Bab 1: Langkah Awal
Maya tidak pernah tahu bahwa hidupnya yang biasa-biasa saja akan berubah hanya karena satu pertemuan tak terduga. Di kota kecil yang dikelilingi oleh pegunungan hijau, dia menjalani rutinitas sehari-hari dengan cara yang sederhana. Pagi hari, ia membuka jendela kamar tidur yang menghadap taman belakang rumahnya, menyambut sinar matahari pertama yang memancar lembut di antara dedaunan. Rumah tua yang diwariskan oleh keluarganya itu penuh kenangan, namun Maya tidak pernah merasa kesepian. Keluarganya, meskipun sederhana, selalu memberikan kenyamanan.
Namun, ada sesuatu yang masih hilang. Sebuah rasa penasaran yang tak terpuaskan tentang dunia di luar kota kecil mereka. Maya sudah terbiasa dengan pemandangan yang hampir sama setiap hari—jalan setapak menuju sekolah, kafe yang selalu sepi, serta toko kelontong di ujung jalan yang dikelola oleh Pak Wardi, yang sudah seperti keluarga bagi Maya. Tapi, ada satu hal yang tak bisa dipahaminya: mengapa, meskipun hidup terasa lengkap, dia tetap merasa ada yang kurang.
Hari itu, seperti hari-hari sebelumnya, Maya berjalan menuju sekolah dengan langkah-langkah ringan. Di tengah perjalanan, matanya tertuju pada sesuatu yang berbeda. Seorang pemuda sedang berdiri di depan sebuah rumah tua yang baru saja dihuni oleh keluarga yang baru saja pindah. Tubuhnya tegap, dengan rambut coklat gelap yang sedikit acak-acakan, mengenakan jaket kulit hitam yang menambah kesan misterius pada dirinya. Maya merasa ada sesuatu yang menarik, meskipun dia tak bisa menjelaskan apa yang membuatnya merasa begitu. Dia hanya bisa menatap sekilas sebelum bergegas melanjutkan langkah menuju sekolah.
Keesokan harinya, saat Maya sedang berjalan pulang, dia kembali melihat pemuda itu di dekat rumah baru. Kali ini, pemuda itu sedang duduk di bangku panjang di depan rumah, membaca sebuah buku. Tanpa sadar, Maya memperlambat langkahnya dan mengamati pemuda tersebut dari jauh. Ada sesuatu yang membuatnya penasaran, meskipun dia tahu tidak seharusnya dia seperti ini. Tiba-tiba, pemuda itu menoleh dan mata mereka bertemu. Maya terkejut dan buru-buru melanjutkan langkahnya.
Sejak saat itu, pemuda tersebut mulai muncul dalam pikirannya lebih sering. Maya tidak tahu kenapa, namun ada rasa aneh yang selalu mengiringinya setiap kali dia memikirkan pemuda itu. Maya merasa seolah-olah ada semacam keterikatan tak terucapkan di antara mereka, meskipun hanya bertemu dua kali dalam sekejap mata.
Hari berikutnya, ketika Maya sedang duduk di bangku taman sekolah sambil membaca buku, tiba-tiba seseorang duduk di sebelahnya. Maya menoleh, dan hampir saja buku yang dipegangnya jatuh ke tanah. Pemuda itu, yang tak lain adalah Arga, tersenyum kecil sambil meminta maaf.
“Aku tidak mengganggu, kan?” katanya, suara lembut namun dengan nada yang sedikit canggung.
Maya menatapnya sejenak. Matanya yang coklat gelap tampak serius, namun ada kilatan ketulusan di dalamnya yang membuat Maya merasa nyaman. “Tidak, tidak sama sekali,” jawabnya, sedikit tergagap. “Kamu Arga, kan?”
Arga mengangguk. “Iya, aku baru pindah ke sini beberapa hari yang lalu,” katanya, dengan suara yang rendah. “Aku lihat kamu sering lewat sini, jadi aku pikir lebih baik kenalan.”
Maya sedikit terkejut. “Kenapa kamu datang ke sini? Maksudku, kenapa memilih kota ini?”
Arga tampak berpikir sejenak sebelum menjawab. “Aku… sebenarnya nggak tahu. Rasanya seperti tempat ini memberikan ketenangan yang aku butuhkan.”
Maya merasa ada sesuatu yang mendalam dalam kalimat Arga. Seolah-olah dia sedang berusaha menemukan ketenangan dalam hidupnya yang penuh dengan kebingungannya sendiri. Maya tidak tahu mengapa, tapi dia ingin tahu lebih banyak tentang Arga.
Mereka mulai berbincang ringan tentang hal-hal sepele: cuaca, kegiatan di sekolah, hingga hal-hal kecil yang sering diabaikan orang. Meskipun pembicaraan mereka terasa alami, Maya tidak bisa menepis perasaan aneh yang menyelinap dalam dirinya. Arga, dengan segala ketertarikannya pada dunia ini, tampak seperti seseorang yang membawa dunia rahasia yang tidak pernah bisa dia ceritakan. Maya ingin tahu lebih banyak.
Sejak saat itu, mereka mulai bertemu hampir setiap hari. Maya selalu merasa aneh, karena meskipun mereka baru saling mengenal, ada ikatan yang semakin dalam terbentuk di antara mereka. Arga sering mengajak Maya duduk di taman setelah sekolah, berbicara tentang banyak hal. Ada kalanya Arga lebih banyak diam, hanya mendengarkan Maya bercerita tentang kehidupannya. Maya merasa nyaman dengan kehadirannya, meskipun Arga jarang sekali mengungkapkan sesuatu tentang dirinya sendiri.
Di balik sikap Arga yang tenang, Maya merasakan ada sebuah tembok yang dibangun oleh pemuda itu. Arga jarang sekali berbicara tentang keluarganya, atau bahkan masa lalunya. Meskipun begitu, Maya merasa tidak ada yang lebih menarik daripada berusaha memahami dirinya lebih jauh.
Namun, ada satu hal yang membuat Maya bingung: meskipun mereka menghabiskan waktu bersama, Arga tidak pernah menunjukkan ketertarikan yang lebih dari sekadar teman. Maya mencoba untuk menerima kenyataan ini, meskipun di dalam hati, perasaan yang lebih mendalam mulai tumbuh.
