• Latest
  • Trending
  • All
  • Movie Review
  • Box Office
  • Trailer
  • Action
  • Romantic
  • Comedy
  • Horror
  • Serial Movie
  • Genre
Desa yang Menghilang Saat Hujan

Desa yang Menghilang Saat Hujan

July 19, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025
JEJAK DI PINTU TERLARANG

JEJAK DI PINTU TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

May 17, 2025
TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

May 17, 2025
PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

May 12, 2025
HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

May 12, 2025
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

May 10, 2025
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

LUKISAN YANG MENANGIS

May 10, 2025
  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
No Result
View All Result
Novel Story
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah
Novel Story
Desa yang Menghilang Saat Hujan

Desa yang Menghilang Saat Hujan

by SAME KADE
July 19, 2025
in Misteri & Thriller
Reading Time: 24 mins read

Bab 1: Surat Undangan dari Desa Hilang

Langit Jakarta sore itu dipenuhi awan kelabu, seolah ikut menyerap kegelisahan yang perlahan mengisi kepala Raka. Di sudut kecil ruang kerjanya yang penuh tumpukan berkas investigasi, ia mendapati sebuah amplop kusam berwarna cokelat tua, tanpa nama pengirim, tanpa perangko, seolah dikirim dari tempat yang tak terjangkau teknologi.

Tulisan tangannya rapi, namun tampak gemetar. Hanya satu kalimat yang tertera di halaman pertama:

“Datanglah sebelum hujan pertama bulan Juli, atau semuanya akan hilang.”

Alis Raka terangkat. Ia membaca ulang kalimat itu beberapa kali, mencoba mencerna arti tersirat di balik ancaman halus tersebut. Ia menyusuri lembaran berikutnya, menemukan peta kasar dengan tanda silang merah, dan sebuah nama yang belum pernah ia dengar: Desa Rinjani.

“Apa ini semacam lelucon?” gumamnya, tetapi rasa penasaran mulai menusuk-nusuk pikirannya.

Ia membawa amplop itu ke meja redaksi. Sambil menyeruput kopi, ia bertanya pada rekan-rekannya, tapi tak satu pun pernah mendengar nama desa itu. Ia bahkan mencari di internet, Google Maps, peta digital, dan hasilnya nihil.

Yang lebih ganjil lagi, ketika Raka memperhatikan kembali amplopnya, ia melihat sidik jari air di sudut bawah surat—seolah pengirimnya menulisnya dalam keadaan basah kuyup.


Malamnya, saat hujan pertama bulan Juni turun dengan derasnya, Raka tidak bisa tidur. Kalimat itu terus terngiang-ngiang di kepalanya:

“Datanglah sebelum hujan pertama bulan Juli…”

Bukan hanya karena sifatnya yang misterius, tapi karena firasat aneh yang perlahan muncul dalam benaknya. Ada sesuatu dalam surat itu yang terasa… nyata. Seolah bagian dari dirinya tahu, ini bukan permintaan tolong biasa.

Dan sebagai jurnalis, Raka tahu satu hal: cerita terbaik selalu datang dari tempat yang paling tidak terduga.

Maka keesokan paginya, dengan kamera, buku catatan, dan senter kecil di dalam tasnya, ia memesan tiket kereta paling pagi ke kota kecil terdekat dari lokasi di peta itu. Ia belum tahu bahwa perjalanan ini bukan sekadar liputan investigasi…

…melainkan langkah awal menuju desa yang tak seharusnya ada.*

Bab 2: Perjalanan ke Ujung Peta

Kereta ekonomi yang ditumpangi Raka menderu pelan meninggalkan stasiun Gambir, menembus pagi yang dingin dan berkabut. Peta kasar dari surat itu terlipat rapi di saku jaketnya, sementara matanya menatap kosong ke jendela yang memantulkan bayangan samar dirinya. Ia belum tahu apa yang menunggunya, tapi rasa penasaran menyingkirkan semua keraguan.

Setelah tujuh jam perjalanan dan dua kali transit, Raka tiba di sebuah kota kecil bernama Sembalang, kota terakhir yang tercatat di peta digital. Di sinilah sinyal ponselnya mulai melemah, dan Google Maps tidak lagi memberi arah.

Ia menunjukkan salinan peta dari surat itu pada seorang supir ojek tua yang sedang duduk santai di warung kopi pinggir jalan.

“Desa Rinjani?” Supir itu terdiam, lalu menatap Raka seolah-olah ia sedang bercanda. “Mas baca dari mana nama itu?”

Raka mengangkat bahu. “Ada seseorang dari sana mengirim surat ke kantor saya.”

Si bapak menghela napas, mengalihkan pandangannya ke langit yang mulai menggelap. “Kalau saya boleh saran, Mas… jangan ke sana. Tempat itu sudah lama tidak disebut-sebut. Orang-orang bilang desa itu sudah tidak ada.”

Raka mengerutkan kening. “Maksudnya?”

“Dulu memang ada pemukiman kecil di arah utara bukit, dekat hutan karet yang tua. Tapi sudah bertahun-tahun tidak ada yang ke sana. Beberapa bilang tempat itu hilang ditelan tanah longsor, ada juga yang bilang penduduknya pindah. Tapi… ada juga cerita lain.” Suaranya merendah. “Cerita yang tidak enak didengar.”

Raka menyandarkan tubuh ke kursi kayu warung, berusaha menahan ketertarikan yang mulai melonjak.

“Cerita apa?”

Supir itu ragu-ragu sejenak. “Setiap bulan Juli, hujan pertama akan membawa kabut aneh. Kalau kau tersesat dalam kabut itu, katanya… kau bisa masuk ke desa yang tak pernah ada, dan tak semua bisa keluar lagi.”

Seketika suasana menjadi hening. Hanya suara serangga hutan yang mengisi kekosongan di antara mereka.

Raka menyadari satu hal: apa yang ia hadapi bukan hanya kisah tentang desa terpencil, tetapi sebuah tabir gelap yang sengaja dilupakan.

Keesokan paginya, dengan motor sewaan dan peta yang sudah hampir koyak, Raka menelusuri jalan tanah yang sepi, melalui kebun karet dan bukit-bukit berkabut. Jalanan makin sempit dan menanjak, sinyal ponsel benar-benar hilang. Satu-satunya penunjuk arah hanyalah sebuah papan tua berlumut bertuliskan:

“HATI-HATI. TANAH RAWAN LONGSOR. TIDAK ADA PERMUKIMAN DI DEPAN.”

Namun, entah mengapa, langkahnya tak pernah ragu. Seolah suara di kepalanya berbisik lembut:

Teruskan, Raka… kamu sudah dekat.

Dan di tengah kabut yang mulai turun, samar-samar, ia melihat siluet pagar bambu, jalan berbatu, dan gerbang kayu tua yang setengah runtuh dengan ukiran huruf: Selamat Datang di Desa Rinjani.

