• Latest
  • Trending
  • All
  • Movie Review
  • Box Office
  • Trailer
  • Action
  • Romantic
  • Comedy
  • Horror
  • Serial Movie
  • Genre
DI ANTARA DUA WAKTU

DI ANTARA DUA WAKTU

February 12, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025
JEJAK DI PINTU TERLARANG

JEJAK DI PINTU TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

May 17, 2025
TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

May 17, 2025
PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

May 12, 2025
HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

May 12, 2025
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

May 10, 2025
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

LUKISAN YANG MENANGIS

May 10, 2025
  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
No Result
View All Result
Novel Story
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah
Novel Story
DI ANTARA DUA WAKTU

DI ANTARA DUA WAKTU

by SAME KADE
February 12, 2025
in Romansa
Reading Time: 27 mins read

Bab 1: Jam Saku Tua

Matahari hampir tenggelam ketika Aruna menyingkirkan debu terakhir dari sebuah meja kayu tua di reruntuhan rumah kuno. Sebagai arkeolog muda, ia sangat bersemangat dengan penemuan ini. Rumah tersebut dipercaya milik seorang bangsawan zaman kolonial yang hilang dari catatan sejarah. Hari itu, Aruna merasa seperti sedang menggali kisah yang terhapus oleh waktu.

“Apa itu?” tanya Dika, rekan kerja sekaligus sahabatnya, sambil menunjuk ke sebuah benda kecil berwarna keemasan yang tersembunyi di antara tumpukan kayu lapuk. Aruna memungutnya dengan hati-hati. Itu adalah sebuah jam saku tua

Jam itu memiliki ukiran bunga teratai di bagian depannya dan sebuah rantai yang berkarat namun masih utuh. Ketika ia membuka penutupnya, ia mendapati jarum jam yang tidak bergerak, berhenti tepat di angka 12:15. Meski begitu, keindahan jam itu tak terbantahkan. Ada sesuatu yang misterius dan memikat tentangnya.

“Kelihatannya seperti barang mewah,” kata Dika sambil memperhatikan ukiran halus di sekitar jam. “Tapi aneh. Kenapa jamnya berhenti di tengah waktu”

Aruna tersenyum kecil. “Mungkin jam ini menyimpan rahasia masa lalu,” jawabnya sambil mengamati ukiran di dalamnya. Ia menemukan sebuah inisial di sisi dalam jam, ‘A.D.’.

Namun, sesuatu yang aneh terjadi. Ketika Aruna menyentuh jarum jam yang terhenti itu, sebuah getaran halus menjalar ke seluruh tubuhnya. Matanya tiba-tiba terasa berat, dan suara di sekitarnya memudar. Sebelum ia menyadarinya, tubuhnya jatuh ke tanah.

Aruna terbangun dengan pusing di kepalanya. Ia mengira dirinya masih berada di reruntuhan, tetapi pemandangan di sekitarnya telah berubah. Rumah yang sebelumnya berupa puing-puing kini berdiri megah, lengkap dengan taman bunga yang indah di depannya. Jalanan berdebu dipenuhi oleh orang-orang berpakaian ala kolonial, kereta kuda berlalu-lalang, dan udara yang terasa lebih segar.

“Apa aku sedang bermimpi?” gumamnya pelan.

Ia memeriksa jam saku itu, yang masih ada di genggamannya. Anehnya, jam tersebut kini berdetak pelan, jarumnya bergerak kembali seperti biasa. Namun, waktu yang tertera di sana tetap menunjukkan pukul 12:15.

“Permisi, Nona, Anda baik-baik saja?” suara seorang pria mengagetkannya. Aruna menoleh dan mendapati seorang pria muda berdiri di hadapannya. Pakaiannya rapi, lengkap dengan topi fedora, dan wajahnya dihiasi senyum hangat.

Aruna merasa kebingungan. “Saya… eh… iya, saya baik-baik saja,” jawabnya terbata-bata.

“Aneh melihat seseorang seperti Anda di sini,” kata pria itu sambil mengamatinya dari ujung kepala hingga kaki. “Pakaian Anda… sangat tidak biasa.”

Baru saat itu Aruna menyadari bahwa ia masih mengenakan celana jeans, kaus sederhana, dan jaket kulitnya—sesuatu yang benar-benar tidak sesuai dengan zaman ini. Jantungnya mulai berdebar. Di mana aku sebenarnya?

Pria itu memperkenalkan dirinya sebagai Aksara Dharma seorang penulis muda yang tinggal di daerah tersebut. Ia menawarkan bantuan untuk mengantar Aruna ke tempat yang aman. Dengan terpaksa, Aruna mengikutinya sambil terus memegang erat jam saku di tangannya.

Sementara mereka berjalan, pikiran Aruna dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan. Bagaimana ia bisa sampai ke tempat ini? Apa hubungan jam saku itu dengan semua ini? Dan siapa sebenarnya Aksara Dharma?*

Bab 2: Dunia Aksara

Aruna duduk di sebuah kursi kayu di beranda rumah Aksara, matanya mengamati dunia yang terasa asing namun memikat di sekelilingnya. Rumah Aksara sederhana, berdinding kayu dengan jendela besar yang menghadap ke taman penuh bunga kenanga. Di kejauhan, terlihat deretan pedagang kaki lima yang menjajakan barang-barang, sementara suara sepatu kuda yang menghentak jalan berbatu terdengar dari arah jalan utama.

“Apa yang membuatmu ke sini sendirian, Nona Aruna?” tanya Aksara sambil menuangkan teh dari teko porselen ke dalam cangkir mungil.

Aruna tersentak dari lamunannya. Ia menatap pria itu, merasa bingung harus berkata apa. “Aku… tersesat,” jawabnya pelan, mencoba menyusun kata-kata yang masuk akal. Ia tahu ia tidak bisa mengatakan bahwa ia berasal dari masa depan—itu terlalu aneh bahkan untuk dirinya sendiri. “Aku tidak sengaja sampai di sini, dan semuanya terasa… baru.”

Aksara menatapnya dengan penasaran. “Pakaianmu memang tak seperti yang biasa kulihat di sini. Dan aku rasa, aksenmu juga berbeda.” Ia tersenyum kecil, seolah berusaha membuat Aruna merasa nyaman. “Namun, aku tidak akan bertanya lebih jauh kalau itu membuatmu tak nyaman. Kau bisa tinggal di sini sementara waktu sampai kau merasa siap untuk kembali.”

Aruna mengangguk ragu. Ada sesuatu dalam tatapan Aksara yang menenangkan, meski pria itu masih terasa asing baginya. Ia mengalihkan perhatian ke dalam rumah, mencoba menyerap detail-detailnya. Dinding ruang tamu dipenuhi rak buku, sebagian besar dengan sampul yang sudah lusuh, dan di sudut ruangan ada meja kayu penuh kertas berserakan.

“Kau suka membaca?” tanya Aruna, mencoba mengalihkan topik pembicaraan.

Aksara tersenyum lebar. “Membaca adalah salah satu pelarianku dari dunia yang terlalu keras ini. Dan menulis adalah cara untuk menyuarakan pikiranku. Meski, tak semua orang di sini setuju dengan apa yang kutulis.”

Aruna mengerutkan kening. “Apa maksudmu?”

Aksara meletakkan cangkir tehnya. “Aku menulis tentang kebebasan berpikir, tentang bagaimana masyarakat harus bisa lebih terbuka pada perubahan. Namun, pandangan seperti itu sering dianggap berbahaya di sini. Orang-orang lebih suka mempertahankan tradisi, meski tradisi itu membuat banyak orang menderita.”

Aruna terdiam. Perkataan Aksara membuatnya kagum. Untuk seorang pria di tahun 1920, pikirannya terasa begitu maju. Ia melihat secercah kegigihan dan keberanian dalam mata Aksara, sesuatu yang membuatnya ingin tahu lebih banyak tentang pria itu.

“Kalau begitu, kau pasti seorang revolusioner,” ujar Aruna dengan nada bercanda, mencoba meringankan suasana.

Aksara tertawa kecil. “Entahlah. Mungkin aku hanya seorang pemimpi yang terlalu percaya bahwa dunia bisa menjadi tempat yang lebih baik.”

