• Latest
  • Trending
  • All
  • Movie Review
  • Box Office
  • Trailer
  • Action
  • Romantic
  • Comedy
  • Horror
  • Serial Movie
  • Genre
CINTA DI BAWAH LANGIT SENJA

CINTA DI BAWAH LANGIT SENJA

March 2, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025
JEJAK DI PINTU TERLARANG

JEJAK DI PINTU TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

May 17, 2025
TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

May 17, 2025
PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

May 12, 2025
HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

May 12, 2025
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

May 10, 2025
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

LUKISAN YANG MENANGIS

May 10, 2025
  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
No Result
View All Result
Novel Story
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah
Novel Story
CINTA DI BAWAH LANGIT SENJA

CINTA DI BAWAH LANGIT SENJA

by SAME KADE
March 2, 2025
in Romansa
Reading Time: 20 mins read

Bab 1: Pertemuan yang Tak Terduga

Alina menatap langit yang sedikit mendung, kamera di tangan, siap menangkap momen apapun yang bisa ia abadikan di kota kecil tempat ia tinggal. Pagi itu, taman kota tampak sepi, hanya ada beberapa orang yang sedang jogging dan anak-anak yang bermain bola. Alina menyukai suasana seperti ini—tenang dan jauh dari hiruk-pikuk kehidupan kota besar. Sebagai seorang fotografer, ia sering menghabiskan waktu berjam-jam di tempat-tempat seperti ini untuk menemukan inspirasi.

Namun, ketenangan pagi itu tiba-tiba terganggu. Tanpa sengaja, langkah Alina tersandung sebuah batu kecil di jalan setapak, membuatnya kehilangan keseimbangan dan terjatuh ke arah seseorang yang sedang berjalan cepat. Tubuh mereka bertabrakan, dan dalam sekejap, kamera di tangan Alina terlempar jauh ke depan, jatuh ke tanah dengan suara keras.

“Eh, maaf! Saya—” Alina berusaha berdiri dengan cepat, namun tangan seseorang sudah lebih dulu membantunya.

“Saya yang harus minta maaf,” suara pria itu terdengar khawatir. Alina menoleh ke arah pemilik suara dan mendapati seorang pria dengan wajah tampan, berambut hitam, mengenakan jaket biru dan celana jeans. Tatapan mata pria itu penuh perhatian, seolah khawatir ia melukai Alina.

“Tidak apa-apa,” jawab Alina, sedikit tersenyum canggung. “Hanya saja kamera saya…” Ia menoleh ke arah kamera yang tergeletak di tanah.

Pria itu segera mengambilnya dan mengusap-usapnya perlahan, memastikan tidak ada kerusakan serius. “Untungnya, tidak ada yang rusak,” katanya, terlihat lega. “Tapi, sepertinya kamu agak terguncang. Apa kamu baik-baik saja?”

Alina merasa sedikit malu, merasakan pipinya memanas. “Iya, hanya sedikit terkejut. Terima kasih sudah membantu.”

“Nama saya Rizky,” pria itu memperkenalkan diri, sambil menawarkan senyum ramah. “Kamu… Alina, kan? Saya sering melihat kamu di sekitar sini dengan kamera.”

Alina terkejut mendengar namanya disebut. “Kamu tahu nama saya?” tanyanya, bingung.

Rizky tertawa kecil, “Saya baru saja pindah ke sini, tapi kamu sering muncul di foto-foto yang dipajang di kafe-kafe sekitar kota. Orang-orang bilang kamu fotografer yang hebat.”

Alina terdiam sejenak, sedikit terharu mendengar pujian itu. Ia merasa sedikit canggung, tetapi senyum di wajah Rizky membuatnya merasa lebih nyaman. “Saya hanya mengabadikan apa yang saya lihat. Tidak lebih.”

“Tapi itu luar biasa,” Rizky melanjutkan, matanya berbinar. “Saya suka melihat dunia melalui lensa orang lain. Kadang, kita bisa melihat hal-hal yang tak terduga, bukan?”

Alina mengangguk setuju. “Iya, benar. Dunia ini penuh dengan cerita, hanya saja kita harus tahu cara melihatnya.”

Mereka terdiam sejenak, menikmati keheningan yang nyaman. Alina tidak tahu mengapa, tapi ada sesuatu yang membuatnya merasa tenang dengan kehadiran Rizky. Biasanya, ia tidak mudah merasa dekat dengan orang baru, tapi ada kehangatan dalam diri pria itu yang membuatnya merasa seperti sudah mengenalnya lama.

“Apa kamu ingin duduk sebentar?” tanya Rizky, sambil menunjuk ke bangku taman yang tidak jauh dari mereka. “Saya baru saja datang ke kota ini, dan sepertinya kamu orang yang tepat untuk menunjukkan tempat-tempat menarik.”

Alina menatapnya sebentar, merasa sedikit ragu. Biasanya, ia lebih suka menghabiskan waktu sendirian. Namun, ada sesuatu dalam tatapan Rizky yang membuatnya tertarik untuk berbicara lebih banyak.

“Baiklah,” jawab Alina akhirnya, meskipun hatinya sedikit berdebar.

Mereka duduk di bangku taman, dan obrolan pun mengalir dengan lancar. Rizky bercerita tentang perjalanan hidupnya, tentang bagaimana ia pindah ke kota kecil ini untuk mencari ketenangan setelah beberapa tahun bekerja di kota besar. Alina, di sisi lain, menceritakan tentang perjalanannya sebagai fotografer, tentang bagaimana ia jatuh cinta pada seni sejak kecil, dan bagaimana ia sering merasa lebih hidup ketika berada di luar ruangan, menangkap momen-momen kecil yang tak terlihat oleh kebanyakan orang.

Obrolan mereka tidak terasa canggung, meskipun mereka baru saja bertemu. Alina merasa bahwa dengan Rizky, ia bisa menjadi dirinya sendiri, tanpa takut untuk menunjukkan sisi-sisi yang jarang ia tunjukkan pada orang lain.

Setelah beberapa saat, Rizky tersenyum. “Kamu tahu, aku baru saja berpikir, mungkin kita bisa bekerjasama suatu saat nanti. Aku sedang merencanakan proyek arsitektur, dan mungkin gambarmu bisa jadi inspirasi.”

