• Latest
  • Trending
  • All
  • Movie Review
  • Box Office
  • Trailer
  • Action
  • Romantic
  • Comedy
  • Horror
  • Serial Movie
  • Genre
CINTA YANG TERLUPAKAN

CINTA YANG TERLUPAKAN

February 14, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025
JEJAK DI PINTU TERLARANG

JEJAK DI PINTU TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

May 17, 2025
TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

May 17, 2025
PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

May 12, 2025
HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

May 12, 2025
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

May 10, 2025
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

LUKISAN YANG MENANGIS

May 10, 2025
  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
No Result
View All Result
Novel Story
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah
Novel Story
CINTA YANG TERLUPAKAN

CINTA YANG TERLUPAKAN

by SAME KADE
February 14, 2025
in Romansa
Reading Time: 25 mins read

Bab 1: Pertemuan Tak Terduga

Alya melangkah keluar dari stasiun kereta dengan langkah pelan, matanya menatap sekitar dengan sedikit keheranan. Kota kecil ini—tempat ia tumbuh besar—tak banyak berubah. Jalan-jalan yang dahulu tampak luas kini terasa sempit, dan bangunan-bangunan tua di sepanjang jalan memancarkan kesan nostalgia yang begitu kuat. Meski sudah bertahun-tahun, kota ini tetap menyimpan kenangan yang tak pernah bisa ia lupakan.

Ia baru saja tiba setelah beberapa tahun merantau ke Jakarta untuk mengejar karir di dunia penerbitan. Namun, kini ia kembali ke kampung halamannya dengan alasan yang sederhana: menyelesaikan buku terakhirnya. Buku yang selama ini ia tunda karena rasa kehilangan yang mengganggu hati, terutama perasaan yang ia simpan untuk seseorang yang entah bagaimana selalu membayangi masa kecilnya.

Alya menepuk-nepuk tas selempangnya, memastikan semua barang bawaannya tetap aman. Ia menghela napas panjang, seolah mempersiapkan diri untuk kembali menghadapi kenangan yang telah lama terkubur.

“Sial,” gumamnya, menyadari sesuatu.

Ia melirik jam tangannya. Waktu untuk bertemu dengan penerbitnya sudah dekat. Rencananya adalah langsung menuju kafe tempat mereka janjian, namun sepertinya akan ada sedikit waktu untuk sekadar bernostalgia.

Kaki Alya tanpa sengaja melangkah menuju taman kota, tempat yang dulu menjadi saksi bisu kebahagiaan masa kecilnya. Taman itu tidak berubah—deretan pohon rindang, bangku-bangku taman yang selalu dipenuhi dengan pasangan muda, dan jalan setapak yang mengarah ke sebuah air mancur kecil di tengah. Saat matanya melirik ke kanan, ia teringat betapa seringnya dia dan Dito duduk di bawah pohon besar itu, bercakap-cakap tentang impian-impian mereka.

Dito. Namanya melintas di pikirannya, seolah dipanggil oleh kenangan yang tiba-tiba datang begitu saja.

Alya terdiam sejenak. Ia tahu bahwa saatnya pasti akan datang—saat ia bertemu dengan Dito lagi setelah sekian lama. Dito, sahabat masa kecilnya, yang selalu berada di sampingnya. Namun, setelah lulus sekolah menengah atas, ia menghilang tanpa kabar. Tidak ada yang tahu ke mana Dito pergi, dan yang lebih menyakitkan, ia tidak pernah memberikan alasan kenapa mereka terpisah begitu saja.

Sambil berjalan perlahan, Alya merasakan suasana di taman yang akrab. Saat itulah dia mendengar suara familiar yang memanggil namanya dari belakang.

“Alya?”

Alya menoleh, dan jantungnya berdegup kencang. Di sana, di bawah pohon yang sama di mana mereka dulu sering duduk bersama, berdiri seorang pria. Pria itu mengenakan jas formal yang rapi, rambutnya yang dulu ikal kini terpotong pendek dan lebih dewasa, matanya yang dulu ceria kini terlihat lebih tenang namun penuh tanda tanya.

“Dit… Dito?” Alya tersentak, suaranya hampir tak terdengar jelas.

Dito tersenyum, meski senyum itu terlihat agak canggung. “Alya, lama sekali tidak bertemu.”

Alya merasa seperti waktu berhenti sejenak. Semuanya terasa begitu akrab, namun sekaligus asing. Dito, pria yang dulu selalu berada di sampingnya, kini berdiri di hadapannya seperti seseorang yang asing, tetapi tetap memiliki tempat yang mendalam dalam hatinya.

“Kenapa kamu… pergi?” kata Alya, tanpa bisa menahan pertanyaannya.

Dito menarik napas dalam-dalam. “Banyak hal yang terjadi, Alya. Saya… saya tidak tahu harus mulai dari mana.”

Alya terdiam, menatap Dito dengan campuran rasa bingung dan harap. Ia ingin mengajukan lebih banyak pertanyaan, ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, tetapi ada sesuatu dalam tatapan Dito yang membuatnya merasa ragu. Seperti ada dinding tebal yang menghalangi, membuatnya sulit untuk mengakses jawaban yang seharusnya ia dapatkan.

“Saya kira kita bisa berbicara nanti,” Dito melanjutkan. “Mungkin… ada waktu untuk kita berbicara lebih banyak?”

Alya merasa terombang-ambing antara keinginan untuk melupakan masa lalu dan rasa penasaran yang kian menggebu. Akhirnya, ia mengangguk pelan. “Tentu.”

Dito tersenyum lagi, kali ini senyumnya lebih tulus, meskipun tetap ada beban yang tak bisa disembunyikan di matanya. “Kalau begitu, saya akan mengantarmu. Kemana kamu pergi?”

“Ke kafe,” jawab Alya. “Aku ada pertemuan dengan penerbit.”

“Baiklah, aku antar.”

Mereka berjalan bersama, langkah-langkah yang dulu terasa begitu alami kini terasa penuh kecanggungan. Namun, meskipun ada jarak yang terbentuk di antara mereka, Alya merasa seperti ada sesuatu yang memanggilnya untuk kembali menjalin hubungan dengan Dito, meski begitu banyak pertanyaan yang belum terjawab.

Bab pertama ini menggambarkan pertemuan yang penuh emosi dan kenangan, mengungkapkan betapa waktu dapat mengubah segala sesuatu, tetapi perasaan yang tertinggal tetap membekas. Alya dan Dito kembali bertemu setelah sekian lama, tetapi ada banyak hal yang harus mereka hadapi untuk benar-benar mengungkapkan masa lalu mereka.*

Bab 2: Jejak Kenangan

Alya dan Dito berjalan menyusuri trotoar kota yang familiar, suasana sore yang tenang membuatnya terasa seperti perjalanan pulang ke rumah setelah bertahun-tahun pergi. Langkah mereka sedikit canggung, tetapi ada sesuatu yang tak bisa disembunyikan: ketegangan yang tercipta dari kenangan masa lalu yang mulai mengalir kembali. Alya merasa seolah-olah dirinya kembali ke masa itu, ketika Dito adalah sahabat terbaiknya dan segala sesuatu terasa sederhana dan penuh harapan.

Taman yang mereka lewati tadi masih menyisakan jejak-jejak kenangan yang dalam di benak Alya. Pohon-pohon besar itu mengingatkannya pada saat-saat kecil di mana ia dan Dito sering duduk di bawah naungan daunnya yang rimbun, membicarakan segalanya—mulai dari cita-cita hingga hal-hal konyol yang hanya mereka berdua yang mengerti. Salah satu kenangan yang paling jelas adalah saat Dito berjanji akan selalu ada untuknya, apapun yang terjadi.

Mereka berhenti sejenak di depan sebuah kafe kecil yang tampak sederhana. Kafe ini selalu menjadi tempat favorit mereka untuk bersantai setelah ujian atau hanya untuk berbincang tentang kehidupan. Alya menghela napas, menatap papan kayu yang tergantung di depan kafe itu, dengan logo yang tampak sudah sedikit pudar.