Mereka berbicara panjang lebar, dan Aruna mulai merasa nyaman. Aksara menceritakan kehidupan sehari-hari di tahun 1920—tentang bagaimana teknologi mulai berkembang, tentang perjuangan kaum muda yang ingin melepaskan diri dari tradisi, hingga tentang ketegangan politik yang semakin meningkat. Meski begitu, ada keindahan dalam kehidupan sederhana mereka. Semua orang saling mengenal, dan ada kehangatan dalam cara mereka hidup berdampingan.

Namun, meski Aruna mulai menikmati percakapan itu, pikirannya tetap dipenuhi kebingungan. Ia masih tidak tahu bagaimana bisa terjebak di masa ini, dan yang lebih penting, bagaimana caranya kembali ke masa kini. Jam saku itu—yang kini tersimpan aman di saku jaketnya—seolah menjadi kunci dari segalanya, tetapi ia belum memahami cara kerjanya.

“Aksara,” tanya Aruna perlahan, “apakah kau pernah mendengar tentang jam saku yang bisa… melakukan hal aneh?”

Pria itu menatapnya dengan kening berkerut. “Jam saku yang aneh? Maksudmu seperti apa?”

Aruna ragu sejenak sebelum menjawab. “Jam yang… mungkin punya kekuatan tertentu. Sesuatu yang lebih dari sekadar alat penunjuk waktu.”

Aksara terdiam sejenak, lalu tertawa kecil. “Kedengarannya seperti cerita dongeng. Tapi aku tidak meremehkan kemungkinan. Dunia ini penuh dengan keajaiban yang tak terjelaskan. Namun, aku belum pernah melihat jam seperti itu.”

Jawaban itu membuat Aruna kecewa, tetapi ia tidak menunjukkannya. Sebagai gantinya, ia bertanya lebih banyak tentang kehidupan Aksara—tentang buku yang sedang ia tulis, tentang kota kecil tempat mereka berada, dan tentang harapan-harapannya untuk masa depan. Tanpa disadari, mereka menghabiskan waktu hingga malam tiba.

Saat mereka berpisah untuk tidur, Aruna duduk di tepi tempat tidur yang disediakan Aksara untuknya. Ia menggenggam jam saku itu, menatap jarum jam yang terus berdetak pelan. Dunia Aksara terasa begitu nyata, tetapi Aruna tahu bahwa ia tidak seharusnya ada di sini. Ia merindukan dunianya sendiri, tetapi ia juga tidak bisa mengabaikan daya tarik pria itu dan kehidupannya yang sederhana namun penuh makna.

Di luar jendela, bulan bersinar terang, menyinari dunia yang asing ini. Aruna tahu bahwa perjalanan ini baru saja dimulai, dan ia belum sepenuhnya memahami apa yang sedang menantinya.*

Bab 3: Kembali ke Masa Kini

Pagi itu, suara ayam berkokok menggema di kejauhan, membangunkan Aruna dari tidurnya. Ia membuka mata perlahan, merasa sedikit bingung melihat ruangan sederhana tempat ia berada. Tirai putih yang melambai lembut di jendela dan aroma teh hangat yang samar-samar menyadarkannya bahwa ia masih berada di dunia Aksara.

Namun, ingatan tentang kehidupannya di masa kini menghantui pikirannya. Jam saku yang ia temukan menjadi sumber kegelisahan. Bagaimana benda itu bisa membawanya ke tempat ini? Lebih penting lagi, bagaimana cara ia kembali ke rumah?

“Aku harus menemukan jawabannya,” gumam Aruna sambil mengeluarkan jam saku dari saku jaketnya. Ia menatap jarum jam yang terus berdetak, tetapi waktu di sana tetap menunjukkan pukul 12:15—seolah membeku di satu momen tertentu.

Saat ia masih tenggelam dalam pikirannya, suara ketukan di pintu mengalihkan perhatiannya.

“Aruna? Sarapan sudah siap,” suara Aksara terdengar dari balik pintu.

Aruna tersenyum kecil meski hatinya terasa berat. Ia menyimpan jam saku itu kembali ke saku jaketnya dan keluar menemui Aksara. Di meja makan, Aksara sudah menyiapkan nasi goreng sederhana dengan telur mata sapi.

“Jadi, apa rencanamu hari ini?” tanya Aksara sambil menuangkan teh ke cangkirnya.

Aruna terdiam sejenak. Ia ingin berkata bahwa ia harus menemukan cara kembali ke masanya, tetapi ia tidak tahu bagaimana cara menjelaskannya tanpa membuat Aksara berpikir bahwa ia sudah kehilangan akal.

“Aku ingin berjalan-jalan sebentar,” jawab Aruna akhirnya. “Mungkin mencari sesuatu yang bisa… membantuku.”

Aksara mengangguk pelan. “Baiklah. Kalau kau membutuhkan sesuatu, jangan ragu untuk bertanya. Aku akan berada di sini, mencoba menyelesaikan tulisanku.”

Setelah sarapan, Aruna memutuskan untuk berjalan-jalan ke sekitar kota kecil itu. Ia mencoba mengamati lingkungan dengan lebih saksama, berharap menemukan petunjuk tentang jam saku misterius itu. Namun, semakin lama ia berjalan, semakin besar rasa asing yang ia rasakan. Dunia ini begitu berbeda—terasa lambat, penuh kesederhanaan, namun juga begitu nyata.

Di tengah perjalanan, ia menemukan sebuah pasar kecil yang ramai dengan pedagang dan pembeli. Ia berhenti di sebuah kios antik yang menjual jam-jam tua, berharap mungkin pemilik kios itu tahu sesuatu tentang jam sakunya.

“Permisi,” ujar Aruna kepada seorang pria tua yang menjaga kios itu. “Apakah Anda pernah melihat jam saku seperti ini?”

Ia menunjukkan jam tersebut. Pria tua itu mengamatinya dengan cermat, lalu menggeleng pelan. “Jam ini… unik. Aku belum pernah melihat yang seperti ini sebelumnya. Ukirannya indah, tetapi terasa seperti menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar keindahan.”

Aruna merasa kecewa tetapi tidak menunjukkan perasaannya. Ia mengucapkan terima kasih kepada pria tua itu dan melanjutkan perjalanannya.

Ketika matahari mulai terik, ia kembali ke rumah Aksara. Di tengah jalan, ia merasa tubuhnya tiba-tiba terasa berat. Pandangannya mulai kabur, dan suara-suara di sekelilingnya terdengar sayup-sayup.

Aruna terjatuh ke tanah, dan dalam sekejap, dunia di sekelilingnya mulai memudar. Cahaya terang membutakan matanya, dan ia merasa seperti sedang ditarik oleh kekuatan tak terlihat.

Ketika Aruna membuka matanya lagi, ia mendapati dirinya terbaring di atas tanah berdebu. Napasnya tersengal, dan tubuhnya terasa lelah. Ia melihat sekeliling dan menyadari bahwa ia kembali ke reruntuhan rumah tempat ia menemukan jam saku itu.

“Aku… kembali,” bisiknya.

Langit di atasnya mulai gelap, menandakan senja sudah tiba. Tidak ada tanda-tanda Aksara atau dunia yang baru saja ia tinggalkan. Semua terasa seperti mimpi, tetapi jam saku di tangannya adalah bukti bahwa apa yang ia alami benar-benar terjadi.

“Aruna! Di mana saja kamu?” suara Dika memanggil dari kejauhan.

Aruna menoleh dan melihat sahabatnya itu berlari mendekat dengan wajah penuh kekhawatiran.

“Kamu baik-baik saja? Aku mencarimu sejak tadi! Tiba-tiba kamu hilang, dan aku pikir sesuatu terjadi padamu,” ujar Dika dengan nada cemas.

Aruna mencoba menjelaskan dengan singkat bahwa ia hanya tersesat di area penggalian, tetapi ia tidak menyebutkan apa yang sebenarnya terjadi. Dika tampak lega tetapi masih memandangnya dengan tatapan curiga.

Malam itu, di kamarnya, Aruna duduk sendirian dengan jam saku di tangannya. Ia mencoba memutar-mutar jarum jam itu, tetapi tidak ada yang terjadi. Perasaan rindu akan dunia Aksara mulai menyelimutinya. Ia teringat percakapan mereka, tatapan hangat Aksara, dan kehidupan yang berbeda namun penuh makna di sana.

“Apakah aku akan bertemu lagi denganmu?” gumamnya pelan, menatap jarum jam yang kini kembali terhenti di angka 12:15.