Alina sedikit terkejut, namun senang dengan ide itu. “Aku suka ide itu. Mungkin, kita bisa saling belajar.”

Senyum Rizky semakin lebar. “Aku yakin kita akan saling menginspirasi.”

Saat mereka berpisah, Alina merasa seperti ada sesuatu yang baru dalam hidupnya. Sebuah perasaan aneh yang sulit dijelaskan, tapi rasanya menyenangkan. Alina tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi satu hal yang pasti—pertemuan ini bukanlah suatu kebetulan.***

Bab 2: Rindu yang Menggantung

Minggu-minggu setelah pertemuan pertama mereka berjalan seperti biasa bagi Alina. Namun, ada sesuatu yang berbeda. Setiap kali ia melangkah keluar dari rumah, tak bisa dipungkiri bahwa pikirannya sering melayang pada Rizky. Meskipun hanya beberapa kali mereka bertemu, percakapan yang mengalir begitu alami di antara mereka meninggalkan kesan yang dalam. Alina tidak pernah merasa sesenang itu dengan seseorang yang baru saja ia kenal.

Hari itu, Alina sedang mengedit foto di kafe kecil yang biasa ia kunjungi. Ia duduk di sudut dekat jendela, di mana sinar matahari pagi mengalir masuk, menerangi layar laptopnya. Namun, meskipun cuaca cerah dan suasana kafe tenang, hatinya terasa gelisah. Alina menatap layar, tetapi pikirannya mengembara ke tempat lain—ke sosok Rizky.

Mereka sudah beberapa kali bertemu setelah hari pertama di taman kota. Mereka berjalan berkeliling kota, berbicara tentang segala hal mulai dari seni, arsitektur, hingga kehidupan pribadi mereka. Setiap kali mereka berbicara, ada perasaan nyaman yang datang tanpa harus dipaksakan. Seakan-akan, percakapan mereka bukanlah percakapan antara dua orang yang baru saling mengenal, melainkan dua sahabat yang sudah lama tak bertemu.

Tapi, ada yang mengganjal di hati Alina. Setiap pertemuan yang mereka lakukan selalu berakhir dengan kerinduan yang menggantung. Meskipun mereka sering berbincang tentang hal-hal kecil, Alina merasa ada jarak di antara mereka yang sulit untuk dijelaskan. Mungkin itu karena dia terlalu takut untuk membuka hatinya sepenuhnya setelah terluka dalam hubungan sebelumnya. Kepercayaannya sudah retak, dan ia tidak ingin merasakannya lagi.

“Alina?”

Suara lembut itu membuatnya tersentak. Alina menoleh, dan di sana, berdiri Rizky di depan pintu kafe dengan senyum yang selalu berhasil membuat hatinya berdebar. Tanpa sadar, pipinya sedikit memerah.

“Aku tidak mengganggu, kan?” Rizky bertanya, sambil melangkah masuk dan menuju ke meja Alina.

Alina menggelengkan kepala, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. “Tidak sama sekali. Aku baru saja selesai mengedit foto,” jawabnya sambil menutup laptopnya, merasa sedikit canggung.

Rizky duduk di hadapannya. “Kamu sedang sibuk, ya? Sepertinya ada yang mengganggu pikiranmu.”

Alina terdiam sejenak, mengamati wajah Rizky yang penuh perhatian. Ada sesuatu dalam tatapannya yang membuatnya merasa seolah-olah dia bisa melihat melalui dirinya. Alina menghindari tatapan itu dan menggigit bibir bawahnya. “Hanya sedikit lelah. Mungkin karena aku terlalu banyak bekerja belakangan ini.”

Rizky tersenyum tipis, seolah tidak percaya sepenuhnya dengan alasan yang Alina berikan. “Aku tahu, kadang hidup bisa terasa seperti rutinitas tanpa henti. Tapi, kamu tahu, tidak ada salahnya berhenti sejenak dan menikmati waktu untuk diri sendiri, kan?”

Alina mengangguk pelan, tetapi dalam hatinya, ia merasa ada yang lebih dalam yang ingin ia katakan—sesuatu yang lebih jujur. Tetapi, ia takut. Takut jika apa yang ia rasakan terlalu besar, terlalu rumit. Ketakutan itu semakin menggerogoti dirinya setiap kali ia bersama Rizky. Rasanya, setiap kata yang mereka ucapkan menyisakan ruang kosong yang tak bisa ia isi dengan mudah.

Rizky menatapnya sejenak sebelum berbicara lagi. “Kamu tahu, aku ingin mengajakmu ke suatu tempat. Tempat yang aku rasa kamu akan suka.”

Alina mengangkat alis, merasa sedikit penasaran. “Kemana?”

Rizky tersenyum misterius. “Aku janji, kamu akan suka. Tapi hanya jika kamu mau ikut.”

Alina terdiam, sedikit ragu. Keinginan untuk menghabiskan waktu bersamanya ada, tetapi rasa takut akan perasaan yang mulai tumbuh juga menghalangi. Alina tahu bahwa setiap pertemuan dengan Rizky semakin memperdalam perasaannya—sesuatu yang ia tidak tahu apakah ia siap untuk menghadapinya.

“Aku… aku tidak tahu, Rizky,” Alina berkata dengan suara yang lebih pelan, hampir seperti bisikan. “Kadang aku merasa aku terlalu banyak berharap pada sesuatu yang tidak pasti.”

Rizky mendengar nada suaranya dan menyadari bahwa ada sesuatu yang lebih dalam di balik kata-kata Alina. Rizky tidak buru-buru menanggapi. Sebaliknya, dia hanya menatap Alina dengan lembut, memberi ruang bagi Alina untuk berbicara lebih banyak jika dia mau. Mereka berdua duduk dalam keheningan, seolah-olah waktu terhenti sejenak.

“Alina,” Rizky akhirnya memecah keheningan. “Aku tahu kita baru saling mengenal, dan aku tidak ingin terburu-buru. Tapi… aku merasa ada sesuatu yang lebih, sesuatu yang kita bisa bangun bersama. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku di sini, dan aku ingin lebih mengenalmu, jika kamu juga mau.”

Alina merasakan jantungnya berdegup lebih cepat, dan meskipun kata-kata Rizky terdengar tulus, dia merasa ragu. “Aku takut, Rizky,” Alina mengaku dengan suara yang nyaris tak terdengar. “Aku takut membuka hati lagi, takut terluka. Aku… aku tidak ingin kembali ke tempat itu lagi.”

