Bab 1: Perjalanan yang Tak Terduga
Mira berdiri di depan kantor restorasi seni yang terletak di sudut kota yang ramai. Matahari sore menyinari langit dengan warna oranye yang menenangkan, namun hatinya gelisah. Proyek terakhirnya, memulihkan sebuah lukisan kuno dari abad ke-18, tampaknya adalah pekerjaan yang tak terduga dan penuh tantangan. Lukisan tersebut ditemukan di sebuah villa tua yang terpencil di luar kota, dan Mira—yang lebih suka berurusan dengan seni modern—merasa aneh dengan kesempatan yang datang begitu mendadak.
“Ini bukan jenis lukisan yang biasanya kamu kerjakan, Mira,” kata kepala tim restorasi, Pak Adrian, saat ia memberi penjelasan singkat tentang proyek tersebut. “Namun, aku yakin kamu bisa menangani ini. Lukisan ini memiliki nilai sejarah yang sangat besar. Semuanya sudah diatur, kamu hanya perlu pergi ke villa itu, dan mulai bekerja.”
Mira hanya mengangguk, meskipun dalam hatinya, ia merasa ragu. Bagaimana mungkin ia bisa merasa terhubung dengan sesuatu yang telah terlupakan selama berabad-abad? Bagaimana mungkin ia bisa melihat makna di balik sebuah karya yang, bagi sebagian orang, hanya sekadar peninggalan masa lalu?
Pada malam itu, Mira mempersiapkan dirinya untuk perjalanan ke villa tersebut. Ia mengemas alat-alat restorasi dalam tas kecil, membawa pakaian yang nyaman, dan mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini adalah langkah yang tepat. Meski begitu, rasa cemas dan ketidakpastian masih membayangi setiap langkahnya.
Setibanya di villa, suasana yang menyeramkan langsung menyergapnya. Bangunan tua dengan jendela-jendela yang tertutup rapat, daun-daun kering yang berserakan di jalan setapak, dan udara yang terasa dingin meski matahari masih terbenam. Villa itu tampak seperti dikelilingi oleh kesunyian, seakan-akan waktu di tempat itu berhenti berputar.
Mira mengetuk pintu besar villa. Beberapa detik kemudian, pintu terbuka perlahan, memperlihatkan seorang pria muda dengan mata tajam yang tak bisa Mira pungkiri memiliki pesona yang aneh. Pria itu mengenakan pakaian kasual yang sederhana, namun ada aura misterius yang membuat Mira merasa sedikit tidak nyaman.
“Selamat datang. Saya Arkan,” kata pria itu, suaranya dalam dan tenang. “Saya mendengar Anda datang untuk mengerjakan lukisan itu.”
Mira mengangguk, merasa sedikit kikuk dengan sambutan yang sangat dingin. “Iya, saya Mira. Saya di sini untuk memulihkan lukisan itu.”
Arkan mengangguk kembali dan memberi jalan. “Lukisan itu ada di ruang kerja saya. Mari saya tunjukkan.”
Mira mengikuti Arkan melalui lorong-lorong villa yang gelap dan penuh dengan barang-barang antik. Setiap langkah diambil dengan hati-hati, seakan-akan villa ini menyimpan banyak rahasia yang tidak ingin terungkap. Begitu mereka tiba di ruang kerja, Mira tertegun melihat lukisan besar yang tergeletak di meja. Lukisan itu menggambarkan seorang wanita muda yang mengenakan gaun berwarna biru muda, dengan mata yang tampak menembus jauh ke dalam jiwa siapa saja yang memandangnya. Ada sesuatu yang menarik—dan sekaligus mengerikan—tentang wajah wanita itu.
“Lukisan ini sudah lama tidak dipelihara dengan baik,” kata Arkan, seolah membaca pikiran Mira. “Saya harap Anda bisa mengembalikannya ke keadaan semula.”
Mira mendekati lukisan itu dengan hati-hati, mencoba melihat lebih dalam. Namun, ada perasaan aneh yang menyeruak dalam dirinya, seperti ada sesuatu yang lebih dari sekadar karya seni di depan matanya. “Apa yang membuat lukisan ini begitu penting bagi Anda?” tanya Mira dengan hati-hati.
Arkan terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. “Lukisan ini… lebih dari sekadar karya seni bagi keluarga saya. Ini adalah bagian dari sejarah kami. Mungkin Anda akan mengerti ketika Anda mulai bekerja.”
Mira merasa penasaran, namun ia memilih untuk tidak bertanya lebih lanjut. Ia mulai memeriksa lukisan itu dengan seksama, merasakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Setiap sentuhan, setiap goresan di kanvas, tampak seperti memiliki cerita tersendiri.
Arkan berdiri di belakangnya, tetap diam, dan Mira merasakan ketegangan yang tak terungkapkan di antara mereka. Meskipun ia tahu bahwa pekerjaannya hanya sebatas restorasi, perasaan bahwa ia terlibat dalam sesuatu yang lebih besar semakin menguasainya.
Malam itu, Mira tidak bisa tidur. Villa itu terlalu sunyi, terlalu misterius. Ia merasa seolah-olah ada mata yang mengawasinya, dan lukisan di ruang kerjanya seakan menunggu untuk mengungkapkan rahasia yang tersembunyi di dalamnya.*
Bab 2: Lukisan yang Memikat
Hari pertama Mira bekerja di villa itu terasa panjang dan penuh kegelisahan. Walaupun ia sudah berusaha fokus pada pekerjaannya, pikirannya selalu kembali pada lukisan besar yang tergeletak di ruang kerja Arkan. Ketika ia memeriksa lebih dekat, ada sesuatu yang membuatnya terpesona. Lukisan itu, yang menggambarkan seorang wanita muda dengan gaun biru muda dan rambut gelap yang dibiarkan tergerai, tampaknya lebih hidup dari sekadar sebuah karya seni. Matanya yang besar dan tajam menatapnya seolah tahu sesuatu yang hanya bisa dipahami oleh orang tertentu.
Mira memutuskan untuk memulai pekerjaannya, meskipun rasa tidak nyaman itu terus mengganggu. Ia membuka tas alat restorasi yang ia bawa, memilih kuas dan lap yang lembut, serta solusi khusus untuk membersihkan kanvas. Seiring ia bekerja, ia menemukan lapisan-lapisan cat yang mulai mengelupas, seakan-akan lukisan itu menyembunyikan kisah-kisah lama yang belum terungkap.
Namun, ada sesuatu yang lebih aneh—di balik lapisan cat yang pudar, Mira melihat jejak-jejak bayangan yang tidak bisa dijelaskan. Seperti ada gambar-gambar samar yang terhapus, hanya bisa terlihat saat cahaya tertentu mengenai permukaan lukisan. Ia merasakan perasaan yang tak terlukiskan, seolah lukisan itu menyampaikan pesan yang tersembunyi di dalamnya.
“Apakah Anda menemukan sesuatu yang aneh?” suara Arkan mengagetkannya. Mira menoleh dan mendapati Arkan berdiri di ambang pintu, memandanginya dengan tatapan yang sulit dibaca.
“Sepertinya ada lapisan cat yang terhapus,” jawab Mira dengan hati-hati, sambil mencoba tetap fokus pada pekerjaannya. “Tapi, saya rasa saya bisa memulihkannya. Lukisan ini memang terlihat usang, tapi ada sesuatu yang… unik tentangnya.”
Arkan melangkah lebih dekat dan berdiri di samping Mira, menatap lukisan itu dengan ekspresi yang tidak bisa Mira pahami. “Lukisan ini memang sudah berusia ratusan tahun,” katanya pelan. “Namun, ada cerita di baliknya yang lebih tua lagi.”
Mira menoleh, sedikit terkejut. “Cerita? Apa maksud Anda?”
Arkan terdiam sejenak, lalu mengalihkan pandangannya ke jendela, seolah berusaha mencari kata-kata yang tepat. “Lukisan ini bukan hanya tentang wanita yang digambarkan di dalamnya. Dia… adalah bagian dari sejarah keluarga saya. Tapi saya tidak ingin Anda terlalu terbawa. Mungkin lebih baik Anda fokus pada restorasi saja.”
Mira merasa ada yang mengganjal, tetapi ia memilih untuk tidak menanyakan lebih jauh. Sebagai seorang profesional, ia tahu lebih baik untuk tidak terlibat dalam kehidupan pribadi kliennya. Namun, rasa ingin tahu yang mendalam semakin meresap dalam dirinya.
