• Latest
  • Trending
  • All
  • Movie Review
  • Box Office
  • Trailer
  • Action
  • Romantic
  • Comedy
  • Horror
  • Serial Movie
  • Genre
CINTA DI BALIK KOPI SUSU

CINTA DI BALIK KOPI SUSU

February 13, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025
JEJAK DI PINTU TERLARANG

JEJAK DI PINTU TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

May 17, 2025
TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

May 17, 2025
PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

May 12, 2025
HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

May 12, 2025
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

May 10, 2025
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

LUKISAN YANG MENANGIS

May 10, 2025
  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
No Result
View All Result
Novel Story
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah
Novel Story
CINTA DI BALIK KOPI SUSU

CINTA DI BALIK KOPI SUSU

by MABUMI
February 13, 2025
in Komedi
Reading Time: 17 mins read

 


Bab 1: Pertemuan Pertama

Di sebuah sudut kota yang tak terlalu ramai, terdapat sebuah kafe kecil dengan papan nama bertuliskan “Kopi Susu Rasa Hati.” Kafe ini tidak terlalu mencolok, namun memiliki pelanggan setia yang selalu datang karena kopi susu khas yang disajikan oleh barista muda bernama Arina. Bagi banyak orang, kafe ini adalah tempat untuk melarikan diri dari hiruk-pikuk dunia luar, sebuah oasis kecil di tengah kota yang sibuk.

Hari itu, seperti biasanya, Arina berdiri di balik mesin kopi, tangannya cekatan meracik susu dan kopi, menciptakan kombinasi sempurna yang sudah menjadi ciri khasnya. Rambut panjangnya yang selalu diikat rapi menambah kesan profesional, sementara senyumnya yang hangat selalu membuat pelanggan merasa diterima. Namun, hari itu ada sesuatu yang berbeda. Seorang pria yang belum pernah dia lihat sebelumnya masuk ke dalam kafe, menarik perhatian Arina.

Pria itu mengenakan jas hitam dan kemeja putih, penampilannya rapi dan terkesan serius. Matanya tampak lelah, seolah-olah beban pekerjaan yang berat menghimpitnya. Dia berjalan dengan langkah lambat menuju meja pojok yang jauh dari keramaian, memilih duduk di sana dengan sikap yang tampak acuh tak acuh. Arina terus memperhatikannya, merasa ada sesuatu yang menarik tentang pria itu. Mungkin karena ekspresinya yang sedikit bingung, atau mungkin hanya karena dia berbeda dari pelanggan lainnya yang datang dengan tujuan hanya untuk menikmati kopi.

Beberapa menit kemudian, pria itu memanggilnya dengan suara lembut, “Mbak, saya ingin pesan kopi susu, tapi yang tidak terlalu manis. Saya ingin rasanya lebih kuat, bisa?”

Arina tersenyum dan mengangguk. “Tentu, Pak. Kopi susu spesial kami biasanya memiliki rasa yang kuat, tapi saya akan sesuaikan sesuai dengan keinginan Anda.”

Pria itu mengangguk, dan Arina segera mulai menyiapkan pesanan. Saat tangannya bekerja, dia merasa sedikit cemas, seperti ada dorongan untuk mencuri pandang ke arah pria itu. Sebagai seorang barista yang telah terbiasa melayani berbagai macam orang, dia tahu bahwa sering kali dia hanya menjadi bagian dari latar belakang, tak lebih dari seorang pelayan yang menyajikan kopi. Tapi entah kenapa, kali ini rasanya berbeda. Ada sesuatu di dalam diri pria itu yang membuatnya ingin tahu lebih banyak.

Beberapa menit kemudian, Arina datang membawa pesanan. Kopi susu dengan aroma yang mengundang, disajikan dalam cangkir kecil dengan foam susu yang lembut di atasnya. Dia meletakkan cangkir itu di meja pria tersebut dengan senyum ramah.

“Ini kopinya, Pak. Semoga sesuai dengan selera,” kata Arina.

Pria itu menatap cangkir kopi itu sejenak, lalu tersenyum tipis. “Terima kasih.” Suaranya terdengar lebih hangat sekarang, meskipun matanya masih tampak lelah.

Arina sempat berdiam diri sejenak, lalu dengan hati-hati, dia bertanya, “Apakah Anda sering ke sini?”

Pria itu terkejut sejenak, lalu menjawab, “Baru pertama kali. Saya kebetulan mencari tempat yang tenang untuk duduk sejenak. Biasanya, saya tidak punya banyak waktu untuk beristirahat, tapi hari ini saya memutuskan untuk mencoba.”

“Ah, saya mengerti,” jawab Arina, dengan senyum yang lebih lebar. “Kami memang lebih tenang di sini. Banyak orang datang untuk melarikan diri dari kesibukan.”

Pria itu mengangguk pelan, lalu mengambil sendok dan mencicipi kopi susunya. Reaksinya menunjukkan bahwa kopi itu memang sesuai dengan yang diinginkannya. “Hmm, enak. Kopi yang saya cari.”

Arina merasa senang mendengarnya, meskipun ada sesuatu dalam diri pria itu yang membuatnya penasaran. Mengapa pria ini terlihat seperti membawa beban yang berat? Arina tak berani bertanya lebih lanjut, takut dia terkesan terlalu ingin tahu. Jadi, dia hanya berdiri di sana, menunggu apakah pria itu akan melanjutkan percakapan atau tidak.