Rizky terdiam, wajahnya seketika serius. “Aku tidak akan membuatmu merasa seperti itu. Aku tidak ingin melukaimu. Aku hanya ingin kamu tahu, aku ada untukmu, jika kamu siap.”

Alina memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan diri. Perasaan yang ia rasakan terhadap Rizky semakin kuat, dan ia mulai merasa bingung. Namun, di sisi lain, ketakutan akan luka lama itu terus menghantuinya. Ia tidak tahu apakah ia siap untuk membuka hati lagi.

“Aku… aku butuh waktu, Rizky,” jawab Alina pelan, matanya menghindari pandangan Rizky. “Aku ingin lebih mengenalmu, tapi aku tidak bisa melakukannya begitu saja. Aku tidak bisa terburu-buru.”**

Bab 3: Masalah yang Muncul

Hari-hari setelah percakapan yang mengharukan itu terasa lebih berat bagi Alina. Meskipun ia tahu bahwa ia belum siap untuk membuka hatinya sepenuhnya, perasaan terhadap Rizky semakin dalam. Ia merasa nyaman bersamanya, merasa seperti dirinya yang sebenarnya, tanpa perlu berpura-pura menjadi orang lain. Namun, kenyataan selalu datang dengan cara yang tak terduga.

Minggu-minggu berlalu, dan alih-alih semakin dekat, hubungan mereka malah terasa semakin jauh. Rizky semakin sibuk dengan proyek arsitektur besar yang telah dia dapatkan. Setiap kali mereka bertemu, ada jarak yang terasa semakin lebar, seperti dua dunia yang tak pernah benar-benar bersinggungan. Alina mulai merasakan adanya ketegangan yang tak terucapkan, dan semakin lama, ia mulai bertanya-tanya apakah perasaan yang ia bangun hanya ada dalam angan-angan saja.

Suatu sore, saat Alina sedang duduk di balkon apartemennya, memandangi langit yang mulai merona dengan warna senja, teleponnya berdering. Nama Rizky muncul di layar, dan hati Alina seketika berdebar. Ia menjawabnya dengan suara lembut, mencoba menenangkan diri.

“Hallo?” Suara Alina terdengar sedikit ragu.

“Alina,” suara Rizky terdengar tegas namun penuh perhatian. “Aku harus bicara denganmu tentang sesuatu.”

Alina menahan napas sejenak, merasakan ada sesuatu yang tidak beres. “Tentu, ada apa?”

“Aku baru saja mendapat tawaran pekerjaan di luar kota, proyek yang besar. Ini kesempatan yang tidak bisa aku lewatkan. Mereka membutuhkan aku untuk segera pindah,” Rizky mulai menjelaskan dengan hati-hati, seakan-akan mengetahui bagaimana Alina akan merespons.

Alina terdiam sejenak, perasaannya bercampur aduk. Ada rasa senang untuk Rizky, yang mendapatkan kesempatan besar, tapi ada juga rasa takut yang mulai merayapi dirinya. Ia menatap keluar jendela, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Jadi, kamu akan pergi?” tanya Alina dengan suara pelan, mencoba menahan rasa sakit yang mulai mengalir di hatinya.

Rizky menghela napas, suaranya terdengar berat. “Aku tahu ini datang begitu tiba-tiba, dan aku tidak ingin kamu merasa terbeban. Tapi, aku harus mengambil kesempatan ini, Alina. Mungkin kita… harus memikirkan ulang tentang hubungan ini.”

Alina merasa dadanya sesak, seolah-olah ada batu besar yang menekan hatinya. Ia menundukkan kepala, berusaha menyembunyikan rasa kecewa yang mulai menyebar di dalam dirinya. “Aku mengerti,” jawabnya dengan suara yang hampir tak terdengar. “Kamu harus mengikuti impianmu, Rizky. Aku tidak ingin menghalangi.”

Rizky terdiam sejenak, dan Alina bisa mendengar suara keheningan di sisi lain telepon. “Aku… aku berharap kita bisa terus berkomunikasi, meskipun aku harus pergi. Aku tidak ingin ini berakhir seperti ini.”

Namun, kata-kata itu terasa hampa di telinga Alina. Ia ingin percaya pada kata-kata itu, tetapi kenyataan sudah berbicara dengan cara yang lebih keras daripada janji. Mereka tidak akan bisa bersama jika hidup mereka berada di dua tempat yang berbeda. Alina merasa seperti ada tembok yang tinggi dibangun di antara mereka, dan ia tidak tahu bagaimana cara menjebolnya.

“Kita… kita lihat saja nanti,” jawab Alina dengan nada yang datar, mencoba menutupi kekosongan yang ada di dalam dirinya.

Setelah percakapan itu, hubungan mereka semakin renggang. Rizky mulai lebih sibuk dengan pekerjaan baru yang menuntut perhatian penuh, sementara Alina merasa semakin terisolasi. Setiap kali mereka berbicara, rasanya seperti ada tembok yang semakin tinggi antara mereka. Alina merasa seolah-olah ia hanya menjadi bagian dari kehidupan Rizky yang tidak penting, sesuatu yang hanya ada di sela-sela kesibukannya.

Tapi yang paling menyakitkan adalah kenyataan bahwa Alina merasa terjebak dalam perasaan sendiri. Ia ingin Rizky tetap ada dalam hidupnya, tetapi di sisi lain, ia merasa takut akan kemungkinan bahwa hubungan mereka akan berakhir begitu saja, seperti hubungan-hubungan sebelumnya yang selalu kandas di tengah jalan. Kepercayaan dirinya yang rapuh membuatnya ragu, dan ketakutan itu semakin besar seiring berjalannya waktu.

Suatu hari, saat mereka bertemu di sebuah kafe kecil, Alina mencoba untuk mengungkapkan apa yang ia rasakan. “Rizky,” katanya dengan suara lembut, “Aku merasa… kita semakin jauh. Kamu semakin sibuk, dan aku… aku tidak tahu harus bagaimana.”

Rizky menatapnya dengan serius, seakan-akan baru menyadari betapa jauh mereka telah terpisah. “Aku tahu,” jawab Rizky pelan, “Aku minta maaf. Tapi aku benar-benar butuh fokus pada pekerjaan ini. Ini adalah kesempatan yang besar bagi aku, dan aku tidak bisa menyia-nyiakannya.”

