Bab 1 – Misi Terakhir
Hujan mengguyur tanpa ampun di tengah malam ketika Rayhan Malik menembus hutan lebat perbatasan Zayana, negara yang selama ini disebut sebagai musuh utama Republik Tursana. Hembusan angin malam menyelip di antara dedaunan, membawa aroma tanah basah dan mesiu.
Di tangannya, senapan serbu A3-Militech terpasang peredam. Tubuhnya bersimbah lumpur dan keringat, tapi matanya tetap awas, seperti mesin yang dilatih untuk membaca setiap gerakan sekecil apapun di sekelilingnya. Di telinganya, suara dari headset komando berdesing.
“Unit Sigma-7, konfirmasi lokasi. Rayhan, tanggapan?”
Ia menekan tombol pada rompi taktisnya.
“Rayhan di titik Sigma-Delta. Dua klik dari fasilitas target. Lima menit masuk.”
Diam. Tak ada jawaban. Static. Hanya suara hujan dan napasnya sendiri.
Aneh.
Ia melanjutkan pergerakan, melintasi lereng yang penuh ranjau sensor gerak. Tapi ia sudah hafal pola letaknya. Ini adalah misi infiltrasi ke-18 dalam dua tahun terakhir. Targetnya kali ini bukan bangunan pemerintah, bukan pula gudang senjata.
Targetnya adalah sebuah laboratorium rahasia milik Zayana—tempat yang diyakini menyimpan data program biologis terlarang.
Tapi Rayhan mulai merasakan sesuatu yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.
Sunyi. Terlalu sunyi.
Setelah menyusup melewati pagar listrik dan kamera thermal, ia mencapai dinding luar laboratorium. Ia mengaktifkan pemotong laser dan membuat lubang cukup untuk tubuhnya masuk.
Begitu berada di dalam, ia menyadari semuanya salah.
Tak ada penjaga.
Tak ada sistem keamanan aktif.
Hanya ruangan kosong… dan mayat-mayat berseragam ilmuwan Zayana, berserakan dalam genangan darah.
“Apa yang terjadi di sini…?” gumamnya.
Ia menempelkan perangkat portabel ke terminal data, memindai sistem. Tapi sebelum ia mendapat akses, layar terminal menyala sendiri.
“Welcome, Operatif Sigma-7.”
Jantung Rayhan berhenti sejenak.
“Bagaimana sistem mereka tahu identitasku?” pikirnya.
Dan saat itu, alarm merah menyala. Pintu-pintu menutup otomatis. Dari balik lorong, derap kaki terdengar.
Bukan pasukan Zayana. Tapi pasukan sendiri—dengan emblem Tursana di bahu.
“Apa ini? Operasi silang?”
Suara terdengar dari pengeras suara:
“Subjek Rayhan Malik. Anda telah diekspos. Misi berakhir di sini.”
Pengkhianatan.
Rayhan melompat keluar melalui ventilasi, tepat sebelum peluru menghantam dinding tempat ia berdiri. Ia berguling di luar dan kembali ke hutan, dikejar pasukan Tursana yang kini menjadikannya target.
Tiga Hari Kemudian – Pegunungan Utara
Rayhan berlindung di gua kecil di kaki bukit, luka tembak di lengannya sudah membeku tapi masih nyeri. Ia duduk sendiri, membalut lukanya dengan sisa perban dari tas medisnya.
Ia memutar rekaman dari alat komunikasi lamanya. Terakhir kali ia mendapat sinyal dari markas adalah satu menit sebelum penyergapan. Setelah itu… semua saluran diam. Nomornya dihapus. Identitasnya hilang dari sistem.
“Aku dibuang…”
Ingatan akan misi-misi sebelumnya mulai muncul. Misi pembunuhan, sabotase, interogasi rahasia… semua atas nama negara. Tapi apakah benar semua itu demi kebaikan?
Apakah semua yang ia bunuh… pantas mati?
Rayhan menatap pantulan wajahnya di air gua. Mata hitam itu bukan lagi mata patriot. Bukan juga mata seorang agen setia.
Itu adalah mata orang yang mulai mempertanyakan siapa sebenarnya musuh.
Malam Keempat – Perbatasan Tanpa Nama
Dengan sisa kekuatan, Rayhan berjalan menyusuri jalur lama para pengungsi. Di sana, ia berpapasan dengan sekelompok orang tak dikenal, dipimpin oleh seorang wanita berkerudung hitam, membawa senjata tetapi tak menodongkannya.
“Kau bukan siapa-siapa sekarang,” kata wanita itu.
“Tapi kami tahu siapa kamu sebelumnya… dan kami tahu siapa yang menciptakan neraka ini.”
Rayhan menatapnya, waspada.
“Siapa kalian?”
Wanita itu tersenyum samar.
“Kami adalah mereka yang kau kira musuh. Tapi sebenarnya… kami hanya bayangan dari kebohongan yang kamu bela.”
“Selamat datang, Rayhan. Di sisi lain dari perang ini.”
Bab 2 – Di Perut Musuh
Kawasan Bukit Asura – Wilayah Tak Bertuan
Tiga hari setelah pengkhianatan
Rayhan terbangun dalam ruangan gelap dengan bau obat, debu, dan logam berkarat. Cahaya redup dari lampu gantung berkedip pelan. Tubuhnya terbaring di atas ranjang sempit dengan rel besi berkarat, tubuhnya diperban di beberapa tempat.
Ia menggerakkan tangan, refleks ingin meraih senjata. Tapi tidak ada. Hanya luka dan rasa sakit yang menyebar dari bahu sampai pinggang.
Pintu terbuka.
Seseorang masuk—wanita muda berambut hitam dikuncir, mengenakan seragam lapangan lusuh tanpa lambang. Di pinggangnya tergantung pistol, tapi tak ia arahkan. Hanya mata tajamnya yang memperhatikan Rayhan.
“Akhirnya bangun,” katanya, suaranya datar.
“Kau tidur seperti orang mati.”
Rayhan berusaha bangkit, matanya menyorot tajam. “Kau siapa?”
“Namaku Layla. Aku yang menyeretmu keluar dari hutan saat tubuhmu hampir membeku.”
Rayhan menatap sekeliling. Ruangan itu seperti markas gerilya. Dinding dari logam daur ulang. Monitor tua, tumpukan senjata, dan meja operasi darurat. Di luar jendela kecil, ia melihat medan bebatuan—tempat tak bertuan yang dikenal sebagai Zona Netral, di luar batas kedua negara.
“Kenapa kalian tidak membunuhku?” Rayhan bertanya, nada suaranya penuh curiga.
Layla berjalan ke rak, mengambil segelas air. “Karena kau bukan target kami. Lagi pula, kau bukan siapa-siapa sekarang, bukan? Negara tempatmu mengabdi bahkan sudah menghapusmu dari sistem mereka.”
Rayhan menahan napas.
“Kau tahu siapa aku?”
Layla menatap tajam. “Tentu. Namamu Rayhan Malik. Agen aktif Sigma-7. Terlibat dalam pembantaian Arwana-6, penyusupan ke distrik Satura, dan misi eliminasi di wilayah Timur Laut. Kau legenda bagi tentara bayangan Tursana. Tapi juga… hantu yang membunuh banyak dari kami.”
Rayhan menunduk. Dada kirinya terasa berat.
“Kenapa kau menyelamatkanku kalau begitu?”
Layla diam sejenak, lalu berkata pelan, “Karena kau berani membuka mata. Sedikit dari kalian yang sadar sebelum terlambat.”
Keesokan Harinya – Markas RAVEN
Rayhan dibawa keluar dari ruangan oleh dua penjaga. Mereka menyusuri lorong logam dan keluar ke halaman terbuka. Di sana, ia melihat markas tempat ia berada: bunker tua yang ditinggalkan dari perang dunia sebelumnya, diubah menjadi pusat operasi bawah tanah oleh kelompok pemberontak yang dikenal sebagai RAVEN.
Tapi ini bukan tempat penuh teroris liar seperti propaganda negaranya.