Hari itu, seperti biasa, mereka duduk di bangku taman, menikmati senja yang perlahan turun. Maya melihat Arga memandangi langit dengan tatapan kosong. Seolah-olah dia sedang memikirkan sesuatu yang jauh, sangat jauh.
“Apa yang kamu pikirkan?” tanya Maya, pelan.
Arga menoleh dan tersenyum tipis. “Kadang-kadang, hidup ini terasa seperti misteri yang belum terpecahkan. Aku suka mencari jawabannya, meskipun aku tahu mungkin aku tidak akan pernah mendapatkannya.”
Maya terdiam, meresapi kata-kata Arga. Ada sesuatu yang dalam dalam setiap perkataannya, seperti ada luka yang disembunyikan di balik wajah tenangnya.
Dia ingin sekali menanyakan lebih lanjut, namun dia tahu ada saat-saat tertentu ketika seseorang tidak siap untuk membuka dirinya sepenuhnya. Maya memutuskan untuk menghormati ruang pribadi Arga. Namun, di dalam hatinya, ia berharap suatu hari nanti, dia bisa menjadi orang yang bisa membantu Arga membuka tembok itu.
Dan dengan langkah perlahan, Maya merasa bahwa perjalanan mereka baru saja dimulai. Langkah kecil yang dia ambil, yang dimulai dengan pertemuan yang tidak disengaja itu, membawa mereka ke dalam dunia yang penuh dengan kemungkinan baru. Maya tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, namun satu hal yang pasti, hidupnya tidak akan pernah sama lagi setelah pertemuan itu.**
Bab 2: Kejutan yang Tak Terduga
Pagi itu, Maya terbangun dengan perasaan yang berbeda. Biasanya, ia akan membuka mata, melihat sinar matahari yang masuk melalui celah tirai, dan melanjutkan hari dengan rutinitas yang sama. Namun, hari ini ada sebuah perasaan yang mengganggu pikirannya. Perasaan yang mulai tumbuh setelah pertemuan-pertemuan singkat dengan Arga. Maya tidak bisa mengelak bahwa dirinya mulai merasa lebih tertarik pada pemuda itu. Sesuatu dalam dirinya berkata bahwa ia harus lebih mengenal Arga, lebih dari sekadar teman.
Di sekolah, Maya berusaha untuk tetap fokus pada pelajaran, tetapi pikirannya terus melayang. Sejak pertemuan pertama mereka di bangku taman, Maya merasa ada sesuatu yang berbeda dalam cara Arga memandangnya. Tidak seperti kebanyakan orang yang datang dan pergi dalam hidupnya, Arga tampaknya memiliki kedalaman yang sulit untuk dijelaskan. Maya tidak tahu pasti apakah itu hanya perasaan sesaat atau apakah ada sesuatu yang lebih.
Sore itu, setelah kelas selesai, Maya memutuskan untuk berjalan-jalan ke taman seperti biasa. Ia berharap udara segar bisa membantu menenangkan pikirannya. Ketika melewati jalur setapak yang sering ia lewati, Maya melihat Arga duduk di bangku panjang, seperti biasanya. Namun, kali ini ada yang berbeda. Arga tidak sendiri. Seorang gadis dengan rambut panjang yang tergerai duduk di sampingnya, tertawa riang sambil berbicara tentang sesuatu yang tak jelas bagi Maya.
Maya berhenti sejenak di balik pohon besar, merasa sedikit canggung. Ia tak pernah melihat Arga dengan gadis lain sebelumnya. Gadis itu tampak akrab dengan Arga, dan perasaan aneh mulai merayapi Maya. Mengapa ia merasa cemburu? Ia hanya bertemu Arga beberapa kali, jadi mengapa perasaan itu muncul begitu tiba-tiba? Maya mencoba mengalihkan perhatian dengan berusaha berjalan lewat tanpa menarik perhatian, namun tanpa sengaja, langkahnya menginjak ranting kering yang membuat suara keras.
Arga dan gadis itu langsung menoleh. Maya merasa darahnya naik ke wajah. Arga tersenyum, meskipun sedikit terkejut melihatnya berdiri di sana.
“Maya!” panggil Arga, mengangkat tangannya. “Ayo, bergabung. Ini Dita, teman lamaku.”
Dita tersenyum ramah. “Hai, Maya. Arga sering bercerita tentangmu.”
Maya merasa sedikit tidak nyaman. “Oh, benar? Tidak ada yang spesial sih,” jawab Maya dengan tergagap. Meskipun Dita terlihat ramah, Maya tidak bisa menghilangkan rasa cemburu yang tiba-tiba muncul.
Mereka bertiga duduk bersama di bangku taman. Dita bercerita tentang kehidupan di kota besar, tentang teman-temannya, dan tentang petualangannya yang menyenangkan. Sementara itu, Arga lebih banyak mendengarkan, seolah-olah menikmati cerita Dita, namun ada sesuatu yang berubah di wajahnya setiap kali Dita menyebutkan sesuatu yang membuatnya tertawa. Maya merasa ada jarak yang tak bisa dijangkau di antara mereka berdua.
Beberapa kali, Maya mencoba untuk ikut dalam percakapan, namun perasaan aneh itu semakin kuat. Ada ketidaknyamanan yang tumbuh dalam hatinya. Sebelum ia sempat berkata apa-apa, Dita berdiri dan berkata, “Aku harus pergi, Arga. Terima kasih sudah menemani.”
Setelah Dita pergi, Arga mengalihkan pandangannya kepada Maya. “Maaf jika kamu merasa tidak nyaman. Dita memang teman lama. Kami… sudah lama tidak bertemu, jadi dia mungkin sedikit lebih dekat denganku.”
Maya hanya mengangguk, meskipun hatinya masih dipenuhi pertanyaan. Ia mencoba tersenyum, meskipun rasanya tidak mudah. “Tidak apa-apa. Aku hanya… tidak biasa melihatmu dengan orang lain,” jawab Maya dengan hati-hati.
