• Latest
  • Trending
  • All
  • Movie Review
  • Box Office
  • Trailer
  • Action
  • Romantic
  • Comedy
  • Horror
  • Serial Movie
  • Genre
CINTA DI ANTARA HUJAN

CINTA DI ANTARA HUJAN

February 26, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025
JEJAK DI PINTU TERLARANG

JEJAK DI PINTU TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

May 17, 2025
TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

May 17, 2025
PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

May 12, 2025
HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

May 12, 2025
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

May 10, 2025
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

LUKISAN YANG MENANGIS

May 10, 2025
  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
No Result
View All Result
Novel Story
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah
Novel Story
CINTA DI ANTARA HUJAN

Love in the rain / Silhouette of kissing couple under umbrella

CINTA DI ANTARA HUJAN

by SAME KADE
February 26, 2025
in Romansa
Reading Time: 16 mins read

Bab 1: Pertemuan di Bawah Hujan

Hujan turun dengan derasnya sore itu, membasahi jalanan Jakarta yang sibuk. Langit kelabu menutupi cahaya matahari, menyisakan hanya bayangan gedung-gedung tinggi yang memantulkan genangan air di trotoar. Raka berdiri di bawah kanopi sebuah kafe kecil di sudut jalan, menyesap kopinya yang mulai dingin.

Ia tak pernah menyukai hujan. Hujan baginya adalah simbol kenangan yang ingin ia lupakan, kenangan yang selalu hadir tanpa diundang. Dengan kamera tergantung di lehernya, ia menatap ke kejauhan, mencari objek menarik untuk dipotret. Hingga matanya menangkap sesuatu yang berbeda—seorang gadis di tengah hujan.

Wanita itu, tanpa payung ataupun mantel, berputar pelan di tengah derasnya hujan. Rambut panjangnya yang basah menempel di pipinya, namun ia tetap tersenyum. Tangannya terentang, seolah menikmati setiap tetes air yang menyentuh kulitnya.

Raka mengangkat kameranya secara refleks. Klik. Satu jepretan. Klik. Satu lagi. Dia tak tahu mengapa, tapi ada sesuatu dalam cara wanita itu menikmati hujan yang membuatnya ingin mengabadikannya.

Tiba-tiba, mata gadis itu bertemu dengan mata Raka. Senyum di bibirnya melebar, lalu ia berjalan mendekat.

“Kamu suka mengabadikan momen, ya?” tanyanya riang, masih membiarkan hujan mengguyur tubuhnya.

Raka terdiam sejenak. “Aku hanya memotret sesuatu yang menarik,” jawabnya singkat.

Gadis itu tertawa kecil. “Dan menurutmu aku menarik?” tanyanya, sedikit menggoda.

Raka tak menjawab. Ia menyesap kopinya lagi, berusaha mengalihkan perhatian dari detak jantungnya yang tiba-tiba terasa lebih cepat.

“Aku Arini,” gadis itu memperkenalkan diri sambil mengibaskan air dari rambutnya. “Dan kamu?”

“Raka,” jawabnya, tetap dengan nada datar.

Arini mengangguk, lalu tiba-tiba meraih kamera yang masih tergantung di leher Raka. “Boleh aku lihat hasilnya?” tanyanya antusias.

Raka sedikit terkejut dengan kelancangan Arini, tapi ia membiarkannya. Arini melihat layar kamera dan terdiam sejenak.

“Wow…,” gumamnya, matanya berbinar. “Kamu berhasil menangkap sesuatu yang bahkan aku sendiri tidak menyadarinya.”

“Apa maksudmu?” tanya Raka, sedikit penasaran.

Arini mengembalikan kameranya dan tersenyum. “Aku selalu merasa bebas saat hujan turun. Dan di foto ini… aku benar-benar terlihat bebas. Terima kasih sudah mengabadikannya.”

Raka hanya mengangguk. Ia tak terbiasa dengan seseorang yang begitu ekspresif dan penuh semangat seperti Arini. Namun, ada sesuatu dalam dirinya yang merasa nyaman dengan kehadiran gadis itu.

Hujan masih turun, tapi bagi Raka, kali ini hujan terasa sedikit lebih hangat.*

Bab 2: Gadis yang Mencintai Hujan

Raka belum bisa memahami bagaimana seseorang bisa mencintai hujan. Baginya, hujan selalu membawa kenangan pahit, sesuatu yang ingin ia lupakan. Tapi sejak pertemuannya dengan Arini sore itu, pikirannya mulai terusik.

Keesokan harinya, tanpa sadar, langkahnya kembali membawanya ke kafe kecil di sudut jalan itu. Ia duduk di tempat yang sama, menyesap kopinya, sembari mengamati trotoar yang masih basah oleh sisa hujan tadi malam.

“Pagi, Raka!” Suara ceria itu menyapanya.

Raka menoleh. Arini berdiri di samping mejanya, masih dengan senyum khasnya. Kali ini ia mengenakan dress biru muda yang tampak kontras dengan langit mendung di atas mereka.

“Kamu sering ke sini juga?” tanya Raka, sedikit terkejut.

“Aku suka tempat ini,” jawab Arini sambil menarik kursi di depannya. “Kopinya enak, dan dari sini aku bisa melihat orang-orang berjalan sambil menikmati sisa hujan.”

Raka hanya mengangguk, membiarkan gadis itu mulai bercerita.