Namun yang membuat bulu kuduknya berdiri—di bawah tulisan itu, seseorang mencoret dengan darah atau lumpur:

“Keluar sebelum hujan turun.”*

Bab 3: Sambutan Sunyi di Desa Rinjani

Langkah kaki Raka terasa berat ketika melewati gerbang kayu tua yang mengelupas dimakan waktu. Hening menyelimuti sekeliling. Tak ada suara ayam berkokok, tak ada anak-anak berlarian, tak ada suara aktivitas. Hanya desir angin yang menggoyangkan dedaunan, dan suara langkahnya sendiri di atas tanah berbatu.

Di hadapannya, terbentang sebuah desa yang seolah terjebak dalam masa lalu. Rumah-rumah panggung dari kayu jati berdiri rapat, catnya memudar, atap rumbia sudah mulai lapuk. Tidak ada kendaraan, tidak ada tiang listrik. Semua tampak seperti lukisan dari era yang telah dilupakan sejarah.

Raka meneguk ludah. Ini benar-benar desa yang dikirimi dalam surat.

Seorang perempuan tua tiba-tiba muncul dari balik pintu rumah, mengenakan kebaya abu-abu dan kerudung kusam. Ia memandangi Raka lama, tanpa senyum, tanpa sapaan. Hanya sorot matanya yang tajam, penuh curiga, seolah menelanjangi jiwa Raka tanpa permisi.

Tak lama, satu per satu warga mulai muncul dari balik pintu, dari celah-celah jendela kayu. Tatapan mereka seragam—dingin, sunyi, tidak bersahabat. Seakan kehadiran Raka adalah gangguan bagi keseimbangan yang rapuh di desa itu.

Raka mencoba tersenyum dan melambaikan tangan.

“Permisi… saya Raka. Saya mendapat surat dari seseorang di desa ini. Saya jurnalis…”

Tak ada jawaban. Hanya seorang bocah laki-laki yang berdiri di ujung jalan berbatu yang bergumam pelan—suara nyaris tak terdengar:

“Kamu datang terlambat…”

Bocah itu kemudian berbalik dan berlari, menghilang di balik gang kecil. Raka mengejarnya, tapi saat ia membelok ke arah gang, anak itu sudah lenyap, seolah menembus dinding rumah yang tertutup rapat.

Hati Raka mulai dipenuhi rasa tidak nyaman. Ada sesuatu yang sangat tidak biasa di sini.

Ia terus berjalan menuju satu-satunya bangunan yang tampak seperti balai desa. Pintu terbuka, meja-meja berdebu, dan di dinding tergantung foto-foto kepala desa dari masa lalu. Tapi yang membuat napasnya tercekat adalah foto terakhir di ujung kanan.

Tertulis nama: Pak Darsiman – Kepala Desa Rinjani (1952–Sekarang)

Sekarang?

Wajah di foto itu adalah pria tua dengan mata tajam—sama persis seperti lelaki renta yang dilihat Raka berdiri di pojok lapangan desa tadi. Mustahil. Jika ia menjabat sejak 1952, itu berarti…

“Bapak?” suara serak terdengar dari belakangnya. Raka berbalik.

Lelaki tua itu berdiri di ambang pintu, mengenakan baju lurik dan sarung. Wajahnya persis seperti di foto. Tanpa ekspresi, ia menatap Raka dengan sorot mata kosong, seolah tahu siapa Raka sebelum Raka memperkenalkan diri.

“Kenapa kau datang?” tanyanya lirih. “Kami tidak ingin dikunjungi.”

“Saya… saya diundang. Ada surat. Saya ingin tahu apa yang terjadi di desa ini.”

Pak Darsiman menarik napas panjang. “Kalau begitu, kau harus tahu satu hal penting…”

Ia mendekat, dan saat ia berbicara, bisikannya menggema tak wajar di ruang kosong itu.

“Hujan akan segera turun, Nak. Dan saat itu terjadi, jangan pernah menatap ke belakang. Apa pun yang kamu dengar… jangan berbalik.”*

Bab 4: Orang-Orang yang Tidak Pernah Tua

Malam itu, udara di Desa Rinjani terasa berat, seolah angin pun enggan berhembus. Raka duduk di dalam rumah kayu kecil yang dipinjamkan oleh Kepala Desa. Lampu minyak di sudut ruangan memancarkan cahaya kekuningan yang menari di dinding-dinding kayu, menciptakan bayangan-bayangan aneh yang membuat suasana makin ganjil.

Ia menatap kembali foto-foto tua yang ia potret di balai desa siang tadi. Wajah-wajah itu jelas. Rapi dalam bingkai, tahun-tahun tercetak di bawahnya. Namun, yang membuat jantung Raka berdegup lebih kencang adalah fakta ganjil yang tak bisa ia abaikan:

Wajah anak-anak di foto tahun 1968… sama persis dengan wajah anak-anak yang ia lihat bermain petak umpet di halaman rumah tadi sore.

Satu bocah perempuan dengan pita merah dan tahi lalat di pipi kiri. Bocah laki-laki bertubuh tambun dengan rambut ikal. Bahkan cara mereka tersenyum… tidak berubah sedikit pun.

Raka berdiri, gelisah. Ia membuka jendela, berharap kabut tipis malam bisa menenangkan pikirannya. Di kejauhan, di bawah cahaya bulan, ia melihat anak-anak itu masih bermain… di tempat yang sama, mengenakan pakaian yang sama, tertawa tanpa suara.

Waktu seakan membeku di desa ini.

Keesokan harinya, Raka memberanikan diri bertanya pada salah satu warga yang tampak lebih terbuka, seorang wanita muda bernama Mbak Ranti, yang menjual rempah-rempah di depan rumahnya.

“Maaf, Mbak,” ujar Raka hati-hati. “Anak-anak di sini… mereka kelihatannya tidak berubah ya, dari tahun ke tahun?”

Ranti hanya diam sejenak, sebelum menjawab dengan senyum datar. “Di sini, waktu berjalan dengan cara yang berbeda, Mas.”

“Maksudnya?”

“Yang datang dari luar… tidak akan mengerti. Kami tidak tua. Tapi kami juga tidak benar-benar hidup seperti yang Mas pikirkan.”

Raka mengerutkan dahi. “Jadi kalian tidak—”

Ranti menoleh cepat ke kiri dan kanan, lalu menekankan jarinya di bibir. “Jangan katakan keras-keras. Ada yang mendengar.”

Seketika itu pula, langit mendadak mendung, seperti respons dari sesuatu yang tak kasatmata. Angin dingin menyusup di sela-sela papan rumah. Dan untuk pertama kalinya, Raka merasa dirinya sedang diawasi… bukan oleh manusia, tapi oleh sesuatu yang hidup dalam diam.

Di malam kedua, Raka kembali ke balai desa sendirian, lampu senter menuntunnya dalam gelap. Ia membuka kembali lembar demi lembar arsip yang ia temukan di laci meja tua.

Surat izin, dokumen pembangunan, daftar penduduk. Tapi ada satu folder yang membuat tenggorokannya tercekat.

“Daftar Kematian Warga Desa Rinjani 1950–1975”

Ia membaca nama-nama yang tertera—dan matanya melebar.

Semua nama anak-anak yang masih ia lihat hari ini… sudah tercatat meninggal.