“Ini tempat yang dulu sering kita datangin, ya?” kata Dito, seolah membaca pikirannya. “Aku masih ingat, kamu selalu pesan kopi hitam yang pahit, dan aku… kamu selalu memaksa aku minum itu meskipun aku lebih suka cokelat panas.”

Alya tersenyum, rasa hangat mengalir di dadanya. Kenangan-kenangan itu begitu hidup, seperti baru kemarin mereka menghabiskan waktu bersama.

“Ya, kamu memang gak suka kopi hitam,” jawab Alya, sedikit tertawa. “Tapi kamu selalu bilang, ‘Aku harus belajar suka karena nanti aku jadi lebih dewasa.'”

Dito tertawa kecil, mengenang masa lalu mereka yang penuh tawa. Namun, seketika suasana menjadi lebih tenang. Mata Dito yang semula cerah mulai terlihat jauh lebih dalam, seperti menyembunyikan sesuatu yang berat.

“Kadang, aku merasa seperti itu, Alya. Aku harus belajar untuk menjadi lebih dewasa. Tetapi aku juga belajar bahwa terkadang, ada hal-hal yang tak bisa kita hindari,” katanya, suaranya berubah serius.

Alya menatap Dito, merasakan perubahan suasana yang begitu jelas. Ia ingin sekali bertanya lebih banyak, ingin mengetahui alasan di balik perubahan Dito yang begitu mendalam, namun ia merasa bahwa waktunya belum tepat.

Mereka masuk ke dalam kafe, memilih meja di sudut yang sepi, tempat yang sering mereka tempati dulu. Layanan yang ramah dari pelayan muda yang kini bekerja di sana membuat suasana terasa sedikit lebih nyaman. Alya memesan secangkir kopi hitam, dan Dito memilih cokelat panas, seperti yang selalu ia pesan dahulu.

Saat kopi dan cokelat panas dihidangkan, Alya menatap Dito dengan serius. “Jadi, Dito,” ucapnya pelan, “Apa yang terjadi sebenarnya? Kenapa kamu pergi begitu saja? Kami semua kehilangan jejakmu tanpa tahu ke mana kamu pergi.”

Dito menghela napas dalam-dalam, tangannya memegang cangkir cokelat panasnya yang masih mengepul. “Aku… aku harus pergi, Alya. Ada banyak hal yang terjadi, dan aku rasa kamu tak akan mengerti kalau aku jelaskan sekarang.”

Alya merasa frustasi, tetapi ia berusaha tetap tenang. “Tapi aku tidak bisa berhenti bertanya-tanya, Dito. Kami semua kehilanganmu. Keluargamu, teman-temanmu, termasuk aku. Dan yang paling menyakitkan, aku tidak tahu alasanmu. Kamu menghilang begitu saja, tanpa memberi kabar apa-apa.”

Dito terdiam sejenak, matanya menatap kosong ke luar jendela, ke arah jalan yang sibuk dengan kendaraan. Ada keraguan yang terbalut dalam tatapannya, seolah ia sedang bergulat dengan dirinya sendiri.

“Kadang, ada hal-hal yang kita tidak bisa kontrol, Alya,” jawabnya akhirnya, suara sedikit bergetar. “Aku terpaksa memilih untuk pergi. Bukan karena aku ingin meninggalkanmu, tetapi karena ada banyak masalah yang harus aku hadapi. Aku… aku tidak ingin melibatkanmu dalam masalah itu, karena itu bukan dunia yang kamu inginkan.”

Alya merasakan hati yang berat saat mendengarnya. Kenapa Dito tidak pernah berbicara tentang masalah itu? Kenapa ia memilih untuk pergi tanpa penjelasan?

“Masalah apa?” tanya Alya, hampir berbisik. “Kenapa kamu tidak bisa memberitahuku?”

Dito mengerutkan kening, memandang Alya dengan pandangan yang lebih dalam dan penuh penyesalan. “Alya, ada banyak hal yang aku harus hadapi. Keluargaku terlibat dalam sesuatu yang sangat besar, dan aku merasa kalau aku tidak bisa menghadapimu dalam keadaan seperti itu. Aku tidak ingin menarikmu ke dalam kehidupan yang penuh dengan kebohongan dan rahasia.”

Alya terdiam, mencoba mencerna kata-kata Dito. Ia merasakan ada sesuatu yang lebih dari sekadar masalah keluarga yang disembunyikan oleh Dito. Namun, ia tahu bahwa saat ini bukan waktu yang tepat untuk menekan Dito lebih jauh.

“Jadi, kamu memilih untuk menghilang begitu saja?” Alya bertanya dengan suara pelan, meski ada rasa kecewa yang tak bisa ia sembunyikan.

Dito menunduk, menyesali setiap pilihan yang telah ia buat. “Aku tahu itu keputusan yang salah, Alya. Aku… aku salah, dan aku berharap aku bisa kembali ke masa itu, menjelaskan semuanya kepadamu.”

“Aku juga berharap begitu, Dito,” jawab Alya, suara yang mulai bergetar. “Aku hanya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.”

Keduanya terdiam, masing-masing tenggelam dalam pikirannya. Kenangan lama yang mulai muncul kembali terasa lebih menyakitkan daripada yang mereka bayangkan. Mereka terjebak dalam masa lalu yang tak bisa mereka ubah, namun tetap saling terhubung dengan benang tipis yang tak bisa terputus.

Alya menatap Dito dengan lembut, berharap ada lebih banyak yang bisa ia pahami dari sahabat lamanya yang kini tampak begitu asing. Namun, seiring berjalannya waktu, Alya tahu satu hal: ia tidak bisa menghindari kenyataan bahwa perasaan yang lama terpendam itu masih ada. Dan entah bagaimana, ia merasa pertemuan ini adalah awal dari perjalanan yang lebih rumit.

Bab ini memperdalam hubungan Alya dan Dito, membuka potongan-potongan masa lalu yang membuat pertemuan mereka menjadi semakin rumit. Kenangan manis dan pahit saling bersinggungan, dan meskipun keduanya mulai membuka diri, mereka belum siap untuk sepenuhnya mengungkapkan segala rahasia yang tersembunyi*

Bab 3: Teka-Teki Masa Lalu

Hari demi hari, pertemuan Alya dan Dito semakin sering. Setiap kali mereka bertemu, ada perasaan campur aduk yang mengisi udara di sekitar mereka. Mereka berbicara banyak hal—tentang masa kini, tentang kehidupan yang telah mereka jalani setelah berpisah, tetapi tetap saja ada satu hal yang menggantung di antara mereka: masa lalu yang tidak pernah terselesaikan.

Alya sering kali merenung, mengingat setiap kenangan tentang Dito yang tiba-tiba kembali muncul. Kenangan-kenangan indah tentang masa kecil mereka—tapi juga kenangan yang menyakitkan, yang menyisakan luka karena perpisahan yang tidak pernah terjelaskan. Dan semakin sering mereka bertemu, semakin besar rasa penasaran Alya tentang apa yang sebenarnya terjadi di balik perginya Dito begitu mendalam.

Sore itu, di sebuah kedai kopi yang mereka kunjungi secara rutin, Alya memutuskan untuk menanyakan sesuatu yang sudah lama mengganggu pikirannya. Mereka duduk di meja yang sama, seperti dulu. Dito sedang menatap secangkir kopi yang sudah hampir habis, sementara Alya menatapnya dengan penuh perhatian.

“Dito,” suara Alya pelan, “Aku… Aku harus tahu. Kenapa kamu pergi tanpa memberi penjelasan? Apa yang sebenarnya terjadi?”

Dito tersenyum pahit, tatapannya kosong, seolah menyembunyikan sebuah beban yang berat. “Alya, kamu harus mengerti… Ada banyak hal yang tak bisa aku ceritakan sekarang.”