Ada sistem.
Ada disiplin.
Dan—yang paling membuat Rayhan terdiam—ada warga sipil. Anak-anak, ibu-ibu, orang tua. Semua hidup di antara para pejuang. Ini bukan sekadar markas perang. Ini adalah komunitas.
Layla muncul di sampingnya.
“Terkejut?” tanyanya.
“Musuhmu punya wajah, Rayhan. Kami bukan hantu. Kami adalah orang-orang yang selamat dari janji kosong dan perang yang tak kami mulai.”
Rayhan ingin membantah. Tapi mulutnya tertahan. Pandangan anak-anak kecil yang melambaikan tangan padanya membuat pikirannya runtuh sedikit demi sedikit.
“Kenapa kalian perang?” tanyanya akhirnya.
Layla menatap langit. “Karena kami tidak punya pilihan. Ketika rumah kami dibakar, kota kami dijadikan eksperimen biologis, dan keluarga kami dijadikan statistik… perang menjadi satu-satunya bahasa yang mereka pahami.”
Rayhan mencengkeram tangan.
“Tapi kau tahu… aku juga kehilangan timku. Aku juga dijadikan pion. Mereka mengirimku ke dalam perang ini… lalu membuangku.”
Layla memalingkan wajah.
“Mungkin… akhirnya kita di sisi yang sama. Hanya saja, kau butuh waktu untuk menyadarinya.”
Malam Itu – Rekaman Kebenaran
Di kamar kecilnya malam itu, Layla menyerahkan satu benda kepada Rayhan: sebuah chip data berlabel “Arwana-6”—lokasi pembantaian yang selama ini dianggap dilakukan oleh pemberontak.
“Apa ini?” tanya Rayhan.
“Kebenaran.” jawab Layla.
“Rekaman drone milik kami. Pembantaian itu… bukan dilakukan oleh kami. Itu adalah operasi rahasia dari unitmu—Sigma-7.”
Rayhan menggenggam chip itu seperti bara api. Dunia mulai runtuh di sekitarnya. Semua yang ia pertaruhkan, semua yang ia jalani, semua misi yang ia jalani demi ‘perdamaian’…
Ternyata hanyalah layar asap.
Bab 3 – Bayang-Bayang Baru
Pagi menyambut dengan langit kelabu. Kabut menggantung di atas markas RAVEN seperti tirai tipis yang menutupi luka-luka dunia. Rayhan berdiri di pelataran barak, matanya menatap gerbang logam besar yang membatasi kamp ini dari dunia luar.
Sudah seminggu ia tinggal di sini. Tubuhnya mulai pulih, tapi pikirannya belum.
Chip data yang diberikan Layla masih belum ia buka. Ia menahan diri—mungkin karena takut. Takut bahwa yang ia lihat nanti akan meruntuhkan seluruh identitas yang ia bangun bertahun-tahun. Sebagai agen. Sebagai pelindung. Sebagai patriot.
Hari ini, ia akhirnya setuju ikut dalam patroli.
“Kita hanya memeriksa rute suplai di bagian utara,” ujar Layla saat menyerahkan senjata kepadanya.
“Tenang saja. Kami belum sepenuhnya percaya padamu. Jadi dua orang akan mengawasi.”
Rayhan mengangguk. Ia mengerti. Kalau posisinya terbalik, ia pun akan melakukan hal yang sama.
Di Rute Suplai Utara – 10 km dari Markas RAVEN
Medan tandus dan berbatu mengelilingi mereka. Di kejauhan, sisa reruntuhan desa berdiri seperti kerangka tua—bekas kota kecil yang dulu bernama Elaria, kini jadi tanah mati akibat serangan drone dua tahun lalu.
Rayhan berjalan bersama dua pengawal: Darin, lelaki besar dengan humor kering, dan Sera, penembak jitu berusia dua puluhan dengan tatapan tajam seperti belati.
“Kau tahu,” Darin berkata pelan, “di desa itu dulu ada sekolah. Anak-anak main bola tiap sore. Lalu datanglah ‘burung-burung besi’ dari langit. Semuanya hilang.”
Rayhan menunduk. Ia tahu misi itu.
Ia yang menyuplai koordinatnya, dengan informasi ‘diperoleh dari sumber intelijen akurat’. Ia tak pernah melihat hasil akhirnya. Kini ia berdiri di atas puing-puingnya.
“Kau bisa saja mati di sini,” gumam Sera tanpa menoleh.
“Satu langkah salah, satu niat menyimpang, dan kau tak akan kembali.”
Rayhan menjawab datar, “Mungkin aku pantas mati di sini.”
Tak ada yang menjawab. Hanya angin yang menderu melewati batu-batu tajam.
Kembali ke Markas – Malam Hari
Layla menunggu Rayhan di ruang pemantauan. Monitor layar tabung menampilkan rekaman drone, radio intelijen, dan laporan dari titik-titik pengawasan.
“Kau mulai percaya bahwa kami bukan sekadar monster?” tanyanya.
Rayhan duduk, wajahnya tegang. “Aku mulai percaya bahwa perang ini lebih kompleks dari apa yang diajarkan padaku.”
Layla menyodorkan secangkir teh panas.
“Kami semua adalah hasil dari sistem yang membusuk. Kami hanya memilih untuk tidak diam.”
Ia menunjuk monitor utama. Terdapat peta digital dengan beberapa titik merah berkedip.
“Ini bukan hanya perang senjata. Ini perang informasi. Kebenaran lebih berbahaya daripada peluru sekarang.”
Rayhan menatapnya lama, lalu mengeluarkan chip data dari sakunya.
“Tolong… tunjukkan.”
Layla mengambil chip itu, memasangnya ke sistem.
Layar menampilkan rekaman berdurasi 2 menit 17 detik. Cuplikan drone milik Zayana—tapi ternyata diretas oleh RAVEN. Di sana terlihat unit Sigma-7 dengan lambang jelas memasuki desa Arwana-6. Mereka menanam bahan peledak, lalu berpura-pura ‘diserang’. Siaran resmi yang dulu disebar ke publik menyebut RAVEN sebagai pelaku.
Ternyata semuanya direkayasa.
“Operasi bendera palsu,” Rayhan berbisik.
“Mereka membunuh warga sendiri… hanya untuk membenarkan invasi.”
Matanya panas. Bukan hanya karena marah. Tapi karena sadar ia pernah jadi bagian dari mesin pembunuh itu—dengan keyakinan penuh.
“Siapa yang ada di balik semua ini?”
Layla menarik napas dalam. “Ada nama. Tapi kita belum bisa membuktikannya secara terbuka. Satu hal yang pasti—dia masih aktif di struktur militer tertinggi.”
Rayhan mengangkat wajahnya. “Kau tahu aku akan mencarinya.”
Layla menatapnya tajam.
“Kau bisa mengubah arah peluru, Rayhan. Tapi pastikan kau tahu siapa yang layak dijadikan target.”
Malam itu, Rayhan berdiri di atap markas. Di kejauhan, kilau samar kota militer Tursana terlihat seperti bintang-bintang buatan. Ia tahu, ia belum membelot. Tapi ia juga tahu, ia tak bisa kembali.
Ia berada di tengah antara dua sisi. Dan untuk pertama kalinya, ia tak merasa berada di pihak yang benar.
Tapi mungkin, justru di antara bayang-bayang inilah… kebenaran itu bersembunyi.
Bab 4 – Garis yang Pudar
Markas RAVEN – Sublevel 3, Ruang Strategi
Peta digital menyala di tengah meja bundar. Di sekelilingnya, para pemimpin unit kecil RAVEN berkumpul. Layla berdiri di ujung ruangan, memimpin taktik malam itu. Di belakangnya, Rayhan bersandar dengan tangan terlipat. Wajahnya dingin tapi matanya awas, mempelajari tiap inci informasi.
“Target kita adalah Gudang Epsilon-9,” ucap Layla.