Alina merasa hatinya remuk mendengar kata-kata itu. “Aku mengerti,” jawabnya, meskipun hatinya terasa berat. “Aku hanya… hanya ingin kita bisa lebih dekat, Rizky. Aku takut kita akan semakin jauh, dan aku tidak tahu bagaimana cara menghadapinya.”

Rizky menghela napas panjang, menatapnya dengan mata penuh penyesalan. “Aku tidak ingin itu terjadi, Alina. Tapi aku juga tidak tahu harus bagaimana. Pekerjaan ini membutuhkan seluruh perhatianku.”

Perasaan Alina semakin kacau. Ia merasa seperti terombang-ambing di lautan emosi, tidak tahu harus ke mana. Di satu sisi, ia ingin mendukung Rizky, tetapi di sisi lain, ia merasa terluka. Ia merasa seperti menjadi bayang-bayang dalam hidupnya—sesuatu yang ada hanya ketika waktu memungkinkan.

“Rizky,” Alina berkata dengan suara yang penuh keraguan, “Apakah kamu benar-benar ingin melanjutkan hubungan ini? Apakah kita bisa tetap bersama meskipun jarak dan kesibukan ini?”

Rizky terdiam. Ada ragu yang tergambar jelas di wajahnya. “Aku… aku tidak tahu, Alina. Aku ingin sekali mengatakan bahwa kita bisa, tapi aku takut aku akan mengecewakanmu.”

Alina merasakan air matanya menggenang, tetapi ia berusaha menahannya. “Aku tidak ingin kamu merasa terbebani, Rizky. Aku tahu kamu harus mengejar impianmu, tapi… aku juga punya impian. Aku hanya ingin kita bisa menjadi bagian dari hidup masing-masing.”

Setelah itu, mereka duduk dalam keheningan yang berat. Tidak ada lagi kata-kata yang bisa mengungkapkan perasaan mereka. Alina merasa seperti sebuah kapal yang terombang-ambing di tengah badai. Ia ingin berjuang, tetapi hatinya terasa kosong dan ragu.

Setelah pertemuan itu, hubungan mereka semakin terasa sulit. Ketakutan akan perpisahan semakin kuat, dan Alina mulai mempertanyakan apakah hubungan ini masih bisa bertahan. Meskipun mereka masih berkomunikasi, perasaan yang dulu hangat mulai mengering, tergerus oleh jarak yang semakin melebar.

Alina merasa kebingungan. Ia tahu bahwa cinta itu harus diperjuangkan, tetapi apakah itu mungkin jika mereka tidak berada di jalur yang sama? Dan yang lebih penting, apakah ia siap untuk menghadapi kenyataan bahwa cinta ini mungkin tidak akan bertahan?

Saat malam tiba, Alina menatap bintang-bintang di langit yang jauh di atasnya, berharap menemukan jawaban dari semua kegelisahan yang menguasai hatinya.**

Bab 4: Keputusan yang Sulit

Malam itu, Alina duduk di balkon apartemennya, menatap langit yang bertabur bintang. Suasana sekitar tampak tenang, tetapi hatinya dipenuhi dengan kekalutan. Keputusan yang harus ia ambil terasa semakin berat. Di satu sisi, ia merasa bahwa cinta yang ia rasakan untuk Rizky adalah sesuatu yang berharga, tetapi di sisi lain, kenyataan bahwa mereka semakin jauh membuatnya ragu. Apakah semua ini masih layak untuk diperjuangkan?

Sudah seminggu penuh sejak pertemuan terakhir mereka di kafe. Seminggu penuh di mana Alina merasa semakin terisolasi, meskipun Rizky masih berusaha menjaga komunikasi dengan pesan-pesan singkat. Tidak ada lagi percakapan panjang tentang impian, seni, atau kehidupan. Hanya pesan-pesan yang terasa formal dan terburu-buru. Rizky terlalu sibuk dengan proyeknya, dan Alina mulai merasa seolah-olah dirinya hanya menjadi bagian dari kenangan, bukan bagian dari kehidupan nyata Rizky.

Telepon di tangan Alina bergetar, memecah kesunyian malam. Sebuah pesan dari Rizky muncul di layar. Alina menatapnya sejenak, membaca kata-kata yang familiar, tetapi terasa semakin jauh. “Alina, aku pikir kita perlu bicara lagi. Ada hal yang perlu kita putuskan.”

Tangan Alina gemetar sedikit. Apakah ini akhir dari semuanya? Ia tahu bahwa Rizky sedang mencoba menghindari konfrontasi, tetapi saat-saat seperti ini membuatnya semakin terperangkap dalam perasaan yang sulit diungkapkan. Apa yang harus ia lakukan? Apakah ia harus bertahan, atau akankah ia menyerah dan melepaskan semuanya?

Dengan berat hati, Alina membalas pesan itu. “Kapan kita bisa bertemu? Aku rasa aku sudah tahu apa yang harus aku putuskan.”

Tak lama kemudian, Rizky membalas dengan cepat. “Aku akan menemuimu besok, di kafe tempat biasa kita. Jam dua siang?”

Alina mengangguk pelan meskipun ia tahu Rizky tak bisa melihatnya. Ia merasa seolah-olah dunia berputar terlalu cepat, dan ia terhanyut dalam keraguan yang tak berkesudahan. Ketika pertemuan yang diinginkannya justru menjadi pertemuan yang penuh dengan ketegangan, ia merasa cemas.

Keesokan harinya, Alina tiba di kafe lebih awal. Ia duduk di sudut yang sama seperti saat mereka pertama kali berbicara, di tempat yang dulu penuh dengan kenangan manis. Meja di depannya kosong, dan hanya ada suara riuh dari pelanggan yang sibuk memesan kopi dan mengobrol dengan teman-temannya. Namun, hatinya terasa sepi. Ia merasa ada sesuatu yang hilang. Apakah ia sudah kehilangan dirinya sendiri?

Tak lama kemudian, Rizky datang, mengenakan jaket hitam dan jeans yang sama seperti biasa. Wajahnya terlihat lebih lelah dari biasanya, dan ada kecemasan di matanya. Namun, ketika matanya bertemu dengan mata Alina, seketika ada sesuatu yang berbeda—sesuatu yang terasa seperti perpisahan yang tak terelakkan.