“Apa yang kamu sembunyikan dari aku?” tanya Alya, suara sedikit memaksa. “Aku bukan orang asing bagimu, Dito. Aku sahabatmu.”

Dito terdiam sejenak, menunduk, seolah mencerna setiap kata yang akan keluar dari bibirnya. Beberapa detik kemudian, ia mengangkat wajahnya dan menatap Alya dengan tatapan yang berbeda—lebih dalam, lebih penuh penyesalan. “Ada banyak hal yang terjadi di keluargaku, Alya. Dan aku… aku tidak ingin melibatkanmu dalam kekacauan itu. Itu bukan dunia yang seharusnya kamu tahu.”

Alya menahan nafas. Semakin Dito berbicara, semakin ia merasa terjebak dalam labirin teka-teki yang tak kunjung ada jawaban pasti. Apa yang sebenarnya terjadi pada keluarga Dito? Mengapa ia harus pergi tanpa penjelasan lebih jauh?

“Tapi itu tidak adil, Dito,” ucap Alya dengan suara yang lebih tegas. “Aku punya hak untuk tahu. Kami semua punya hak untuk tahu.”

Dito menggigit bibir bawahnya, tampak bingung, antara ingin mengungkapkan segalanya atau tetap diam. Akhirnya, ia menarik napas dalam-dalam. “Ada sesuatu yang terjadi, Alya. Sesuatu yang besar… yang melibatkan keluargaku, dan aku tidak bisa memberitahumu lebih dari itu. Aku takut, jika aku tetap di sini, aku akan membawa masalah itu kepadamu.”

Alya menatap Dito dengan rasa frustrasi yang semakin memuncak. “Keluargamu? Apa yang mereka sembunyikan? Mengapa aku merasa seperti kamu sedang menghindar?”

Dito menatapnya, lalu menunduk, seakan menghindari mata Alya. “Karena aku memang menghindar, Alya. Menghindari kamu, menghindari semua orang. Aku takut kehilangan orang-orang yang aku sayang, dan aku merasa lebih baik menjauh… Tapi itu salah. Aku tahu itu.”

“Aku tidak bisa mengerti, Dito,” kata Alya, suaranya pelan. “Kamu terlalu lama menghindar, terlalu lama mengunci dirimu dalam kebohongan. Apa yang sebenarnya terjadi di keluargamu? Apa yang mereka sembunyikan?”

Dito menggenggam cangkir kopinya lebih erat, seolah ingin menghindari pertanyaan itu. Namun, akhirnya ia mengangkat kepala dan menatap Alya dengan tatapan yang penuh dengan keraguan. “Aku… aku tidak tahu harus mulai dari mana, Alya.”

Alya menunggu, matanya tak lepas dari wajah Dito. “Mulai saja dari yang paling penting. Aku berhak tahu.”

Dito menghela napas panjang. “Keluargaku… keluargaku terlibat dalam masalah hukum yang sangat rumit. Ada sesuatu yang terjadi dengan warisan keluarga, dan aku terjebak di dalamnya. Aku harus memilih antara menjaga keluarga atau menjaga hidupku sendiri. Aku tidak ingin kamu terlibat dalam hal ini, Alya. Aku ingin kamu tetap hidup dengan damai tanpa harus terpengaruh oleh semua masalah ini.”

Alya merasa perasaan campur aduk muncul dalam dirinya. Warisan keluarga? Masalah hukum? Itu terdengar lebih rumit daripada yang ia bayangkan.

“Jadi, kamu memilih untuk pergi dan meninggalkan semuanya?” tanya Alya, mencoba memahami lebih dalam.

Dito mengangguk pelan. “Aku merasa jika aku tetap tinggal, aku akan membahayakan kamu, membahayakan kita berdua. Aku tidak ingin kamu terjebak dalam permainan kekuasaan dan uang yang melibatkan keluargaku. Aku rasa lebih baik aku pergi, dan aku berharap waktu akan membuat semuanya lebih jelas.”

Alya terdiam, mencoba menyerap informasi yang baru saja ia dengar. Keputusan Dito untuk pergi terasa lebih kompleks daripada yang ia duga. Ini bukan hanya masalah perasaan atau hubungan mereka, tapi juga masalah yang jauh lebih besar dan lebih gelap yang terpendam dalam keluarga Dito.

“Tapi, kenapa tidak memberitahuku?” Alya berkata dengan lembut. “Kenapa kamu tidak memberitahuku dulu? Kita bisa mencari jalan keluar bersama-sama.”

Dito menatap Alya dengan tatapan penuh penyesalan. “Aku takut, Alya. Aku takut kamu tidak akan bisa menerima kenyataan ini. Aku takut kamu akan pergi, seperti semua orang yang akhirnya menjauh ketika tahu tentang keluargaku. Aku tidak bisa mengambil risiko itu.”

Alya merasakan ada sesuatu yang lebih besar yang harus ia hadapi sekarang. Ia selalu menganggap bahwa masalah Dito adalah soal pribadi, sesuatu yang bisa mereka atasi bersama. Namun, kini ia tahu bahwa ada banyak lapisan-lapisan dalam keluarga Dito yang jauh lebih rumit daripada yang ia bayangkan.

“Jadi, selama ini kamu hanya diam? Kamu berharap aku bisa mengerti tanpa tahu apa-apa?” tanya Alya dengan nada kecewa, meskipun ia bisa merasakan kebenaran dalam setiap kata Dito.

Dito menunduk, tidak bisa menjawab. Ia tahu bahwa apapun yang ia katakan sekarang tidak akan bisa mengubah apa yang sudah terjadi. “Aku… aku tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Aku hanya ingin semuanya bisa selesai, dan aku bisa kembali kepadamu tanpa beban ini.”

Alya menggigit bibir bawahnya, berjuang menahan perasaan yang meluap. “Kamu tidak bisa terus menghindari kenyataan, Dito. Kita harus menghadapi ini bersama.”

Teka-teki tentang keluarga Dito mulai terbuka sedikit demi sedikit, tetapi Alya merasa semakin terjebak dalam labirin yang tak ada ujungnya. Setiap jawaban Dito seolah menambah banyak pertanyaan yang belum terjawab, dan meskipun mereka semakin dekat, Alya merasa bahwa perjalanan mereka masih sangat panjang dan penuh dengan ketidakpastian.*

Bab 4: Terjebak dalam Pilihan

Hari demi hari, perasaan Alya semakin bercampur aduk. Meskipun ia sudah mendengar sebagian dari cerita Dito, ada begitu banyak yang masih belum ia ketahui. Setiap kali mereka berbicara, semakin jelas bahwa masa lalu Dito lebih kompleks daripada yang ia bayangkan. Masalah keluarga yang tidak pernah ia ketahui, misteri yang membelit hidup Dito, dan kenyataan bahwa ia terjebak dalam pilihan yang tak mudah—semuanya membuat Alya merasa semakin bingung.

Alya berjalan menyusuri jalan setapak di taman kota, berusaha menenangkan pikiran. Hari itu ia memutuskan untuk meluangkan waktu sejenak untuk dirinya sendiri, tanpa Dito, tanpa tekanan apapun. Ia merasakan angin sepoi-sepoi yang menerpa wajahnya, mencoba membebaskan dirinya dari kebuntuan yang mengikatnya.

“Kenapa semuanya harus serumit ini?” pikirnya dalam hati. Kenangan bersama Dito yang dulu begitu manis kini terasa membingungkan, dengan banyak perasaan yang saling bertabrakan.

Ia berhenti di sebuah bangku di dekat kolam kecil, mengamati ikan-ikan yang berenang perlahan. Tiba-tiba, suara derap langkah kaki terdengar, dan ia menoleh. Dito muncul dari balik pohon, matanya langsung mencari-cari sosok Alya. Ketika melihatnya, ia tersenyum ragu.

“Alya, bolehkah aku duduk?” tanya Dito, meski sudah jelas bahwa Alya tidak akan menolaknya.