Arga menatapnya sejenak, seolah sedang memproses kata-kata Maya. “Aku mengerti,” katanya pelan. “Tapi, kamu harus tahu, Maya… Dita hanya teman.”
Maya merasa ada kejujuran dalam kata-kata Arga, namun perasaan tidak nyaman itu tetap saja menghinggapi hatinya. Ia mencoba untuk meyakinkan dirinya bahwa itu hanya perasaan cemburu yang tak berdasar. Namun, semakin lama ia bersama Arga, semakin banyak hal yang belum ia pahami tentang pemuda itu.
Sejak saat itu, Maya merasa ada sesuatu yang aneh. Setelah pertemuan itu, Arga seakan semakin menjauh. Mereka masih bertemu di taman, masih berbincang, tetapi rasanya seperti ada tembok yang dibangun di antara mereka. Arga tidak banyak bercerita, dan Maya merasa dirinya terjebak dalam kebingungannya sendiri. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa tiba-tiba perasaan ini muncul begitu kuat?
Suatu sore, beberapa hari setelah kejadian di taman, Maya memutuskan untuk mencari jawaban. Ia ingin tahu mengapa Arga bersikap seperti itu—mengapa ada jarak yang begitu terasa di antara mereka. Ia memutuskan untuk mendekati Arga, kali ini lebih serius.
Setelah pulang sekolah, Maya berjalan ke rumah Arga. Hatinya berdebar-debar, namun ia tidak bisa menahan diri. Arga harus memberikan penjelasan. Ketika sampai di depan rumah Arga, Maya ragu sejenak. Namun, ia akhirnya memberanikan diri untuk mengetuk pintu.
Beberapa detik kemudian, pintu terbuka dan Arga muncul di ambang pintu, tampak sedikit terkejut melihat Maya di sana.
“Maya? Ada apa? Kenapa datang ke sini?” tanya Arga, suara penuh keheranan.
Maya menelan ludah. “Aku hanya ingin bicara, Arga. Tentang Dita. Aku tidak mengerti kenapa kamu mendekat padanya setelah kita… kita berbicara beberapa kali.”
Arga terdiam sejenak, tampak kebingungan. “Maya, kamu tidak perlu khawatir. Dita adalah masa lalu. Dia hanya teman. Aku tidak ingin membuatmu merasa canggung.”
Maya mengangguk, namun hatinya masih diliputi kebingungannya. “Aku hanya ingin tahu apakah ada sesuatu yang salah. Aku merasa ada jarak antara kita, Arga. Aku tidak tahu harus bagaimana.”
Arga menundukkan kepala, seolah-olah berpikir keras. “Maya, aku… aku memang punya masa lalu yang tak mudah untuk dilupakan. Dita adalah bagian dari masa laluku, dan mungkin itu membuatku terkadang tidak bisa bersikap biasa saja. Aku… tidak ingin melibatkanmu dalam semua ini.”
Maya merasa seolah-olah dunia berhenti sejenak. Ada perasaan hampa yang muncul. Ternyata, Arga menyimpan sebuah rahasia yang jauh lebih dalam daripada yang pernah ia bayangkan. Masa lalu Arga adalah bagian yang belum ia pahami, dan itu membuat Maya merasa tersesat.
Namun, Maya tahu satu hal yang pasti—ia tidak bisa mundur sekarang. Ia harus mencari tahu lebih banyak. Karena di balik setiap kata yang terucap, ada sebuah kisah yang lebih besar dari sekadar sebuah pertemuan tak terduga di taman.**
Bab 3: Rahasia di Balik Hujan
Hujan turun dengan derasnya, mengguyur jalan-jalan kecil di kota itu. Maya memandangi langit yang kelabu dari jendela kamar tidur. Setiap tetes hujan yang menimpa kaca jendela seakan mengingatkannya pada perasaan yang mengganjal dalam dadanya. Selama beberapa hari terakhir, hubungan antara dirinya dan Arga terasa semakin rumit. Setelah percakapan yang penuh ketegangan di depan rumah Arga beberapa hari yang lalu, Maya merasa semakin cemas. Arga memang sudah mengatakan bahwa Dita hanya teman lama, tetapi perasaan tidak nyaman itu tetap menghantui Maya. Ada sesuatu yang disembunyikan oleh Arga, dan Maya merasa semakin penasaran.
Hari ini, hujan turun begitu lebat. Tidak seperti biasanya, Maya merasa seperti dunia di luar sana seolah mencerminkan kekacauan yang ada dalam hatinya. Ia merasa sepi meskipun suara hujan mengisi udara di sekitar rumah. Sejak saat itu, perasaan Maya terhadap Arga semakin dalam, namun juga semakin membingungkan. Arga adalah seorang pemuda yang tertutup, penuh dengan rahasia yang belum siap ia ungkapkan. Dan itulah yang membuat Maya semakin ingin tahu lebih banyak.
Malam itu, setelah makan malam bersama keluarga, Maya memutuskan untuk pergi keluar. Ia tidak tahu ke mana, tetapi perasaan itu mendorongnya untuk melangkah keluar dari rumah. Jalanan yang basah oleh hujan memberikan kesan yang misterius. Suasana sepi, hanya suara tetesan hujan yang terdengar jelas. Maya memutuskan untuk berjalan ke taman, tempat yang beberapa kali ia kunjungi bersama Arga. Mungkin udara segar akan membantunya meredakan kecemasannya.
Saat tiba di taman, Maya duduk di bangku panjang yang biasanya menjadi tempat favoritnya. Hujan semakin deras, tetapi ia tidak peduli. Tetesan air hujan yang membasahi rambut dan wajahnya terasa menenangkan, seperti membasuh semua kekhawatiran yang ada. Maya memejamkan matanya sejenak, membiarkan diri tenggelam dalam ketenangan malam itu.
Namun, saat ia membuka matanya, seseorang sudah duduk di sampingnya. Maya terkejut, hampir melompat dari tempat duduknya, dan segera menoleh ke arah sosok itu. Ternyata, itu adalah Arga. Pemuda itu duduk dengan tenang, mengenakan jaket hujan yang basah kuyup. Mata mereka bertemu, dan ada sesuatu dalam tatapan Arga yang membuat Maya merasa jantungnya berdebar lebih cepat.