“Kamu tahu?” Arini menatap ke luar jendela, matanya berbinar. “Sejak kecil, aku selalu menunggu hujan turun. Bagi banyak orang, hujan itu menyebalkan. Tapi bagiku, hujan adalah kebebasan.”

Raka mengernyit. “Kenapa begitu?”

Arini tersenyum tipis. “Saat hujan turun, semua orang cenderung terburu-buru, mencari tempat berteduh, memakai payung, atau mengeluh karena basah. Tapi aku? Aku merasa seperti dunia hanya milikku sendiri.”

Ia berhenti sejenak, menatap tangannya yang diletakkan di atas meja. “Ibuku pernah bilang, hujan itu seperti pembersih jiwa. Semua kesedihan, kekhawatiran, dan rasa sakit bisa hanyut bersamanya. Aku percaya itu. Karena setiap kali hujan turun, aku merasa lebih ringan.”

Raka menatapnya dalam diam. Ia tak pernah mendengar seseorang berbicara tentang hujan dengan cara seperti ini.

“Kalau kamu sendiri?” Arini menatapnya penuh rasa ingin tahu. “Kamu suka hujan?”

Raka terdiam sejenak sebelum menjawab, “Aku tidak membencinya, tapi aku juga tidak mencintainya.”

Arini mengangguk, lalu tersenyum jahil. “Aku akan membuatmu mencintai hujan, Raka.”

Raka tertawa kecil. “Aku rasa itu sulit.”

“Tunggu saja,” kata Arini percaya diri. “Suatu hari nanti, kamu akan melihat hujan seperti yang aku lihat.”

Raka tidak menjawab. Tapi di dalam hatinya, ada sesuatu yang berubah. Ia mulai penasaran, bukan hanya tentang hujan, tetapi tentang gadis yang ada di hadapannya—gadis yang mencintai hujan.*

Bab 3: Foto yang Mengubah Segalanya

Beberapa hari berlalu sejak pertemuan mereka di kafe. Raka kembali menjalani rutinitasnya sebagai fotografer freelance, menerima proyek-proyek kecil untuk pameran dan majalah. Namun, ada satu foto yang terus menarik perhatiannya—foto Arini di bawah hujan.

Ia menatap layar laptopnya, memperbesar gambar itu. Wajah Arini tampak begitu hidup. Ada cahaya dalam matanya, senyum tulus yang seolah berbicara. Tidak ada kepura-puraan. Tidak ada kesedihan tersembunyi. Itu adalah ekspresi kebebasan yang selama ini sulit ia pahami.

Tanpa sadar, jemarinya mengetuk meja. Ada dorongan kuat dalam dirinya untuk mencetak foto itu dan memasukkannya ke dalam pameran kecil yang akan ia adakan minggu depan.

Hari pameran tiba. Raka berdiri di sudut galeri kecil tempat ia memajang beberapa hasil jepretannya. Pengunjung mulai berdatangan, beberapa dari mereka mengagumi karyanya, berdiskusi tentang teknik yang ia gunakan, atau sekadar bertanya tentang inspirasi di balik setiap gambar.

Di antara foto-foto lanskap dan potret hitam putih, foto Arini tampak berbeda. Warnanya hangat, ekspresinya hidup, dan ada sesuatu yang menarik perhatian siapa pun yang melihatnya.

Tak lama kemudian, suara yang familiar menyapa.

“Raka?”

Raka menoleh dan melihat Arini berdiri di depan foto itu. Mata gadis itu membesar saat menyadari siapa yang ada di dalam gambar.

“Kamu… memajang fotoku?” suaranya terdengar antara terkejut dan tersentuh.

Raka mengangguk. “Aku harap kamu tidak keberatan.”

Arini tidak langsung menjawab. Ia mendekat, menatap fotonya dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. Kemudian, dengan suara pelan, ia berkata, “Aku tidak pernah melihat diriku seperti ini sebelumnya.”

Raka memperhatikannya. “Apa maksudmu?”

Arini tersenyum kecil, tapi ada sesuatu di balik senyumnya kali ini—sesuatu yang lebih dalam. “Biasanya, aku hanya melihat diriku di cermin atau di foto selfie yang aku ambil sendiri. Tapi ini… ini berbeda.”

Ia menoleh ke arah Raka. “Melalui matamu, aku terlihat lebih… bahagia. Lebih bebas. Dan aku menyukai itu.”

Raka tidak tahu harus berkata apa. Ia bukan tipe orang yang pandai merangkai kata-kata manis. Tapi melihat bagaimana Arini menatap fotonya sendiri dengan begitu banyak emosi, ia tahu bahwa foto ini memiliki arti lebih dari yang ia bayangkan.

“Terkadang,” kata Raka akhirnya, “orang lain bisa melihat sisi terbaik dari diri kita yang tidak pernah kita sadari.”

Arini tersenyum lebih lebar. “Terima kasih, Raka.”

Saat itu, Raka menyadari sesuatu—bahwa Arini bukan sekadar subjek fotonya. Gadis itu telah menjadi bagian dari dunianya.

Dan tanpa ia sadari, dunianya mulai berubah.*

Bab 4: Luka yang Tersembunyi

Pameran foto itu membuat hubungan Raka dan Arini semakin dekat. Mereka sering bertemu, berbincang di kafe langganan, berjalan-jalan setelah hujan, atau sekadar bertukar cerita. Namun, di balik tawa dan senyum yang selalu menghiasi wajah Arini, Raka mulai menyadari sesuatu—ada saat-saat tertentu di mana mata Arini terlihat kosong, seolah jiwanya melayang ke tempat yang jauh.

