Bab 1: Pertemuan Tak Terduga
Hujan turun deras malam itu, menghantam atap kafe yang terletak di tepi pantai. Nadia berdiri di depan jendela besar, menatap hujan yang turun tanpa henti, berusaha mengumpulkan pikirannya. Langit gelap, hampir tidak ada bintang yang terlihat, sebuah paradoks bagi seorang astronom yang selalu mencari keindahan di atas sana. Dengan jaket tebal dan rambut yang basah kuyup, dia baru saja meninggalkan observatorium tempatnya bekerja, berusaha menenangkan pikirannya setelah sebuah proyek penelitian yang gagal. Beberapa waktu terakhir, langit yang biasa menjadi pelipur lara, kini justru terasa hampa.
Sambil menggigil, Nadia membuka pintu kafe yang sepi itu, berharap bisa berteduh sebentar sebelum melanjutkan perjalanan pulangnya. Udara dingin yang masuk membuatnya sedikit terkejut, tetapi dia segera menuju ke sudut yang paling jauh, memesan secangkir kopi panas. Matanya melirik sekeliling, kafe kecil ini adalah tempat yang biasa dia lewati, meskipun tak pernah benar-benar mampir. Suasana yang tenang, dengan suara deburan ombak yang samar, membuatnya merasa sedikit lebih baik.
Namun, sesuatu yang tak terduga terjadi malam itu.
Di pojok ruangan yang sama, seorang pria duduk dengan kanvas besar di hadapannya, sedang memusatkan perhatian pada lukisannya. Tubuhnya tertutup mantel panjang berwarna hitam, dan rambutnya yang sedikit acak-acakan menambah kesan misterius. Seperti kebanyakan orang yang datang ke tempat ini, pria itu tidak tampak terburu-buru atau cemas. Bahkan, meskipun hujan semakin deras, ia tetap terfokus pada gambarnya. Sesekali, tangannya menyentuh kuas dengan lembut, menambahkan garis-garis halus pada lukisan yang hampir selesai.
Nadia merasa tertarik, meskipun dia tidak mengerti mengapa. Mungkin karena lukisan itu terasa hidup—tidak hanya sekadar pemandangan laut yang tenang, tapi lebih seperti sebuah refleksi dari ketenangan yang ada di dalam dirinya. Dengan secangkir kopi di tangan, dia mengalihkan pandangannya, berusaha tidak terlalu memperhatikan pria itu. Namun, entah bagaimana, ketenangan yang ia rasakan di tempat itu membuatnya semakin ingin tahu.
Saat hujan semakin lebat, pria itu menatap langit luar melalui jendela besar kafe, seperti sedang menunggu sesuatu yang tak kunjung datang. Nadia memutuskan untuk memberanikan diri. Mungkin karena rasa ingin tahu yang tak terelakkan, atau mungkin karena dia merasa sedikit kesepian. Dia mendekat perlahan, berhenti tepat di depan meja pria itu.
“Apa yang kamu lihat di luar?” tanya Nadia, tanpa tahu mengapa.
Pria itu sedikit terkejut, tapi senyum tipis muncul di wajahnya. “Laut,” jawabnya singkat, matanya tidak benar-benar melihat Nadia, tapi lebih fokus pada bayangan laut yang terpantul di jendela. “Tapi, lebih dari itu, aku sedang mencari sesuatu yang hilang.”
Nadia merasa ada sesuatu yang aneh dalam kata-kata itu, sesuatu yang terasa berat namun penuh dengan makna. Dia mengangguk pelan, tak tahu harus berkata apa. Dalam sekejap, keduanya terdiam. Namun, ada rasa keterhubungan yang tak terucapkan, seolah-olah mereka berbicara dengan bahasa yang sama meskipun hanya terdiam.
“Namaku Nadia,” akhirnya Nadia memperkenalkan diri, berusaha membuka percakapan lebih lanjut.
“Reza,” jawab pria itu singkat, tetap mengamati lukisannya. “Kamu astronom, kan? Saya pernah lihat kamu beberapa kali di observatorium.”
Nadia terkejut, namun sedikit tersenyum. “Kamu tahu?”
Reza mengangguk. “Tentu. Tidak banyak orang yang benar-benar mengerti langit seperti kamu.”
Itulah awal pertemuan mereka—dua jiwa yang datang dari dunia yang berbeda, namun seolah disatukan oleh rasa ingin tahu yang sama. Reza, dengan dunia seni dan kreativitasnya, dan Nadia, dengan dunia ilmu pengetahuan yang penuh dengan logika. Di antara percakapan singkat itu, ada percikan yang tidak bisa dijelaskan. Perasaan yang baru saja lahir, dan keduanya tahu bahwa malam itu akan menjadi awal dari sesuatu yang lebih besar.