“Aku tahu kamu ada di sini,” kata Arga, suaranya tenang, namun terdengar penuh makna. “Aku merasakannya.”
Maya terdiam sejenak, bingung dengan kata-kata Arga. “Kamu… tahu aku ada di sini?”
Arga mengangguk pelan. “Iya. Aku sering melihatmu duduk di sini. Hujan ini sepertinya membawa kita kembali ke tempat yang sama.”
Maya merasa aneh, namun ia tidak bisa mengabaikan perasaan yang mulai tumbuh semakin kuat di dalam hatinya. Mengapa Arga bisa begitu yakin tentang keberadaannya? Ada semacam kekuatan tak terlihat yang membuat mereka terhubung, meskipun mereka belum pernah saling mengungkapkan perasaan dengan jelas.
Maya menarik napas panjang. “Arga, ada yang ingin aku tanyakan padamu,” kata Maya, suaranya sedikit gemetar. “Kenapa kamu selalu menjaga jarak? Apa yang sebenarnya kamu sembunyikan dari aku?”
Arga tidak langsung menjawab. Ia hanya menundukkan kepala, membiarkan hujan semakin membasahi rambutnya. Ada keheningan yang panjang di antara mereka, hanya suara hujan yang terus menggema di sekeliling mereka. Maya merasa semakin cemas, tetapi ia juga tahu bahwa inilah saatnya. Jika tidak sekarang, mungkin ia akan terus hidup dalam kebingungannya sendiri.
“Aku tidak bisa menjelaskannya begitu saja,” kata Arga akhirnya, suaranya rendah. “Ada banyak hal dalam hidupku yang membuatku sulit untuk terbuka. Aku tidak bisa memberitahumu semuanya, Maya. Tapi aku akan mencoba.”
Maya merasa hatinya berdegup lebih cepat. “Apa yang membuatmu begitu tertutup, Arga? Aku tidak mengerti. Kita sudah saling mengenal beberapa waktu, tapi kamu selalu menghindar.”
Arga menghela napas panjang. Ia menatap langit yang dipenuhi awan gelap, seolah-olah mencari kata-kata yang tepat. “Aku pernah kehilangan seseorang yang sangat berarti bagiku. Seseorang yang aku cintai lebih dari apapun. Kecelakaan itu… membuatku merasa bahwa aku tidak bisa mencintai lagi. Aku tidak ingin merasakan sakit itu lagi, Maya. Aku takut.”
Maya terdiam, terkejut mendengar penuturan Arga yang begitu dalam. Semua perasaan cemasnya seakan menguap begitu saja, tergantikan oleh rasa empati yang dalam. “Aku tidak tahu harus berkata apa,” Maya berkata perlahan. “Tapi, aku… aku ingin ada untukmu, Arga. Aku tidak tahu apakah itu bisa menyembuhkan lukamu, tapi aku ingin mencoba.”
Arga menoleh, dan ada sedikit keraguan di mata coklatnya. “Maya, aku tidak ingin kamu terjebak dalam masa lalu dan masalahku. Ini bukan hanya tentang aku. Aku tidak ingin membebani hidupmu dengan luka-luka yang belum sembuh.”
Maya menatapnya dengan tatapan lembut. “Aku bukan orang yang akan meninggalkanmu begitu saja, Arga. Aku ingin kamu tahu bahwa kamu tidak sendirian. Kita bisa menghadapi apapun bersama-sama, meskipun itu berat.”
Ada diam yang panjang antara mereka, dan Maya merasa seperti dunia berhenti sejenak. Hujan yang turun dengan derasnya semakin deras, namun perasaan di antara mereka terasa begitu hangat. Meskipun masih ada keraguan dalam hati Arga, Maya tahu bahwa inilah saat yang tepat untuk membuka lembaran baru dalam hubungan mereka.
“Aku takut, Maya,” kata Arga dengan suara yang penuh kejujuran. “Aku takut kehilangan lagi.”
Maya tersenyum kecil, meskipun hatinya terasa sesak. “Aku tahu, Arga. Kita semua punya ketakutan yang sama. Tapi kita tidak bisa menghindari perasaan itu. Kita harus belajar untuk menerima dan mencintai meskipun ada rasa takut itu.”
Arga menatapnya dengan tatapan yang lebih lembut. “Aku belum siap untuk mencintai lagi, Maya. Tapi, aku ingin mencoba.”
Maya meraih tangan Arga yang dingin karena hujan, menggenggamnya dengan lembut. “Kita tidak perlu terburu-buru, Arga. Aku di sini untukmu, kapan pun kamu siap. Tidak ada yang perlu dipaksakan.”
Hujan terus turun dengan lebat, dan malam itu, di bawah langit yang mendung, mereka duduk bersama. Tidak ada kata-kata lebih yang diperlukan. Terkadang, kehadiran seseorang saja sudah cukup untuk menyembuhkan luka yang ada.
Maya merasa bahwa langkah pertama untuk memahami Arga baru saja dimulai. Dia tahu bahwa proses ini tidak akan mudah, dan mungkin akan banyak tantangan di depan mereka. Namun, satu hal yang pasti—di balik hujan yang turun, ada sebuah kisah yang lebih besar, sebuah kisah tentang cinta yang tumbuh perlahan meskipun disertai dengan rasa takut dan keraguan. Arga mungkin masih takut untuk mencintai lagi, tetapi Maya yakin bahwa bersama-sama, mereka bisa menghadapinya.**
Bab 4: Pelangi yang Hilang
Pagi itu, langit cerah, dan udara segar menyambut Maya ketika ia membuka jendela kamarnya. Setelah pertemuan malam yang penuh emosi dengan Arga di bawah hujan, Maya merasa dunia di sekitarnya terlihat berbeda. Dia merasa seperti ada sebuah beban yang terangkat, meskipun ia tahu perjalanannya bersama Arga belum selesai. Dalam hatinya, Maya merasa lebih dekat dengan Arga, meskipun ia sadar bahwa banyak hal yang masih harus mereka hadapi bersama. Namun, pagi itu, ada sesuatu yang tidak bisa ia hindari: sebuah rasa khawatir yang tiba-tiba muncul.
