Bab 1: Pertemuan yang Tak Terduga
Elina berjalan terburu-buru menyusuri jalanan kota yang padat. Pikirannya dipenuhi dengan kekhawatiran tentang proyek novelnya yang tak kunjung selesai. Sudah berminggu-minggu dia terjebak dalam kebuntuan kreatif, mencari inspirasi yang entah di mana. Sejak beberapa hari terakhir, dia merasa bahwa dunia ini begitu besar dan penuh dengan kebisingan, sementara dirinya terasa semakin terkucilkan.
Dia memutuskan untuk menghindari keramaian di pusat kota, berbelok ke sebuah gang kecil yang sepi dan penuh dengan bangunan tua, berharap bisa menemukan kedamaian di sana. Di sepanjang jalan, lampu-lampu temaram menggantung rendah, menyinari trotoar yang sedikit basah oleh hujan sore itu. Udara segar dengan sedikit aroma tanah bercampur dengan kesunyian, memberikan rasa tenang yang sangat Elina butuhkan.
Tiba-tiba, langkahnya terhenti. Tanpa sadar, dia sudah berjalan terlalu jauh ke dalam gang sempit yang bahkan tidak dia kenal. Ketika berbalik untuk kembali, langkahnya tersandung pada sebuah kotak kardus yang diletakkan sembarangan di tengah jalan. Dalam kekalutan, ia kehilangan keseimbangan dan terjatuh ke arah seseorang yang sedang berjalan dengan kecepatan yang sama.
“Aduh!” Elina menjerit, tubuhnya jatuh, menabrak tubuh lelaki itu.
Tanpa bisa menghindar, mereka berdua terjatuh ke trotoar. Elina merasakan sensasi aneh saat tubuhnya terhempas ke dada lelaki itu. Bau parfum yang segar, agak maskulin, serta suhu tubuhnya yang hangat, membuatnya terlupa sesaat akan rasa malunya.
Lelaki itu, yang hampir tidak terjatuh, dengan sigap menahannya agar tidak terlalu keras. “Hati-hati,” katanya dengan suara yang tenang dan dalam, tetapi ada sedikit canda di sana. Dia membantu Elina bangkit. “Apakah kamu baik-baik saja?”
Elina, yang masih sedikit bingung, memegangi dadanya, berusaha mengumpulkan diri. “Ah, iya… terima kasih. Maafkan saya, saya tidak sengaja…” kata Elina sambil merapikan rambut yang tercecer.
Lelaki itu tersenyum lembut, tapi ekspresinya terlihat agak akrab. “Tidak masalah. Kamu tampaknya tidak sedang terburu-buru, kan? Saya belum pernah melihatmu di sini sebelumnya. Apakah kamu baru pindah ke kota ini?”
“Ah, bukan. Saya hanya sedang mencari inspirasi untuk novel saya,” jawab Elina canggung, sambil menatap lelaki yang tampak lebih tinggi darinya itu.
Lelaki itu terkekeh, seolah tertarik dengan jawabannya. “Seorang penulis, ya? Saya bisa merasakannya. Ada aura ‘pensaran’ di matamu. Nama saya Arvid, kebetulan saya sedang berjalan-jalan untuk meredakan stres kerja. Senang bertemu denganmu, Elina.”
Elina terkejut. “Kamu tahu nama saya?” Tanyanya, bingung. “Apakah kamu…?”
Arvid tertawa kecil. “Sungguh kebetulan. Saya seorang pembaca novel. Kamu mungkin tidak mengenali saya, tapi saya pernah membaca beberapa buku kamu. Terutama yang terakhir, Di Balik Bayangan Cinta.”
Elina terdiam sejenak. Tidak menyangka jika pria ini adalah pembaca setianya. Buku terakhir yang dia tulis memang mendapat pujian, tapi dia tidak menyangka ada seseorang yang bisa mengenali karyanya begitu mendalam hanya dari sekali pertemuan.
“Benarkah? Wah, terima kasih,” jawab Elina, agak kikuk, namun senyumannya mulai muncul.
Arvid menatap Elina, dan matanya seakan berbicara tentang sesuatu yang lebih dalam. “Kamu tahu, aku selalu merasa bahwa orang-orang yang suka menulis cerita pasti memiliki dunia yang mereka simpan sendiri. Aku penasaran, dunia macam apa yang kamu ciptakan?”