Suatu sore, hujan turun dengan rintik ringan. Mereka duduk di bangku taman, menikmati aroma tanah basah. Arini menggambar sesuatu dengan ujung sepatunya di tanah basah, sementara Raka sibuk dengan kameranya.

“Raka,” suara Arini lirih, hampir tenggelam dalam suara rintik hujan.

“Hm?” Raka menurunkan kameranya dan menoleh.

“Kamu pernah kehilangan seseorang yang kamu sayangi?” tanyanya tanpa melihat ke arahnya.

Pertanyaan itu membuat Raka terdiam. Ada bayangan di pikirannya, ingatan yang berusaha ia kubur dalam-dalam. Tapi ia tak ingin membahasnya, jadi ia hanya menjawab singkat, “Pernah.”

Arini mengangguk pelan, lalu tersenyum kecil. “Aku juga.”

Raka menatapnya, menunggu kelanjutannya.

“Beberapa tahun lalu, aku kehilangan ibuku,” kata Arini, suaranya bergetar. “Dia sakit, tapi tetap tersenyum sampai akhir. Aku selalu berpikir, kalau aku cukup bahagia, kalau aku terus tersenyum seperti dia, mungkin kesedihan itu tidak akan terasa terlalu berat.”

Raka tidak tahu harus berkata apa.

“Itu sebabnya aku mencintai hujan,” lanjut Arini, matanya menatap langit kelabu. “Hujan mengingatkanku pada pelukan terakhirnya. Dingin, tapi hangat di saat yang bersamaan. Saat hujan turun, aku merasa dia masih ada di sini.”

Raka menelan ludah. Ia tidak menyangka di balik keceriaan Arini, ada luka yang begitu dalam.

“Tapi tetap saja,” Arini tersenyum, meskipun matanya berkaca-kaca. “Kadang-kadang, aku masih merasa sendiri.”

Saat itu, Raka melakukan sesuatu yang jarang ia lakukan. Ia mengulurkan tangan, menggenggam jemari Arini yang dingin.

“Kamu nggak sendiri,” katanya, suaranya pelan tapi tegas.

Arini menatapnya, seolah mencari kebenaran di balik kata-kata itu. Kemudian, untuk pertama kalinya, ia tidak hanya tersenyum untuk menutupi kesedihannya. Ia tersenyum karena merasa ada seseorang yang benar-benar mengerti.

Dan bagi Raka, untuk pertama kalinya, hujan tidak lagi terasa seperti luka.*

Bab 5: Jarak yang Tercipta

Setelah percakapan di taman, sesuatu berubah di antara mereka. Arini masih tersenyum, masih tertawa ketika mereka bersama, tetapi Raka mulai merasakan ada jarak yang perlahan tumbuh di antara mereka—halus, hampir tak terlihat, tapi nyata.

Hari-hari berlalu, dan Arini mulai sering membatalkan pertemuan mereka. Pesan Raka dibalas, tetapi tidak secepat biasanya. Ketika mereka bertemu pun, ada saat-saat di mana Arini tampak tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Suatu sore, Raka menunggu di kafe favorit mereka. Kopinya sudah hampir habis, tapi Arini belum juga datang. Ia melihat jam tangannya—sudah satu jam berlalu sejak waktu yang mereka sepakati.

Akhirnya, Arini datang, napasnya sedikit terengah. “Maaf, aku telat.”

Raka mengamati wajahnya. Ada sesuatu yang berbeda. Senyum itu masih ada, tetapi tidak secerah biasanya.

“Kamu sibuk akhir-akhir ini?” Raka bertanya pelan, mencoba menahan nada khawatir dalam suaranya.

Arini menunduk, mengaduk kopinya tanpa alasan. “Iya, sedikit.”

Hening.

“Arini,” panggil Raka, suaranya lebih serius. “Ada yang salah?”

Arini mengangkat wajahnya, tersenyum seperti biasa. “Nggak ada, kok.”

Tapi Raka tahu itu bohong.

Hari berikutnya, Raka pergi ke tempat di mana Arini sering menghabiskan waktu—sebuah taman di dekat rumahnya. Ia berharap bisa menemukannya di sana, seperti biasa, duduk di bangku sambil menikmati sisa hujan.

Namun yang ia lihat adalah Arini, berdiri di bawah pohon, berbicara dengan seorang pria. Wajahnya serius, berbeda dari biasanya. Pria itu menatapnya dengan ekspresi yang sulit dibaca.

Raka tidak bermaksud menguping, tapi angin membawa sedikit percakapan mereka kepadanya.

“Kamu masih belum bisa melupakan semuanya, kan?” suara pria itu terdengar dingin.

Arini menggeleng. “Bukan begitu, aku hanya…” Ia menggigit bibirnya, seolah mencari kata-kata yang tepat. “Aku butuh waktu.”

Pria itu menghela napas. “Arini, kamu nggak bisa lari terus.”

Saat itu, Raka merasa ada sesuatu yang ia lewatkan—sebuah bagian dari Arini yang belum pernah ia sentuh, sebuah masa lalu yang belum ia pahami.

Ia berbalik, memilih untuk pergi sebelum Arini menyadari kehadirannya. Ada perasaan aneh di dadanya.