Maya menarik napas panjang dan menatap pelangi yang muncul di langit setelah hujan semalam. Warna-warna cerah itu memancar, namun ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Pelangi itu, meskipun indah, seakan menyembunyikan sesuatu di balik warnanya yang cerah. Seperti halnya dirinya dan Arga—mereka baru saja mulai memahami satu sama lain, tetapi ada banyak hal yang belum terungkap. Maya merasakan, seperti pelangi, kebahagiaan mereka bisa saja memudar begitu saja jika mereka tidak hati-hati.
Setelah sarapan, Maya bergegas menuju sekolah. Namun, hatinya masih dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab. Mengapa Arga begitu sulit untuk membuka diri sepenuhnya? Apa yang membuatnya terperangkap dalam rasa takut dan keraguan? Maya ingin tahu lebih banyak, tetapi ia juga tahu bahwa Arga membutuhkan waktu. Waktu untuk pulih dari masa lalunya, waktu untuk memaafkan dirinya sendiri, dan waktu untuk belajar mencintai lagi.
Di sekolah, Maya merasa sedikit gelisah. Walaupun ia berharap bisa bertemu dengan Arga untuk berbicara lebih banyak, ia tidak ingin memaksakan keadaan. Mereka berdua butuh waktu, dan Maya ingin memberi ruang untuk Arga. Namun, sesuatu yang aneh terjadi di tengah pelajaran. Selama beberapa hari terakhir, Arga tidak muncul di sekolah. Biasanya, Arga selalu datang tepat waktu, duduk di bangku belakang kelas, dan kadang-kadang saling bertukar pandang dengan Maya. Tapi hari itu, Arga tidak ada di tempatnya.
Maya merasa cemas. Ia mencoba mengalihkan perhatian dengan fokus pada pelajaran, tetapi pikirannya terus melayang. Ketika waktu istirahat tiba, Maya memutuskan untuk pergi mencari Arga. Mungkin ada alasan mengapa ia tidak datang hari itu. Setiap langkah Maya terasa berat, seolah-olah dia tahu bahwa sesuatu sedang tidak beres. Pikirannya penuh dengan kekhawatiran, namun ia berusaha menenangkan dirinya.
Setibanya di taman sekolah, Maya melihat sosok Arga duduk sendirian di bawah pohon besar. Matanya tampak kosong, seolah-olah dia sedang melamun, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Maya menghampiri dengan langkah hati-hati, mencoba untuk tidak mengganggu ketenangannya. “Arga?” panggil Maya pelan.
Arga menoleh dengan terkejut, seakan baru menyadari kedatangannya. Wajahnya tampak lelah dan sedikit bingung. “Oh, Maya… kamu di sini,” katanya dengan suara serak, seolah baru bangun dari tidur panjang.
Maya duduk di sampingnya, merasa sedikit canggung. “Kenapa kamu tidak ke sekolah? Aku khawatir.”
Arga terdiam sejenak, menatap tanah di bawahnya. “Aku… aku tidak tahu. Rasanya semuanya terasa berat, Maya. Aku merasa seperti terjebak dalam hidupku sendiri, seperti ada sesuatu yang hilang, dan aku tidak tahu harus mencari ke mana lagi.”
Maya mendengarkan dengan penuh perhatian. Meskipun Arga tampak tidak ingin mengungkapkan perasaannya, Maya bisa merasakan bahwa ada lebih banyak hal yang ingin dia katakan. “Aku mengerti, Arga. Kamu tidak perlu merasa terbebani. Kita semua pernah merasa seperti itu. Kalau kamu ingin berbicara, aku di sini untuk mendengarkan.”
Arga mengangguk perlahan, matanya tampak memerah. “Maya, aku merasa seperti aku sudah kehilangan segalanya. Setiap kali aku mencoba untuk melangkah maju, masa lalu selalu menghantuiku. Aku takut jika aku membiarkan diriku terlalu dekat dengan seseorang lagi, aku akan kehilangan mereka. Aku takut perasaan itu akan menghancurkanku lagi.”
Maya bisa merasakan betapa besar rasa takut itu. Arga bukan hanya berjuang melawan masa lalunya, tetapi juga melawan ketakutan terbesar dalam hidupnya—ketakutan akan kehilangan. Maya merasa hatinya terluka mendengar kata-kata itu. Arga, pemuda yang selama ini terlihat kuat dan misterius, ternyata menyimpan banyak luka yang belum sembuh.
“Aku tahu kamu takut, Arga. Tapi kamu tidak perlu menghadapi semuanya sendirian,” kata Maya dengan lembut. “Aku di sini. Aku bukan Dita, dan aku tidak akan pergi seperti yang kamu takuti. Kita bisa menghadapi semuanya bersama.”
Arga terdiam, menatapnya dengan tatapan yang penuh keraguan. “Aku tidak ingin menyakiti kamu, Maya. Aku sudah cukup menyakiti diri sendiri dengan mengingat semuanya. Aku takut jika aku mulai merasa terlalu banyak, aku akan hancur lagi.”
Maya menggenggam tangan Arga, merasakan ketegangan di antara mereka. “Aku tidak akan membiarkanmu hancur, Arga. Aku akan mendampingimu, apapun yang terjadi. Aku ingin kita melewati ini bersama.”
Arga menatap Maya dengan tatapan yang penuh kebingungan. Sepertinya ia tidak sepenuhnya yakin dengan kata-katanya sendiri. “Tapi, bagaimana jika aku tidak bisa melupakan masa laluku? Bagaimana jika aku tidak bisa mencintai lagi?”
Maya tersenyum lembut. “Mencintai bukan sesuatu yang bisa dipaksakan, Arga. Itu akan datang dengan sendirinya, dan saat itu datang, kita akan siap. Jangan terburu-buru. Kita punya waktu.”
Arga tampak terharu, namun ia tidak mengatakan apa-apa lagi. Hanya ada keheningan yang mengisi ruang di antara mereka. Maya tahu, ini bukan akhir dari perjalanan mereka, melainkan awal dari perjalanan panjang yang penuh dengan pemahaman dan pengertian. Ia tidak bisa menghapus rasa takut yang ada dalam diri Arga, tetapi ia bisa membantu menghadapinya bersama.