Saat itu, Nadia tidak tahu bahwa perjalanan mereka akan membawa keduanya ke tempat yang jauh lebih dalam dari sekadar percakapan tentang bintang atau lukisan. Namun, yang jelas, untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu, Nadia merasa sedikit lebih tenang. Seolah-olah, meskipun langit tertutup awan gelap, ada satu bintang yang tiba-tiba bersinar terang, memberi harapan yang lama hilang.**
Bab 2: Langit yang Menyimpan Rahasia
Kehidupan Nadia mulai terbalik sejak pertemuannya dengan Reza. Setiap malam, dia menemukan dirinya kembali ke kafe itu, tempat yang dulu hanya dianggap sebagai tempat perlindungan dari hujan, kini menjadi tempat di mana perasaan dan pikiran yang tak terucapkan mulai meledak. Ada sesuatu yang memanggilnya untuk kembali. Sesuatu yang lebih dalam dari sekadar rasa ingin tahu.
Setiap kali mereka bertemu, Nadia merasa seolah dunia mereka menyatu dalam cara yang tak terduga. Reza yang selalu duduk diam di sudut kafe, dengan kanvas di depannya, terlihat begitu terfokus. Namun, pada saat yang bersamaan, dia juga berbicara tentang hal-hal yang Nadia belum pernah dengar sebelumnya—tentang langit yang tidak hanya terdiri dari bintang, tetapi juga rahasia yang tersembunyi di dalamnya. Bagi Nadia, langit adalah sesuatu yang matematis dan ilmiah. Namun bagi Reza, langit adalah dunia yang lebih luas, tempat di mana setiap detail terkandung dalam misteri.
“Langit ini tidak hanya tentang bintang-bintang yang kita lihat,” kata Reza suatu malam, menatap lukisan laut yang baru saja selesai. “Ada cerita yang lebih dalam, lebih jauh dari yang kita tahu. Setiap bintang itu bukan hanya cahaya, Nadia. Mereka adalah kenangan yang tak terungkapkan.”
Nadia hanya terdiam mendengarkan. Dia tidak sepenuhnya memahami apa yang dimaksudkan Reza, namun ada rasa penasaran yang membakar dalam dirinya. Ada sesuatu yang lebih dalam di balik kata-kata itu, sesuatu yang bahkan mungkin jauh lebih besar dari dunia ilmu pengetahuan yang biasa dia pelajari.
“Apa maksudmu dengan ‘kenangan yang tak terungkapkan’?” tanya Nadia, memiringkan kepalanya.
Reza tersenyum kecil. “Kenangan itu tak hanya ada di dalam diri kita, Nadia. Mereka ada di setiap tempat, setiap benda. Bahkan bintang-bintang itu menyimpan cerita dari masa lalu yang tak akan pernah bisa kita sentuh. Mungkin ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang hanya bisa ditemukan dengan cara yang tidak biasa.”
Nadia merasa sedikit cemas. Bagaimana mungkin? Selama ini, dia selalu berpikir bahwa segala sesuatu bisa dijelaskan dengan sains—bahkan bintang-bintang sekalipun. Tetapi, cara Reza melihat dunia terasa lebih puitis, lebih dalam. Sesuatu yang Nadia tidak bisa mudah terima begitu saja.
“Mungkin itu hanya cara orang melihat dunia, Reza. Aku tidak tahu apa yang kamu maksudkan dengan ‘kenangan’ dari bintang-bintang itu. Tapi bagi aku, langit adalah rangkaian perhitungan dan kalkulasi. Setiap bintang bisa dihitung, dan setiap objek langit punya tempatnya sendiri,” jawab Nadia, mencoba untuk memahamkan dirinya sendiri.
Namun, Reza tidak terganggu oleh kata-kata Nadia. Justru dia tampak lebih tertarik. Matanya yang tajam seolah menembus jauh ke dalam jiwa Nadia. “Mungkin kau benar, Nadia. Tapi kamu pernah berpikir, apakah kita hanya melihat dunia ini dengan satu sisi saja? Ada banyak hal yang tak bisa dijelaskan oleh perhitungan. Terkadang, ada keindahan dalam ketidakterjelasan.”
Nadia terdiam. Untuk pertama kalinya, dia merasa seperti ada sesuatu yang lebih dari sekadar angka dan teori yang dia yakini selama ini. Reza memang berbeda, jauh lebih bebas dalam cara dia berpikir, dan itu membuatnya terpesona.
Malam itu berakhir dengan kebisuan yang nyaman antara mereka. Nadia pulang dengan kepala penuh pertanyaan, pikirannya berputar-putar memikirkan semua yang dikatakan Reza. Meskipun ada rasa keraguan dalam hatinya, Nadia tahu bahwa dia tidak bisa mengabaikan perasaan yang terus berkembang dalam dirinya. Sesuatu yang aneh, namun penuh rasa ingin tahu.