Untuk pertama kalinya, ia merasa ragu.

Apakah ia benar-benar mengenal Arini?

Ataukah gadis itu sedang perlahan menjauh darinya.*

Bab 6: Kembali ke Pelukan Hujan

Hari-hari berlalu tanpa kabar dari Arini.

Pesan yang Raka kirim hanya dibalas singkat atau bahkan diabaikan. Setiap kali ia mencoba bertanya lebih jauh, Arini selalu menghindar. Raka tidak tahu apa yang terjadi, tapi yang jelas, jarak di antara mereka semakin lebar.

Sampai akhirnya, hujan turun malam itu.

Raka berjalan tanpa tujuan di trotoar yang basah. Langit mendung menggantung berat, dan butiran hujan jatuh deras, membasahi tubuhnya. Ia tidak peduli. Ada sesuatu yang menyesakkan dadanya, perasaan asing yang belum pernah ia rasakan sebelumnya—rindu yang bercampur dengan kebingungan.

Ia berhenti di sebuah taman.

Di sanalah, di bawah pohon tempat ia terakhir kali melihat Arini bersama pria itu, ia melihatnya lagi.

Arini berdiri di tengah hujan, tanpa payung, tanpa jas hujan. Rambutnya basah, wajahnya menunduk, dan bahunya bergetar.

Tanpa berpikir panjang, Raka melangkah mendekat.

“Arini…”

Arini tersentak dan mengangkat wajahnya. Mata mereka bertemu, dan saat itu, Raka bisa melihat semuanya—kesedihan yang selama ini Arini sembunyikan, luka yang ia coba tutupi dengan senyum.

“Apa yang kamu lakukan di sini?” suara Raka nyaris tenggelam dalam suara hujan.

Arini menghela napas, lalu tersenyum kecil. Tapi kali ini, tidak ada keceriaan di sana. “Aku selalu datang ke sini setiap hujan turun. Sejak dulu.”

“Kenapa?”

Arini menatap langit kelabu. “Karena di sini aku bisa merasa jujur pada diriku sendiri.”

Raka menatapnya dalam diam.

“Aku lelah, Raka…” suara Arini lirih, hampir tak terdengar. “Aku lelah berpura-pura kuat. Aku lelah selalu tersenyum agar orang-orang tidak khawatir.”

Raka mengerutkan kening. “Kamu nggak harus berpura-pura di depanku.”

Arini menatapnya, dan untuk pertama kalinya, air mata jatuh bersama hujan. “Aku takut, Raka. Aku takut kehilangan seseorang lagi. Itu sebabnya aku menjauh darimu.”

Raka terkejut. “Kenapa kamu berpikir kamu akan kehilangan aku?”

Arini menggigit bibirnya, berusaha menahan isak. “Karena semua orang yang aku cintai selalu pergi.”

Saat itu, Raka tahu ia tidak bisa diam saja.

Ia melangkah mendekat dan menarik Arini ke dalam pelukannya. Arini terkejut, tubuhnya menegang sejenak, tapi kemudian ia melepaskan semua beban itu. Ia menangis di dada Raka, membiarkan hujan menyamarkan air matanya.

Raka tidak mengatakan apa pun. Ia hanya membiarkan Arini menangis, membiarkan hujan menjadi saksi bahwa ia ada di sini, dan tidak akan pergi ke mana-mana.

Setelah beberapa saat, Arini perlahan menjauhkan wajahnya, menatap Raka dengan mata sembab.

“Kamu yakin… nggak akan pergi?” tanyanya pelan, hampir takut dengan jawabannya.

Raka menatapnya dalam-dalam. Lalu, dengan suara tenang namun penuh kepastian, ia menjawab,

“Aku di sini, Arini. Dan aku nggak akan ke mana-mana.”

Dan untuk pertama kalinya, Arini mempercayai kata-kata itu.

Hujan masih turun, tapi kali ini, bagi mereka berdua, hujan terasa lebih hangat.*

Bab 7: Pengakuan

Hujan telah reda, tapi sisa-sisanya masih terasa di udara—aroma tanah basah, trotoar yang mengilap, dan hembusan angin dingin yang menusuk kulit. Raka dan Arini masih berdiri di taman, di bawah lampu jalanan yang remang-remang.

Setelah tangisnya mereda, Arini menatap Raka dengan mata yang masih sembab, tetapi ada ketenangan yang baru di sana. Seolah, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa lebih ringan.

“Terima kasih,” gumamnya.

Raka hanya mengangguk. Ia bukan tipe orang yang pandai menghibur, tapi ia tahu satu hal—ia tidak ingin Arini merasa sendiri lagi.

Mereka berjalan pelan menyusuri jalanan basah, membiarkan keheningan berbicara untuk mereka. Sampai akhirnya, Arini berhenti.

“Aku ingin jujur tentang sesuatu,” katanya pelan.

Raka menatapnya, menunggu.

Arini menghela napas panjang, lalu berkata, “Aku takut mencintai seseorang, Raka.”

Kata-kata itu melayang di udara di antara mereka, menggantung tanpa jawaban.

“Aku sudah kehilangan ibu, kehilangan orang-orang yang aku sayangi,” lanjutnya. “Dan ketika aku menyadari bahwa aku mulai menyayangimu… aku panik.”

Raka terdiam.