Beberapa menit berlalu, dan pria itu tampak tenggelam dalam pikirannya sendiri, seolah dunia luar tak ada artinya. Arina pun kembali ke tempatnya di balik meja, namun matanya tetap mencuri pandang. Ada rasa penasaran yang tumbuh, tetapi dia tidak tahu bagaimana memulainya.

Sebelum meninggalkan kafe, pria itu akhirnya berdiri dan berbalik ke arah Arina. “Terima kasih, Mbak. Kopi susu ini luar biasa. Saya akan kembali lagi.”

Arina tersenyum, merasa ada sesuatu yang istimewa dalam ucapan pria itu. “Terima kasih, Pak. Kami tunggu kedatangan Anda lagi.”

Setelah pria itu keluar, Arina kembali melanjutkan pekerjaannya, tapi ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Pria itu, dengan segala kesibukannya, dengan beban yang jelas terlihat di wajahnya, membuatnya merasa terhubung dengan cara yang tak bisa dijelaskan. Mungkin ini hanya perasaan sesaat, tapi entah mengapa, Arina merasa seperti dia akan sering bertemu dengan pria itu lagi. Dan entah bagaimana, dia berharap begitu.


 

 


Bab 2: Kejutan Manis

Beberapa hari setelah pertemuan pertama itu, Arina mulai merasakan ada sesuatu yang berbeda setiap kali pria itu, Rendra, masuk ke kafe. Sebelumnya, dia hanya mengenal pelanggan biasa yang datang untuk secangkir kopi dan pergi begitu saja. Namun, Rendra tidak seperti mereka. Dia selalu duduk di meja yang sama, di pojok dekat jendela, dengan kopi susu yang selalu ia pesan dengan sedikit pengurangan gula. Setiap kali Arina melihatnya, hatinya seperti berdebar lebih cepat, meskipun dia tak mengerti kenapa.

Rendra selalu datang di sore hari, setelah jam sibuk. Arina, yang tengah membersihkan meja dan menyiapkan pesanan, sering mencuri pandang ke arahnya. Rendra terlihat tenggelam dalam pikirannya, matanya tampak lelah, seolah membawa dunia di pundaknya. Kadang, Arina bisa melihat tatapannya yang kosong saat dia menatap keluar jendela, seperti sedang merenungi sesuatu yang jauh lebih dalam dari sekadar kopi yang ada di hadapannya.

Suatu sore, saat Arina sedang meracik kopi untuk pelanggan lain, ia mendengar suara langkah kaki mendekat. Tanpa menoleh, dia sudah bisa menebak siapa itu. “Kopi susu seperti biasa, Pak?” Arina bertanya, sambil tetap fokus pada mesin kopi.

“Ya, seperti biasa. Tapi, kali ini saya ingin mencobanya dengan tambahan sedikit foam di atasnya, seperti yang teman saya pesankan kemarin,” jawab Rendra.

Arina mengangguk, tersenyum tanpa melihat langsung ke wajahnya. Sudah menjadi rutinitasnya untuk menyesuaikan pesanan setiap pelanggan, meski sering kali dia tidak tahu alasan di balik permintaan itu. Rendra adalah salah satu pelanggan yang cukup perhatian pada detail. Setiap kali datang, dia selalu memiliki preferensi kecil, baik itu mengenai takaran gula atau panasnya kopi.

“Saya lihat Anda cukup sering datang ke sini,” kata Arina setelah beberapa saat. Rendra menatapnya, seolah baru sadar bahwa dia sedang mengobrol dengannya.

“Iya, rasanya sulit menemukan tempat seperti ini di tengah kota,” jawab Rendra dengan senyum tipis. “Tempat ini memberikan ketenangan yang saya butuhkan. Mungkin saya terlalu sibuk akhir-akhir ini, sehingga tidak bisa menikmati hal-hal kecil seperti ini.”

Arina tersenyum mendengar penuturan Rendra. Bagaimana pun, di balik penampilan seriusnya, ada sisi lain dari pria ini yang mulai menarik perhatian Arina. “Saya mengerti. Kadang kita hanya butuh waktu sejenak untuk berhenti dan menikmati secangkir kopi. Kopi bisa jadi teman yang baik saat dunia terasa berat.”

Rendra terdiam sejenak, seolah-olah perkataan Arina menyentuh sesuatu dalam dirinya. Dia menatap cangkir kopi yang baru saja disiapkan Arina, memandangi permukaan susu yang berbusa halus. “Mungkin itu yang saya cari. Waktu untuk berhenti sejenak,” ujarnya perlahan.

“Setiap orang butuh waktu itu, Pak,” jawab Arina. “Terkadang, kita terlalu fokus pada tujuan, hingga lupa menikmati perjalanan.”

Rendra menatapnya lebih lama kali ini, seolah mencoba membaca ekspresi Arina. Lalu dia mengangguk pelan. “Kamu benar. Kadang saya terlalu fokus pada pekerjaan sampai lupa apa yang sebenarnya penting.”

Percakapan itu mengalir begitu saja, dengan Rendra yang mulai lebih terbuka tentang dirinya, meskipun masih dalam batas-batas yang hati-hati. Dia menceritakan bagaimana kehidupannya yang penuh tuntutan dan tekanan pekerjaan sering kali membuatnya merasa kesepian. “Saya merasa seperti terjebak dalam rutinitas yang sama, hari demi hari,” katanya. “Kadang, saya ingin berteriak, tapi saya tidak tahu pada siapa.”