Keesokan harinya, Nadia tidak bisa menahan diri untuk tidak kembali ke kafe itu. Hujan yang turun dengan deras seakan menjadi pemicu yang tak bisa dia hindari. Dia merasakan panggilan yang kuat untuk kembali, meskipun dirinya tak tahu pasti apa yang dia harapkan dari pertemuan ini. Reza sudah menjadi bagian dari rutinitas barunya, dan entah kenapa, dia merasa bahwa dunia mereka semakin menyatu, meskipun mereka datang dari dua dunia yang sangat berbeda.
Ketika dia tiba, Reza sudah berada di sana, seperti biasa, dengan kanvas besar di depannya. Namun malam ini, ada sesuatu yang berbeda. Reza terlihat lebih gelisah dari biasanya. Dia menatap lukisannya dengan intensitas yang berbeda, seolah-olah mencari sesuatu yang hilang.
“Ada apa, Reza?” tanya Nadia saat dia mendekat.
Reza mengangkat wajahnya, menatapnya dengan mata yang terlihat kosong. “Aku sedang mencari jawaban,” jawabnya perlahan, seakan berbicara pada dirinya sendiri. “Jawaban tentang sesuatu yang telah lama hilang. Sesuatu yang aku percayai sejak lama.”
“Jawaban tentang apa?” Nadia merasa semakin penasaran.
Reza menatapnya, dan untuk pertama kalinya, Nadia melihat kesedihan yang mendalam di matanya. “Tentang masa lalu. Tentang kenangan yang seharusnya tidak dilupakan,” katanya, suaranya penuh dengan beban yang sulit diungkapkan. “Bintang-bintang itu… mereka tidak hanya ada untuk dilihat. Mereka menyimpan segala sesuatu yang terjadi di dunia ini—termasuk rahasia besar yang aku coba lupakan.”
Nadia merasa jantungnya berdegup lebih kencang. Sesuatu dalam kata-kata Reza membuatnya merasa gelisah, namun dia tidak bisa mengabaikannya begitu saja. Ada sesuatu yang tak terungkap, sesuatu yang Reza sembunyikan—dan itu mungkin terkait dengan masa lalunya. Nadia merasa bahwa inilah saatnya untuk tahu lebih banyak.
“Reza, apa yang kamu sembunyikan?” tanya Nadia, kali ini dengan lebih serius.
Reza menghela napas panjang, meletakkan kuasnya dan menatap laut di luar jendela. “Masa lalu itu selalu membayangi aku. Ada kejadian yang aku coba lupakan, sesuatu yang mengikatku dengan langit ini lebih dari sekadar perhitungan ilmiah. Tapi, Nadia, aku takut jika aku mengungkapkannya, aku akan kehilangan semuanya. Kehidupan yang kujalani sekarang, impian yang kukejar—semuanya akan hancur.”
Nadia terdiam, menatapnya dengan penuh perhatian. Reza bukan hanya seorang pelukis, dia juga seorang pria dengan rahasia besar yang mungkin tak akan pernah terungkap jika dia tidak bersedia berbagi. Namun, dalam setiap kata yang diucapkannya, Nadia merasa ada keterikatan yang lebih dalam—mereka berdua seakan terhubung oleh langit yang sama, yang menyimpan rahasia yang hanya bisa mereka temukan bersama.
Beberapa hari berlalu sejak percakapan itu, dan Nadia merasa semakin bingung. Dia merasa Reza menyimpan sesuatu yang sangat penting, sesuatu yang jika terungkap, akan mengubah segalanya. Namun, di sisi lain, Nadia merasa dirinya semakin terjebak dalam perasaan yang tak bisa dijelaskan.
Reza mulai lebih sering menghabiskan waktu di kafe, melukis dengan intensitas yang lebih tinggi. Nadia merasa semakin sulit untuk menahan diri. Ada daya tarik yang kuat antara mereka, namun juga ada batasan yang tak bisa diabaikan. Mereka berasal dari dunia yang berbeda—satu ilmiah, satu lagi penuh dengan misteri.
Tapi Nadia tidak bisa menahan rasa ingin tahunya. Suatu malam, saat hujan turun lagi, dia kembali ke kafe, berharap bisa mendapatkan jawaban dari semua kebingungannya.
Tapi ketika dia melihat Reza duduk di sana, matanya kosong, seperti menatap jauh ke dalam dirinya sendiri, Nadia tahu satu hal pasti—bahwa langit yang selalu mereka lihat, tidak hanya menyimpan bintang, tetapi juga rahasia yang lebih besar daripada yang bisa mereka bayangkan.**
Bab 3: Lautan Perasaan
Hari-hari berlalu dan perasaan yang semula hanya berupa kecemasan kecil, perlahan-lahan berkembang menjadi sesuatu yang lebih besar dan lebih mendalam. Nadia mulai merasa bahwa kedekatannya dengan Reza lebih dari sekadar pertemuan yang biasa. Di satu sisi, Reza adalah sosok yang penuh misteri, seseorang yang begitu berbeda dari dunia yang ia kenal. Di sisi lain, ada kehangatan yang sulit dijelaskan, sebuah ikatan yang tumbuh dengan setiap percakapan mereka, dengan setiap senyuman yang muncul di wajah Reza.