Aruna tahu bahwa perjalanan ini belum selesai. Ada sesuatu yang belum ia pahami, sesuatu yang menghubungkan dirinya dengan jam saku itu—dan dengan Aksara. Namun, untuk saat ini, ia harus menerima kenyataan bahwa ia kembali ke masa kini, meski hatinya tertinggal di masa lalu.

kini, meski hatinya tertinggal di masa lalu.*

Bab 4: Menyusuri Jejak Aksara

Malam itu, Aruna duduk di depan laptopnya, memandangi layar yang kosong. Jam saku misterius itu tergeletak di meja, jarumnya masih menunjukkan pukul 12:15, diam seperti sebuah rahasia yang enggan terungkap. Ia tidak bisa mengabaikan perasaan hampa yang mengisi hatinya sejak kembali ke masa kini. Dunia terasa sepi tanpa suara hangat Aksara dan kehidupan sederhana di masa lalu.

“Aksara Dharma,” gumam Aruna pelan, menuliskan nama itu di mesin pencari.

Hasilnya langsung muncul, tetapi informasi tentang Aksara sangat terbatas. Sebagian besar mengacu pada karya-karyanya yang dianggap sebagai tulisan progresif di awal abad ke-20. Ia menemukan bahwa Aksara adalah seorang penulis yang berani menantang norma tradisional pada zamannya, memperjuangkan kebebasan berpikir dan hak-hak individu. Namun, nasibnya berakhir tragis—Aksara meninggal muda dalam sebuah insiden misterius. Tidak ada detail jelas tentang bagaimana atau mengapa ia meninggal.

Aruna menatap layar dengan perasaan campur aduk. Meninggal muda? Insiden misterius? Hatinya mencelos. Ingatan tentang senyuman Aksara dan semangat hidupnya menghantui pikiran Aruna. Bagaimana mungkin seseorang seperti dia memiliki akhir hidup yang begitu kelam?

Ia membuka artikel demi artikel, membaca setiap detail yang bisa ia temukan. Salah satu sumber menyebutkan bahwa Aksara tinggal di sebuah rumah di pinggiran kota yang kini telah menjadi situs sejarah—tempat di mana Aruna pertama kali menemukan jam saku itu. Rumah tersebut dulunya adalah pusat pertemuan rahasia bagi kaum intelektual muda yang ingin membawa perubahan di tengah masyarakat kolonial.

Aruna menghela napas panjang. Apa yang sebenarnya terjadi padamu, Aksara?

Keesokan harinya, Aruna memutuskan untuk kembali ke situs penggalian. Ia membawa peta lama yang ditemukan dalam arsip penelitian, berharap menemukan lebih banyak petunjuk tentang kehidupan Aksara. Saat ia tiba, suasana reruntuhan terasa sunyi, hanya suara angin yang berbisik di antara puing-puing.

Aruna mulai menjelajahi bagian-bagian rumah yang belum sempat ia periksa sebelumnya. Ia menemukan beberapa fragmen dokumen yang rusak, tulisan tangan di atas kertas yang hampir lapuk dimakan waktu. Salah satu fragmen menarik perhatiannya—sebuah halaman yang tampaknya berasal dari jurnal pribadi.

Tulisan itu berbunyi:
“Kebebasan berpikir adalah hak setiap jiwa, namun kebebasan itu sering kali harus dibayar dengan pengorbanan. Aku tahu risikonya, tetapi jika aku menyerah, maka untuk apa aku hidup?”

Aruna membaca kalimat itu berulang kali, mencoba merasakan emosi di baliknya. Jelas bahwa Aksara adalah seseorang yang berani mengambil risiko demi prinsip-prinsip yang ia yakini. Namun, di antara tulisan itu, ada kalimat lain yang membuat Aruna merinding:
“Jika suatu hari seseorang membaca ini, ketahuilah bahwa aku tidak menyesali apa pun, bahkan jika hidupku harus terputus di tengah jalan.”

Aruna menggenggam halaman itu erat, perasaan bersalah mulai merayapi dirinya. Apakah aku bisa menyelamatkannya jika aku kembali ke masa lalu? pikirnya. Ia tahu ia tidak bisa mengubah sejarah sembarangan, tetapi hatinya menolak menerima bahwa takdir Aksara sudah terkunci.

Aruna melanjutkan pencariannya. Di sudut reruntuhan yang dulu mungkin adalah ruang kerja Aksara, ia menemukan sebuah peti kecil yang terkunci. Dengan susah payah, ia berhasil membukanya, dan di dalamnya terdapat manuskrip tua yang sebagian besar masih utuh. Judulnya adalah “Jejak Pemikiran”, sebuah koleksi tulisan yang tampaknya belum pernah diterbitkan.

Ia membolak-balik halaman itu, membaca kata-kata Aksara yang penuh keberanian dan harapan. Manuskrip itu membahas mimpi tentang masyarakat yang lebih adil, di mana setiap orang memiliki suara, tanpa dibatasi oleh kasta, tradisi, atau kekuasaan penjajah. Namun, di bagian terakhir, ada catatan pendek yang tampaknya ditulis tergesa-gesa:
“Waktu terasa seperti pasir di genggaman. Aku harap ini akan sampai ke tangan yang tepat suatu hari nanti.”

Aruna menutup manuskrip itu perlahan, air mata mengalir di pipinya. Ia merasa seperti membawa sebagian dari Aksara bersamanya, tetapi rasa kehilangan itu tetap tidak bisa ia abaikan. Ia kembali memandangi jam saku di tangannya, memutar-mutar jarumnya dengan harapan sesuatu akan terjadi. Tetapi tidak ada apa-apa. Hanya kesunyian.

Malam harinya, Aruna duduk di ruang tamunya dengan manuskrip di pangkuannya. Ia mencoba mencari tahu bagaimana manuskrip itu bisa diterbitkan, tetapi pikirannya terus kembali ke satu hal: Aksara. Ia tidak bisa membiarkannya mati begitu saja tanpa melakukan apa-apa.

Jam saku itu tergeletak di atas meja. Tanpa berpikir panjang, Aruna meraihnya dan kembali memutar jarumnya, kali ini dengan penuh tekad. “Jika kau bisa membawaku kembali sekali saja, kumohon, lakukanlah sekarang,” bisiknya.

Tiba-tiba, ia merasakan sensasi yang sama seperti sebelumnya. Dunia di sekelilingnya mulai berputar, cahaya terang memenuhi pandangannya. Suara Dika yang memanggil namanya dari kejauhan perlahan menghilang, digantikan oleh bunyi detak jarum jam yang semakin keras.

Ketika Aruna membuka matanya lagi, ia berdiri di depan rumah kayu yang sangat familiar—rumah Aksara. Malam terasa tenang, angin lembut membawa aroma kenanga dari taman kecil di depannya. Ia menyadari bahwa jam saku itu telah membawanya kembali.

Aruna menghela napas dalam-dalam. Kali ini, ia bertekad untuk menemukan Aksara dan melakukan sesuatu. Ia tidak tahu apa yang menantinya, tetapi satu hal yang pasti: ia tidak akan membiarkan sejarah merenggut pria yang telah mencuri hatinya tanpa perlawanan.

“Tunggu aku, Aksara,” bisik Aruna sebelum melangkah masuk ke dalam dunia yang kini terasa seperti rumah baginya.*

.Bab 5: Cinta yang Tertunda

Pagi itu, Aruna terbangun dengan perasaan campur aduk. Ia telah kembali ke masa lalu—ke dunia Aksara, dunia yang penuh dengan semangat dan impian. Tapi kali ini, ia tidak hanya datang untuk sekadar menyusuri jejak-jejak masa lalu. Ia datang dengan tekad yang lebih kuat. Tidak hanya untuk mengetahui lebih banyak tentang Aksara, tetapi juga untuk memperbaiki takdir yang telah direnggut begitu saja. Aruna tahu bahwa ia tidak bisa tinggal diam, menonton semua yang sudah terjadi, terutama pada Aksara, yang kini sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupannya.

Setelah menyarapan dengan Aksara yang tampak lebih ceria dari sebelumnya, Aruna memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar rumah, mencoba mencari cara untuk berbicara lebih dalam dengan Aksara tentang apa yang telah ia temui di masa kini. Ia berencana untuk mengungkapkan perasaannya, meskipun setiap kata terasa begitu sulit.