Arina mendengarkan dengan penuh perhatian, meskipun hatinya merasa tersentuh oleh kata-kata Rendra. Dia bisa merasakan beban yang dimiliki pria itu, meskipun mereka baru saja saling mengenal. Tidak banyak orang yang bersedia membuka diri seperti itu, terutama dengan seseorang yang baru dikenal. Arina merasa dia memiliki semacam koneksi dengan Rendra, meskipun dia tak bisa menjelaskan apa itu.

“Kopi susu ini jadi semacam pelarian saya,” lanjut Rendra, sambil meminum kopi yang disiapkan Arina. “Entah kenapa, setiap kali saya datang ke sini, rasanya dunia bisa sedikit lebih ringan.”

Arina tersenyum lembut. “Saya senang bisa menjadi bagian dari momen itu, Pak.”

Setelah percakapan singkat itu, suasana di kafe kembali tenang. Rendra kembali tenggelam dalam pikirannya, sementara Arina melanjutkan pekerjaannya dengan sedikit lebih hati-hati. Namun, ada rasa hangat yang tumbuh di hatinya. Setiap kali Rendra datang, dia merasa seakan dunia kecil itu hanya milik mereka berdua. Meski tidak banyak yang diungkapkan, mereka saling memahami dalam diam.

Beberapa hari berlalu, dan Rendra semakin sering datang. Arina mulai menantikan kehadirannya, meskipun dia tidak tahu apa yang sebenarnya dia harapkan dari pertemuan-pertemuan itu. Setiap kali Rendra duduk di meja pojok, dia merasa seperti ada sebuah ikatan yang tidak terucapkan di antara mereka. Arina tidak bisa mengabaikan perasaan ini, meskipun dia tahu bahwa hubungan mereka masih sangat sederhana—hanya sekadar pelanggan dan barista.

Namun, ada perasaan yang terus berkembang dalam hati Arina. Sebuah perasaan yang tak bisa dijelaskan, namun jelas terasa setiap kali Rendra datang. Apa yang sebenarnya dia rasakan? Cinta? Atau hanya rasa kagum terhadap pria yang sederhana namun penuh dengan kompleksitas di dalam dirinya? Arina tidak tahu, tapi satu hal yang pasti—kopi susu ini mungkin hanya menjadi pemicu dari sesuatu yang lebih besar.


 

 

 


Bab 3: Resah di Hati

Seminggu setelah percakapan mereka yang lebih mendalam, Arina merasa sedikit canggung setiap kali melihat Rendra memasuki kafe. Meskipun mereka sudah berbicara lebih banyak, perasaan yang tiba-tiba muncul dalam hatinya membuatnya bingung. Setiap kali Rendra datang, hatinya berdebar lebih cepat dari biasanya, dan dia merasa seolah-olah ada sesuatu yang harus dia katakan, meskipun dia tidak tahu apa itu. Namun, Arina berusaha untuk tidak terlalu memikirkannya. Dia berusaha tetap profesional dan menjaga jarak, karena dia tahu bahwa sebagai seorang barista, hubungan seperti ini hanya bisa berlanjut sejauh percakapan singkat tentang kopi.

Namun, perasaan itu semakin sulit untuk diabaikan.

Pada suatu sore yang cerah, Rendra kembali datang ke kafe. Seperti biasa, dia duduk di meja pojok dekat jendela, dengan tatapan yang agak kosong, seolah-olah pikirannya jauh di luar sana. Arina melihatnya dari balik meja kasir, matanya tertuju pada pria itu, mencoba untuk mengabaikan perasaan yang mulai mengganggu hatinya.

Saat dia mulai meracik kopi untuk pelanggan lainnya, Arina merasa cemas. Mengapa setiap kali Rendra ada di kafe ini, dia merasa cemas dan bingung? Apa yang sebenarnya dia rasakan? Rasanya seperti ada benang merah yang menghubungkan mereka, meskipun mereka tak pernah berbicara tentang hal itu secara langsung.

Dengan langkah ragu, Arina akhirnya memutuskan untuk mendekati Rendra. “Kopi susu seperti biasa, Pak?” tanyanya dengan suara yang lebih lembut dari biasanya.

Rendra menatapnya, dan untuk beberapa detik, dia terdiam. “Ya, seperti biasa. Tapi kali ini, mungkin dengan sedikit lebih banyak foam,” jawabnya sambil memberikan senyum tipis.

Arina tersenyum kembali, meskipun dalam hatinya ada kegelisahan yang tidak bisa dia ungkapkan. Dia menyadari bahwa Rendra tidak lagi hanya sekadar pelanggan. Setiap kali mereka berbicara, ada rasa yang lebih dalam daripada sekadar urusan kopi. Hanya saja, Arina tak tahu apakah perasaannya ini cukup kuat untuk diungkapkan. Dia tak ingin merusak hubungan mereka yang sederhana, apalagi jika ternyata Rendra tidak merasakan hal yang sama.

Ketika Arina membawa kopi susu pesanan Rendra ke mejanya, dia meletakkan cangkir itu dengan hati-hati, berusaha menutupi kegelisahannya. “Ini kopinya, Pak. Semoga sesuai dengan selera,” katanya, berusaha terdengar tenang.