Namun, semakin mendalam perasaan Nadia, semakin jelas bahwa dunia mereka berdua berada di jalur yang sangat berbeda. Nadia, dengan segala rasionalitasnya sebagai seorang ilmuwan, merasa dunia yang ia jalani penuh dengan kepastian—hitungannya jelas, semua bisa dijelaskan dengan rumus dan teori. Sementara itu, Reza adalah dunia yang penuh dengan kebebasan, dengan nuansa artistik dan keindahan yang terkadang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Dia bukanlah tipe orang yang percaya bahwa segala sesuatu bisa dijelaskan melalui logika.
Pada suatu malam yang dingin, setelah hujan reda dan angin laut bertiup pelan, Nadia duduk di meja dekat jendela kafe. Di luar, ombak terus bergulung, seolah mengingatkan tentang kehidupan yang terus bergerak tanpa henti. Reza sudah duduk di sudut, seperti biasa, dengan kanvas besar yang terbuka di depannya. Namun malam ini, ada sesuatu yang berbeda. Reza tampak tertekan, matanya kosong dan jauh, seperti menatap ke sesuatu yang tak terlihat oleh orang lain.
Nadia merasakan kegelisahan di dalam hatinya, sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ada kekosongan dalam pandangan Reza yang membuatnya tak nyaman. Ia merasa bahwa dirinya berjarak, meskipun mereka berada dalam ruang yang sama, duduk di meja yang berseberangan, hanya terpisah oleh sedikit ruang.
Akhirnya, setelah beberapa saat terdiam, Nadia memutuskan untuk menghadapinya. “Reza, ada yang salah?” tanyanya dengan suara pelan, mencoba menembus kesunyian yang mulai menyelimuti ruangan.
Reza mengangkat wajahnya, dan matanya yang biasanya tajam kini tampak lelah. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya menggeleng pelan. “Aku tidak tahu,” jawabnya, suaranya serak, seolah ada beban berat yang menghambatnya. “Terkadang aku merasa terjebak, Nadia. Aku tahu aku harus melukis, harus terus berkarya, tapi ada bagian dalam diriku yang seakan menahan semuanya. Perasaan ini… terlalu berat.”
Nadia duduk lebih dekat, merasa ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi dalam diri Reza. Tanpa ia sadari, ia meraih tangan Reza yang dingin, memegangnya erat. “Reza, kamu tidak perlu merasa sendirian,” kata Nadia, meskipun hatinya sendiri penuh dengan kebingungan. Ia tahu dirinya tidak bisa sepenuhnya memahami apa yang sedang Reza rasakan, tapi ia ingin ada untuknya.
Reza menatap tangan Nadia yang menggenggamnya, sejenak terdiam. Lalu, dengan suara pelan, dia berkata, “Aku tidak ingin kamu ikut terbawa dalam semua ini, Nadia. Ada bagian dari diriku yang terus menuntutku untuk kembali ke masa lalu. Aku takut masa lalu itu akan menghancurkan segalanya.”
Kata-kata itu membuat Nadia merasa tercengang. Ia tahu Reza menyembunyikan sesuatu—sesuatu yang begitu besar, begitu mendalam. Namun, ia tidak tahu seberapa besar beban yang dipikul oleh pria itu. Keheningan panjang menyelimuti mereka berdua. Laut di luar jendela terus mengamuk, ombaknya menggulung, seolah mencerminkan kekalutan dalam hati Reza.
“Apa yang terjadi di masa lalu, Reza?” Nadia bertanya dengan hati yang berdebar. Ia merasakan ketegangan di antara mereka semakin menebal, seperti ada dinding tak terlihat yang membatasi mereka berdua.
Reza menatap ke arah laut, matanya yang tadinya kosong kini terlihat lebih dalam. “Ada sesuatu yang aku coba lupakan. Seseorang yang aku coba tinggalkan. Tapi dia selalu datang kembali, menghantui pikiranku,” jawabnya, suara itu terdengar penuh rasa sakit, seolah Reza harus membuka luka lama yang seharusnya sudah sembuh. “Aku rasa aku belum bisa lepas darinya.”
Nadia merasa seolah dunia ini berhenti berputar. Semua perasaan yang ia simpan selama ini mulai bertumpuk, menekan dadanya. Di satu sisi, ia merasa marah. Marah karena Reza tidak memberitahunya lebih awal. Marah karena ada sesuatu yang menghalangi hubungan mereka, sesuatu yang bisa jadi lebih besar dari dirinya sendiri. Namun, di sisi lain, ada rasa kasihan yang mendalam. Nadia bisa merasakan beban yang ada dalam hati Reza, beban yang sepertinya membuatnya merasa terjebak antara masa lalu dan masa kini.