Sejak pertama kali bertemu, Aksara telah menyentuh hatinya dengan caranya yang hangat dan penuh wawasan. Namun, perasaan itu jauh lebih dalam dari sekadar rasa kagum. Aruna tahu, ia tidak bisa mengabaikan apa yang tumbuh dalam hatinya, meskipun ia juga tahu bahwa perasaan ini datang terlambat. Cinta yang tertunda—terkunci dalam waktu, seolah terjebak di antara dua dunia yang sangat berbeda.

“Aksara,” panggil Aruna ketika ia menemui pria itu di ruang kerjanya. Aksara tengah duduk dengan tangannya yang sibuk menulis di atas meja kayu yang dipenuhi kertas-kertas tua. “Aku ingin bicara.”

Aksara menoleh dan tersenyum. “Tentu, Aruna. Ada yang ingin kamu diskusikan?”

Aruna merasakan ketegangan di dalam dirinya. Ia menatap Aksara, merasakan kehangatan dari tatapan mata pria itu, yang tampaknya begitu tulus. Ia membuka mulutnya, namun kata-kata seakan terjebak di tenggorokannya. **Bagaimana cara menjelaskan perasaan ini?** pikirnya. Bagaimana caranya mengatakan bahwa ia tidak hanya datang ke sini untuk menolong Aksara, tetapi juga untuk mencintainya, meski kenyataan mengatakan bahwa ia tidak tahu apakah mereka bisa bersama atau tidak?

“Aku ingin berbicara tentang masa depanmu,” jawab Aruna akhirnya, berusaha terdengar tenang. “Maksudku, tentang apa yang terjadi padamu, tentang hidupmu setelah ini.”

Aksara menatapnya dengan serius. “Kau tampaknya khawatir tentang sesuatu, Aruna. Apa yang terjadi? Apakah ada yang salah?”

Aruna menunduk, mengumpulkan kekuatan. “Aku merasa seperti aku tidak bisa hanya menjadi penonton. Aku… aku merasa seolah-olah kita memiliki waktu yang terbatas. Waktu yang terlalu singkat.” Ia melanjutkan dengan suara yang hampir berbisik, “Dan aku takut aku tidak bisa memperbaikinya. Aku takut aku tidak bisa mengubah apa yang sudah ditakdirkan.”

Aksara terdiam, menatap Aruna dengan tatapan yang sulit dibaca. Lalu, ia meletakkan pena yang ada di tangannya dan berjalan mendekat. “Aruna, hidup ini memang penuh dengan ketidakpastian. Tetapi itu bukan alasan untuk takut mencoba, bukan?”

Aruna merasa tenggorokannya tercekat. “Tapi bagaimana jika… jika aku tidak punya cukup waktu? Bagaimana jika apa yang aku coba lakukan hanya akan berakhir sia-sia?”

Aksara mendekatkan dirinya, memberikan senyuman lembut yang menenangkan. “Jangan pernah berpikir bahwa setiap usaha akan sia-sia. Kadang-kadang, yang paling penting adalah berani mengambil langkah pertama.”

Aruna menelan ludah, merasakan hatinya berdebar hebat. Namun, entah kenapa, keberanian yang ia rasakan juga tumbuh seiring dengan kata-kata Aksara. “Aku ingin mengubah takdirmu, Aksara,” katanya dengan penuh keyakinan. “Aku tidak ingin melihatmu berakhir dengan cara yang tragis. Aku ingin kita punya lebih banyak waktu—waktu untuk saling mengenal, untuk mencintai.”

Aksara terdiam sejenak. Wajahnya yang penuh ketenangan itu tampak sedikit lebih serius, tetapi tidak ada rasa cemas yang ia tunjukkan. Ia justru menatap Aruna dengan kehangatan yang mendalam. “Kita tidak bisa mengubah takdir, Aruna. Kita hanya bisa memilih bagaimana kita menjalani setiap langkah kita.”

Aruna merasa hatinya terhimpit oleh kata-kata itu. Ia ingin mengatakan lebih banyak—bahwa ia ingin menghabiskan waktu bersama Aksara, bahwa ia tidak ingin semuanya berakhir seperti yang sudah ditulis dalam sejarah. Namun, ia tahu bahwa untuk saat ini, semua itu hanya akan menjadi angan-angan. Cinta yang ia rasakan terasa begitu mendalam, namun terkadang ia merasa seolah-olah ia berada di tengah-tengah dunia yang tidak akan pernah sepenuhnya menjadi miliknya.

Namun, Aksara tampaknya merasakan kegelisahan di hati Aruna. Ia melangkah mendekat, menatapnya dengan penuh perhatian. “Aruna, aku tahu apa yang kau rasakan. Aku merasa ada sesuatu yang… tak terungkapkan di antara kita. Tapi kita harus realistis. Hidup ini seperti sungai yang terus mengalir, dan kita tidak bisa kembali ke hulu untuk mengubah aliran air.”

Aruna merasa hatinya berat, namun senyum Aksara membuatnya merasa sedikit lebih tenang. “Mungkin kita tidak bisa mengubah apa yang telah terjadi,” kata Aruna pelan, “tapi setidaknya kita bisa menciptakan kenangan bersama. Takdir mungkin tidak bisa diubah, tetapi setiap detik yang kita punya adalah milik kita, bukan?”

Aksara mengangguk, lalu memegang tangan Aruna dengan lembut. “Benar, Aruna. Setiap detik adalah milik kita. Dan meski masa depan kita tak pasti, aku berjanji akan menjalani setiap detik itu dengan sepenuh hati.”

Aruna merasa seolah-olah dunia berhenti berputar untuk sejenak. Tangan Aksara yang hangat menggenggamnya memberikan rasa aman yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Meskipun ia tahu bahwa cinta mereka tidak bisa memiliki akhir yang indah seperti dalam kisah-kisah yang ia baca, setidaknya kini ia tahu bahwa ia tidak sendirian dalam perjalanan ini.

Cinta yang tertunda—mungkin tidak untuk selamanya, tetapi cukup untuk memberi mereka kesempatan. Dan dengan itu, Aruna merasa sedikit lebih siap untuk menghadapi apa pun yang akan datang.*

Bab 6: Kenyataan yang Pahit

Hari-hari berlalu dengan cepat, namun meskipun Aruna semakin dekat dengan Aksara, ada sebuah perasaan yang terus menggerogoti hatinya. Seperti bayangan yang tak bisa ia singkirkan, kenyataan bahwa ia datang dari masa depan yang berbeda, dari dunia yang jauh dari dunia Aksara, semakin terasa semakin tak bisa dihindari.

Pagi itu, Aruna duduk di beranda rumah Aksara, memandangi lanskap kota kecil yang tenang. Ia memikirkan percakapan terakhir mereka. Aksara telah berjanji untuk menjalani hidup sepenuh hati, untuk menikmati setiap detik yang tersisa—tapi Aruna tahu, detik-detik yang dimaksud Aksara semakin terbatas. Ada sesuatu yang tidak beres, dan Aruna tidak bisa lagi berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja.

Setelah beberapa waktu merenung, Aruna memutuskan untuk menemui Aksara. Saat ia memasuki ruang kerjanya, ia menemukan Aksara sedang menulis, tetapi wajahnya tampak lebih pucat daripada biasanya.

“Aksara,” panggil Aruna pelan, khawatir melihat penampilan Aksara yang tampak lelah. “Kamu terlihat tidak sehat. Apa yang terjadi?”

Aksara mengangkat kepala dan tersenyum lemah. “Hanya kelelahan, Aruna. Aku terlalu banyak berpikir akhir-akhir ini. Ada banyak hal yang harus diselesaikan.”

Aruna merasa ada yang aneh dengan jawaban Aksara, tetapi ia tidak ingin memaksa. Namun, saat ia duduk di hadapan Aksara dan menatap matanya yang penuh beban, perasaan tak enak itu semakin kuat.

“Aksara, ada sesuatu yang aku rasa perlu kau ketahui,” kata Aruna, suara penuh ketegangan. “Aku… aku tidak hanya datang ke sini untuk menulis, atau untuk tinggal sementara. Aku datang dengan maksud tertentu. Aku datang untuk mengubah takdirmu. Aku datang dari masa depan.”

Aksara menatapnya, tidak terlihat terkejut meskipun kata-kata itu datang dengan tiba-tiba. “Aku tahu,” jawabnya dengan suara tenang. “Aku sudah merasakannya.”

Aruna terkejut. “Kau tahu? Bagaimana bisa?”