“Sumber utama suplai amunisi dan bahan bakar untuk unit tempur front barat. Jika kita bisa mengacaukannya, pasukan garis depan mereka akan lumpuh selama dua minggu.”
“Dan itu cukup untuk mengosongkan satu desa dari blokade mereka,” tambah Darin.
“Kami bisa tarik warga sipil keluar sebelum serangan besar berikutnya.”
Rayhan maju, menunjuk salah satu titik pada peta. “Di sini. Mereka punya sistem thermal perimeter. Tapi kalau kita menyusup dari jalur kanal bawah tanah, kita bisa masuk tanpa membunyikan alarm.”
Semua mata mengarah padanya. Ia sadar, ini kali pertama ia benar-benar menjadi bagian dari mereka.
“Kau yakin?” tanya Layla.
Rayhan mengangguk. “Aku yang mendesain sistem pertahanannya dulu. Dan aku juga tahu kelemahannya.”
Layla tak menjawab. Tapi ekspresinya cukup untuk menunjukkan: ia percaya—untuk saat ini.
Tengah Malam – Kanal Bawah Tanah Epsilon-9
Udara lembap dan bau karat menusuk hidung. Rayhan memimpin empat orang tim kecil menyusuri lorong sempit yang dulu ia rancang sebagai jalur pelarian darurat. Ironis, kini ia menggunakannya untuk menyerang tempat yang pernah ia lindungi.
Darin membawa pemotong laser untuk membuka gerbang besi terakhir.
“Tiga puluh detik,” bisiknya.
Rayhan mengatur napas. Tangannya memegang senjata, tapi kali ini terasa berbeda. Bukan misi dari pusat. Bukan perintah. Ini pilihannya sendiri.
“Apa kau yakin kita hanya ingin merusak suplai?” bisik Sera di belakangnya.
Rayhan menoleh. “Ya. Tidak ada pembunuhan. Tidak ada korban sipil. Kita hanya lumpuhkan sistem.”
“Itu bukan gaya kami dulu, tahu?”
Rayhan tak menjawab. Tapi dalam hati, ia mengakui: ia tak ingin menjadi ‘dulu’ lagi.
Dalam Gudang
Begitu gerbang terbuka, tim menyusup masuk dalam diam. Ruangan itu dipenuhi kontainer, beberapa di antaranya bertanda bahan bakar. Di sisi lain, lorong menuju ruang kendali terbuka lebar.
Mereka memasang bahan peledak mini pada titik-titik kritis: panel kendali, jaringan listrik utama, dan jalur bahan bakar. Semua dilakukan dengan waktu presisi.
Hampir selesai.
Lalu… suara langkah terdengar.
Rayhan menoleh cepat. Dua orang teknisi militer muncul dari balik lorong—masih muda, mungkin belum genap 20 tahun.
Wajah mereka pucat ketika melihat bayangan bersenjata.
“Menunduk!” perintah Rayhan pada teknisi itu.
“Kami bukan di sini untuk membunuh.”
Tapi salah satu dari mereka panik. Ia meraih tombol darurat di dinding.
“JANGAN!” teriak Rayhan.
Terlambat. Alarm menyala. Lampu merah berputar. Sirene membelah keheningan malam.
“LARI!” perintah Layla melalui radio.
Rayhan memutuskan: ia menendang tombol pelepas darurat kontainer bahan bakar, menciptakan ledakan kecil untuk menutup jalan belakang. Tim melarikan diri ke kanal dengan napas tersengal.
Di Luar – Markas RAVEN, Kembali
Tubuh mereka dipenuhi debu dan keringat, tapi misi berhasil. Suplai musuh lumpuh. Tak ada yang mati. Tapi Rayhan tak merasa menang.
“Kau menyelamatkan dua prajurit muda itu,” kata Layla saat mereka duduk berdua di atap markas.
“Padahal kau bisa saja menembak untuk bertahan.”
Rayhan memandangi langit.
“Dulu, aku akan menembak tanpa ragu. Tapi kalau aku ingin keluar dari lingkaran ini, aku harus memulai dari satu hal: berhenti jadi monster.”
Layla tak menjawab. Tapi senyumnya samar—bukan kemenangan, tapi pemahaman.
Di kamarnya malam itu, Rayhan membuka catatan lama yang ia simpan dalam sebuah chip kecil. Identitas, nama, target. Ia menatap satu nama yang muncul di sana—Letnan Kolonel Javar Mirza, atasannya di Sigma-7, orang yang memberi perintah dalam misi Arwana-6.
“Langkah berikutnya,” bisik Rayhan.
“Adalah menemukan dia… dan membuatnya bicara.”
Bab 5 – Target yang Dikenal
Markas RAVEN – Ruang Intelijen
Cahaya layar monitor memantul di wajah Rayhan. Di hadapannya, informasi tentang Letnan Kolonel Javar Mirza terbuka seperti luka lama yang baru disayat.
Jabatan terakhir: Komandan Lapangan Divisi Operasi Khusus Sigma-7
Lokasi terakhir terpantau: Kota Industri Sazera, Distrik 8
Akses saat ini: Protokol keamanan kelas merah – hanya dapat diakses oleh jajaran tertinggi militer Zayana.
Rayhan menghela napas panjang. Nama itu tak hanya membangkitkan amarah… tapi juga kenangan.
Dulu, Javar-lah yang melatihnya, membentuknya menjadi mesin perang. Tapi kini, semua terasa seperti pengkhianatan. Karena di balik senyum sang mentor, ternyata tersembunyi perintah untuk membantai orang-orang tak bersalah.
“Kalau kau serius ingin mengejarnya,” kata Layla yang berdiri di sampingnya, “kau harus menembus jantung sistem militer Zayana.”
Rayhan menatap layar tanpa berkedip. “Berarti aku harus kembali ke neraka.”
Tiga Hari Kemudian – Perbatasan Kota Sazera
Sazera tak seperti kota lain di Zayana. Ini kota besi—tempat pabrik, laboratorium senjata, dan markas intelijen berkumpul dalam satu benteng industri. Semua orang di sini diawasi. Tak ada yang masuk tanpa izin. Tak ada yang keluar tanpa jejak.
Tapi Rayhan tahu cara masuk. Ia pernah menjadi bagian dari sistem itu.
Menyamar sebagai pekerja transportasi militer, ia menyusup ke dalam zona industri dengan identitas palsu yang disiapkan oleh tim siber RAVEN. Janggut tipis, rambut sedikit dipanjangkan, dan bahasa tubuh yang dibentuk untuk menyatu dengan pekerja keras kota ini.
Ia menyelinap melewati checkpoint demi checkpoint, hingga akhirnya mencapai blok komando Sigma-7 — gedung megah dari baja gelap di tengah kota, dijaga drone, sniper, dan pasukan elit.
“Kau yakin mau masuk sendirian?” suara Layla terdengar lewat alat komunikasi tersembunyi di telinganya.
“Kami bisa menyiapkan tim kecil untuk membantumu kabur.”
Rayhan menjawab pelan, “Kalau aku tak keluar dalam dua jam… aktifkan rencana B.”
“Kau akan hidup, Rayhan. Aku percaya.”
“Terima kasih… Tapi ini bukan soal hidup.”
“Ini soal kebenaran.”
Dalam Gedung Sigma-7 – Ruang Arsip Tertutup
Dengan akses tempur yang ia curi dari terminal lama, Rayhan menyusup ke ruang arsip tertutup. Di sini, semua laporan operasi disimpan—versi asli, bukan propaganda publik.
Ia menyalakan satu terminal cadangan dan mengetik: ARWANA-6 | OPR. ID: CRX-Z77
File muncul. Terenkripsi. Ia memasukkan kunci yang ia curi dari sistem lama militer.
Layar terbuka.
“Perintah eksekusi diberikan oleh Letkol. Javar Mirza. Persetujuan langsung: Direktorat Operasi Tertutup.”
Rayhan menatap layar dengan rahang mengeras.
Bukan hanya Javar. Ini sudah sistematis. Ini kebijakan.