“Reza,” kata Nadia, suara itu bergetar, “aku tidak tahu apa yang terjadi di masa lalumu, tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku ada di sini untukmu. Aku tidak akan pergi hanya karena ada sesuatu yang menghalangimu. Kita bisa melalui ini bersama-sama.”
Reza menatapnya, matanya yang dulunya penuh misteri kini tampak penuh keraguan. “Aku takut aku akan menghancurkan semuanya, Nadia,” katanya dengan suara yang hampir tak terdengar. “Aku takut jika aku terlalu terbuka, kamu akan pergi, seperti yang lain.”
Tangan Nadia masih menggenggam tangan Reza erat, mencoba memberikan kekuatan yang ia rasakan di dalam dirinya. “Aku tidak akan pergi, Reza,” jawabnya penuh keyakinan. “Kita bisa melewati semua ini bersama. Aku tidak tahu masa lalumu, dan aku tidak bisa memaksa kamu untuk menceritakannya. Tapi aku ingin kita berjalan bersama ke depan, bukan ke belakang.”
Percakapan itu membawa keduanya ke dalam sebuah kesunyian yang dalam. Laut terus bergulung di luar, namun bagi Nadia, dunia mereka seakan terhenti. Dalam kesunyian itu, ia merasa sebuah ikatan yang lebih dalam terbentuk—suatu hubungan yang tidak hanya dibangun oleh kata-kata, tetapi juga oleh keberanian untuk berbagi ketakutan, kekhawatiran, dan harapan.
Reza akhirnya memejamkan mata sejenak, mencoba merasakan ketenangan dalam kata-kata Nadia. Ada sesuatu yang berbeda kali ini—sebuah kenyamanan yang datang bukan hanya dari kata-kata, tetapi dari ketulusan yang Nadia tunjukkan. Ia merasa ada harapan yang lahir, harapan yang tidak lagi dipenuhi dengan kebingungan dan ketakutan akan masa lalu.
“Aku ingin percaya padamu, Nadia,” katanya dengan suara pelan, namun penuh dengan makna.
Nadia tersenyum lembut, merasa hatinya sedikit lebih ringan. “Kamu bisa, Reza. Aku di sini, dan aku akan selalu ada untukmu.”
Saat itu, Reza akhirnya merasakan sebuah perubahan dalam dirinya. Laut yang sebelumnya tampak seperti penghalang, kini terasa seperti pelabuhan yang aman. Ia tahu bahwa perjalanan mereka belum selesai. Masih ada banyak tantangan yang harus dihadapi. Namun, untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa ia tidak lagi sendirian. Dan Nadia, dengan segala keraguannya dan kebimbangannya, tahu bahwa ia sudah membuat pilihan yang tepat. Dalam lautan perasaan yang membingungkan ini, mereka akan saling mendukung satu sama lain.**
Bab 4: Bintang yang Hilang
Kehidupan Nadia dan Reza berjalan dalam ritme yang semakin akrab. Meskipun dunia mereka sangat berbeda—dunia yang satu penuh dengan rumus dan teori, sementara yang lain dipenuhi warna dan imajinasi—ada sesuatu yang mulai mengikat keduanya dengan kuat. Setiap malam mereka menghabiskan waktu bersama di kafe itu, bercerita tentang langit dan laut, tentang karya seni dan ilmu pengetahuan, dan yang paling penting, tentang perasaan yang perlahan-lahan tumbuh di antara mereka.
Namun, semakin dekat keduanya, semakin terasa adanya jurang yang membentang di antara mereka. Reza masih sering terperangkap dalam bayang-bayang masa lalu, dan Nadia merasa terasing dari dunia yang penuh dengan misteri dan rahasia itu. Sesekali, Reza menatap jauh ke luar jendela, ke arah laut yang tak pernah tidur, atau ke langit yang terus berubah dengan waktu. Nadia merasa ada sesuatu yang hilang dalam tatapan itu—sesuatu yang tak bisa dijelaskan, tetapi tetap ada, mengganggu kedamaian mereka.
Pada suatu malam yang cerah, ketika angin laut berhembus lembut dan langit dipenuhi dengan bintang-bintang yang berkelap-kelip, Nadia membawa Reza ke observatorium tempat ia bekerja. Dia merasa, mungkin, ini saat yang tepat untuk mengajak Reza lebih dekat dengan dunia yang selalu ia cintai—dunia yang penuh dengan perhitungan, logika, dan bintang-bintang yang menyimpan segala macam cerita.
“Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu,” kata Nadia, saat mereka berjalan menuju teleskop besar yang mengarah ke langit malam. Reza tampak sedikit ragu, namun mengikuti langkah Nadia tanpa bertanya lebih jauh.
Nadia mempersiapkan teleskop dan mengajak Reza untuk melihat bintang-bintang yang mengisi langit malam. “Ini adalah bagian dari dunia yang aku jalani,” katanya dengan lembut. “Langit yang penuh dengan misteri, tapi yang juga bisa dijelaskan dengan jelas. Semua bintang ini punya tempatnya, punya penjelasannya.”