Alya mengangguk dan mempersilakan Dito duduk di sebelahnya. Mereka duduk dalam keheningan, saling mengamati tanpa kata. Sejak pertemuan terakhir mereka, Alya merasa ada perubahan dalam diri Dito—sudah tidak ada lagi tawa ceria yang ia kenal. Dito sekarang lebih sering tampak tertekan, seperti seseorang yang terjebak dalam pilihan sulit yang tak bisa ia hindari.

“Terima kasih sudah datang,” kata Dito akhirnya, memecah keheningan. “Aku tahu mungkin ini tidak mudah untukmu, tapi aku perlu berbicara lagi.”

Alya menatapnya, matanya penuh pertanyaan. “Apa yang kamu rasakan, Dito?” tanya Alya dengan lembut. “Aku tahu kamu punya masalah besar. Tapi aku juga harus tahu apa yang aku hadapi. Kita tidak bisa terus seperti ini, terjebak di antara kenangan dan masalah yang tak kunjung selesai.”

Dito menatap Alya dengan tatapan yang penuh penyesalan. “Aku tahu aku telah membuatmu bingung, Alya. Aku tidak pernah bermaksud menyakiti kamu. Tetapi ada saat-saat ketika kita harus memilih jalan yang tidak kita inginkan. Aku terjebak dalam pilihan yang membuatku bingung, dan aku tidak tahu harus memilih yang mana.”

Alya merasakan ada sesuatu yang mengganjal di hati Dito. Ia bisa merasakan beban yang ia bawa, dan semakin ia mendengarkan, semakin ia sadar bahwa Dito bukan hanya sekedar berjuang dengan keluarganya, tetapi juga dengan dirinya sendiri.

“Pilihan apa, Dito?” tanya Alya, hatinya semakin berat. “Apa yang kamu hadapi sekarang yang membuatmu begitu terjebak?”

Dito menatap tanah, seolah tidak tahu bagaimana menjelaskannya. “Keluargaku… mereka terlibat dalam masalah hukum yang besar. Ada banyak uang, banyak kekuasaan yang dipertaruhkan, dan aku harus memilih apakah aku akan terlibat atau tidak. Mereka ingin aku mengambil bagian dalam bisnis keluarga, tetapi aku tidak bisa. Aku tidak ingin menjadi bagian dari itu, tapi aku juga tidak ingin meninggalkan mereka begitu saja.”

Alya terdiam, mencoba mencerna kata-kata Dito. “Dan itu membuatmu terjebak?” tanyanya pelan.

Dito mengangguk perlahan. “Aku harus memilih antara tetap bersama keluargaku dan terlibat dalam masalah itu, atau pergi dan meninggalkan mereka. Tetapi jika aku pergi, aku tahu mereka akan menghadapi lebih banyak masalah. Aku merasa jika aku tetap tinggal, aku akan kehilangan diriku sendiri.”

Alya menggigit bibir bawahnya, merasa bahwa pilihan yang Dito hadapi jauh lebih berat daripada yang ia bayangkan. “Lalu, apa hubungannya semua ini dengan kita?” tanyanya pelan, hampir ragu.

Dito menatap Alya dengan tatapan yang dalam, penuh makna. “Alya, aku merasa jika aku terus berada di dekatmu, aku akan menarikmu ke dalam dunia ini. Aku tidak ingin kamu terlibat dalam kekacauan keluargaku. Aku tidak ingin membahayakanmu. Aku sudah membuat keputusan… aku harus pergi. Aku harus memilih untuk tidak terlibat, untuk menjaga jarak, agar kamu tidak terjebak dalam dunia yang tidak seharusnya kamu tahu.”

Alya merasa seolah ada beban berat yang dijatuhkan begitu saja di dadanya. Semua kata-kata Dito seperti sebuah pengumuman yang tidak terduga, yang seolah menghancurkan seluruh harapannya. “Jadi, kamu memilih untuk meninggalkanku lagi?” suara Alya hampir tidak terdengar, penuh dengan kekecewaan.

Dito menatapnya dengan tatapan yang penuh penyesalan. “Aku tidak ingin meninggalkanmu, Alya. Tapi aku harus melakukannya. Aku tidak bisa memberi apa-apa lagi jika aku terjebak di dunia ini. Aku harus memilih… dan aku rasa aku harus pergi.”

Alya merasa hatinya hancur mendengarnya. Setiap kata Dito seolah menjadi sebuah kenyataan yang sulit diterima. Perasaan yang sudah lama ia pendam, harapan yang ia bangun kembali bersama Dito, kini terasa seperti reruntuhan. Ia merasa terjebak dalam dilema yang tak bisa ia hindari—mencintai Dito, tetapi juga memahami bahwa mungkin ia harus melepaskannya demi kebaikan mereka berdua.

“Jadi ini pilihanmu?” tanya Alya, suaranya bergetar. “Kamu lebih memilih untuk pergi, untuk menjaga dirimu sendiri, dan meninggalkan semuanya?”

Dito mengangguk pelan. “Aku mencintaimu, Alya. Tetapi terkadang, cinta tidak cukup untuk mengatasi semua masalah ini. Aku harus memilih jalan yang lebih sulit untukku, dan mungkin juga untukmu. Aku tidak ingin kamu terjebak dalam dunia ini. Aku tidak bisa membiarkanmu ikut dalam kekacauan yang aku hadapi.”

Alya merasakan air mata yang menggenang di matanya. Ia berusaha menahan perasaan itu, tetapi rasa sakit yang begitu dalam membuatnya tak mampu lagi berpura-pura. “Kamu selalu pergi, Dito,” katanya, suara seraknya hampir tidak terdengar. “Kenapa kamu selalu memilih pergi daripada tinggal dan berjuang bersama-sama?”

Dito terdiam, tidak bisa menjawab. Ia tahu bahwa apa yang ia pilih adalah keputusan yang sulit, dan ia tidak bisa lagi mundur. Mereka berdua terdiam dalam keheningan, perasaan yang tak terucapkan terbungkam dalam ruang yang tak terisi.*

Bab 5: Kata Hati

Alya terbangun pagi itu dengan perasaan yang lebih hampa daripada sebelumnya. Semalam, kata-kata Dito masih bergema di dalam pikirannya—tentang keputusan yang ia buat, tentang pilihan yang harus diambil, dan tentang cinta yang terpaksa ia tinggalkan demi kebaikan bersama. Semua itu seperti menyisakan ruang kosong yang tak bisa ia isi, seakan hidupnya terhenti di persimpangan yang tak pernah ia pilih.

Pagi itu, seperti biasa, ia berjalan menuju kafe kecil di sudut jalan tempat ia sering menghabiskan waktu untuk menenangkan pikiran. Ia merasa butuh waktu sendirian, jauh dari segala pertanyaan yang membebani hatinya. Hanya dirinya sendiri dan secangkir kopi hangat yang bisa sedikit menenangkan gejolak di dalam hatinya.

Namun, ketika ia duduk di meja dekat jendela, ia menyadari bahwa ada sesuatu yang berbeda. Ada perasaan yang tak bisa ia hindari—suara kecil dalam dirinya yang terus mengingatkannya pada sesuatu yang lebih dalam. Kata hati, begitu orang sering menyebutnya. Sebuah bisikan halus yang mencoba membimbingnya di tengah kebingungannya.

“Alya,” suara Dito tiba-tiba terdengar dari belakangnya. Alya menoleh, dan seperti biasa, ia melihat Dito dengan tatapan yang sama seperti saat mereka pertama bertemu lagi. Tidak ada kata-kata yang keluar, hanya tatapan kosong yang saling bertemu.

Dito duduk di hadapannya, dan untuk sejenak, mereka hanya diam. Alya merasa cemas, namun hatinya yang terdalam merasakan ada sesuatu yang ingin Dito sampaikan. Suasana itu terasa berat, seperti ada beban yang tak terungkapkan di antara mereka.

