantui rumah itu, Delia tahu bahwa ada bagian dari dirinya yang akan selalu terikat dengan tempat tersebut.
Tiba-tiba, suara desiran angin yang lembut terasa lebih keras, seakan membawa bisikan halus yang membuat Delia berhenti. Ia memutar kepala, mencoba mencari sumber suara, namun tidak ada apa-apa. Suasana di sekitar terasa aneh, seperti ada sesuatu yang sedang mengawasi, sesuatu yang sudah lama hilang, tetapi kini kembali untuk menuntut perhatian.
“Delia,” suara itu datang lagi, kali ini lebih jelas. “Kau pikir kau telah bebas?”
Delia merasa tubuhnya membeku. Suara itu bukan milik Arinda, bukan milik siapa pun yang ia kenal. Suara itu datang dari dalam dirinya, tetapi rasanya asing, seperti ada sesuatu yang bersembunyi jauh di dalam hatinya, menunggu untuk kembali muncul. Dalam sekejap, Delia merasakan cemas yang mendalam.
“Apa maksudmu?” Delia bergumam, meskipun tidak ada orang yang berdiri di sekitarnya. Suara itu terdengar sangat dekat, namun tidak ada siapa pun di hadapannya.
“Keputusanmu belum selesai, Delia. Kamu belum sepenuhnya melepaskan diri dari tempat itu,” suara itu mengalir dengan lembut, tetapi dalam nada yang mengancam.
Delia memegangi kepalanya, perasaan bingung dan takut kembali muncul. “Tapi aku sudah pergi! Aku sudah meninggalkan rumah itu! Aku sudah membuat pilihan!”
“Pilihanmu belum final. Ada yang lebih besar dari rumah itu, lebih gelap daripada yang kau bayangkan. Dan itu… itu tidak akan pernah melepaskanmu begitu saja,” suara itu kembali bergema, kali ini seperti datang dari kedalaman jiwanya sendiri.
Delia menggelengkan kepalanya, berusaha mengabaikan suara itu. Ia berlari menuju jalan raya, mencoba menjauh dari perasaan yang mengganggu. Ia tidak ingin terjebak lagi dalam ketakutan yang sama. Ia ingin melanjutkan hidupnya, meskipun semua yang terjadi begitu mengerikan. Namun, seiring langkahnya, ketegangan itu semakin kuat. Ia tahu bahwa apa yang ia rasakan bukan hanya ilusi. Ada sesuatu yang sangat nyata, yang mengintainya dari jauh.
Hujan mulai turun perlahan, menambah kesan suram pada perjalanan yang ia tempuh. Delia menggigil, merasakan tubuhnya basah oleh air hujan yang semakin deras. Namun, itu bukanlah hal yang paling mengganggu dirinya saat ini. Suara yang tak terlihat, namun sangat jelas, terus bergema dalam pikirannya. Suara yang ia kenali sebagai peringatan, sebagai sesuatu yang lebih besar dan lebih mengerikan dari apapun yang ia hadapi sebelumnya.
“Apa yang sebenarnya terjadi?” Delia bergumam, berhenti di tengah hujan yang semakin deras. “Kenapa aku merasa seperti ada sesuatu yang mengawasi aku?”
Pada saat itulah, ia melihat sesuatu yang mengejutkan dari kejauhan. Sebuah cahaya yang menyala di antara pepohonan di tepi jalan. Seperti sebuah lampu yang bergerak, namun tidak diikat oleh benda apapun. Cahaya itu tampak tidak biasa—bersinar dengan intensitas yang membuat Delia merasa terikat, menariknya untuk mendekat.
Dengan hati-hati, Delia berjalan menuju cahaya itu. Langkahnya terasa lebih berat, seakan ada daya tarik yang kuat mengarahkannya. Ia tahu bahwa sesuatu yang penting menunggunya di sana—sesuatu yang tidak bisa ia hindari. Ia merasa tak berdaya, terjebak dalam ketidakpastian yang semakin dalam. Ketika akhirnya ia mencapai tempat di mana cahaya itu bersumber, ia melihat sebuah patung. Patung yang sangat mirip dengan yang ada di ruang bawah tanah rumah tua itu. Patung yang sama, dengan mata merah yang menatapnya penuh kebencian.
“Tidak…” Delia merasakan darahnya berdesir dingin. “Ini tidak bisa terjadi…”
Cahaya itu memudar perlahan, dan patung itu mengeluarkan suara gemuruh yang menggema di seluruh hutan. Dalam sekejap, bayangan-bayangan hitam mulai muncul, seolah menarik dirinya kembali ke dalam cengkeraman kekuatan jahat yang tak terlihat.