Sejak pertemuan itu, Arga mulai muncul kembali di sekolah, meskipun ia tampak sedikit lebih pendiam dari sebelumnya. Maya menyadari bahwa ada banyak hal yang perlu waktu untuk disembuhkan. Namun, satu hal yang ia tahu dengan pasti adalah bahwa mereka mulai berjalan bersama, menapaki jalan yang penuh dengan ketidakpastian. Arga mungkin belum siap untuk mencintai lagi, tetapi Maya yakin bahwa waktu akan membantu mereka.
Hari demi hari berlalu, dan meskipun tidak ada pelangi yang bisa terlihat di langit, Maya merasa bahwa di dalam hati mereka, ada cahaya yang perlahan mulai tumbuh. Pelangi yang hilang, yang sempat tersembunyi di balik awan, perlahan-lahan mulai kembali muncul. Tidak dengan warna yang begitu cerah, tetapi cukup untuk memberikan harapan. Maya tahu, meskipun perjalanan mereka masih panjang dan penuh dengan tantangan, mereka tidak lagi berjalan sendiri.**
Bab 5: Di Ujung Pelangi
Pagi itu, Maya terbangun dengan perasaan yang berbeda. Sejak pertemuannya dengan Arga di taman beberapa hari yang lalu, hidupnya terasa lebih tenang meskipun masih dipenuhi dengan keraguan. Mereka mulai berbicara lebih sering, lebih terbuka, tetapi ada sesuatu yang masih mengganjal dalam hati Maya. Arga terlihat lebih baik, namun kadang ia masih menghindar, seperti ada tembok yang tak terlihat menghalangi kedekatan mereka.
Namun, hari ini Maya merasa berbeda. Hujan yang semalam menyisakan udara segar di sekelilingnya, dan langit pagi ini tampak cerah. Mungkin ini adalah tanda bahwa sesuatu yang indah sedang menanti di depan. Maya berdiri dari tempat tidur dan meraih ponselnya. Sebuah pesan masuk dari Arga.
“Apakah kamu bebas sore ini? Aku ingin berbicara.”
Maya tersenyum membaca pesan itu. Tidak ada yang lebih menyenankan baginya selain berbicara dengan Arga, apalagi setelah beberapa hari terakhir mereka lebih sering menghabiskan waktu dalam keheningan. Maya membalas pesan itu dengan cepat.
“Tentu, aku ada waktu. Ke mana kita pergi?”
Tidak lama kemudian, Arga membalasnya.
“Tempat yang kita kunjungi dulu, ingat? Di bawah pohon besar.”
Maya merasa jantungnya berdegup kencang. Tempat itu, taman yang menjadi saksi bisu banyak momen antara mereka, tempat pertama kali mereka berbicara tentang masa lalu dan masa depan. Tempat di mana perasaan mereka mulai tumbuh, meskipun masih tersembunyi di balik keraguan dan ketakutan. Tempat itu, kini terasa penuh dengan harapan baru.
Setelah pelajaran selesai, Maya segera menuju taman itu, tempat yang kini lebih bermakna baginya. Ketika ia sampai, Arga sudah duduk di bawah pohon besar itu, tampak lebih santai dibandingkan sebelumnya. Sejak pertemuan mereka beberapa waktu lalu, ada sesuatu yang lebih ringan dalam sikap Arga, meskipun mata coklatnya masih menyimpan keraguan.
“Hey,” sapa Maya, mendekat dan duduk di sebelah Arga.
Arga tersenyum kecil, namun senyumnya kali ini terasa lebih tulus. “Hai, Maya.”
Ada keheningan di antara mereka untuk sesaat. Hujan semalam meninggalkan udara sejuk, dan daun-daun pohon besar itu bergoyang lembut tertiup angin. Maya merasakan suasana ini penuh dengan kenangan, tapi juga penuh dengan kemungkinan-kemungkinan baru.
“Ada apa, Arga?” tanya Maya dengan lembut, mencoba membuka percakapan.
Arga menarik napas panjang, tampaknya mencari kata-kata yang tepat. “Maya, aku… Aku ingin memberitahumu sesuatu,” katanya dengan suara yang sedikit terputus. “Aku sudah lama berpikir tentang hubungan kita, tentang apa yang sebenarnya aku rasakan. Aku merasa selama ini aku terus berlari dari kenyataan, dari perasaan yang tumbuh dalam diriku.”
Maya menatapnya dengan penuh perhatian, jantungnya berdegup kencang. “Apa maksudmu?”
Arga menghela napas lagi, kali ini lebih dalam. “Aku takut, Maya. Takut akan kehilangan lagi. Takut membuka hatiku, takut mencintai. Tapi aku sadar, itu bukan hidup yang seharusnya aku jalani. Aku tidak bisa terus melarikan diri. Aku ingin mencoba, Maya. Aku ingin membuka hati ini untukmu.”
Maya terdiam, hatinya berdegup lebih cepat. Kata-kata Arga terasa seperti sebuah pengakuan yang begitu tulus dan berat. Ia merasa harapan itu mulai berkembang kembali, seperti pelangi yang perlahan muncul di tengah awan gelap.
“Arga…” Maya berbisik, hampir tidak percaya dengan apa yang didengarnya. “Aku tidak tahu harus berkata apa. Tapi aku senang mendengarnya. Aku ingin kamu tahu, aku sudah lama ingin kita bisa saling membuka hati, seperti sekarang. Aku ingin kita mencoba, meskipun aku tahu itu tidak akan mudah.”
Arga menatap Maya dengan tatapan yang lebih dalam, seakan mencari kepastian dalam mata Maya. “Aku takut, Maya. Takut jika aku membuka hati ini dan kemudian aku kehilanganmu. Itu yang selalu menghantuiku. Tapi aku sadar, aku tidak bisa terus hidup dalam ketakutan itu. Aku ingin kamu tahu, apa pun yang terjadi, aku tidak ingin lagi melarikan diri.”