Elina merasa hatinya berdebar, seolah Arvid sudah berhasil menembus lapisan luar dirinya, sesuatu yang jarang bisa dilakukan orang lain. “Dunia yang penuh dengan… misteri,” jawabnya pelan, “Dan banyak hal yang tak terungkap.”
Arvid mengangguk, seolah mengerti lebih dari yang bisa dikatakan Elina. “Itu hal yang menarik. Menulis, untukku, adalah cara untuk mencari jawaban atas pertanyaan yang tidak terucapkan.”
Pertemuan itu terasa aneh, tapi entah mengapa Elina merasa sedikit lebih tenang. Mungkin karena ada seseorang yang bisa memahami apa yang dia rasakan tentang dunia sastra, meskipun mereka baru saja bertemu.
“Terima kasih sudah menolong saya,” kata Elina, akhirnya berusaha menata diri kembali.
Arvid tersenyum, dan dengan sedikit berlebihan, berkata, “Mungkin suatu hari kita bisa berdiskusi tentang dunia sastra ini lebih lama. Siapa tahu, kamu bisa memberikan saya inspirasi untuk cerita yang lebih baik.”
Dengan itu, mereka berpisah. Namun, ada sesuatu yang menggelitik di dalam diri Elina. Sebuah perasaan tak terdefinisikan, seperti ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar pertemuan biasa.
Saat berjalan menjauh, Elina tidak bisa mengabaikan debaran yang masih terasa di dadanya. Sepertinya, takdir memiliki cara yang unik untuk mempertemukan dua dunia yang berbeda ini. Namun, apakah dia siap menghadapinya.**
Bab 2: Jejak yang Tersisa
Elina tidak tahu mengapa, tetapi pertemuan dengan Arvid tetap terbayang-bayang di benaknya, meskipun sudah beberapa minggu berlalu. Meskipun ia berusaha untuk melupakan insiden tersebut dan kembali tenggelam dalam dunia tulisannya, hati dan pikirannya selalu kembali pada pria yang baru ia temui itu. Ada sesuatu yang berbeda dari Arvid, sesuatu yang membuat Elina merasa bahwa mereka memiliki hubungan yang lebih dari sekadar pertemuan kebetulan.
Hari itu, pagi yang cerah dan tenang, Elina sedang duduk di ruang kerjanya dengan secangkir kopi di tangan, menatap layar laptop yang masih kosong. Ia sudah berkali-kali mencoba menulis beberapa kalimat, tetapi semuanya terasa salah. Tidak ada yang benar-benar mengalir. Tiba-tiba, ponselnya bergetar di atas meja. Sebuah pesan baru masuk, dan matanya langsung tertuju pada nama yang tidak asing lagi.
*”Halo, Elina! Ini Arvid. Saya tahu ini sedikit aneh, tetapi saya pikir kita harus berbicara lebih lanjut. Bagaimana kalau kita bertemu untuk minum kopi sore ini?”*
Elina menatap pesan itu dalam diam. Arvid. Suara hatinya berdebar, meskipun ia mencoba untuk tetap tenang. Sejak pertemuan mereka yang tidak terduga itu, ia tidak pernah mengira akan mendengar kabar dari Arvid lagi. Entah mengapa, ia merasa sedikit canggung dan ragu. Namun, rasa penasaran yang besar mengalahkan keraguan itu. Apa yang Arvid ingin bicarakan? Apakah hanya sekedar obrolan biasa? Atau ada sesuatu yang lebih?
Dengan sedikit kebingungan, Elina akhirnya membalas pesan tersebut.
*”Halo, Arvid. Tentu, saya rasa saya bisa meluangkan waktu. Pukul berapa dan di mana?”*
Beberapa menit kemudian, Arvid membalas dengan cepat.
*”Bagaimana kalau jam 3 sore di kafe kecil di dekat taman kota? Aku tahu tempat yang tenang, cocok untuk berbicara tanpa gangguan.”*
Elina memeriksa jam di layar laptopnya. Pukul 10 pagi. Masih ada waktu beberapa jam lagi. Ia merasa sedikit gugup, tetapi juga penasaran. Apa yang akan terjadi jika mereka berbicara lebih lama? Apa yang Arvid inginkan dari pertemuan ini?