Aksara tertawa pelan, tetapi ada kepahitan di dalamnya. “Aruna, sejak pertama kali kau datang, aku merasa ada sesuatu yang berbeda dalam dirimu. Suaramu, cara kau berbicara, cara kau melihat dunia ini. Semuanya terasa seperti datang dari tempat yang jauh. Tapi itu bukan yang paling membuatku tahu. Aku bisa merasakannya dalam hatiku.”

“Jadi… kau tahu sejak awal?” Aruna hampir tidak percaya. “Lalu mengapa tidak memberitahuku?”

Aksara menundukkan kepala, seperti memikirkan sesuatu yang berat. “Karena aku tahu ada alasan mengapa takdir membawa kita ke sini, Aruna. Tapi aku juga tahu bahwa kita tidak bisa melawan kenyataan. Tidak ada yang bisa mengubah takdir.”

Aruna merasa jantungnya berdegup lebih kencang. “Jadi, kau sudah tahu apa yang akan terjadi padamu? Kau tahu bahwa hidupmu akan berakhir dengan tragis?”

Aksara terdiam, seolah menimbang kata-katanya. “Tidak sepenuhnya. Tetapi aku tahu bahwa waktu yang aku miliki semakin sedikit. Aku tidak takut pada kematian, Aruna. Yang kutakutkan adalah jika aku hidup tanpa makna. Aku ingin meninggalkan sesuatu yang berharga, sesuatu yang bisa memberikan dampak. Dan aku ingin itu terjadi sekarang, sebelum terlambat.”

Aksara berdiri dan berjalan menuju jendela, menatap keluar seolah melihat sesuatu yang jauh di luar jangkauan. “Aku sudah menghabiskan banyak waktu untuk berpikir tentang apa yang bisa aku capai dalam hidup ini. Tapi aku tahu—takdir tidak akan memberi kesempatan kedua. Setiap keputusan yang aku ambil membawa kita pada titik ini.”

Aruna merasa hatinya tercabik-cabik. Ia ingin berkata bahwa mereka bisa berusaha bersama, mencari cara untuk mengubah takdir, tetapi ia tahu bahwa kenyataan tidak selalu memberi pilihan. Ia merasakan kenyataan yang pahit, kenyataan bahwa meskipun Aksara begitu berarti baginya, takdir sudah menentukan jalan hidup mereka.

“Aksara…” suara Aruna bergetar. “Aku tidak bisa membiarkanmu berakhir seperti ini. Aku tidak bisa kehilanganmu.”

Aksara menoleh, dan ada sesuatu yang berbeda di matanya—sesuatu yang penuh dengan kedamaian dan penerimaan. “Aruna, aku tahu perasaanmu. Aku juga merasa begitu. Tetapi kita tidak bisa mengubah apa yang sudah ada. Aku sudah merasakannya sejak awal, bahwa aku harus menerima ini dengan hati yang lapang. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi setelah aku pergi, tetapi aku yakin hidup ini penuh dengan makna—meskipun kadang kita tidak bisa memahaminya.”

Aruna merasa air mata menggenang di matanya. Ia ingin sekali menggenggam tangan Aksara, mengubah nasib mereka, tetapi semakin lama ia berada di sini, semakin ia tahu bahwa ada batas yang tidak bisa mereka lewati. Takdir mereka bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan.

“Jadi, apa yang harus aku lakukan?” tanya Aruna dengan suara hampir tidak terdengar. “Bagaimana aku bisa bertahan jika aku tahu kau akan pergi?”

Aksara mendekat, meraih tangan Aruna dan menggenggamnya dengan lembut. “Kau harus hidup, Aruna. Kau harus terus menjalani hidupmu dengan penuh semangat. Jangan biarkan kenangan tentangku menghentikanmu. Aku akan selalu ada dalam hatimu, tetapi kau harus melanjutkan perjalananmu.”

Aruna merasakan hatinya retak mendengar kata-kata itu. Ia ingin berteriak, mengatakan bahwa ini semua tidak adil, bahwa Aksara tidak seharusnya pergi begitu saja, tetapi ia tahu bahwa tidak ada yang bisa mengubah kenyataan.

Aksara mengangkat dagu Aruna dengan lembut dan menatap matanya dengan penuh kasih sayang. “Cinta kita mungkin tidak akan punya akhir yang indah, Aruna. Tapi itu bukan berarti cinta itu tidak ada. Cinta kita ada di dalam setiap detik yang kita jalani bersama. Jangan biarkan kenangan ini menghambatmu. Cintai dirimu sendiri dan hidupmu.”

Air mata Aruna akhirnya tumpah, tetapi ia tidak bisa menghentikan perasaan itu. Cinta yang belum selesai, cinta yang tertunda—sebuah kenangan pahit yang harus diterima. Ia tahu bahwa meskipun mereka tidak bisa mengubah takdir, perasaan mereka akan tetap abadi dalam kenangan.

“Aku akan mencoba, Aksara,” bisiknya, “aku akan mencoba untuk hidup.”

Aksara tersenyum lembut, lalu menatap langit di luar jendela. “Itulah yang harus kita lakukan, Aruna. Hidup, meskipun itu penuh dengan rasa sakit.”*

Bab 7: Pengorbanan Aksara

Hari-hari setelah percakapan berat itu berlangsung dengan keheningan yang menekan. Meskipun Aruna berusaha menerima kenyataan bahwa takdir Aksara sudah hampir tiba, ia tetap merasa ada harapan—harapan bahwa entah bagaimana, entah melalui caranya sendiri, ia bisa mengubah jalan hidup pria yang telah mengisi hatinya dengan cinta yang tak terungkapkan.

Namun, semakin lama ia bersama Aksara, semakin ia menyadari betapa besar beban yang dipikul oleh pria itu. Setiap kata yang diucapkan Aksara, setiap gerakannya yang tenang, menyembunyikan ketakutan yang dalam. Ketakutan akan apa yang tak bisa dia hindari—kematian yang menanti, dan lebih dari itu, kehilangan kesempatan untuk menyelesaikan apa yang ia mulai.

Aruna merasa semakin tak berdaya. Ia ingin lebih banyak berbuat untuk membantu Aksara, tetapi ia tahu, meskipun ia berada di masa lalu, ada batas yang tidak bisa ia langkahi. Takdir Aksara seperti sebuah pintu yang terkunci rapat, dan Aruna hanya bisa berdiri di luar, memandangnya tanpa bisa memasukinya.

Namun, ketika Aruna sedang duduk bersama Aksara di taman rumah, sesuatu yang tak terduga terjadi. Aksara yang biasanya ceria dan penuh semangat tampak lebih murung dari biasanya, duduk dengan pandangan kosong menghadap matahari yang mulai terbenam.

“Aksara,” kata Aruna pelan, mencoba mengeluarkan dirinya dari kebisuan. “Apa yang sedang kamu pikirkan?”

Aksara tersenyum tipis, tetapi itu bukanlah senyum yang biasa. Ada keletihan di baliknya, seperti beban yang semakin berat. “Aku sedang memikirkan waktu,” jawab Aksara pelan. “Bagaimana waktu selalu bergerak, dan kita selalu merasa terkejar olehnya. Aku sudah berusaha semaksimal mungkin, Aruna. Namun, aku tahu, takdir tidak pernah menunggu.”

Aruna merasakan jantungnya berdegup lebih cepat, tetapi ia berusaha menenangkan dirinya. “Aksara, kita bisa mencari jalan lain. Kita bisa mencari cara untuk mengubahnya. Aku… aku tidak ingin kehilanganmu.”

Aksara menoleh, dan untuk pertama kalinya, Aruna melihat tatapan Aksara yang penuh ketenangan, seolah Aksara sudah menerima kenyataan yang tidak bisa lagi diubah. “Aruna, kau tahu bahwa hidup ini tidak selamanya seperti yang kita inginkan. Kita sering kali dihadapkan pada pilihan yang sulit, dan terkadang pilihan itu datang dengan pengorbanan.”

Aruna bingung. “Pengorbanan? Apa maksudmu?”

Aksara berdiri dan melangkah ke arah sebuah pohon besar di ujung taman. Ia menyentuh batang pohon itu dengan lembut, seolah mencoba merasakan kehidupan yang mengalir dalam kayu itu. “Terkadang, kita harus melepaskan sesuatu yang kita cintai agar orang lain bisa mendapatkan apa yang mereka butuhkan. Terkadang, kita harus membuat pilihan yang berat, meskipun itu akan menghancurkan kita.”