Setiap hari, Mira semakin terobsesi dengan lukisan itu. Ia mulai mempelajarinya lebih rinci, mencoba memperbaiki setiap detail yang rusak. Namun, semakin lama ia mengamati, semakin banyak yang tidak bisa dijelaskan. Wanita dalam lukisan itu tampak berbeda di setiap sudut. Terkadang, ia terlihat seperti tersenyum, sementara di waktu lain, ekspresinya tampak penuh keputusasaan. Ada semacam perubahan dalam matanya—seperti ada perasaan yang tak terungkapkan di balik pandangan itu.
Pada malam hari, saat Arkan tidak ada di villa, Mira mulai memeriksa lukisan itu lebih dalam. Ia menggunakan cahaya yang lebih terang, mencoba melihat lebih dekat pada bayangan samar yang ia temui sebelumnya. Seiring cahaya jatuh pada kanvas, sebuah sosok lain mulai muncul. Bukan hanya wanita dalam gaun biru muda itu, tetapi juga gambar seorang pria yang berdiri di sampingnya, bayangannya sangat kabur, seakan terhapus oleh waktu. Namun, perasaan itu jelas—ada hubungan yang kuat antara mereka, sebuah hubungan yang lebih dari sekadar lukisan.
Mira merasa terkejut dan bingung. “Siapa mereka?” gumamnya pada diri sendiri, tanpa sadar.
Hati Mira berdebar saat ia menyadari bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar pekerjaan restorasi yang ia lakukan. Lukisan ini tidak hanya sekadar objek yang bisa diperbaiki, tetapi sebuah potongan puzzle dari masa lalu yang memanggilnya. Suatu potongan sejarah yang belum terungkap, dan ia merasa, dengan cara yang aneh, ia menjadi bagian dari cerita itu.
Pada hari ketiga, Mira memutuskan untuk menemui Arkan dan menanyakan lebih banyak tentang latar belakang lukisan tersebut. Ia merasa semakin sulit untuk mengabaikan rasa penasaran yang semakin membesar.
Namun, ketika ia tiba di ruang kerja, ia menemukan bahwa Arkan sudah berdiri di sana, memandangi lukisan itu dengan tatapan kosong. Wajahnya tampak lebih tegang dari biasanya.
“Arkan,” panggil Mira dengan hati-hati. “Apakah Anda tahu siapa pria yang ada di lukisan itu? Saya mulai melihat bayangan samar, dan—”
Arkan menoleh dengan cepat, matanya tampak gelap. “Saya tidak ingin Anda tahu lebih banyak tentang ini,” jawabnya dengan suara yang keras, namun penuh kelelahan. “Lukisan ini bukan untuk dipahami oleh siapa pun. Termasuk Anda.”
Mira terkejut dengan reaksi Arkan yang begitu emosional, namun ia tidak mundur. “Tapi, Arkan, lukisan ini… ada sesuatu yang tidak beres. Saya merasa seperti ada yang disembunyikan di sini.”
Arkan menarik napas dalam-dalam dan berbalik, meninggalkan ruangan tanpa kata-kata lagi. Mira hanya bisa memandanginya, merasa semakin yakin bahwa lukisan ini lebih dari sekadar karya seni—ia adalah kunci untuk mengungkapkan sesuatu yang jauh lebih banyak.*
Bab 3: Teka-Teki Masa Lalu
Pekerjaan Mira selama beberapa hari terakhir semakin rumit. Meskipun ia berusaha untuk tetap profesional dan fokus pada restorasi lukisan, rasa penasaran yang mendalam tentang latar belakang lukisan itu semakin sulit untuk diabaikan. Bayangan pria yang samar-samar muncul di kanvas membuatnya terjaga semalaman, berpikir tentang siapa orang itu dan bagaimana ia terkait dengan wanita dalam lukisan. Selain itu, sikap Arkan yang semakin tertutup dan gelisah membuat Mira semakin merasa bahwa ada sesuatu yang sangat penting yang disembunyikan dari dirinya.
Pada pagi hari yang cerah, setelah bekerja keras untuk membersihkan lapisan cat dan merestorasi detail-detail halus, Mira memutuskan untuk bertanya lebih banyak kepada Arkan. Ia merasa sudah saatnya untuk menggali lebih dalam, meskipun ia tahu bahwa Arkan mungkin tidak akan mudah membuka diri. Namun, rasa ingin tahu yang semakin besar mendorongnya untuk mencoba.
“Arkan, bisakah kita bicara sejenak?” Mira mengawali percakapan dengan hati-hati saat mereka berdua berada di ruang kerja.
Arkan menoleh, wajahnya terlihat lelah, seolah-olah ia baru saja terjaga dari mimpi buruk yang mengganggu tidurnya. “Tentu, ada apa?”
“Sejujurnya, saya tidak bisa mengabaikan perasaan bahwa ada lebih banyak hal yang terjadi di balik lukisan itu,” kata Mira, berusaha mengungkapkan ketertarikannya tanpa menyinggung perasaan Arkan. “Lukisan itu, ada gambar pria yang samar-samar terlihat. Saya penasaran, siapa dia?”
Arkan terlihat terkejut, dan ekspresi wajahnya langsung berubah. Ia menundukkan kepala, seolah berusaha menenangkan diri. Beberapa detik berlalu sebelum ia mengangkat pandangannya. “Saya sudah berharap Anda tidak akan menyentuhnya,” jawabnya, suaranya penuh ketegangan. “Lukisan itu memang menyimpan banyak cerita, tapi saya tidak ingin Anda terlibat lebih dalam.”
Mira tidak menyerah. “Tapi, Arkan, ini bukan hanya tentang pekerjaan saya. Lukisan ini… ada sesuatu yang sangat kuat di dalamnya. Saya merasa… saya merasa terhubung dengan cerita itu, meskipun saya belum tahu apa yang sebenarnya terjadi.”
Arkan terdiam, seakan mempertimbangkan sesuatu. Lalu, dengan napas berat, ia akhirnya berbicara, suaranya pelan. “Pria yang Anda lihat dalam lukisan itu… adalah leluhur saya. Nama pria itu adalah Aldebran, seorang tokoh dalam keluarga kami yang sejarahnya sangat kelam.”
Mira terkejut. “Aldebran? Lalu, siapa wanita itu?”
Arkan menghela napas panjang, seolah mempersiapkan diri untuk mengungkapkan sesuatu yang sangat sulit. “Wanita itu adalah Larisa, ibu dari ayah saya. Ia adalah wanita yang sangat dicintai oleh keluarga kami, namun juga merupakan penyebab dari banyak tragedi yang terjadi.”
Mira merasa cemas. “Tragedi? Apa yang terjadi dengan mereka?”
Arkan berjalan ke jendela, menatap keluar dengan pandangan kosong. “Kisah ini dimulai lebih dari seratus tahun yang lalu. Keluarga kami pernah sangat kaya dan berpengaruh, namun segala sesuatu berubah ketika Aldebran jatuh cinta pada Larisa. Cinta mereka adalah sesuatu yang tidak diterima oleh keluarga besar kami—karena Larisa adalah wanita dari keluarga yang lebih rendah status sosialnya. Keluarga kami menentang hubungan itu, namun Aldebran tetap bersikeras. Konsekuensinya sangat buruk.”
Mira terkejut mendengar cerita itu, dan ia bisa merasakan betapa besar beban yang ada pada Arkan. “Apa yang terjadi setelah itu?”
Arkan menatap lurus ke depan, seperti sedang mengingat kenangan yang sangat menyakitkan. “Aldebran dan Larisa akhirnya melarikan diri, tetapi mereka tidak pernah bisa benar-benar bebas. Mereka terpaksa hidup dalam pelarian. Namun, tak lama setelah itu, keluarga saya menemukan mereka. Ada pertempuran, dan dalam kekacauan itu, Aldebran dan Larisa tewas dalam sebuah kecelakaan. Namun, keluarga saya tidak pernah mengakui bahwa itu adalah sebuah kecelakaan. Mereka percaya bahwa keluarga saya yang bertanggung jawab atas kematian mereka.”
Mira terdiam, mencoba mencerna cerita yang baru saja ia dengar. “Jadi, apa hubungan lukisan ini dengan apa yang Anda ceritakan?”