Delia berteriak, mencoba berlari menjauh, tetapi tubuhnya terasa seperti terkunci. Sesuatu yang gelap dan jahat merayapi jiwanya, menariknya ke dalam kekosongan yang tak terbayangkan. Mata merah dari patung itu semakin besar, semakin mendekat. Dan dengan satu langkah terakhir, Delia merasa dirinya terperangkap dalam kegelapan yang tak bisa ia hindari.
Ketika ia terbangun, ia berada di tempat yang sama. Rumah itu, rumah yang ia kira telah ditinggalkan selamanya. Semua kembali seperti semula, dan Delia sadar bahwa rumah itu bukan hanya sekadar bangunan, tetapi sebuah tempat yang terikat dengan takdirnya. Sebuah tempat yang tak bisa ia tinggalkan begitu saja.
“Akhir dari semua…” Delia berbisik, menyadari bahwa perjalanan ini belum berakhir. Sebuah lingkaran yang tak terputus, yang akan terus membawanya kembali ke tempat yang tak bisa ia hindari.
BAB 9: Epilog
Delia duduk di tepi jendela kamar rumah tua yang kini terasa lebih sunyi dari sebelumnya. Hujan deras masih mengguyur luar, menyapu halaman yang kini dipenuhi daun-daun kering. Pemandangan itu tak banyak berubah, meskipun waktu telah berlalu. Suasana sepi ini berbeda dari sepi yang ia kenal beberapa bulan lalu, ketika kegelapan dan teror merasuki setiap sudut rumah. Kini, rumah itu terdiam, seolah menunggu sesuatu yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ada sesuatu yang tetap ada, mengendap, meskipun ia telah melangkah pergi berkali-kali.
“Delia,” suara yang familiar itu kembali terdengar. Ia tidak terkejut lagi, karena ia sudah tahu siapa yang memanggil. Ini adalah suara yang selalu muncul saat ia mulai merasa sedikit tenang. Suara itu milik Arinda, meskipun Arinda sendiri tidak lagi ada di sini, tidak lagi terperangkap dalam dunia kegelapan. “Kau tahu kita tak bisa benar-benar melarikan diri, kan?”
Delia menarik napas panjang, merasa dingin mulai menjalari tubuhnya. Matahari yang semula menembus celah jendela, kini tertutup oleh awan gelap yang datang mendung. Rumah ini, dengan segala misteri dan ketegangan yang pernah menghuninya, kini terasa lebih kuat. Ada kekuatan yang sulit dipahami, sesuatu yang mengikatnya di sini. Meskipun ia telah meninggalkan tempat ini sebelumnya, ia sadar bahwa dirinya tidak pernah benar-benar bebas. Rumah ini, dengan segala kenangannya, tetap menyelubungi hidupnya. Bahkan jika ia pergi ke tempat lain, bayang-bayang itu akan selalu mengikutinya.
“Apakah kau menyesal?” suara Arinda kembali berbisik. “Apakah kau benar-benar siap menghadapi apa yang telah terjadi? Semua yang sudah kita lewati…”
Delia menatap ke luar jendela, di mana hujan masih mengguyur, menciptakan irama yang monoton. Ia menggeleng pelan, walaupun hatinya terasa berat. “Aku tidak tahu,” jawabnya lirih. “Aku tidak tahu apakah aku siap untuk semuanya. Tapi aku juga tahu satu hal: aku tidak bisa kembali ke masa lalu. Tidak lagi.”
Ketika Delia memutuskan untuk meninggalkan rumah ini, ia ingin percaya bahwa semua itu sudah berakhir. Teror, kegelapan, dan semua hal mengerikan yang mereka alami bersama, seharusnya sudah selesai. Tetapi, suara itu—suara yang datang dari dalam dirinya, dari bayang-bayang masa lalu—selalu kembali menghantuinya. Arinda tidak lagi berada di sisi Delia, tetapi kenangan tentangnya tak pernah benar-benar hilang.
Delia menundukkan kepala, merasakan kelembutan air mata yang tak bisa ia tahan. Mungkin, tak ada yang benar-benar bisa keluar dari lingkaran ini. Mungkin, pertempuran mereka dengan kegelapan tidak pernah benar-benar selesai. Mereka mungkin bisa melarikan diri dari rumah ini, tetapi kegelapan itu ada di dalam diri mereka, di dalam setiap bagian hidup mereka yang terluka dan terperangkap. Kegelapan itu ada dalam ingatan mereka, dalam setiap keputusan yang mereka buat.