Pada sore hari, Elina memutuskan untuk pergi lebih awal. Ia mengenakan gaun sederhana yang nyaman namun elegan, dengan rambut tergerai alami. Tidak ada yang istimewa dalam penampilannya, namun kali ini ia merasa sedikit lebih percaya diri. Ketika tiba di kafe yang disebutkan Arvid, suasana tenang dan nyaman langsung menyambutnya. Kafe itu terletak di pojok jalan, dengan jendela besar yang menghadap ke taman kecil yang penuh dengan bunga dan pepohonan hijau.
Elina masuk ke dalam, melihat-lihat, dan menemukan Arvid sudah duduk di sudut dekat jendela. Pria itu mengenakan kemeja biru muda dan celana panjang hitam, tampak santai namun penuh karisma. Senyumannya yang hangat menyambutnya saat mereka bertemu lagi.
“Elina, senang akhirnya kita bisa bertemu lagi,” kata Arvid, berdiri untuk menyambutnya.
“Terima kasih sudah mengundang saya,” jawab Elina, sedikit tersenyum dan duduk di seberangnya. Suasana kafe ini terasa nyaman, dengan lampu temaram dan aroma kopi yang menghangatkan udara.
Setelah beberapa saat, pelayan datang untuk mengambil pesanan mereka. Elina memesan secangkir teh hijau, sementara Arvid memilih kopi hitam tanpa gula. Setelah pelayan pergi, Arvid memulai percakapan dengan cara yang lebih serius.
“Elina,” katanya, menatapnya dengan tatapan yang lebih dalam dari sebelumnya. “Aku ingin minta maaf. Aku tahu kita baru bertemu, tetapi aku merasa ada sesuatu yang tidak bisa aku abaikan sejak pertemuan pertama kita.”
Elina menatap Arvid, sedikit bingung. “Minta maaf? Ada apa, Arvid? Kita hanya bertemu sebentar, kok.”
Arvid menghela napas dan memutar cangkir kopinya. “Aku merasa seperti aku tahu kamu, meskipun kita baru saja bertemu. Seperti ada semacam koneksi yang tak terjelaskan. Aku tahu ini terdengar aneh, tapi rasanya kamu adalah seseorang yang sudah lama aku cari.”
Elina terdiam sejenak. Tidak ada yang pernah mengungkapkan perasaan seperti itu padanya. Hatinya berdebar kencang, tapi ia mencoba tetap tenang. “Koneksi?” tanyanya pelan. “Koneksi seperti apa yang kamu maksud?”
Arvid tersenyum canggung. “Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Mungkin ini hanya perasaan saya yang berlebihan, tapi setiap kali aku berpikir tentang kamu, ada rasa yang kuat di dalam diriku. Aku bahkan tahu buku terakhir yang kamu tulis—Di Balik Bayangan Cinta. Aku merasa seolah-olah aku bisa mengerti setiap kata yang kamu tulis. Seperti ada sesuatu yang lebih dalam dalam kisah itu, seperti kisah kita sendiri.”
Elina terkejut. Tidak pernah ada pembaca yang bisa merasakan koneksi begitu kuat dengan tulisannya, apalagi sampai begitu mendalam. “Kamu benar-benar membaca bukuku?” tanyanya dengan nada ragu, berusaha mencerna kata-kata Arvid.
“Ya, dan itu bukan hanya sekedar membaca. Aku merasa seperti hidup dalam setiap halaman yang kamu tulis. Itu sebabnya aku ingin berbicara lebih banyak denganmu,” jawab Arvid, tatapannya penuh perhatian.
Elina merasa hatinya bergetar. Ada sesuatu yang sangat mempengaruhi dirinya dalam kata-kata Arvid. Namun, ia berusaha menahan dirinya untuk tidak terbawa perasaan. “Kamu tahu,” katanya dengan lembut, “aku sudah menulis selama bertahun-tahun, dan selalu merasa bahwa tulisan-tulisanku hanyalah cerminan dari perasaan yang tidak bisa kutuangkan dengan kata-kata sehari-hari.”
“Dan itu yang membuat tulisanmu begitu indah,” kata Arvid dengan suara pelan, namun penuh keyakinan. “Ada sesuatu yang murni dan jujur dalam setiap kata yang kamu pilih.”