Arkan menoleh ke arah Mira, wajahnya tampak suram. “Lukisan ini adalah satu-satunya kenang-kenangan yang tersisa dari mereka. Ini adalah gambaran terakhir mereka berdua sebelum tragedi itu terjadi. Tapi, ada sesuatu yang lebih aneh lagi…”
“Apakah itu?” Mira bertanya, penasaran.
Arkan menatap lukisan itu dengan tatapan kosong, seolah melihat sesuatu yang tidak bisa Mira lihat. “Lukisan ini… bukan hanya sebuah kenangan. Ada yang mengatakan bahwa lukisan ini menyimpan roh mereka. Beberapa anggota keluarga percaya bahwa kisah mereka belum selesai. Bahwa ada kutukan yang mengikat kami pada masa lalu.”
Mira merasa shok mendengar kata “kutukan” itu, tetapi ia mencoba untuk tetap tenang. “Apakah Anda percaya pada hal itu?”
Arkan menatap Mira, matanya dipenuhi keraguan. “Saya tidak tahu. Saya tidak tahu apa yang saya percaya lagi. Tapi setiap kali saya melihat lukisan itu, saya merasa ada sesuatu yang memanggil saya. Seperti ada bagian dari diri saya yang terikat pada masa lalu itu.”
Mira merasa terkejut oleh pengakuan Arkan, dan ia menyadari betapa berat beban emosional yang harus dipikul pria itu. “Arkan, saya bisa merasakan betapa sulitnya ini bagi Anda. Tapi, Anda tidak perlu menghadapi ini sendirian. Jika ada cara untuk membantu, saya akan melakukannya.”
Arkan memandang Mira, dan untuk pertama kalinya, ada sedikit kelembutan dalam tatapannya. “Saya tidak tahu apakah ada yang bisa membantu. Tapi, saya senang Anda ada di sini.”
Mira merasa hatinya berdebar. Meskipun perasaan itu masih terpendam, ia tahu bahwa hubungan mereka telah berubah. Mungkin kisah yang ada dalam lukisan itu bukan hanya milik masa lalu, tetapi juga milik masa depan mereka. Sebuah kisah yang belum selesai, dan mereka berdua sekarang terlibat dalam teka-teki yang lebih besar dari apa yang pernah mereka bayangkan.*
Bab 4: Hati yang Terpecah
Malam itu, suasana di villa terasa lebih sunyi dari biasanya. Angin yang berhembus dari luar seolah berbisik lewat celah-celah jendela yang sedikit terbuka, membawa rasa dingin yang menusuk kulit. Mira duduk di meja kerjanya, memandangi lukisan yang kini lebih dari sekadar sebuah objek yang harus dipulihkan. Setiap kali ia menatapnya, matanya seperti terserap ke dalam dunia yang penuh dengan cerita dan kesedihan. Wanita dalam gaun biru dan pria yang samar—Aldebran dan Larisa—mereka kini lebih hidup dalam pikirannya dibandingkan lukisan yang mereka hiasi. Hati Mira mulai dilanda kegelisahan. Apa yang sebenarnya terjadi pada mereka? Apa yang hilang dalam sejarah itu?
Namun, malam itu bukan hanya tentang rasa penasaran. Ketika ia kembali ke ruang tamunya, melihat Arkan duduk sendirian di dekat perapian, sebuah perasaan yang lebih mendalam muncul di hatinya. Ada sesuatu yang berbeda pada pria itu malam ini. Meskipun wajahnya tetap dingin dan terjaga, ada kelembutan yang seakan tersembunyi di balik ketegasannya. Seolah-olah luka lama yang ia coba sembunyikan mulai kembali muncul ke permukaan.
Mira merasa tersentuh, tetapi juga bingung. Ia sudah mulai terbuka terhadap Arkan, mendengarkan kisah tragis keluarganya, namun ada bagian dari dirinya yang merasa terpecah. Di satu sisi, ia ingin membantu Arkan mengatasi trauma masa lalunya. Di sisi lain, hatinya mulai merasakan sesuatu yang lebih—sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan, sesuatu yang membawanya semakin dekat pada pria yang penuh dengan rahasia ini.
Ia duduk di samping Arkan, mencoba mencairkan suasana yang penuh dengan ketegangan. “Arkan,” panggil Mira lembut, suaranya sedikit bergetar. “Ada sesuatu yang saya pikirkan. Mengenai… masa lalu Anda.”
Arkan mengalihkan pandangannya, matanya sejenak bertemu dengan mata Mira, lalu ia menunduk. “Mira, saya tidak ingin Anda terjebak dalam cerita lama saya,” jawabnya pelan, seolah mencoba menahan segala perasaan yang ingin ia lepaskan. “Kisah itu terlalu kelam untuk dibawa ke permukaan.”
Mira merasakan perasaan yang tidak bisa ia kontrol—rasa ingin melindungi, rasa ingin berbagi. “Tapi, Arkan, ini bukan hanya tentang masa lalu Anda. Ini tentang kita sekarang. Saya ingin Anda tahu bahwa Anda tidak sendirian. Saya ada di sini.”
Arkan tertawa, namun suaranya terdengar pahit. “Tidak ada yang bisa mengubah masa lalu, Mira. Tidak ada yang bisa mengembalikan apa yang sudah hilang.” Ia menatap api yang mulai meredup di perapian, seakan berharap segala sesuatu yang ia rasakan bisa terbakar habis bersama nyala api tersebut.
Mira merasa sebuah rasa sakit yang tidak terungkapkan mengalir dalam kata-kata Arkan. Ia ingin meraih tangannya, tapi sesuatu menahan langkahnya. Sebuah jarak yang semakin lebar di antara mereka, meskipun fisik mereka begitu dekat. Arkan menutupi hatinya dengan tembok yang sangat kuat, dan Mira tidak tahu bagaimana cara menghancurkannya.
“Masa lalu Anda mungkin tidak bisa diubah, tapi kita bisa memilih bagaimana kita melanjutkan hidup kita,” Mira berkata dengan lembut, berharap bisa menyentuh bagian terdalam dari hati Arkan.
Arkan menoleh kepadanya, dan kali ini, ada keheningan yang panjang. Dia tampak lelah, seperti perang batin yang ia jalani selama ini mulai meresap dalam setiap langkahnya. “Saya tidak tahu apakah saya bisa membiarkan seseorang masuk lebih dalam, Mira,” katanya dengan suara serak. “Saya sudah terlalu banyak kehilangan. Saya takut… takut jika saya membuka diri, saya akan kehilangan lagi.”
Mira merasakan hatinya terbelah. Ia bisa melihat betapa besar rasa takut dan kesedihan yang terpendam di dalam diri Arkan. Namun, ia juga merasa ada bagian dari dirinya yang terikat dengan pria itu, meskipun ia tahu bahwa keterikatan itu mungkin akan membawa luka yang lebih dalam.
“Mungkin kita tidak bisa mengontrol apa yang akan terjadi,” kata Mira, berusaha menyembunyikan perasaan yang semakin campur aduk. “Tapi, saya percaya, kita bisa memilih untuk saling mendukung. Kita bisa menjadi kekuatan satu sama lain.”
Arkan terdiam, matanya kembali menatap lukisan yang terletak di meja, seakan lukisan itu menjadi pengingat akan segala hal yang telah hilang. Setelah beberapa saat, ia menghela napas dan berkata, “Saya tidak bisa menjanjikan apa-apa, Mira. Saya tidak bisa menjamin saya akan bisa membuka hati saya sepenuhnya. Tetapi… terima kasih, karena sudah ada di sini.”
Mira merasa hatinya berdebar mendengar kata-kata Arkan. Ada sesuatu yang menahan dirinya untuk tidak melangkah lebih jauh—rasa takut bahwa ia akan terluka jika terlalu banyak memberi. Namun, pada saat yang sama, ada keinginan yang tak terbendung untuk tetap berada di sisinya, menemani perjalanan pria ini yang penuh dengan luka.
Tetapi, seperti yang Arkan katakan, tidak ada jaminan bahwa segala sesuatu akan baik-baik saja. Mereka berdua terjebak dalam masa lalu yang tidak bisa dipisahkan, dan keduanya saling menarik dalam ketegangan yang semakin terasa.