Pada akhirnya, tak ada jalan keluar.
Saat itu, pintu kamar terbuka perlahan, dan di ambang pintu berdiri seorang lelaki, yang tidak asing bagi Delia. Pria yang pernah ia temui saat pertama kali ia meninggalkan rumah itu. Wajahnya yang dulu penuh misteri kini tampak lebih tenang, meskipun ada kesan kelelahan di matanya. Pria itu, yang mengingatkan Delia akan sesuatu yang lebih besar dari apa yang bisa mereka pahami, melangkah mendekat.
“Kau tahu kita tidak bisa menghindari takdir, Delia,” katanya pelan, matanya menatap Delia dengan tatapan yang penuh makna.
“Aku tahu,” jawab Delia, dengan suara serak. “Tapi aku ingin percaya bahwa ada pilihan yang bisa kita buat. Bahwa kita bisa memilih untuk hidup meskipun kita tidak bisa melarikan diri dari apa yang telah terjadi.”
Lelaki itu mengangguk, lalu duduk di sebelahnya. “Kau benar, Delia. Kita selalu punya pilihan. Tetapi ingat, pilihan itu datang dengan harga yang harus kita bayar. Takdir adalah sebuah lingkaran yang tak terputus, dan kita hanya bisa memilih bagaimana kita ingin menghadapinya. Tapi kita tidak bisa melarikan diri dari apa yang telah kita lakukan.”
Delia menatap lelaki itu dengan tatapan kosong. “Apa yang terjadi dengan Arinda? Apa yang terjadi dengan kita semua?”
Pria itu menghela napas panjang, seolah berat untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi. “Arinda… dia kini bebas dari kutukan yang mengikatnya. Tetapi bebas bukan berarti tanpa konsekuensi. Rumah itu, seperti yang kau tahu, bukan hanya sebuah tempat fisik. Itu adalah sebuah entitas, sebuah ruang antara hidup dan mati. Dan selama kita terhubung dengan tempat itu, selama kita berada di dalam lingkarannya, kita tidak bisa benar-benar bebas. Tidak ada yang bisa melarikan diri dari bayang-bayang masa lalu.”
Delia menundukkan kepala, mencoba mencerna kata-kata itu. Dalam hatinya, ia merasakan kelelahan yang mendalam. Semua yang telah terjadi, semua yang telah mereka lalui, tampaknya hanyalah sebuah pelajaran yang mengarah pada satu kebenaran yang pahit: kegelapan tidak pernah benar-benar pergi. Ia mungkin bisa meninggalkan rumah itu, tetapi rumah itu tidak pernah meninggalkan dirinya. Tidak pernah.
“Maksudmu,” Delia memulai dengan suara pelan, “kita tidak pernah bisa lepas dari kegelapan itu?”
Lelaki itu mengangguk. “Kegelapan itu ada di dalam kita. Setiap keputusan, setiap tindakan yang kita ambil, membawa jejak dari kegelapan itu. Kita mungkin bisa berusaha untuk menghindarinya, tetapi tidak ada yang bisa benar-benar bebas. Apa yang telah terjadi akan tetap ada, seolah membentuk siapa kita sekarang.”
Delia terdiam lama. Semua yang ia percayai tentang kebebasan kini terasa rapuh. Ia ingin percaya bahwa hidupnya bisa dimulai lagi, jauh dari rumah itu, jauh dari masa lalu yang kelam. Namun kenyataannya, ia tahu bahwa tidak ada tempat yang benar-benar aman dari apa yang telah terjadi. Semua itu akan selalu mengikuti, menghantui, dan membentuk setiap langkah yang ia ambil.
Pada akhirnya, Delia sadar bahwa tidak ada “akhir” yang jelas untuk cerita ini. Tidak ada kebebasan penuh dari masa lalu, tidak ada cara untuk menghapus kenangan yang telah membentuk dirinya. Semua itu adalah bagian dari perjalanan hidupnya, tak terhindarkan dan tak dapat dilupakan.
Dan meskipun begitu, Delia tahu satu hal: ia harus terus melangkah. Karena meskipun kegelapan itu akan selalu ada, begitu juga dengan cahaya—cahaya yang akan selalu memberikan harapan, bahkan di tengah kegelapan yang paling pekat.
Maka, dengan langkah yang lebih pasti, Delia melangkah maju, mencoba menerima kenyataan bahwa meskipun tak ada akhir yang sempurna, perjalanan ini tetaplah miliknya—perjalanan yang akan terus berlanjut, meskipun tak tahu ke mana.***
————-THE END————–