Percakapan mereka berlanjut dengan lebih mendalam, membicarakan segala hal tentang sastra, kehidupan, dan bagaimana karya tulis dapat mencerminkan siapa diri kita sebenarnya. Arvid, yang selama ini terkesan serius dan profesional, kini tampak lebih terbuka. Elina merasa dirinya semakin nyaman, berbicara tentang dunia yang begitu dikenalinya dengan seseorang yang sepertinya juga mengerti.
Namun, seiring berjalannya waktu, Elina mulai merasa bahwa ada sesuatu yang lebih dalam antara mereka. Meski percakapan itu berlangsung dengan ringan, Arvid kadang-kadang melemparkan pandangan yang penuh arti, dan Elina merasakannya—sesuatu yang lebih dari sekadar percakapan santai.
Sebelum mereka berpisah, Arvid berkata, “Elina, aku tahu kita baru mengenal satu sama lain, tapi aku merasa ada banyak hal yang harus dibicarakan. Apakah kamu ingin bertemu lagi? Aku yakin kita bisa berbicara lebih banyak tentang hal-hal yang belum kita bahas.”
Elina tersenyum, meskipun ada sedikit keraguan dalam dirinya. “Tentu, Arvid. Aku rasa pertemuan ini… cukup berarti.”
Mereka berpisah dengan janji untuk bertemu lagi. Namun, meskipun Elina merasa sedikit lebih tenang, ada rasa penasaran yang semakin mendalam tentang siapa Arvid sebenarnya. Ia mulai merasa bahwa pria ini menyimpan lebih banyak rahasia daripada yang ia perlihatkan. Apakah Arvid benar-benar seseorang yang bisa ia percayai? Atau ada sisi lain dari dirinya yang belum terungkap?
Sebelum melangkah pergi, Elina menoleh ke arah Arvid untuk terakhir kalinya. Tatapan mereka bertemu, dan di dalamnya, ada semacam janji yang belum terucapkan—sebuah perjalanan panjang yang belum selesai.***
Bab 3: Menyusuri Kenangan Lama
Hari-hari berlalu begitu cepat sejak pertemuan mereka di kafe. Elina dan Arvid mulai menghabiskan lebih banyak waktu bersama. Setiap kali mereka bertemu, percakapan mereka semakin dalam, dan meskipun kadang-kadang canggung, ada sesuatu yang mengikat mereka. Elina merasa seperti sudah mengenal Arvid sejak lama, meskipun kenyataannya mereka baru saja bertemu beberapa minggu yang lalu. Begitu banyak hal yang belum terungkap, namun mereka berdua merasa nyaman untuk berbagi satu sama lain.
Suatu sore, ketika matahari terbenam di balik gedung-gedung tinggi kota, Arvid menghubungi Elina dengan pesan singkat.
*”Elina, bagaimana kalau kita pergi ke suatu tempat yang memiliki banyak kenangan? Aku ingin menunjukkan padamu sebuah tempat yang penting dalam hidupku.”*
Elina merasa sedikit terkejut. Selama ini, percakapan mereka selalu terbatas pada topik buku, sastra, dan kadang-kadang kehidupan sehari-hari. Tetapi ajakan Arvid kali ini terasa lebih personal, seolah-olah dia ingin mengajak Elina ke dalam dunia pribadinya, dunia yang mungkin belum pernah ia bagi dengan orang lain sebelumnya.
Dengan rasa penasaran, Elina membalas pesan itu.
*”Tentu, aku ingin sekali. Kapan kita bisa pergi?”*
Beberapa menit kemudian, Arvid mengirimkan alamat dan waktu pertemuan. Ia menulis bahwa tempat itu berada di luar kota, di sebuah desa kecil yang tenang, sekitar satu setengah jam perjalanan dari pusat kota. Elina merasa sedikit ragu, tetapi di sisi lain, ada sesuatu yang membuatnya ingin tahu lebih banyak tentang Arvid. Apa yang ada di tempat ini yang membuatnya begitu penting baginya?
