• Latest
  • Trending
  • All
  • Movie Review
  • Box Office
  • Trailer
  • Action
  • Romantic
  • Comedy
  • Horror
  • Serial Movie
  • Genre
DESA TANPA NAMA

DESA TANPA NAMA

April 26, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025
JEJAK DI PINTU TERLARANG

JEJAK DI PINTU TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

May 17, 2025
TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

May 17, 2025
PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

May 12, 2025
HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

May 12, 2025
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

May 10, 2025
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

LUKISAN YANG MENANGIS

May 10, 2025
  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
No Result
View All Result
Novel Story
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah
Novel Story
DESA TANPA NAMA

DESA TANPA NAMA

by SAME KADE
April 26, 2025
in Misteri & Thriller
Reading Time: 30 mins read

Bab 1: Kedatangan yang Sunyi

Langit senja menyelimuti pegunungan dengan kabut tipis yang menggantung rendah, seolah menutupi rahasia-rahasia yang tak ingin diungkapkan. Deru mesin mobil tua yang dikendarai Arman perlahan mereda ketika ia memasuki jalan setapak berbatu. Jalan itu begitu sempit dan terjal, nyaris tak terlihat dalam peta digital. Sinyal hilang sejak satu jam lalu. Tak ada penunjuk arah. Hanya insting dan selembar peta kusam yang membawanya sejauh ini.

Desa itu terletak di balik lereng, tersembunyi di antara hutan pinus yang menjulang diam. Arman memandangi gerbang kayu reyot yang menjadi penanda masuknya. Di atasnya, terpampang papan usang yang hanya menyisakan huruf-huruf pudar. Tak ada nama desa. Hanya goresan waktu dan lumut yang tumbuh liar.

Ia turun dari mobil dengan hati-hati. Sepatu boots-nya tenggelam dalam tanah becek. Udara di sekitarnya terasa lebih dingin daripada seharusnya, seperti ada sesuatu yang menyerap kehangatan. Matanya menyapu sekeliling: rumah-rumah kayu berjajar, sebagian tampak tak berpenghuni. Tak ada suara. Tak ada anak-anak bermain. Tak ada ayam berkokok, bahkan angin pun seperti enggan bertiup.

“Permisi…” panggilnya, namun suaranya seolah ditelan kabut.

Beberapa menit berlalu sebelum seorang pria tua muncul dari balik pintu rumah. Wajahnya keriput, matanya waspada. Ia tidak menyambut, hanya menatap Arman dalam diam.

“Saya Arman, jurnalis. Datang untuk menulis artikel tentang desa ini,” jelas Arman, berusaha ramah.

Pria itu tidak menjawab. Ia hanya menunjuk ke arah sebuah rumah kosong di ujung jalan, lalu berbalik masuk tanpa sepatah kata pun.

Arman menghela napas panjang. Ia sudah terbiasa menghadapi situasi ganjil di lapangan, tapi suasana di sini terasa berbeda. Ada yang tidak biasa. Seperti… ketakutan yang dipendam lama oleh seluruh desa.

Rumah yang ditunjuk ternyata sudah lama tak ditempati. Debu menutupi lantai, jendela retak, dan di sudut ruangan terdapat tumpukan buku-buku tua. Arman membuka salah satu jendela, membiarkan cahaya masuk. Ia meletakkan ransel dan membuka catatan kecil yang selalu dibawanya.

Hari Pertama di Desa Tanpa Nama.
Satu-satunya petunjuk: delapan warga hilang dalam dua tahun terakhir.
Tidak tercatat dalam berita nasional.
Tidak ditemukan dalam pencarian online.
Seolah… mereka tidak pernah ada.

Arman menutup catatan itu pelan. Di luar, kabut semakin tebal. Matahari telah tenggelam. Dan malam pertama di desa tak bernama baru saja dimulai.

Bab 2: Wajah-Wajah yang Menyembunyikan Sesuatu

Pagi pertama di desa itu tidak dimulai dengan kicauan burung atau suara kehidupan. Yang terdengar hanya dengung samar angin yang menyusup dari celah-celah kayu jendela, membawa aroma tanah lembap dan daun basah.

Arman bangun lebih awal. Rasa penasaran mengalahkan rasa lelah. Ia melangkah keluar rumah dengan kamera tergantung di leher dan buku catatan di tangan. Hari itu, ia berniat menyapa warga, mengenal lingkungan, dan menggali cerita—apapun yang bisa memberinya petunjuk soal hilangnya orang-orang yang membawanya ke sini.

Desa itu kecil, tak lebih dari dua puluh rumah. Setiap rumah tampak seragam: berdinding kayu, beratap seng tua, dan halaman yang tak terurus. Beberapa jendela tertutup rapat, seolah penghuninya enggan melihat dunia luar. Hanya ada satu warung kecil di dekat pohon beringin besar, dengan papan nama yang nyaris copot: Warung Bu Murni.

Arman masuk pelan, dan disambut oleh aroma kopi hitam yang baru diseduh.

“Pagi, Bu,” sapa Arman ramah.

Perempuan paruh baya dengan kerudung lusuh itu menoleh. Tatapannya waspada, tapi tidak langsung menolak.

“Pagi. Mau pesan apa, Nak?”

“Kopi hitam saja, Bu. Dan kalau boleh… saya ingin bertanya-tanya sedikit. Saya wartawan. Sedang menulis tentang desa ini.”

Bu Murni menghentikan gerakannya sejenak. Matanya menatap tajam, sebelum kembali menunduk ke gelas kopi.

“Desa kami biasa saja, Nak. Tak ada yang menarik buat ditulis,” jawabnya pelan.

“Tapi saya dengar, beberapa warga sempat menghilang. Ada yang menyebutkan delapan orang dalam dua tahun terakhir. Itu bukan hal biasa, kan, Bu?”

Wanita itu membeku. Suasana warung menjadi senyap. Hanya terdengar suara sendok yang beradu dengan gelas.

“Orang datang, orang pergi. Kadang tanpa pamit,” jawabnya pendek, lalu menaruh gelas kopi di meja. “Minumlah. Setelah itu, sebaiknya kembali saja ke kota.”

Arman menatapnya, mencoba menembus lapisan ketakutan yang jelas tampak di wajah Bu Murni. Tapi ia tahu, mendesak lebih jauh hanya akan membuat warga menutup diri. Ia mengangguk sopan dan menyimpan rasa penasaran itu dalam diam.

Di luar warung, beberapa anak kecil berlarian tanpa suara. Mereka hanya melihat Arman sebentar sebelum menghilang di balik rumah. Sementara itu, seorang pria setengah baya yang sedang memotong kayu berhenti dan memandangnya tanpa senyum. Wajahnya keras, matanya tajam, tapi menyimpan sesuatu yang tak bisa dijelaskan—seperti rasa bersalah yang dibungkus kebencian.

Arman mencatat semuanya. Senyum yang dipaksakan. Tatapan yang terlalu lama. Keheningan yang terasa seperti peringatan. Ada sesuatu yang disembunyikan oleh desa ini, dan semua warganya tampak sepakat untuk tidak membicarakannya.

Di kejauhan, dari balik kabut yang mulai turun meski matahari masih bersinar, terdengar dentingan seperti lonceng kecil. Suara itu datang dari arah hutan.

Dan untuk pertama kalinya sejak ia tiba, Arman merasa bulu kuduknya meremang.

Bab 3: Tidak Ada Sinyal, Tidak Ada Jalan Keluar

Pagi menjelang siang ketika Arman memutuskan untuk kembali ke tepi jalan tempat ia pertama kali masuk ke desa. Rasa penasaran yang semalam membara kini berubah menjadi kekhawatiran yang perlahan menyusup ke pikirannya. Ada yang tidak beres. Terlalu banyak diam, terlalu sedikit jawaban.

Ia menyalakan ponsel. Layar menunjukkan tanda yang sudah ia hafal betul: No Service. Ia memutar badannya, mencari titik sinyal, mengangkat ponsel tinggi-tinggi, bahkan memanjat batu besar yang menghadap ke jurang kecil. Namun hasilnya tetap nihil.

Penasaran, ia terus berjalan ke arah jalan masuk desa. Namun, langkahnya terhenti. Di depannya, jalan yang ia lewati kemarin—satu-satunya akses ke desa—tertimbun longsor. Tanah, batu, dan batang pohon besar menutup jalan sepenuhnya. Tak mungkin dilewati kendaraan, bahkan pejalan kaki pun harus berpikir dua kali.

Arman menatap tumpukan itu dengan napas tertahan. Kepalanya berpacu. “Ini tidak kebetulan,” pikirnya. “Apakah ada yang sengaja?”

Ia mengambil kamera, memotret longsoran, lalu berbalik kembali ke desa. Langkahnya terasa lebih berat, seolah kabut yang menggantung mulai merasuk ke dalam dirinya. Di tengah perjalanan, ia bertemu seorang lelaki tua yang berjalan sambil membawa tongkat.

“Kena longsor, ya?” tanya pria itu datar, seolah sudah tahu jawabannya sebelum Arman bicara.

“Iya. Padahal saya lewat situ kemarin. Ada jalan lain?” tanya Arman.

Pria itu menggeleng pelan. “Hutan di sekeliling sini lebat dan penuh jurang. Kalau tidak tahu jalurnya, bisa nyasar. Bisa hilang.”