Arini menunduk, jemarinya saling meremas gelisah. “Aku takut kalau aku semakin dekat denganmu, suatu hari nanti aku akan kehilangamu juga.”

Hati Raka berdesir. Ia tidak pernah membayangkan bahwa perasaan Arini selama ini lebih dalam dari yang ia kira.

Pelan, ia mengangkat tangannya, menyentuh bahu Arini dengan lembut. “Aku nggak bisa janji bahwa aku akan selalu ada selamanya, Arini. Nggak ada yang bisa.”

Arini menatapnya, matanya penuh keraguan.

“Tapi aku bisa janji satu hal,” lanjut Raka. “Aku di sini, saat ini. Dan aku nggak akan pergi hanya karena kamu takut.”

Arini mengerjap, seolah mencerna kata-kata itu.

“Aku juga ingin jujur,” Raka melanjutkan, suaranya sedikit lebih dalam. “Aku nggak tahu sejak kapan, tapi aku menyayangimu, Arini.”

Arini membeku di tempatnya.

“Aku nggak peduli seberapa lama waktu yang kamu butuhkan,” Raka menambahkan. “Tapi kalau kamu siap, aku di sini.”

Hening.

Angin malam berhembus, membawa serta sisa-sisa rintik hujan. Arini menggigit bibirnya, lalu tersenyum kecil—senyum yang kali ini bukan untuk menyembunyikan perasaannya, melainkan untuk mengungkapkannya.

Ia melangkah lebih dekat, menatap Raka dengan penuh keyakinan. “Kalau aku bilang aku juga menyayangimu, apa kamu tetap akan tinggal?”

Raka menatapnya dengan lembut. “Aku sudah bilang, aku nggak ke mana-mana.”

Arini menghela napas lega, lalu tanpa ragu, ia meraih tangan Raka dan menggenggamnya erat.

Hujan mungkin telah berhenti, tapi bagi mereka, sesuatu yang baru justru dimulai.*

Bab 8: Cinta yang Abadi

Malam itu, hujan yang semula membawa kesedihan kini berubah menjadi saksi atas janji yang mereka ucapkan—janji untuk tetap ada, meski ketakutan masih menghantui.

Hari-hari berlalu dengan perlahan, tetapi pasti. Hubungan Raka dan Arini semakin kuat, bukan karena mereka tak memiliki keraguan, melainkan karena mereka memilih untuk menghadapi semuanya bersama.

Suatu sore, mereka kembali ke tempat di mana semuanya bermula—kafe kecil di sudut jalan itu. Kali ini, hujan turun lebih deras, menghantam jendela dengan suara ritmis yang menenangkan.

Arini menggambar pola acak di atas permukaan cangkir kopinya, lalu mendongak menatap Raka. “Kamu tahu? Aku dulu berpikir hujan adalah satu-satunya hal yang bisa membuatku merasa aman.”

Raka menatapnya penuh perhatian. “Dan sekarang?”

Arini tersenyum lembut. “Sekarang, aku tahu bahwa keamananku ada di seseorang, bukan sesuatu.”

Raka mengangkat alis. “Seseorang?”

Arini mengangguk, lalu menatapnya dengan penuh arti. “Kamu.”

Jantung Raka berdetak lebih cepat. Ia bukan tipe orang yang mudah terpengaruh oleh kata-kata manis, tetapi ada sesuatu dalam cara Arini mengatakannya yang membuatnya merasa istimewa.

“Aku sudah terlalu lama takut,” lanjut Arini. “Takut kehilangan, takut mencintai, takut untuk benar-benar membuka hati. Tapi sekarang, aku sadar… jika aku harus kehilangan sesuatu dalam hidupku, aku lebih memilih untuk tetap mencintai tanpa penyesalan.”

Raka terdiam sejenak sebelum tersenyum kecil. “Aku nggak bisa janji kita akan selalu baik-baik saja, Arini. Kita pasti akan bertengkar, mungkin akan ada hari-hari di mana kita saling menyakiti tanpa sengaja.”

Arini tertawa pelan. “Aku tahu.”

“Tapi satu hal yang bisa aku pastikan,” Raka menatap matanya dalam-dalam. “Aku ingin menjalaninya bersamamu. Selama kamu masih mau tetap di sini.”

Arini tidak menjawab dengan kata-kata. Ia hanya tersenyum, lalu meraih tangan Raka dan menggenggamnya erat.

Hujan di luar semakin deras, tapi di dalam kafe itu, mereka menemukan kehangatan yang lebih nyata daripada apa pun.

Bagi mereka, cinta bukanlah tentang janji untuk selamanya, tetapi tentang keberanian untuk tetap bertahan—meski hujan terus turun, meski masa depan penuh ketidakpastian.**

Bab 9: Ujian Waktu

Setelah beberapa bulan terpisah, hari-hari Rina dan Dika berjalan dengan irama yang tak biasa. Meskipun keduanya tetap berkomunikasi melalui surat, perasaan rindu dan kesepian semakin menyelubungi mereka. Rina yang selalu merasa diberkahi dengan ketenangan hidup di desa, kini harus menghadapi kenyataan bahwa kesendirian lebih terasa tanpa kehadiran Dika. Begitu pula Dika, yang meskipun dikelilingi oleh tugas berat dan misi-misi yang menantang, tak bisa menahan rasa rindu yang menggerogoti hatinya. Cinta mereka, yang dulu begitu membara dan penuh harapan, kini harus diuji oleh waktu dan jarak.