Beberapa karena demam tinggi, yang lain karena tenggelam di sungai, satu akibat petir saat bermain layangan.

Tapi bagaimana mungkin mereka masih hidup?

Seketika itu juga, lampu senter berkedip dan mati. Gelap. Sunyi.

Dan dari luar bangunan, Raka mendengar suara nyanyian kecil. Pelan, seperti lagu nina bobo… dinyanyikan dalam nada datar yang menyeramkan.

Ia menatap ke luar jendela.

Anak-anak itu berdiri di bawah pohon beringin tua. Semua menatap ke arahnya. Semua diam. Tidak berkedip. Tidak bernapas.*

Bab 5: Hujan Pertama dan Desa yang Menghilang

Petang itu, langit Desa Rinjani menggantung berat, gelap seperti gumpalan jelaga yang siap runtuh dari langit. Angin bertiup dingin dan basah, menusuk tulang, membawa aroma tanah yang belum terguyur air selama berbulan-bulan.

Raka berdiri di beranda rumah panggung tempatnya menginap, menatap langit dengan perasaan tak karuan. Kata-kata kepala desa terus bergema di telinganya:

“Saat hujan pertama turun… jangan pernah menoleh ke belakang.”

Petir menyambar. Kilat membelah langit, dan seketika hujan pertama bulan Juli jatuh.

Tapi ini bukan hujan biasa.

Tetesannya besar, lambat, seperti cairan yang berat, membasahi tanah dengan suara berdesir aneh, nyaris seperti bisikan. Kabut tebal mulai turun, seolah merayap dari perut bumi, menyelimuti desa pelan-pelan.

Raka melangkah keluar, tubuhnya menegang. Ia melihat rumah di ujung jalan—yang tadinya dihuni oleh sepasang kakek-nenek—mulai bergetar halus. Lalu… menghilang.

Bukan roboh. Bukan runtuh. Tapi lenyap, seperti dicoret dari realitas. Kabut menyelimuti bangunan itu, lalu saat kabut memudar, yang tersisa hanya tanah kosong dan bekas pondasi retak.

Mata Raka membelalak.

Satu per satu, rumah-rumah lain menghilang, diselimuti kabut, tenggelam ke dalam sesuatu yang tak kasatmata. Udara bergetar dengan suara-suara aneh: bisikan anak-anak, nyanyian yang diputar mundur, tangisan yang menggema dari langit.

Ia ingin berlari, ingin menolong, tapi tubuhnya tak bisa digerakkan. Di seberangnya, ia melihat seorang anak kecil—bocah yang pernah berkata, “Kamu datang terlambat”—menatapnya dengan wajah basah oleh hujan, lalu pelan-pelan menghilang di balik kabut.

Pagi harinya, hujan berhenti. Langit cerah, matahari menyapa desa seperti biasa, seolah malam tadi tak pernah terjadi.

Tapi Raka tahu. Sesuatu telah berubah.

Ia berlari ke rumah-rumah yang ia ingat, memanggil nama-nama warga yang sempat ia ajak bicara. Tak ada jawaban. Beberapa rumah benar-benar hilang, digantikan rerumputan dan tanah kosong seolah tak pernah berdiri bangunan di sana.

Ia kembali ke balai desa. Foto-foto di dinding masih tergantung. Tapi kini, beberapa wajah telah hilang dari bingkai—mereka yang rumahnya lenyap malam tadi.

Yang lebih mengerikan, nama-nama mereka juga tak tercantum lagi dalam daftar penduduk. Seperti disapu dari sejarah.

Mereka tidak hanya hilang secara fisik. Mereka dihapus.

Raka duduk di tangga balai desa, tubuhnya gemetar. Desa ini tidak hanya tersembunyi… desa ini hidup di antara dua dunia—dan hujan adalah gerbangnya.

Lalu angin bertiup lagi. Kabut tipis kembali muncul dari balik bukit. Dan di ujung jalan, berdiri seorang sosok perempuan berbaju basah kuyup, rambut menutupi wajah, dan suara gemetar yang nyaris tak terdengar:

“Belum selesai. Hujan berikutnya akan memilihmu…”*

Bab 6: Buku Harian Kepala Desa Lama

Kabut belum sepenuhnya menghilang saat Raka memaksa dirinya menyusuri lorong belakang balai desa. Jantungnya masih berdebar tak menentu sejak peristiwa semalam. Ia merasa semakin dekat pada sesuatu—entah kebenaran, atau justru sesuatu yang tak boleh ia temukan.

Saat membuka laci tua di ruang arsip, tangannya menyentuh sebuah benda berdebu, terbungkus kain batik yang telah usang. Di balik lipatan kain itu, tersembunyi sebuah buku bersampul kulit, berwarna cokelat tua, dengan sudut-sudut yang mulai hancur dimakan waktu.

Di halaman pertama, tertera tulisan tangan dengan tinta hitam yang telah memudar:

“Catatan Kepala Desa Rinjani — R. Kusworo, Tahun 1945.”

Raka membalik halaman demi halaman. Setiap lembar adalah potongan masa lalu—kronik tentang desa yang dulu sederhana dan tenteram, hingga pada satu entri yang membuat darahnya berdesir dingin:

“1 Juli 1945.

Musim kemarau terlalu panjang. Sawah mengering, anak-anak mulai demam, air sumur menyusut. Kami tidak punya pilihan lain. Para tetua desa mengusulkan sebuah cara kuno… memanggil hujan lewat Ritual Wuku Tirta.

Aku ragu. Ritual itu telah dilarang sejak zaman kolonial. Namun, warga terdesak. Maka malam ini, kami lakukan di bawah pohon beringin tua.”

Raka membalik halaman berikutnya.

“2 Juli 1945.

Hujan memang turun malam itu, tapi… bukan hujan biasa. Langit berwarna merah. Petir menyambar, dan satu per satu warga mulai mendengar suara-suara dari dalam tanah. Bayi-bayi menangis tanpa henti. Sejak itu, waktu terasa berhenti. Anak-anak tidak tumbuh. Orang-orang tidak menua. Dan… rumah-rumah mulai menghilang saat hujan berikutnya datang.”

“Aku… telah membawa kutukan ke desa ini.”

Raka menarik napas panjang. Tangannya gemetar saat membalik ke entri terakhir, tertulis dengan tulisan lebih tergesa, penuh bercak tinta:

“19 Juli 1947.

Kami telah terjebak dalam lingkaran waktu. Mereka yang keluar, menghilang. Mereka yang bertahan, kehilangan jati dirinya. Aku tidak tahu apakah ini masih dunia nyata.

Kepada siapa pun yang membaca ini…
Jangan percaya apa pun yang dikatakan oleh Pak Darsiman. Ia bukan lagi manusia. Ia penjaga siklus.”

Raka mematung. Nama itu—Pak Darsiman, kepala desa saat ini. Orang yang menyambutnya pertama kali. Orang yang sudah menjabat sejak 1952. Orang yang… tidak pernah tua.

Suara papan lantai berderit tiba-tiba membuyarkan pikirannya. Raka menoleh cepat.