Lalu pintu terbuka.
Seseorang berdiri di sana.
“Sudah kuduga kau masih hidup.”
Suara itu familiar. Dalam, tenang, berwibawa. Javar.
Bajunya masih bersih. Lencana dan medali tergantung di dada. Tapi yang lebih menyakitkan adalah senyum kecilnya yang dulu membuat Rayhan percaya pada semua hal.
“Kenapa?” suara Rayhan bergetar.
Javar berjalan masuk perlahan, menatap Rayhan seperti menatap murid lama yang tersesat.
“Karena perang butuh cerita. Dan rakyat butuh musuh. Kalau tidak, bagaimana kita bisa tetap menggenggam kekuasaan?”
“Arwana-6… itu pembantaian.”
“Itu langkah strategis. Kita hapus satu desa, kita dapat legitimasi untuk menduduki enam lainnya. Kau pintar, Rayhan. Kau harusnya tahu ini bukan soal benar atau salah.”
Rayhan mengangkat pistol. Tangannya tak gemetar. Tapi hatinya hancur.
“Aku percaya padamu.”
Javar tak mundur. Hanya menatap.
“Kau bisa menarik pelatuk, Rayhan. Tapi itu takkan mengubah apapun. Sistem ini lebih besar dari kita. Hanya akan lahir Javar-Javar lain setelahku.”
Rayhan menatap senjatanya. Lalu menurunkannya.
“Kau benar.”
Javar tersenyum puas.
Tapi saat ia berbalik, Rayhan menyalakan sistem auto-transfer data. Semua dokumen—semua bukti pembantaian, pengkhianatan, dan manipulasi—dikirim ke RAVEN.
“Tapi aku tak perlu membunuhmu untuk menjatuhkanmu.”
Alarm berbunyi. Rayhan melompat keluar jendela, menuruni kabel baja yang ia pasang diam-diam. Ledakan kecil mengalihkan perhatian penjaga. Ia menghilang ke lorong bawah kota—ke arah kanal pembuangan yang telah ia petakan sebelumnya.
Kembali ke Markas RAVEN
Beberapa jam kemudian, Rayhan tiba dengan luka ringan, tapi senyum penuh kepuasan. Ia menyerahkan flashdrive kecil ke Layla.
“Kebenaran… sudah tak bisa mereka kubur.”
Layla membuka file. Video, dokumen, transkrip suara. Semua lengkap.
“Ini… bisa menghancurkan mereka.”
Rayhan menatap ke langit malam.
“Ini baru permulaan.”
Bab 6 – Retakan Dalam Barisan
Markas RAVEN – Ruang Brifing
Kertas-kertas berserakan di atas meja. Di layar proyektor, tampak wajah Letnan Kolonel Javar Mirza, lengkap dengan label “PENGKHIANAT NEGARA” yang baru saja diumumkan oleh sistem siaran bawah tanah. Rekaman suara dan video dari flashdisk yang Rayhan curi tersebar cepat di antara jaringan gerilyawan dan rakyat sipil.
Namun, bukan kemenangan yang terasa. Justru atmosfer markas kini lebih dingin dari biasanya.
“Apa ini langkah yang bijak?” tanya Darin, menyilangkan tangan, ekspresinya tegang.
“Kita membuka perang terbuka. Mereka akan membalas. Dan kita belum siap.”
Rayhan menatapnya tenang. “Kalau bukan sekarang, kapan? Berapa banyak lagi desa yang harus dihancurkan hanya untuk menjaga ilusi ‘perdamaian’?”
Sera menyambung, “Tapi kau mengambil keputusan sepihak, Ray. Layla bahkan tidak menyetujui aksi ini secara formal.”
Itu membuat ruangan hening. Layla berdiri di sudut, hanya menatap ke luar jendela.
“Aku membiarkan Rayhan bertindak,” katanya pelan.
“Karena terkadang, satu keputusan berani perlu diambil tanpa persetujuan.”
Namun, tidak semua orang senang dengan jawabannya.
Malam Hari – Gudang Senjata RAVEN
Rayhan berjalan menyusuri lorong gelap menuju ruang penyimpanan senjata. Ia butuh mengisi ulang senjatanya setelah misi sebelumnya. Tapi langkahnya terhenti ketika mendengar suara samar dari balik dinding logam.
“…Kita harus menghentikannya sebelum dia membuat semuanya terbakar.”
Itu suara Darin.
“Kalau Layla terus membela dia, kita harus pertimbangkan menggantikannya sebagai pemimpin.”
Rayhan menahan napas.
“Rayhan bukan sekadar ancaman bagi musuh. Dia jadi simbol. Tapi simbol bisa jadi berbahaya kalau mulai berpikir sendiri.”
Diam-diam, Rayhan mundur. Tak satu pun dari mereka tahu ia mendengar semua itu.
Pagi Berikutnya – Area Latihan RAVEN
Rayhan berdiri sendiri di tengah medan latihan, melepaskan tembakan satu demi satu ke arah target besi. Suara tembakan jadi pelarian dari kekacauan dalam pikirannya.
Layla mendekat.
“Aku dengar kau tak tidur semalam.”
“Sulit tidur kalau bahaya datang dari dua arah.” Rayhan menjawab, tanpa menoleh.
Layla diam beberapa saat, lalu berkata, “Ada perpecahan. Tak semua orang percaya kau tetap berpihak pada tujuan kami.”
“Aku tak butuh mereka percaya,” gumam Rayhan. “Aku hanya ingin kebenaran terungkap.”
Layla menarik napas dalam. “Tapi di sini, kepercayaan adalah mata uang. Tanpa itu, bahkan tentara terbaik bisa dijatuhkan oleh rekannya sendiri.”
Sore Hari – Serangan Tak Terduga
Peringatan alarm berbunyi. Beberapa ledakan terdengar dari sisi timur markas.
“Penyerbuan! Mereka tahu lokasi kita!” teriak salah satu penjaga.
“Tidak mungkin. Hanya lima orang yang tahu rute ke markas ini.”
Rayhan langsung berlari ke pusat kendali. Layar menunjukkan drone tempur dan pasukan bayangan—unit elite Zayana—bergerak cepat menuju markas RAVEN.
“Seseorang membocorkan posisi kita,” kata Layla, matanya tajam.
Rayhan segera menyadari: pengkhianat ada di dalam.
Pengejaran di Dalam Markas
Di tengah kekacauan, Rayhan mengejar Darin, yang terlihat mencurigakan membawa tas besar keluar dari ruang komunikasi.
“DARIN!” Rayhan meneriakkan namanya.
Darin berbalik. Wajahnya penuh keringat dan… rasa bersalah.
“Kau yang memberi lokasi kita ke mereka?”
“Aku tak punya pilihan!” Darin membentak. “Kau pikir kita bisa menang melawan seluruh sistem itu? Aku menyelamatkan kita—dengan kompromi!”
“Kompromi?!” Rayhan menggertakkan gigi. “Kau menyerahkan semua orang yang percaya padamu!”
Darin menarik pistol. Tapi sebelum dia sempat menembak, Layla muncul dari balik lorong dan menembak kakinya. Darin tumbang, berteriak kesakitan.
“Bawa dia ke sel. Kita punya urusan panjang dengannya,” perintah Layla dingin.
Markas berhasil dipertahankan setelah pertempuran sengit. Banyak korban, tapi serangan bisa dipukul mundur. Kini, RAVEN dalam keadaan darurat penuh. Beberapa bunker ditutup. Beberapa anggota hilang.
Rayhan berdiri di atas bukit kecil dekat markas, menatap langit malam. Dunia terasa semakin kacau. Teman menjadi musuh. Musuh menjadi cermin.
Layla menghampirinya.
“Kau masih ingin berperang?”
Rayhan menjawab lirih.
“Perang ini… kini lebih pribadi dari sebelumnya. Tapi bukan soal balas dendam lagi. Ini soal memastikan tak ada lagi yang harus memilih antara berkhianat atau dikubur hidup-hidup.”
Layla menatapnya lama.