Rizky duduk di hadapannya dengan perlahan. “Alina,” katanya dengan suara lembut, “Aku tahu, ini sudah semakin sulit. Aku minta maaf kalau aku telah membuatmu merasa terabaikan. Pekerjaan ini… benar-benar menguras waktuku.”

Alina menatapnya, mencoba membaca ekspresi di wajahnya. “Aku paham, Rizky. Aku tahu betapa pentingnya kesempatan ini bagimu. Tapi, aku juga merasa semakin jauh darimu. Sepertinya, kita tidak lagi berada di jalan yang sama.”

Rizky menggigit bibir bawahnya, tampak bingung. “Aku tidak ingin kita seperti ini. Aku masih ingin kita bersama, Alina. Tetapi, aku tahu aku juga tidak bisa mengabaikan proyek ini. Ini adalah kesempatan besar dalam hidupku. Aku tidak bisa kehilangan ini.”

Alina merasakan hatinya teriris, dan meskipun ia mencoba untuk tetap tenang, suaranya mulai bergetar. “Aku mengerti, Rizky. Tapi aku juga tidak ingin menjadi bagian dari hidupmu yang hanya ada ketika kamu tidak sibuk. Aku merasa… aku merasa aku bukan siapa-siapa dalam hidupmu lagi.”

Rizky tampak terkejut mendengar kata-kata itu. “Alina, itu tidak benar. Kamu sangat berarti bagiku. Tapi, aku benar-benar kesulitan menyeimbangkan semuanya. Aku tidak ingin kehilangan kamu, tetapi aku juga tidak bisa meninggalkan pekerjaan ini.”

Kata-kata itu menggantung di udara, dan Alina merasa perasaan yang sudah lama ia coba tutupi mulai muncul kembali. “Aku takut, Rizky. Takut jika kita terus begini, kita akan semakin jauh. Aku ingin kita saling mendukung, saling hadir dalam hidup masing-masing, tapi… aku tidak tahu apakah itu masih mungkin.”

Rizky menghela napas panjang, wajahnya penuh penyesalan. “Aku benar-benar ingin ada untukmu, Alina. Aku ingin kita bisa berjuang bersama, tapi… aku juga tidak bisa memaksakan diriku untuk berada di dua tempat sekaligus.”

Kata-kata Rizky itu seperti pisau yang menusuk hati Alina. Ia tahu bahwa mereka tidak bisa terus seperti ini, tetapi melepaskan sesuatu yang telah memberi begitu banyak arti dalam hidupnya adalah hal yang sangat sulit. Namun, jika terus bertahan, apakah mereka hanya akan semakin terjerat dalam rutinitas yang membunuh cinta mereka?

“Jadi, ini akhirnya tentang pekerjaanmu, kan?” tanya Alina dengan suara yang sedikit tajam, meskipun hatinya terasa hancur. “Kamu lebih memilih pekerjaan daripada kita?”

Rizky menundukkan kepala, seolah merasa bersalah. “Bukan begitu, Alina. Aku hanya ingin memastikan masa depanku. Aku tidak ingin mengecewakanmu, tapi aku tidak bisa membiarkan kesempatan ini lewat begitu saja.”

Alina menahan air matanya yang hampir jatuh. Ia merasa seperti ada sesuatu yang hancur dalam dirinya. Mungkin ia sudah terlalu berharap, terlalu banyak memberi ruang untuk perasaan yang sudah terlalu terlambat. “Aku tidak bisa, Rizky. Aku tidak bisa terus menunggu, dan aku tidak bisa terus hidup dalam ketidakpastian. Mungkin ini saatnya untuk kita berdua mencari jalan yang berbeda.”

Rizky menatapnya dengan mata yang penuh penyesalan. “Alina, aku… aku tidak ingin ini berakhir. Aku masih mencintaimu.”

Alina menatapnya, mencoba mengendalikan perasaannya yang semakin kacau. “Aku juga mencintaimu, Rizky. Tapi aku tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang ketidakpastian. Aku harus pergi.”

Dengan berat hati, Alina berdiri dan meninggalkan meja itu, meninggalkan Rizky yang terdiam dengan wajah penuh penyesalan. Setiap langkah yang ia ambil terasa begitu berat, seperti ia sedang meninggalkan bagian dari dirinya yang paling berharga. Tetapi di dalam hatinya, Alina tahu bahwa ini adalah keputusan yang harus ia buat.

Terkadang, cinta memang tidak cukup untuk membuat dua orang tetap bersama. Ada kalanya, meskipun hati saling mencintai, perbedaan dan ketidakpastian terlalu besar untuk diatasi. Alina tahu, meskipun ini adalah akhir dari kisah mereka, ini adalah awal dari perjalanan hidupnya yang baru—perjalanan yang penuh dengan harapan, dan juga keberanian untuk melepaskan.

Dengan langkah yang mantap, Alina melangkah keluar dari kafe itu, meninggalkan kenangan yang pernah mereka bagi, dan memulai babak baru dalam hidupnya.**

Bab 5: Cinta yang Tumbuh

Hari-hari setelah keputusan itu berlalu dengan begitu cepat. Alina merasa seperti baru saja menginjakkan kaki di dunia yang sama sekali berbeda—dunia yang tak lagi terikat oleh keraguan dan kesedihan yang menguasai perasaannya. Keputusan untuk melepaskan Rizky, meskipun sulit, memberi ruang baginya untuk kembali menemukan diri sendiri. Selama beberapa minggu pertama, ia merasa kosong. Ada saat-saat di mana ia merindukan Rizky, merindukan percakapan mereka yang hangat dan tawa mereka yang selalu membuat hati terasa ringan. Namun, perlahan-lahan, ia mulai belajar untuk mengisi kekosongan itu dengan dirinya sendiri.

Alina mulai mengejar impian yang sudah lama tertunda. Ia mendaftar di sebuah workshop seni lukis yang telah ia impikan untuk diikuti selama bertahun-tahun. Ia kembali menggenggam kuas dan cat minyak, melukis apa yang ada di dalam hatinya. Setiap sapuan kuas, setiap warna yang ia pilih, adalah cara baru baginya untuk mengekspresikan diri—untuk membebaskan diri dari bayang-bayang masa lalu.