Pak Darsiman berdiri di ambang pintu arsip, wajahnya teduh namun matanya tidak. Pandangannya menusuk, tak berkedip, dan terdengar lirih:

“Kau membaca apa yang tidak seharusnya dibaca.”

Seketika udara menjadi dingin. Angin berembus dari jendela pecah, dan kabut mulai merayap masuk ke dalam ruangan, menari di antara buku-buku tua dan suara detak jantung Raka yang memburu.

Dan di luar sana, langit mulai mendung lagi.*

Bab 7: Makam Kosong dan Nama yang Sama

Langkah kaki Raka menjejak tanah basah yang mulai mengering usai hujan pertama. Aroma tanah, kabut pagi, dan sunyi yang menggantung seolah menekan udara di sekitar Desa Rinjani.

Setelah membaca buku harian Kepala Desa Kusworo, kepalanya penuh dengan tanda tanya yang semakin tak masuk akal. Ia butuh bukti lain. Sesuatu yang lebih nyata.

Warga desa tidak banyak terlihat hari itu. Anak-anak yang kemarin bermain kini entah ke mana. Jalanan desa lengang. Hanya desir angin dan suara daun jatuh yang menyertai langkah Raka menuju bukit kecil di ujung utara desa—tempat yang dilukiskan samar dalam catatan harian sebagai “tanah para jiwa yang tertinggal.”

Pemakaman desa.

Gerbangnya terbuat dari kayu tua berukir aksara Jawa kuno yang hampir tak bisa dibaca. Raka mendorong pelan gerbang itu, berderit panjang seperti menjerit pelan.

Di dalam, barisan nisan berdiri rapi, dikelilingi ilalang yang menjulang setinggi lutut. Tapi yang membuat darah Raka perlahan mendingin adalah tulisan yang terukir di atas batu-batu itu.

Semua nama… adalah nama orang-orang yang ia temui di desa.

Darsiman. 1911 – 1952
Ranti. 1937 – 1950
Dio. 1942 – 1949
Mbah Mirah. 1899 – 1945

Setiap nisan bersih, tak berlumut. Seolah baru saja dibuat. Tak ada tanah yang tergali, tak ada tanda-tanda makam pernah dibuka atau ditutup. Tapi yang membuat bulu kuduknya benar-benar berdiri…

Beberapa nisan kosong. Tidak ada tanggal lahir. Hanya nama. Nama-nama yang ia belum temui di desa.

Atau… akan segera ia temui?

Raka melangkah lebih dalam, pikirannya membuncah dalam rasa tidak percaya. Ia memotret satu per satu nisan itu. Bukti. Ia butuh bukti nyata agar tak mengira dirinya mulai gila.

Lalu ia melihat sebuah batu nisan kecil di bawah pohon akasia tua, hampir tersembunyi oleh semak. Ukurannya lebih kecil dari yang lain. Ia bersihkan perlahan dengan tangan. Tanah di sekitarnya lebih basah dari yang lain.

Dan saat ukiran namanya muncul, Raka terduduk, napasnya tercekat.

RAKA WICAKSONO. 1997 – …
Tanggal wafat: belum terukir.

Tangannya gemetar. Dunia seakan runtuh di sekelilingnya. Ia mundur pelan, tak menyadari dedaunan di belakangnya bergerak tanpa angin.

Sebuah suara kecil terdengar di telinganya—seperti bisikan anak-anak, seperti nyanyian jenaka yang diputar dengan nada palsu:

“Kalau sudah punya batu nisan… artinya kamu tinggal menunggu waktu, Kak Raka.”

Raka menoleh. Tidak ada siapa-siapa.

Atau sudah terlambat?

Dalam ketakutan yang mencengkeram, ia lari menuruni bukit menuju desa. Tapi sesuatu telah berubah.

Beberapa rumah telah hilang lagi.
Warga yang ia temui dua hari lalu tak lagi tampak.
Dan kabut… mulai turun sebelum senja.

Apakah waktu di desa ini terus berjalan mundur… menuju penghapusan total?*

Bab 8: Waktu yang Terjebak

Raka duduk di teras rumah panggung tempat ia menumpang tinggal, memandangi jam tangannya yang retak. Jarum pendeknya tetap berada di angka tujuh, menit pada dua belas. Sejak ia tiba seminggu lalu, waktu di jam itu tak pernah bergerak—seolah membeku pada momen kedatangan.

Ia sudah mengganti baterainya. Bahkan mencoba mencocokkannya dengan waktu matahari. Tapi tak peduli berapa lama ia menjalani hari-harinya di Desa Rinjani, jam itu tetap keras kepala, seperti memegang rahasia sendiri.

Dan lebih aneh lagi, ia tak pernah melihat matahari benar-benar terbit atau tenggelam. Langit hanya berganti warna perlahan-lahan—merah kusam, abu-abu pudar, biru dingin. Tak ada pagi sejati. Tak ada malam sepenuhnya.

Beberapa malam terakhir, Raka mulai mengalami mimpi yang terasa terlalu nyata.

Dalam mimpinya, ia selalu berjalan menyusuri jalanan desa yang kosong, diapit rumah-rumah yang perlahan berubah jadi puing. Suara lonceng kecil berdentang dari arah balai desa, dan anak-anak yang sama terus muncul dari balik kabut sambil menyanyi pelan:

“Waktu berputar… tapi tak pernah maju.
Siapa yang datang, tak pernah pulang.
Siapa yang lupa, akan hilang…”

Ia terbangun dengan keringat dingin setiap kali, tetapi yang paling mengganggunya adalah… ia mulai bisa menebak mimpi berikutnya. Seperti potongan ulang, deja vu yang makin tajam. Bahkan percakapan penduduk yang ia dengar di siang hari, terasa seperti salinan dari percakapan di mimpi.

Puncaknya terjadi siang itu.

Saat berjalan ke balai desa, ia menyapa Mbah Mirah yang sedang menjemur daun-daun kering di halaman. Perempuan tua itu tersenyum dengan cara yang terlalu tenang.

“Apa kamu sudah menemukan jam desa, Raka?”

Raka tertegun. Ia belum pernah membicarakan soal jam dengan siapa pun. Bahkan… ia baru saja berniat untuk mencari tahu apakah desa punya jam utama atau menara waktu seperti di buku harian lama.

“Mbah… maksudnya jam desa?”

Mbah Mirah memandangnya dengan mata yang, untuk pertama kalinya, tampak sangat tua. Seolah ia membawa ratusan tahun dalam tatapannya.

“Kalau kamu menemukannya, jangan pernah mencoba memperbaikinya. Waktu di sini tidak ingin diubah.”


Sore itu, Raka kembali ke kamarnya dengan jantung berdegup tak karuan. Ia mulai mencatat setiap kejadian, setiap mimpi, dan setiap déjà vu dalam buku tulis kecil. Tapi keesokan harinya…

Buku itu kosong. Seolah tak pernah ditulis.

Semua catatan hilang, namun ia masih mengingat isinya. Tulisan tangannya sendiri, tanggal-tanggal yang ia ciptakan, dan sketsa aneh tentang jam rusak yang muncul dalam mimpi—semuanya hidup di kepalanya tapi mati di kertas.