“Kalau begitu, kita akan mulai bab baru. Dengan hati-hati. Dengan kepercayaan yang tersisa.”
Bab 7 – Pemburu Dalam Kegelapan
Markas Sementara RAVEN – 3 Hari Setelah Serangan
Udara dingin menembus dinding beton markas bawah tanah RAVEN yang baru dibangun dalam keadaan darurat. Cahaya lampu hanya sesekali berkelip, menyiratkan suasana muram pasca pengkhianatan Darin dan serangan mendadak dari pasukan elite Zayana.
Rayhan berdiri di lorong belakang markas, menatap satu-satunya foto masa kecilnya yang masih tersisa—ia bersama sang ayah, di sebuah ladang penuh bunga matahari. Terlalu jauh dari masa sekarang. Terlalu damai untuk diingat.
Langkah kaki pelan terdengar mendekat. Layla muncul dari balik bayangan.
“Aku dapat info dari jalur bawah tanah. Mereka mengirim orang.”
Rayhan berbalik. “Siapa?”
“Bukan pasukan biasa. Bukan unit. Ini… satu orang.” Layla menyerahkan tablet kecil padanya.
Di layar, sebuah profil terbuka. Tak ada foto. Tak ada catatan pasti. Hanya satu nama panggilan:
Kode: SHD-13
Alias: The Shadow / Si Bayangan
Status: Eksekutor Khusus – Eliminasi Target Prioritas
Riwayat: Tak terdeteksi. Semua target sebelumnya tewas dalam waktu 48 jam.
Rayhan menatap layar dalam diam. Layla bergumam pelan, “Kau jadi terlalu berbahaya untuk mereka, Ray.”
“Biarkan mereka mencoba.”
Malam Pertama – Perburuan Dimulai
Hujan mengguyur distrik industri tua tempat Rayhan bersembunyi untuk melacak jaringan komunikasi musuh. Tapi ia tahu, hujan bukan pelindung. Justru saat seperti inilah sang pemburu beraksi.
Di lorong gelap, seseorang mengawasi. Tak bersuara. Hanya mata tajam dari balik topeng hitam yang menyatu dengan malam.
SHD-13 telah tiba.
Pertarungan Pertama – Bayangan Tanpa Suara
Rayhan menyadari kehadirannya dari getaran kecil di udara. Gerakan yang hampir tak terdengar. Ia menoleh tepat saat sebilah pisau meluncur ke arah lehernya. Refleks tentara lamanya menyelamatkan nyawa—hanya goresan di pipi.
CLANG! Ia menangkis serangan berikutnya dengan bilah baja pendek yang ia sembunyikan di pinggang.
Tak ada suara. Tak ada amarah. Hanya gerakan cepat, akurat, dan mematikan dari Si Bayangan.
“Siapa kau sebenarnya?” teriak Rayhan sambil bertahan.
Tak ada jawaban.
Serangan berikutnya membuat Rayhan terpaksa mundur, masuk ke lorong sempit. Di sanalah ia melihat sesuatu: gaya bertarung musuhnya tak asing. Ada pola yang mirip dengan latihan militer rahasia—hanya satu unit yang pernah dia lihat menggunakannya.
“Kau salah satu dari kami.” Rayhan sadar. “Divisi bayangan. Eksperimen Sigma-0.”
Si Bayangan berhenti sejenak. Sekilas, matanya menunjukkan kilatan ragu.
Itu cukup. Rayhan melemparkan granat flashbang. Ledakan cahaya putih memenuhi lorong. Ia melarikan diri ke jalur bawah tanah, napasnya memburu.
Di Dalam Bunker Lama – Jejak Masa Lalu
Rayhan kembali ke salah satu bunker pelatihan lama militer Zayana—tempat ia pernah dilatih. Tempat ia tahu Si Bayangan juga pernah “dibentuk”.
Ia menyalakan rekaman lama di terminal: latihan brutal, manipulasi psikologis, pencucian otak.
“Mereka membuatmu menjadi senjata, sama seperti mereka mencoba membuatku.” Rayhan berbicara keras, berharap Si Bayangan mengikutinya.
“Tapi kita bukan alat.”
Sebuah suara lirih terdengar dari bayangan: “Aku tak punya pilihan.”
Rayhan terkejut. Suara itu… perempuan. Dingin, tapi terdengar tertekan.
“Mereka mencuri namaku. Hidupku. Mereka hanya memberi satu tugas: bunuh, atau dibuang.”
Rayhan perlahan menaruh senjatanya.
“Lawan mereka bersamaku.”
Diam panjang. Lalu terdengar langkah perlahan. Si Bayangan—seorang wanita bertubuh kecil, mengenakan baju tempur hitam, wajah separuh tertutup—muncul dari balik tiang.
Matanya tajam, tapi kini penuh konflik.
“Namaku dulu—Serin.”
Rayhan tertegun. “Serin… Aku pernah dengar nama itu. Kau salah satu dari lima rekrut terbaik… kau dikira mati.”
“Mereka menguburku. Tapi bukan jasadku, hanya jiwaku.”
Sekutu dari Kegelapan
Serin tak langsung percaya Rayhan, tapi ia tak membunuhnya malam itu. Itu cukup jadi awal. Ia berjanji akan kembali—bukan sebagai pembunuh, tapi sebagai saksi kehancuran sistem yang menciptakannya.
Rayhan berdiri di pintu bunker, menatap tempat Serin menghilang.
“Dari semua senjata yang mereka buat,” gumamnya, “mereka lupa: senjata juga bisa membalik arah.”
Bab 8 – Senyap di Tengah Kota
Pusat Kota Zayana – Tengah Malam
Gedung-gedung pencakar langit berdiri angkuh di bawah cahaya neon. Lalu lintas kota tampak tenang, seperti tak terjadi apa-apa. Tapi di balik layar billboard besar yang menampilkan propaganda Presiden Orlov, mesin penjajahan terus bekerja tanpa henti.
Rayhan, Layla, dan dua anggota RAVEN — Mikha dan Rigo — berdiri di dalam van logistik tua yang berhenti di dekat pusat penyiaran kota. Mereka mengenakan seragam teknisi komunikasi palsu, lengkap dengan ID palsu dan alat pengacak sinyal.
“Begitu kita masuk, kita hanya punya waktu 7 menit sebelum mereka menyadari sistemnya sedang dibajak,” ujar Mikha sambil memeriksa sambungan kabel fiber optik. “Kau yakin ingin menyebar pesan ini sekarang, Ray?”
Rayhan menatap ke arah gedung tinggi di depan mereka. Di lantai paling atas, pusat kontrol media nasional berada — tempat propaganda diproduksi dan disiarkan setiap detik.
“Masyarakat sudah cukup diam. Saatnya mereka mendengar kebenaran, bukan kebohongan,” jawab Rayhan.
Layla menepuk bahu Rayhan pelan. “Ayo. Waktu kita dimulai sekarang.”
Penyusupan
Mereka memasuki gedung lewat jalur servis belakang. Lewat sistem lorong ventilasi dan jalur lift darurat, mereka menuju lantai 27, di mana ruang server utama berada.
Pintu baja terkunci dengan pengenal retina. Mikha mengeluarkan alat pemindai dan kamera mikro.
“30 detik…” gumam Mikha. “25… 20… dan—”
KLIK. Pintu terbuka.
Mereka segera masuk ke dalam, meletakkan alat transmisi dan menghubungkannya ke jaringan pusat. Dalam waktu kurang dari satu menit, semua layar utama kota akan menampilkan siaran langsung dari Rayhan — wajah dari revolusi yang dibungkam selama bertahun-tahun.
Pesan
Cahaya merah menyala. Kamera menyala. Rayhan menatap lensa, mengenakan jaket hitam dan scarf merah RAVEN.
“Nama saya Rayhan Khalid. Dulu aku salah satu dari mereka yang kalian sebut ‘pembela negara’. Kini aku tahu siapa musuh sebenarnya: bukan rakyat, bukan pemberontak, tapi sistem yang memperbudak kita semua.”