Ketika tiba waktu yang ditentukan, Elina merasa sedikit gugup. Ia mengenakan pakaian santai dan membawa tas kecil, tidak tahu apa yang harus dipersiapkan untuk perjalanan ini. Arvid menjemputnya di rumahnya dengan mobil, dan mereka memulai perjalanan menuju desa yang dijanjikan. Selama perjalanan, suasana sedikit hening, hanya terdengar suara mesin mobil dan musik instrumental lembut yang diputar di radio. Elina merasa sedikit canggung, tetapi ia memutuskan untuk mengikuti alur percakapan yang ada.
“Tempat ini cukup jauh dari keramaian kota,” kata Arvid sambil mengemudi. “Aku rasa kamu akan suka. Ini adalah tempat yang sangat berarti bagi keluargaku.”
Elina menatap keluar jendela, menikmati pemandangan alam yang perlahan berubah menjadi hamparan sawah dan pepohonan hijau yang luas. Keheningan itu terasa menenangkan, meskipun sedikit menimbulkan rasa penasaran lebih dalam tentang apa yang akan mereka temui. Tidak lama setelah itu, mereka tiba di desa kecil yang dikelilingi oleh bukit dan hutan.
Arvid membawa Elina menuju sebuah rumah tua yang terletak di pinggir desa. Rumah itu terlihat sederhana, dengan taman kecil di depannya dan pagar kayu yang sudah mulai lapuk dimakan usia. Di samping rumah, ada sebuah pohon besar yang rindang, yang tampaknya sudah ada sejak puluhan tahun yang lalu. Di bawah pohon itu, ada bangku kayu yang menghadap ke danau kecil yang tenang, yang airnya memantulkan cahaya matahari senja.
“Ini tempat yang aku maksud,” kata Arvid, membuka pintu mobil. “Ini rumah keluarga aku. Dulu, setiap musim panas, aku dan saudara-saudaraku selalu datang ke sini untuk bermain dan menghabiskan waktu bersama nenek dan kakek. Banyak kenangan indah yang terukir di sini.”
Elina mengangguk, merasa sedikit terharu melihat betapa pentingnya tempat ini bagi Arvid. Ia tahu bahwa di balik senyum hangat dan sikap tenangnya, Arvid menyimpan banyak cerita yang belum diceritakan. Mereka berjalan menuju bangku di bawah pohon besar, dan Arvid duduk terlebih dahulu. Elina mengikuti, duduk di sebelahnya, dan mereka menikmati pemandangan danau yang damai.
“Aku ingin menunjukkan padamu sesuatu,” kata Arvid sambil mengeluarkan sebuah kotak kayu kecil dari tasnya. Kotak itu tampak tua, hampir seperti barang antik, dengan ukiran halus di permukaannya. Ia membukanya perlahan, memperlihatkan sebuah foto hitam putih di dalamnya. “Ini foto aku dan keluargaku saat liburan musim panas di sini. Itu nenek dan kakekku di sana, dan aku, yang kecil, di tengah-tengah.”
Elina melihat foto itu dengan seksama. Di dalam foto, Arvid yang masih kecil tampak ceria, dikelilingi oleh orang-orang yang tampaknya sangat ia cintai. Ada senyum kebahagiaan yang terpancar di wajah mereka, meskipun kini hanya tinggal kenangan. “Keluargamu tampak sangat hangat,” kata Elina, tersenyum lembut. “Apa yang terjadi dengan mereka?”
Arvid terdiam sejenak. Suasana menjadi sedikit lebih serius, dan Elina bisa merasakan betapa berat pertanyaan itu bagi Arvid. Ia menghela napas, seolah mencari cara untuk mengungkapkan sesuatu yang sudah lama terkubur dalam hatinya.
“Ini rumah terakhir yang aku habiskan bersama nenek dan kakekku,” kata Arvid perlahan. “Mereka meninggal beberapa tahun lalu, dan setelah itu, aku tidak pernah kembali lagi ke sini. Tempat ini penuh dengan kenangan yang begitu kuat. Aku rasa aku harus kembali, untuk merasakan sedikit kedamaian lagi.”
Elina mendengarkan dengan hati-hati, merasakan ketulusan dalam suara Arvid. Ia bisa merasakan betapa dalamnya rasa kehilangan yang Arvid alami. “Aku bisa merasakannya, Arvid,” katanya lembut. “Terkadang, kenangan adalah hal yang paling sulit untuk dilepaskan.”