Satu-satunya benda yang tetap konsisten adalah sebuah coretan samar di balik pintu kamar, yang sebelumnya tidak ia sadari. Tertulis dengan kapur yang hampir hilang:

“Raka. Ini sudah hari ke-37. Kau harus pergi… sebelum menjadi bagian dari mereka.”

Tangannya gemetar.

Siapa yang menulis itu?

Atau… apakah itu tulisan dirinya sendiri—yang pernah ia tulis di lingkaran waktu sebelumnya?

Bab ini menggambarkan distorsi waktu yang bukan hanya mengelilingi Raka, tapi mulai menyusup ke dalam kesadarannya. Realitas dan mimpi menjadi satu. Dan satu pertanyaan besar kini menghantuinya:

Apakah ia benar-benar masih hidup di dunia nyata… atau telah masuk ke dimensi yang tak pernah mengenal waktu seperti yang kita kenal?*

Bab 9: Perempuan Berpakaian Basah

Hujan turun tiba-tiba. Deras dan menggila, seperti air dari langit yang tumpah tanpa aba-aba. Raka berteduh di serambi rumah tua dekat pemakaman—tempat yang kini tak lagi ia hindari setelah semua keganjilan yang ia alami.

Udara mendadak dingin. Dan saat ia menoleh ke jalan becek yang mulai terendam air, ia melihatnya.

Seorang perempuan. Berdiri diam di tengah hujan. Kepalanya tertunduk. Rambutnya basah, menutupi sebagian wajah. Gaunnya panjang, putih pudar, melekat di tubuh karena kuyup. Tapi kulitnya… terlalu pucat. Terlalu sunyi.

“Jangan kembali ke arah mata angin.”

Suara perempuan itu pelan, nyaris tenggelam oleh gemuruh hujan. Tapi anehnya, Raka mendengarnya jelas. Kalimat itu membeku di kepalanya.

Raka mendekat, ragu. “Siapa kamu?”

Perempuan itu menatapnya perlahan. Matanya… bukan sekadar sedih. Tapi seakan menyimpan seribu kematian.

“Aku Penjaga Batas,” katanya. “Kau sudah terlalu dekat.”

Raka mengerutkan dahi. “Dekat dengan apa?”

“Dengan sisi lain dari desa ini.”
“Dengan tempat di mana waktu berhenti karena pilihan, bukan karena kutukan.”

Perempuan itu lalu berbalik, berjalan di bawah hujan tanpa meninggalkan jejak. Tanah tak berlumpur di bawah kakinya. Raka mengikutinya, terpanggil oleh sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Mereka melewati kebun tua, bukit kecil, hingga akhirnya tiba di sebuah tempat asing: sebuah gerbang dari kayu tua, setengah roboh, dipenuhi ukiran kuno dan simbol hujan.

Perempuan itu berhenti. “Ini batasnya,” bisiknya.

Raka merasa seluruh tubuhnya merinding. Gerbang itu tidak ada dalam peta. Tidak pernah disebut di buku harian kepala desa. Dan yang paling aneh—kabut di balik gerbang itu berputar, seperti hidup.

“Dulu, desa ini milik dunia nyata,” kata perempuan itu. “Tapi ritual gagal yang dilakukan pada Juli 1945 membuat batas antara dunia terbelah. Setiap kali hujan turun, batas itu terbuka. Beberapa penduduk menyebrang. Tapi mereka tak pernah bisa kembali.”

Raka mencoba memahami semuanya.

“Lalu… kenapa aku bisa masuk ke sini?”

Perempuan itu menatapnya dengan intens.

“Karena kamu adalah kunci yang hilang. Namamu tertulis di dua tempat sekaligus—di dunia ini dan dunia yang lama. Kamu pernah berada di sini sebelumnya.”

“Tidak mungkin. Aku baru pertama kali datang ke desa ini—”

“Benarkah?” potong perempuan itu. “Lalu kenapa kamu bermimpi tentang hal-hal yang belum terjadi?”

Tiba-tiba kilat menyambar. Dalam sepersekian detik terang itu, wajah perempuan itu berubah. Seperti bukan manusia. Kulitnya retak, matanya hitam sepenuhnya.

Raka mundur. Tak percaya. Tapi perempuan itu sudah kembali tenang.

“Maaf,” bisiknya. “Hujan membangkitkan bentuk asliku. Tapi aku tak akan menyakitimu. Belum.”

“Kamu harus memilih, Raka,” katanya. “Kembali sekarang… atau terjebak selamanya. Karena saat hujan turun untuk ketiga kalinya, desa ini akan menutup diri. Dan kamu akan menjadi bagian dari bayangan.”

Raka menatap langit. Masih hujan. Tapi ada sesuatu yang berubah—angin mulai berputar ke arah sebaliknya.

Dan ia tahu… pilihan itu tak bisa ia tunda lebih lama.*

Bab 10: Menembus Hujan, Menembus Dimensi

Langit belum berhenti menangis sejak pertemuannya dengan perempuan basah itu. Hujan mengguyur tanpa henti, menciptakan tirai air yang memisahkan antara yang terlihat dan yang tersembunyi.

Raka berdiri di jalan utama desa. Pakaiannya lembap, napasnya menggantung di udara dingin. Di tangannya tergenggam buku harian kepala desa lama, dengan halaman terbuka pada tulisan terakhir:
“Siapa pun yang mencoba melawan arah hujan, akan diulang kembali.”

Tapi Raka tidak ingin menunggu. Ia harus keluar. Sekarang atau tidak pernah.

Ia berlari. Melewati balai desa, makam-makam kosong, dan rumah-rumah yang kini tampak lebih senyap dari sebelumnya. Jam tangannya tetap di tanggal yang sama. Seolah waktu telah menyerah untuk bergerak.

Setiap langkahnya menimbulkan cipratan di tanah becek. Tapi ia tidak peduli.

Lalu ia melihatnya—jalan besar yang biasa ia lewati saat pertama masuk ke desa.

“Hampir sampai,” desisnya. Ia berlari semakin cepat.

Namun begitu menjejakkan kaki melewati gapura bambu tua, dadanya terasa ditarik. Hujan berubah menjadi pusaran, seperti lorong air yang menyedot tubuhnya.

Gelap.

Dalam sekejap, Raka terjatuh—di depan rumah tua tempatnya menginap. Lagi. Napasnya tercekat. Pakaiannya masih basah, tapi hujannya telah reda. Matahari terbit seolah baru pagi pertama.

Tidak mungkin…

Ia memeriksa jam tangannya. Masih hari pertama.
Ia telah diulang.

“Kau sudah melihat batasnya.”

Suara perempuan berpakaian basah muncul di belakangnya. Tak ada air di sekitarnya, tapi tubuhnya tetap kuyup. Seolah hujan hanya turun untuknya.

“Kenapa aku tak bisa keluar?”

Perempuan itu menghela napas. “Karena desa ini bukan berada di satu tempat. Ia… terjepit. Antara yang hidup dan yang sudah mati. Di sela waktu yang tak bergerak.”