“Hari ini, kami menantang kalian untuk melihat dengan mata kalian sendiri—apa yang dilakukan pemerintah Zayana di balik layar: pembantaian, kebohongan, penculikan. Dan kami tak akan diam lagi.”
Pesan berlangsung selama dua menit.
Kemudian layar padam. Mikha langsung mencabut alat. Layla memberi isyarat: “Waktunya kabur.”
Pengkhianatan di Tengah Pelarian
Mereka berlari ke lorong darurat untuk turun kembali ke lantai bawah. Tapi di lantai 17, lift berhenti. Lampu padam. Suara alarm bergema. Dan di layar kecil lift, sebuah wajah muncul — wajah yang mereka kenal semua:
Letnan Jenderal Varesk – Kepala Operasi Dalam Negeri Zayana.
“Rayhan Khalid. Kecil sekali dunia ini. Kau pikir bisa menyentuh sistem kami tanpa kami mengetahuinya?”
“Kau akan mati malam ini. Tapi lebih buruk, kau akan mati sebagai teroris.”
Pertempuran di Gedung
Tim RAVEN terperangkap. Pasukan khusus berseragam hitam menyergap dari dua arah. Baku tembak pecah di koridor sempit. Mikha terluka di bahu, tapi berhasil menutup jalur belakang dengan granat asap.
“Ke arah atap!” teriak Layla. “Helikopter evakuasi datang dalam lima menit!”
Rayhan membantu Mikha berdiri, dan mereka terus bergerak naik, melewati lantai yang terbakar, kaca pecah, dan sisa-sisa kantor yang hancur.
Setibanya di atap, mereka hanya melihat langit gelap. Belum ada tanda evakuasi.
“Mereka terlambat—” gumam Rigo, saat peluru menembus dadanya dari belakang.
Rayhan dan Layla segera berlindung. Pasukan elite Zayana muncul dari pintu tangga — bersenjata penuh.
Rayhan menyiapkan peluru terakhir. Tapi sebelum ia sempat menembak, terdengar suara siulan… lalu sesuatu meluncur dari langit malam.
Seseorang menjatuhkan bom asap dari atas — dan dari helikopter tak bertanda, Serin muncul.
“Ayo! Waktunya pulang!”
Evakuasi dan Dampak
Helikopter berhasil kabur dari atap, tertembak tapi tetap mengudara. Di dalam, Mikha setengah sadar, Layla menggenggam tangannya, dan Rayhan menatap kota di bawah mereka — lampu-lampu yang kini menyala dalam kebingungan.
Dalam hitungan jam, pesan Rayhan telah viral. Rekamannya tersebar di media bawah tanah. Rakyat mulai bertanya. Polisi dikerahkan. Tapi benih keraguan sudah ditanam.
Layla berkata pelan, “Kau baru saja menampar wajah rezim di depan seluruh dunia.”
Rayhan hanya mengangguk. “Sekarang, mereka tak bisa pura-pura lagi.”
Bab 9 – Darah di Balik Bendera
Markas Sementara RAVEN – Dua Hari Setelah Siaran
Pagi itu, markas RAVEN tenggelam dalam keheningan. Tak ada selebrasi. Tak ada senyuman. Misi penyusupan berhasil, tapi semua tahu: balasan dari rezim hanya tinggal hitungan waktu.
Rayhan duduk sendirian di ruang briefing, menatap layar rekaman dari pesan siarannya. Namun, bukan suaranya yang ia dengar kali ini. Ia memutar ulang rekaman lain—data lama yang diberikan oleh Serin malam sebelumnya.
Sebuah arsip video berlabel:
“PROYEK: SIGMA-0 — KLASIFIKASI MERAH”
Ia membuka file itu.
Tahun 2031.
Sebuah ruangan gelap. Lima kursi logam. Di salah satunya, duduk pria tua berjas militer lengkap. Wajahnya tajam. Rambutnya perak. Di dada kirinya, lencana Jenderal Khalid N. Rasyid — ayah Rayhan.
Rayhan terpaku. Napasnya terhenti.
“Proyek ini akan melahirkan pelindung mutlak. Tanpa belas kasihan. Tanpa keraguan. Tanpa identitas.”
“Kita tak butuh tentara. Kita butuh alat.”
Suara ayahnya terdengar dingin. Bukan seperti sosok yang Rayhan kenal — bukan ayah yang membawanya ke ladang bunga, mengajarkannya tentang kehormatan.
“Dan jika mereka gagal… kita buang. Seperti sampah.”
Konfrontasi Diri
Layla masuk ke ruangan, membawa kopi hangat. Ia berhenti saat melihat ekspresi Rayhan.
“Ray… kau kenapa?”
Rayhan tak menjawab. Ia hanya menoleh, memperlihatkan layar. Layla membaca cepat, lalu mendesah panjang.
“Ini—ayahmu?”
“Iya,” jawab Rayhan pelan. “Dia yang memulai proyek yang melahirkan Serin. Proyek pembunuh. Dia yang membentuk mesin tanpa jiwa itu… dan dia membentukku.”
Rayhan berdiri, menggenggam sisi meja seolah menahan amarah yang tak bisa lagi ditahan. “Selama ini aku pikir dia korban. Pahlawan. Tapi dia adalah akar dari segalanya.”
Layla mencoba menenangkan. “Kita semua dibesarkan oleh sistem ini. Tapi tak semua sadar. Kau sadar. Itu yang membedakanmu.”
Rayhan menatap Layla. Matanya basah, tapi penuh bara. “Apa aku sungguh beda, Layla? Atau aku hanya warisan dari kebohongan yang sama?”
Misi Baru: Mengungkap Arsip Hitam
Dalam rapat singkat, RAVEN menyusun misi berikutnya: menyusup ke Arsip Hitam — fasilitas rahasia di bawah kantor Kementerian Pertahanan Zayana, tempat semua file level MERAH disimpan secara fisik dan digital.
“Jika kita bisa membongkar semua arsip ini dan menunjukkannya ke publik,” kata Mikha yang kini dibalut perban, “kita bisa mengguncang pondasi negara.”
Rayhan setuju. Tapi diam-diam, ia punya alasan pribadi: ia ingin tahu semua dosa ayahnya. Bukan untuk balas dendam, tapi untuk menentukan — apakah ia masih bisa mempercayai darah yang mengalir dalam dirinya?
Pertemuan Rahasia
Malam itu, Rayhan menerima pesan kode yang hanya bisa dibuka dengan pengenal DNA. Pengirimnya: “K.N.R.”
Isinya:
“Jika kau membaca ini, berarti kau tahu. Aku tak bisa menghapus masa lalu. Tapi aku bisa beritahu: aku menyesal. Proyek Sigma-0 adalah keputusan terburuk yang pernah kuambil. Aku percaya pada sistem, hingga sistem itu menelan anak-anak yang ku bentuk.”
“Termasuk kau.”
“Jika kau ingin kebenaran, cari Ruang 13 di Arsip Hitam. Di sana semua dimulai… dan berakhir.”
Rayhan menatap pesan itu lama. Ia memejamkan mata. Untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, ia merasa seperti anak kecil yang kehilangan arah — lagi.
Tapi saat membuka mata, ia tahu apa yang harus dilakukan.
“Kita berangkat malam besok.”
Warisan dan Pilihan
Rayhan menatap foto lama ayahnya — kini penuh retakan. Ia menggenggamnya, lalu menyelipkan ke dalam jaket.
Layla berdiri di pintu. “Siap?”
Rayhan mengangguk.
“Sudah waktunya kutentukan: aku anak siapa. Dan siapa aku sebenarnya.”
Bab 10 – Ruang 13
Kementerian Pertahanan Zayana – 03:27 WIB
Langit di atas ibukota mendung. Hujan rintik membasahi kaca jendela fasilitas Kementerian Pertahanan, menciptakan ilusi tenang yang menipu. Di bawah permukaan, lebih dari 30 meter ke dalam tanah, berdiri Arsip Hitam — fasilitas tertutup dengan pengamanan tingkat dewa, hanya bisa diakses oleh tiga orang di pemerintahan.