“Berarti saya terjebak di sini?” tanya Arman setengah tidak percaya.

Pria itu hanya tersenyum tipis, lalu melangkah pergi tanpa menjawab. Dalam diamnya, seakan ada pesan terselubung yang menekan dada Arman lebih dalam.

Kembali di rumah singgahnya, Arman membuka laptop. Ia ingin mulai menulis, berharap bisa mengalihkan pikirannya. Namun, saat mencoba menyimpan dokumen, ia sadar—tanpa koneksi internet, tidak ada sinkronisasi, tidak ada cadangan data. Segala hal di desa ini terasa seperti dunia lain. Dunia yang terputus dari waktu dan teknologi.

Sore menjelang malam. Arman menyalakan lampu minyak di ruang depan. Saat hendak menutup jendela, ia melihat sosok berdiri di kejauhan. Seorang anak kecil—sendirian—di tengah kabut, menatap ke arahnya.

Arman membuka pintu dan melangkah keluar.

“Hey! Kamu sendirian?” serunya.

Anak itu tidak menjawab. Ia hanya menatap kosong, lalu berlari ke arah hutan.

Tanpa pikir panjang, Arman mengejarnya, melintasi tanah berlumpur dan semak-semak basah. Tapi begitu sampai di pinggir hutan, anak itu menghilang begitu saja, seolah ditelan kabut.

Napas Arman memburu. Dadanya berdebar. Ia menatap lebatnya hutan yang memanjang tanpa akhir. Lalu tiba-tiba—denting lonceng itu terdengar lagi, samar, namun jelas… dari dalam hutan.

Ia melangkah mundur, perlahan, dan kembali ke rumah.

Malam itu, Arman tidur dengan pintu terkunci dan jendela tertutup rapat. Namun bahkan dalam tidurnya yang gelisah, dentingan lonceng itu terus bergema di telinganya.

Bab 4: Rumah Tua di Ujung Bukit

Kabut belum sepenuhnya menghilang ketika Arman memutuskan untuk menjelajah lebih jauh ke sisi timur desa. Di sana, menurut Bu Murni yang setengah enggan bercerita, terdapat sebuah rumah tua yang sudah lama ditinggalkan. Tidak ada yang berani mendekat, katanya. “Angker,” begitu istilah yang digunakan.

Namun bagi Arman, tempat yang dijauhi justru sering menyimpan kebenaran yang dicari.

Ia berjalan menyusuri jalan setapak yang nyaris tertutup rerumputan liar, melewati ladang terbengkalai dan pagar kayu yang nyaris roboh. Udara semakin dingin, dan aroma tanah basah bercampur dengan bau kayu lapuk yang menyengat.

Rumah itu berdiri sendiri di atas bukit kecil, menghadap hutan yang membentang lebat di kejauhan. Bangunannya besar, dua lantai, namun jelas sudah lama tak dihuni. Cat dinding mengelupas, jendela pecah, dan pintunya tergantung miring dengan engsel berkarat.

Arman mendorong pintu dengan hati-hati. Bunyi decitnya menggema, menciptakan gema panjang yang menyeramkan. Di dalam, gelap dan pengap. Debu menebal di setiap permukaan, sarang laba-laba menggantung di sudut-sudut langit-langit.

Ia menyalakan senter dan menyapu ruangan dengan cahaya. Ruang tamu dipenuhi perabot tua: kursi goyang yang retak, meja kecil dengan taplak usang, dan rak buku reyot yang berisi buku-buku penuh jamur. Di atas meja, ada bingkai foto yang sudah menguning. Wajah-wajah di dalamnya tersenyum, tapi samar, seolah waktu dengan sengaja menghapus kenangan mereka.

Namun sesuatu menarik perhatian Arman—sebuah tangga menuju loteng. Tangga itu tampak rapuh, tapi cukup kuat untuk dipijak. Ia naik perlahan, anak tangga berderit di bawah berat tubuhnya.

Di loteng, hanya ada satu jendela kecil yang memancarkan cahaya redup. Di pojok ruangan, ia melihat sebuah peti kayu tua. Dengan jantung berdegup kencang, ia membukanya.

Di dalam peti, tersimpan tumpukan buku catatan lusuh, surat-surat, dan potongan koran yang sudah menguning. Arman membuka salah satu buku. Tulisan tangan memenuhi halaman pertama:

“Catatan Harian—Dara. 3 Maret 1998.”

Arman membaca cepat. Isinya penuh kecemasan dan ketakutan. Dara, si penulis, bercerita tentang suara-suara aneh yang sering terdengar di malam hari, tentang warga desa yang tiba-tiba menghilang, dan tentang upacara rahasia yang dilakukan di hutan saat bulan mati.

Satu catatan membuat Arman terpaku:

“Mereka bilang ini untuk menjaga desa dari kutukan lama. Tapi aku tahu… ini bukan perlindungan. Ini pengorbanan.”

Tangannya gemetar saat membalik halaman. Di halaman terakhir, tertulis:

“Jika seseorang membaca ini… berarti aku gagal melarikan diri.”

Seketika, angin bertiup melalui jendela kecil, membuat pintu loteng tertutup sendiri dengan dentuman keras. Arman tersentak dan memutar badan. Jantungnya berdegup kencang. Ia menatap sekeliling. Tidak ada siapa-siapa.

Namun saat ia hendak turun, matanya menangkap sesuatu di sudut ruangan—ukiran aneh di lantai kayu, membentuk simbol yang tak dikenalnya. Di tengah simbol, noda merah gelap tampak samar, seperti bekas darah yang pernah mengering dan tak pernah dibersihkan.

Arman menatapnya dalam diam, lalu membuka buku catatan kecilnya dan menulis:

“Desa ini menyimpan ritual lama. Mungkin bukan sekadar mitos. Dan aku tidak tahu… apakah aku datang terlalu dalam, atau terlalu terlambat.”

Bab 5: Surat dari Masa Lalu

Arman menghabiskan hampir dua jam di rumah tua itu. Setelah memastikan catatan harian Dara sudah tersalin dalam buku kecilnya, ia mengunci kembali peti kayu dan turun dengan hati-hati. Namun sebelum meninggalkan rumah, matanya tertumbuk pada satu benda lain yang tersembunyi di bawah rak buku: sebuah amplop lusuh, tertutup debu dan tanah kering.

Amplop itu tidak tertutup rapat. Di bagian depan, tertulis dengan tinta hitam yang mulai pudar:

Untuk yang datang setelah aku. – D

Dengan jari gemetar, Arman membuka amplop itu. Di dalamnya ada selembar surat, ditulis tangan, dengan goresan tergesa yang terasa seperti seseorang yang menulis dalam ketakutan.

Desa ini tidak seperti yang terlihat.

Kami, para warga, tidak sepenuhnya bersalah. Kami hanya mewarisi kutukan dari para pendiri desa. Mereka membuat perjanjian lama—sebuah ikatan dengan sesuatu yang tidak berasal dari dunia ini. Sebagai gantinya, mereka dijanjikan kesuburan tanah, hasil panen melimpah, dan perlindungan dari wabah. Tapi setiap perjanjian ada harganya. Dan harga itu… adalah darah.

Setiap dua tahun, satu harus dikorbankan. Bukan dengan kekerasan—tapi dengan kesepakatan diam. Mereka yang ‘terpilih’ akan menghilang begitu saja, dan tidak ada yang akan bertanya. Tidak ada yang akan mencari. Tidak ada yang akan menangis. Karena jika satu tidak dikorbankan… maka semuanya akan mati.

Aku pernah mencoba melawan. Aku pernah melaporkan ini ke orang luar. Tapi mereka tidak pernah kembali. Mereka bilang desa ini tidak tercatat. Tidak ada dalam arsip. Tidak ada dalam peta. Seolah desa ini hanya dongeng. Tapi desa ini nyata. Dan aku masih di sini. Menunggu giliranku.

Jika kamu membaca ini, pergilah. Sekarang. Sebelum malam berikutnya. Sebelum namamu masuk dalam daftar.

– Dara

Arman menggenggam surat itu erat. Tangan dan keningnya basah oleh keringat meskipun udara begitu dingin. Ia tidak tahu apakah ini bagian dari kisah nyata atau hanya paranoia seseorang yang terjebak dalam ketakutan. Tapi semuanya mulai masuk akal. Keheningan desa. Tatapan kosong warga. Hilangnya orang-orang tanpa jejak.

Kembali di rumah singgahnya, Arman menyalakan lampu minyak. Ia menatap peta kusam yang dibawanya sejak awal. Ia mencoba mencari jalur alternatif keluar dari desa, tapi semua arah mengarah ke hutan—dan menurut catatan Dara, hutan itu bukan tempat biasa.

Malam pun tiba. Kabut turun lebih cepat dari biasanya. Angin bertiup membawa bau menyengat seperti daging terbakar. Dari kejauhan, terdengar suara seruan aneh—bukan suara manusia, tapi juga bukan binatang. Suara itu datang dari arah hutan. Dan sekali lagi… dentingan lonceng terdengar.

Namun malam ini, dentingan itu terdengar lebih dekat.

Arman berdiri. Ia mengambil kameranya, buku catatan, dan surat dari Dara. Tak ada waktu lagi untuk menunggu. Ia harus memilih: pergi malam ini ke hutan dan mencoba mencari jalur keluar, atau tetap di desa dan menjadi bagian dari kisah yang tak pernah tercatat.