Aruna terdiam, tetapi rasa tidak nyaman yang membengkak di dadanya semakin menguat. “Kau berbicara seperti kau sudah memutuskan sesuatu,” kata Aruna dengan suara bergetar. “Kau berbicara seolah-olah kau tahu apa yang akan terjadi padamu.”

Aksara menoleh dengan senyuman yang tidak sepenuhnya bahagia. “Aku tahu. Aku sudah lama tahu. Waktu yang aku miliki di sini semakin sedikit, Aruna. Dan aku juga tahu bahwa ada hal-hal yang harus dilakukan, yang harus diselesaikan. Ada yang lebih besar yang menungguku. Sementara itu, kau masih memiliki hidup yang panjang, yang penuh dengan kesempatan.”

“Jadi, apa yang akan kamu lakukan?” tanya Aruna dengan suara hampir tak terdengar. “Apa yang kamu rencanakan, Aksara?”

Aksara menatap Aruna dengan tatapan yang penuh pemahaman, seolah ia bisa membaca setiap gelombang perasaan yang bergolak di dalam diri Aruna. “Aku berencana untuk menuntaskan apa yang harus aku lakukan. Aku sudah menulis banyak hal, aku sudah mengajarkan banyak hal, dan aku ingin agar itu semua tetap hidup setelah aku pergi. Aku tahu bahwa itu adalah pengorbananku, dan aku siap untuk itu.”

Aruna merasa sebuah batu besar menghempas dadanya. “Apa maksudmu dengan pengorbanan? Apa yang kau maksudkan dengan itu?”

Aksara menghela napas dalam-dalam, seolah sudah lelah untuk terus berbicara. “Aruna, aku bukanlah orang yang bisa mengubah banyak hal. Aku bukan orang yang bisa menentang takdir atau melawan sesuatu yang sudah digariskan. Tetapi, aku bisa membuat keputusan, dan keputusan itu adalah untuk melepaskan diriku—agar orang lain bisa menemukan jalan mereka.”

“Aksara, tidak ada yang lebih penting dari dirimu,” kata Aruna dengan suara penuh kepedihan. “Kita bisa menghadapi semua ini bersama. Aku tidak ingin kehilanganmu.”

Aksara berjalan mendekat, mengambil tangan Aruna, dan menggenggamnya erat. “Kau sudah memberi banyak arti dalam hidupku, Aruna. Cintamu adalah hal yang luar biasa. Tetapi, kadang-kadang, kita harus memilih untuk melepaskan agar sesuatu yang lebih besar bisa terjadi. Pengorbananku adalah untuk membiarkanmu melanjutkan perjalananmu tanpa beban. Jika aku terus tinggal, aku tahu aku hanya akan menghalangi langkahmu.”

Aruna terdiam, hatinya dipenuhi dengan rasa sakit yang luar biasa. Ia merasa seolah-olah dunia yang ia kenal sedang runtuh. “Tidak, Aksara. Tidak ada yang lebih besar daripada cinta kita. Tidak ada yang lebih besar daripada kita.”

Aksara menggelengkan kepalanya, dengan mata yang sudah mulai berkaca-kaca. “Terkadang cinta bukanlah tentang bersama untuk selamanya. Cinta sejati adalah tentang memberikan kebebasan, memberi ruang untuk tumbuh, meskipun itu berarti kita harus melepaskan.”

Aruna merasa sesak di dadanya. Ia ingin berteriak, menolak kenyataan yang datang begitu cepat, tetapi ia tahu bahwa Aksara sudah membuat keputusan. Keputusan yang tidak akan bisa diubah oleh siapa pun.

“Saat aku pergi,” lanjut Aksara dengan suara yang hampir tak terdengar, “aku ingin kau tahu satu hal: aku tidak menyesali apa pun. Cinta kita akan selalu ada, meskipun aku tidak ada lagi. Itu adalah pengorbananku untukmu.”

Air mata Aruna jatuh tanpa bisa dibendung. Ia menggenggam tangan Aksara dengan lebih erat, berharap jika ia bisa menghentikan waktu, jika ia bisa mencegah semua ini terjadi. Namun, semakin ia mencoba menahan, semakin ia sadar bahwa pengorbanan Aksara adalah kenyataan yang harus diterima.

“Aku akan mencintaimu selamanya, Aksara,” bisiknya, suara terisaknya terdengar sangat dalam. “Aku akan selalu mencintaimu.”

Aksara tersenyum, senyum yang penuh kedamaian, meskipun ada kesedihan yang membekas di wajahnya. “Dan aku akan selalu mencintaimu, Aruna. Sampai akhir.”

Dengan itu, Aksara melepaskan tangan Aruna dan melangkah mundur, meninggalkan jejak-jejak yang akan abadi di hati Aruna—kenangan yang akan terus mengisi hidupnya, meskipun mereka tak bisa bersama. Pengorbanan Aksara adalah kenyataan pahit yang harus diterima, tetapi itu juga menjadi bagian dari cinta yang takkan pernah terlupakan.*

Bab 8: Surat dari Masa Lalu

Sejak pertemuan terakhirnya dengan Aksara, Aruna merasa hidupnya seperti melayang di antara dua dunia. Keputusan Aksara untuk menerima takdir dan melepaskan dirinya untuk kebahagiaan orang lain telah menghantui setiap langkah Aruna. Rasa kehilangan yang mendalam telah merasuk ke dalam setiap sudut pikirannya, namun ada satu hal yang tak bisa ia lupakan—janji Aksara untuk meninggalkan warisan.

Malam itu, setelah seharian penuh dengan kesibukan yang terasa begitu kosong, Aruna duduk di meja kerjanya. Di sampingnya, ada selembar kertas tua yang baru saja ia temukan. Kertas itu tersembunyi di balik tumpukan buku-buku tebal yang tidak pernah ia buka. Ia menyentuhnya dengan hati-hati, seolah takut mengganggu sesuatu yang sangat berharga.

Surat itu tampak sudah sangat tua, dengan tepi yang sedikit sobek dan warna yang memudar. Tertulis dengan tinta hitam yang memudar, tulisan tangan yang terlihat rapi dan teratur. Nama yang tertera di bagian atas surat itu adalah *Aksara*.

“Ini… ini surat darinya,” gumam Aruna hampir tak percaya. Tangannya gemetar saat ia membukanya, membaca kata-kata yang tertulis di sana.

Untuk Aruna,

Aku tahu kau mungkin akan terkejut menemukan surat ini. Aku menulisnya dalam keputusasaan, ketika aku tahu waktuku sudah hampir habis. Aku tidak bisa memberitahumu tentang ini sebelumnya, karena aku ingin kau selalu melihatku dengan penuh harapan, dengan keyakinan bahwa takdir kita bisa diubah. Tetapi, aku juga tahu bahwa takdir adalah hal yang tidak bisa kita lawan.

Surat ini aku tulis untukmu, Aruna, karena aku ingin kau tahu betapa besar artimu dalam hidupku. Walaupun kita hanya sempat bertemu dalam waktu yang singkat, kau telah memberikan warna dalam hidupku yang telah lama terasa kelabu. Aku tidak pernah mengira bahwa seseorang seperti dirimu akan datang, menjadi cahaya di tengah kegelapan yang sudah lama mengisi hatiku.

Namun, ada hal yang harus kau ketahui—satu hal yang harus kau terima. Apa yang terjadi pada kita bukanlah kebetulan, tetapi bagian dari takdir yang telah aku pilih. Aku sudah mempersiapkan diriku untuk perpisahan ini, meskipun hatiku terasa berat. Aku tahu bahwa aku tidak bisa memberikan yang lebih baik untukmu, Aruna. Aku tahu, cinta kita akan tetap terhenti di sini, di antara dunia yang berbeda.

Tapi ingatlah satu hal: meskipun takdir membawa kita berpisah, aku ingin kau tahu bahwa aku akan selalu ada di dalam ingatanmu. Aku tidak berharap banyak, hanya satu hal—aku ingin kau melanjutkan hidupmu dengan penuh semangat. Jangan biarkan kehilangan ini menghentikan langkahmu. Aku ingin kau hidup, untuk dirimu sendiri, bukan untuk mengenangku.

Aku telah menulis banyak hal, dan semuanya akan tetap ada. Catatan, tulisan, dan jejak-jejak yang aku tinggalkan. Mereka adalah warisanku untukmu, untuk dunia, dan untuk kehidupan yang akan kau jalani. Itu semua akan menjadi bagian dari perjalananmu, Aruna.