“Alya, aku datang untuk memberitahumu sesuatu,” kata Dito akhirnya, suaranya serak, seolah terhimpit oleh perasaan yang sulit dijelaskan.

Alya mengerutkan kening, merasa ada yang ganjil. “Apa lagi, Dito?” tanyanya, suaranya hampir tak terdengar. “Apa lagi yang bisa kamu katakan setelah semuanya yang sudah terjadi?”

Dito menarik napas dalam-dalam. “Aku tahu kamu merasa bingung. Aku tahu aku telah membuatmu kecewa, dan aku tidak bisa kembali ke masa lalu. Tetapi ada sesuatu yang ingin aku katakan.”

Alya menatapnya dengan penuh perhatian, meskipun hatinya sudah mulai terasa berat. “Apa yang ingin kamu katakan?”

“Alya, aku mencintaimu. Aku tahu mungkin aku sudah terlambat mengatakannya, tapi aku harus jujur. Aku mencintaimu lebih dari yang bisa aku ungkapkan dengan kata-kata,” ujar Dito, matanya menatap dalam-dalam ke mata Alya.

Jantung Alya berdegup lebih kencang. Kata-kata Dito seperti merobek dinding kebingungannya, tapi juga sekaligus menambah kegelisahannya. Ia sudah tahu perasaan itu, ia sudah merasakannya, namun bagaimana mungkin Dito bisa mengatakannya begitu saja setelah semua yang terjadi?

“Tapi, Dito… kamu memilih untuk pergi,” kata Alya, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang. “Kamu bilang kamu harus meninggalkan aku, menjaga jarak. Kamu bilang kita tidak bisa bersama.”

Dito mengangguk pelan, ekspresinya penuh penyesalan. “Aku tahu. Aku tahu itu salah, Alya. Tetapi aku merasa terjebak dalam pilihan yang membuatku bingung. Aku tidak ingin kamu terluka lebih jauh karena semua masalah keluarga ini. Aku pikir jika aku pergi, aku akan melindungimu.”

Alya menunduk, mencoba menenangkan pikirannya. Semua yang Dito katakan terdengar seperti sebuah kebingungan yang semakin mengaburkan kenyataan. Cinta, keputusan, dan pengorbanan—semuanya bercampur aduk, dan ia merasa terperangkap di tengahnya.

“Tapi kamu tidak memberi aku kesempatan untuk memilih, Dito,” kata Alya, suaranya bergetar. “Kenapa kamu tidak memberi aku kesempatan untuk berdiri di sampingmu? Kenapa kamu harus membuat keputusan untuk kita berdua?”

Dito terdiam, seakan menyesali semuanya. “Aku takut, Alya. Aku takut kamu akan terluka lebih jauh. Aku takut aku akan membawa masalah ke dalam hidupmu yang lebih besar dari apa yang bisa kamu tanggung. Aku tidak ingin membuatmu menderita.”

Alya merasakan hatinya hancur mendengarnya. “Jadi, kamu membuat keputusan tanpa bertanya padaku?” katanya, mencoba menahan air matanya. “Kamu sudah memutuskan apa yang terbaik untuk kita, tanpa memberi aku kesempatan untuk memilih apa yang aku inginkan?”

Dito menggenggam tangan Alya dengan lembut, seolah meminta maaf dengan setiap gerakan tangannya. “Aku minta maaf, Alya. Aku memang salah. Aku seharusnya tidak menghindar darimu. Aku seharusnya memperjuangkan kita.”

Alya terdiam, membiarkan Dito menggenggam tangannya. Tetapi hatinya semakin terasa bimbang. Cinta yang Dito ucapkan kini seperti bayang-bayang yang tak dapat ia kejar. Apa yang seharusnya ia lakukan? Apa yang seharusnya ia pilih?

Suasana itu terasa semakin mencekam, dan Alya merasa ada sesuatu yang harus ia putuskan. Suara kecil dalam hatinya yang selalu ia abaikan kini semakin keras. Kata hati, yang selama ini tersembunyi, mulai berbicara lebih jelas. Seharusnya ia tahu—bahwa dalam setiap perasaan, dalam setiap keputusan, ia harus mendengarkan dirinya sendiri.

“Dito, aku mencintaimu,” kata Alya dengan suara penuh harapan. “Tapi aku juga harus mendengarkan kata hatiku. Aku tidak bisa terus terjebak dalam kebingungan ini. Aku perlu waktu untuk memikirkan semuanya. Aku tidak bisa mengikuti keputusanmu, Dito. Aku harus membuat keputusan untuk diriku sendiri.”

Dito terdiam, menatap Alya dengan tatapan penuh pengertian, meskipun ada kesedihan di matanya. “Aku mengerti, Alya. Aku tahu ini tidak mudah. Aku akan menunggu. Jika suatu saat nanti kamu ingin berbicara lagi, aku akan ada di sini.”

Alya mengangguk, merasa ada sedikit ketenangan di hatinya. Mungkin inilah yang harus ia lakukan—memberi waktu untuk dirinya sendiri, mendengarkan kata hatinya, dan mengambil keputusan yang benar untuk masa depannya.*

Bab 6: Cinta yang Tertunda

Alya duduk di balkon apartemennya, menatap langit senja yang memerah. Beberapa minggu telah berlalu sejak pertemuannya dengan Dito, dan meskipun dia telah berusaha menenangkan hatinya, rasa cemas dan bingung itu tetap ada. Setiap hari berlalu, dan semakin banyak waktu yang ia habiskan tanpa ada keputusan yang jelas, perasaan cinta yang ia miliki untuk Dito terasa semakin tertunda—terhalang oleh banyak hal yang belum siap ia hadapi.

Kata-kata Dito yang pernah ia dengar, bahwa ia harus memilih jalan yang sulit demi keluarganya, terus menghantui pikirannya. Dito memilih untuk menjaga jarak, untuk memberi Alya ruang agar tidak terjerat dalam masalah besar yang sedang dihadapinya. Namun, di sisi lain, Alya merasa semakin jauh dari Dito. Cinta yang mereka miliki terhenti, terjebak dalam ketidakpastian dan waktu yang tidak berpihak.

Hening. Hanya suara angin yang terdengar menyentuh daun-daun pohon di bawah balkon. Pikirannya kembali melayang pada Dito, pria yang pernah menjadi bagian terbesar dalam hidupnya. Sebuah perasaan hangat memenuhi dada Alya, tetapi juga ada kekosongan yang tak bisa ia ungkapkan. Di luar sana, Dito sedang menghadapi begitu banyak masalah, dan Alya tidak tahu bagaimana ia bisa berada di sampingnya tanpa menambah beban di hatinya.

Ponselnya bergetar, dan Alya tersentak. Sebuah pesan masuk dari Dito.

“Alya, aku tahu ini mungkin membingungkan, dan aku tidak ingin menambah bebanmu. Tetapi aku ingin kamu tahu bahwa aku tidak pernah berhenti memikirkanmu. Aku menunggu kesempatan untuk kita kembali bersama. Jika kamu siap, aku akan selalu ada di sana untukmu.”

Pesan itu membuat Alya terdiam. Kata-kata Dito menyentuh hatinya, tetapi juga semakin menguatkan rasa bimbang yang ia rasakan. “Aku menunggu kesempatan untuk kita kembali bersama.” Kalimat itu berputar-putar di kepalanya. Di satu sisi, ia merasa ingin berlari ke pelukan Dito dan mengatakan bahwa ia siap, bahwa mereka bisa melewati semua ini bersama-sama. Namun, di sisi lain, hatinya tahu bahwa untuk saat ini, ia harus belajar untuk berdiri sendiri.

Alya menarik napas panjang dan menulis balasan. “Dito, aku tahu kamu masih mencintaiku. Tetapi aku juga tahu bahwa aku harus mencari tahu apa yang benar-benar aku inginkan, apa yang terbaik untuk diriku sendiri. Cinta kita mungkin tertunda, tetapi aku perlu waktu.”