Dalam hening, ia berbisik pada dirinya sendiri:

“Jika ini akhir dari semuanya, maka aku harus tahu… siapa yang sebenarnya menghilang, dan siapa yang memilih diam.”

Ia membuka pintu, dan melangkah ke dalam kabut malam.

Bab 6: Jejak dalam Kabut

Langit malam seperti diselimuti kain hitam yang tebal. Tidak ada bintang. Tidak ada cahaya bulan. Hanya kabut yang menggantung rendah dan angin yang berdesir pelan, membawa aroma logam dan tanah basah. Arman melangkah dengan hati-hati, menyusuri jalan setapak yang menuju ke arah hutan.

Senter kecil di tangannya nyaris tak mampu menembus kabut. Setiap langkah terasa seperti memasuki dunia lain—sunyi, dingin, dan penuh bisikan yang tak bersumber.

Di ujung jalan, tanah berubah lembap. Semak-semak makin lebat dan suara malam berubah. Bukan lagi nyanyian jangkrik atau burung hantu, melainkan semacam getaran lirih yang menyelinap ke telinga. Suara itu datang dari arah kanan. Dentingan lonceng. Kali ini lebih keras. Lebih jelas. Seperti seseorang—atau sesuatu—yang memanggil.

Arman menahan napas dan mematikan senter. Dalam kegelapan, matanya perlahan menyesuaikan. Dan saat itulah ia melihatnya—di kejauhan, di balik pepohonan, cahaya temaram berkelap-kelip. Api. Obor. Beberapa orang bergerak dalam diam. Mereka memakai jubah gelap. Langkah mereka teratur. Mata mereka menatap kosong ke depan. Di tengah-tengah barisan itu, tampak seorang perempuan digiring ke depan, tangannya terikat, wajahnya tertunduk.

Arman bergidik.

Ia berjongkok di balik semak dan menyalakan kamera dari kejauhan, merekam diam-diam. Detak jantungnya berpacu tak karuan. Mereka menuju sebuah pelataran kecil di tengah hutan, dengan lingkaran batu besar yang tampak seperti altar tua. Simbol-simbol aneh terukir di tanah—simbol yang sama seperti yang ia lihat di lantai loteng rumah tua itu.

Salah satu dari mereka berbicara dalam bahasa yang tidak dimengerti Arman. Suaranya berat, bergetar, seolah memanggil sesuatu dari balik tirai dunia. Perempuan yang terikat itu mulai menangis, suaranya tertahan dan hampir tak terdengar. Tapi tidak satu pun dari mereka memandangnya. Tidak satu pun dari mereka menunjukkan belas kasihan.

Tiba-tiba, suara dentingan lonceng menggema lebih keras. Suara itu bukan dari logam biasa. Ia terdengar… hidup. Seperti jantung yang berdetak, seperti napas yang berat.

Lalu semua cahaya padam.

Dalam kegelapan yang pekat, terdengar jeritan. Pendek. Tajam. Lalu… hening.

Ketika obor kembali menyala, perempuan itu sudah tidak ada. Tak ada darah. Tak ada tubuh. Hanya tali yang terlepas dan tanah yang menghitam seperti terbakar.

Arman menahan napas. Tangannya gemetar saat menghentikan rekaman.

Tiba-tiba, satu kepala menoleh ke arahnya. Mata mereka bertemu.

Orang itu tidak bergerak. Tapi satu per satu, yang lain mulai menoleh juga. Memandangnya. Dalam diam. Dalam gelap.

Arman bangkit dan lari. Napasnya terengah. Dedaunan mencambuk wajahnya. Dahan mencakar tubuhnya. Tapi ia tidak peduli. Ia berlari secepat yang ia bisa, menjauh dari mereka. Dari hutan. Dari kebisuan mengerikan itu.

Ketika akhirnya ia mencapai batas desa, kakinya lunglai. Tubuhnya terjatuh di tanah, wajahnya penuh lumpur, dadanya naik turun tak terkendali. Ia menoleh ke belakang. Tidak ada yang mengejar. Tidak ada suara.

Namun saat ia membuka kamera untuk memutar rekaman, layar hanya menunjukkan satu hal:

“FILE ERROR – KORUPSI DATA.”

Arman membeku. Matanya tak berkedip menatap layar.

Semua bukti… hilang.

Dan di kejauhan, dari balik kabut, terdengar suara pelan seseorang berbisik…

“Kau sudah melihat.”

Bab 7: Yang Tidak Bisa Kembali

Pagi menjelang, namun langit tetap kelabu. Kabut yang semalam menyelimuti desa belum sepenuhnya menghilang. Matahari enggan menampakkan diri, seolah tahu apa yang terjadi semalam dan memilih untuk tidak ikut campur.

Arman terbangun di atas dipan reyot di rumah singgahnya. Tubuhnya pegal dan dingin, seakan semalam ia tidur di tanah basah. Kepalanya berat. Namun lebih berat lagi adalah pikiran yang berkecamuk—tentang ritual yang ia lihat, suara dentingan, dan rekaman yang hilang begitu saja.

Ia segera membuka catatan kecilnya, mencoba mengingat dengan rinci semua yang ia saksikan. Tapi setiap kali ia menuliskan sesuatu, perasaan ganjil menyelinap—seperti sedang diawasi. Jendela rumah itu berembun, namun di salah satu sisi, tampak jejak tangan. Kecil. Kurus. Menempel dari luar.

Arman membalikkan badan, menahan napas.

Kosong.

Namun ketika ia membuka pintu, tak ada siapa-siapa. Hanya kabut yang menggantung dan suara gemeretak kayu dari kejauhan.

Ia tahu ia tak bisa diam. Sesuatu harus dilakukan. Bukti-bukti harus dicari lagi. Jika rekaman rusak, maka catatan harus lengkap. Ia putuskan untuk menemui satu-satunya orang yang tampak tahu lebih banyak dari yang ia katakan—Bu Murni.

Perempuan tua itu tinggal di ujung jalan kecil yang berakhir di pemakaman desa. Rumahnya gelap, jendela tertutup kain tebal, dan pintunya hanya dibuka jika dipanggil dengan kata khusus: “Tamuku bukan musuh.”

Kata itu diberikan oleh anak kecil yang Arman temui dua hari lalu, anak yang entah dari mana muncul, lalu menghilang begitu saja.

Arman mengetuk pelan dan mengucapkannya.

Pintu terbuka.

Bu Murni menatapnya lama, mata tuanya yang keruh menelisik wajah Arman.

“Kau sudah melihat,” gumamnya pelan.

Arman mengangguk. Ia tak ingin menyia-nyiakan waktu.

“Apa yang sebenarnya terjadi di desa ini? Apa hubungan Dara dengan semua ini?”

Bu Murni mempersilakan Arman duduk. Rumah itu dipenuhi aroma dupa dan kayu cendana. Foto-foto lama tergantung di dinding, sebagian mulai menguning. Di atas meja, ada satu foto paling mencolok: seorang gadis muda—bermata tajam dan senyum tipis.

“Dara adalah cucuku,” ucap Bu Murni lirih. “Dan dia… korban pertama yang melawan.”

Suasana mendadak membeku.

“Dulu, semua orang percaya ritual itu menjaga desa. Tapi Dara menemukan kebenaran—bahwa yang mereka sembah bukanlah pelindung. Tapi penagih. Entitas yang menuntut darah untuk tetap tinggal di dunia ini. Dara mencoba mengakhiri semuanya. Ia membakar simbol-simbol. Ia menyebarkan surat. Tapi mereka tahu. Dan mereka… menghapus semua tentangnya.”

Arman mengeluarkan surat dari Dara yang ia temukan di rumah tua.

“Dia masih hidup saat menulis ini,” ucapnya.

Bu Murni menatap surat itu lama. Lalu menggeleng pelan.

“Tidak, Nak. Ia tidak hidup. Tapi juga belum mati. Jiwanya… terperangkap dalam batas desa. Dia menunggu seseorang yang cukup berani untuk membuka jalan keluar. Bukan untuk dirinya, tapi untuk semuanya.”

Arman merinding.

“Lalu… jalan keluarnya di mana?”

Bu Murni berdiri, mengambil sebuah peta tua dari bawah lantai rumah. Peta itu menunjukkan bagian desa yang tidak tercetak di peta manapun—jalur tersembunyi di balik pemakaman, menuju gua batu tua di kaki bukit.

“Di sanalah segalanya dimulai. Dan di sanalah harus diakhiri.”

Arman mengambil peta itu. Ia tahu, langkah berikutnya akan membawanya jauh lebih dalam dari yang ia bayangkan. Tapi kini ia tak bisa mundur.

Sebelum pergi, Bu Murni memegang tangannya.

“Hati-hati, Nak. Jika kau mendengar namamu dipanggil… jangan menoleh.”

Arman terdiam. Lalu mengangguk.

Langkahnya kembali menembus kabut, kali ini dengan tekad yang lebih kuat. Ia tak hanya ingin tahu kebenaran. Ia ingin menghentikan semuanya.

Namun ia belum tahu… bahwa gua itu bukan hanya tempat asal kutukan.

Itu adalah tempat di mana semua yang masuk… tidak pernah benar-benar bisa kembali.