Malam itu, Mira kembali ke kamarnya dengan perasaan yang sangat terpecah. Di satu sisi, ia ingin lebih dekat dengan Arkan, ingin mengerti dan membantu dia menyembuhkan luka-lukanya. Namun, di sisi lain, ia mulai merasakan bahwa perasaan yang ia kembangkan untuk Arkan bisa membawa bahaya tersendiri. Apa yang terjadi jika ia membuka hatinya sepenuhnya? Apa yang terjadi jika ia jatuh lebih dalam?
Mira tahu satu hal: hubungan ini tidak akan mudah. Sebuah hati yang terpecah antara cinta dan rasa takut. Masa lalu dan masa depan. Luka yang belum sembuh dan kemungkinan akan terus menganga.*
Bab 5: Keberanian Mengungkapkan
merasa semakin terperangkap dalam kebingungannya. Hari demi hari, ia semakin sering terjaga di malam hari, pikirannya berputar-putar, terfokus pada Arkan, pada lukisan itu, dan pada sejarah keluarga yang kelam. Semakin lama ia berada di villa itu, semakin besar perasaan yang ia rasakan terhadap Arkan—perasaan yang sulit diungkapkan, bahkan untuk dirinya sendiri. Namun, ada satu hal yang ia ketahui pasti: ia tidak bisa terus mengabaikan perasaan itu.
Malam ini, setelah beberapa hari berlalu dengan ketegangan yang tak pernah mereda, Mira memutuskan untuk berbicara dengan Arkan. Ia tahu bahwa jika ia tidak melakukannya sekarang, semuanya akan semakin sulit. Ia tidak bisa terus bersembunyi di balik kebisuan dan perasaan yang terkubur dalam diri. Ia harus menemukan keberanian untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya ia rasakan.
Malam itu, setelah makan malam yang hening dan canggung, Mira berjalan menuju ruang kerja Arkan. Hati dan pikirannya berdebar dengan setiap langkah yang ia ambil. Arkan sedang duduk di meja kerjanya, memandangi tumpukan berkas, tetapi wajahnya tampak jauh, seolah pikirannya berada di tempat lain. Ketika Mira masuk, Arkan menoleh, tetapi ada ketegangan yang masih tersisa di antara mereka, seperti ada tembok tak terlihat yang menghalangi mereka untuk saling memahami.
“Mira,” kata Arkan, suaranya lembut, tetapi ada kesan ragu. “Ada yang bisa saya bantu?”
Mira menatapnya sejenak, lalu menghela napas panjang. “Arkan,” ia mulai dengan hati-hati, “saya tahu kita sudah melewati banyak hal bersama, dan saya rasa sudah saatnya saya berbicara.”
Arkan mengangkat alisnya, tanda bahwa ia mulai curiga. “Apa maksud Anda?”
Mira merasa ketegangan di dalam dirinya semakin membesar, tetapi ia tahu ini adalah saat yang tepat. “Saya… saya tidak bisa terus menyembunyikan perasaan saya,” kata Mira, suaranya sedikit bergetar. “Saya tidak bisa menutupinya lagi. Arkan, saya—saya merasa lebih dari sekadar ingin membantu Anda. Saya… saya peduli pada Anda, lebih dari yang saya inginkan.”
Arkan terdiam, wajahnya seolah tidak bisa memercayai apa yang baru saja ia dengar. Ia bangkit perlahan dari kursinya dan berjalan beberapa langkah menjauh, matanya menatap keluar jendela yang gelap. Mira merasakan ketegangan yang menyelimuti mereka berdua, dan meskipun ada perasaan cemas yang membuncah dalam dirinya, ia tahu ia sudah mengatakannya—kata-kata yang sudah lama terpendam.
“Anda tahu, Mira,” Arkan akhirnya berbicara, suaranya lebih rendah, “ini bukanlah hal yang mudah untuk saya. Saya sudah terlalu banyak terluka. Saya tidak bisa membiarkan diri saya terjebak dalam perasaan yang tidak pasti. Saya sudah berjanji pada diri saya sendiri untuk tidak membuka hati saya lagi.”
Mira merasa hatinya teriris mendengar kata-kata Arkan. Ada rasa sakit yang sangat dalam dalam suaranya, dan Mira tahu bahwa ini bukan hanya tentang mereka berdua, tetapi juga tentang semua yang telah terjadi dalam hidup Arkan. “Saya mengerti, Arkan. Saya tahu Anda terluka, dan saya tidak ingin memaksa Anda. Saya hanya… saya hanya ingin Anda tahu bahwa saya ada di sini, jika Anda ingin berbicara. Jika Anda ingin… membuka diri.”
Arkan menoleh kepadanya, wajahnya masih tertutup, tetapi ada sesuatu yang berubah dalam tatapannya. “Mira, saya tahu Anda peduli. Saya tahu Anda ingin membantu, tapi ini lebih dari sekadar perasaan saya. Saya tidak bisa membawa Anda ke dalam dunia saya yang penuh dengan kegelapan ini. Ini lebih berat dari yang Anda kira.”
Mira mendekat sedikit, menatap Arkan dengan penuh perhatian. “Arkan, saya tahu kita berdua memiliki masa lalu kita masing-masing, yang penuh dengan rasa sakit. Tapi saya juga tahu bahwa kita tidak bisa terus menyembunyikan perasaan kita. Kita tidak bisa terus bersembunyi dari kenyataan. Apa yang kita rasakan adalah bagian dari siapa kita. Dan saya yakin, kita bisa menghadapi ini bersama.”
Arkan menatap Mira lama, seolah mencari jawaban dalam tatapan matanya. Ada kebimbangan di matanya, tetapi juga keraguan yang perlahan mulai mencair. Ia melangkah maju, dan untuk pertama kalinya, ada kehangatan dalam tatapannya. “Mira,” katanya dengan suara yang lebih lembut, “Saya takut kehilangan Anda. Saya takut… jika saya membiarkan diri saya merasa terlalu banyak, saya akan hancur.”
Mira merasa hatinya berdebar semakin cepat. “Arkan, kita tidak akan tahu apa yang bisa terjadi jika kita terus menjaga jarak. Saya ingin bersama Anda, melalui segala hal, entah itu sulit atau tidak. Saya ingin Anda tahu bahwa saya di sini, tidak peduli apa yang terjadi.”
Ada keheningan sesaat di antara mereka. Waktu seolah berhenti, dan Arkan menatap Mira dengan sebuah keputusan yang berat. Perlahan, ia meraih tangan Mira dan menggenggamnya, seperti mengizinkan dirinya untuk membuka sedikit ruang di hatinya. “Saya takut, Mira. Tapi saya juga… saya juga ingin mencoba. Saya tidak ingin terus hidup dalam bayang-bayang masa lalu.”
Mira tersenyum lembut, merasakan beban yang mulai sedikit menghilang. “Kita tidak bisa mengubah masa lalu, Arkan. Tapi kita bisa memilih untuk melangkah ke depan. Bersama-sama.”
Arkan mengangguk, perlahan melepaskan tangan Mira, tetapi tatapan mereka tetap terikat. “Mira, saya tidak bisa menjanjikan apapun. Tapi, mungkin ini adalah awal dari sesuatu yang baru. Sesuatu yang berbeda.”
Mira merasa harapan tumbuh dalam hatinya. Walaupun masih ada banyak hal yang belum terungkap, dan perjalanan mereka tidak akan mudah, ia tahu bahwa langkah pertama untuk membuka hati telah dimulai. Mereka berdua kini berada di persimpangan—di tempat di mana keberanian untuk mengungkapkan perasaan menjadi kunci untuk melewati ketakutan dan rasa sakit yang ada.*
Bab 6: Terseret dalam Waktu
Pagi itu, sinar matahari menembus jendela besar yang menghadap ke taman villa, menerangi ruangan yang biasanya terasa sepi. Namun, hari ini ada kehangatan yang berbeda di udara, sesuatu yang membuat Mira merasa ada sesuatu yang berubah—sesuatu yang lebih besar dari sekadar hubungan antara dia dan Arkan. Perasaan yang semakin menggelora di dalam dirinya seakan memanggilnya untuk memahami lebih jauh tentang lukisan, tentang keluarga Arkan, dan, yang paling penting, tentang rahasia yang tersimpan dalam hati mereka berdua.