Alya menekan tombol kirim, dan sekejap kemudian, sebuah pesan kembali masuk. Kali ini, tidak ada kata-kata yang langsung mengungkapkan perasaan, hanya dua kata yang sederhana namun penuh makna: “Aku mengerti.”

Alya meletakkan ponselnya di atas meja, menatap langit yang kini semakin gelap. Cinta itu seperti sebuah janji yang belum sempat ditepati. Tertunda, bukan karena kurangnya rasa, tetapi karena keadaan yang menghalangi mereka untuk berada di tempat yang sama. Dan mungkin, hal itu justru yang membuatnya semakin sulit—bukan karena kurangnya cinta, tetapi karena cinta itu terasa tak lengkap tanpa keputusan yang pasti.

Malam itu, Alya pergi ke taman tempat mereka sering berjalan bersama. Beberapa kenangan tentang Dito hadir dalam setiap langkahnya, dari mulai percakapan mereka yang ringan hingga ciuman pertama mereka di bawah pohon besar. Taman itu seolah menyimpan bagian-bagian dari masa lalu mereka yang manis, dan Alya merasa bahwa ada bagian dari dirinya yang hilang di sana.

Tiba-tiba, ia mendengar langkah kaki di belakangnya. Ia berbalik, dan di kejauhan, sosok yang ia kenal muncul. Dito. Dengan langkah yang penuh keraguan, dia mendekat, menatap Alya dengan tatapan yang sama seperti dulu—penuh harapan, namun juga penuh kekhawatiran.

“Alya,” Dito memanggil lembut, “Aku tahu kamu masih butuh waktu, dan aku tidak akan memaksamu. Tetapi aku ingin kamu tahu satu hal. Aku tidak akan pernah berhenti mencintaimu. Aku akan menunggu, meskipun itu berarti cinta kita tertunda.”

Alya merasakan air mata menggenang di matanya. Ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi kata-kata itu terasa tersangkut di tenggorokannya. Bagaimana ia bisa memberi Dito jawaban yang pasti ketika hatinya sendiri belum menemukan jalan yang jelas? Dito sudah membuat keputusan untuk dirinya, dan sekarang ia tahu bahwa giliran Alya untuk memilih.

“Terima kasih,” jawab Alya dengan suara pelan. “Terima kasih sudah menunggu. Tapi aku harus jujur padamu, Dito. Aku tidak tahu kapan aku akan siap. Aku tidak bisa memberi janji, tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku tidak akan melupakanmu.”

Dito mengangguk, seolah menerima jawaban itu meski hatinya terasa perih. “Aku mengerti,” katanya dengan senyum yang sulit terbaca, seperti menyembunyikan perasaan dalam-dalam. “Aku akan tetap menunggumu, Alya. Jika kamu butuh waktu, aku akan memberikanmu waktu sebanyak yang kamu butuhkan.”

Alya menatap Dito, dan dalam hatinya, ia tahu bahwa meskipun cinta mereka tertunda, tidak ada yang bisa menghapus kenangan itu. Mungkin mereka perlu waktu untuk mencari jalan masing-masing sebelum bisa berjalan bersama lagi. Tetapi satu hal yang pasti—perasaan itu tidak akan pernah hilang. Cinta mereka akan terus hidup dalam ruang yang menunggu untuk dipenuhi oleh keputusan dan keberanian.*

Bab 7: Luka yang Terbuka

Alya melangkah dengan langkah yang lebih berat dari biasanya. Sejak pertemuannya dengan Dito minggu lalu, ia merasa seperti ada sesuatu yang tak bisa ia tutupi lagi. Luka yang telah lama ia sembunyikan kini terbuka kembali, mengingatkan dirinya akan apa yang telah hilang. Cinta mereka, yang dulu begitu utuh, kini terpisah oleh jarak dan pilihan yang mereka buat. Luka itu seakan tak pernah benar-benar sembuh, meskipun ia berusaha untuk melupakan.

Hari itu, ia kembali ke rumah lama mereka, tempat mereka sering habiskan waktu bersama. Rumah yang kini terasa begitu sepi dan asing. Dinding-dinding yang pernah menyaksikan tawa mereka, kini menjadi saksi bisu dari perpisahan yang terjadi tanpa kata-kata yang cukup untuk menjelaskannya. Alya menatap setiap sudut rumah dengan perasaan yang campur aduk—rindu, marah, dan kecewa.

Ia duduk di salah satu kursi ruang tamu, mengingat saat pertama kali ia dan Dito memutuskan untuk membangun sebuah impian bersama. Mereka pernah berbicara tentang masa depan yang penuh harapan. Mereka pernah merencanakan banyak hal, tetapi kini, semuanya hancur begitu saja. Kenapa perasaan itu bisa begitu kuat, tetapi pilihan mereka justru membawa mereka semakin jauh?

Telepon di meja samping berdering, dan Alya terkejut melihat nama yang muncul di layar. Dito. Hatinya berdebar kencang, meskipun ia berusaha untuk menahan diri. Sudah lama sejak terakhir kali mereka berbicara. Namun, ia tahu bahwa setiap kali Dito menghubunginya, ada sesuatu yang lebih dalam yang ingin ia sampaikan.

Dengan tangan yang sedikit gemetar, Alya mengangkat telepon itu.

“Alya,” suara Dito terdengar serak, penuh penyesalan. “Aku tahu aku sudah lama tidak menghubungimu. Aku hanya ingin tahu… bagaimana kabarmu?”

Alya terdiam sejenak, mencoba menenangkan diri. Suara Dito selalu bisa membawa kembali perasaan yang sulit ia kendalikan. “Aku baik-baik saja,” jawabnya dengan suara yang datar. “Hanya saja, banyak yang harus aku pikirkan.”

Dito menghela napas, seolah sudah siap dengan kata-kata berikutnya. “Aku tahu kamu merasa tersakiti, Alya. Aku tahu aku yang menyebabkan ini semua. Aku membuat keputusan yang buruk, dan sekarang aku sadar, aku merusak apa yang sudah kita bangun. Aku minta maaf.”*

Bab 8: Rahasia yang Terungkap

Alya berdiri di depan cermin, menatap refleksinya dengan penuh kebingungan. Wajahnya tampak lelah, matanya sedikit bengkak akibat beberapa malam tanpa tidur. Pikirannya terus dihantui oleh percakapan terakhirnya dengan Dito, di mana ia merasa ada sesuatu yang belum terungkap—sesuatu yang bahkan Dito sendiri belum siap untuk ceritakan. Ada rahasia yang tersimpan, dan semakin lama semakin terasa bahwa kebenaran itu tak akan pernah datang jika ia tidak mencarikannya.

Pagi itu, Alya memutuskan untuk menemui seseorang yang mungkin bisa memberinya jawaban. Ia menghubungi Rina, sahabat lamanya yang sejak dulu selalu menjadi tempat curhat dan seseorang yang tahu banyak tentang hidupnya. Rina bukan hanya sahabat, tetapi juga seseorang yang memahami hubungan Alya dan Dito lebih dari orang lain.

“Rina, ada sesuatu yang harus aku tanyakan padamu,” kata Alya, suaranya penuh ketegangan saat menelepon. “Aku rasa ada sesuatu yang Dito sembunyikan dari aku. Ada yang tidak beres, dan aku perlu tahu.”

Rina terdiam sejenak sebelum menjawab. “Apa yang kamu maksud, Alya? Apa yang kamu rasa?”

Alya duduk di pinggir tempat tidur, menggenggam ponselnya erat-erat. “Dito… Dia merasa ada sesuatu yang harus dia sembunyikan dariku. Setiap kali aku bertanya lebih jauh, dia hanya menghindar. Ada sesuatu yang aku rasa sangat penting, Rina. Tapi aku tidak tahu apa itu.”