Arvid menatapnya dengan pandangan yang penuh makna, dan untuk sejenak, mereka hanya duduk dalam diam, menyatu dengan keheningan alam di sekitar mereka. Elina merasakan bahwa ia berada di tempat yang sangat pribadi bagi Arvid, sebuah tempat yang tidak pernah ia tunjukkan kepada siapapun. Sesuatu dalam dirinya merasa terhormat bisa menjadi bagian dari momen itu.
“Aku tidak pernah memberitahumu tentang masa kecilku,” lanjut Arvid, memecah keheningan. “Mungkin karena aku selalu merasa bahwa masa lalu itu terlalu berat untuk dibicarakan. Tetapi denganmu, rasanya aku ingin berbagi lebih banyak.”
Elina merasa sebuah rasa kedekatan yang semakin dalam. “Aku senang kamu bisa membagikannya dengan aku,” jawabnya, mengulurkan tangan untuk menyentuh tangan Arvid yang terletak di bangku. “Aku tahu bahwa kenangan lama bisa sangat menyakitkan, tetapi juga bisa menjadi bagian dari kita yang membuat kita siapa kita sekarang.”
Arvid memandang tangan Elina yang menyentuhnya, dan untuk beberapa detik, mereka berdua terdiam. Ada kedalaman yang tak terucapkan di antara mereka, dan meskipun Elina merasa sedikit canggung, ia tahu bahwa inilah saat yang tepat untuk membuka hati dan menerima kenyataan bahwa hubungan ini, meskipun baru, sudah mulai membawa mereka ke dalam dunia masing-masing yang lebih dalam.
Seiring berjalannya waktu, matahari mulai tenggelam, menciptakan pemandangan yang begitu indah dengan langit berwarna oranye dan merah muda. Keheningan itu terasa seperti hadiah, sebuah momen yang penuh dengan makna.
“Aku rasa aku sudah lama menunggu momen seperti ini,” kata Arvid akhirnya, berbicara dengan suara pelan namun penuh keyakinan. “Momen di mana aku bisa mengingat semua kenangan itu tanpa merasa kesepian. Momen di mana aku bisa berbagi kenangan itu dengan seseorang yang aku percayai.”
Elina tersenyum, meskipun ada rasa haru yang tiba-tiba mengisi hatinya. “Dan aku senang bisa menjadi bagian dari momen itu, Arvid.”*
Bab 4: Cinta yang Diuji
Setelah pertemuan mereka di desa, waktu terasa semakin cepat berlalu. Elina dan Arvid semakin dekat satu sama lain, berbagi lebih banyak momen, cerita, dan perasaan yang sebelumnya tersembunyi. Namun, meskipun mereka merasa nyaman bersama, ada sesuatu yang tak bisa mereka abaikan. Ada ujian yang mengintai hubungan ini, sesuatu yang tak tampak jelas, namun tetap terasa.
Suatu sore yang cerah, Elina sedang duduk di meja kerjanya, menyelesaikan beberapa pekerjaan menulis yang tertunda. Begitu banyak ide yang berputar di kepalanya, tetapi ada satu hal yang lebih mendominasi pikirannya saat itu: hubungan dengan Arvid. Ia merasa ada ketegangan yang tak terucapkan antara mereka. Meskipun mereka sering berbicara tentang banyak hal, ada bagian dari diri mereka yang masih tersembunyi, tak tersentuh.
Elina menatap layar laptopnya dengan kosong, pikirannya jauh melayang. Kemudian, ponselnya bergetar di atas meja. Sebuah pesan dari Arvid muncul di layar.
*”Elina, aku ingin berbicara tentang sesuatu yang penting. Apakah kamu bisa bertemu besok sore?”*
Hati Elina berdegup kencang. Pesan itu terasa serius. Apa yang Arvid ingin bicarakan? Mungkinkah ada sesuatu yang telah mengganggu pikirannya selama ini? Ataukah ada hal lain yang lebih besar yang harus mereka hadapi?
Tanpa ragu, Elina membalas.
*”Tentu, aku bisa. Di mana dan kapan?”*
*”Bagaimana kalau kita bertemu di kafe yang kita kunjungi dulu? Pukul 4 sore.”*
Elina mengangguk pelan, meskipun tak ada yang melihatnya. Rasanya ada kegelisahan yang muncul begitu saja. Ia mencoba menenangkan diri dan melanjutkan pekerjaannya, meskipun hatinya terasa berat.