Suatu pagi yang cerah, ketika ia sedang menyelesaikan lukisannya di studio, teleponnya berdering. Nama yang muncul di layar membuat hatinya berdebar. Rizky. Alina menatap telepon itu sebentar, ragu. Namun, ia merasa bahwa ini adalah panggilan yang perlu dijawab. Dengan sedikit keraguan, ia menekan tombol jawab.

“Halo, Alina.” Suara Rizky terdengar rendah, tetapi ada kelembutan yang mengalir dalam setiap kata-katanya. “Aku… aku tahu kita sudah lama tidak bicara. Aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja.”

Mendengar suaranya membuat hati Alina bergejolak, namun ia menahan diri untuk tidak terbawa perasaan. “Aku baik-baik saja, Rizky. Apa yang bisa aku bantu?”

“Aku ingin meminta maaf,” kata Rizky dengan suara yang tulus. “Aku tahu aku membuat keputusan yang sulit, dan aku tidak memberimu penjelasan yang cukup. Tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku tidak pernah ingin menyakitimu.”

Alina terdiam sejenak. Kata-kata itu menyentuh hatinya lebih dalam dari yang ia harapkan. “Rizky, aku sudah memaafkanmu. Kita sudah membuat pilihan masing-masing, dan itu adalah keputusan yang harus kita hadapi. Aku baik-baik saja sekarang.”

“Terima kasih,” jawab Rizky dengan suara yang terdengar lega. “Aku senang mendengarnya. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa meskipun kita tidak bersama lagi, aku selalu mendukungmu. Aku ingin kamu bahagia, Alina.”

Mendengar kata-kata itu, Alina merasakan kelegaan yang luar biasa. Seakan beban yang selama ini mengganggu hatinya sedikit demi sedikit terangkat. Mungkin, meskipun mereka tidak lagi bersama, mereka bisa tetap menjadi bagian dari hidup satu sama lain, hanya dalam bentuk yang berbeda.

“Terima kasih, Rizky,” jawab Alina dengan suara pelan namun penuh rasa terima kasih. “Aku juga berharap yang terbaik untukmu.”

Setelah percakapan itu, meskipun masih ada rasa rindu yang mengganjal di hati Alina, ia merasa lebih damai. Ia tahu bahwa cinta yang dulu ada antara mereka adalah bagian dari masa lalu, dan meskipun tidak bisa bersama, itu bukan berarti mereka tidak bisa bahagia.

Beberapa minggu kemudian, Alina kembali menemukan dirinya dalam aliran kehidupan yang baru. Ia semakin bersemangat dalam melukis, dan karyanya mulai mendapatkan perhatian. Ia mengikuti beberapa pameran seni kecil dan mendapat pujian atas karya-karyanya. Setiap langkah kecil yang ia ambil untuk mengejar impian terasa lebih bermakna, lebih hidup.

Suatu hari, ketika Alina sedang berada di sebuah pameran seni lokal, ia bertemu dengan seseorang yang tak terduga. Pria itu, dengan senyum ramah dan mata yang penuh perhatian, mendekatinya dengan langkah pasti. “Lukisanmu sangat indah,” katanya dengan tulus. “Aku suka bagaimana kamu bisa menangkap perasaan dalam setiap sapuan kuas.”

Alina tersenyum kecil, merasa sedikit canggung. “Terima kasih. Itu… itu sesuatu yang selalu ingin saya coba lakukan—mengungkapkan perasaan melalui seni.”

Pria itu mengulurkan tangan. “Nama saya Dimas. Saya seorang fotografer. Saya juga sangat tertarik dengan seni, terutama seni visual.”

Alina menyambut jabat tangan Dimas dengan sedikit terkejut. Dimas tampak seperti orang yang sangat terbuka, dan energi positifnya membuat Alina merasa nyaman. Mereka mulai berbincang tentang seni, tentang kehidupan, dan tentang impian masing-masing. Dimas mendengarkan dengan penuh perhatian, seakan-akan segala hal yang Alina katakan adalah hal yang paling menarik di dunia.

Seiring berjalannya waktu, Alina semakin sering bertemu Dimas. Mereka mulai menghabiskan waktu bersama—berbincang tentang berbagai hal, dari seni hingga kehidupan pribadi mereka. Dimas memiliki cara yang lembut untuk membuat Alina merasa dihargai. Ia tidak hanya mendengarkan, tetapi juga memberi dukungan yang Alina rasakan sangat berarti. Di tengah percakapan mereka, Alina mulai merasakan sesuatu yang berbeda, sesuatu yang ia tak duga sebelumnya. Apakah ini yang disebut cinta baru?

Namun, perasaan itu tidak datang dengan serta-merta. Alina merasa bingung, karena meskipun hatinya mulai terbuka untuk Dimas, ia masih menyimpan kenangan akan Rizky yang tidak mudah hilang begitu saja. Cinta yang tumbuh bersama Dimas terasa seperti bunga yang perlahan mekar, tetapi dengan akar yang tersembunyi di dalam tanah yang masih sedikit keras. Apakah ia siap untuk membuka hatinya sepenuhnya lagi?

Suatu sore, saat mereka sedang duduk bersama di sebuah taman, Dimas menatap Alina dengan mata yang penuh kehangatan. “Alina,” katanya pelan, “Aku tahu ini mungkin terdengar cepat, tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku benar-benar peduli padamu. Aku merasa ada sesuatu yang spesial di antara kita.”

Alina terdiam sejenak. Kata-kata itu terasa seperti belati yang menancap di hatinya, tetapi juga memberikan rasa hangat yang sulit dijelaskan. Ia memandang Dimas dengan penuh kebingungan. “Aku… aku belum siap untuk membuka hatiku sepenuhnya lagi, Dimas. Aku baru saja melewati masa yang berat.”

Dimas mengangguk dengan pengertian yang mendalam. “Aku tidak akan memaksamu, Alina. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku ada di sini, dan aku siap jika suatu hari nanti kamu siap untuk memberi kesempatan pada dirimu sendiri, dan pada kita.”

Mendengar kata-kata itu, Alina merasa terharu. Dimas tidak terburu-buru, tidak menekan, dan itu membuatnya merasa lebih tenang. Mungkin ini adalah cara yang benar untuk membiarkan cinta tumbuh—perlahan, tanpa paksaan, tanpa rasa takut.