Rina menghela napas panjang. “Alya, kamu tahu kan, aku selalu ada untukmu. Tapi ada beberapa hal yang mungkin lebih baik kalau kamu dengar langsung dari Dito. Namun… kalau kamu ingin tahu, aku rasa aku harus memberitahumu sesuatu.”

Alya terdiam, jantungnya mulai berdegup kencang. “Apa yang kamu tahu, Rina? Apa yang sebenarnya terjadi dengan Dito?”

“Ini tentang keluarganya,” Rina mulai bercerita, suara bergetar. “Dito bukan hanya terjebak antara cintanya padamu dan masalah keluarganya. Tapi ada sesuatu yang jauh lebih besar dari itu, yang sejak awal dia pilih untuk disembunyikan. Dito memiliki utang yang sangat besar, utang yang melibatkan keluarganya. Dan aku rasa itu adalah alasan mengapa dia merasa harus menjauh darimu, Alya.”

Alya terkejut. Utang? Masalah yang begitu besar hingga Dito merasa harus menjaga jarak dari dirinya? Semua yang ia kira tentang hubungan mereka, tentang cinta mereka, tiba-tiba terasa seperti ilusi. Kenapa Dito tidak pernah menceritakan ini padanya? Mengapa ia merasa harus menanggung beban itu sendirian?

“Utang? Maksudmu utang yang melibatkan keluarganya?” Alya bertanya dengan suara serak. “Kenapa dia tidak memberitahuku? Kenapa dia memilih untuk pergi begitu saja?”

“Karena dia tidak ingin kamu terlibat,” jawab Rina. “Dito tahu betul bahwa kamu akan merasa terbebani dengan semuanya. Dia ingin melindungimu dari kenyataan pahit ini. Itu sebabnya dia memilih untuk menjaga jarak. Tapi… ada satu hal lagi yang perlu kamu tahu, Alya. Utang itu bukan hanya soal uang. Ada ancaman yang lebih besar yang melibatkan keselamatan keluarganya, dan itu membuat Dito merasa terpojok.”

Alya duduk terdiam, kata-kata Rina berputar-putar dalam pikirannya. Semakin ia mendengar, semakin banyak hal yang tidak ia ketahui tentang kehidupan Dito. Semua pengorbanannya untuk menjauh, semua alasan yang tampaknya tidak pernah cukup jelas, kini memiliki penjelasan yang mengerikan. Dan meskipun hatinya merasa sakit, ia juga merasa sesuatu yang lebih besar—rasa ingin tahu yang tak bisa ia hentikan.

Ia merasa seperti telah diabaikan, tetapi kini ia menyadari bahwa Dito mungkin telah berjuang dalam diam untuk melindunginya. Cinta mereka, yang selalu tampak begitu sempurna, kini terbuka dengan banyak lapisan yang tersembunyi di baliknya.

“Aku harus berbicara dengan Dito,” kata Alya pelan. “Aku harus tahu kebenarannya dari mulutnya sendiri.”

“Alya, hati-hati,” Rina memperingatkan dengan lembut. “Apa pun yang kamu dengar, kamu harus siap. Dito sedang terperangkap dalam banyak hal yang sulit dijelaskan. Jangan sampai kamu terluka lebih jauh karena kebenaran yang mungkin lebih pahit dari yang kamu bayangkan.”

Alya menggigit bibir, menatap ponselnya dengan perasaan campur aduk. Ia tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi ia harus mendengarkan Dito. Ia harus mengetahui semua yang tersembunyi, meskipun itu berarti ia harus menghadapi kenyataan yang selama ini ia hindari.*

Bab 9: Pilihan yang Sulit

Alya berdiri di depan pintu rumah Dito, merasa jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya. Pikirannya penuh dengan pertanyaan, perasaan campur aduk antara ingin mengungkapkan segalanya dan ketakutan akan kebenaran yang mungkin ia temui. Semalam, setelah mendengar cerita dari Rina, ia merasa seolah-olah hidupnya telah terbalik. Segala sesuatu yang selama ini ia percayai tentang Dito dan hubungan mereka seakan runtuh begitu saja.

Ia menarik napas dalam-dalam sebelum mengetuk pintu. Setiap detiknya terasa begitu berat, seperti keputusan besar sedang menunggunya di balik pintu itu. Dan di balik pintu itu pula, Dito, pria yang pernah ia percayai sepenuhnya, menunggu untuk memberitahunya kebenaran yang begitu lama disembunyikan. Alya tahu, inilah saat yang menentukan—apa yang terjadi selanjutnya akan menjadi titik balik, yang mungkin akan merubah segala-galanya.

Pintu terbuka perlahan, dan di sana berdiri Dito dengan tatapan yang sulit dibaca. Matanya menunjukkan kelelahan, namun juga rasa cemas yang terpendam. Dito tahu ini adalah momen yang tidak bisa ia hindari lebih lama lagi.

“Alya,” kata Dito dengan suara serak, “Aku tahu kamu datang untuk mencari jawaban.”

Alya mengangguk, suara hatinya bergetar, tetapi ia mencoba untuk tetap tegar. “Aku datang untuk mendengarnya langsung darimu, Dito. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kamu tidak pernah memberitahuku tentang utang keluargamu? Kenapa kamu memilih untuk menyembunyikan semuanya dariku?”

Dito menundukkan kepala, seolah mencoba mengumpulkan kata-kata yang tepat. “Alya, aku… Aku tidak ingin kamu terbebani dengan semua ini. Aku tahu betapa beratnya hidupmu sendiri, dan aku tidak ingin menjadi sumber masalahmu. Aku hanya ingin kita bisa bersama tanpa ada halangan.”

Alya merasakan kepalanya berdenyut, perasaan marah dan kecewa bercampur aduk. “Tapi kamu malah menjauhkan dirimu dariku, Dito. Kamu memilih untuk menderita sendiri, dan itu yang membuatku merasa seperti aku tidak ada artinya buatmu. Kamu berpikir bahwa aku tidak bisa menghadapinya, tapi apakah kamu pernah berpikir bahwa aku juga ingin ada untukmu? Kalau kamu benar-benar mencintaiku, kenapa kamu tidak memberiku kesempatan untuk memilih bersama-sama?”

Dito terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Dia tahu betul bahwa semua keputusan yang ia buat selama ini penuh dengan ketakutan akan melukai Alya lebih jauh. “Aku takut kehilanganmu, Alya. Aku takut kalau kamu tahu semuanya, kamu akan menjauh. Aku tidak ingin kamu terjebak dalam masalah ini. Aku berjanji aku akan menyelesaikannya sendiri.”

Alya menatapnya, rasa sakit itu semakin dalam. Ia tahu, meskipun Dito mengatakan hal-hal yang indah, kenyataannya adalah dia masih terjebak dalam dunia yang penuh rahasia dan masalah yang tidak bisa ia lepaskan begitu saja. Dan sekarang, ia harus memilih—memilih antara melangkah mundur dan melindungi hatinya, atau tetap bersama Dito dan berjuang untuk cinta mereka, meskipun ia tahu ada risiko besar yang harus dihadapi.

“Aku tidak bisa lagi mengabaikan kenyataan ini, Dito,” kata Alya dengan suara pelan. “Aku harus memilih, tapi ini adalah pilihan yang sulit. Aku tidak tahu apakah aku siap untuk terlibat dalam dunia yang penuh dengan bahaya dan kesulitan ini. Aku ingin bersama kamu, Dito, tapi aku juga tidak ingin aku menjadi bagian dari masalahmu yang tak kunjung selesai.”

Dito merasakan rasa sakit yang mendalam mendengar kata-kata Alya. Ia tahu, mungkin inilah akhir dari segala harapan yang ia miliki. “Alya… aku tidak ingin kamu merasa terbebani. Kalau kamu memilih untuk pergi, aku tidak akan marah. Aku hanya ingin kamu bahagia. Tapi jika kamu memilih untuk tetap bersamaku, kita harus siap menghadapi semuanya bersama.”