Aku percaya kau akan menemukan kekuatan untuk terus maju, bahkan tanpa aku di sisimu. Karena cinta sejati bukanlah tentang bersama selamanya, tetapi tentang memberi kekuatan kepada orang yang kita cintai untuk menjadi lebih baik, bahkan ketika kita tidak ada lagi.

Aku akan mencintaimu, Aruna. Selamanya.

Aruna terdiam setelah membaca surat itu. Setiap kata terasa seperti pisau yang menusuk hatinya, namun juga memberikan kedamaian yang sulit dijelaskan. Aksara tidak hanya meninggalkan kenangan, tetapi juga memberikan Aruna sebuah pelajaran berharga tentang arti cinta sejati—tentang memberi, tentang melepaskan, tentang berani melangkah meskipun tak ada jaminan.

Surat itu adalah bukti dari cinta yang tidak ingin dilupakan, meskipun waktu telah memisahkan mereka. Aruna merasakan air mata mengalir di pipinya, tetapi kali ini, air mata itu bukan hanya tentang kehilangan. Itu adalah air mata penghormatan, penghormatan untuk Aksara yang telah mengajarkan begitu banyak tentang hidup dan cinta.

Tangan Aruna memegang surat itu erat-erat, seperti ingin memeluk setiap kata yang tertulis di sana. Ia tahu, meskipun Aksara sudah tidak ada lagi, warisan yang ditinggalkan—baik itu tulisan, kenangan, dan pelajaran—akan terus hidup di dalam dirinya. Dan seperti yang telah Aksara katakan, ia harus melanjutkan hidupnya, bukan untuk mengenang, tetapi untuk merayakan setiap detik yang tersisa, untuk menjadi lebih baik, untuk menghormati cinta yang pernah ada di antara mereka.

Aruna menatap surat itu sekali lagi, lalu dengan hati yang berat, ia melipatnya dan menyimpannya dengan rapi. Tidak ada lagi penyesalan yang harus ia simpan. Tidak ada lagi keraguan yang harus ia hadapi. Apa yang bisa ia lakukan sekarang adalah menjalani hidupnya, dengan Aksara tetap hidup di dalam ingatannya.

Dan di dalam hatinya, Aruna tahu bahwa cinta itu tidak akan pernah benar-benar pergi. Cinta itu akan abadi, tercatat dalam setiap langkah hidupnya yang baru, karena ia akan selalu membawa Aksara dalam setiap kenangan, setiap tulisan, setiap kata yang terucap.

Ia menarik napas dalam-dalam dan berdiri. Sekarang, ia siap untuk melanjutkan perjalanan.*

Bab 9: Langkah Baru

Hari-hari setelah membaca surat dari Aksara, Aruna merasa hidupnya mulai menemukan arah baru, meskipun rasanya masih ada kekosongan yang tak mudah dihilangkan. Surat itu memberinya kedamaian yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Ia tahu bahwa Aksara telah membuat keputusan besar, sebuah pengorbanan yang sulit namun penuh cinta. Namun, di balik surat itu, ada satu pesan yang mengendap dalam benaknya: *Melanjutkan hidup.*

Keputusan Aksara untuk melepaskan dan memberi ruang bagi Aruna untuk melanjutkan perjalanan hidupnya adalah sebuah langkah yang berat, namun pada akhirnya, itu adalah hadiah terbesar yang bisa ia terima. Aruna tahu, ia tak bisa terus berlarut-larut dalam kesedihan. Ia harus menjalani hidupnya, menghormati semua yang telah Aksara ajarkan—untuk hidup dengan semangat dan cinta.

Namun, meskipun hati Aruna mulai menerima kenyataan, dunia di sekelilingnya terasa tidak mudah. Langkah pertama yang ia ambil setelah surat itu adalah kembali ke tempat yang sudah lama ia hindari: dunia tulis menulis. Sejak kedatangannya ke masa lalu, Aruna mulai menulis, mencoba menuliskan kisah-kisah yang ia rasa harus ditulis. Tetapi kini, ia merasa ada sesuatu yang lebih penting yang harus ia lakukan—meneruskan apa yang pernah dimulai oleh Aksara.

Aruna duduk di meja kerjanya, menatap layar laptop yang masih kosong. Tiba-tiba, pikirannya melayang kembali pada buku-buku yang selalu dibaca Aksara, pada tulisan-tulisan yang ditinggalkannya, pada setiap kalimat yang penuh makna. Ada sesuatu yang harus Aruna lakukan dengan tulisan itu—sesuatu yang lebih dari sekadar mengenang, sesuatu yang akan memberi arti bagi banyak orang.

Di luar jendela, langit mulai berubah warna, tanda bahwa matahari akan segera terbenam. Suasana kota kecil yang tenang di sekitar rumah Aksara terasa semakin syahdu. Aruna tahu, inilah waktunya untuk memulai sesuatu yang baru.

Pagi itu, ia memutuskan untuk mengunjungi perpustakaan yang sering dikunjungi Aksara. Ia masih ingat bagaimana Aksara selalu menghabiskan waktu berjam-jam di sana, membaca dan menulis tanpa henti. Aruna merasa bahwa di tempat itu, ia bisa merasakan keberadaan Aksara lebih dekat, dan di sanalah ia akan memulai perjalanan barunya.

Saat Aruna tiba di perpustakaan, suasana sepi seperti biasa. Rak-rak buku yang tinggi dan penuh dengan berbagai jenis literatur mengelilinginya. Ia berjalan menyusuri lorong-lorong buku, menyentuh buku-buku yang penuh debu, seolah merasakan jejak waktu yang telah berlalu. Tiba-tiba, matanya tertumbuk pada sebuah rak yang penuh dengan karya-karya Aksara—buku-buku yang pernah ditulisnya, jurnal-jurnal yang berisi catatan tentang kehidupan, dan novel-novel yang belum diterbitkan.

Aruna mendekat dan mulai menyusun buku-buku itu. Ia menyadari, di antara tumpukan karya-karya Aksara, ada satu buku yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Buku itu terlihat lebih tua dan lebih usang daripada yang lainnya, seolah telah lama tersembunyi. Dengan hati-hati, Aruna membuka buku itu dan membaca judul yang tertera di halaman pertama: *Catatan Cinta yang Hilang.*

“Catatan Cinta yang Hilang?” gumam Aruna, kebingungan. Buku itu tampaknya bukan karya Aksara yang pernah dipublikasikan. Ada sesuatu yang berbeda. Halaman pertama buku itu penuh dengan tulisan tangan yang rapi, dan di bawahnya, ada sebuah tanggal yang menunjukkan tahun yang jauh sebelum Aruna datang ke masa lalu.

“Ini buku yang lama,” Aruna berpikir, semakin tertarik. “Apa ini catatan pribadinya?”

Ia terus membaca dengan seksama. Buku itu berisi kumpulan puisi, catatan harian, dan ungkapan-ungkapan tentang cinta yang sepertinya belum pernah dia ungkapkan sebelumnya. Di setiap halaman, Aruna bisa merasakan perasaan yang sangat mendalam—sebuah cinta yang tersembunyi, yang tidak pernah ditunjukkan kepada siapapun. Cinta itu tampaknya ditujukan pada seseorang, namun entah siapa orang itu.

Saat Aruna membaca lebih dalam, ia menemukan sesuatu yang mengejutkan di bagian akhir buku itu. Tertulis sebuah catatan yang sangat pribadi dari Aksara, yang tampaknya ia tulis jauh sebelum pertemuan mereka.

Untuk kamu, yang tidak pernah aku temui.

Aku menulis ini dengan harapan bahwa suatu hari, jika waktuku telah tiba, ada seseorang yang akan menemukannya dan tahu betapa dalamnya cinta ini. Aku tahu bahwa kita tidak akan bisa bersama dalam kehidupan ini, tetapi hatiku akan selalu terhubung denganmu, entah di mana pun kau berada. Aku mencintaimu lebih dari kata-kata bisa ungkapkan, lebih dari apapun yang bisa kulakukan. Mungkin cinta ini akan hilang, mungkin takkan ada yang mengingatnya. Tetapi aku akan tetap mencintaimu, hingga akhir.