Rendra memandangnya sejenak, lalu mengangguk. “Terima kasih, Mbak. Kopi susu ini selalu terasa seperti rumah.”

Perkataan itu membuat Arina tertegun sejenak. Rumah. Kata-kata itu mengingatkannya pada hal-hal yang lebih pribadi, lebih dekat. Arina merasa ada sesuatu yang dalam dari ucapan Rendra, meskipun dia mencoba untuk tidak terlalu memikirkannya. “Saya senang mendengarnya,” jawab Arina, mencoba tetap profesional, meskipun hatinya terasa berdebar.

Namun, Rendra seperti menyadari ketegangan itu. Dia menatap Arina sejenak, lalu berkata, “Mbak Arina, saya rasa kita sudah beberapa kali berbicara, tetapi saya merasa seperti saya masih belum mengenalmu dengan baik. Terkadang, saya merasa seperti terlalu sibuk untuk mengenal orang-orang sekitar saya. Terutama yang… penting.”

Kata-kata Rendra itu mengusik hati Arina. Meskipun dia berusaha untuk tetap tenang, ada sesuatu yang menghangatkan dadanya. Kenapa Rendra mengatakan hal itu? Apakah itu berarti dia juga merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar hubungan pelanggan dan barista?

Arina mencoba tersenyum, tetapi senyumnya terasa lebih canggung dari biasanya. “Tidak ada yang istimewa tentang saya, Pak. Saya hanya seorang barista yang menjalani rutinitas sehari-hari.”

Rendra mengangguk perlahan, tetapi tatapannya tajam, seolah ingin menggali lebih dalam. “Mungkin itu yang saya suka dari tempat ini. Semua orang terlihat biasa saja, tetapi ada sesuatu yang membuatnya berbeda. Sama seperti kamu, Mbak.”

Arina merasa pipinya memanas. Apa maksudnya dengan “sesuatu yang membuatnya berbeda”? Perasaan yang tiba-tiba muncul ini terasa seperti ombak yang datang begitu saja, memaksa Arina untuk menghadapi kenyataan bahwa dia mulai terjebak dalam sesuatu yang lebih dari sekadar hubungan biasa.

Kopi susu yang Rendra minum terasa semakin tidak berarti dibandingkan dengan kebingungannya. “Pak, saya tidak tahu apakah ini hal yang tepat untuk dibicarakan,” kata Arina dengan suara yang sedikit gemetar. “Saya hanya… tidak ingin ada yang salah paham. Kita hanya saling mengenal, bukan lebih dari itu.”

Rendra terdiam sejenak. “Mungkin… kamu benar. Mungkin kita memang masih terlalu awal untuk memikirkan lebih jauh. Tapi, Mbak Arina, ada sesuatu dalam diri kamu yang membuat saya merasa nyaman. Bukan hanya karena kopinya, tapi karena cara kamu membuat saya merasa dihargai.”

Kata-kata itu seperti petir yang menyambar hati Arina. Tidak ada lagi keraguan bahwa ada sesuatu yang lebih dalam di antara mereka, sesuatu yang tak bisa dipungkiri. Tapi, perasaan itu—perasaan yang mulai tumbuh dalam dirinya—masih terbungkus dalam ketidakpastian.

Arina mengalihkan pandangannya ke luar jendela, mencoba menenangkan pikirannya. “Saya… saya tidak tahu apa yang harus saya katakan, Pak. Kadang, kita takut untuk menghadapi perasaan kita sendiri.”

Rendra tersenyum lembut, meskipun ada sedikit kekecewaan di matanya. “Saya mengerti. Tidak ada yang bisa dipaksakan. Tapi, Mbak Arina, saya hanya ingin kamu tahu, saya menghargai setiap momen yang kita lewatkan bersama.”

Saat itu, Arina merasa sebuah keputusan harus segera diambil. Apakah dia siap untuk membuka hati, atau apakah dia akan terus bersembunyi di balik tembok yang dia bangun sendiri?


 

 

 


Bab 4: Menghadapi Perasaan

Hari-hari setelah percakapan itu terasa lebih sunyi bagi Arina. Setiap kali Rendra datang ke kafe, dia merasa ada sesuatu yang tak bisa diungkapkan. Rasa bingung dan cemas yang terus menghantui pikirannya. Dia merasa seolah berada di persimpangan jalan, antara mengikuti perasaannya yang mulai tumbuh atau tetap menjaga jarak agar tidak terjebak dalam perasaan yang tidak pasti.

Di balik meja kasir, Arina berusaha untuk tetap fokus pada pekerjaannya. Namun, setiap kali pintu kafe terbuka dan langkah Rendra terdengar, hatinya berdebar lebih cepat. Dia tahu bahwa pria itu datang bukan hanya untuk kopi susu, tetapi juga untuk pertemuan yang lebih dari sekadar rutinitas. Arina mulai merasa terjebak dalam perasaan yang tak bisa dijelaskan, seolah dunia sekitarnya semakin mengabur.

Hari itu, seperti biasanya, Rendra masuk dengan langkah pelan, matanya masih terlihat lelah, tetapi kali ini ada yang berbeda. Ia tidak langsung menuju meja pojok. Sebaliknya, dia berhenti di depan meja kasir, menatap Arina dengan mata yang penuh pertanyaan.