Bab 8: Gerbang yang Terkubur

Langkah Arman terhenti di depan pemakaman tua di ujung desa. Kabut masih menyelimuti, menjadikan batu-batu nisan tampak seperti bayangan hantu yang membisu. Angin bertiup lirih, membawa bisikan samar yang membuat bulu kuduknya berdiri.

Ia menatap peta lusuh di tangannya. Di antara nisan-nisan tua itu, ada satu batu besar yang tidak memiliki tulisan. Posisinya menyendiri, hampir tersembunyi oleh semak liar. Peta menunjukkan—itulah penanda jalan masuk ke gua.

Dengan hati-hati, Arman menyibak semak-semak dan menyentuh batu itu. Dingin. Licin. Saat ia mendorongnya sedikit, terdengar suara gesekan batu. Tanah di sebelahnya runtuh, memperlihatkan sebuah tangga batu yang mengarah ke bawah tanah.

Tanpa ragu, Arman menyalakan senter dan mulai menuruni tangga. Semakin ke bawah, udara terasa semakin lembap dan pengap. Aroma tanah tua dan kelembaban mencengkeram napasnya.

Lorong sempit itu akhirnya membawanya pada sebuah ruang batu berbentuk bundar. Di tengahnya, terdapat lingkaran simbol aneh yang sama dengan yang ia lihat di tengah hutan. Tapi kali ini, di sekeliling simbol itu terdapat patung-patung batu. Enam buah. Masing-masing dengan wajah yang tertutup kain.

Namun satu patung tampak berbeda. Kainnya robek. Di baliknya, terpahat wajah seorang gadis muda—dengan mata terbuka lebar dan mulut terbuka dalam ekspresi ketakutan.

Itu wajah Dara.

Arman mundur setapak, gemetar. Ia tak tahu apakah ini sekadar simbolis atau… sesuatu yang lebih nyata. Di dinding gua, ia melihat ukiran kuno yang tampaknya bercerita. Ia menyorotinya dengan senter dan mulai membaca.

Ukiran itu menggambarkan sejarah panjang desa: tentang para pendiri yang melakukan pemanggilan roh kuno, tentang perjanjian berdarah, dan tentang kutukan yang akan menimpa siapa pun yang mencoba mengingkari ikatan itu.

Di bawah ukiran terakhir, terdapat tulisan dalam aksara kuno yang diterjemahkan dengan tinta merah:

“Yang memutus rantai, harus menggantikan pengikat.”

Arman menelan ludah. Maknanya jelas—untuk mengakhiri kutukan, seseorang harus menggantikan peran sang penjaga. Dan sang penjaga… adalah Dara.

Tiba-tiba, senter di tangannya berkedip. Udara terasa lebih dingin. Patung-patung di sekelilingnya seperti mulai bergerak—bukan secara fisik, tapi secara… keberadaan. Ia merasakan tatapan mereka meski batu itu tak punya mata.

Dari lorong belakang, suara langkah kaki terdengar. Lembut, tapi teratur. Arman menoleh. Dalam keremangan, sosok perempuan muncul perlahan.

Rambutnya panjang. Pakaiannya lusuh. Wajahnya… wajah Dara.

Namun matanya tidak hidup.

“Arman…” suara itu pelan, bergetar. “Aku menunggumu.”

Arman mundur, nyaris terjatuh.

“Dara? Kau… kau masih hidup?”

Perempuan itu tersenyum pahit. “Tidak sepenuhnya. Tapi aku masih ada. Terperangkap. Dan sekarang… waktumu untuk memilih.”

Dinding gua bergetar. Dari celah tanah, suara gemuruh muncul. Simbol di tengah mulai menyala merah, seperti membara.

“Kau bisa pergi,” lanjut Dara. “Tapi kutukan tetap ada. Atau kau bisa tinggal… dan membebaskan desa.”

Arman menatap Dara lama. Wajah itu menyiratkan rasa lelah, kesedihan, dan harapan yang rapuh.

“Kutukan ini tidak boleh terus berlanjut,” bisiknya.

Tapi sebelum ia bisa bergerak, sesuatu muncul dari balik bayangan. Sosok tinggi besar, wajahnya diselubungi kain hitam, berdiri di belakang Dara. Ia mengangkat tangan, dan Dara jatuh ke tanah. Simbol menyala makin terang. Sosok itu menatap Arman—dan suara berat menggema di dalam gua:

“Kau sudah melihat. Maka kau harus memilih.”

Arman menggenggam kuat senter dan buku catatannya. Dalam hatinya, ia tahu… langkah berikutnya akan mengubah segalanya.

Apakah ia akan menjadi pengorbanan berikutnya, atau penghancur terakhir kutukan itu?

Bab 9: Pilihan di Antara Dua Dunia

Langkah-langkah Arman terasa berat saat ia perlahan mendekati lingkaran batu bersimbol merah menyala. Gua itu kini bergetar lembut, seolah denyut jantung raksasa yang baru terbangun dari tidur panjang. Suara lirih seperti bisikan terus terdengar di telinganya, menggoda, menghasut, mempermainkan logikanya.

Di belakangnya, sosok hitam yang muncul dari kegelapan tak bergerak sedikit pun. Ia berdiri tegak, wajahnya tertutup kain tebal, hanya menyisakan napas berat yang menggema di udara. Sosok itu seperti penunggu, penjaga batas antara dunia nyata dan sesuatu yang lebih gelap, lebih dalam.

Dara masih tergeletak di lantai batu, tubuhnya lemah, tetapi matanya terbuka dan menatap Arman dengan penuh harap. Meski samar, ada ketakutan yang jelas terpancar dari sorot matanya.

Arman berdiri di persimpangan tak kasatmata.

Ia bisa lari.

Ia bisa membiarkan semuanya seperti semula, kembali ke kota dan hidup dengan pertanyaan yang tak pernah terjawab. Tapi ia tahu, jika ia melakukan itu—desa ini akan terus menjadi perangkap bagi siapa pun yang masuk. Kutukan akan terus menuntut nyawa. Dan Dara, juga semua jiwa yang terperangkap di dalamnya, tidak akan pernah bebas.

Namun jika ia memilih untuk tinggal… maka nasibnya akan seperti Dara. Atau mungkin lebih buruk.

Ia menunduk, menggenggam buku catatan kecilnya. Lembaran terakhirnya kosong. Seperti bab terakhir dari kisah ini… menunggu untuk diisi.

Dalam sunyi, ia mulai menulis.

“Jika seseorang membaca ini suatu hari nanti, ketahuilah bahwa aku telah membuat pilihan. Tidak demi keberanian, tapi demi kebenaran. Demi Dara. Demi mereka yang tak pernah ditemukan. Aku bukan penyelamat. Aku hanya seorang yang menolak menjadi pengecut.”

Arman menutup buku itu dan meletakkannya di tepi altar batu.

Kemudian ia melangkah masuk ke dalam lingkaran simbol. Cahaya merah langsung menyala lebih terang, mengelilinginya dengan semburan api dingin yang tidak membakar, namun menusuk ke dalam tulang.

Sosok hitam mengangkat tangan. Langit-langit gua bergemuruh. Dari dinding-dinding batu, suara-suara muncul—jeritan, tangisan, rintihan, seperti gema dari jiwa-jiwa yang selama ini terperangkap.

Dara bangkit perlahan, seperti ditarik oleh kekuatan yang tidak terlihat. Ia menatap Arman, air mata menetes di pipinya.

“Kenapa kamu?” bisiknya.

Arman tersenyum tipis. “Karena kamu tidak boleh sendirian lagi.”

Tiba-tiba, simbol di bawah mereka berubah warna—dari merah menyala menjadi putih cemerlang. Gua itu mulai retak, dindingnya berguncang hebat. Patung-patung batu satu per satu hancur, meledak menjadi debu cahaya.

Sosok hitam meraung, seperti ditarik ke dalam pusaran di tengah lingkaran. Ia berusaha mencengkeram Arman, namun seberkas cahaya menyilaukan muncul dari buku catatan yang ditinggalkan Arman—halaman terakhir yang tadi kosong kini menyala, menuliskan sendiri kata-kata penutup yang tak diketahui siapa pengarangnya:

“Kutukan telah ditebus. Jiwa-jiwa kembali. Yang tertinggal, hanya kisah.”

Ledakan cahaya memenuhi gua.

Dan semuanya… hening.

Arman terbangun di tengah ladang ilalang.

Desa itu… sudah tidak ada.

Yang tersisa hanya hutan sunyi dan kabut tipis yang berangsur menghilang. Tidak ada rumah. Tidak ada jalan tanah. Tidak ada pemakaman.

Hanya buku catatan di tangannya… dan satu suara perempuan yang berbisik lembut di telinganya:

“Terima kasih… telah memilih.”

Bab 10: Jejak yang Hilang

Pagi hari itu berbeda. Cahaya matahari menembus langit yang sebelumnya kelabu, menciptakan rona keemasan di atas ladang ilalang yang luas. Arman duduk di tepi jalan yang kini terbentang lempang dan sunyi, menatap jauh ke depan, memandang dunia yang terasa asing meski sudah dikenalnya.