Raka menatap langit. Hujan selalu turun dengan pola yang sama. Sama seperti bayangan penduduk. Sama seperti peristiwa-peristiwa yang terasa seperti déjà vu.

“Jadi aku terjebak di antara dua dunia?”

Perempuan itu mengangguk. “Dan hujan adalah pintu di antaranya.”

Ia menjelaskan: Desa ini dulu melakukan ritual pemanggilan hujan di tahun 1945 untuk menyelamatkan panen dari kemarau panjang. Tapi ritualnya melibatkan pengorbanan nyawa seorang anak tak bersalah. Ritual itu gagal, dan menyebabkan celah antara dua dimensi terbuka.

“Setiap kali hujan turun, desa ini tergelincir ke bayangannya sendiri,” ucap perempuan itu. “Yang mati kembali, yang hidup tersesat. Dan waktu membeku agar kebenaran tak pernah terungkap.”

Raka tersentak. “Dan aku?”

“Kamu bukan pendatang biasa. Kamu punya kaitan darah dengan pengorbanan itu. Darah yang masih mengikat dua dunia ini.”

Raka menatap tangannya. Lalu pada buku harian. Pada tanggal yang selalu sama. Pada wajah-wajah warga desa yang seperti mengenalnya sejak awal.

Mendadak, suara gemuruh petir membelah langit. Hujan kembali turun.

Perempuan itu berjalan mundur, tubuhnya perlahan larut dalam kabut.

“Kau bisa keluar…” katanya pelan, “tapi kau harus memilih untuk mengakhiri yang belum selesai. Atau ikut menjadi bagian dari desa ini… selamanya.”*

Bab 11: Fakta Tentang Leluhur Desa

Angin malam membawa bau tanah basah dan suara rintik hujan yang tak pernah benar-benar berhenti. Raka duduk di ruang belakang rumah kepala desa lama—sebuah ruangan penuh debu, sarang laba-laba, dan tumpukan kotak kayu tua.

Salah satu kotak telah ia buka. Di dalamnya: rekaman kaset pita, dokumen bertuliskan aksara lama, serta sebuah jurnal yang dijilid tangan. Lampu minyak di sampingnya bergoyang pelan saat ia menyalakan tape recorder tua yang nyaris tak bisa menyala.

Suara berderak menyambutnya… lalu suara berat dan dalam dari pria tak dikenal mulai berbicara dalam bahasa Indonesia kuno bercampur Belanda.

“Kami bukan korban… kami pelindung. Kami bersembunyi, bukan karena takut, tapi karena dunia tak bisa menerima kebenaran.”

Suara itu menceritakan kisah tentang sekelompok dukun perang—orang pintar yang dulunya bertugas sebagai pelindung spiritual para pejuang kemerdekaan. Setelah penjajah Belanda mundur, para dukun ini tidak dibutuhkan lagi. Sebagian dianggap berbahaya karena ilmu hitamnya, lalu diburu oleh pemerintah.

Mereka melarikan diri ke sebuah hutan terpencil. Dan di sanalah, desa ini didirikan. Bukan dengan batu dan kayu, melainkan dengan darah, janji, dan perjanjian.

Raka membuka dokumen-dokumen tua di sebelahnya. Ada peta yang sudah menguning, denah awal desa, dan simbol-simbol mistik di setiap penjuru. Namun yang paling mencolok adalah selembar kertas besar bertuliskan:

“Perjanjian Keabadian: Yang Mengikat Waktu, Tanah, dan Jiwa.”

Ia membaca dengan cermat. Perjanjian itu dibuat oleh tujuh dukun utama, masing-masing mewakili satu sisi kekuatan: air, api, tanah, angin, bayangan, waktu, dan nyawa. Mereka berikrar untuk menjadikan desa sebagai tempat perlindungan abadi, dengan satu syarat: tidak boleh ada keturunan mereka yang meninggalkan batas desa. Jika syarat dilanggar, dimensi akan retak.

Raka meneguk ludah. Kata-kata dalam perjanjian itu seperti membisikkan sesuatu dalam pikirannya.

“Darahmu… bukan darah biasa.”

Ia mengingat mimpi-mimpinya. Ingatan yang bukan miliknya. Wajah orang-orang yang belum pernah ia temui, tapi terasa akrab. Lalu ingatan akan neneknya—yang pernah berkata bahwa leluhur mereka berasal dari “desa yang tak pernah berubah.”

Apakah darahku adalah darah mereka? Apakah aku keturunan dari para pendiri ini?

Kaset kembali berbunyi.

“Akan datang seseorang dari garis ketujuh, darah yang tak tahu asalnya, tapi membawa pilihan: menghentikan perulangan, atau menjadi bagian dari lingkaran itu selamanya.”

Jantung Raka berdegup kencang.

Ia adalah garis ketujuh. Ia adalah pilihan itu.

Tiba-tiba, angin meniup keras dari luar. Jendela tua terbuka sendiri. Dokumen berterbangan, dan salah satu nisan di luar rumah bercahaya lemah.

Raka berdiri. Kini ia sadar: desa ini bukan kutukan… tapi semacam mesin waktu spiritual yang dijaga oleh para arwah leluhur. Dan dirinya—entah sengaja atau tidak—telah membuka kembali pintu yang seharusnya tetap terkunci.

Dalam kesunyian malam yang dilapisi hujan, Raka menatap langit.

“Kalau desa ini abadi karena perjanjian… maka cara keluar bukan melawan hujan. Tapi memutus ikatannya.”

Dan untuk itu, ia harus menghadapi sejarah yang disembunyikan, termasuk satu nama yang tak pernah ia bayangkan—ayah kandungnya sendiri.*

Bab 12: Upacara Pengakhiran

Malam itu hujan turun lebih deras dari biasanya, seolah langit ikut menyadari bahwa sesuatu akan diakhiri… atau dimulai kembali.

Raka berdiri di tengah lapangan tua desa, yang kini dikelilingi oleh simbol-simbol kuno yang digoreskan dari tanah liat dan arang. Api membara dalam mangkuk perunggu di keempat penjuru, membentuk formasi segel seperti yang tertulis dalam Perjanjian Keabadian.
Di seberangnya, berdiri perempuan berpakaian basah itu—sosok yang belakangan ini menyebut dirinya Laras, penjaga batas. Wajahnya tak lagi asing bagi Raka. Ia tak hanya penjaga, tapi juga keturunan langsung dari salah satu dukun pendiri.

“Upacara ini hanya bisa dilakukan oleh dua darah sejajar. Keturunan garis pendiri… dan keturunan yang tersesat dari garis ke-7. Kau,” kata Laras dengan tatapan dalam, “adalah kunci sekaligus pertaruhan.”

Risikonya jelas:
Jika ritual ini gagal—jika hati Raka goyah, jika bayangan masa lalu mempengaruhinya, jika salah satu roh leluhur menolak—jiwanya akan terperangkap selamanya dalam dimensi desa. Tak bisa kembali, tak bisa mati, hanya… mengulang.

Tapi jika berhasil…
Desa akan berhenti terjebak antara dunia dan arwah. Hujan akan menjadi hujan biasa. Waktu akan mengalir lagi.