Namun malam ini, orang keempat datang — tanpa izin.
Rayhan dan timnya menyelinap masuk menggunakan terowongan pembuangan lama yang terkoneksi ke sistem drainase bawah tanah kementerian. Lorong-lorong itu gelap, lembap, dan beracun. Rigo memimpin di depan, memotong kabel sensor dan memetakan jalur. Di belakangnya, Layla, Mikha, dan Rayhan bergerak senyap.
“Gerbang sensor di depan. Mikha, aktifkan penjinaknya,” perintah Layla.
Mikha mengangguk dan menyambungkan alat pengacak denyut listrik mini ke sistem pintu. Dalam dua menit, pintu geser terbuka.
Di baliknya, koridor putih dengan pencahayaan dingin menyambut mereka. Steril. Sunyi. Seperti makam teknologi.
“Kita cari Ruang 13. Sesuai pesan terakhir dari ayahmu,” kata Layla pelan.
Rayhan mengangguk, menggenggam kuat senjatanya. “Ayo akhiri semua ini.”
Labirin Kebenaran
Arsip Hitam tidak diberi label biasa. Nomor ruangan bukan urutan numerik, melainkan kode yang hanya bisa dibaca jika sistem mengenali DNA pengakses.
Namun Rayhan punya sesuatu yang tidak dimiliki siapa pun: DNA ayahnya.
Ia membuka sebuah lencana identitas tua dari jas militer peninggalan ayahnya dan menempelkannya pada panel biometrik. “Memindai… DNA cocok. Mengakses jalur internal.”
Tembok di ujung koridor perlahan terbuka, menampakkan lorong gelap tanpa lampu. Di ujungnya tertulis angka samar:
X-13
Ruang 13.
Isi Ruang 13
Ruang itu tak lebih dari 8×10 meter. Rak-rak besi tua penuh kaset data, rekaman video, dan berkas fisik. Di tengahnya, satu meja logam dan layar interaktif tua.
Rayhan menyalakan layar. Kata sandi diminta.
Ia memasukkan: “SIGMA”
Ditolak.
Ia mencoba: “KHALID”
Ditolak.
Ia mencoba lagi, ragu, tapi yakin: “ANAKKU”
Layar menyala.
Satu folder muncul:
📁 Proyek Sigma-0: Asal Muasal & Korban
Kebenaran yang Terkubur
File pertama: video rekrutmen. Anak-anak yatim, hasil dari perang yang dilakukan Zayana, direkrut paksa oleh tentara. Usia mereka antara 6-10 tahun. Disuntik, dilatih, dilucuti identitas.
“Kami tidak butuh manusia,” suara petinggi terdengar. “Kami butuh senjata.”
File kedua: profil eksperimen. “Subjek-07: SERIN”
Wajah kecil Serin muncul di layar. Rambut hitam. Tatapan kosong.
“Subjek paling efisien. Namun cenderung mempertanyakan instruksi. Harus dikondisikan ulang.”
Rayhan memukul meja. Giginya gemeretak.
File ketiga: kejutan.
📄 Subjek-12: RAYHAN K.
Ia terpaku.
“Hasil dari program persilangan elite militer. Disiapkan untuk misi jangka panjang infiltrasi sosial-politik. Dilepas ke masyarakat melalui skenario adopsi.”
Rayhan gemetar.
“Aku… juga bagian dari eksperimen mereka?”
Layla menatapnya dengan mata terbelalak. Mikha mendekat, membaca cepat.
“Kau adalah rencana terakhir mereka, Ray. Kau bukan cuma bagian dari sistem. Kau adalah kunci yang dimasukkan ke dalam dunia luar.”
Pilihan Terakhir
Tiba-tiba, alarm berbunyi. Sistem keamanan mendeteksi keberadaan tak sah.
“Waktu kita habis!” teriak Rigo dari lorong. “Pasukan bergerak ke bawah!”
Rayhan mengambil seluruh hard drive dari Ruang 13 dan menyimpannya di tas antipeluru.
Sebelum pergi, ia menoleh ke layar. Wajah ayahnya muncul dalam video terakhir.
“Rayhan… jika kau melihat ini, berarti mereka sudah tahu siapa kau. Tapi ingat: siapa kau ditentukan oleh apa yang kau pilih sekarang. Kau bisa jadi senjata… atau jadi manusia.”
Rayhan tak berkata apa-apa. Tapi dalam hatinya, ia memilih.
Ia menyalakan bom EMP mini.
“Kita bakar sisa kebenaran ini. Dan kita bawa keluar nyala revolusi.”
Pelarian di Tengah Ledakan
Tim RAVEN berlari melewati koridor sempit sambil menembak. Ledakan mengguncang lantai bawah. Alarm membahana. Asap mengepul.
Mereka nyaris tertangkap di pintu keluar lorong, namun dibantu oleh Serin yang datang dengan drone pengacau. Di tengah kekacauan, mereka berhasil melarikan diri melalui kanal bawah tanah.
Kebangkitan
Di markas persembunyian, Rayhan menatap layar laptop. Hard drive berhasil didekripsi.
Semua data siap disebarkan ke dunia.
Layla bertanya, “Apa kita benar-benar siap membuka semua ini?”
Rayhan mengangguk. Wajahnya tak lagi ragu.
“Bukan hanya siap. Kita harus. Karena sekarang aku tahu siapa aku. Dan aku memilih jadi manusia.”
Bab 11 – Tembok Terakhir
Perbatasan Distrik Sentral – 04:45 WIB
Kabut pagi menggantung berat di atas Distrik Sentral, jantung pemerintahan Zayana. Gedung-gedung tinggi tampak seperti menara bisu, mengawasi rakyat yang selama ini dibungkam. Tapi pagi ini berbeda. Di jalanan, ribuan orang mulai berkumpul.
Rayhan berdiri di atap sebuah gedung tua, memandangi lautan manusia yang bergerak perlahan, membawa spanduk, tanda tangan, bahkan bendera-bendera yang sebelumnya dilarang.
“Ini dia,” gumamnya. “Kebenaran sudah disebar, dan sekarang… rakyat mulai bangkit.”
Di belakangnya, Layla memeriksa sinyal drone pengamat. Mikha sibuk memperkuat koneksi ke stasiun relay bawah tanah. Serin berdiri diam, matanya memperhatikan gerakan militer di seberang.
“Pasukan pemerintah sudah mulai menyebar. Mereka akan coba hentikan ini sebelum membesar,” ucap Serin tanpa ekspresi.
Rayhan mengangguk. “Kita hanya punya satu kesempatan. Sekali tembok ini roboh, tak ada jalan kembali.”
Rencana Serangan: Operasi MERDEKA
Mereka menamainya Operasi MERDEKA — bukan karena ingin menciptakan perang, tapi karena ini adalah pertempuran terakhir untuk menyampaikan suara rakyat.
Tujuannya hanya satu: mengambil alih siaran utama nasional dan mengumumkan kepada seluruh negeri apa yang sebenarnya terjadi selama ini.
Targetnya: Menara Komando Zayana.
Tempat Presiden dan seluruh elit pemerintah berlindung.
Sebuah benteng baja dan data.
“Kita tak bisa mendobrak masuk seperti biasa,” ujar Layla. “Tapi kita bisa menembus dari atas. Aku temukan celah di sistem pengawasan udara—disebabkan siaran video kebenaran kita semalam.”
Rayhan memandang peta hologram.
“Kita turunkan semua sinyal propaganda dan ganti dengan pesan kita. Sekali tayang, dunia akan tahu segalanya.”
Menyusup ke Jantung Kegelapan
Tepat pukul 06:00, tim RAVEN yang terbagi dalam tiga kelompok bergerak. Serin memimpin penyusupan udara menggunakan glider stealth, sementara Rayhan, Layla, dan Mikha menyelinap melalui kanal pelayanan menuju pusat sistem komunikasi.