Maya menggenggam tangan Arga dengan lembut. “Aku di sini, Arga. Aku tidak akan pergi. Kita akan menjalani ini bersama-sama. Aku tahu itu tidak akan mudah, tapi aku yakin kita bisa menghadapinya.”
Arga tersenyum kecil, meskipun ada sedikit kecemasan di matanya. “Aku tidak bisa janji akan langsung berubah, Maya. Tapi aku akan berusaha. Aku ingin mencintaimu tanpa takut kehilanganmu.”
Maya merasakan hangatnya genggaman tangan Arga. “Tidak ada yang harus kita paksakan. Kita akan berjalan bersama, perlahan. Aku akan ada untukmu, Arga. Apapun yang terjadi.”
Hujan mulai turun kembali, tetapi kali ini hujan itu terasa berbeda. Tidak lagi seperti hujan yang membawa ketegangan atau keraguan, tetapi hujan yang membawa kedamaian. Mereka duduk bersama di bawah pohon besar itu, menyaksikan tetesan hujan yang turun dengan lembut. Tidak ada kata-kata lagi yang diperlukan, hanya kehadiran mereka yang saling menguatkan.
Hari itu, Maya merasa seperti ada pelangi yang kembali muncul di ujung hidupnya, sebuah pelangi yang telah lama hilang namun kini mulai terlihat lagi. Arga mungkin belum sepenuhnya siap untuk membuka seluruh hatinya, tetapi Maya tahu bahwa mereka telah melewati langkah penting. Langkah pertama untuk membuka diri satu sama lain, untuk berbagi beban dan kebahagiaan bersama.
Setelah beberapa saat, hujan mulai reda, dan udara terasa segar. Maya dan Arga berjalan beriringan keluar dari taman, kembali menuju jalan yang sama. Meskipun belum ada pelangi yang benar-benar muncul di langit, Maya merasakan sesuatu yang lebih indah, sesuatu yang lebih pasti. Sebuah harapan yang tumbuh perlahan, dan kebahagiaan yang mulai mengisi ruang kosong di hati mereka.
Ketika mereka tiba di ujung jalan, Maya berhenti sejenak dan menatap langit. Di sana, di balik awan yang perlahan bergerak, pelangi mulai muncul, memancarkan warna-warna cerah yang menyemburat ke seluruh langit. Maya tersenyum, merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar keindahan alam ini. Itu adalah simbol dari perjalanan mereka, dari perasaan yang mulai tumbuh, meskipun masih ada ketakutan dan keraguan.
“Lihat, Arga,” kata Maya sambil menunjuk ke arah pelangi yang indah. “Itu pelangi kita, pelangi yang muncul setelah hujan.”
Arga menatap pelangi itu, lalu menoleh ke Maya. Senyumnya kini penuh dengan kedamaian. “Ya, Maya. Itu pelangi kita. Dan aku siap untuk berjalan menuju ujung pelangi itu bersamamu.”
Maya menggenggam tangan Arga dengan erat. Mereka berdiri di bawah pelangi, di ujung jalan yang penuh dengan kemungkinan baru, dan Maya tahu bahwa perjalanan mereka baru saja dimulai. Dengan setiap langkah yang mereka ambil bersama, mereka semakin dekat ke ujung pelangi itu—di tempat di mana harapan, cinta, dan kebahagiaan menanti.**
Prolog: Di Ujung Pelangi
Di suatu sore yang kelabu, Maya duduk termenung di depan jendela kamarnya, memandang hujan yang turun dengan perlahan. Selalu ada kedamaian yang menyertai hujan, meskipun seringkali menyisakan kerinduan yang mendalam. Hujan yang meneteskan kenangan, hujan yang membawa perasaan campur aduk—rindu, harapan, dan keinginan untuk melupakan.
Maya tidak tahu sejak kapan hujan menjadi bagian dari hidupnya. Sejak dulu, hujan selalu memiliki kekuatan untuk membuatnya merenung, menyelami perasaan yang sulit dijelaskan. Setiap tetesan yang jatuh seakan menyiratkan sebuah pesan, sebuah kenyataan yang harus diterima meskipun terasa berat. Namun kali ini, hujan membawa lebih dari sekadar perasaan kosong. Hujan itu membawa kenangan tentang Arga, seorang pria yang telah menghiasi sebagian besar hidupnya, meskipun mereka tidak selalu berjalan di jalan yang sama.
Arga adalah sosok yang misterius. Terkadang dia begitu dekat, seolah-olah dunia mereka saling terhubung, namun di waktu lain, dia tampak begitu jauh, menghindar dari kedekatan yang Maya inginkan. Mereka memiliki kisah yang tidak biasa, kisah yang penuh dengan keraguan, kesedihan, dan perasaan yang terpendam. Maya mengenal Arga sejak beberapa tahun lalu, ketika mereka masih sama-sama bersekolah di SMA. Namun, perasaan yang tumbuh di antara mereka baru mulai berkembang setelah mereka meninggalkan sekolah, setelah hidup membawa mereka ke arah yang berbeda.
Arga adalah orang yang tampaknya tidak pernah bisa sepenuhnya terbuka. Ada sesuatu yang gelap dalam dirinya, sebuah bayangan masa lalu yang selalu menghantui setiap langkahnya. Maya tahu itu. Arga telah kehilangan banyak hal dalam hidupnya, dan dia takut untuk mencintai lagi. Baginya, mencintai adalah sebuah risiko besar, sebuah perjalanan yang penuh dengan kekecewaan dan kehilangan. Namun, Maya tidak menyerah. Ia percaya bahwa ada sesuatu yang lebih dalam diri Arga yang belum pernah terungkap—sesuatu yang bisa membawa mereka pada kebahagiaan yang mereka cari bersama.
Maya pertama kali bertemu dengan Arga secara tidak sengaja, ketika mereka bertemu di sebuah taman kota yang sepi. Mereka saling memandang tanpa kata-kata, namun ada sebuah ikatan yang tidak bisa dijelaskan. Seiring berjalannya waktu, mereka mulai berbicara lebih banyak, saling mengenal lebih dalam, dan akhirnya menemukan kenyataan yang tak terduga: mereka saling mencintai.