Rina mulai merasa hidupnya tak lagi sama tanpa Dika. Setiap kali ia memasuki rumah mereka yang kosong, rasa hampa itu semakin terasa. Setiap sudut rumah yang dulu dipenuhi tawa dan percakapan mereka, kini sepi dan dingin. Pagi-pagi ketika ia menyeduh teh untuk dirinya sendiri, ia merasa kehilangan kehangatan yang hanya bisa diberikan oleh Dika. Rasanya sulit untuk bangun setiap pagi tanpa mengetahui bahwa Dika ada di dekatnya. Meski begitu, ia berusaha keras untuk tetap menjalani hari-harinya dengan senyuman. Mengajar murid-muridnya, membantu tetangga, dan merawat kebun kecil di belakang rumah adalah rutinitas yang ia pilih untuk mengalihkan perasaan rindu yang terus menerus menghampiri.

Suatu sore, ketika Rina sedang duduk di teras rumah, sebuah surat dari Dika tiba. Hatinya berdegup kencang saat melihat amplop berwarna cokelat itu. Dengan cepat, ia membuka surat itu dan membaca kata-kata yang ditulis Dika. Meskipun setiap suratnya selalu membawa rasa rindu, kali ini ada sesuatu yang berbeda. Dika menulis bahwa ia baru saja selesai dengan tugas besar dan akan segera kembali ke rumah. Hatinya melompat kegirangan, namun di saat yang sama, ada perasaan cemas yang mengiringi kegembiraannya.

“Aku akan segera pulang, Rina. Aku tak sabar untuk kembali ke sisimu. Aku tahu kita sudah lama terpisah, dan aku merindukanmu lebih dari apapun. Aku berjanji akan segera kembali, walaupun aku tak tahu pasti kapan itu,” tulis Dika di surat itu.

Rina menatap surat itu lama, merenungkan setiap kata yang tertulis. Di satu sisi, ia merasa sangat bahagia karena Dika akan kembali, namun di sisi lain, rasa cemasnya juga semakin besar. Sudah berbulan-bulan mereka tidak bersama, dan ia khawatir bahwa Dika yang akan kembali mungkin bukan lagi Dika yang ia kenal. Perjalanan panjang dan tugas berat yang Dika jalani mungkin telah mengubahnya. Rina merasa terjebak antara kegembiraan dan ketakutan akan perubahan yang tak terhindarkan.

Sementara itu, Dika juga merasakan ketegangan yang sama. Meski ia menulis surat dengan penuh semangat, ia merasa tak sabar untuk kembali, namun pada saat yang sama, ia merasa khawatir. Kehidupannya selama ini terfokus pada tugas negara, dan ia tahu bahwa kembalinya ia ke kehidupan rumah tangga akan membawa tantangan tersendiri. Sudah lama mereka terpisah, dan ia khawatir apakah hubungan mereka bisa kembali seperti dulu. Tugas-tugas yang ia jalani di medan yang penuh bahaya membuatnya banyak berubah. Ia merasa lebih keras, lebih tegas, dan kadang-kadang lebih tertutup. Perasaan rindu yang mendalam pada Rina sering kali membuatnya terjaga larut malam, merenungkan bagaimana perasaannya akan diterima ketika ia kembali.

Namun, meskipun ada rasa takut itu, Dika memutuskan untuk kembali. Ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan berusaha sekuat tenaga untuk menjaga cinta yang telah mereka bangun. Ia menulis dalam surat terakhirnya, “Aku akan kembali, dan aku akan memastikan kita bisa menghadapinya bersama. Semua perubahan yang terjadi, kita akan lewati dengan cinta yang kita miliki.”

Hari-hari berlalu dengan penuh kecemasan. Rina merasakan waktu yang berjalan begitu lambat. Setiap pagi ia bangun dengan harapan bahwa Dika akan segera kembali, namun waktu terasa semakin panjang. Ia merindukan kehadiran Dika dalam hidupnya. Suatu malam, Rina menulis sebuah surat untuk Dika, mengungkapkan perasaannya yang penuh rindu dan kekhawatiran.

“Aku merindukanmu begitu dalam, Dika,” tulis Rina di suratnya. “Tapi ada satu hal yang terus menggangguku. Aku khawatir kau akan berubah. Kau telah berada jauh dari rumah begitu lama, dan aku takut kita akan kesulitan untuk menyesuaikan diri setelah sekian lama terpisah.”

Rina meletakkan pena dan menatap surat itu sejenak. Ia merasa tak yakin apakah ia harus mengirim surat itu atau tidak. Ia takut kata-katanya akan membuat Dika merasa tidak nyaman, namun di sisi lain, ia merasa harus jujur dengan perasaannya. Akhirnya, setelah berpikir panjang, ia memutuskan untuk mengirimkan surat itu. Ia berharap Dika akan mengerti bahwa rasa khawatir dan rindu yang ia rasakan adalah bentuk dari cinta yang tulus.

Beberapa minggu kemudian, Dika akhirnya tiba di desa. Rina mendapat kabar bahwa Dika telah kembali dan ia segera pergi untuk menemuinya. Hatinya berdebar-debar, perasaan rindu yang tertahan begitu lama kini hampir tak tertahankan. Ketika Rina akhirnya melihat sosok Dika berdiri di depan pintu rumah mereka, ia merasa seolah-olah waktu terhenti sejenak. Dika yang dulu ia kenal sebagai seorang pria tegas dan penuh semangat, kini terlihat sedikit berbeda. Wajahnya yang dulu tampak begitu penuh kebahagiaan kini tampak lebih serius, dan ada kilatan kelelahan di matanya. Namun, meskipun ada perubahan yang terlihat, Rina merasakan bahwa ada satu hal yang tetap sama: perasaan cinta mereka.