Di tangan kirinya, buku catatan kecil itu masih terpegang erat. Halaman-halamannya yang awalnya kosong kini telah dipenuhi tulisan, mencatat setiap peristiwa yang telah terjadi—sejarah, kutukan, pilihan. Dan meskipun buku itu sudah selesai menuliskan kisahnya, sesuatu dalam diri Arman merasa belum lengkap. Ia tahu ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang belum sepenuhnya ia pahami.

Langkahnya pelan, menyusuri jalanan desa yang kini sepi. Tak ada jejak kehidupan. Rumah-rumah yang sebelumnya berdiri kokoh kini lenyap, seolah ditelan bumi. Semua yang ada hanyalah ilalang yang bergoyang ditiup angin, dan kesunyian yang memerangkap udara.

Tiba-tiba, suara langkah terdengar di belakangnya. Arman berhenti. Kepalanya menoleh perlahan, berharap apa yang ia dengar hanya ilusi. Tetapi suara itu nyata. Langkahnya jelas, seperti ada seseorang yang berjalan mendekat.

“Arman.”

Suara itu memanggilnya dengan lembut. Arman menegang, tetapi ia tahu siapa yang sedang memanggil. Dara. Namun, sosok yang muncul bukanlah Dara yang ia kenal.

Seorang perempuan berjalan mendekat, wajahnya tersenyum tipis. Namun ada sesuatu yang berbeda. Matanya kosong. Terlalu kosong. Seperti tidak ada kehidupan di sana.

“Dara?” suara Arman hampir tak terdengar.

Perempuan itu berhenti tepat di depannya, menatapnya dalam-dalam. Senyumnya makin lebar. “Kau telah membuat pilihan yang tepat, Arman. Tapi, bukankah kau merasa ada sesuatu yang tertinggal?”

Arman mengerutkan kening. “Apa maksudmu?”

Perempuan itu tidak menjawab langsung. Ia melangkah mundur dan menunjuk ke arah ladang ilalang. Di kejauhan, bayang-bayang kabut mulai terbentuk, menyelubungi tempat yang semula terang. Sebuah rumah muncul dari balik kabut—rumah yang sudah lama hilang.

“Di sana,” kata perempuan itu, “kau akan menemukan jawaban yang hilang. Sesuatu yang kau lepaskan, tanpa sadar kau tinggalkan.”

Arman menatap dengan curiga, tetapi perasaan di dalam dirinya mengatakan bahwa ia tak bisa mengabaikan kata-kata perempuan itu. Ia melangkah menuju rumah yang tiba-tiba muncul di hadapannya. Begitu mendekat, Arman merasakan hawa dingin menyelimuti tubuhnya. Ia menahan napas dan mendorong pintu kayu yang sudah rapuh.

Di dalamnya, tak ada perubahan. Lantai berdebu. Dinding yang penuh retakan. Namun sesuatu terasa aneh—seperti ada yang mengawasi. Tanpa sadar, Arman melangkah menuju ruang tamu. Di meja, ada sebuah foto lama yang sudah menguning. Ia mendekat, dan mata Arman membelalak.

Foto itu menunjukkan dirinya—dengan senyum lebar—di samping seorang perempuan yang sangat ia kenal.

Dara.

Tapi di belakang mereka, ada sesuatu yang lebih mengejutkan—di balik tirai, sosok seorang pria berdiri diam, wajahnya tertutup kain hitam.

Arman mundur perlahan. Semua ini terasa… seperti jebakan.

“Apa ini?” gumamnya.

Tiba-tiba, suara gemerisik terdengar di belakangnya. Ia menoleh, dan sosok pria yang ada di foto—yang selama ini hanya terlihat sebagai bayangan—berdiri di ambang pintu. Sosok itu mulai melangkah mendekat. Langkahnya berat, suara napasnya seperti desisan ular yang mengintai mangsanya.

“Kenapa kamu kembali?” suara itu bergema di sekeliling ruangan. “Tidak ada yang bisa melarikan diri dari masa lalu.”

Arman mundur beberapa langkah, namun tidak bisa melarikan diri. Ia merasa terperangkap dalam lingkaran yang tak berujung. Bayangan pria itu semakin mendekat, dan cahaya dari luar semakin redup.

“Selesaikan apa yang kau mulai,” kata pria itu, suaranya seperti erangan. “Atau kau akan terjebak di sini selamanya.”

Arman merasakan dadanya sesak, hatinya berdegup kencang. Semua ini terasa seperti mimpi buruk yang tak pernah berakhir. Ia merasa ada yang lebih besar di balik semua ini—sesuatu yang mengikat masa lalu dan masa kini.

Dengan gemetar, Arman membuka buku catatannya dan menulis lagi:

“Aku masih mencari. Semua ini bukan hanya tentang kutukan. Ini adalah perjalanan yang lebih dalam. Semua yang terjadi, dari awal hingga akhir, hanyalah bagian dari teka-teki yang belum terpecahkan. Jika ada yang membaca ini, aku harap kau bisa menemukan jalan yang benar. Karena aku masih berjuang untuk memahami apa yang sebenarnya aku cari.”

Saat tinta di halaman terakhir mulai mengering, ruangan itu tiba-tiba kembali sunyi. Tidak ada sosok pria. Tidak ada Dara.

Hanya kabut yang kembali menyelimuti.

Dan Arman, kini sendirian, berdiri di ambang pintu rumah yang telah hilang.

Bab 11: Menguak Tabir Gelap

Arman tidak tahu sudah berapa lama ia berdiri di sana, di ambang pintu rumah yang hilang itu. Waktu seolah berhenti. Kabut masih menyelimuti desa yang kini terasa sangat asing, tak lagi seperti tempat yang pernah ia kenal. Semua yang ada hanya keheningan yang mencekam, ditambah perasaan tidak menentu yang terus menghantui pikirannya.

Dengan langkah yang berat, Arman melangkah keluar dari rumah itu. Ia berusaha mengabaikan suara-suara yang seolah datang dari dalam kepalanya—suara Dara, suara sosok pria yang tak dikenalnya, dan suara hatinya sendiri yang terus mempertanyakan keputusan yang telah ia ambil.

Apakah kutukan itu benar-benar berakhir?

Kehidupan yang dulu pernah ada di desa ini kini terasa jauh, seolah lenyap seiring dengan kabut yang perlahan mulai hilang. Tak ada tanda-tanda kehidupan. Tak ada suara burung, atau suara manusia. Hanya suara langkah kaki Arman yang memecah keheningan itu, menggema di antara pohon-pohon yang tak bergerak.

Namun, meskipun desa itu telah hilang, ada satu hal yang masih membekas dalam pikirannya—foto itu. Foto dirinya dengan Dara, dengan sosok pria di belakang mereka yang wajahnya tertutup kain hitam. Sosok itu muncul kembali dalam ingatannya, dan Arman merasa ada sesuatu yang sangat penting yang harus ia ketahui tentang pria itu.

Ia kembali menatap buku catatan kecil di tangannya. Halaman-halaman yang penuh dengan tulisan itu semakin terasa seperti petunjuk yang tak lengkap. Seperti ada bagian dari cerita yang hilang, bagian yang belum terungkap. Bagian yang hanya bisa dijawab dengan menggali lebih dalam.

Arman menyusuri jalan setapak menuju ujung desa. Ia tahu, meskipun desa ini telah menghilang dari pandangannya, ada satu tempat yang masih menyimpan rahasia—tempat yang harus ia cari.

Di tengah hutan yang lebat, terdapat sebuah batu besar yang sudah lama dikenal sebagai “Batu Penjaga.” Masyarakat desa dulu mengatakan bahwa batu itu adalah pintu menuju dunia lain, tempat di mana jiwa-jiwa yang terperangkap bertahan. Namun, tidak ada yang pernah tahu pasti. Hanya legenda.

Dengan tekad yang kuat, Arman terus berjalan menuju batu itu. Hatinya berdebar, seolah ada kekuatan tak terlihat yang mengarahkannya ke sana.

Saat tiba di depan batu besar itu, Arman merasa udara di sekitarnya berubah. Lebih dingin. Lebih berat. Seperti ada sesuatu yang mengawasi. Batu besar itu tampak lebih misterius dari yang ia bayangkan—terdapat ukiran-ukiran kuno yang tampaknya bercerita, namun tak ada yang bisa membacanya.

Arman mengangkat tangan dan menyentuh permukaan batu itu. Seperti ada arus listrik yang mengalir melalui telapak tangannya, membuat tubuhnya sedikit tergetar. Tiba-tiba, sebuah suara serak terdengar dari balik batu.

“Kau datang juga akhirnya…”

Arman menegang. Suara itu sangat familiar, tapi ia tidak bisa mengingat dari mana. Perlahan, batu itu bergeser, membuka celah kecil. Sebuah lorong gelap muncul di baliknya, seperti mengundang Arman untuk masuk.

Dengan perasaan campur aduk, Arman memasuki lorong itu. Cahaya dari langit yang sudah mulai memudar semakin redup, dan hanya senter yang ia pegang yang memberikan sedikit penerangan. Lorong itu semakin sempit, dan udara terasa semakin pengap. Namun, ada dorongan kuat di dalam dirinya yang memaksanya untuk terus maju.

Akhirnya, lorong itu berhenti di sebuah ruang bawah tanah yang luas. Di tengah ruangan, ada sebuah altar batu dengan patung hitam di atasnya. Patung itu tampak sangat menyeramkan, dengan mata yang kosong dan bibir yang tersenyum miring. Wajahnya tertutup kain, persis seperti sosok pria di foto itu.