“Mbak Arina, apakah saya boleh duduk di sini sebentar?” tanya Rendra dengan suara lembut.

Arina terkejut, namun dengan cepat ia mencoba mengendalikan dirinya. “Tentu, Pak. Silakan,” jawabnya sambil memberikan senyuman tipis, meskipun dalam hatinya ada kegelisahan yang tak bisa dia sembunyikan.

Rendra duduk di meja kasir yang terletak dekat dengan jendela, tempat yang jarang dipilih pelanggan lain. Mungkin karena dia ingin berbicara lebih pribadi, atau mungkin hanya karena dia merasa nyaman dengan tempat itu. Arina kembali melanjutkan pekerjaannya, tetapi hatinya terasa lebih berat. Apa yang ingin Rendra bicarakan kali ini?

Beberapa menit berlalu, dan akhirnya Arina memberanikan diri untuk mendekat. “Ada yang bisa saya bantu, Pak?” tanyanya dengan suara yang lebih rendah.

Rendra menatapnya, dan untuk beberapa saat mereka hanya saling memandang. “Mbak Arina, saya rasa sudah cukup lama kita saling bertemu tanpa benar-benar berbicara tentang diri kita,” kata Rendra, akhirnya memecah keheningan.

Arina merasa sedikit terkejut, tetapi juga cemas. “Maksud Pak Rendra?”

Rendra menghela napas panjang, lalu menatap Arina dengan serius. “Saya merasa ada yang tidak saya katakan. Sebuah perasaan yang mungkin seharusnya saya ungkapkan lebih dulu.”

Arina terdiam, tak tahu harus merespons bagaimana. Kata-kata itu, meskipun sederhana, membuat hatinya bergetar. Apa yang sebenarnya ingin disampaikan Rendra? Apa dia merasa hal yang sama seperti yang Arina rasakan?

“Sejujurnya,” lanjut Rendra dengan suara yang lebih pelan, “saya merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar kopi setiap kali saya datang ke sini. Saya merasa seperti ada hubungan yang mulai terjalin antara kita, meskipun mungkin kita belum sepenuhnya menyadarinya.”

Arina terkejut. Kata-kata itu datang seperti angin yang menerpa wajahnya. Dia merasakan sesuatu yang mendalam di dalam dirinya, tetapi belum siap untuk menghadapinya. Bagaimana dia bisa tahu jika Rendra benar-benar merasakan hal yang sama? Bagaimana jika perasaan ini hanya ada di dalam kepalanya?

“Mbak Arina, saya tahu mungkin kita belum lama saling mengenal, tapi saya ingin mengungkapkan bahwa saya merasa nyaman berada di dekat kamu,” lanjut Rendra, matanya tak lepas dari tatapan Arina.

Arina terdiam, jantungnya berdetak lebih cepat. Rasa bingung dan cemas yang semula menumpuk kini berubah menjadi perasaan hangat yang tak terkatakan. Dia ingin mengatakan sesuatu, tetapi lidahnya terasa kelu. Dia tahu bahwa ini adalah saat yang menentukan—saat di mana dia harus mengungkapkan apa yang ada di dalam hatinya.

“Apa maksud Pak Rendra?” tanya Arina akhirnya, dengan suara yang sedikit gemetar.

Rendra tersenyum lembut. “Maksud saya, saya mulai merasa ada ikatan antara kita. Bukan hanya karena kita sering bertemu, tetapi karena sesuatu yang lebih dari itu. Saya tidak tahu bagaimana menjelaskannya, tapi setiap kali saya melihat kamu, saya merasa seperti ada bagian dari diri saya yang ingin lebih mengenal kamu.”

Arina menundukkan kepala, berusaha mengendalikan perasaannya yang mulai kacau. “Pak, saya… saya tidak tahu apakah saya bisa menjelaskan perasaan ini,” jawab Arina pelan. “Kadang saya merasa bingung, antara mengikuti perasaan saya atau tetap menjaga jarak. Ini semua terasa terlalu cepat.”

Rendra mengangguk, matanya penuh pengertian. “Saya mengerti, Mbak. Saya tidak ingin memaksakan apa pun. Tapi, saya ingin kamu tahu bahwa saya benar-benar menghargai setiap momen yang kita habiskan bersama. Saya rasa, jika kita memberi waktu untuk saling mengenal lebih dalam, mungkin kita akan menemukan sesuatu yang lebih berarti.”

Arina mengangkat kepala dan menatap Rendra. Ada sesuatu yang dalam di matanya, sesuatu yang membuat hati Arina bergetar. Meskipun dia masih ragu dan takut akan perasaan yang tak terduga ini, dia tahu bahwa dia tak bisa lagi mengabaikannya.

“Terima kasih, Pak,” jawab Arina, suaranya terdengar lebih tenang. “Mungkin kita bisa memberi kesempatan untuk saling mengenal lebih baik. Tapi saya harap kita bisa melakukannya pelan-pelan, tanpa terburu-buru.”

Rendra tersenyum lebar, seolah beban berat yang ada di pundaknya sedikit berkurang. “Tentu, Mbak. Saya tidak akan terburu-buru. Kita akan melakukannya dengan cara yang benar.”

Setelah percakapan itu, Arina merasa lebih lega. Meskipun masih ada perasaan ragu, dia merasa langkah kecil yang mereka ambil menuju satu sama lain adalah sesuatu yang tepat. Perlahan, mereka mulai menjajaki perasaan mereka, tanpa tekanan dan tanpa terburu-buru.