Dika tersenyum melihat Rina, meskipun senyum itu sedikit dipaksakan. “Rina,” katanya dengan suara lembut. “Aku akhirnya kembali.”

Rina mendekat dan mereka saling berpelukan, merasakan kehangatan tubuh masing-masing setelah berbulan-bulan terpisah. Namun, meskipun pelukan itu hangat, Rina merasakan ada jarak yang tak bisa dijelaskan di antara mereka. Cinta yang mereka miliki mungkin tetap ada, namun ada perasaan asing yang mengganjal, seperti ada sesuatu yang hilang di antara mereka.

“Rina,” Dika berkata setelah beberapa saat, menarik napas panjang. “Aku tahu kita sudah lama terpisah, dan aku tahu kita harus menghadapi banyak hal bersama. Aku ingin kita kembali seperti dulu. Aku ingin kita menghadapinya bersama, meskipun mungkin tidak mudah.”

Rina menatap Dika dengan mata yang sedikit berkaca. “Aku juga ingin begitu, Dika. Tapi aku khawatir kita akan sulit untuk kembali seperti dulu. Kita sudah berubah, dan aku tidak tahu apakah kita bisa menemukan jalan untuk kembali.”

Dika menggenggam tangan Rina dengan lembut, mencoba memberi ketenangan pada dirinya sendiri. “Aku percaya kita bisa, Rina. Cinta kita lebih kuat dari apapun.”

Namun, meskipun kata-kata itu menguatkan, Rina merasa bahwa mereka harus menemukan cara untuk saling memahami dan beradaptasi dengan perubahan yang ada. Cinta mereka memang tetap ada, tapi perjalanan mereka tidak akan mudah. Mereka harus menghadapi ujian waktu dan jarak, dan yang terpenting, mereka harus belajar untuk kembali menemukan keseimbangan yang dulu mereka miliki.*

Bab 10: Hujan yang Menghubungkan

Pagi itu, langit tampak gelap, berbeda dari hari-hari sebelumnya yang cerah dan terang. Udara terasa lebih lembap, dan meskipun belum ada tanda-tanda hujan, Nina bisa merasakan sesuatu yang berbeda. Ia keluar dari apartemennya dan berjalan menuju kafe kecil yang sudah menjadi rutinitasnya sejak beberapa waktu lalu. Ada sesuatu yang mengundangnya untuk datang ke sana, sesuatu yang sulit ia jelaskan. Mungkin perasaan ingin bertemu lagi dengan Dimas, atau mungkin hanya sekadar keinginan untuk melarikan diri dari kesendiriannya.

Namun, begitu ia melangkah ke jalanan sempit kota, hujan turun begitu cepat dan deras, memaksa Nina untuk mencari perlindungan. Ia segera berlari menuju kafe, merasakan butiran hujan yang membasahi rambut dan pakaian tipisnya. Saat tiba di pintu kafe, ia masuk dengan napas terengah-engah, dan segera berlari menuju pojok ruangan yang sudah menjadi tempat favoritnya.

Begitu memasuki ruangan yang hangat, Nina melihat Dimas sudah duduk di meja yang sama seperti sebelumnya. Kali ini, dia tidak menulis, melainkan duduk dengan tatapan kosong, menatap jendela yang dipenuhi tetesan hujan. Seolah-olah, hujan itu menyembunyikan segala pikirannya yang sedang berkecamuk.

Dimas mengangkat wajahnya saat mendengar pintu kafe terbuka. Ketika matanya bertemu dengan Nina, ada sedikit keheranan di wajahnya, namun segera digantikan dengan senyuman ringan. “Sepertinya kamu datang tepat waktu,” katanya, sambil menunjuk hujan yang semakin deras.

Nina hanya mengangguk, duduk di kursi seberang Dimas. “Hujan ini datang begitu tiba-tiba,” jawabnya, menatap ke luar jendela dengan pandangan yang sama kosongnya. “Tapi aneh, aku merasa… hujan ini seperti datang untuk sesuatu.”

Dimas mengangkat alisnya, lalu menyandarkan tubuh ke kursinya. “Kamu tahu,” katanya, “Hujan sering membuat kita merasa seperti sedang berada di dunia lain. Ada semacam perasaan melankolis yang muncul, seolah segala sesuatu yang tidak terucapkan bisa diterima oleh hujan.”

Nina tersenyum tipis, menyadari bahwa kata-kata Dimas mengena dalam dirinya. Sejak beberapa waktu terakhir, ia merasa seperti ada banyak hal yang belum ia ungkapkan, perasaan yang terkubur dalam-dalam, dan hujan itu—meskipun hanya membawa basah—seperti mengundangnya untuk mengungkapkan sesuatu yang telah lama terpendam.

“Mungkin,” jawab Nina dengan suara pelan, “aku merasa seperti hujan ini juga menggugah kenangan-kenangan lama.”

Dimas menoleh, menatap Nina dengan penuh perhatian. “Kenangan lama?”