Namun, saat Mira berjalan ke ruang kerja, matanya tertumbuk pada lukisan itu—lukisan yang telah lama menguasai pikirannya. Dan saat matanya menyapu permukaan kanvas itu, sebuah perasaan aneh menyelimutinya. Tiba-tiba, dia merasa seperti terhisap ke dalam gambar itu, seperti memasuki dunia yang ada di dalamnya. Semuanya menjadi kabur, dan suara-suara di sekitarnya mulai terdengar seperti gema yang jauh.
Dalam detik-detik berikutnya, Mira merasa tubuhnya terombang-ambing, seperti terjatuh dalam jurang waktu yang tidak bisa dia kontrol. Lukisan itu, dengan wajah Aldebran dan Larisa yang penuh dengan rahasia, seakan menjadi portal yang menariknya masuk ke dalamnya. Tanpa bisa menahan diri, Mira terjatuh, dan dunia di sekitarnya berubah.
Ketika kesadarannya kembali, ia merasa tubuhnya tergeletak di tanah. Matahari yang sama, sinar yang sama, namun udara terasa berbeda—lebih panas, lebih berat. Mira merasakan tanah yang keras di bawahnya, dan suara-suara sekitar terdengar bising, seolah ia berada di tengah keramaian. Dia terkejut, bingung, dan dengan cepat mencoba untuk bangun.
Saat ia berhasil duduk, matanya langsung menangkap pemandangan yang membuat darahnya berdesir—itu adalah sebuah taman yang tidak asing, namun juga tidak familiar. Pohon-pohon yang berbaris rapi, bunga-bunga yang mekar dengan warna-warna cerah, tetapi ada sesuatu yang berbeda. Arsitektur rumah yang terlihat jauh di kejauhan itu tidak terlihat seperti villa yang ia kenal. Bangunan besar itu seolah berasal dari masa lalu, dan gaya arsitekturnya sangat kuno, bahkan tidak terlihat seperti apapun yang pernah ia lihat.
Mira menggelengkan kepala, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. “Apa yang terjadi?” gumamnya pada diri sendiri. “Di mana saya?”
Suara langkah kaki di belakangnya membuat Mira terkejut. Ia menoleh, dan matanya bertemu dengan seseorang yang membuatnya semakin bingung. Seorang pria muda, tampak gagah dengan pakaian formal yang tampak seperti dari zaman lampau, berjalan menghampirinya. Wajahnya terlihat familiar, namun Mira tidak bisa ingat dari mana ia mengenalnya.
“Larisa?” pria itu memanggilnya, dengan ekspresi cemas. “Apa yang terjadi? Kamu baik-baik saja?”
Mira terpana. Nama itu… Larisa? Sebuah kilatan cahaya melintas di pikirannya. Bukankah Larisa adalah wanita dalam lukisan itu? Wanita yang telah lama menjadi bagian dari kisah yang tidak terungkapkan dalam keluarga Arkan? Tapi bagaimana bisa pria ini memanggilnya dengan nama itu? Mira berusaha untuk berbicara, tetapi kata-kata terasa sulit keluar.
“Aku… aku bukan Larisa,” kata Mira dengan suara gemetar, berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini hanya sebuah mimpi. “Saya tidak tahu siapa Larisa itu.”
Namun, pria itu tidak tampak terkejut. Sebaliknya, ia tampak semakin cemas, seolah dia melihat sesuatu yang aneh. “Apa maksudmu? Larisa, jangan seperti ini. Kamu tahu siapa dirimu.” Pria itu semakin mendekat, memegang tangan Mira dengan lembut, namun dengan rasa khawatir yang mendalam. “Mari kita pergi. Aldebran menunggumu di dalam.”
Mira terkejut mendengar nama itu—Aldebran. Nama itu sangat familiar. Itu adalah nama pria dalam lukisan yang telah mengganggu pikirannya selama berhari-hari. Lalu, bagaimana bisa ia mendengar nama itu di dunia yang aneh ini?
Mira hanya bisa mengikuti langkah pria itu, kebingungannya semakin dalam. Mereka memasuki bangunan besar yang semakin mengonfirmasi ketidakpastian dirinya. Desain interior yang megah dan elegan, dengan dinding-dinding yang dipenuhi dengan lukisan-lukisan tua dan perabotan klasik, membawa perasaan seperti melangkah ke masa lalu yang jauh. Ini bukan dunia yang Mira kenal.
Pria itu akhirnya menghentikan langkahnya di depan sebuah ruang besar, pintunya terbuka lebar, memperlihatkan seorang pria yang berdiri menunggu. Seorang pria dengan wajah yang tidak asing. Wajah yang sangat mirip dengan Arkan—Aldebran. Tetapi tampaknya lebih muda, lebih hidup, lebih penuh semangat. Seolah-olah Mira baru saja menemukan bagian dari masa lalu yang tersembunyi dalam tubuh Arkan.
“Aldebran?” Mira hampir tidak percaya pada dirinya sendiri. Pria di depan mata itu adalah Aldebran, tetapi kenapa ia bisa berada di sini, di dunia yang tampak seperti masa lalu? “Kamu… kamu siapa sebenarnya?”
Aldebran menatap Mira dengan intens. “Aku sudah menunggumu, Larisa. Kita tidak punya banyak waktu. Semuanya akan berakhir jika kita tidak segera pergi.”
Mira merasa seperti terseret dalam pusaran waktu yang tak terduga. Apakah ia benar-benar berada di masa lalu? Ataukah ia sedang berhalusinasi? Segala sesuatu di sekitarnya tampak begitu nyata, tetapi juga begitu luar biasa.
Sebelum Mira bisa menjawab, Aldebran meraih tangannya dan menariknya masuk ke ruang besar itu, di mana dunia masa lalu dan masa kini bertabrakan dengan cara yang tidak bisa ia jelaskan. “Larisa, kamu harus percaya padaku. Waktu kita semakin sempit,” Aldebran berkata dengan suara yang tegas, namun ada ketegangan yang jelas di balik kata-katanya. “Ada bahaya yang mengancam kita. Kita harus bertindak sekarang.”
Mira merasa terhanyut lebih dalam, dan meskipun ia ingin bertanya lebih banyak, ia tahu satu hal—apa pun yang terjadi, ia sedang berada di tengah-tengah sebuah rahasia besar, sebuah perjalanan yang lebih jauh dari sekadar lukisan, yang menghubungkan dirinya dengan Arkan dan masa lalu yang kelam.*
Bab 7: Cinta yang Terhalang
Mira merasakan kegelisahan yang mendalam saat Aldebran menariknya melalui lorong-lorong panjang istana yang tampaknya tak ada habisnya. Setiap langkahnya terasa seperti masuk lebih dalam ke dalam dunia yang asing, dunia yang seolah berasal dari masa lalu yang terhenti di waktu yang sama sekali berbeda. Di sekitar mereka, tembok-tebing istana dipenuhi dengan lukisan-lukisan tua yang menggambarkan keluarga besar—mereka yang tampak seperti entitas yang jauh dari jangkauan Mira, namun wajah-wajah itu terasa begitu akrab.
Aldebran tetap diam, langkahnya cepat dan mantap, namun ada kegelisahan yang tampaknya ia coba sembunyikan. Mira ingin bertanya banyak hal—tentang apa yang sebenarnya terjadi, bagaimana ia bisa berada di sini, dan mengapa ia merasa terhubung dengan dunia yang sama sekali berbeda ini. Namun, yang paling membingungkannya adalah satu hal yang terus menggema dalam pikirannya: hubungan antara dirinya dan Aldebran, yang terasa begitu dekat, tetapi juga terhalang oleh sesuatu yang tidak bisa ia pahami.
Mereka akhirnya sampai di sebuah ruang besar yang tampaknya berfungsi sebagai ruang pertemuan. Di dalamnya, ada seorang wanita muda yang sedang duduk di kursi besar, dengan pakaian yang sangat mewah. Wanita itu menatap mereka dengan tatapan tajam, matanya yang tajam seperti pisau mengamati Mira dari ujung kepala hingga ujung kaki. Ada aura yang begitu kuat di sekitar wanita itu—seperti seseorang yang tak bisa disentuh, yang tak bisa dijangkau.
“Luna,” Aldebran berkata dengan suara yang tegas, namun ada ketegangan di balik kata-katanya. “Aku sudah membawanya. Mira, ini Luna—istri yang seharusnya, dan sahabatku.”