Saat itu, Arina tahu satu hal: perjalanan mereka baru saja dimulai, dan meskipun jalanan penuh ketidakpastian, ada rasa optimisme yang tumbuh dalam dirinya. Sesuatu yang indah mungkin sedang menanti di balik keduanya.


 

Bab 5: Langkah yang Lebih Dekat

Beberapa minggu berlalu sejak percakapan itu, dan meskipun perasaan antara Arina dan Rendra semakin jelas, mereka berdua tetap berhati-hati. Setiap kali Rendra datang ke kafe, ada rasa nyaman yang menyelimuti mereka, namun juga ketegangan kecil yang masih tersisa di antara keduanya. Mereka mulai saling mengenal lebih dalam, namun tetap menjaga jarak—sebuah keseimbangan yang sulit tercapai, tetapi mereka berdua berusaha untuk menikmatinya.

Arina kini lebih sering menemani Rendra berbincang ringan saat ia datang, tetapi tidak ada yang terlalu mendalam. Rendra bercerita tentang pekerjaannya yang menuntut banyak waktu dan perhatian, sementara Arina menceritakan kegiatannya sehari-hari di kafe. Percakapan mereka berjalan dengan lancar, namun tak pernah benar-benar menyinggung perasaan yang mulai berkembang di antara mereka.

Suatu sore yang cerah, Rendra datang dengan ekspresi yang sedikit berbeda. Matanya tampak lebih berbinar, dan ada senyum tipis yang tak bisa disembunyikan. Begitu Arina melihatnya, dia merasa seperti ada sesuatu yang akan terjadi—sesuatu yang lebih dari sekadar percakapan biasa.

“Selamat sore, Mbak Arina,” sapanya dengan suara yang penuh semangat.

“Selamat sore, Pak Rendra,” jawab Arina sambil tersenyum. “Ada yang bisa saya bantu hari ini?”

Rendra duduk di meja pojok seperti biasa, tetapi kali ini dia tidak langsung memesan kopi. Dia menatap Arina dengan tatapan yang lebih serius, namun tetap lembut. “Mbak Arina, saya ingin mengajak kamu untuk melakukan sesuatu,” kata Rendra.

Arina merasa sedikit terkejut dengan tawaran itu. “Maksud Pak Rendra?”

Rendra tersenyum lebar, dan Arina bisa merasakan ada kegembiraan dalam senyumnya itu. “Bagaimana kalau kita pergi ke suatu tempat setelah kamu selesai bekerja? Saya tahu tempat yang cukup tenang, dan saya rasa kamu akan suka. Tidak ada yang formal, hanya kita berdua menikmati waktu bersama.”

Arina terdiam sejenak. Bagaimana jika ini adalah langkah pertama mereka menuju sesuatu yang lebih serius? Dia merasa sedikit ragu, namun di sisi lain, ada rasa penasaran yang tumbuh dalam dirinya. Dia merasa sudah saatnya untuk melangkah lebih jauh, meskipun masih ada sedikit ketakutan akan ketidakpastian.

“Pak Rendra, saya… saya belum yakin,” kata Arina dengan suara pelan. “Saya takut jika kita terlalu cepat melangkah. Kita baru saja mulai saling mengenal, dan saya khawatir jika saya mengambil langkah ini terlalu cepat.”

Rendra mendengarkan dengan seksama, dan senyum di wajahnya berubah menjadi lebih lembut. “Saya mengerti, Mbak Arina. Saya tidak ingin memaksa kamu. Saya hanya berpikir, mungkin kita bisa lebih dekat, saling mengenal dengan cara yang berbeda. Tapi, saya ingin kamu merasa nyaman. Tidak ada paksaan.”

Arina merasa hati kecilnya tergerak oleh kata-kata Rendra. Meskipun ada ketakutan dalam dirinya, dia tahu bahwa ini adalah kesempatan untuk menguji perasaannya, untuk mengetahui apakah langkah lebih jauh ini benar-benar yang dia inginkan.

Setelah beberapa detik berlalu, Arina akhirnya mengangguk. “Baiklah, Pak Rendra. Saya rasa ini kesempatan yang baik untuk saling mengenal lebih dalam. Tapi hanya untuk makan malam biasa, tanpa beban. Kita ambil langkah kecil, ya?”

Rendra tersenyum lebar. “Terima kasih, Mbak. Saya senang mendengarnya. Saya akan menunggu setelah kamu selesai bekerja.”

Arina merasa cemas, tetapi juga ada rasa gembira yang mengalir dalam dirinya. Langkah kecil yang mereka ambil ini mungkin akan membuka pintu untuk hal-hal yang lebih besar di masa depan. Meskipun ketakutan dan kebingungan masih mengisi ruang hati Arina, dia merasa ini adalah langkah yang harus diambil.

Setelah jam kerjanya selesai, Arina bertemu dengan Rendra di depan kafe. Pria itu terlihat rapi dengan jaket hitam yang membuatnya tampak lebih serius, tetapi senyumnya yang hangat membuat suasana menjadi lebih ringan.

“Kamu siap?” tanya Rendra sambil membuka pintu mobilnya untuk Arina.