Nina terdiam sejenak, matanya terfokus pada cangkir teh yang ada di depannya. “Aku kehilangan seseorang dalam hidupku, seseorang yang aku cintai. Kecelakaan yang tak terduga. Sejak saat itu, aku merasa seperti hidupku terhenti. Aku terus melarikan diri, mencari tempat yang jauh dari semua perasaan itu. Tapi hujan… kadang hujan membuatku merasa seperti kembali ke waktu itu.”

Dimas mendengarkan dengan seksama, matanya tak lepas dari Nina. Ada keheningan yang mendalam di antara mereka, seperti hujan yang membuat waktu seolah berhenti, memberikan ruang bagi perasaan mereka untuk mengalir tanpa terburu-buru.

“Aku mengerti,” jawab Dimas, suaranya lembut namun penuh empati. “Aku juga pernah merasakannya. Tapi mungkin, yang lebih menyakitkan dari kehilangan itu adalah kenyataan bahwa kita merasa terjebak dalam kenangan yang tidak bisa kita ubah.”

Nina menatap Dimas, perasaan yang selama ini ia sembunyikan muncul begitu saja. Ia merasa seolah-olah Dimas sedang mengerti dirinya tanpa perlu banyak bicara. “Aku merasa… seperti aku tak bisa melanjutkan hidup. Setiap kali aku mencoba, aku selalu merasa terhalang oleh rasa takut akan kehilangan lagi.”

Dimas menghela napas, lalu mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Hujan yang terus mengguyur membuat suasana semakin hening, tapi kali ini, keheningan itu tidak terasa canggung. Seolah mereka berdua saling merasakan perasaan yang sama, meski tidak mengungkapkannya dengan kata-kata.

“Aku pernah merasa seperti itu,” ujar Dimas, suara rendah. “Hidupku dulu juga penuh dengan kehilangan. Sahabat terbaikku pergi ke luar negeri tanpa sempat mengatakan selamat tinggal, dan aku merasa ditinggalkan. Aku merasa… kosong.”

Nina menatap Dimas, merasa ada keterikatan yang tak terucapkan di antara mereka. “Apa yang kamu lakukan untuk menghadapinya?” tanyanya dengan rasa ingin tahu.

Dimas tersenyum pahit. “Aku mencoba untuk mengisi kekosongan itu dengan pekerjaan, dengan menulis, dengan apa pun yang bisa mengalihkan pikiranku. Tapi, pada akhirnya, aku sadar—rasa kehilangan itu tidak bisa disembunyikan begitu saja. Hanya waktu yang bisa menyembuhkannya. Tapi waktu itu… kadang terlalu lama, dan kadang tidak cukup.”

Nina terdiam, merenungkan kata-kata Dimas. “Jadi… apakah itu berarti kita tidak akan pernah benar-benar bisa melupakan mereka yang telah pergi?”

Dimas menggelengkan kepala. “Tidak. Mungkin kita tidak bisa melupakan. Tapi kita bisa belajar untuk menerima dan hidup dengan kenangan itu. Seperti hujan ini. Ia tidak bisa kembali ke langit setelah jatuh, tetapi hujan akan selalu datang lagi. Kita hanya perlu memberi ruang untuk merasakannya.”

Percakapan itu meninggalkan kesan yang mendalam di hati Nina. Hujan di luar jendela masih mengguyur deras, tetapi kali ini, hujan itu terasa lebih menenangkan, lebih bisa diterima. Mungkin, sama seperti hujan, perasaan kehilangan yang selama ini ia simpan di dalam diri juga bisa diterima, dihargai, dan akhirnya dibiarkan pergi, memberi ruang bagi sesuatu yang baru.

“Aku rasa,” kata Nina akhirnya, “hujan ini tidak hanya membersihkan udara, tapi juga… sedikit demi sedikit membersihkan perasaan kita.”

Dimas tersenyum, dan ada kehangatan dalam senyumannya. “Mungkin itu benar. Hujan selalu memiliki cara untuk menghubungkan kita dengan perasaan yang kadang kita sembunyikan jauh di dalam hati.”

Keheningan kembali menyelimuti mereka, namun kali ini, keheningan itu tidak menakutkan. Seperti hujan yang tak pernah berhenti membawa kedamaian, perasaan Nina dan Dimas seolah mulai menemukan jalannya, meski belum tahu ke mana arah itu akan membawa mereka.****

——————-THE END ——————–

Source: AGUSTINA RAMADHANI
Tags: #CintaSejati#DramaRomantis#fotografi#KISAHHUJAN#Romansa
Previous Post

TERIKAT TANPA CINTA

Next Post

JARAK YANG MENGHALANGI

Next Post
JARAK YANG MENGHALANGI

JARAK YANG MENGHALANGI

DI BAWAH LANGIT YANG SAMA

DI BAWAH LANGIT YANG SAMA

CINTA YANG TERLARANG DITENGAH WAKTU

CINTA YANG TERLARANG DITENGAH WAKTU

MOVIE REVIEW

No Content Available

RECENT MOVIE

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025

Tentang Kami

NovelStory.id adalah platform media online yang menghadirkan beragam cerita menarik seperti dalam novel dan drama, dirancang untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan yang berkualitas dan penuh imajinasi. Kami percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh hati, menginspirasi, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh keajaiban.

Recent News

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025

Follow Us

  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 https://novelstory.id

No Result
View All Result
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah

© 2025 https://novelstory.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In