Keesokan harinya, Elina tiba di kafe lebih awal dari yang dijanjikan. Udara sore itu sejuk, dan suasana kafe yang tenang terasa menyambut. Ia duduk di meja yang sama di mana mereka pertama kali bertemu, menatap sekeliling dengan pikiran yang kacau. Tidak lama kemudian, Arvid muncul, mengenakan jaket hitam yang membuatnya terlihat lebih serius dari biasanya. Ia berjalan cepat menuju meja Elina, dan duduk dengan ekspresi yang sulit dibaca.
“Elina,” katanya, membuka pembicaraan tanpa basa-basi. “Aku tahu kita sudah menghabiskan banyak waktu bersama, dan aku sangat menikmati waktu itu. Tetapi ada sesuatu yang harus aku ungkapkan.”
Elina menatapnya, perasaan cemas mulai menghampiri. “Apa itu, Arvid? Kamu terlihat serius sekali.”
Arvid menghela napas panjang, seolah mencari kata-kata yang tepat. “Aku merasa ada sesuatu yang belum kita bicarakan. Sesuatu yang seharusnya kita hadapi bersama, tapi aku takut untuk mengungkapkannya.”
Elina semakin bingung. “Apa maksudmu?” tanyanya, suaranya lebih lembut dari biasanya.
Arvid menatapnya dengan tatapan yang penuh keraguan. “Aku merasa hubungan ini berkembang sangat cepat. Aku merasa kita berdua mulai terikat satu sama lain, dan itu membuatku takut. Aku takut kalau ini hanya sementara, atau kalau kita berdua akhirnya akan terluka.”
Elina terdiam, perasaannya bercampur aduk. Arvid tampak benar-benar bimbang, seperti seseorang yang sedang berjuang dengan perasaannya sendiri. Ia merasa tertekan, tetapi ia juga bisa merasakan kedalaman perasaan Arvid.
“Jadi, kamu merasa takut?” tanya Elina, berusaha untuk tetap tenang meskipun hatinya berdebar.
Arvid mengangguk pelan. “Aku tidak ingin kamu merasa terluka, Elina. Aku tahu kita memiliki perasaan yang kuat satu sama lain, tetapi aku juga tahu bahwa terkadang cinta itu tidak selalu cukup. Ada banyak hal yang bisa menghalangi kita.”
Elina merasa ada jarak yang mulai terbentuk di antara mereka. Rasa cemas itu semakin kuat. “Apa maksudmu dengan ‘terkadang cinta itu tidak cukup’?” tanyanya, mencoba memahami perasaan Arvid.
Arvid menarik napas panjang, matanya penuh kebingungan. “Aku… aku punya masa lalu, Elina. Masa lalu yang membuatku merasa tidak layak untuk mencintai seseorang seperti kamu. Ada hal-hal yang harus aku selesaikan sebelum aku bisa benar-benar memberi hatiku pada orang lain.”
Elina merasa ada luka yang dalam dalam kata-kata Arvid, sesuatu yang belum sepenuhnya terungkap. “Arvid, aku tidak tahu apa yang terjadi denganmu di masa lalu, tapi aku percaya padamu. Aku ingin tahu lebih banyak, dan aku ingin kita bisa saling mendukung. Tidak ada yang sempurna, dan aku tidak ingin menuntutmu untuk menjadi sesuatu yang kamu bukan.”
Arvid menundukkan kepalanya, seolah-olah merasa bersalah. “Aku tidak tahu apa yang aku inginkan, Elina. Aku takut kita hanya akan melukai satu sama lain. Aku tidak bisa menjanjikan apapun.”
Suasana menjadi semakin tegang. Elina merasa sebuah ketegangan yang mengisi ruang antara mereka. “Aku paham jika kamu merasa ragu,” kata Elina pelan. “Namun, jangan biarkan ketakutan itu menghalangimu untuk memberikan kesempatan pada hubungan ini. Aku ingin kita mencoba, Arvid. Kita tidak akan tahu apa yang bisa terjadi jika kita tidak mencoba.”
Arvid mengangkat wajahnya dan menatap Elina dengan mata yang penuh emosi. “Aku takut aku tidak bisa memberikan yang terbaik untukmu. Aku takut aku akan membuatmu kecewa.”