Hari demi hari, Alina mulai merasakan cinta yang baru tumbuh di dalam dirinya. Tidak ada lagi bayang-bayang masa lalu yang menghantuinya. Ia merasa bebas untuk mencintai tanpa rasa takut, karena ia tahu bahwa cinta itu harus datang dengan penuh kebebasan. Cinta yang datang begitu alami, seiring berjalannya waktu.

Dengan Dimas, Alina merasa seperti dirinya yang utuh. Ia merasa dihargai, dipahami, dan didukung dalam segala hal yang ia lakukan. Setiap momen yang mereka habiskan bersama adalah momen yang penuh dengan kebahagiaan, yang mengajarkannya bahwa cinta itu bukanlah tentang kesempurnaan, tetapi tentang memberi dan menerima, tentang tumbuh bersama tanpa kehilangan diri sendiri.

Alina menyadari bahwa cinta yang tumbuh bukanlah cinta yang datang dengan cepat, melainkan cinta yang datang perlahan, penuh dengan pengertian dan kesabaran. Ia tidak perlu buru-buru untuk memutuskan apa yang harus dilakukan. Cinta ini datang dengan cara yang benar, dan ia siap untuk menerima perjalanan ini, apapun itu.

Dengan hati yang penuh harapan dan keberanian, Alina melangkah ke depan, menuju masa depan yang penuh dengan kemungkinan baru—cinta yang tumbuh, dengan segala keindahan dan tantangannya.***

Prolog: Cinta yang Terlupakan

Pada suatu pagi yang cerah, di sebuah kota yang tak pernah benar-benar tidur, Alina merasakan udara segar yang menyapu wajahnya. Pagi itu tampak sama seperti pagi-pagi lainnya. Kota yang sibuk, dengan hiruk-pikuk kendaraan, pejalan kaki yang terburu-buru, dan suara-suara kehidupan yang saling bertumpuk. Namun, di dalam hatinya, ada sebuah kekosongan yang terasa begitu nyata, seakan-akan dunia di luar sana begitu ramai sementara dirinya terperangkap dalam sunyi.

Alina menghirup napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. Sudah lama ia merasa seperti ini, kosong dan bingung. Sejak perpisahan yang tak terhindarkan dengan Rizky, segala sesuatunya terasa seperti reruntuhan yang tidak bisa disatukan kembali. Kenangan-kenangan yang dulu begitu indah kini berubah menjadi bayang-bayang yang mengusik pikirannya setiap kali ia mencoba melangkah maju. Setiap langkahnya seakan terhambat oleh perasaan rindu yang tak kunjung usai, oleh cinta yang terputus namun belum sepenuhnya hilang.

Tapi hari ini, untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan, ia merasa ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang memberikan secercah harapan di ujung jalan yang panjang. Mungkin itu hanya perasaan sesaat, tetapi perasaan itu cukup untuk membuatnya bertahan, untuk membuatnya ingin mencoba sekali lagi—untuk kembali merasa hidup, kembali menemukan apa yang pernah ia miliki, dan mungkin, akhirnya menemukan dirinya yang hilang.

“Alina, kamu baik-baik saja?” suara seorang teman mengingatkannya, menariknya dari lamunannya. Alina menoleh, dan tersenyum tipis. Temannya, Maria, berdiri di hadapannya dengan tatapan penuh perhatian. Mereka sedang duduk di sebuah kafe kecil yang terletak di sudut kota, tempat yang biasa mereka kunjungi setiap kali ada kesempatan untuk berbicara tentang kehidupan mereka. Tetapi hari itu, Alina merasa seolah-olah dirinya terjebak di antara masa lalu dan masa depan.

“Ya, hanya saja aku merasa sedikit… bingung akhir-akhir ini,” jawab Alina, mencoba menyembunyikan kekosongannya di balik senyuman yang dipaksakan.

Maria duduk lebih dekat, menyandarkan dirinya pada kursi dan memandang Alina dengan mata yang penuh rasa ingin tahu. “Tentang Rizky, ya?”

Alina menunduk sejenak, matanya menatap cangkir kopinya yang hampir kosong. “Aku tidak tahu, Maria. Semua yang terjadi begitu cepat. Aku tidak pernah membayangkan akan berakhir seperti ini.”

Alina tahu bahwa Maria, teman terbaiknya, sudah cukup memahami betapa dalamnya luka yang ia rasakan setelah perpisahannya dengan Rizky. Meskipun perpisahan itu terjadi karena alasan yang jelas—ketidaksesuaian antara impian dan kenyataan—Alina masih belum sepenuhnya bisa menerima kenyataan itu. Rizky adalah bagian dari hidupnya yang begitu besar, dan melepaskan dia terasa seperti melepaskan sebagian dari dirinya sendiri.

“Alina, kamu sudah mencoba untuk melanjutkan, kan?” Maria bertanya dengan lembut, tetapi dengan nada yang sedikit menantang. “Aku tahu itu sulit, tapi kamu juga harus memberikan kesempatan pada dirimu untuk merasakan kebahagiaan yang baru. Rizky bukanlah satu-satunya orang yang bisa membuatmu bahagia. Kamu juga berhak bahagia dengan cara kamu sendiri.”

Alina menghela napas panjang, menatap langit yang mulai berubah warna. “Aku tahu. Aku hanya merasa seperti aku tidak tahu bagaimana cara untuk mulai lagi. Aku terluka, Maria. Terkadang aku merasa seperti aku tidak akan pernah bisa menghindari bayang-bayang itu.”

Maria tersenyum lembut, lalu meraih tangan Alina dengan penuh perhatian. “Aku mengerti. Tapi kamu sudah mulai, kok. Coba lihat dirimu sekarang, kamu sudah jauh lebih kuat dari sebelumnya. Ini hanya soal waktu, Alina. Kamu pasti akan temukan jalanmu sendiri.”

Alina tidak bisa tidak merasa terharu mendengar kata-kata itu. Maria selalu ada untuknya, memberikan dukungan tanpa henti, meskipun ia sendiri tidak tahu bagaimana cara menghibur dirinya sendiri. Cinta yang pernah ia miliki dengan Rizky telah mengajarkannya banyak hal, tetapi yang paling penting adalah, cinta itu memberinya keberanian untuk mencari kebahagiaan yang lebih besar, bahkan jika itu berarti harus melepaskan sesuatu yang sangat berarti.