Reza hanya mengangguk, meskipun matanya tidak sepenuhnya tertuju pada langit. Ada kesan ketegangan di wajahnya, seperti ada sesuatu yang sedang membebani pikirannya. Nadia merasa sedikit cemas, tetapi mencoba untuk tetap tenang. Dia ingin menunjukkan kepada Reza bahwa ada cara lain untuk melihat dunia—cara yang lebih terstruktur, lebih pasti.
“Lihat bintang itu,” Nadia berkata, menunjuk ke salah satu bintang yang paling terang di langit. “Itu adalah Sirius, bintang paling terang di langit malam. Kalau kita mengikuti jalur bintang-bintang di sekitar konstelasi Canis Major, kita bisa menemukan banyak hal—sama seperti kita mencari tahu sesuatu di dunia ini, dengan metode yang tepat.”
Reza mengamati bintang itu, namun wajahnya tampak kosong. Nadia dapat merasakan ada sesuatu yang mengganjal. “Kamu tidak suka?” tanya Nadia, sedikit bingung.
“Bukan itu,” jawab Reza pelan. “Aku hanya berpikir tentang sesuatu. Tentang langit yang tidak selalu bisa dijelaskan dengan cara yang sederhana.”
Nadia menatapnya dengan cermat. Ada keheningan sejenak sebelum Reza melanjutkan, suaranya terdengar serak. “Ada satu bintang yang aku cari, Nadia. Bintang yang hilang.”
Nadia merasa jantungnya berhenti sejenak. “Bintang yang hilang?” tanyanya, tidak yakin apakah dia mendengar dengan benar.
Reza mengangguk, menundukkan kepala. “Ya, ada sebuah bintang yang aku percayai dulu. Seperti cahaya yang selalu membimbingku. Namun, suatu hari, bintang itu menghilang, dan aku tidak pernah bisa menemukannya lagi. Mungkin, bintang itu sudah tidak ada, atau mungkin hanya aku yang tidak bisa melihatnya lagi.”
Nadia merasa seolah-olah dunia mereka terhenti. Ia ingin mengerti lebih jauh tentang apa yang dimaksud Reza, tapi kata-katanya seperti menggantung di udara. “Kenapa kamu mencari bintang itu, Reza? Apa yang membuatmu begitu yakin itu penting?”
Reza menarik napas dalam-dalam. “Karena bintang itu bukan sekadar bintang, Nadia. Bintang itu adalah simbol dari sesuatu yang pernah aku miliki—sesuatu yang hilang dalam hidupku. Ada seseorang yang pernah memberi tahu aku tentang bintang itu, dan sejak saat itu, aku merasa terikat dengan cahaya itu. Aku mencoba mencari tahu apakah bintang itu masih ada, atau apakah itu hanyalah kenangan yang tidak bisa dijangkau.”
Nadia merasa hatinya bergetar. Ia tidak tahu bahwa Reza menyimpan begitu banyak emosi terkait dengan bintang yang hilang itu. Mungkin, bintang itu memang lebih dari sekadar cahaya di langit bagi Reza. Mungkin itu adalah bagian dari dirinya yang sudah lama terkubur, bagian dari kisah yang belum sepenuhnya ia ceritakan.
“Siapa yang memberitahumu tentang bintang itu, Reza?” tanya Nadia, suaranya lembut namun penuh rasa ingin tahu.
Reza terdiam sejenak, seolah berpikir keras. Matanya mulai berkaca-kaca, namun ia berusaha menahannya. “Itu adalah seseorang yang aku cintai. Dia selalu berbicara tentang bintang itu. Dia mengatakan bahwa bintang itu adalah lambang dari segala hal yang baik dalam hidup kita. Namun, suatu hari, dia menghilang begitu saja, dan sejak saat itu, aku tidak pernah bisa melihat bintang itu dengan cara yang sama lagi.”
Nadia merasa perasaannya menjadi semakin berat. Ia bisa merasakan kesedihan yang dalam dalam kata-kata Reza. Bintang itu, yang dulunya menjadi simbol harapan dan petunjuk, kini telah menjadi kenangan yang menyakitkan. Reza terus mencari sesuatu yang sudah hilang, dan ia tidak tahu bagaimana cara menghadapinya.
“Kamu masih mencarinya, ya?” tanya Nadia pelan, meskipun ia sudah tahu jawabannya.
“Ya,” jawab Reza dengan suara penuh penyesalan. “Aku mencari bintang itu, berharap bisa menemukan jawabannya. Tapi semakin aku mencarinya, semakin aku merasa bintang itu semakin jauh dari jangkauanku.”
Nadia merasakan kesedihan yang dalam di hatinya. Ia ingin sekali membantu Reza, tapi ia tahu bahwa ada hal-hal yang tak bisa dipaksakan. Ada kenangan yang harus dibiarkan pergi, ada luka yang harus sembuh dengan cara yang berbeda. Mungkin, bintang yang hilang itu bukanlah sesuatu yang bisa ditemukan lagi. Mungkin yang dibutuhkan Reza bukanlah jawaban tentang bintang itu, tetapi pemahaman bahwa kadang-kadang, hal yang hilang memang tidak bisa ditemukan lagi.