Arina mengangguk, sedikit gugup, tetapi juga merasa tertarik dengan ide petualangan kecil ini. Mereka berdua berjalan menuju restoran yang tidak jauh dari kafe, sebuah tempat kecil dengan suasana yang tenang, jauh dari keramaian kota. Tempat yang sepertinya cocok untuk dua orang yang baru mulai mengenal satu sama lain.

Di meja makan, mereka mulai berbincang tentang kehidupan mereka lebih dalam. Rendra menceritakan lebih banyak tentang pekerjaannya yang sibuk, tentang ambisinya yang tak pernah berhenti, dan bagaimana dia sering merasa terjebak dalam rutinitas yang tak ada habisnya. Arina mendengarkan dengan seksama, merasakan betapa seriusnya pria ini dalam berbicara.

Namun, ada sisi lain dari Rendra yang mulai terbuka—sisi yang lebih santai dan penuh humor. Dia menceritakan kisah lucu tentang masa kecilnya, bagaimana dia pernah terjatuh dari pohon saat mencoba memetik buah mangga di halaman rumahnya, dan bagaimana hal itu menjadi cerita yang selalu membuat keluarganya tertawa.

Arina pun tak mau kalah. Dia mulai berbagi kisah-kisah lucu tentang hidupnya, tentang kegiatannya di kafe, dan bagaimana dia sering merasa canggung ketika pertama kali bertemu pelanggan baru. Mereka tertawa bersama, dan Arina merasakan bagaimana ketegangan yang semula ada antara mereka mulai hilang sedikit demi sedikit.

Malam itu, mereka berdua duduk berlama-lama di restoran, menikmati makanan yang sederhana namun penuh makna. Mereka tidak terburu-buru, hanya menikmati kebersamaan mereka tanpa harus memikirkan apa yang akan terjadi esok. Sesuatu yang selama ini Arina tak pernah rasakan—perasaan tenang dan nyaman di hadapan seseorang.

Ketika malam semakin larut, mereka kembali ke mobil. Arina merasa lebih ringan, lebih dekat dengan Rendra. Meskipun masih banyak hal yang perlu mereka ketahui satu sama lain, malam itu membuka pintu bagi mereka untuk melangkah lebih jauh, dengan cara yang lembut dan penuh pengertian.

“Terima kasih, Pak Rendra. Saya senang bisa menghabiskan waktu bersama,” kata Arina dengan tulus.

“Begitu juga dengan saya, Mbak Arina. Saya merasa kita semakin dekat, dan itu membuat saya bahagia,” jawab Rendra, menatap Arina dengan senyuman yang penuh makna.

Mereka berpisah di depan kafe, dan Arina merasa seperti sebuah perjalanan baru telah dimulai. Meskipun perasaan itu masih berkembang, Arina tahu bahwa mereka sudah mengambil langkah yang tepat—langkah yang lebih dekat.


 

 

 


Bab 6: Langkah yang Teguh

Setelah makan malam bersama itu, Arina merasa perasaan di dalam dirinya semakin jelas. Dia merasa lebih dekat dengan Rendra, namun juga semakin cemas tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Mereka mulai menghabiskan lebih banyak waktu bersama, meskipun setiap pertemuan selalu dipenuhi dengan keraguan kecil yang membuat Arina merasa seolah-olah mereka sedang menari di atas tali yang tipis.

Namun, malam itu memberikan Arina sesuatu yang belum pernah dia rasakan sebelumnya—rasa nyaman yang datang tanpa harus terburu-buru. Mereka tidak perlu segera memutuskan apapun. Mereka hanya perlu menikmati waktu yang ada dan membiarkan perasaan itu berkembang dengan sendirinya.

Hari-hari setelah itu menjadi semakin ringan. Rendra mulai datang lebih sering, bukan hanya untuk kopi susu, tetapi juga untuk berbincang-bincang tentang berbagai hal. Setiap kali Arina melihatnya masuk, hatinya terasa berdebar, tetapi kali ini, perasaan itu bukanlah rasa cemas. Itu adalah perasaan yang lebih lembut—perasaan yang menunjukkan bahwa dia semakin nyaman dengan pria itu.

Pada suatu sore yang cerah, saat kafe sedang sepi, Rendra datang dengan ekspresi yang lebih serius dari biasanya. Ada sesuatu yang berbeda di dalam dirinya. Arina segera menyadari bahwa Rendra tidak seperti biasanya—tidak seperti pria yang selalu datang dengan senyuman ramah. Kali ini, matanya terlihat sedikit gelisah.

“Mbak Arina,” katanya dengan suara yang lebih dalam dari biasanya, “saya ingin berbicara dengan kamu. Tentang kita.”

Arina merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Apa yang akan Rendra katakan? Dia merasakan ketegangan di udara, seperti ada sesuatu yang besar yang akan diungkapkan.

“Apakah ada yang salah, Pak Rendra?” tanya Arina, berusaha untuk tetap tenang meskipun hati kecilnya mulai bertanya-tanya.

Rendra menarik napas dalam-dalam dan duduk di kursi, menatap Arina dengan tatapan yang serius. “Saya rasa, setelah beberapa waktu kita saling mengenal, saya mulai merasa bahwa ada hal yang lebih dari sekadar pertemuan kita yang rutin. Saya tidak bisa mengabaikannya, Mbak. Saya ingin mengungkapkan perasaan saya.”