Mira terkejut mendengar kata-kata itu. Istri? Sahabat? Lalu, siapa sebenarnya dirinya dalam cerita ini? Mengapa ia dibawa ke sini? Dan yang lebih membingungkan lagi, mengapa hatinya terasa terikat dengan Aldebran meskipun ia tahu ada perasaan yang tertinggal di antara Aldebran dan Luna?
Luna menatap Mira dengan ekspresi yang sulit dibaca, tetapi ada kilatan kebingungan yang ia coba sembunyikan. “Jadi, kamu akhirnya datang,” kata Luna dengan suara dingin, namun ada sesuatu yang lebih dalam dari kata-kata itu—sesuatu yang menciptakan ketegangan di antara mereka. “Aku berharap kamu tidak datang.”
Mira merasa dirinya terkunci dalam situasi yang semakin tidak jelas. “Apa maksudmu? Siapa saya sebenarnya dalam semua ini?” Mira bertanya, suaranya bergetar. “Apa hubungan saya dengan kalian berdua?”
Aldebran menatap Luna dengan ekspresi yang penuh penyesalan. “Mira, aku… aku tahu ini sangat membingungkan, tetapi ada hal-hal yang tidak bisa kita hindari. Kita semua terjebak dalam takdir yang lebih besar dari kita. Kamu adalah bagian dari cerita yang sudah dimulai lama sebelum kita bertemu.”
Luna bangkit dari kursinya, matanya terbakar dengan api yang tak bisa dipadamkan. “Kamu tahu, Aldebran, aku tidak bisa tinggal diam melihat semuanya berantakan seperti ini,” Luna berkata dengan tegas. “Ini bukan hanya tentang kamu dan Mira. Ini tentang keluarga kita, tentang masa depan yang sudah diatur dengan sangat hati-hati.”
Mira merasa ketegangan yang memuncak, seakan-akan ada dinding tak terlihat yang terbangun antara dirinya dan dua orang ini. Cinta, pengkhianatan, dan takdir—semuanya seperti berputar-putar di sekitarnya, menciptakan kabut yang sulit untuk dipecahkan. Mira menoleh ke Aldebran, mencari penjelasan, tetapi ia melihat ekspresi yang penuh dengan rasa bersalah. Aldebran seolah terjebak antara dua dunia—dunia yang ia cintai dan dunia yang dipilihnya.
“Mira,” Aldebran berkata pelan, suaranya berat, “Aku tidak bisa memilih antara kalian berdua. Tapi apa yang terjadi sekarang lebih besar dari sekedar kita bertiga. Ada kekuatan yang menghalangi kita untuk bersama, kekuatan yang sudah ada sejak masa lalu.”
Mira merasa seolah jantungnya terhenti mendengar kata-kata itu. Apa yang dimaksud Aldebran dengan kekuatan itu? Kenapa dirinya, yang baru saja merasa terhubung dengan pria itu, harus terjebak dalam segitiga yang penuh dengan rahasia dan cinta yang terlarang? Mengapa ia harus merasakan betapa perasaan yang tumbuh di dalam hatinya untuk Aldebran terasa begitu mustahil?
Luna berjalan mendekat, menatap Mira dengan penuh amarah. “Kamu tidak tahu apa yang telah terjadi, Mira,” katanya dengan suara yang penuh tekanan. “Keluarga kami terikat oleh tradisi, oleh aturan yang lebih besar dari perasaan pribadi. Aldebran… dia adalah bagian dari masa depan kami, dan kamu, kamu hanyalah bayangan yang datang dari masa lalu yang tak seharusnya ada.”
Mira merasa seluruh dunia seakan runtuh di hadapannya. Cinta? Begitu banyaknya cinta yang terhalang oleh tradisi, oleh takdir yang tak bisa diubah. Arkan, yang adalah pewaris keluarga ini, dan Aldebran, yang terjebak dalam masa lalu dan masa depan yang penuh dengan pilihan-pilihan yang tak bisa dihindari. Luna, yang tampaknya juga mencintai Aldebran, menciptakan dinding pemisah yang semakin besar antara Mira dan pria yang telah merasuk dalam hatinya.
Aldebran menatap Mira, dan kali ini ada kesedihan yang mendalam di matanya. “Mira, ini bukan pilihan yang aku inginkan. Tapi dunia kita—dunia yang kita tidak pilih—menuntut pengorbanan. Aku tidak tahu bagaimana kita bisa keluar dari ini, tapi aku ingin kamu tahu bahwa kamu sangat berarti bagiku.”
Mira menatap Aldebran, hatinya terasa teriris. “Jika kita begitu terikat oleh takdir, kenapa kita tidak bisa memilih jalan kita sendiri?” tanyanya, suara penuh dengan rasa sakit yang tak terucapkan. “Kenapa kita harus terus-menerus berperang dengan cinta dan takdir yang tidak kita pilih?”
Luna melangkah mundur, seakan ingin memberi ruang bagi keduanya untuk berbicara, namun ada sesuatu di matanya yang tidak bisa Mira baca. Seperti ada rencana yang lebih besar yang sedang dimainkan di balik layar, dan Mira hanya berperan sebagai pion dalam permainan itu.
Namun, Mira tahu satu hal: perasaan yang tumbuh di dalam dirinya tidak bisa begitu saja dihentikan oleh aturan-aturan yang ada. Ia ingin percaya bahwa cinta bisa mengatasi segalanya, tetapi cinta yang terhalang oleh banyak dinding tak terlihat ini terasa semakin mustahil.*
Bab 8: Menghadapi Kenyataan
Pagi itu, udara di luar terasa lebih berat, seolah mencerminkan perasaan Mira yang bergelut dengan ketidakpastian. Ruangan yang sebelumnya terasa hangat kini tampak dingin, hampir sepi, seperti hatinya yang tengah diliputi kekacauan. Setelah pertemuan dengan Aldebran dan Luna, pikirannya terus berputar. Apa yang baru saja ia dengar? Apa yang dimaksud Aldebran dengan dunia mereka yang lebih besar dari perasaan pribadi mereka? Dan yang paling sulit, kenapa perasaannya kepada Aldebran seakan terhalang oleh tembok-tembok yang tak terlihat?
Mira menghadap jendela besar di ruang vila itu, matanya menatap jauh ke luar. Taman yang asri tampak tenang, namun di dalam dirinya, suasana hati yang bertentangan antara harapan dan kenyataan terasa semakin kuat. Dia tahu bahwa segala yang terjadi tidak seharusnya begitu. Mereka tidak seharusnya terjebak dalam takdir yang sulit dipahami. Tetapi kenyataannya adalah, mereka berada di dalamnya.
Langkah-langkah ringan terdengar mendekat, dan Mira menoleh. Itu adalah Arkan, atau lebih tepatnya, versi muda dari Arkan, yang tampaknya datang untuk berbicara dengan Mira. Di wajahnya, ada ekspresi yang berbeda dari biasanya—sebuah beban yang sulit ia sembunyikan. Arkan berjalan mendekat dan berhenti beberapa langkah di depannya.
“Mira…” Suaranya dalam, seakan berbicara tentang sesuatu yang sangat serius, yang sulit untuk diungkapkan. “Aku tahu kamu merasa bingung, dan aku tidak bisa memberi jawaban yang pasti. Tapi aku ingin kamu tahu… ini bukan pilihan yang mudah bagiku.”
Mira menatap Arkan dengan tatapan tajam. Ia bisa melihat bahwa Arkan sedang berjuang dengan perasaan yang sama kuatnya, tetapi juga penuh dengan kewajiban yang lebih besar dari diri mereka. “Kamu tidak perlu menjelaskan dirimu,” jawab Mira, suaranya datar meskipun hatinya bergejolak. “Aku sudah tahu apa yang terjadi. Kamu terjebak di antara aku dan Luna, di antara masa lalu dan masa depan yang tidak bisa kita kontrol.”
Arkan menghela napas, langkahnya lebih mendekat. “Aku tidak bisa memilih antara kalian berdua, Mira. Aku tahu kamu merasa terpinggirkan, tapi ini bukan hanya tentang kita. Ini tentang keluarga kami, tentang warisan dan takdir yang sudah ditentukan.”