“Reza,” kata Nadia dengan lembut, “mungkin bintang itu memang tidak ada lagi. Tapi itu tidak berarti kamu harus terus mencarinya. Terkadang, kita harus melepaskan kenangan yang sudah lama hilang, agar kita bisa melihat bintang-bintang baru yang muncul di langit.”
Reza menatapnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. “Aku takut jika aku melepaskan bintang itu, aku akan kehilangan segalanya. Aku takut jika aku berhenti mencarinya, aku akan kehilangan diri aku sendiri.”
Nadia menggenggam tangan Reza dengan lembut. “Reza, kamu tidak perlu kehilangan dirimu. Kamu sudah memiliki banyak hal yang luar biasa di dalam dirimu. Jangan biarkan kenangan itu menghalangimu untuk melangkah maju.”
Untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu, Reza merasakan sedikit kedamaian. Mungkin, bintang itu tidak akan pernah kembali. Namun, ia tahu bahwa langit masih penuh dengan bintang-bintang lainnya—bintang yang mungkin tidak ia sadari selama ini.
Malam itu, setelah lama terdiam, Reza menatap langit lagi. Ia merasa, mungkin, ia harus berhenti mencari bintang yang hilang dan mulai mencari bintang yang ada di hadapannya—bintang-bintang yang selama ini belum ia lihat, bintang-bintang yang mungkin sudah ada di dalam dirinya sendiri.*
Bab 5: Menemukan Bintang di Laut
Pagi itu, langit tampak begitu cerah, dengan warna biru yang begitu murni dan awan-awan putih yang mengapung perlahan. Laut yang biasanya berombak tampak tenang, seolah menunggu sesuatu yang besar untuk datang. Nadia dan Reza berdiri di tepi pantai, keduanya hanya terdiam sejenak, menikmati keheningan yang aneh ini. Ada semacam ketenangan di udara yang membuat mereka merasa seperti dunia di sekitar mereka berhenti berputar untuk sesaat.
Sudah beberapa minggu sejak percakapan mereka tentang bintang yang hilang, dan meskipun Reza tampak sedikit lebih tenang, Nadia tahu bahwa perjalanan mereka belum berakhir. Ada sesuatu dalam diri Reza yang masih belum sepenuhnya ia temukan—sebuah kekosongan yang belum terisi, sebuah pertanyaan yang masih mengambang di udara. Nadia tahu bahwa ia tidak bisa menyelesaikan masalah itu untuknya, tetapi ia ingin membantu Reza menemukan jalan keluar dari bayang-bayang masa lalu yang terus mengikutinya.
“Reza, kamu pernah bilang bahwa bintang yang hilang itu selalu menghantuimu. Tapi, apa yang sebenarnya kamu cari, sebenarnya?” Nadia bertanya, suaranya lembut, namun penuh dengan perhatian.
Reza menatap laut dengan mata yang tampak kosong, seolah mencari sesuatu yang jauh di kejauhan. Ia menghela napas panjang, seolah mempersiapkan dirinya untuk membuka perasaan yang telah lama terkubur. “Aku mencari kedamaian, Nadia. Aku ingin merasakan bahwa aku bisa melepaskan masa lalu dan hidup tanpa rasa takut. Aku ingin tahu bahwa hidupku memiliki arti, bahkan jika bintang itu tidak ada lagi.”
Nadia merasa hatinya bergetar mendengar kata-kata Reza. Meskipun ia tidak bisa merasakan sepenuhnya apa yang dirasakan Reza, ia tahu betapa besar beban yang dipikul oleh pria itu. Bintang itu, yang dulu menjadi simbol harapan dan cinta, kini berubah menjadi beban yang menghalangi Reza untuk melangkah maju. Nadia merasa sebuah ikatan yang lebih dalam dengan Reza, dan ia tahu bahwa sekarang adalah waktu yang tepat untuk membantu Reza menemukan apa yang hilang dalam dirinya.
“Mungkin,” kata Nadia dengan lembut, “bintang yang kamu cari itu bukan sesuatu yang harus ditemukan di langit, tetapi sesuatu yang bisa kamu temukan di sini, di dalam dirimu sendiri. Laut ini, misalnya, selalu berubah, namun tetap memiliki kedamaian. Mungkin bintang yang hilang itu bisa kamu temukan di dalam ketenangan, bukan dalam pencarian yang terus-menerus.”
Reza terdiam, matanya mulai tampak lebih hidup, meskipun masih dipenuhi dengan keraguan. “Aku selalu merasa ada yang hilang, Nadia. Tapi setiap kali aku mencoba untuk menemukan jawabannya, aku merasa semakin jauh dari diriku sendiri. Aku merasa terjebak antara apa yang aku inginkan dan apa yang aku takuti.”