Laras mulai melantunkan mantra. Bahasa tua yang tak dipahami, tapi menggema seperti gema jiwa dari perut bumi. Raka mengikuti, membaca teks kuno dari naskah yang ia temukan di rumah kepala desa, dengan tangan gemetar.

Setiap kata yang ia ucapkan seperti menggali luka lama dari tanah—suara gemuruh datang dari perbukitan, dan arwah-arwah penjaga mulai muncul. Sosok-sosok bercahaya dengan wajah kabur, berdiri membentuk lingkaran, menatap ke arah mereka.

Salah satu di antaranya melayang mendekat. Laras menunduk, tapi Raka menatapnya—dan tiba-tiba, ia mengenali wajah itu.

Ayahnya.
Bukan seperti di foto lama, tapi seperti dalam mimpi-mimpi Raka: muda, tangguh, namun menyimpan duka.

“Kau tak tahu apa yang kau hentikan, Nak,” bisiknya pelan. “Kami bukan hanya membangun perlindungan. Kami mengikat rasa bersalah kami di sini… agar tak menyebar.”

Raka terdiam. Dadanya sesak.
Inilah momen ujian: apakah ia akan menyerah dan menjadi bagian dari mereka… atau mengakhiri semuanya.

Tiba-tiba, hujan berhenti. Api di keempat penjuru membubung tinggi. Laras membuka botol kecil dari tanah liat, mengeluarkan cairan merah kehitaman—darah dari keturunan pendiri.

“Waktunya sekarang. Campurkan dengan darahmu. Tutup lingkaran. Dan katakan: Kembalikan waktu kepada yang hidup, lepaskan jiwa dari yang terikat.”

Tangan Raka gemetar saat ia menggores telapak tangannya sendiri. Ia mencampur darahnya ke dalam mangkuk di tengah lingkaran. Saat itu, tanah bergetar. Jeritan terdengar dari pohon-pohon. Arwah-arwah meronta. Dimensi mulai retak.

Suara perempuan—mungkin suara desa itu sendiri—berbisik:

“Jika kau memutusnya, kau akan melupakan kami. Kau akan kehilangan semua ingatan tentang desa ini. Tentang ayahmu. Tentang siapa kau sebenarnya.”

Air mata menetes di pipi Raka. Tapi bibirnya tetap bergerak.

“Kembalikan waktu kepada yang hidup, lepaskan jiwa dari yang terikat…”*

Bab 13: Hujan Terakhir dan Pilihan Terakhir

Langit berubah kelabu kehitaman. Petir menyambar bukan lagi sebagai kilatan, melainkan seperti retakan dimensi. Hujan turun—bukan gerimis, bukan badai—tapi hujan terakhir, hujan yang menandai akhir dari siklus panjang desa yang dikutuk.

Raka berdiri di atas bukit tempat desa bisa terlihat dari kejauhan. Tapi kini, desa itu tidak lagi tampak nyata. Bangunannya mulai samar, seperti lukisan cat air yang terkena percikan. Suara-suara samar dari penduduk mulai lenyap satu per satu.

“Waktunya habis,” suara Laras terdengar lemah di belakangnya. “Kutukan sedang menyelesaikan dirinya sendiri. Tapi tidak semua bisa bebas. Kecuali kau memilih.”

Dua pilihan kini terbuka di hadapan Raka:

  1. Meninggalkan desa, berjalan keluar sebelum bayangannya sendiri ikut larut, dan kembali ke dunia nyata. Jika ia pergi saat ini, ia akan selamat. Tidak ada yang akan mengingat desa itu—dan ia bisa kembali hidup sebagai “orang normal.”
  2. Tetap tinggal sampai akhir, menyelesaikan pengorbanan jiwa terakhir dengan menyatu ke dalam energi ritual, demi membebaskan seluruh roh yang selama ini terperangkap dalam desa. Tapi itu berarti ia takkan bisa kembali. Ia akan menjadi bagian dari legenda, atau lebih buruk: hanya kenangan yang tak pernah diingat siapa pun.

Laras meraih tangannya.

“Dulu, kakekku membuat pilihan yang salah. Mereka menciptakan keabadian dengan mengorbankan rasa bersalah. Tapi kau… kau bisa menebusnya.”

“Jika kau pergi, desa akan hilang… tapi kutukan bisa tumbuh di tempat lain. Tapi jika kau menetap, semua ini akan berhenti. Selamanya.”

Raka terdiam.
Kepalanya dipenuhi ingatan: senyuman warga desa yang aneh, suara tangis anak kecil di rumah kosong, tawa samar ayahnya dari balik jendela tua. Semuanya akan sirna.

Langkahnya bergerak perlahan ke batas terakhir—lingkaran batu yang mulai memudar di tepi dimensi.

Tapi tiba-tiba, bayangan masa kecilnya muncul. Ia melihat dirinya sendiri, berdiri dengan mantel kecil, menangis di tengah hujan. Itu… ingatan yang ia lupakan selama ini.

Ayahnya pernah membawanya ke desa ini saat kecil. Ia bukan orang luar. Ia adalah bagian dari desa ini sejak lama.

Keputusan itu kini bukan lagi tentang menyelamatkan. Tapi tentang jati diri.
Jika ia meninggalkan desa, ia juga akan meninggalkan bagian dari dirinya.

“Aku tak bisa pergi,” ucap Raka lirih. “Bukan karena aku ingin menyelamatkan mereka. Tapi karena aku tak ingin melupakan siapa aku.”

Raka berjalan kembali ke pusat desa, diiringi kilatan cahaya dari langit. Ia berdiri di tengah lingkaran terakhir, meletakkan tangannya di tanah basah.

Laras mulai membaca mantra terakhir. Kali ini, bukan pemutusan, tapi penyerahan.
Ia menoleh kepadanya terakhir kali.

“Kau yakin?”

“Jika ini membuat semua ini berhenti… maka ya. Aku siap.”

Tanah bergetar. Hujan berhenti.
Dan desa… meledak menjadi cahaya.*

Bab 14: Pagi Tanpa Desa

Raka terbangun di antara akar pepohonan yang lembap dan bau tanah basah. Sinar matahari pagi menembus celah dedaunan. Hujan telah reda. Namun yang lebih mengejutkan adalah—keheningan. Tak ada suara ayam berkokok, tak ada suara air pancuran, tak ada… desa.

Ia berdiri, tubuhnya lemas, namun langkahnya tetap diarahkan ke jalan setapak yang ia hapal benar—arah menuju Desa Rinjani. Tapi yang ia temukan hanya padang ilalang, batu-batu berserakan, dan pohon tua yang mati membusuk.

“Tidak mungkin…,” gumamnya.

Raka berkeliling, mencari rumah Laras, balai desa, bahkan kuburan tua di belakang bukit. Tapi semuanya lenyap. Seolah-olah tak pernah ada apa-apa.

Beberapa jam kemudian, ia ditemukan oleh seorang pria tua dari desa tetangga yang biasa menjelajah hutan.