Namun, meskipun ia merasa kuat di luar, hatinya tetap rapuh. Cinta yang dulu begitu nyata kini terasa jauh, seolah-olah ada dinding tak terlihat yang memisahkan dirinya dengan kenangan itu. Tidak ada yang tahu betapa dalamnya luka itu, betapa beratnya melepaskan seseorang yang dulu dianggap sebagai bagian dari masa depan. Dan meskipun mereka telah memilih jalan masing-masing, perasaan itu, cinta itu, masih ada di dalam dirinya—terjebak, tak bisa pergi, dan tak bisa diterima sepenuhnya.

Bagi Alina, setiap hari adalah perjuangan untuk mengatasi rasa rindu yang terus mengganggu, untuk menerima kenyataan bahwa mungkin, ia dan Rizky memang bukan pasangan yang ditakdirkan bersama. Kadang-kadang, ia merasa seolah-olah dunia sedang berpura-pura baik-baik saja, padahal hatinya berteriak, ingin diterima, ingin dihargai. Tetapi ia tahu bahwa jika ia terus berfokus pada masa lalu, ia tidak akan pernah bisa melangkah maju.

Hari-hari berlalu dengan perlahan, dan Alina mulai menemukan sedikit ketenangan dalam kehidupannya yang baru. Ia kembali mengejar impian-impian yang selama ini terpendam. Dunia seni yang dulu selalu ia impikan menjadi pelarian yang menyembuhkan luka-lukanya. Lukisan-lukisan yang ia buat mencerminkan perasaan-perasaan yang sulit ia ungkapkan dengan kata-kata. Setiap sapuan kuas adalah langkah menuju pemulihan. Setiap warna yang ia pilih mengungkapkan keindahan yang tersembunyi dalam dirinya.

Namun, meskipun ia semakin menemukan dirinya sendiri, ada satu hal yang tidak bisa dihindari—perasaan itu. Perasaan yang tak kunjung hilang, perasaan yang datang setiap kali ia mengingat Rizky. Kenangan mereka bersama, tawa mereka, janji-janji yang pernah mereka buat, semuanya terasa seperti bagian dari hidupnya yang tak bisa dilepaskan. Bahkan ketika ia mencoba untuk menjalani hidup tanpa dia, seolah-olah Rizky masih ada, mengisi ruang kosong dalam hatinya.

Hingga suatu hari, saat Alina sedang berkeliling di galeri seni untuk sebuah pameran lokal, ia tak sengaja bertemu dengan seseorang yang tak terduga—Dimas. Seorang fotografer muda yang memiliki semangat hidup yang menular. Dimas bukanlah seseorang yang bisa Alina sebut sebagai pengganti Rizky. Namun, kehadirannya membawa sesuatu yang berbeda—sesuatu yang membuat Alina merasa seolah-olah hidup ini masih penuh dengan kemungkinan, dan bahwa cinta itu, meskipun terkadang terhenti, selalu bisa tumbuh kembali, dengan cara yang berbeda.

Perasaan itu datang perlahan. Alina tidak bisa mengatakan bahwa ia jatuh cinta pada Dimas dengan cepat. Tetapi ada sesuatu dalam diri pria itu yang membuatnya merasa lebih hidup, membuatnya merasa seperti dirinya yang dulu—seperti seorang wanita yang penuh dengan impian dan harapan. Dimas tidak pernah menuntutnya untuk segera melupakan masa lalu, dan ia memberinya ruang untuk tumbuh. Dengan Dimas, Alina mulai merasa bahwa mungkin, hanya mungkin, cinta itu bisa tumbuh lagi, tanpa perlu terburu-buru.

Namun, perjalanan cinta Alina bukanlah sebuah perjalanan yang mudah. Ia harus melalui banyak ketakutan, keraguan, dan luka yang belum sembuh sepenuhnya. Cinta yang tumbuh di antara mereka tidak datang dengan instan. Seperti sebuah bunga yang mekar perlahan, cinta itu membutuhkan waktu, kesabaran, dan penerimaan diri yang sejati. Alina harus belajar untuk melepaskan masa lalu, untuk memberi kesempatan pada dirinya sendiri untuk mencintai tanpa rasa takut, tanpa merasa terikat pada bayang-bayang yang pernah ada.

Prolog ini adalah kisah tentang seorang wanita yang berusaha menemukan dirinya setelah kehilangan cinta yang begitu besar dalam hidupnya. Ini adalah kisah tentang luka yang perlahan sembuh, tentang perasaan yang tumbuh, dan tentang keberanian untuk mencintai lagi. Cinta yang tak pernah benar-benar hilang, melainkan berubah bentuk, berkembang seiring waktu, seperti hidup itu sendiri yang tak pernah berhenti bergerak maju.

Alina tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Tapi satu hal yang ia tahu pasti—perjalanan ini, perjalanan untuk mencintai dan dicintai lagi, adalah perjalanan yang layak untuk dijalani.****

————-THE END————-

Source: AGUSTINA RAMADHANI
Tags: #Romansa #Cinta yang Tumbuh Perpisahan dan #Penyembuhan #Cinta dan Kehilangan #Pencarian Dir
Previous Post

Hasrat Ambisius Fans Manchester United Punya Gudang Logistik Tahi Kucing

Next Post

Jodohku Tukang NgutanSinopsis**

Next Post
Jodohku Tukang NgutanSinopsis**

Jodohku Tukang NgutanSinopsis**

Wajah Fans Manchester United Berlumur Tahi Kucing Basah Pasca-Imbang Lawan Everton

Fans Manchester United Pinjol untuk Sewa Kost Demi Gudang Logistik Tahi Kucing Basah

BAYANG DI BALIK  JENDELA

BAYANG DI BALIK JENDELA

MOVIE REVIEW

No Content Available

RECENT MOVIE

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025

Tentang Kami

NovelStory.id adalah platform media online yang menghadirkan beragam cerita menarik seperti dalam novel dan drama, dirancang untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan yang berkualitas dan penuh imajinasi. Kami percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh hati, menginspirasi, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh keajaiban.

Recent News

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025

Follow Us

  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 https://novelstory.id

No Result
View All Result
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah

© 2025 https://novelstory.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In