Arina terdiam, dan jantungnya semakin berdebar. Apakah ini saat yang dia takutkan? Rasa cemas kembali merayapi dirinya. Namun, dia tahu bahwa ini adalah saat yang penting—saat untuk mengungkapkan apa yang telah lama terpendam.

“Pak Rendra, saya… saya juga merasa ada sesuatu yang lebih. Saya merasa semakin dekat dengan kamu, tetapi kadang saya bingung dengan perasaan saya sendiri. Apa yang kita jalani sekarang terasa begitu baru, dan saya takut jika saya salah mengambil langkah,” kata Arina dengan suara pelan.

Rendra menatapnya dengan lembut, mengerti betul apa yang dirasakan Arina. “Mbak Arina, saya tidak ingin terburu-buru atau memaksa kamu. Saya tahu hubungan kita ini baru, dan saya hanya ingin kita melangkah perlahan. Tapi saya juga ingin kamu tahu, saya mulai merasa bahwa saya ingin lebih dari sekadar bertemu di kafe ini. Saya ingin lebih dekat dengan kamu. Saya ingin menjadi bagian dari hidup kamu, jika kamu juga merasa demikian.”

Kata-kata Rendra membuat hati Arina berdebar hebat. Dia merasakan kehangatan yang luar biasa, tetapi juga ada ketakutan yang membuatnya ragu. Dia tidak ingin langkah ini menghancurkan apa yang sudah mereka bangun. Namun, ada perasaan yang lebih kuat di dalam dirinya—perasaan bahwa mungkin, justru inilah langkah yang harus mereka ambil.

Arina menatap Rendra dengan serius. “Saya… saya tidak tahu bagaimana kita bisa tahu jika ini benar-benar yang kita inginkan. Kadang, saya merasa kita terjebak dalam perasaan yang datang begitu cepat. Tapi saya tidak ingin menyesal jika kita tidak mencoba lebih jauh.”

Rendra tersenyum, sebuah senyum yang penuh pengertian. “Mbak Arina, saya menghargai kejujuran kamu. Saya juga merasa bahwa kita tidak perlu terburu-buru. Kita hanya perlu saling memberi ruang untuk tumbuh bersama, tanpa tekanan. Yang terpenting, saya ingin kamu tahu bahwa saya akan ada di sini, tidak peduli apa pun yang terjadi.”

Arina merasa lega mendengar kata-kata itu. Rendra tidak hanya memberi ruang untuk perasaannya, tetapi juga menunjukkan komitmen tanpa paksaan. Itu adalah hal yang membuat Arina merasa lebih tenang.

Malam itu, mereka berbincang lebih banyak lagi, meskipun tanpa tujuan pasti. Mereka hanya menikmati kebersamaan yang sederhana, saling mengenal lebih dalam tanpa harus terikat pada suatu harapan besar. Mereka berbicara tentang impian-impian mereka, tentang masa depan yang masih jauh di depan, tetapi kali ini, Arina merasa lebih terbuka untuk menerima perasaan itu.

Sejak malam itu, Arina dan Rendra mulai berjalan lebih teguh. Mereka tidak lagi terlalu khawatir tentang masa depan, karena mereka tahu bahwa setiap langkah yang mereka ambil bersama adalah bagian dari proses yang tak terhindarkan. Meskipun jalan yang mereka tempuh masih panjang dan penuh ketidakpastian, mereka merasa yakin bahwa mereka sudah siap untuk melangkah bersama.

Kafe yang dulu hanya menjadi tempat Arina bekerja kini mulai menjadi saksi bisu dari hubungan mereka yang berkembang. Setiap kali Arina melihat Rendra datang, perasaan yang mengalir di dalam dirinya semakin jelas. Ada ketenangan, ada rasa saling percaya, dan yang terpenting, ada perasaan bahwa mereka telah mengambil langkah yang tepat.

“Terima kasih, Pak Rendra,” kata Arina dengan tulus suatu hari setelah mereka berbicara lagi. “Saya merasa kita sudah mencapai titik di mana kita bisa lebih saling memahami.”

Rendra tersenyum dan meraih tangan Arina dengan lembut. “Terima kasih juga, Mbak Arina. Saya senang kita bisa berjalan bersama, meskipun perlahan.”

Saat itu, Arina tahu bahwa perjalanan mereka baru saja dimulai. Dengan langkah yang lebih teguh, mereka siap untuk menghadapi apa pun yang akan datang.


 

 

—————————–THE END——————–

Source: Gustian Bintang
Tags: #Romantiskomedi cinta
Previous Post

MERTUA VS MENANTU

Next Post

CINTA YANG TERTUNDA

Next Post
CINTA YANG TERTUNDA

CINTA YANG TERTUNDA

CINTA DALAM LENSA WAKTU

CINTA DALAM LENSA WAKTU

GAGAL JADI SULTAN SUKSES JADI BABU

GAGAL JADI SULTAN SUKSES JADI BABU

MOVIE REVIEW

No Content Available

RECENT MOVIE

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025

Tentang Kami

NovelStory.id adalah platform media online yang menghadirkan beragam cerita menarik seperti dalam novel dan drama, dirancang untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan yang berkualitas dan penuh imajinasi. Kami percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh hati, menginspirasi, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh keajaiban.

Recent News

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025

Follow Us

  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 https://novelstory.id

No Result
View All Result
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah

© 2025 https://novelstory.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In