Nadia mendekat, meletakkan tangan di bahu Reza. “Reza, terkadang kita tidak perlu tahu semua jawabannya. Kadang, yang kita butuhkan hanyalah waktu untuk menerima diri kita apa adanya. Laut ini tidak pernah berhenti bergerak, begitu juga hidup kita. Kita tidak bisa kembali ke masa lalu, tapi kita bisa memilih untuk bergerak maju.”
Percakapan mereka terhenti sejenak saat sebuah ombak besar menghantam pantai, menyemprotkan air ke arah mereka. Keduanya tertawa kecil, merasakan sejenak kebebasan yang datang dari kebersamaan itu. Ada perasaan ringan yang mengalir di antara mereka, seolah dunia yang penuh dengan pertanyaan dan kebingungan itu untuk sesaat tidak lagi ada.
Setelah beberapa saat, Reza mengajak Nadia berjalan menyusuri pantai, membiarkan kaki mereka menyentuh air laut yang dingin. Ada sesuatu dalam dirinya yang mulai mereda. Setiap langkah yang mereka ambil di pasir, seolah menghapus sebagian beban yang selama ini ia bawa. Reza merasa, mungkin, ini adalah langkah pertama untuk menerima kenyataan bahwa ada beberapa hal yang tidak bisa dipaksakan.
“Aku rasa aku mengerti sekarang, Nadia,” kata Reza, suaranya terdengar lebih tenang. “Mungkin aku terlalu fokus pada bintang yang hilang itu dan lupa bahwa ada bintang-bintang lain yang terus bersinar di sekitar kita. Aku merasa aku terlalu terobsesi dengan mencari sesuatu yang sudah tidak ada lagi, dan itu membuatku melupakan hal-hal kecil yang berharga.”
Nadia tersenyum, merasa senang mendengar kata-kata itu. “Kadang-kadang, kita terjebak dalam pencarian yang tidak pernah berakhir, padahal jawabannya sudah ada di depan mata kita,” jawabnya, sambil menatap laut yang tenang. “Kamu tidak perlu mencari bintang yang hilang, Reza. Bintang itu mungkin memang tidak akan kembali, tetapi ada banyak bintang lain di dunia ini. Bintang yang bisa kamu temukan dalam dirimu sendiri.”
Mereka terus berjalan, menikmati kesunyian yang ada, tetapi kali ini, kesunyian itu terasa berbeda—lebih damai, lebih penuh arti. Ketika mereka mencapai ujung pantai, di mana laut bertemu dengan langit yang mulai memudar, Reza berhenti dan menatap horizon. Di sana, di kejauhan, langit yang sedikit berwarna merah muda mulai mengarah ke malam, dan bintang-bintang pertama mulai muncul satu per satu.
“Lihat,” kata Reza, menunjuk ke langit. “Bintang itu… bintang yang baru.”
Nadia melihat ke arah yang ditunjuk Reza. Sebuah bintang yang terang mulai muncul di antara langit yang gelap, bersinar dengan cahaya yang lembut namun penuh keyakinan. “Ya,” jawab Nadia dengan senyum, “bintang baru. Mungkin bintang itu adalah simbol dari langkah baru yang kita ambil bersama.”
Reza mengangguk, matanya bersinar dengan harapan yang baru. “Aku tidak lagi mencari bintang yang hilang, Nadia. Aku tahu sekarang bahwa aku tidak perlu melanjutkan pencarian itu. Ada bintang-bintang baru yang menungguku, dan aku siap untuk melihat mereka dengan cara yang berbeda.”
Nadia merasa sebuah kelegaan yang mendalam. Ia tahu bahwa perjalanan Reza belum berakhir, tetapi setidaknya ia telah menemukan titik awal yang baru, sebuah pemahaman yang datang dengan menerima kenyataan dan melepaskan apa yang telah hilang. Di tengah laut yang luas ini, di bawah langit yang dipenuhi bintang, Reza akhirnya menemukan kedamaian yang ia cari—bukan di masa lalu, tetapi di dalam dirinya sendiri.
Malam itu, mereka duduk bersama di tepi pantai, menatap langit yang semakin gelap, dengan bintang-bintang yang semakin banyak bermunculan. Reza merasa ada sesuatu yang baru dalam dirinya—sebuah keyakinan bahwa, meskipun banyak hal yang hilang, masih banyak hal yang bisa ditemukan. Nadia, dengan segala pengertiannya, merasa lega melihat Reza mulai melepaskan beban berat yang selama ini menghalanginya.
Mereka tidak berbicara lagi, tetapi dalam keheningan itu, mereka tahu bahwa mereka sudah berada di jalan yang benar. Bintang yang hilang mungkin tidak akan pernah kembali, tetapi ada bintang-bintang baru yang menunggu untuk ditemukan, baik di langit, maupun dalam hati mereka masing-masing.***
——————THE END———–