“Nak, kau dari mana?”
“Aku dari… Desa Rinjani. Aku—aku harus kembali.”
Pria itu terdiam, lalu tersenyum samar.
“Tidak ada desa Rinjani di sini. Sejak saya lahir, tidak pernah ada.”

Raka dibawa ke rumah pria itu di sebuah desa kecil yang tak jauh dari lokasi ia ditemukan. Ia mencoba menunjukkan bukti:

  • Kamera digital: kosong.
  • Buku catatan: hanya halaman-halaman kosong.
  • Surat-surat yang ia kumpulkan: tidak ada dalam ransel.
  • Bahkan, tatto kecil berbentuk simbol desa di lengannya… telah menghilang.

Segalanya seolah-olah tidak pernah terjadi. Tapi Raka tahu. Ia merasa. Ia ingat.

“Apa semua itu hanya mimpi?” tanyanya pada diri sendiri.
Tapi jika itu mimpi, mengapa ia merasa kehilangan begitu dalam?

Hari-hari berlalu.
Raka memilih tinggal sementara di desa kecil itu. Ia mulai membantu penduduk—mengangkat hasil panen, memperbaiki pagar, dan diam-diam mencoba mencari informasi tentang sejarah sekitar. Tidak ada satu pun referensi tentang Desa Rinjani, bahkan di perpustakaan daerah atau arsip kolonial tua.

Namun pada suatu pagi, saat ia menyapu halaman rumah kayu tempat ia tinggal, ia menemukan sebuah benda tergeletak di bawah pohon mangga.

Sebuah batu kecil berlubang di tengah, basah oleh embun.

Tangannya gemetar saat memungutnya. Ia menutup mata. Dalam sekejap, suara hujan… dan suara tawa Laras… samar terdengar kembali.

Monolog batin Raka:

Mungkin tak semua yang nyata bisa dibuktikan dengan kamera atau catatan.
Mungkin, yang benar-benar ada… justru adalah yang meninggalkan jejak di jiwa, bukan di peta.

Dan mungkin, ada tempat-tempat yang memang tak ditakdirkan untuk diingat, kecuali oleh mereka yang memilih untuk mengorbankan segalanya.

Di senja hari, saat langit mulai temaram, Raka menulis sesuatu di kertas bekas bungkus rokok dengan pensil kecil:

“Jika suatu saat hujan turun di tempat ini, dan kau merasa tersesat, berjalanlah ke arah barat laut.
Tapi jangan cari Desa Rinjani.
Biarkan ia tetap menjadi rahasia langit dan tanah.
Biarkan aku satu-satunya yang mengingatnya.”

Lalu ia menyelipkan kertas itu di celah pohon tua—dan berjalan menuju cakrawala.*

Bab 15: Kisah yang Tak Bisa Diceritakan

Raka kembali ke kota dalam keadaan linglung, seperti seseorang yang baru saja pulang dari peperangan yang tak pernah terjadi. Rambutnya lebih panjang, wajahnya lebih tua dari usianya. Ia membawa satu ransel lusuh, selembar baju basah, dan sebuah saku yang… selalu lembap.

Di dalam saku jaketnya, tersimpan setetes air hujan.
Bukan air biasa. Air itu tak pernah mengering. Seolah menyimpan serpihan waktu dari tempat yang tak lagi ada di peta, namun tetap hidup dalam kenangan.


Hari-harinya di kota kembali bergulir: lampu merah, deru motor, kertas kerja yang tak pernah habis. Tapi tidak ada yang bisa benar-benar menyentuhnya. Ia terputus dari dunia nyata. Makan terasa hambar, tawa terdengar palsu.

“Kau ke mana saja selama sebulan?” tanya teman-temannya.
“Desa… Rinjani,” jawab Raka pelan.
“Desa mana? Di peta saja nggak ada.”

Raka hanya diam. Ia tahu mereka tak akan mengerti. Tak ada yang percaya. Bahkan ibunya pun menangis bukan karena rindu, tapi karena khawatir—anaknya bicara tentang tempat yang “tidak pernah ada”.

Lalu ia menulis.
Bukan untuk pembaca. Bukan untuk ketenaran. Tapi untuk mengikat kenangan sebelum benar-benar hilang. Ia menulis tentang malam-malam berhujan, tentang Laras dan suara gamelan dari balik kabut, tentang kutukan para leluhur dan pilihan-pilihan sunyi yang tak bisa dimengerti oleh dunia yang terlalu logis.

Tapi setiap kali ia mencetaknya, tinta di halaman itu perlahan memudar.
Setiap ia coba kirim ke media, file-nya menghilang.
Dan saat ia mencoba menceritakan lewat podcast, suaranya terdengar patah-patah dan kosong.
Seolah—sesuatu di luar sana tidak mengizinkan kisah ini dibagikan.

Sampai suatu malam, ia duduk di atap kosan, menatap langit kota yang penuh polusi cahaya. Ia membuka sakunya, air hujan itu masih di sana. Dingin. Jernih. Hidup.

Ia tersenyum getir.

“Mungkin bukan untuk mereka,” bisiknya.
“Mungkin… kisah ini memang hanya untukku.”

Di meja belajarnya, tersimpan sebuah buku catatan yang tak pernah dibuka orang lain. Sampulnya polos. Tanpa judul. Tanpa nama.
Namun di halaman terakhir, tertulis dengan tinta yang masih segar:

“Jika suatu hari kau merasa ada yang hilang dalam hidupmu—bukan benda, bukan cinta, tapi… sesuatu yang lebih tua dari ingatanmu sendiri—
Maka berjalanlah ke arah hujan.

Dan dengarkan kisah yang tak bisa diceritakan.”

Epilog – Suara dari Langit yang Tak Terlihat

Di suatu tempat, hujan turun di atas tanah kosong yang tak bernama. Seorang anak kecil berdiri sendirian, menggenggam batu berlubang yang entah datang dari mana.

“Ibu… pernah ada desa di sini?”
“Ah, itu cuma dongeng orang dulu, Nak.”
“Tapi… aku dengar suara gamelan.”

Angin berembus pelan. Hujan turun lebih deras. Dan suara itu terdengar lagi.
Suara seseorang—berbisik dari balik waktu:

“Namaku Raka… dan aku pernah menyaksikan akhir dari sesuatu yang tak pernah dimulai.”***

——————————THE END————————

Source: SHIFA YUHANANDA
Tags: #Desa Tersembunyi#Hujan#KutukanbloodlineDesa RinjaniNOVEL MISTERIsesuatu yang seharusnya tidak ada
Previous Post

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

MOVIE REVIEW

No Content Available

RECENT MOVIE

Desa yang Menghilang Saat Hujan

Desa yang Menghilang Saat Hujan

July 19, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025

Tentang Kami

NovelStory.id adalah platform media online yang menghadirkan beragam cerita menarik seperti dalam novel dan drama, dirancang untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan yang berkualitas dan penuh imajinasi. Kami percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh hati, menginspirasi, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh keajaiban.

Recent News

Desa yang Menghilang Saat Hujan

Desa yang Menghilang Saat Hujan

July 19, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025

Follow Us

  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 https://novelstory.id

No Result
View All Result
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah

© 2025 https://novelstory.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In