Arman mendekat, dan ketika ia menatap patung itu lebih dekat, tiba-tiba sosok pria itu muncul di depannya. Tidak ada suara langkah, hanya keberadaannya yang menyelimuti ruangan.

“Sudah saatnya kau tahu, Arman,” suara pria itu dalam, penuh tekanan. “Aku adalah penjaga yang terperangkap. Aku yang memegang kunci dunia ini.”

Arman menahan napas. “Kunci dunia ini? Apa maksudmu?”

Pria itu tertawa pelan, lalu mengangkat tangannya, menunjukkan sebuah medali besar yang tergantung di lehernya. Medali itu berkilau, namun ada bayangan gelap yang menutupi sebagian besar permukaan medali.

“Kutukan itu bukan hanya tentang desa. Itu adalah tentang keseimbangan. Keseimbangan antara dunia nyata dan dunia yang lain. Aku adalah penjaga yang ditugaskan untuk menjaga batas itu. Dara… dia adalah kunci yang hilang. Dan kau… kau adalah pilihan terakhir.”

Arman terdiam, merasa bingung dan terkejut. “Dara? Kunci yang hilang?”

Pria itu mengangguk, wajahnya tetap tersembunyi. “Dara adalah jiwa yang terperangkap. Dan kutukan ini hanya akan berakhir jika dia kembali ke tempatnya semula. Tetapi untuk itu, seseorang harus menggantikannya. Dan orang itu adalah kamu.”

Jantung Arman berdegup kencang. Gantikan Dara?

“Namun, ada harga yang harus dibayar,” lanjut pria itu. “Jika kau memilih untuk menggantikan Dara, maka kau akan terperangkap dalam kutukan ini selamanya. Tetapi jika kau menolak, desa ini akan terus menghisap siapa pun yang berani mendekat. Pilihan ada di tanganmu, Arman.”

Keheningan menghantui mereka. Arman menatap pria itu, merasa bingung dan terjebak dalam dilema yang semakin berat. Semua ini bukan sekadar pilihan hidup atau mati. Ini adalah pilihan yang akan menentukan nasib dunia yang ia kenal, dan dunia yang tak pernah ia bayangkan.

Dan waktu terus berjalan, menunggu keputusan yang harus ia buat.

Bab 12: Pencarian Jiwa

Keputusan itu berat, lebih berat daripada yang pernah dibayangkan Arman. Di hadapannya, patung hitam dengan kain penutup yang terurai masih berdiri tegak, seolah menunggu jawabannya. Sosok pria yang telah mengungkapkan semua rahasia itu berdiri diam, menatap Arman dengan tatapan kosong, seperti menunggu apa yang akan dilakukan selanjutnya.

Arman menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. Setiap kata yang diucapkan pria itu bergaung dalam pikirannya. Keseimbangan antara dunia nyata dan dunia lain. Dara adalah kunci yang hilang. Dan yang paling mengerikan—Arman adalah pilihan terakhir.

“Jika kau memilih untuk menggantikan Dara, kau akan terperangkap dalam kutukan ini selamanya…” suara pria itu masih terngiang di telinganya. Arman menggenggam erat buku catatan kecil yang ada di tangannya. Tulisan-tulisan di dalamnya kini semakin terasa penuh dengan makna. “Aku harus tahu. Aku harus menemukan jawabannya.”

Seketika, ruangan itu terasa semakin gelap. Cahaya yang sebelumnya datang dari lorong semakin memudar, seperti melarikan diri dari kegelapan yang mengintai. Arman melangkah lebih dekat ke altar batu yang ada di tengah ruangan, matanya masih terpaku pada patung hitam yang mengerikan itu. Ada sesuatu di dalam dirinya yang memanggil, memaksanya untuk terus maju. Ia merasa seolah ada jejak yang hilang, sesuatu yang harus ditemukan, agar semuanya bisa berakhir.

Mata Arman tertuju pada kain hitam yang menutupi wajah patung itu. Tanpa berpikir panjang, ia mengangkat kain tersebut. Begitu kain itu terangkat, wajah patung itu terlihat jelas. Namun, apa yang ia temukan justru lebih mengejutkan daripada yang ia bayangkan.

Wajah itu—bukan wajah manusia. Itu adalah wajahnya sendiri. Wajah Arman.

Panik, Arman mundur beberapa langkah. Tidak, ini tidak mungkin. Dia melihat ke sekeliling, mencari jawaban atas apa yang baru saja ia lihat. Sosok pria itu tiba-tiba melangkah maju, mendekatinya dengan langkah yang pasti. “Kau mulai memahami sekarang, bukan?”

Arman menatapnya dengan bingung. “Ini… wajahku… Kenapa wajahku ada di sana?”

Pria itu mengangguk, senyumnya tak terlihat, namun Arman bisa merasakan kegelapan yang menyelimuti kata-katanya. “Itulah kenyataannya, Arman. Sejak awal, kau telah menjadi bagian dari kisah ini. Kau adalah bagian dari kutukan yang tak bisa dihindari.”

Arman menggigil. Bagian dari kutukan? Itu berarti, sejak awal, dia sudah terjebak dalam lingkaran yang tak bisa dilepaskan.

“Kau pikir kau hanya orang yang kebetulan datang ke desa ini. Tetapi kenyataannya, kau sudah ada di sini jauh sebelum itu,” suara pria itu terus menggema. “Desa ini memanggilmu. Kau adalah satu-satunya yang bisa memutuskan apakah kutukan ini akan berlanjut atau berakhir. Tapi itu membutuhkan pengorbanan. Pengorbanan yang tidak mudah.”

Arman berusaha untuk menenangkan pikirannya. Pengorbanan. Kata itu bergema dalam hatinya. Ia tidak bisa melarikan diri dari kenyataan bahwa ia telah menjadi bagian dari permainan ini. Desanya, kutukan itu, bahkan Dara—semuanya kini saling terhubung, dan ia berada di pusatnya.

Dengan tangan gemetar, Arman meraih buku catatan kecilnya dan membuka halaman terakhir. Tulisannya masih ada, namun ada satu bagian yang belum ia isi. Bagian itu kosong, menunggu untuk diisi. Ia tahu, hanya satu kalimat yang bisa mengakhiri kisah ini.

Dengan napas yang tertahan, Arman menulis:

“Aku memilih untuk melepaskan diri. Aku akan mengorbankan jiwa ini untuk menghentikan kutukan yang ada. Jika ada yang membaca ini, ketahuilah—desaku sudah menghilang, dan yang tersisa hanya bayangan yang tak akan pernah kembali.”

Begitu tinta mengering, cahaya dari lorong di belakangnya mulai meredup, dan sosok pria itu mulai menghilang. “Keputusanmu telah dibuat,” kata pria itu dengan suara yang nyaris tidak terdengar. “Sekarang, segalanya akan berubah.”

Tiba-tiba, Arman merasakan tubuhnya terangkat ke udara. Dunia di sekitarnya mulai berputar, dan semua yang ada di sana—patung, altar, bahkan pria itu—tercerai berai menjadi serpihan-serpihan cahaya. Waktu pun berhenti sejenak.

Namun, sebelum semuanya benar-benar menghilang, Arman mendengar satu suara terakhir, suara yang datang dari jauh di dalam dirinya:

“Ini adalah akhir dari perjalanan, dan awal dari yang baru.”

Dengan sekejap, semua gelap. Dan Arman terjatuh, tidak tahu lagi apakah ia masih berada di dunia yang sama.

Bab 13: Bayang-Bayang yang Menghantui

Gelap. Semua yang ada hanyalah kegelapan pekat yang menyelubungi tubuh Arman, mengisapnya ke dalam ruang yang tak bisa dijangkau oleh cahaya. Tidak ada suara, tidak ada jejak. Seperti berada di tengah-tengah kehampaan, ia merasa hilang, terjebak di ruang yang tak memiliki waktu.

Namun, meskipun tidak ada suara, Arman bisa merasakan sesuatu. Ada getaran di udara, semacam energi yang bergerak di sekelilingnya. Satu per satu, gambar-gambar samar mulai muncul di hadapannya. Desakan masa lalu, bayang-bayang yang datang menghampiri, dan wajah-wajah yang sudah lama terlupakan.

Ia merasakan ketakutan yang mendalam, namun juga ada dorongan yang tak bisa ia jelaskan—sebuah kekuatan yang memaksanya untuk terus maju, mencari jalan keluar dari kegelapan ini.

Tiba-tiba, suara itu kembali terdengar. Suara pria itu.

“Arman…”

Suara itu datang dari segala arah, memantul, seolah mengelilinginya. Arman menegakkan tubuhnya, mencoba mencari sumber suara tersebut, namun tidak ada yang terlihat. Semua terasa kabur. Semakin ia mencoba untuk bergerak, semakin ia merasa terperangkap dalam pusaran yang tak berujung.

“Apakah kau yakin ini adalah pilihanmu? Untuk melepaskan dirimu dan menghentikan kutukan ini?” suara itu bertanya, menggetarkan batin Arman.

Arman menggertakkan giginya. “Aku sudah membuat keputusan. Aku ingin mengakhiri semuanya.”