Aruna tertegun. Tubuhnya terasa lemas, dan matanya terasa kabur karena air mata yang tiba-tiba jatuh tanpa bisa dibendung. Ia tidak tahu apakah Aksara pernah menulis ini untuk dirinya, atau untuk seseorang yang lain. Namun, satu hal yang pasti—Aksara telah mencintai dengan tulus, dan ia tahu bahwa Aksara sudah siap untuk melepaskan cinta itu dengan penuh ikhlas.

Di tengah kesedihan dan kebingungannya, Aruna merasa ada kehangatan yang datang dari buku itu, dari tulisan Aksara. Mungkin, buku ini adalah bagian dari perjalanan yang harus ia lanjutkan. Bukan hanya untuk mengenang Aksara, tetapi untuk menyalakan api semangat yang telah diwariskan oleh pria itu.

“Aksara, aku akan melanjutkan perjalanan ini,” bisik Aruna pada dirinya sendiri. “Aku akan menulis, aku akan meneruskan apa yang kau mulai. Dan aku akan melakukan itu dengan cinta yang sama.”

Dengan buku itu di tangan, Aruna keluar dari perpustakaan. Langit yang semakin gelap menandakan malam akan segera tiba. Namun, di dalam hati Aruna, ada cahaya yang tak akan padam. Ia tahu, dengan langkah ini, ia telah memulai babak baru dalam hidupnya.*

Bab 10: Cinta Tak Lengkap Waktu

Langit senja di kota kecil itu memerah, menciptakan semburat warna yang lembut di atas rumah-rumah tua dan jalan-jalan yang sepi. Aruna berdiri di depan jendela, menatap pemandangan yang begitu familiar, namun kali ini ada perasaan yang berbeda. Sejak surat dari Aksara, sejak penemuan buku *Catatan Cinta yang Hilang*, segalanya terasa seperti puzzle yang hampir lengkap, namun ada satu potongan yang masih hilang. Waktu.

Waktu yang selalu berlalu, membawa semua kenangan dan pengorbanan, tetapi juga menyisakan ruang kosong yang tidak bisa diisi kembali. Cinta yang begitu besar, yang begitu dalam, namun terbentur oleh keterbatasan waktu. Aruna merasa, meskipun ia telah menerima kenyataan bahwa Aksara tidak akan ada di sisinya lagi, ia tetap merasakan adanya kekosongan yang tak terdefinisikan. Bagaimana bisa ada cinta yang begitu tulus, begitu indah, namun tak pernah lengkap?

Hari itu, Aruna memutuskan untuk pergi ke tempat yang telah lama ia hindari: makam Aksara. Sejak perpisahan mereka yang tak terhindarkan, ia belum pernah lagi mengunjungi tempat itu. Ia merasa, mungkin, hanya di sana ia bisa merasakan kehadiran Aksara dengan lebih nyata. Sejak kematian Aksara, perasaan Aruna seperti berjalan di antara dua dunia—dunia yang ia kenal dan dunia yang kini penuh dengan kenangan tentang Aksara.

Saat ia sampai di pemakaman, suasana begitu tenang, dengan angin sore yang berdesir lembut di antara pepohonan. Aruna berjalan menuju makam Aksara, langkahnya terasa berat, seolah setiap langkah membawanya lebih dekat kepada kenyataan bahwa ia takkan pernah bisa memeluk Aksara lagi.

Di depan makam itu, ia berhenti sejenak, memandang batu nisan yang sederhana namun penuh makna. Nama Aksara terukir dengan indah di sana, dengan tanggal kelahiran dan kematian yang menandai perjalanan hidupnya yang singkat namun berarti. Aruna berdiri diam, menatap nama itu, mencoba meresapi apa yang tertulis di sana.

“Aksara,” bisik Aruna, suaranya hampir hilang dihembus angin. “Aku merindukanmu. Aku merindukan setiap senyumanmu, setiap kata-kata bijakmu, dan setiap saat kita bersama. Tetapi aku juga tahu, meskipun kita tidak bisa bersama, cinta kita tetap hidup.”

Ia duduk di dekat makam itu, menundukkan kepala, seolah mencoba menghubungkan diri dengan kenangan yang masih membekas. Waktu telah memisahkan mereka, tetapi perasaan itu tetap ada, tidak bisa hilang. Ia merasa ada begitu banyak hal yang belum sempat ia katakan pada Aksara—hal-hal yang seharusnya bisa ia ucapkan jika waktu memberi kesempatan.

“Aku masih tidak mengerti, Aksara,” lanjut Aruna, suaranya terdengar berat. “Kenapa waktu selalu begitu tak adil? Kenapa cinta yang begitu besar harus terhenti begitu cepat? Apa yang seharusnya aku lakukan dengan semua ini? Dengan cinta ini yang tak pernah lengkap?”

Air mata Aruna mengalir tanpa bisa dihentikan. Selama ini, ia mencoba untuk tegar, untuk terus berjalan maju, tetapi kenyataan bahwa cinta mereka tidak akan pernah sempurna—bahwa waktu tidak memberi mereka kesempatan untuk menyempurnakan segala yang mereka mulai—terasa begitu mengiris. Ia tahu, tak ada jawaban yang bisa menjelaskan mengapa hal itu terjadi. Tak ada cara untuk mengubah takdir, tak ada cara untuk membawa Aksara kembali.

Namun, di dalam kesedihannya, Aruna merasa ada sesuatu yang mulai berubah dalam dirinya. Ia menyadari, meskipun cinta mereka tak lengkap oleh waktu, ada banyak cara untuk menjaga kenangan itu tetap hidup. Ada banyak cara untuk menghargai setiap momen, meskipun momen itu hanya sebentar. Cinta itu tidak harus sempurna atau lengkap; ia hanya perlu tulus.

Aruna bangkit dari duduknya dan meletakkan sebuah bunga di atas makam Aksara. Bunga itu melambangkan segala rasa yang tak terucapkan, segala cinta yang tak terbalas, dan segala kenangan yang tetap hidup meskipun Aksara tidak ada lagi di dunia ini.

“Sekarang aku mengerti, Aksara,” kata Aruna dengan suara lebih tenang. “Cinta kita tidak akan pernah lengkap oleh waktu. Tapi itu bukan berarti cinta kita hilang. Cinta itu akan selalu ada, dalam setiap langkahku, dalam setiap tulisan yang kutinggalkan. Meskipun kita tidak bisa bersama, cinta kita akan tetap hidup, dalam caraku mencintaimu, dalam caraku mengenangmu.”

Aruna menatap langit yang mulai gelap, merasakan keheningan yang memenuhi hatinya. Ia tahu, ia takkan pernah bisa mengubah apa yang telah terjadi. Namun, ia juga tahu bahwa waktu, meskipun singkat, tidak akan pernah bisa menghapus cinta yang telah terukir dalam dirinya. Cinta yang tak lengkap oleh waktu tetap akan menjadi bagian dari hidupnya, memberikan arti pada setiap langkah yang ia ambil.

“Sampai jumpa lagi, Aksara,” bisik Aruna, meskipun ia tahu bahwa perpisahan ini adalah perpisahan yang abadi. “Aku akan terus hidup, untuk kita berdua.”

Dengan itu, Aruna berjalan meninggalkan makam Aksara, hatinya terasa lebih ringan. Ia tahu, meskipun waktu tidak pernah memberi mereka kesempatan untuk bersama, cinta mereka akan selalu ada. Cinta itu tidak memerlukan waktu untuk menjadi sempurna. Cinta itu sudah sempurna, bahkan dalam ketidaksempurnaannya.***

———-THE END——-

Source: Agustina Ramadhani
Tags: #Romansa #CintaTakLengkap #PerjalananHidup #Kenangan #CintaAbadi
Previous Post

PUSING PUSING ASMARA

Next Post

MERTUA VS MENANTU

Next Post
MERTUA VS MENANTU

MERTUA VS MENANTU

CINTA DI BALIK KOPI SUSU

CINTA DI BALIK KOPI SUSU

CINTA YANG TERTUNDA

CINTA YANG TERTUNDA

MOVIE REVIEW

No Content Available

RECENT MOVIE

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025

Tentang Kami

NovelStory.id adalah platform media online yang menghadirkan beragam cerita menarik seperti dalam novel dan drama, dirancang untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan yang berkualitas dan penuh imajinasi. Kami percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh hati, menginspirasi, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh keajaiban.

Recent News

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025

Follow Us

  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 https://novelstory.id

No Result
View All Result
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah

© 2025 https://novelstory.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In