Namun, perasaan itu tidak datang begitu saja. Cinta mereka penuh dengan rintangan. Arga sering menarik diri, menyembunyikan dirinya di balik tembok tebal yang dia bangun untuk melindungi hatinya yang terluka. Maya mencoba untuk mengerti, mencoba untuk memberi ruang bagi Arga, namun ada kalanya ia merasa lelah, merasa bahwa dirinya tidak pernah cukup untuk membuka hati Arga. Ada rasa takut yang terpendam dalam hatinya, ketakutan bahwa mereka akan terpisah sebelum mereka benar-benar bersama.
Maya tahu bahwa cinta tidak bisa dipaksakan. Namun, ia juga percaya bahwa cinta bisa tumbuh jika mereka saling memberi waktu dan ruang untuk berkembang. Meskipun Arga sering kali terjebak dalam masa lalunya, Maya tidak pernah menyerah. Ia yakin, jika mereka saling berjuang, mereka bisa melewati segala rintangan yang ada.
Namun, suatu malam, hujan turun begitu deras, dan Maya merasa ada yang berbeda. Ketika Arga datang menemuinya, mereka berbicara tentang banyak hal—tentang masa lalu, tentang ketakutan mereka, dan tentang perasaan yang terus tumbuh meskipun ada banyak hal yang belum terungkap. Dalam percakapan itu, Arga akhirnya membuka sedikit hatinya, mengungkapkan ketakutannya untuk mencintai lagi. Ia takut akan kehilangan, takut akan terluka. Maya mendengarkan dengan penuh perhatian, dan meskipun hatinya terluka mendengar pengakuan itu, ia tahu bahwa itu adalah langkah pertama yang harus mereka ambil bersama.
Keesokan harinya, perasaan Maya semakin kuat. Ia tahu bahwa mereka tidak bisa terus berlari dari kenyataan. Mereka harus menghadapi ketakutan mereka bersama. Mereka harus menemukan cara untuk mengatasi masa lalu yang mengikat mereka dan membuka diri satu sama lain.
Itulah mengapa Maya merasa ada sesuatu yang penting yang akan terjadi. Ketika Arga menghubunginya melalui pesan singkat, mengundangnya untuk bertemu di taman tempat pertama kali mereka saling mengenal, Maya merasa ada harapan baru yang mulai muncul. Hari itu, langit tidak lagi gelap seperti biasanya. Hujan yang turun semalam membawa kesegaran, dan Maya merasa bahwa inilah saat yang tepat untuk memulai perjalanan baru bersama Arga.
Namun, meskipun hatinya dipenuhi harapan, Maya juga merasakan keraguan. Arga adalah seseorang yang penuh dengan rahasia, dan meskipun ia ingin berbagi hidupnya dengannya, ada bagian dari dirinya yang masih merasa takut. Takut jika perasaan ini tidak akan bertahan lama. Takut jika Arga, meskipun mengatakan ingin mencintainya, akhirnya akan menarik diri lagi.
Tapi Maya tahu bahwa mereka harus mengambil langkah itu. Mereka harus bersama-sama melewati segala ketakutan, meruntuhkan tembok yang dibangun oleh masa lalu, dan membuka hati mereka satu sama lain. Maya tidak bisa lagi hidup dalam ketidakpastian. Ia ingin merasakan cinta yang tulus, cinta yang tumbuh dengan alami, meskipun penuh dengan ketakutan dan keraguan.
Hari itu, Maya berjalan menuju taman dengan hati yang penuh dengan berbagai perasaan. Di satu sisi, ia merasa cemas, namun di sisi lain, ia merasa penuh dengan harapan. Arga sudah menunggunya di bawah pohon besar, tempat mereka sering bertemu. Suasana di sekitar mereka begitu tenang, hanya terdengar suara angin yang berbisik di antara dedaunan.
Ketika Maya mendekat, Arga menoleh dan memberikan senyum yang agak canggung. “Hai,” ucapnya, namun ada kehangatan dalam suara itu yang membuat Maya merasa sedikit lebih tenang.
“Hai,” jawab Maya, sambil duduk di sebelah Arga. Ada keheningan yang mengisi ruang di antara mereka, sebuah keheningan yang penuh dengan makna. Maya bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda dalam sikap Arga, sesuatu yang lebih terbuka.
Arga menghela napas sebelum akhirnya berbicara. “Maya, aku… aku ingin memberitahumu sesuatu.”
Maya menatapnya dengan perhatian penuh. “Apa itu, Arga?”
Arga menunduk, seolah mencari kata-kata yang tepat. “Aku takut. Takut akan kehilanganmu. Takut jika aku membuka hati ini dan aku akhirnya terluka lagi. Tapi aku sadar, aku tidak bisa terus hidup dalam ketakutan. Aku ingin mencoba membuka hatiku, mencoba untuk mencintaimu dengan seutuhnya.”
Maya merasakan sesuatu dalam dadanya. Sebuah perasaan yang sulit dijelaskan. Perasaan harapan, kegembiraan, dan sedikit rasa takut. Ia menggenggam tangan Arga dengan lembut. “Aku di sini, Arga. Aku tidak akan pergi. Kita akan berjalan bersama, apapun yang terjadi.”
Di tengah percakapan itu, hujan mulai turun kembali, tetapi kali ini, hujan itu terasa berbeda. Bukan hujan yang membawa kesedihan atau ketakutan, tetapi hujan yang memberi kedamaian, yang membawa mereka ke dalam perjalanan baru yang penuh dengan harapan.
Di ujung hujan, mereka melihat pelangi yang muncul di langit. Warna-warna cerah itu menyinari dunia di sekitar mereka, memberikan tanda bahwa kebahagiaan bisa ditemukan setelah melewati badai. Maya dan Arga berdiri di bawah pelangi itu, bersama-sama, siap untuk melangkah menuju masa depan yang penuh dengan kemungkinan baru.
Pelangi itu bukan hanya simbol dari kebahagiaan yang baru saja mereka temui. Itu adalah simbol dari perjalanan mereka yang baru dimulai—sebuah perjalanan menuju kebahagiaan yang mereka ciptakan bersama, di ujung pelangi yang mereka temui di tengah hujan.****
—————-THE END——————-