Alya terdiam, matanya berkelip-kelip menahan air mata yang sudah siap mengalir. Pilihannya kini ada di tangannya. Ia bisa pergi, meninggalkan semua ini dan melupakan Dito yang kini terjebak dalam dunia gelap yang tidak bisa ia bawa bersamanya. Atau ia bisa tetap tinggal, berjuang bersama Dito, meskipun ia tahu risiko yang akan mereka hadapi.

Setelah beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam, Alya akhirnya berbicara. “Aku tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini, Dito. Aku hanya tahu satu hal—aku mencintaimu. Tapi aku juga harus melindungi diriku sendiri. Aku butuh waktu untuk berpikir, dan aku ingin kita berdua menenangkan diri dulu sebelum membuat keputusan.”

Dito mengangguk, meskipun ada kesedihan yang mendalam di matanya. “Aku mengerti, Alya. Aku akan memberi kamu waktu. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa apapun yang terjadi, aku akan selalu mencintaimu.”

Alya menatap Dito untuk beberapa detik yang panjang, lalu berbalik dan berjalan pergi. Setiap langkah yang ia ambil terasa berat, seperti membawa beban yang tidak bisa ia lepaskan. Ia tahu bahwa apa yang ia pilih sekarang akan mengubah hidupnya selamanya. Namun, di saat yang sama, ia juga tahu bahwa ia harus jujur pada dirinya sendiri. Pilihan ini bukan hanya tentang Dito, tetapi juga tentang siapa dirinya, dan apa yang ia inginkan dalam hidupnya.*

Bab 10: Cinta yang Menemukan Jalannya

Hari-hari berlalu setelah pertemuan yang mengubah segalanya. Alya memilih untuk memberi waktu pada dirinya sendiri dan Dito. Mereka berdua memerlukan ruang untuk merenung, untuk memahami apa yang sebenarnya penting dalam hidup mereka. Alya sering terjaga larut malam, memikirkan segala hal yang terjadi—antara cinta dan tanggung jawab, antara perasaan dan pilihan yang harus dibuat. Kadang, ia merasa terjepit di antara dua dunia yang begitu jauh berbeda.

Dito, meskipun tampak lebih sabar dari biasanya, tidak pernah berhenti berusaha untuk memperbaiki dirinya. Ia tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi ia juga sadar bahwa ia tidak bisa lagi menghindar. Alya, wanita yang selalu ia cintai, kini sedang dihadapkan pada pilihan besar, dan ia harus bisa menghadapinya dengan jujur.

Hari itu, Dito mengirim pesan kepada Alya, mengundangnya untuk bertemu. Alya merasa ragu, namun sesuatu dalam hatinya mengatakan bahwa inilah saat yang tepat untuk menyelesaikan semuanya. Ia ingin tahu apakah mereka masih bisa kembali bersama, atau jika mereka sudah terlalu jauh terpisah.

Alya tiba di kafe tempat mereka biasa bertemu. Hatinya berdebar kencang, dan ia merasa bingung dengan perasaannya sendiri. Apakah ia masih bisa mempercayai Dito setelah semua yang terjadi? Apakah ia sanggup menerima kenyataan bahwa cinta mereka tidak hanya tentang kebahagiaan, tetapi juga tentang perjuangan yang berat?

Dito sudah duduk di meja yang mereka pilih. Wajahnya tampak lebih lelah dari biasanya, tetapi ada ketulusan di matanya. Ketika Alya mendekat, ia langsung berdiri dan memberikan senyum yang lembut, senyum yang mengingatkan Alya pada kenangan indah mereka.

“Alya,” kata Dito dengan suara yang dalam, “Terima kasih sudah datang. Aku tahu kamu butuh waktu, dan aku tidak ingin memaksamu. Tapi aku ingin kamu tahu satu hal—aku siap menghadapi apapun, asalkan kamu bersedia berjalan bersamaku.”

Alya duduk di hadapannya, matanya bertemu dengan mata Dito yang penuh harap. Rasa cemas dan kebingungannya masih ada, namun ada sesuatu dalam diri Dito yang membuatnya merasa ada harapan yang bisa diperjuangkan.

“Aku sudah memikirkan semuanya, Dito,” kata Alya perlahan. “Aku tidak bisa menyangkal bahwa aku masih mencintaimu. Tapi ini bukan hanya tentang cinta. Aku juga harus memikirkan masa depanku, dan apakah aku siap menghadapi semua yang datang bersamamu.”

Dito mendengus pelan, menyadari betapa beratnya kata-kata yang keluar dari mulut Alya. “Aku tahu, Alya. Aku tahu aku telah membuat banyak kesalahan, dan aku ingin memperbaikinya. Aku ingin kita melewati ini bersama. Tapi aku juga tahu bahwa kamu harus merasa yakin, kamu harus tahu bahwa aku akan selalu berjuang untukmu, apapun yang terjadi.”

Alya menatap Dito, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa ada ketenangan dalam hatinya. Ia mengingat semua kenangan indah yang mereka bagi, setiap momen penuh tawa dan kebahagiaan. Namun, ia juga tahu bahwa cinta tidak hanya soal kebahagiaan—cinta juga tentang keberanian untuk menghadapi kesulitan, untuk berjalan bersama meskipun dunia terasa berat.

“Aku ingin memilih kamu, Dito,” kata Alya dengan penuh keyakinan, meskipun suaranya terdengar gemetar. “Aku ingin kita berjuang bersama. Aku tahu kita akan menghadapi banyak hal yang sulit, tapi aku percaya kita bisa melewatinya jika kita berdua saling mendukung.”

Dito terdiam sejenak, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Lalu, senyum lebar muncul di wajahnya. Ia meraih tangan Alya dan menggenggamnya erat, seolah tak ingin melepaskannya lagi.

“Alya,” bisiknya dengan suara penuh emosi, “Aku janji, aku akan melakukan segala yang aku bisa untuk kita. Aku akan berjuang untuk kita, dan aku akan membuktikan bahwa kamu tidak salah memilihku.”

Mereka berdua duduk bersama, dalam keheningan yang penuh arti. Tidak ada lagi kebingungan, tidak ada lagi rasa takut. Hanya ada mereka berdua, di tengah dunia yang tidak sempurna, namun penuh dengan kemungkinan. Cinta mereka, yang selama ini teruji dengan jarak dan waktu, kini menemukan jalannya kembali.

Malam itu, mereka berjalan keluar dari kafe bersama. Langit malam dipenuhi dengan bintang-bintang, seolah memberi mereka tanda bahwa perjalanan mereka baru saja dimulai. Meskipun jalan di depan penuh dengan ketidakpastian, mereka tahu satu hal—mereka tidak akan berjalan sendirian. Cinta mereka telah menemukan jalannya, dan dengan hati yang penuh harapan, mereka siap menghadapinya bersama.*

————–THE END——————

Source: AGUSTINA RAMADHANI
Tags: #Cinta Melintasi Waktu#CintaYangDiuji#PilihanTakdir#RahasiaMasaLalu#Romansa
Previous Post

GAGAL JADI SULTAN SUKSES JADI BABU

Next Post

SEPATU HILANG CINTA DATANG

Next Post
SEPATU HILANG CINTA DATANG

SEPATU HILANG CINTA DATANG

Fans Manchester United Sewa Kamar Kost Buat Simpan Tahi Kucing

DALAM PELUKAN WAKTU

DALAM PELUKAN WAKTU

MOVIE REVIEW

No Content Available

RECENT MOVIE

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025

Tentang Kami

NovelStory.id adalah platform media online yang menghadirkan beragam cerita menarik seperti dalam novel dan drama, dirancang untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan yang berkualitas dan penuh imajinasi. Kami percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh hati, menginspirasi, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh keajaiban.

Recent News

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025

Follow Us

  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 https://novelstory.id

No Result
View All Result
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah

© 2025 https://novelstory.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In