Mira menunduk, merasa sebuah beban berat di dadanya. Tiba-tiba, segala sesuatu terasa begitu kecil dan sempit. Ia ingin berteriak, marah pada dunia yang seolah-olah telah mengatur hidupnya tanpa memberinya pilihan. “Takdir,” kata Mira dengan suara bergetar, “Aku muak mendengar kata itu. Kita seolah-olah hanya boneka dalam permainan yang tidak kita pilih.”
Arkan terdiam, lalu meraih tangan Mira dengan lembut. “Aku tidak ingin kamu merasa seperti itu. Tapi kenyataannya, aku juga terjebak. Aku mencintaimu, Mira. Dan aku tahu kamu mencintaiku, tapi ada kekuatan yang lebih besar yang tidak bisa kita lawan. Jika aku melawan ini, kita akan menghancurkan semuanya.”
Kata-kata itu menusuk hati Mira. Cinta. Mereka berdua saling mencintai, tetapi dunia mereka tidak pernah memberi ruang untuk itu. Luna, keluarga, tradisi—semuanya terjalin dalam jaringan yang begitu kuat, seolah tak ada tempat bagi mereka untuk berdiri bersama tanpa mengorbankan sesuatu yang lebih besar.
Mira menarik tangannya dari genggaman Arkan, memandang wajahnya yang penuh dengan penyesalan. “Jika kita saling mencintai, kenapa kita harus mengorbankan itu semua?” tanyanya dengan suara pelan namun penuh amarah yang terpendam. “Kenapa kita harus mengikuti aturan-aturan yang tidak kita buat? Kita punya hak untuk memilih, bukan?”
Arkan menundukkan kepala, matanya penuh dengan kerisauan. “Aku tahu, Mira. Aku tahu kita punya hak untuk memilih. Tapi ini lebih besar dari kita. Ini tentang keseimbangan yang sudah rapuh selama berabad-abad. Aku tidak bisa menghancurkannya hanya demi kita berdua.”
Mira merasa seluruh dunia mulai gelap. Apa yang sedang dikatakan Arkan benar, tetapi juga tidak adil. Kenapa mereka harus menjadi korban dari sesuatu yang tak mereka pilih? Cinta mereka tidak seharusnya menjadi sebuah pengorbanan yang harus disembunyikan. Tetapi kenyataan berkata lain. Mereka berada di jalur yang berbeda, dipisahkan oleh garis-garis tak terlihat yang tidak bisa dihindari.
“Jadi, kita hanya… menyerah?” Mira bertanya, suaranya pecah. “Kita hanya menerima kenyataan bahwa kita tidak bisa bersama?”
Arkan menatapnya dengan mata yang penuh dengan kesedihan. “Mira, aku tidak ingin itu. Aku tidak ingin kehilanganmu. Tapi kita harus menghadapi kenyataan ini. Aku berjanji, suatu saat nanti, akan ada cara untuk kita bersama. Tapi untuk saat ini, kita harus berjalan di jalan masing-masing.”
Mira merasakan air mata menggenang di matanya, tetapi ia berusaha menahannya. Rasa sakit yang mengikis di dalam dirinya lebih kuat dari apapun. Ia ingin berlari, menghindar dari kenyataan yang terhampar di depan matanya, tetapi ia tahu bahwa berlari tidak akan mengubah apapun. Mereka terjebak, dan cinta mereka tidak bisa melawan arus yang lebih besar dari mereka.
Mira mengangguk pelan, mencoba menerima kenyataan yang ada meskipun hatinya menjerit. “Baiklah,” katanya pelan. “Aku akan mencoba untuk menghadapinya. Tapi aku tidak bisa menjanjikan bahwa aku akan bisa melupakan apa yang kita miliki.”
Arkan menatap Mira untuk terakhir kalinya, lalu berbalik dan meninggalkan ruangan itu tanpa kata-kata lagi. Mira berdiri di sana, menatap pemandangan luar yang masih tampak tenang, tetapi hatinya hancur. Apakah ini adalah akhir dari perjalanan mereka bersama? Apakah cinta mereka harus berhenti hanya karena takdir yang lebih besar dari mereka?
Untuk pertama kalinya, Mira merasakan betapa beratnya kenyataan—bahwa kadang-kadang, cinta tidak cukup untuk mengatasi dunia yang keras dan aturan-aturan yang tak bisa dipahami. Kenyataan ini mungkin akan terus menghantui mereka, namun satu hal yang pasti: mereka tidak akan pernah bisa melupakan satu sama lain.*
Bab 9: Perjalanan Kembali
Mira melangkah keluar dari vila yang kini terasa begitu asing baginya. Pagi itu, udara sejuk menerpa wajahnya, menambah keheningan yang mengelilinginya. Kenyataan yang baru saja ia hadapi—cinta yang terhalang, takdir yang tak bisa dipilih—masih terasa berat di dadanya. Langkahnya terasa terhenti oleh beban perasaan yang semakin menumpuk, tetapi ia tahu bahwa ia harus melanjutkan perjalanan. Perjalanan kembali ke dunia yang lebih nyata, tempat di mana dirinya tak terikat oleh masa lalu yang rumit dan tak terjangkau.
Arkan sudah meninggalkan vila itu lebih dulu, mungkin untuk melakukan tugas lain yang sudah menantinya. Luna, yang sempat berhadapan langsung dengannya beberapa waktu lalu, juga telah pergi—menyisakan ruangan yang sepi dan penuh dengan kenangan yang tidak bisa ia ubah. Di luar sana, dunia berjalan seperti biasa, namun di dalam hati Mira, segala sesuatu terasa berbeda. Ia merasakan perubahan yang tidak bisa dijelaskan, seperti sebuah pintu yang tertutup rapat, membatasi dirinya dari apa yang dulu ia anggap mungkin.
Mira tahu bahwa ia harus kembali ke dunia asalnya—ke tempat di mana segalanya dimulai. Tempat di mana ia pertama kali merasakan kehadiran Aldebran yang begitu kuat, tetapi juga tempat yang menjadi penghalang terbesar bagi mereka berdua. Cinta yang mereka miliki, meskipun begitu dalam, seperti sebuah mimpi yang tak pernah bisa benar-benar terwujud.
Namun, dalam perjalanan kembali, Mira merasa ada sesuatu yang mengikatnya untuk tetap berada di sini—di antara dua dunia yang berbeda. Ia melangkah dengan langkah berat, namun tekadnya semakin menguat. Apa yang akan ia temui setelah kembali? Akankah ia bisa menerima kenyataan bahwa cinta itu mungkin memang hanya sebuah kenangan, atau apakah ada jalan untuk meruntuhkan tembok-tembok yang terbangun antara dirinya dan Aldebran?
Langkah Mira semakin cepat, dan akhirnya ia tiba di depan gerbang besar yang mengarah ke hutan. Itu adalah jalur yang harus ia lalui untuk kembali ke dunia yang ia kenal. Namun sebelum melangkah lebih jauh, ia mendengar suara yang dikenalnya, suara yang membuat hatinya berdegup kencang.
“Ada yang ingin kau tinggalkan begitu saja, Mira?” suara itu datang dari belakangnya. Mira menoleh dan melihat Aldebran berdiri di sana, matanya penuh dengan kesedihan dan determinasi.
Mira menatap Aldebran dengan hati yang penuh kebingungan. “Aku tidak bisa tinggal di sini lebih lama lagi, Aldebran,” katanya, suaranya lebih pelan daripada yang ia inginkan. “Cinta kita terhalang oleh terlalu banyak hal. Takdir, masa lalu, keluarga—semuanya mengikat kita dalam satu tempat yang tak bisa kita hindari.”
Aldebran mendekat dengan langkah pelan, seakan tidak ingin membuat keributan. “Aku tahu,” jawabnya, suaranya rendah, “Aku tahu kita terjebak dalam sesuatu yang lebih besar dari kita. Tapi Mira, aku tidak bisa membiarkanmu pergi begitu saja. Aku… aku sudah memilih untuk bertarung dengan takdir ini.”
Mira menatapnya dengan tatapan tajam. “Apa yang kamu maksud?” tanyanya dengan penuh kebingungan. “Kamu memilih untuk bertarung? Apa artinya itu? Kenapa kita harus bertarung dengan sesuatu yang sudah ada sejak lama? Kita tidak akan pernah menang melawan itu.”