Di lorong bawah tanah, mereka harus menghindari pasukan elit yang kini berjaga tiga kali lipat lebih ketat dari biasanya. Suara sepatu bot, pantulan lampu senter, dan deru mesin pengawas menegangkan setiap detik.
Mikha nyaris tertangkap saat menjinakkan panel listrik, tapi Layla berhasil mengalihkan perhatian penjaga dengan umpan ledakan kecil.
Mereka sampai di pusat siaran.
Dan saat Rayhan menempelkan hard drive data ke sistem utama, alarm berbunyi.
“Gagal menyamarkan sinyal!” teriak Mikha. “Mereka tahu kita di sini!”
Serin muncul dari jalur ventilasi, wajahnya kotor oleh debu, tapi matanya tajam.
“Kita tak butuh sembunyi lagi.”
Rayhan menekan tombol.
“Siaran dimulai.”
Siaran Paling Jujur dalam Sejarah
Layar-layar raksasa di seluruh kota tiba-tiba berubah. Gambar presiden dan propaganda biasa lenyap. Digantikan wajah Rayhan.
“Rakyat Zayana…” suaranya tegas, jernih. “…selama puluhan tahun kalian dijaga oleh dinding kebohongan. Hari ini, dinding itu runtuh.”
Video demi video diputar. Percobaan Sigma-0. Kesaksian korban. Data penyiksaan. Identitas para perancang proyek rahasia. Nama-nama petinggi yang selama ini dianggap penyelamat.
Di jalanan, rakyat menangis. Beberapa marah. Beberapa hanya terdiam. Tapi semua tahu: tidak ada jalan mundur.
Pertempuran di Menara
Tak lama, pasukan pemerintah menyerbu pusat siaran. Ledakan mengguncang ruangan. RAVEN bertahan. Serin melawan dengan gerakan presisi, mengeliminasi lawan tanpa ampun.
Layla terkena tembakan di bahu, tapi tetap bertahan sambil memandu sinyal agar tak terputus.
Rayhan melawan satu lawan satu dengan komandan pasukan pemerintah — Kolonel Dirga, orang kepercayaan Presiden.
“Kau pikir ini akan mengubah sesuatu, bocah?”
“Tidak hanya mengubah. Ini akan menghancurkan segalanya yang kalian bangun dengan darah orang tak bersalah.”
Pertarungan berlangsung brutal. Tapi akhirnya, Rayhan menang — bukan karena kekuatan, tapi karena keyakinan.
Tembok Itu Akhirnya Runtuh
Saat sinyal berhasil dikunci, seluruh isi data tuntas ditayangkan, dan siaran tak bisa dihentikan lagi, bahkan jika server dihancurkan.
Presiden tak muncul. Para jenderal diam. Rakyat sudah melihat segalanya.
Dari atap Menara Komando, Rayhan berdiri bersama RAVEN.
Ratusan ribu orang di bawah menatap mereka. Tidak dengan takut. Tapi dengan harapan.
“Hari ini,” ujar Rayhan ke mikrofon, “kita ambil kembali nama kita. Kita ambil kembali negara ini. Dan kita tak akan biarkan sejarah dibungkam lagi.”
Permulaan Baru
Di tengah langit yang mulai cerah, bendera RAVEN — bukan sebagai pemberontak, tapi sebagai suara kebenaran — dikibarkan.
Tembok terakhir sudah runtuh.
Yang tersisa hanya jalan panjang menuju kebebasan.
Bab 12 – Setelah Api Padam
Ibukota Zayana – 2 Minggu Setelah Revolusi
Langit Zayana terlihat berbeda. Bukan karena cuacanya berubah, tapi karena suasananya. Tidak lagi dipenuhi suara sirene militer atau propaganda dari pengeras suara. Kini, jalanan dipenuhi orang-orang biasa yang sibuk membangun kembali hidup mereka.
Namun, bukan berarti segalanya menjadi damai.
Rayhan duduk di ruang rapat darurat di Balai Rakyat — gedung yang dulu menjadi pusat sensor dan manipulasi data, kini disulap menjadi pusat komunikasi antara rakyat dan pemerintahan transisi.
Di depannya, puluhan perwakilan sipil, mantan aktivis bawah tanah, mantan tentara yang membelot, dan bahkan beberapa jurnalis asing duduk menunggu arah.
“Rakyat menunggu, Rayhan. Mereka ingin tahu siapa yang memimpin sekarang.”
Layla, yang kini menjabat sebagai koordinator informasi rakyat, bicara pelan, tapi matanya tajam.
Rayhan menghela napas. “Aku tak ingin jadi pemimpin.”
“Tapi kamu yang membuka pintunya. Mereka tidak percaya pada sistem lama, tapi mereka percaya padamu,” sahut Mikha dari sudut ruangan, sibuk dengan data survei opini publik.
“Kalau bukan kamu yang memimpin, maka akan ada yang lain. Dan bisa saja, mereka bukan dari pihak yang benar.”
Serin berdiri di samping, diam, tapi ucapannya menggema seperti peringatan.
Bayang-Bayang Lama
Meskipun Presiden dan elit pemerintah lama melarikan diri atau ditahan, para pendukung mereka masih banyak. Mereka bersembunyi di distrik-distrik luar, menyusun rencana balasan.
Di tengah keraguan ini, beredar kabar: “Gerakan Penjaga Stabilitas Nasional” — faksi baru yang muncul dari sisa-sisa kekuatan lama — menyebarkan desas-desus bahwa RAVEN hanya menggantikan tirani lama dengan yang baru.
“Lihat? Mereka sudah mulai mengubah narasi,” kata Layla sambil menunjukkan potongan video palsu yang menunjukkan Rayhan sedang menyiksa tahanan, jelas hasil manipulasi.
“Mereka akan coba ulang sejarah. Ubah kamu jadi musuh.”
Keputusan Berat
Di malam hari, Rayhan duduk sendiri di atas atap Balai Rakyat, menatap puing-puing gedung-gedung tua yang dulu jadi simbol penindasan. Di tangannya, rekaman terakhir dari ayahnya.
“Kamu tidak bisa memilih untuk tidak menjadi bagian dari sejarah, Rayhan. Tapi kamu bisa memilih caramu dikenang.”
Rayhan menggenggam liontin tua ayahnya. Esok pagi, ia harus membuat pilihan: apakah akan memimpin rakyat, atau tetap menjadi bayangan di balik revolusi.
Hari Pengumuman
Lapangan utama ibukota dipenuhi puluhan ribu warga. Semuanya menunggu satu suara.
Rayhan naik ke podium sederhana. Ia mengenakan pakaian biasa, bukan seragam atau jas resmi. Hanya jaket tua milik ayahnya.
“Aku tidak datang untuk menguasai,” ucapnya lantang. “Aku datang untuk memastikan kalian yang berkuasa atas hidup kalian sendiri.”
Suara gemuruh terdengar.
“Zayana bukan lagi milik satu orang. Mulai hari ini, kita bentuk dewan rakyat transisi. Siapa pun bisa mengajukan diri. Tapi kalianlah yang memutuskan.”
Ia menutup dengan kalimat sederhana yang akan diingat rakyat Zayana selamanya:
“Revolusi tidak selesai saat tembok runtuh. Ia baru dimulai saat kita belajar membangun tanpa ketakutan.”
Bibit Masa Depan
Malam harinya, Layla, Mikha, dan Serin berkumpul bersama Rayhan di atap gedung yang dulu dipakai menyusup. Mereka menatap lampu-lampu kota yang perlahan menyala kembali.
“Jadi, kau benar-benar tak akan jadi pemimpin?” tanya Mikha.
“Aku akan jadi penjaga. Tapi pemimpin… itu tugas mereka,” jawab Rayhan sambil menunjuk ke arah rakyat di bawah.
Serin tersenyum samar, mungkin untuk pertama kalinya.
“Kita bukan lagi RAVEN. Kita hanya… manusia biasa yang tidak menyerah.”***