Senyum pria itu terdengar jelas dalam suara yang menggema. “Keputusanmu sudah dibuat, tetapi tahukah kau apa yang sebenarnya kau lepaskan?”

Seketika, gambar-gambar dari masa lalu Arman muncul dengan jelas di depannya. Ia melihat sosok dirinya yang lebih muda, berdiri di tengah desa yang sama, dikelilingi oleh orang-orang yang tampaknya mengenalnya dengan sangat baik. Dara ada di sana, tersenyum, mengulurkan tangan padanya. Namun, di balik senyum itu, ada bayangan gelap yang menyelimuti semuanya.

Desa yang damai, yang ternyata hanyalah ilusi.

Arman menatap gambar itu dengan tatapan kosong. Apa yang sebenarnya terjadi pada desa ini? Apa yang tersembunyi di balik semua ini?

Tiba-tiba, sosok Dara muncul di hadapannya. Namun, wajahnya kali ini tampak lebih suram, lebih pucat. “Arman, kau tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku terperangkap di sini, begitu juga denganmu. Kutukan ini adalah lingkaran yang tak bisa kau hindari,” kata Dara dengan suara yang begitu pelan, hampir seperti bisikan.

Arman merasakan hatinya dipenuhi dengan rasa sakit. “Tidak. Aku sudah memilih untuk melepaskan semuanya. Aku tidak akan terjebak lagi.”

Namun, Dara hanya menggelengkan kepala dengan perlahan. “Terkadang, memilih untuk melepaskan bukan berarti kau bebas. Kadang, itu berarti kau terperangkap lebih dalam. Dan kau baru menyadari itu setelah semuanya terlambat.”

Kata-kata itu menusuk hati Arman. Ia ingin melangkah maju, tetapi kaki seolah terikat, tak bisa bergerak. Bayangan Dara yang semakin buram dan menghilang, membuatnya merasa kehilangan arah. Hanya ada satu hal yang ia tahu—kutukan itu belum berakhir.

Namun, tak lama kemudian, suara itu kembali terdengar, kali ini lebih dekat dan lebih jelas.

“Arman…” suara pria itu kembali memanggil. “Kau harus tahu. Tidak ada jalan keluar tanpa pengorbanan. Tidak ada yang bisa kembali dari tempat ini tanpa membayar harga.”

Arman berbalik, dan di sana, di depan matanya, sebuah pintu besar yang tidak ia sadari sebelumnya mulai terbuka. Cahaya yang memancar dari balik pintu itu memancar terang, begitu mencolok, seperti cahaya yang berasal dari dunia lain. Tetapi di baliknya, ada sosok yang familiar—seorang pria dengan kain hitam yang menutupi wajahnya. Sosok yang selalu muncul dalam bayangannya.

“Saatnya kau memilih, Arman,” suara pria itu bergema, penuh tekanan. “Masuklah ke dunia yang kau pilih, atau tinggalkan semuanya di sini dan terjebak selamanya. Pilihan ada di tanganmu.”

Arman menatap pintu itu, dan dalam sekejap, kenangan akan desanya, kenangan akan Dara, dan kenangan akan semua yang telah terjadi melintas begitu cepat di pikirannya. Ia merasa seperti terombang-ambing antara dua dunia—dunia yang ia kenal dan dunia yang tak pernah ia pahami sepenuhnya.

Namun, apa yang harus ia pilih? Meninggalkan dunia yang familiar, atau terjebak selamanya dalam kutukan yang tak terpecahkan?

Pilihannya sudah hampir tiba.

Langkah kaki Arman terasa semakin berat. Ia mengangkat kaki, berusaha melangkah maju. Namun, sesaat sebelum ia sampai di pintu, sosok pria itu mendekat lagi, menyentuh bahunya dengan tangan yang terasa dingin. “Arman, ingatlah… di setiap keputusan, ada harga yang harus dibayar. Pilihanmu akan mengubah segalanya.”

Dengan cepat, Arman menarik napas dalam-dalam, menatap pintu yang terbuka lebar di depannya, dan kemudian langkahnya berlanjut.

Apa yang akan ia temui di balik pintu itu? Jawaban atas semua teka-teki atau lebih banyak lagi misteri yang tak terpecahkan?

Bab 14: Pintu Menuju Kegelapan

Arman melangkah maju, meskipun tubuhnya terasa lemas, seolah ada sesuatu yang berat yang menariknya kembali ke dunia yang tak lagi ia kenali. Pintu besar yang terbuka di depannya mengeluarkan cahaya yang begitu terang, hampir seperti menyilaukan mata. Namun, di balik cahaya itu, ada kegelapan yang mengintai—sebuah kekosongan yang menunggu untuk menyerapnya.

Langkahnya semakin dekat, dan saat jaraknya hanya beberapa inci dari pintu, suara itu kembali bergema di dalam kepalanya. Suara pria itu.

“Jika kau melangkah lebih jauh, Arman, kau tidak akan pernah bisa kembali. Dunia yang kau kenal akan lenyap, dan kau akan terperangkap di dunia ini selamanya.”

Kata-kata itu seperti belati yang menusuk hati Arman. Ia berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam. Apa yang benar-benar ada di balik pintu itu? Apakah dunia yang lebih baik, atau justru lebih buruk dari yang sudah ia jalani?

“Keputusan ada di tanganmu,” suara pria itu melanjutkan. “Namun ingatlah, ada harga yang harus dibayar. Tidak ada yang bisa melarikan diri dari apa yang telah dimulai.”

Arman menggigit bibirnya. Ia tidak bisa mundur. Tidak lagi. Sudah terlalu banyak yang hilang, sudah terlalu banyak rahasia yang terbuka. Desa ini, Dara, kutukan yang mengikat semuanya—semuanya berputar di sekitar satu pertanyaan yang tak terjawab: Apa yang sebenarnya terjadi?

Dengan tekad yang menguat, Arman melangkah maju, menembus cahaya yang memancar dari pintu itu. Seketika, cahaya itu menyambutnya, menerobos pandangannya, dan semuanya menjadi putih.

Namun, saat pandangannya kembali normal, ia mendapati dirinya berada di tempat yang sama sekali berbeda.

Dunia itu bukan dunia yang ia kenal.

Di sekelilingnya, suasana berubah drastis. Tidak ada lagi kabut, tidak ada lagi desa yang sunyi. Semua yang ada di depannya adalah kota besar yang padat, dengan bangunan-bangunan tinggi yang menjulang ke langit, dan keramaian manusia yang berlalu-lalang. Tapi ada yang ganjil. Semua orang yang lewat di hadapannya mengenakan masker, wajah mereka tersembunyi, tak ada yang tampak nyata. Seperti bayangan yang hidup di dunia yang terpisah.

Arman kebingungan. Apa ini? Apa yang terjadi dengan desa itu?

Dia berlari ke arah kerumunan, bertanya pada setiap orang yang ditemuinya. Tapi semuanya hanya menatapnya dengan tatapan kosong, seolah ia tidak ada. Tak ada jawaban, tak ada reaksi. Semuanya hilang dalam keheningan yang aneh.

Kemudian, suara pria itu kembali terdengar, kali ini begitu dekat, seolah berbisik di telinganya.

“Kau telah melewati batas, Arman. Dunia ini adalah cerminan dari jiwa yang terperangkap. Kau telah memilih untuk datang, dan kini kau harus menghadapi konsekuensinya.”

Arman menggigil. “Apa maksudmu? Di mana aku? Apa yang terjadi dengan desa itu?”

Pria itu tertawa pelan, namun suara tawa itu terdengar sangat menyeramkan. “Desa itu bukan sekadar tempat, Arman. Desa itu adalah jiwa yang terperangkap. Semua yang kau lihat adalah ilusi dari dunia yang kau ciptakan sendiri. Dan sekarang, dunia itu akan menjadi kenyataanmu.”

Saat itu, Arman menyadari sesuatu yang mengejutkan. Dunia di sekitarnya mulai bergoyang, dan segala sesuatu yang tampak nyata mulai memudar, berubah menjadi gambar-gambar kabur. Kerumunan yang ada di sekelilingnya perlahan menghilang, digantikan oleh bayang-bayang yang bergerak tanpa suara.

Panik, Arman berlari lagi, mencoba mencari jalan keluar dari kegelapan ini. Namun, setiap kali ia berlari, ia merasa seolah berputar dalam lingkaran yang tak ada habisnya. Semakin ia berlari, semakin ia merasa terjebak dalam dunia yang tidak pernah ia pahami.

Di tengah kekacauan itu, ia tiba-tiba mendengar suara Dara, terdengar jauh, namun sangat jelas.

“Arman, berhenti! Jangan lanjutkan perjalananmu.”

Arman terhenti. Dara. Dia ada di sini.

Dengan langkah ragu, Arman mengikuti suara itu, hingga akhirnya ia menemukan sosok Dara, berdiri di depan sebuah bangunan yang tampak seperti sebuah rumah tua yang rusak. Wajah Dara tampak murung, matanya kosong, dan ia mengenakan pakaian yang berbeda—terlihat seperti seseorang yang telah terperangkap dalam dunia ini lebih lama daripada yang Arman bayangkan.

“Dara…” Arman memanggil, dengan suara serak. “Apa yang terjadi? Apa semua ini? Apa yang sebenarnya kau sembunyikan dariku?”