Aldebran menunduk sejenak, lalu mengangkat wajahnya, matanya penuh dengan tekad. “Karena, Mira… aku tidak bisa kehilanganmu. Aku sudah memutuskan, aku akan mengubah segalanya. Meskipun kita terjebak dalam aturan-aturan itu, aku ingin kita memilih jalan kita sendiri.”
Mira merasakan jantungnya berdegup kencang. Apa yang dikatakan Aldebran adalah hal yang tidak ia harapkan—sebuah keputusan yang mengubah segalanya. “Tapi bagaimana kita bisa mengubah takdir?” Mira bertanya dengan suara serak. “Kita hanya manusia biasa. Takdir kita sudah ditentukan.”
Aldebran menarik napas dalam-dalam, matanya penuh dengan tekad yang baru. “Aku percaya kita bisa. Kita tidak terikat oleh masa lalu atau aturan-aturan yang mengekang kita. Kita berdua bisa membuat pilihan kita sendiri. Tapi itu berarti kita harus melawan segala hal yang menghalangi kita. Kita harus berjuang untuk bersama.”
Mira merasa sebuah harapan yang terpendam mulai tumbuh dalam dirinya, meskipun hatinya masih diliputi keraguan. “Tapi… apa yang akan terjadi jika kita gagal? Apa yang akan terjadi pada keluarga kita, pada Luna, pada semuanya?”
Aldebran mendekat, hampir berada di depan Mira sekarang, dan dengan lembut ia menggenggam tangannya. “Kita akan menemukan jalan, Mira. Tidak ada yang bisa menghalangi kita jika kita bersatu. Kita hanya butuh waktu, dan kita butuh keberanian untuk melawan kenyataan ini. Aku tidak akan membiarkan kamu pergi begitu saja.”
Air mata mengalir di pipi Mira, tetapi kali ini, air mata itu adalah air mata harapan. Mungkin, hanya mungkin, ada cara untuk merubah segalanya. Mungkin cinta mereka, yang sempat terhalang oleh dunia yang begitu besar, bisa bertahan. Ia tahu bahwa perjalanan ini belum selesai. Jalan mereka akan sulit, penuh dengan pengorbanan dan pilihan yang berat. Tetapi untuk pertama kalinya, Mira merasa ada cahaya di ujung terowongan.
“Aku tidak bisa kembali tanpa tahu apakah ada harapan untuk kita,” Mira berkata pelan, suaranya penuh dengan tekad. “Jika kita gagal, kita akan gagal bersama. Tapi jika ada cara, aku ingin mencoba.”
Aldebran tersenyum, meskipun matanya penuh dengan rasa sakit. “Kita akan mencoba. Bersama.”
Dengan itu, mereka berdua melangkah maju, tidak lagi terjebak dalam dunia yang memisahkan mereka. Kini, mereka bersama dalam perjalanan kembali—perjalanan untuk menghadapi takdir, untuk merubah masa depan mereka, dan untuk menemukan cinta yang sejati.*
Bab 10: Akhir yang Bahagia
Matahari terbenam dengan indah di balik pegunungan, cahaya lembutnya menghangatkan tanah yang dipijak Mira dan Aldebran. Hutan yang sepi dan tenang seolah menyambut keduanya, memberikan ruang untuk mereka berdua setelah perjalanan panjang yang penuh dengan cobaan. Angin yang berhembus pelan membelai rambut Mira, dan ia bisa merasakan ketenangan yang akhirnya mulai menyelimuti dirinya. Setelah begitu banyak rintangan dan perasaan yang terpendam, akhirnya mereka berdiri di titik ini, bersama-sama.
Mira menatap Aldebran yang berdiri di sampingnya, matanya penuh dengan kebahagiaan yang hampir tidak bisa ia percaya. Mereka berdua telah melalui banyak hal—konflik antara dunia mereka yang berbeda, kebingungan, dan rasa sakit yang mendalam. Tetapi kini, perasaan itu berubah menjadi sesuatu yang lebih kuat, lebih indah. Mereka berdua telah memilih jalan mereka sendiri, dan dengan keberanian itu, mereka berhasil menaklukkan rintangan yang ada.
“Apakah kamu percaya ini?” Mira bertanya, suaranya lembut, penuh kehangatan. “Kita sudah sampai di sini, Aldebran. Setelah semua yang terjadi, aku tidak tahu bagaimana semuanya bisa menjadi begitu indah.”
Aldebran menoleh kepadanya dengan senyum yang penuh kebahagiaan, senyum yang selama ini ia sembunyikan. “Aku selalu percaya kita bisa sampai di sini. Mungkin tidak mudah, tetapi aku tahu kita bisa melewati semuanya. Bersama.”
Mira merasakan air mata hangat mengalir di pipinya, namun kali ini air mata itu bukan air mata kesedihan atau keraguan, melainkan air mata kebahagiaan. Cinta mereka tidak lagi terhalang oleh aturan yang mengekang atau takdir yang memisahkan. Mereka telah menulis cerita mereka sendiri, memilih untuk bersama meskipun dunia mencoba memisahkan mereka.
Aldebran meraih tangannya, menggenggamnya dengan lembut, dan bersama-sama mereka berjalan lebih dalam ke hutan, menuju tempat yang lebih tenang, jauh dari keramaian dunia. Mereka tahu bahwa perjalanan ini belum berakhir, tetapi mereka tidak lagi takut menghadapi apa pun. Bersama, mereka merasa lebih kuat, lebih siap untuk apa yang akan datang.
Saat mereka tiba di sebuah bukit kecil yang menawarkan pemandangan luas, Aldebran berhenti dan menarik Mira ke sampingnya. Mereka duduk di atas rumput yang lembut, dan Aldebran menatap langit yang semakin gelap. “Mira,” katanya, suaranya penuh dengan ketulusan, “Aku tahu kita telah melewati banyak hal, tapi aku ingin menghabiskan sisa hidupku bersamamu. Tidak ada lagi yang bisa menghalangi kita.”
Mira menatap Aldebran dengan tatapan yang penuh cinta. Ia tahu, di dalam hatinya, bahwa ia merasa sama. Perjalanan mereka bukanlah tentang tujuan akhir semata, tetapi tentang bagaimana mereka berjalan bersama, menghadapi dunia dengan tangan yang saling menggenggam. “Aku juga, Aldebran. Aku ingin menjalani hidup ini denganmu, tanpa ada lagi keraguan atau batasan. Aku percaya kita bisa menghadapi apapun, selama kita bersama.”
Aldebran tersenyum, dan dengan penuh rasa syukur, ia melingkarkan lengannya di sekitar Mira. “Kita sudah melewati banyak hal, Mira. Kita telah memilih jalan ini, dan aku berjanji tidak akan pernah meninggalkanmu. Kita akan membangun kehidupan kita, meskipun dunia mungkin mencoba menghancurkannya. Aku akan selalu ada untukmu.”
Mira meletakkan kepalanya di bahu Aldebran, merasakan kehangatan dan kedamaian yang hanya bisa diberikan oleh cinta yang tulus. Mereka berdua telah melalui perjalanan panjang, penuh dengan pergolakan dan perjuangan. Namun, di sini, di puncak dunia yang sepi dan tenang ini, mereka akhirnya menemukan kedamaian yang selama ini mereka cari.
Angin berhembus lebih kuat, membawa harum tanah basah yang segar, dan Mira merasakan kebahagiaan yang mengalir di dalam dirinya. Mungkin perjalanan mereka tidak selalu mudah, tetapi kini, mereka tahu bahwa mereka akan selalu menemukan jalan kembali satu sama lain. Tak ada lagi dunia yang memisahkan mereka, tak ada lagi takdir yang menghalangi mereka. Mereka telah memilih untuk bersama, dan itu adalah pilihan terbaik yang pernah mereka buat.
Malam pun datang dengan penuh keheningan, dan bintang-bintang mulai muncul di langit yang gelap. Mira dan Aldebran duduk berdua, memandang ke atas, merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Mereka tahu, dengan setiap detik yang berlalu, mereka semakin dekat pada masa depan yang mereka inginkan—masa depan yang penuh dengan cinta, harapan, dan kebahagiaan.
Tidak ada lagi yang perlu mereka takutkan. Mereka telah menemukan jalan mereka, dan yang terpenting, mereka telah menemukan satu sama lain. Akhirnya, perjalanan mereka berakhir bukan dengan perpisahan, tetapi dengan kebersamaan yang tak terpisahkan.***
—————–THE END—————-