Elina merasa hatinya terluka mendengar kata-kata itu. Tetapi ia juga tahu bahwa ia harus bersikap sabar dan memberi ruang bagi Arvid untuk menyelesaikan perasaannya. “Cinta itu bukan hanya tentang memberi yang terbaik, Arvid. Cinta itu tentang menerima dan berbagi. Kita bisa tumbuh bersama, belajar satu sama lain. Aku tidak ingin terburu-buru, dan aku ingin kita menikmati proses ini.”
Arvid terdiam sejenak, menatap Elina dengan ekspresi yang sulit dibaca. “Aku tidak tahu apakah aku siap, Elina. Tapi aku tidak ingin kehilanganmu. Aku ingin memberi kita kesempatan. Mungkin aku hanya butuh waktu untuk menerima semua ini.”
Elina tersenyum lembut, meskipun hatinya terasa berat. “Kita semua butuh waktu, Arvid. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku ada di sini, dan aku ingin melangkah bersamamu.”
Mereka berdua duduk dalam keheningan, masing-masing memikirkan kata-kata yang baru saja diucapkan. Elina merasa ada sebuah jembatan yang mulai terbentuk di antara mereka, meskipun masih banyak hal yang harus mereka hadapi bersama. Cinta mereka diuji, bukan hanya oleh perasaan yang rumit, tetapi juga oleh masa lalu yang belum sepenuhnya terungkap. Namun, di tengah ketidakpastian itu, mereka berdua tahu bahwa hubungan ini layak untuk diperjuangkan.
Ketika mereka akhirnya beranjak untuk pergi, Arvid menyentuh tangan Elina dengan lembut. “Terima kasih karena selalu ada untukku,” katanya dengan suara pelan namun penuh makna.
“Terima kasih juga telah jujur padaku,” jawab Elina, tersenyum. “Kita akan melewati ini bersama.”**
Bab 5: Awal yang Baru
Pagi itu, Elina terbangun dengan perasaan campur aduk. Seperti biasanya, mentari pagi menyinari kamarnya, tetapi ada perasaan yang menggelayut di hatinya, sesuatu yang lebih berat dari biasanya. Semalam, setelah percakapan panjang dengan Arvid, ia merasa hatinya masih terbelah antara harapan dan keraguan. Meskipun mereka telah berjanji untuk memberi kesempatan pada hubungan mereka, ada banyak hal yang belum jelas. Masa lalu Arvid masih membayangi, dan Elina tak bisa menepis perasaan takut akan apa yang akan datang.
Namun, meskipun perasaan itu ada, ia tahu bahwa ia tak bisa terus hidup dalam ketidakpastian. Kehidupan adalah tentang membuat pilihan, mengambil langkah meski belum tahu apa yang akan terjadi. Ia memutuskan untuk memberi dirinya sendiri kesempatan, untuk melangkah dengan penuh keyakinan, meskipun jalan itu penuh dengan ketidakpastian.
Setelah menyelesaikan rutinitas paginya, Elina memutuskan untuk pergi ke taman kota. Ia merasa perlu waktu untuk dirinya sendiri, untuk merenung, dan mungkin, menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab. Taman itu selalu menjadi tempat yang menyenangkan baginya, tempat di mana ia bisa menenangkan pikiran dan mendapatkan inspirasi.
Saat Elina berjalan menyusuri jalan setapak yang dikelilingi oleh pepohonan rindang, pikirannya kembali terbang ke pertemuan terakhir dengan Arvid. Ia mengingat betapa gugupnya Arvid ketika mengungkapkan perasaannya, betapa besar keraguannya tentang masa depan mereka. Tetapi Elina juga mengingat betapa dalamnya perasaan yang mereka berdua miliki. Cinta itu memang penuh tantangan, tetapi apakah mereka bisa melewati semua ujian itu bersama?
Saat Elina duduk di bangku taman, ia mengambil napas dalam-dalam dan menutup matanya, membiarkan angin sepoi-sepoi menyentuh wajahnya. Ia tahu bahwa untuk bisa melangkah ke depan, ia harus menerima kenyataan dan melepaskan ketakutan. Cinta bukanlah tentang mencari kesempurnaan, tetapi tentang bagaimana dua orang saling menerima kekurangan dan saling mendukung.
————————-THE END———————–