Dara menatapnya dengan tatapan yang sulit dimengerti. “Arman, aku sudah lama terperangkap di dunia ini, sama seperti yang lainnya. Dunia yang kita tinggali hanyalah bayangan dari jiwa-jiwa yang hilang. Setiap orang yang datang ke desa itu, termasuk kamu, akan terjebak dalam permainan yang tak pernah berakhir.”

Arman merasa dadanya sesak. Permainan?

“Kutukan ini bukan tentang desa, Arman,” Dara melanjutkan. “Desa itu hanyalah pintu. Pintu menuju dunia yang lebih besar, dunia yang mengikat jiwa-jiwa yang tersesat. Dan kita, kita adalah bagian dari permainan itu. Kita akan terus terjebak, sampai kita membuat pilihan yang benar.”

“Apa pilihan itu?” Arman bertanya dengan nada putus asa.

Dara menggenggam tangan Arman, memandangnya dengan tatapan yang dalam. “Pilihanmu adalah untuk keluar dari dunia ini, Arman. Tetapi untuk itu, kau harus memilih untuk melepaskan semuanya. Jika kau memilih untuk tetap tinggal, maka dunia ini akan mengikatmu selamanya. Tapi jika kau memilih untuk pergi, kau harus siap untuk kehilangan semua yang kau kenal.”

Kata-kata itu menghantam hati Arman seperti petir. Melepaskan semuanya? Artinya, ia harus meninggalkan desa, meninggalkan kenangan, dan mungkin, meninggalkan Dara.

Namun, ia tahu, satu hal yang lebih penting daripada semua itu: kutukan ini harus berakhir.

Dengan tekad yang bulat, Arman menatap Dara untuk terakhir kalinya. “Aku memilih untuk mengakhiri semuanya, Dara. Aku akan pergi.”

Dara tersenyum, meskipun senyum itu penuh dengan kesedihan. “Semoga kau menemukan jalan keluar, Arman.”

Saat itu, semua yang ada di sekelilingnya mulai menghilang, termasuk Dara. Kegelapan kembali menyelimuti ruang itu, dan Arman merasakan tubuhnya terangkat, melayang menuju pintu yang tak terlihat. Apakah ini akhirnya? Apakah ini akhir dari semua permainan yang tak berujung?

Bab 15: Titik Terakhir

Kegelapan itu terasa semakin mendalam, seolah menelan seluruh kesadaran Arman. Ia tidak bisa merasakan apapun selain ketenangan yang menyesakkan—sebuah ketenangan yang memaksa setiap inci tubuhnya untuk berhenti bergerak. Hanya ada satu suara yang memenuhi ruang kosong ini, suara detak jantungnya yang semakin cepat.

Apa yang harus aku lakukan?

Pertanyaan itu terus berputar dalam pikirannya, mengisi ruang yang semakin sempit. Arman bisa merasakan beban berat yang mengikatnya—kutukan yang sudah terlalu lama menghantui desa itu, yang kini menjerat dirinya. Setiap langkahnya menuju ke pintu itu, menuju keputusan yang harus ia ambil, terasa seperti berjalan di ujung jurang.

Tiba-tiba, dunia di sekelilingnya berubah lagi. Pintu yang ia lihat sebelumnya kini lenyap, digantikan oleh ruang yang penuh dengan bayangan—bayangan yang tak jelas, namun terasa seperti wajah-wajah yang mengenalnya. Dara, penduduk desa, dan orang-orang yang sudah lama ia lupakan.

Apa yang sebenarnya terjadi?

Ia mendapati dirinya kembali di desa, tepat di tempat yang ia mulai—di depan rumah tua yang diliputi kabut. Kabut itu bukan lagi sesuatu yang menakutkan, tapi sesuatu yang menyembunyikan banyak rahasia. Arman memejamkan mata, berusaha mengingat setiap detail yang pernah ia lihat di sini. Segala yang ia pelajari, segala yang ia dengar, semuanya terhubung dalam satu titik—desanya, Dara, dan kutukan yang menjerat.

Suara pria itu, yang selalu mengikutinya, kembali terdengar. Suara yang telah ia kenal.

“Kau kembali, Arman. Pilihanmu telah ditentukan. Tidak ada jalan lain lagi.”

Arman menatap ke sekelilingnya, dan melihat seorang pria berjubah hitam muncul di hadapannya. Sosok itu tidak asing baginya—itu adalah pria yang selalu berbicara kepadanya, yang seolah mengawasi setiap langkahnya.

“Kau ingin mengakhiri kutukan ini, bukan?” suara pria itu bertanya, suara yang terdengar seperti bisikan dari dunia lain. “Namun, ada satu hal yang harus kau ketahui, Arman.”

Arman menggenggam tangan, memusatkan perhatiannya. “Apa itu?”

Pria itu mendekat, matanya kosong namun tajam, menembus ke dalam jiwa Arman. “Kau berpikir kau dapat mengakhirinya, tapi kutukan ini lebih dari sekadar desa ini. Itu adalah bagian dari dirimu, bagian dari siapa kau sebenarnya. Mengakhiri kutukan ini berarti mengakhiri bagian dari dirimu yang telah lama hilang.”

Kata-kata itu menghantam Arman seperti petir. Bagian dari dirinya yang hilang?

Ia merasa terhimpit, seolah dunia itu berputar lebih cepat. Semua yang terjadi, semua yang ia lihat, semuanya terhubung pada satu titik—dirinya.

“Jadi, ini bukan hanya tentang desa? Tentang Dara? Tentang kutukan itu?” Arman bertanya, suaranya terdengar hampir putus asa. “Ini tentang diriku sendiri?”

Pria itu tersenyum tipis. “Itulah inti dari semua ini, Arman. Apa yang kau pilih, akan menentukan bukan hanya nasib desa ini, tapi juga nasib dirimu. Karena yang kau hadapi adalah kegelapan dalam dirimu sendiri.”

Arman terdiam. Tiba-tiba, wajah Dara muncul dalam bayangannya. Dara yang dulu penuh harapan, yang ia cintai, kini terlihat seperti bayangan yang terdistorsi, seolah tak lagi nyata. Apakah Dara hanyalah bagian dari ilusi?

Dara… Benarkah ia hanya ilusi?

“Apa yang harus aku lakukan?” Arman berbisik, suaranya bergetar. “Bagaimana cara mengakhiri semua ini?”

Pria itu menatapnya tajam, seolah menunggu jawaban yang sudah lama terjawab. “Hanya ada satu cara untuk mengakhiri kutukan ini, Arman. Kau harus memilih untuk melepaskan semua kenangan, melepaskan semua yang kau cintai, dan menerima kenyataan bahwa dunia ini, dan dirimu sendiri, tidak akan pernah sama lagi.”

Sekilas, bayangan Dara kembali muncul di hadapannya, namun kali ini, senyum Dara terasa lebih kabur, seperti terlupakan. Arman merasa hatinya terhimpit oleh beban yang tak terlukiskan. Ia harus memilih. Melepaskan semua yang ia kenal atau tetap terjebak dalam dunia ini selamanya.

Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba meresapi setiap kata yang disampaikan pria itu. Keputusan itu… harus ia ambil. Tidak ada lagi ruang untuk keraguan.

Dengan tekad yang menguat, Arman menatap pria itu dan berkata, “Aku memilih untuk mengakhiri semuanya. Aku akan pergi. Aku akan melepaskan semuanya.”

Tiba-tiba, semua yang ada di sekitarnya berubah. Desa, rumah tua, dan kabut yang selama ini menyelimuti, semua mulai memudar. Dunia itu mulai runtuh, dan Arman merasa tubuhnya terangkat kembali ke ruang yang lebih tinggi, menuju cahaya yang menyilaukan.

Namun, sesaat sebelum semuanya menghilang, Arman mendengar satu kata terakhir dari pria itu: “Ingat, Arman, untuk melangkah ke dunia yang baru, kau harus siap untuk kehilangan semuanya. Tidak ada yang dapat kembali setelah memilih jalan ini.”

Dengan satu tarikan napas, Arman melangkah maju, memasuki cahaya itu, menuju dunia yang tak terbayangkan—dunia yang bebas dari kutukan, dunia yang baru, namun dengan harga yang harus dibayar.***

————————–THE END————————

Source: Shifa Yuhananda
Tags: #Kutukan#ThrillerAkhirPerjalananDesaTanpaNamaDuniaIlusiKeputusanPentingmisteriRahasiaTersembunyi
Previous Post

LANGKAH TERAKHIR SANG PEMBURU

Next Post

SENJA DI UJUNG HARAPAN

Next Post
SENJA DI UJUNG HARAPAN

SENJA DI UJUNG HARAPAN

PAHLAWAN DARI DUNIA TERLARANG

PAHLAWAN DARI DUNIA TERLARANG

MISI TANPA AMPUN

MISI TANPA AMPUN

MOVIE REVIEW

No Content Available

RECENT MOVIE

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025

Tentang Kami

NovelStory.id adalah platform media online yang menghadirkan beragam cerita menarik seperti dalam novel dan drama, dirancang untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan yang berkualitas dan penuh imajinasi. Kami percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh hati, menginspirasi, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh keajaiban.

Recent News

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025

Follow Us

  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 https://novelstory.id

No Result
View All Result
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah

© 2025 https://novelstory.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In